Munir Dibunuh Karena The X-Files ?
Oleh : Robert Manurung
http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/06/24/munir-dibunuh-karena-the-x-files/
SELAMA
hampir empat tahun, sejak Munir dikabarkan meninggal dunia pada 7
September 2004, aku selalu berpendapat : pembunuhan itu tidak perlu. Dan
aku benar-benar heran, kok ada orang atau kelompok yang merasa terancam
dengan sepak terjang Munir sebagai aktivis HAM. Pasalnya
keterbukaan pada era Reformasi, menurut pendapatku. telah melunturkan
aura militan pada sosok Munir, sebab pemberani seperti dia bermunculan
banyak sekali.
Pendek
kata, menurut penilaianku, Munir bukanlah sosok yang membahayakan bagi
siapa pun. Apalagi pada masa menjelang kematiannya yang mengejutkan dan
tragis itu, pejuang HAM ini sudah mulai mengubah strategi perjuangannya,
yang tadinya serba “anti-ABRI” menjadi pendorong reformasi di tubuh
TNI.
Bahkan
sebelum berangkat ke Belanda, Munir sudah mulai banyak “bermain” di
wilayah politik. Aktivis yang tak kenal takut ini, saat itu,
disebut-sebut media massa sebagai kandidat paling ideal untuk jabatan
jaksa agung.
Tapi,
setelah munculnya kesaksian-kesaksian baru, rasanya aku harus mengubah
pendapat mengenai kasus pembunuhan Munir. Tokoh kemanusiaan ini dibunuh
bukan oknum paranoid, tapi oleh sejumlah “orang kuat” yang menganalisis
dengan dingin, bahwa Munir bisa membahayakan mereka dan karena itu harus
dibunuh lewat sebuah operasi “bernuansa” sipil. Tapi kemudian ternyata,
justru keterlibatan orang-orang sipil itulah yang membuat kasus ini
bergerak ke jurusan lain, seperti pisau balik gagang.
Menurut
testimoni Suripto, mantan staf Kepala Bakin yang kini menjabat Wakil
Ketua Komisi Hukum DPR, motif pembunuhan Munir untuk mencegahnya
menyerahkan bukti-bukti pelanggaran HAM ke pihak-pihak tertentu di
Belanda. Asumsinya, jika X-Files tersebut sempat diserahkan Munir, akan
membahayakan oknum tertentu yang saat itu menjadi petinggi Badan
Intelijen Nasional (BIN).
Berikut ini penuturan Suripto yang aku sarikan dari media massa :
Pembunuhan terhadap Munir direncanakan dalam sebuah rapat yang dihadiri para petinggi BIN, pada tahun 2004. Mereka yang hadir untuk merancang kematian pejuang HAM itu antara lain, A.M Hendropriyono (Kepala BIN), As’ad Ali (Wakil Kepala BIN), Nurhadi Djazuli (Sekretaris Umum BIN), dan Manunggal Maladi (Deputi II BIN Bidang Pengamanan).
Mereka, kata Suripto, “Memutuskan untuk melenyapkan Munir.” Eksekutornya adalah Muchdi Pr.
Pernyataan Suripto dibantah oleh Manunggal Maladi. “Rapat seperti itu tidak pernah ada,”ujarnya kepa Tempo. Dia juga menegaskan, dalam rapat-rapat rutin di BIN tidak pernah ada pembicaraan untuk membunuh Munir.
The-X Files atau kesaksian Munir ?
Berdasarkan
pemeriksaan dalam persidangan Pollycarpus, yang telah divonis hukuman
penjara 20 tahun, ditemukan bukti percakapan antara telepon seluler
milik Muchdi dengan Pollycarpus. Selain itu, Muchdi juga diduga berperan
dalam terbitnya surat rahasia Wakil Kepala BIN M.As’ad kepada Indra
Setiawan, Direktur Utama Garuda ketika itu. Surat itu memerintahkan
supaya Pollycarpus bisa ikut dalam penerbangan yang sama dengan Munir.
Mana
yang akan kita percaya ? Kita harus menunggu dengan sabar hasil
penyelidikan kasus ini selanjutnya. Tapi untuk sementara ini, testimoni
Suripto telah memberikan kita sebuah alasan yang masuk akal, sehingga
keterlibatan orang-orang sipil macam Pollycarpus Budihari Priyanto dalam
“operasi” pembunuhan Munir menjadi logis.
The
X-Files yang dibawa Munir ke Belanda, menurut versi Suripto, telah
“memaksa” sejumlah “orang kuat” untuk melenyapkannya. Tapi tampaknya
bukan The X-Files itu yang paling penting, karena bisa saja dikirim
lewat email atau dengan cara lain, melainkan keberadaan Munir di
Belanda-lah yang paling ditakutkan oleh para oknum yang terlibat
pelanggaran HAM berat.
Kalau
sampai Munir tiba dalam keadaan hidup di Belanda, dia bisa memberikan
kesaksian kepada Mahkamah Internasional, sebuah lembaga dunia yang
berkedudukan di Belanda dan telah banyak menghukum para diktator dan
petinggi militer dari berbagai negara yang melakukan kejahatan
kemanusiaan.
Sampai
sekarang, belum seorang pun yang divonis sebagai penjahat kemanusiaan
oleh Mahkamah Internasional bisa lolos dari jerat hukum. Mungkin inilah
yang ditakutkan oleh mereka, sehingga Munir dibunuh dalam perjalanan
menuju Belanda.
Dengan
makin meningkatnya “bobot” tokoh yang dijadikan tersangka, tampaknya
kasus ini akan melebar ke mana-mana. Dan dilihat dari segi waktu,
mungkin awal kasus ini bukanlah saat Munir ditemukan mati keracunan
arsenik tahun 2004; tapi boleh jadi sudah direkayasa sejak tahun 1998.
Yang
pasti, bagi peminat cerita spionase, kisah ini pasti sangat memikat.
Dan sebagai pecandu cerita spionase sejati Anda perlu diingatkan, jangan
terpaku hanya pada kasus pembunuhan Munir. Kematian aktivis ini,
tampaknya hanyalah kasus kecil dibanding tragedi sosial yang terjadi di
berbagai tempat di Indonesia dalam kurun waktu satu dekade ini, dari
tahun 1998 sampai sekarang.
Use your illusion,
kata Gun N Roses. Gunakan sel abu-abu di kepala Anda, kata Hercule
Poirot. Ayo berpikir merdeka, kata provokator di blog ini, hehehehe…..
8 Kasus Pembunuhan Paling Misterius Di Indonesia
http://bagusseven.blogspot.com/2013/03/8-kasus-pembunuhan-paling-misterius-di.html
Berikut dibawah ini adalah beberapa kasus besar di Indonesia yang hingga kini tetap masih menjadi misteri dan belum tuntas penyelesaiannya baik secara hukum maupun keberadaan fisik ataupun siapa pelaku sebenarnya.
1. Kasus Sum Kuning (1970)
Ini adalah kasus getir dan pahit
dari seorang gadis muda bernama Sumarijem seorang gadis muda dari kelas bawah seorang penjual telur dari
Godean Yogyakarta yang (maaf) diperkosa oleh segerombolan anak
pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta kala itu.Kasus ini merebak
menjadi berita besar ketika pihak penegak hukum
terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas.
Pertama-tama Sum Kuning disuap agar tidak melaporkan kasus ini kepada
polisi. Belakangan oleh polisi tuduhan Sum Kuning dinyatakan sebagai dusta. Seorang
pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku
sebagai pelakunya.
Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang saat
itu berusia 18 tahun tengah menanti bus di pinggir jalan dan tiba-tiba
diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa pria, didalam mobil
Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan diri, Ia
dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga
tak sadarkan diri.
Kasus ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang).
Kasus ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang).
Dalam bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning
ditinggalkan ditepi jalan, Gadis malang ini pun melapor ke polisi.
Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat
laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita
yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak
mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi
mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.Karena
melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding
anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar
menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.Kasus
Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang
ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan
penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam
persidangan Trimo menolak mentah-mentah. Jaksa menuntut Sum
penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak
tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan
Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus
dibebaskan.Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum
selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa
mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga
membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis
bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto
dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan
Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang
memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning."Perlu diketahui
bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita
hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita
tindak," tegas Hoegeng.Hoegeng membentuk tim khusus untuk
menangani kasus ini. Namanya 'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk
Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju.
Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat,
membantah lewat media massa.Belakangan Presiden Soeharto sampai
turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana,
Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat
Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara
yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang
dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai
ditangani Kopkamtib??
Dalam kasus persidangan perkosaan Sum,
polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya
anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para
terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka
bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia
kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah dikenalnya saat masih
dirawat.
Tapi siapakah pelaku pemerkosaan sebenarnya dari Sum
Kuning masih menjadi tanda tanya besar sampai saat ini sebab baik Sum
Kuning tetap pada pendiriannya bahwa pemerkosanya adalah sekumpulan anak
pejabat maupun 10 pemuda anak orang biasa yang diajukan ke pengadilan
dan membantah habis-habisan tuduhan yang diajukan kepada mereka dan
dijadikan sebagai kambing hitam untuk menutupi para pelaku sebenarnya.
2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi
2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi
Menjelang Reformasi di
tahun 1998 ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik paksa oleh militer
dan hingga kini keberadaan mereka masih menjadi misteri, jika mereka
sudah meninggal dimanakah mereka dikuburkan dan alasan apa yang
menyebabkan sehingga militer menculik ke-13 orang aktivis ini. Mereka
adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri,
Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul,
Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser.
Pasukan Kopassus dari tim
mawar dianggap bertanggung jawab atas peristiwa menghilangnya ke-13
aktivis tersebut dimana ada 24 orang yang diculik namun 9 orang berhasil
bebas yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J Mahesa, Faisol Reza,
Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja
Waluya Jati.
Sementara 1 orang lagi
yakni Leonardus Nugroho (Gilang) yang sempat dinyatakan hilang lalu 3
hari kemudian ditemukan telah meninggal dunia di Magetan dengan luka
tembak dikepalanya.
Karena kasus ini sempat
membuat heboh di tahun 1998 dan atas desakan berbagai pihak didalam
maupun luar negri pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima ABRI saat itu,
Jend Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai oleh Jend
TNI Soebagyo HS yang saat itu menjabat sebagai KSAD, dan wakil ketua
terdiri dari Let Jen TNI Fahrur Razi (Kasum ABRI), Let Jen Yusuf
Kartanegara (Irjen Dephankam) dan anggota yang terdiri dari : Let Jen
Soesilo Bambang Yudhoyono yang kini menjadi Presiden RI (Kassospol
ABRI), Let Jen Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Let Jen Djamiri
Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen AKABRI).
Pada tanggal 24 Agustus
1998 Letnan Jendral Prabowo Subianto selaku Panglima Komando Cadangan
Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas kemiliteran.
Menindaklanjuti keputusan dari Menteri Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto, dilakukan penyelidikan oleh PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari Kopassus diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis 1998 tersebut.
Menindaklanjuti keputusan dari Menteri Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto, dilakukan penyelidikan oleh PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari Kopassus diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis 1998 tersebut.
11 anggota Kopassus
diadili secara militer namun KONTRAS dalam siaran pers nya menyebutkan
:"Proses peradilan terhadap 11 anggota Kopassus terdakwa penculikan itu
tidak lebih hanya sebuah rekayasa hukum untuk memutus pertanggung
jawaban Letnan Jendral Prabowo Subianto yang sebenarnya paling
bertanggung jawab atas operasi ini. Hal tersebut
jelas bertolak belakang dengan hasil pemeriksaan DKP yang membuktikan
bahwa Letjen Prabowo lah yang bertanggung jawab atas penculikan itu,
karena itulah akhirnya ia dipensiunkan. Jadi secara keseluruhan kami
berkesimpulan bahwa persidangan itu tidak lebih dari sebuah pertunjukan
dagelan yang tidak lucu. Oleh sebab itu KontraS bersama keluarga korban
tetap menuntut Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR serta Kolonel
Chairawan segera diseret ke pengadilan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab atas kasus penculikan ini”
Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II
Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD / MMT – II/ IV/ 1999.
Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ;
No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman
No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman
1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan / dipecat, 2 Kapten (Inf) F.S
Multhazar 20 bulan / dipecat, 3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan /
dipecat, 4 Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat, 5 Kapten
(Inf) Untung Budi Harto 20 bulan / dipecat, 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra
Yuda 16 bulan / dipecat, 7 Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan /
dipecat, 8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat, 9 Sersan
Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat, 10 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12
bulan / dipecat, 11 Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat
Namun proses
pengadilan tersebut tetap saja tidak memberikan kepastian dimanakah
mereka menahan para aktivis tersebut dan jika sudah meninggal dimanakah
mereka menguburkan atau membuang mayat ke-13 aktivis yang hilang
tersebut.
3. Penembak Misterius (Petrus) 1982-1985.
3. Penembak Misterius (Petrus) 1982-1985.
Petrus atau juga dikenal
sebagai operasi clurit dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah operasi
rahasia dimasa pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali
(Gabungan anak liar) dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu
keamanan dan ketentraman masyarakat kala itu.
Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya.
Kemungkinan besar adanya
operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982 saat
memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas
keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat,
lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI
dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif
dalam menekan angka kriminalitas.Karena permintaan atau perintah
Soeharto disampaikan pada acara
kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi
aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak
disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi
bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta
yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat
yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk
melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit
di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban
Operasi Celurit pun mulai berjatuhan.
Petrus pada awalnya
beraksi secara rahasia namun lambat laun aksi mereka seperti sebuah
teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar,
pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai
pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya
tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus (Penembak
Misterius) yang tewas sebanyak
107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun
1985, tercatat 74 korban Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28 di
antaranya tewas karena
tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi
tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung
dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai,
hutan-hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau
bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek shock
therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan
para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput
aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai Petrus yang
berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun akhirnya
berkomentar.ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero
Jakarta dan
massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani
sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu
memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi
mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum
pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap”
komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani
melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan
garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang
bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat
yang mati secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan
Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus
penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus
diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum.
“Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu
diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai
negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan,
“Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini
pada kehancuran.”
Tindakan tegas para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra.
Pendapat yang pro, Petrus pantas diterapkan kepada target yang memang
jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang kontra menyatakan
keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas teri atau mereka yang
hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar
yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar
Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang
berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu
dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap
bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang
itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat
melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri
menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu terjadi akibat
meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga
masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran
jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia
kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian
antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu
akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan
itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan
penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya
hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun
kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar
belakang permasalahannya dimana ia mengatakan Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi
kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan
makin meluas. Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513
Pak Harto berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment
therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor!
Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus
ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya
ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan.
Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada
yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa
menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan.
Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”
Namun jika para petinggi
militer maupun presiden sendiri menyatakan bahwa penembakan terhadap
para preman karena melawan saat hendak ditangkap bagaimana Moerdani
menjelaskan para korban Penembakan Misterius yang ditemukan dalam
goni-goni dengan tangan terikat atau yang dihanyutkan di sungai? atas
kordinasi siapakah para Penembak Misterius itu menjalankan perintah?
4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje
4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje
Diera tahun 1980an ada
seorang peragawati ternama yang cantik bernama Dietje yang bernama
lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas dibunuh
dengan tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak
kemudian mayat nya dibuang disebuah kebun karet dibilangan kalibata yang
sekarang menjadi komplek perumahan DPR. Setelah kasus tersebut marak di
media massa, Polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama
aslinya tidak diketahui dan hanya dikenal dengan panggilan Pakde dikenal
juga sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia adalah seorang dukun. Yang
entah dengan alasan dan motif apa yang tidak jelas ia dianggap sebagai
pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu penting karena Polisi
mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki bukti yang kuat".
Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP
yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak
tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang.
Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan
terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang
meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan.
Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis
hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup namun publik saat itu sudah mengetahui
rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu dari orang
paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini
tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi
satu-satunya kepada media atau publik berasal
dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk
‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde.
Dietje disebutkan dipakai
sebagai "Jasa" oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia
usaha dan untuk memuluskan bisnisnya Dietje dipakai oleh sang eks
petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang paling berkuasa di
Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’ pengusaha mendapat
satu kontrak
besar pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje
berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika perselingkuhan itu ‘bocor’ ke
keluarga besar, keluar perintah memberi pelajaran kepada Dietje, hanya
saja ‘kebablasan’ menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian
kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan
keluar kompleks kediamannya di daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin
yang dikenal sebagai guru spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap,
dipaksa mengakui sebagai pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup
dan sempat dipenjara
bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat grasi dari
Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup
menjadi 20 tahun di tahun 1999.Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat
meninggalkan hotel prodeo setelah pemerintah memberikan kebebasan
bersyarat. Setelah
menghirup udara bebas, Pak De lebih sering
mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga
sudah berwarna kelabu. Kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: “Pak De tidak membunuh Ditje". Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya,"
kata Pak De. Siapakah pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama
yang saat itu dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini
keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil
5. Kasus Pembunuhan Udin
5. Kasus Pembunuhan Udin
Udin adalah seorang
wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh seseorang
tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada
selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang
kemudian menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996 Udin harus
mengembuskan nafas terakhirnya.
Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.
Kasus Udin menjadi ramai
karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto dilaporkan telah
membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut dan
mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan.
Kasus Udin menjadi gelap
akibat hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus
kematian sang wartawan dan juga terdapat beberapa orang yang dikambing
hitamkan atas peristiwa kematian Udin.
Seorang wanita bernama
Tri Sumaryani mengaku ditawari dengan imbalan sejumlah uang untuk
membuat pengakuan bahwa ia dan Udin telah melakukan hubungan gelap dan
suaminya lah yang telah membunuh Udin.
Lalu Dwi Sumaji alias
Iwik seorang supir dari Dymas Advertising Sleman diculik di perempatan
Beran Sleman lalu dibawa ke Hotel Queen of the South Parangtritis dan
dipaksa oleh Serka Edy Wuryanto yang memiliki nama panggilan Franky agar
mengaku sebagai pembunuh Udin, sebelumnya di sebuah losmen bernama
Losmen Agung yang juga berada di parangtritis Iwik dicekoki
berbotol-botol minuman keras hingga mabuk dan disuguhi wanita penghibur
dan diberi janji uang, pekerjaan yang layak serta jaminan hidup buat
keluarganya dimana sebelumnya ia dijebak oleh Edy Wuryanto dengan dalih
pembicaraan bisnis Billboard. Di pengadilan Iwik mencabut seluruh
"pengakuan" dirinya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Polisi karena
ia sebagai korban rekayasa dan berada dibawah ancaman tekanan dan
paksaan oleh Kanit Reserse Polres Bantul Serka Edy Wuryanto.
Komnas HAM mengadakan
investigasi lapangan dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran Hak
Asasi Manusia namun tetap saja Iwik dijadikan sebagai tersangka utama
oleh Polisi dan diajukan ke persidangan, walau penuh teror dari berbagai
pihak akhirnya Iwik divonis bebas oleh majelis hakim dan motif
perselingkuhan yang selama ini dihembuskan secara otomatis gugur selain
itu majelis hakim memerintahkan agar polisi mencari, mengungkap motif,
dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya.
Dalam kesaksiannya di persidangan Iwik menyatakan bahwa dirinya selain menjadi korban rekayasa dan
bisnis politik, ia hanya dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki
alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan
Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
Namun hingga kini para
pelaku kejahatan pembunuhan terhadap sang wartawan yang kritis tersebut
tidak ada yang ditangkap atau diadili ke meja hukum.
6. Kasus Marsinah
6. Kasus Marsinah
Marsinah hanyalah seorang
buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya
(CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada
tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr
Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan
berat.
Marsinah adalah salah
seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan
dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para
buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No.
50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20%
gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh
karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya
(PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya,
karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993
menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap
menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk
kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo
untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil
pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh
rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada
tanggal 8 Mei 1993.
Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan
Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur
resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan
satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun
mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui
sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh
Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang
ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di
tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.
Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya
rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10
orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah
kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga
hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun,
namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Kasus ini menjadi catatan
ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah
kelam ranah hukum di Indonesia.
7. Kasus Menghilangnya Edy Tansil
7. Kasus Menghilangnya Edy Tansil
Edy Tansil adalah seorang pengusaha keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas
anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah
menjalankan bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi dari
perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian
Provinsi Fujian China.
Di tahun 2007 Tempo
interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan
temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK
menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke
Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil
tetap masih menjadi misteri.
Ada beberapa koruptor
yang juga melarikan diri ke luar negri dan hingga kini keberadaan mereka
tidak terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin Lis, Sjamsul
Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu
Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih banyak lainnya.
8. Kasus Munir
8. Kasus Munir
Munir sebenarnya akan
melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda dan dalam kronologi
kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang
memasuki pintu pesawat, Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot
pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas dan Polycarpus menawarkan
kepada Munir untuk berganti tempat duduk pesawat dimana Munir menempati
kursi Polycarpus dikelas bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir
dikelas ekonomi.
Sebelum pesawat
mengudara, flight attendant (Pramugari) Yetti Susmiarti dibantu
Pramugara senior Oedi Irianto membagikan welcome drink kepada para
penumpang dan Munir memilih Jus Jeruk.
Pukul 22.05 WIB pesawat
lepas landas dan 15 menit kemudian kembali Flight Attendant membagikan
makanan dan minuman kepada para penumpang, Munir memilih mi goreng dan
kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya, setelah mengudara hampir 2
jam pesawat mendarat di bandara Changi Singapura.
Di bandara Changi Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda dari perjalanan Jakarta menuju Singapura.
Di bandara Changi Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda dari perjalanan Jakarta menuju Singapura.
Dalam perjalanan Munir
meminta kepada flight attendant Tia Ambarwati segelas teh hangat dan Tia
pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas
diatas troli dilengkapi gula sachet.
Tiga jam setelah
mengudara Munir bolak balik ke toilet, saat berpapasan dengan Pramugara
bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi seorang dokter yang
ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga menuju Belanda,
Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu
mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi
berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir
kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu
pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil
batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak
obat yang dimiliki pesawat.Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan
tersegel. Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu
sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut
mulas dan obat muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat
di tasnya. Dia memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu
tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag.
Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit
garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke
toilet. Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam,
kepada Munir sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian
tertidur selama tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet.
Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh
lemas di toilet.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan
Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak
tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan
matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal
dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.
Setelah dilakukan
penyelidikan termasuk oleh pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa
didalam tubuh Munir ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak 460mg
didalam lambungnya dan 3.1mg/l dalam darahnya.
Namun terdapat
keanehan setelah dilakukan otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo dimana
kandungan arsenik yang ditemukan didalam lambung Munir sedikit ganjil
karena seharusnya kandungan arsenik tersebut sudah hancur/melarut.
Ini
terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir
baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini
juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama organ
tubuh Munir. Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu
dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar
benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak
lain. Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara
lain: ada pembengkakan otak, paru paru yang mengalami kerusakan, mulut
keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik
masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban
mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang.
Apapun itu penyebab
kematian aktivis HAM tersebut namun hingga kini tampaknya kasus tersebut
belum tuntas walaupun ada beberapa orang yang telah dijatuhi vonis oleh
pengadilan namun Suciwati selaku istri Munir tetap merasa tidak puas
dan meminta pemerintah menuntut secara tuntas kasus kematian suaminya.
Apakah
ini tindakan kontra intelijen ataupun sebuah operasi pembunuhan oleh
intelijen? tidak ada yang mengetahui kejadian sebenarnya kecuali mungkin
para pelaku utama pemberi perintah untuk membunuh sang aktivis. Namun
yang pasti didalam sebuah kasus pembunuhan terencana harus ada motif dan
tujuan dari melenyapkan seseorang, apakah pihak dinas intelijen RI
begitu bodoh untuk membunuh seseorang yang secara aktif mengkritisi
berbagai persoalan HAM di indonesia dan jika ia dihilangkan secara paksa
pasti mata dan tuduhan internasional pasti akan mengarah kepada
pemerintah Indonesia, dan pihak militer serta badan intelijennya, atau
mungkin ada beberapa pihak yang telah gelap mata akibat sikap kritis
dari Munir yang membuat mereka mengambil keputusan untuk menghabisinya,
sebuah misteri yang belum terungkap hingga kini.
Membongkar Tokoh Dibalik Pembunuhan Munir
Januari 4, 2009
Mengungkap Dalang Pembunuh Munir : Mungkinkah Keterlibatan Petinggi Indonesia?
Sebuah Opini
‘sederhana’ untuk mengenang kematian Munir - Sang Aktivis HAM
Indonesia, juga atas kehilangan teman-teman aktvitis dan
mahasiswa 97-98, serta keprihatinan lembaga “Adhyaksa” yang telah
memvonis bebas mantan terdakwa Muchdi PR di pengujung akhir tahun yang
kelam.
echnusa
echnusa
Pengantar
Lirik ERK : “Di udara”
Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai dimana kapan?
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Aku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Dikursi listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..
Munir Said Thalib, pejuang HAM Indonesia,
4 tahun silam tewas diracun arsenik dalam perjalanannya menuju
Amsterdam dari Jakarta. Berbagai kemungkinan pihak dibalik pembunuhan
sampai saat ini belumlah terungkap sepenuhnya. Aksi-aksi perjuangan
pendiri KontraS (Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan) ini,
Munir, menjadi ‘musuh berbahaya’ bagi lawan-lawannya.
Kebencian para penguasa orde baru
terhadap gerakan ‘human right’ Munir sangatlah beralasan. Mereka
[penguasa] yang telah semena-mena menindas, membunuh, dan membantai
rakyat kecil mendapat perlawanan keras dari Munir. Munir tanpa lelah
terus mencari fakta dan realita untuk mengungkap kasus-kasus pembantaian
orang dan rakyat yang tidak berdosa. Meskipun dirinya dan keluarganya
menerima berbagai ancamam pembunuhan, Munir tetap melangkahkan
perjuangannya dengan darah jadi taruhannya.
Kematian Munir di pesawat Garuda pada 7
September 2004, menjadi kemenangan terbesar para penjahat kemanusiaan di
negeri ini. Ada begitu banyak deretan nama-nama penguasa Orde Baru yang
masih ‘berkeliaran bebas’ di negeri ini. Tidak hanya berkeliaran,
bahkan tidak sedikit dari mereka menjadi ‘pahlawan’ yang dinantikan oleh
masyarakat kita yang masih ‘melek realitas’.
Kronologis Pengadilan Munir
Munir, Sang Pilot Garuda
Orang pertama yang menjadi tersangka
pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus
Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7 September
2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas
palsu dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan
Munir semakin terkuat tatkala Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah
tempat duduk dengannya. Sebelum pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima
beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen
intelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP
dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara.
Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus
tidak mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan
skenario pemalsuan surat tugas dan hal-hal yang janggal, membuktikan
Pollycarpus adalah pihak yang telah menghabiskan nyawa ‘pahlawan HAM
Indonesia”. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh
Munir?? Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir?? Tidak ada
historis yang menggambarkan hubungan mereka berdua.
Muchdi PR, Sang Agen Intelijen
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap
nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior
adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi
Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai
Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto
(pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai
Deputi Badan Intelijen Indonesia (CIA-nya Indonesia)
Muchdi PR ditangkap pada 6 Juni 2008.
Lalu ia disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada awal
Desember 2008, jaksa penuntut umum (JPU) kasus pembunuhan Munir menuntut
Muchdi PR dihukum 15 tahun penjara. Muchdi PR terbukti menganjurkan dan
memberikan sarana kepada terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto untuk
membunuh Munir.
Jaksa juga memaparkan sejumlah fakta yang
terungkap dari keterangan saksi, barang bukti, dan keterangan terdakwa
selama 17 kali sidang. Di antaranya adalah surat dari Badan Intelijen
Negara yang ditujukan kepada Garuda Indonesia pada Juni 2004 yang
merekomendasikan Pollycarpus sebagai petugas aviation security. [hal aneh, mengapa BIN ikut campur urusan bisnis Garuda hingga merekomendasi Pollycarpus untuk ikut terbang 'bersama' Munir]
Budi Santoso [sebagai saksi] yang
menyatakan pernah mendengar Pollycarpus disuruh Muchdi membunuh Munir.
Jaksa juga menunjuk bukti transaksi panggilan dari nomor telepon yang
diduga milik Pollycarpus ke nomor yang diduga milik Muchdi, atau
sebaliknya, yang tercatat dalam call data record. Selain itu, dalam
persidangan Muchdi PR memberikan keterangan berubah-ubah dan beberapa
kali bertindak tidak sopan.
Usaha para jaksa membongkar kasus
pembunuhan dan menuntut pelaku pembunuh kandas ditangan majelis hakim PN
Jakarta Selatan yang diketuai Suharto. Tanggal tanggal 31 Desember
2008, majelis hakim menvonis bebas Muchdi Pr atas keterlibatannya dalam
pembunuhan aktivis HAM – Munir. Kurangkah bukti di pengadilan? Ataukah
ada rupiah atau ancaman yang diterima oleh para ‘penegak hukum’ di
institusi peradilan kita???
Inikah keputusan yang adil bagi perjuangan keadilan dan hak asasi manusia, tatkala Pollycarpus BP terbukti membunuh atas ‘bimbingan’ BIN dan telah divonis 20 tahun penjara?
Inikah keputusan yang adil bagi perjuangan keadilan dan hak asasi manusia, tatkala Pollycarpus BP terbukti membunuh atas ‘bimbingan’ BIN dan telah divonis 20 tahun penjara?
Langkah Hukum
Meski ditengah krisis kepercayaan
institusi hukum di negeri ini, pihak berwajib harus mengajukan kasasi ke
lembaga hukum lebih tinggi atas putusan bebas tersebut. Karena jika
putusan bebas, dapatkah kita mencari dalang pembunuh sebenarnya?
Menurut saya, yang pasti Pollycarpus
hanyalah ‘alat’ yang digunakan oleh pihak penguasa, dalam hal ini mantan
terdakwa Muchdi PR. Disisi lain, saya melihat bahwa Muchdi PR bukanlah
satu-satunya orang dibalik pembunuhan Munir. Saya berkeyakinan bahwa
Muchdi PR hanyalah rekanan dari penguasa lain yang menginginkan agar
Munir dieksekusi. Siapakah itu?
Untuk menelusuri hal tersebut, saya akan
berusaha mencari referensi kasus-kasus besar dan penting yang ditangani
oleh Munir, terutama kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pihak penguasa
Orde Baru.
Ada beberapa kasus penting yang pernah
ditangani oleh (alm) Munir yang memungkinkan [menurut opini saya]
mereka/pihak yang berseberangan dengan Munir memiliki niat untuk
menghabisi nyawa Munir. Dan kita tahu bahwa, banyak saksi, pembela,
jaksa dinegeri ini ditindas, diancam bahkan dibunuh oleh para tersangka
‘penjahat, perampok,pembunuh’. Sebut saja, hakim Agung, M. Syafiuddin
Kartasasmita, yang dibunuh atas perintah Tommy Soeharto, karena sedang
mengadili kasus korupsinya.
Berikut daftar kasus ‘penting dan berbahaya’ yang ditangani Munir:
– Penasehat Hukum masyarakat Nipah,
Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas
pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
– Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
– Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
– Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999
– Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
– Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
– Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
– Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999
– Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
Usaha Mencari “Induk Semang” Penculikan
Kita tahu bahwa mereka yang berjuang
melawan pemerintah yang tiran di zaman orde baru akan dihilangkan
[dihabisi]. Dari tahun 1997-1998, tercatat minimal ada 24 orang aktivis
dan mahasiswa yang ditangkap oleh pasukan khusus era Soeharto hingga
saat ini dinyatakan hilang [dihilangkan oleh penguasa]. Jika di era
80-an dan awal 90-an dikenal Petrus, maka menjelang kerusuhan Mei 1998,
untuk membendung aksi anti-pemerintah Soeharto, maka Soeharto pun
menyiapkan ‘keamanan’ yang lebih khusus.
Salah satu divisi ‘loreng’ yang bertindak
‘mengamankan’ situasi adalah Kopassus dengan TIM MAWAR-nya. Ratusan
aktivis ditangkap dan disiksa, serta sebagian “top of the top activist”
hilang bak ditelan bumi. Terutama mereka yang ‘suka’ berbicara HAM
kepada pemerintah. Salah satu tokoh yang saya angkat adalah Wiji Thukul,
seorang sastrawan puisi.
Wiji Thukul, terkenal dengan puisi yang
‘menyayat wibawa pemerintah’ karena berisi kritikan terhadap
ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia. Semenjak
Tragedi 27 Juli 1996, ia menjadi buruan aparat. Akibat suaranya yang
vokal, selama hampir 6 bulan, ia terpaksa menghindar dari kejaran aparat
[kalau tertangkap, yah......habiiiiss!]. Ia tidak bisa pulang. Keadaan
memaksanya untuk pergi, berlari tanpa bisa berhenti, menyelamatkan diri
dengan meninggalkan istri dan kedua anaknya. Dan suara seorang suami,
masih terdengar terakhir kali oleh istrinya pada Februari 1998 (6 bulan
setelah Tragede 27 Juli). Setelah itu…ia ‘hilang’ dan sangat mungkin
dihilangkan.
Biografi Wiji Thukul (silahkan baca)
Biografi Munir (silahkan baca)
Tak pelak lagi, Munir pun salah satu
korban, ‘anak manusia’ yang terlalu ‘galak’ kepada pemerintah yang
tiran. Alm. Munir tahu betul siapa pelaku Tragedi 27 Juli 1997, dan
siapa dibalik penangkapan aktivitis yang menyeret ‘petinggi orba’. Meski
pada saat itu ia belum punya bukti-bukti lengkap untuk menjebloskan
para ‘tiran’, dan hingga sebelum ajal menjemputnya, Alm. Munir terus
berjuang membela para korban dengan mengumpul sebanyak mungkin bukti dan
saksi. Dan hingga saat ini pun, lembaga ‘adhyaksa’ [pengadilan] kita
belum mampu mengungkap tragedi 27 Juli karena kekurangan bukti, saksi
yang bungkam hingga masih kuatnya pengaruh oknum orba di saat ini…..
Dari uraian di atas, kita pun bisa menduga-duga, siapa sih pelaku
penculikan? Siapa sih yang merasa terancam jika Munir masih bisa
bernafas, menatap, dan berbicara? Selama lebih 6 tahun kejatuhan rezim
Orba akhirnya Munir, pihak yang terancam sudah pasti mencari momen yang
tepat untuk menghabisi ‘pahlawan HAM’ tersebut. Akhirnya, 1 bulan
menjelang pelantikan Presiden terpilih SBY Oktober 2004, pada tanggal 7
September 2004 Munir tewas diracun.“Institusi Penculikan”
Belajar dari pengalaman masa lalu,
duga-dugaan kita akan semakin mengerucut pada beberapa tokoh dibalik
peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1997-1998. Petinggi-petinggi yang
menguasai tampuk kekuasaan yang ‘memungkinkan’ melakukan ‘agresi’ pada
rakyat kecil, adalah MILITER. Siapakah petinggi militer yang berpotensi
sebagai tersangka penculikan, pembunuhan?
Hanya ada beberapa yang sangat berpontensi yakni Kopassus ataupun Kostrad. Hanya ada 2 kemungkinan yang sangat menonjol : Komando Pasukan Khusus atau Komando Strategis Angkatan Darat. Di era Soeharto, hierarki Kopassus dan Kostrad bisa langsung ‘dibisikkan’ oleh Presiden, tanpa ‘bersungkem’ kepada Pangab yang dijabat Jendral Wiranto.
Hanya ada beberapa yang sangat berpontensi yakni Kopassus ataupun Kostrad. Hanya ada 2 kemungkinan yang sangat menonjol : Komando Pasukan Khusus atau Komando Strategis Angkatan Darat. Di era Soeharto, hierarki Kopassus dan Kostrad bisa langsung ‘dibisikkan’ oleh Presiden, tanpa ‘bersungkem’ kepada Pangab yang dijabat Jendral Wiranto.
Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa
institusi yang bertanggung jawab langsung atas penculikan para aktivis
dan mahasiswa yang vokal pada saat itu adalah “TIM MAWAR“,
suatu tim khusus yang dibentuk oleh KOPASSUS yang dipimpin oleh Letnan
Jendral Prabowo Subianto, Sang menantu Soeharto pada saat iu. Sedangkan
yang bertanggungjawab mengendalikan aksi demonstrasi Mahasiswa pada Mei
1998 salah satunya adalah campur tangan satuan Kostrad yang dipimpin
oleh Mayor Jenderal Muchdi PR. Setelah Prabowo dicopot dari Kopassus,
maka posisi ini akhirnya dipegang oleh Muchdi PR.
Sehingga wajar, jika sebagian kecil
masyarakat beropini bahwa “para petinggi Kopassus bertanggung jawab
terhadap penculikan” dan “para petinggi yang merasa terancam atas
desakan hukum atas penculikan adalah ‘otak’ pembunuhan Munir”. Opini
sederhana yang ditarik oleh masyarakat awam dari sebuah kisah kelam yang
sedikit demi sedikit terbongkar. Tetapi, namanya politik, intrik dan
kekejaman memang sulit untuk ditebak maupun sulit untuk diduga, apalagi
dibuktikan dalam waktu seumur jagung.
Jadi, wajarkah jika beberapa orang
berpendapat bahwa “petinggi institusi yang terlibat atas dua kasus
tragedi ’98 (penculikan dan pembunuhan) tersebut” yang menjadi tokoh
intelektual pembunuhan Munir. Dua institusi tersebut, tak lain-tak bukan
: Koppasus, dan Kostrad. Sah-sah saja, jika ada yang berpendapat
seperti itu. Tetapi, karena negara kita adalah negara hukum, maka
masyarakat kita pun dibatasi agar tidak menuduh orang yang belum ada
bukti bersalah sebagai pelaku. Yang hanya bisa dilakuan masyarakat
adalah menduga. Ingat masih menduga [jadi masih diwilayah abu-abu].
Meskipun demikian, opini sebagian
masyarakat perlu dicermati mendalam, tatkala saat ini, para mantan
petinggi “Institusi militer yang bermasalahan tersebut” yakni Prabowo
dan Muchdi begitu akrab serta bersama-sama mendirikan Partai Gerindra.
(Prabowo sebagai Ketum dan Muchdi PR sebagai Waketum).
Sehingga timbul pertanyaan mungkinkah kedua mantan ini terlibat??? [terlibat dalam pembunuhan Munir]
Just an opinion. Not an incrimination.
-opini kritis–by echnusa – 4 Jan 2009
-opini kritis–by echnusa – 4 Jan 2009
Sumber Referensi:
www.munir.co.id
www.kontras.org
www.tempointeraktif.com
www.tokohindonesia.com
www2.kompas.com
www.vivanews.com
http://id.wikipedia.org
www.munir.co.id
www.kontras.org
www.tempointeraktif.com
www.tokohindonesia.com
www2.kompas.com
www.vivanews.com
http://id.wikipedia.org
Lamp I : Kisah Tokoh ‘Harapan Petani Indonsia” – Prabowo
Pada 1995 ia dipercaya sebagai Komandan
Jendral Kopassus. Pada saat itulah, Prabowo diduga mendalangi penculikan
dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis, yang dilakukan oleh
sebuah tim yang disebut Tim Mawar. Hingga kini para korban masih belum
ditemukan.
Pada 1998, Prabowo ditunjuk menjadi
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Tapi, jabatan
ini tak lama dipegangnya, karena keburu meletus peristiwa Mei 1998.
Peristiwa Mei banyak dipercaya sebagai sebuah skenario dari kekuatan
militer, yang menurut kontroversi, melibatkan polemik internal militer,
antara Prabowo dengan Panglima ABRI Wiranto.
Akibatnya Prabowo dipindah tugaskan
menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Melalui sidang
pertimbangan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), Panglima ABRI
memberhentikan Letnan Jenderal Prabowo dari dinas kemiliteran.
Setelah dinonaktifkan dari militer, Prabowo pergi ke Yordania. Di sana ia memperoleh status kewarganegaraan setempat , dan diperlakukan dengan baik oleh Raja Yordania, temannya saat mengikuti pelatihan militer. Setelah melewati masa sulit di Yordania, Prabowo beralih menjadi pengusaha. Tiga tahun kemudian, November 2001, ia kembali ke Indonesia.
Setelah dinonaktifkan dari militer, Prabowo pergi ke Yordania. Di sana ia memperoleh status kewarganegaraan setempat , dan diperlakukan dengan baik oleh Raja Yordania, temannya saat mengikuti pelatihan militer. Setelah melewati masa sulit di Yordania, Prabowo beralih menjadi pengusaha. Tiga tahun kemudian, November 2001, ia kembali ke Indonesia.
Pada pilpres 2004, Prabowo ikut dalam
konvensi Partai Golkar, tapi kandas diputaran ke-dua konvensi partai
tersebut. Dengan kecerdasannya, Prabowo langsung tancap gas, ia mencari
organisasi yang diinginkan oleh rakyat agar jalan menuju Istana menjadi
kincrong. Yah…HKTI lah kendaraan utamanya untuk mendapat citra positif
dari rakyat. Ia dipilih menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) pada 5 Desember 2004. Ia menggantikan Siswono Yudo
Husodo yang sebelumnya mengunakan HKTI untuk menjadi Cawapres bersama
Amien Rais pada pilpres 2004.
Lamp II : Catatan Suram Kopassus di Tahun 1998*
– Pada tahun 1998, Kopassus dituding
[sulit untuk membuktikan] dengan ertanggung jawab terhadap kegiatan
penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis pro demokrasi yang
dilakukan Tim Mawar.
– Keterlibatan peristiwa Mei 1998. Banyak hasil penelitian tim pencari fakta independen menemukan adanya organisasi terstruktur rapi dalam militer yang dengan sengaja dan maksud tertentu menyulut kerusuhan massa di Jakarta dan Surakarta (kedua kota tersebut secara kebetulan adalah daerah basis/markas Kopassus, yaitu Cijantung-Jakarta dan Kandang Menjangan-Surakarta).
–Pada 2007 masalah Tim Mawar ini kembali mencuat ke permukaan melihat kenyataan bahwa 11 tentara yang terlibat (6 di antaranya dipecat pada 1999), ternyata tidak jadi dipecat tetapi tetap meniti karir, naik pangkat dan beberapa diketahui memegang posisi-posisi penting seperti Dandim dengan pangkat kolonel. Panglima TNI menyatakan hanya 1 dari 6 perwira tersebut yang benar-benar dipecat.
– Keterlibatan peristiwa Mei 1998. Banyak hasil penelitian tim pencari fakta independen menemukan adanya organisasi terstruktur rapi dalam militer yang dengan sengaja dan maksud tertentu menyulut kerusuhan massa di Jakarta dan Surakarta (kedua kota tersebut secara kebetulan adalah daerah basis/markas Kopassus, yaitu Cijantung-Jakarta dan Kandang Menjangan-Surakarta).
–Pada 2007 masalah Tim Mawar ini kembali mencuat ke permukaan melihat kenyataan bahwa 11 tentara yang terlibat (6 di antaranya dipecat pada 1999), ternyata tidak jadi dipecat tetapi tetap meniti karir, naik pangkat dan beberapa diketahui memegang posisi-posisi penting seperti Dandim dengan pangkat kolonel. Panglima TNI menyatakan hanya 1 dari 6 perwira tersebut yang benar-benar dipecat.
Terima kasih kawan!
Anda telah mengorbankan darah dan nyawa untuk berjuang dan menghadang mereka yang telah menindas, menyengsarakan, memborgol suara, dan membunuh hak-hak hidup dan berwarganegara.
Anda telah mengorbankan darah dan nyawa untuk berjuang dan menghadang mereka yang telah menindas, menyengsarakan, memborgol suara, dan membunuh hak-hak hidup dan berwarganegara.
NAMUN DIKETAHUI.. BAHWA PRABOWO PADA SAAT ITU SUDAH BUKAN DI KOPASUS..TETAPI SEBAGAI KOMANDAN KOSTRAD..DAN JAUH DARI LINI KOMANDO... MK KEMUNGKINAN VIA KSAD-KODAM-ATAW JALUR KHUSUS DARI PANGLIMA....?? SECARA HUKUM DAN FAKTA.. PRABOWO JAUH DAEI KETERLIBATAN ITU.. ?? KONON KATA AHLI HUKUM HANURA ELZA SYARIF BERDSARKAN DARI BUKTI2 HUKUM DAN JALUR KOMANDO ABRI.. JADI ISSUE PRABOWO TERLIBAT ..HANYA OLEH DKP.. YANG NOTA BENE SENIOR PRABOWO DAN KELAS AKABRI DIATASNYA... ?? APAKAH ADA RIVALITAS DI ABRI...??
Sesalkan Pernyataan Wiranto, Elza Syarif Bela Prabowo
Jakarta
- http://www.beritasatu.com/pemilu-2014/192136-sesalkan-pernyataan-wiranto-elza-syarif-bela-prabowo.html
Pengacara yang merupakan salah satu pendiri partai Hanura, Elza
Syarief menyesalkan pernyataan Wiranto mengenai pemecatan dan
keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi
pada tahun 1998. Elza menyatakan, keterangan Wiranto bertentangan dengan
kebenaran dan perkataan serta usulan Wiranto sendiri.
Menurut Elza, pada berita tahun 1999, Wiranto pernah menyatakan bahwa
Prabowo tidak terlibat. KEPPRES No. 62/ABRI/1998 yang ditandatangani
oleh Presiden BJ Habibie mengenai pemberhentian dengan hormat kepada
Prabowo Subianto juga didasarkan kepada usulan Menhankam/Pangab yang
saat itu dijabat oleh Wiranto.
Terlebih dalam Surat Sekretariat Negara Republik Indonesia pada
September 1999 kepada Komnas HAM juga menyatakan bahwa Prabowo tidak
terbukti terlibat dalam kerusuhan tahun 1998.
Putusan Pidana No. PUT, 25-16/K-AD/MMT-II/IV/19 yang dibacakan oleh
Majelis Hakim Kolonel (CHK) Susanto sebagai ketua dan kolonel (CHK)
Zainuddin dan kolonel CKH (K) Yamini yang salah satu amarnya menyatakan
beberapa orang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana merampas kemerdekaan aktivis politik sesuai dengan pasal
333 KUHP.
“Bapak Wiranto yang seorang Doktor dan ahli hukum sangat mengerti
bahwa setiap orang tidak dapat dan tidak berwenang menyatakan seseorang
bersalah telah melakukan tindakan pidana selain putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan hal tersebut,” kata
Elza, Senin (23/6).
Ditegaskan, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) juga tidak dapat dijadikan
referensi yang menyatakan Prabowo bersalah karena DKP tersebut bukanlah
pengadilan. DKP hanya sebatas memberikan rekomendasi, dimana
rekomendasi tersebut gugur dengan adanya putusan pengadilan No. PUT,
25-16/K-AD/MMT-II/IV/19 dan KEPPRES No.62/ABRI/1998.” Jelas Elza.
Elza menuturkan, selama ini Prabowo memegang prinsip “Tidak ada
prajurit yang salah, hanya komandan yang salah”. Sehingga, Prabowo
selalu menyatakan di depan media massa siap bertanggung jawab apabila
benar ada anak buahnya yang melakukan kesalahan.
“Bertanggung jawab bukan berarti ia yang melakukan tindakan pidana
tersebut, melainkan bertanggung jawab sebagai atasan saja. Kita telah
menzalimi Prabowo, dimana Prabowo disandera seumur hidupnya oleh isu-isu
yang tidak benar. Marilah kita bertanding secara fair dan jujur,
janganlah kita menyandera seseorang, itu zalim namanya dan tidak sesuai
dengan hati nurani rakyat,” ucap Elza.
Elza juga mengatakan, sebagai pendiri partai dan orang yang dekat
dengan Wiranto dirinya sangat terkejut dengan pernyataan Wiranto
beberapa waktu lalu. Pernyataan Wiranto melunturkan keyakinannya
terhadap karakter Wiranto yang selama ini dikenal.
“Saya prihatin dan sangat menjaga Bapak Wiranto sebagai Bapak Partai
Hanura jangan sampai ditekan oleh Koalisi untuk menyampaikan sesuatu
yang tidak benar,” kata Elza.
Inilah Dalang Kerusuhan Mei 1998
http://m.kompasiana.com/post/read/643695/3/inilah-dalang-kerusuhan-mei-1998.html
01 Apr 2014 | 07:28
Obsesi saya selama 16 tahun terakhir adalah menemukan pihak yang
menjadi dalang kerusuhan Mei 1998 sebab siapapun pihak yang berada di
belakang serangkaian peristiwa di bulan-bulan terakhir Orde Baru yang
berujung pada kerusuhan Mei 1998 itu sungguh sangat keji dan tidak
berprikemanusiaan, membunuh ribuan manusia tidak berdosa hanya sekedar
untuk menjatuhkan seorang presiden yang satu-satu kesalahan paling besar
adalah berkuasa terlalu lama.
Sebagaimana kebanyakan rakyat Indonesia maka saya juga
menghubungkan Kerusuhan Mei 1998 dengan persaingan antara dua jenderal
yaitu Wiranto dan Prabowo. Semua bukti yang dipaparkan media massa
selama ini memang mengerucut pada dua nama tersebut, masing-masing
melakukan berbagai tindakan yang dapat diartikan sebagai usaha untuk
mendukung Kerusuhan Mei 1998, seperti kepergian Wiranto ke Malang pada
hari kerusuhan dengan membawa seluruh panglima angkatan perang; atau
bercandaan Prabowo kepada Lee Kuan Yew menjelang Pemilu 1997 bahwa dia
mungkin akan memberontak.
Namun demikian, hasil
penelitian saya selama 16 tahun justru menemukan fakta yang berbeda,
bahwa dalang sesungguhnya dari Kerusuhan Mei 1998 bukan Wiranto maupun
Prabowo, melainkan para barisan sakit hati orde baru, dan berikut ini
adalah hasil penelusuran saya tersebut.
Yang harus
kita telusuri pertama kali adalah motivasi Kerusuhan Mei 1998, dan
berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 ditemukan
fakta bahwa pelaku utama kerusuhan adalah bukan rakyat setempat,
melainkan orang-orang berbadan tegap berambut cepak yang secara
terkoordinir memprovokasi rakyat dan menyiram gedung-gedung dengan
bensin yang sudah mereka bawa kemudian membakar. Setelah rakyat
terprovokasi orang-orang ini kemudian menghilang.
Semua
petunjuk menunjukan bahwa provokator di lapangan adalah militer, namun
pertanyaannya militer di bawah komando siapa? Ini adalah pertanyaan yang
mungkin tidak akan pernah terungkap, akan tetapi dari keahlian para
provokator itu dapat dipastikan mereka adalah intelijen dan bukan orang
lapangan.
Akhirnya selama bertahun-tahun saya hanya bisa
menduga-duga pelakunya antara Prabowo atau Wiranto, sampai suatu saat
saya menemukan dua buku otobiografi yang melengkapi semua puzzle yang
ada, yaitu buku Salim Said, dan Bill Tarrant, mantan kontributor asing
the Jakarta Post, keduanya saya beli di Indonesia, yang pertama di
Gramedia, yang kedua di Kinokuniya Plaza Senayan.
Banyak
informasi penting dalam buku Salim Said, tapi yang paling penting
adalah Benny Moerdani pernah mengatakan kepada dia dan angkatan 66 lain
bahwa cara menjatuhkan Pak Harto adalah melalui berbagai kerusuhan untuk
mendestabilisasi keadaan yang akan membuat kursi Pak Harto goyah dan
saat itu Pak Harto akan mudah didongkel. Itu dia, ini jawabannya, dan
semua masuk akal, siapa lagi yang bisa mengeksekusi pekerjaan intelijen
serapi Kerusuhan Mei 1998 bila bukan raja intelijen, Benny Moerdani?
Jalinan
cerita dari Salim Said tersebut kemudian menyambung dengan cerita Bill
Tarrant bahwa The Jakarta Post yang tadinya diciptakan pendiri CSIS
Jusuf Wanandi dan Ali Moertopo sebagai mesin propaganda Orde Baru ke
dunia luar sejak tahun 1990 tiba-tiba ikut menyerang Orde Baru dengan
isu HAM, demokrasi, bertepatan dengan tersingkirnya CSIS dari Orde Baru.
Selain itu The Jakarta Post juga adalah kekuatan di belakang layar yang
membangkitkan para LSM yang sudah menjelang mati suri untuk melawan
Orde Baru, dan yang lebih penting lagi, The Jakarta Post adalah donatur
utama dari gerakan mahasiswa 1997-1998, dan bahkan markas besar
mahasiswa saat itu adalah kantor The Jakarta Post!!
Siapa
menyangka bahwa provokator Kerusuhan Mei 1998 adalah kantor redaksi
salah satu koran yang paling dihormati di Indonesia?? Tapi semua masuk
akal sebab Benny Moerdani adalah bagian dari CSIS dan mewarisi jaringan
opsus yang sudah dibangun oleh Ali Moertopo beserta strategi
penggunaannya. Sedangkan CSIS maupun Benny Moerdani, sebagaimana ditulis
Jusuf Wanandi dalam The Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru sangat
dendam sebab Soeharto menyingkirkan mereka dan melupakan jasa Ali
Moertopo maupun Hoemardani, patron CSIS.
Semua
bertambah masuk akal bila kita mengingat strategi favorit Ali Moertopo
dalam menjatuhkan lawan adalah mendestabilisasi keadaan. Dengan
menggunakan cara ini dia berhasil memaksa Soekarno memberikan supersemar
kepada Soeharto; dan dengan menempatkan kuda troya bernama Hariman
Siregar, Ali Moertopo berhasil memancing mahasiswa Universitas Indonesia
untuk terlibat dalam kerusuhan Malari yang pada akhirnya menjatuhkan
saingan Ali Moertopo, Jenderal Soemitro. Adapun keterangan bahwa Hariman
Siregar adalah anak buah Ali Moertopo dan mendapat posisi di senat
Universitas Indonesia adalah keterangan Jenderal Soemitro di pembelaan
dirinya mengenai Malari.
Semua bertambah masuk akal
bila kita juga mengingat bahwa Benny Moerdani ada di belakang Megawati
ketika kerusuhan 27 Juli 1996 pecah; dan menjelaskan mengapa
jenderal-jenderal seperti Agum Gumelar; SBY; Sutiyoso; Hendropriyono
berani bersekongkol dengan Megawati mencetuskan Kerusuhan 27 Juli 1996,
sebab mereka mendapat dukungan dari Benny Moerdani.
Soeharto
sendiri tampaknya sudah tahu bahwa Benny Moerdani ada di belakang
kejatuhan dirinya, sebab sesaat setelah dia lengser keprabon, Soeharto
segera merajut hubungan kembali dengan Benny, termasuk pertemuan bertiga
antara dirinya, Gus Dur dan Benny di luar kota Jakarta.
Berdasarkan
semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa CSIS dan Benny Moerdani
adalah aktor utama Kerusuhan Mei 1998 dan bukan Wiranto maupun Prabowo.
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi
JAKARTA (voa-islam.com) - Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang kemarin menyeberang ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat yang menghubungkan Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang akhir Orde Baru karena terbukti terbukanya niat Benny menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina dan orang Kristen.Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang tidak terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang akan saya bongkar di bawah ini.
"Bersama Presiden Soeharto, Benny adalah Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh demonstrasi 1966 dengan dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris] pada malam itu para pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Suryadi [Ketua PDI yang menyerang Kubu Pro Mega tanggal 27 Juli 1996]; Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan sejumlah tokoh. Topik pembicaraan, situasi politik waktu itu...
Moerdani berbicara mengenai Soeharto yang menurut Menhankam itu,
'Sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi mengambil
keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti'...Benny kemudian
berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan
Soeharto. Firdaus menanggapi, 'Kalau menggunakan massa, yang pertama
dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.' "
- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, serangkaian kesaksian, Penerbit Mizan, halaman 316
A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia
Selanjutnya bila kita hubungkan kesaksian Salim Said di atas dengan kesaksian RO Tambunan bahwa dua hari sebelum kejadian Megawati sudah mengetahui dari Benny akan terjadi serangan terhadap kantor PDI dan Catatan Rachmawati Soekarnoputri, Membongkar Hubungan Mega dan Orba sebagaimana dimuat Harian Rakyat Merdeka Rabu, 31 Juli 2002 dan Kamis, 1 Agustus 2002.
Maka kita menemukan bukti adanya persekongkolan antara Benny Moerdani yang sakit hati kepada Soeharto karena dicopot dari Pangab (kemudian menjadi menhankam, jabatan tanpa fungsi) dan Megawati untuk menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto, kebetulan saat itu hanya Megawati yang mau jadi boneka Benny Moerdani. Sedikit kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:
"Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka?
Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak."
Dari ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Benny Moerdani; Megawati Soekarnoputri; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah "eureka moment" yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet untuk regenerasi kepemimpinan Indonesia dan diganti Megawati, sehingga menimbulkan kecurigaan dari pihak Mabes ABRI.
Dr. Soerjadi adalah orang yang menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di Kongres Medan (kongres dibiayai Sofjan Wanandi dari CSIS) yang mengumpulkan massa menyerbu kantor PDI dan selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda bawahan Benny Moerdani, dan tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid Benny Moerdani berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS dalam Memoirnya, A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.
Semua fakta ini juga membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang mana menyebutkan rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi yang membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik serta bukan dokumen buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana diklaim oleh Budiman Sejatmiko selama ini.
Ini menjelaskan mengapa Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit kepada anak buahnya seperti "siapa suruh kalian mau ikut saya?" dan justru memberi jabatan sangat tinggi kepada masing-masing SBY yang memimpin rapat penyerbuan Operasi Naga Merah; Sutiyoso yang komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; Agum Gumelar dan Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Megawati melakukan bunuh diri bila menyelidiki kejahatannya sendiri!
Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di sisi Jokowi maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP; Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros JK mendukung Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.
B. Kerusuhan Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri ke Kursi Presiden.
Pernahkah anda mendengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Ini fakta dan bukan bualan. Banyak buku sejarah yang sudah membahas hal ini, dan salah satunya cerita dari Kopassus di masa kepanglimaan Benny.
Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya "Apa ini?", jawab sang perwira, "Sajadah untuk shalat, Komandan." Benny membentak "TNI tidak mengenal ini." Benny juga sering mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat.
Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.
Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering menghadiri pengajian diperlakukan diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang perwira dianggap fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya suram.
Silakan perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos penting pada masa Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman Mantiri; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan bahwa perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam atau Islam abangan (yang tidak dianggap "fanatik" atau berada dalam golongan "islam santri" menurut versi Benny).
Inilah yang dilawan Prabowo antara lain dengan membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani namun tidak berhasil. Tidak heran kelompok status quo dari kalangan perwira Benny Moerdani membenci Prabowo karena Prabowo yang menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia itu.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".
Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).
Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).
Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)
Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani namun kita memiliki cara membuktikan kebohongannya. Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut sudah disingkirkan Wiranto.
Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong. Namun bila kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat bahwa memang terjadi banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.
Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto. Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir dan menistakan Prabowo.
Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.
Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai marinir berinisiatif keluar kandang.
Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan kelompok Benny Moerdani ada di belakang Kerusuhan Mei 98 adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).
2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).
Lagipula saat kejadian terbukti Benny Moerdani sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa orang lapangan saat kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 98 dilatih di Bogor!!!
3. Alasan Megawati setuju menjadi alat Benny Moerdani padahal saat itu keluarga Soekarno sudah sepakat tidak terjun ke politik dan alasan Benny Moerdani begitu menyayangi Megawati mungkin adalah karena mereka sebenarnya pernah menjadi calon suami istri dan Soekarno sendiri pernah melamar Benny, pahlawan Palangan Irian Jaya itu untuk Megawati, namun kemudian Benny memilih Hartini wanita yang menjadi istrinya sampai Benny meninggal (Salim Said, halaman 329).
Berdasarkan semua fakta dan uraian di atas maka kiranya sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan Kelompok Benny Moerdani, dalang Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 ada di belakang Jokowi-JK dengan mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar) untuk melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menjadi penghalang utama mereka ketika mencoba mendeislamisasi Indonesia. [hudzaifah/Berric Dondarrion/voa-islam.com]
Riyanto 'Talangsari': Komnas HAM & Kontras Lestarikan Citra Buruk Pada Islam
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/opini/2014/06/07/30575/innalillahjenderal-jenderal-dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi/#sthash.K73DFYLO.dpuf- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, serangkaian kesaksian, Penerbit Mizan, halaman 316
A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia
Selanjutnya bila kita hubungkan kesaksian Salim Said di atas dengan kesaksian RO Tambunan bahwa dua hari sebelum kejadian Megawati sudah mengetahui dari Benny akan terjadi serangan terhadap kantor PDI dan Catatan Rachmawati Soekarnoputri, Membongkar Hubungan Mega dan Orba sebagaimana dimuat Harian Rakyat Merdeka Rabu, 31 Juli 2002 dan Kamis, 1 Agustus 2002.
Maka kita menemukan bukti adanya persekongkolan antara Benny Moerdani yang sakit hati kepada Soeharto karena dicopot dari Pangab (kemudian menjadi menhankam, jabatan tanpa fungsi) dan Megawati untuk menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto, kebetulan saat itu hanya Megawati yang mau jadi boneka Benny Moerdani. Sedikit kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:
"Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka?
Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak."
Dari ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Benny Moerdani; Megawati Soekarnoputri; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah "eureka moment" yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet untuk regenerasi kepemimpinan Indonesia dan diganti Megawati, sehingga menimbulkan kecurigaan dari pihak Mabes ABRI.
Dr. Soerjadi adalah orang yang menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di Kongres Medan (kongres dibiayai Sofjan Wanandi dari CSIS) yang mengumpulkan massa menyerbu kantor PDI dan selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda bawahan Benny Moerdani, dan tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid Benny Moerdani berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS dalam Memoirnya, A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.
Semua fakta ini juga membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang mana menyebutkan rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi yang membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik serta bukan dokumen buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana diklaim oleh Budiman Sejatmiko selama ini.
Ini menjelaskan mengapa Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit kepada anak buahnya seperti "siapa suruh kalian mau ikut saya?" dan justru memberi jabatan sangat tinggi kepada masing-masing SBY yang memimpin rapat penyerbuan Operasi Naga Merah; Sutiyoso yang komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; Agum Gumelar dan Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Megawati melakukan bunuh diri bila menyelidiki kejahatannya sendiri!
Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di sisi Jokowi maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP; Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros JK mendukung Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.
B. Kerusuhan Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri ke Kursi Presiden.
Pernahkah anda mendengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Ini fakta dan bukan bualan. Banyak buku sejarah yang sudah membahas hal ini, dan salah satunya cerita dari Kopassus di masa kepanglimaan Benny.
Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya "Apa ini?", jawab sang perwira, "Sajadah untuk shalat, Komandan." Benny membentak "TNI tidak mengenal ini." Benny juga sering mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat.
Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.
Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering menghadiri pengajian diperlakukan diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang perwira dianggap fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya suram.
Silakan perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos penting pada masa Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman Mantiri; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan bahwa perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam atau Islam abangan (yang tidak dianggap "fanatik" atau berada dalam golongan "islam santri" menurut versi Benny).
Inilah yang dilawan Prabowo antara lain dengan membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani namun tidak berhasil. Tidak heran kelompok status quo dari kalangan perwira Benny Moerdani membenci Prabowo karena Prabowo yang menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia itu.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".
Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?
Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).
Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)
Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani namun kita memiliki cara membuktikan kebohongannya. Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut sudah disingkirkan Wiranto.
Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong. Namun bila kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat bahwa memang terjadi banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.
Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto. Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir dan menistakan Prabowo.
Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.
Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai marinir berinisiatif keluar kandang.
Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan kelompok Benny Moerdani ada di belakang Kerusuhan Mei 98 adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).
2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).
Lagipula saat kejadian terbukti Benny Moerdani sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa orang lapangan saat kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 98 dilatih di Bogor!!!
3. Alasan Megawati setuju menjadi alat Benny Moerdani padahal saat itu keluarga Soekarno sudah sepakat tidak terjun ke politik dan alasan Benny Moerdani begitu menyayangi Megawati mungkin adalah karena mereka sebenarnya pernah menjadi calon suami istri dan Soekarno sendiri pernah melamar Benny, pahlawan Palangan Irian Jaya itu untuk Megawati, namun kemudian Benny memilih Hartini wanita yang menjadi istrinya sampai Benny meninggal (Salim Said, halaman 329).
Berdasarkan semua fakta dan uraian di atas maka kiranya sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan Kelompok Benny Moerdani, dalang Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 ada di belakang Jokowi-JK dengan mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar) untuk melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menjadi penghalang utama mereka ketika mencoba mendeislamisasi Indonesia. [hudzaifah/Berric Dondarrion/voa-islam.com]
Berita Terkait :
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, LampungRiyanto 'Talangsari': Komnas HAM & Kontras Lestarikan Citra Buruk Pada Islam
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi
JAKARTA (voa-islam.com) - http://www.voa-islam.com/read/opini/2014/06/07/30575/innalillahjenderal-jenderal-dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi/#sthash.K73DFYLO.dpbs
Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang kemarin menyeberang
ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat yang menghubungkan
Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang
akhir Orde Baru karena terbukti terbukanya niat Benny menjatuhkan Soeharto
melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina dan orang Kristen.
Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak
paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang tidak terungkap seperti
Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang akan saya bongkar di
bawah ini.
"Bersama Presiden Soeharto, Benny adalah
Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh demonstrasi 1966 dengan
dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris] pada malam itu para
pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus
Wajdi, Suryadi [Ketua PDI yang menyerang Kubu Pro Mega tanggal 27 Juli 1996];
Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan sejumlah tokoh. Topik pembicaraan, situasi
politik waktu itu...
Moerdani berbicara mengenai Soeharto yang
menurut Menhankam itu, 'Sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi
mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti'...Benny
kemudian berbicara mengenai gerakan massa
sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, 'Kalau menggunakan
massa, yang
pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.' "
- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi,
serangkaian kesaksian, Penerbit Mizan, halaman 316
A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia
Selanjutnya bila kita hubungkan kesaksian Salim
Said di atas dengan kesaksian RO Tambunan bahwa dua hari sebelum kejadian
Megawati sudah mengetahui dari Benny akan terjadi serangan terhadap kantor PDI
dan Catatan Rachmawati Soekarnoputri, Membongkar Hubungan Mega dan Orba
sebagaimana dimuat Harian Rakyat Merdeka Rabu, 31 Juli 2002 dan Kamis, 1
Agustus 2002.
Maka kita menemukan bukti adanya persekongkolan
antara Benny Moerdani yang sakit hati kepada Soeharto karena dicopot dari
Pangab (kemudian menjadi menhankam, jabatan tanpa fungsi) dan Megawati untuk
menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto,
kebetulan saat itu hanya Megawati yang mau jadi boneka Benny Moerdani. Sedikit
kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:
"Sebelum mendekati Mega, kelompok
Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan
meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan
Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru
yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi
pemimpin boneka?
Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny
Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya
gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak."
Dari
ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam
Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Benny Moerdani; Megawati Soekarnoputri;
Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah
"eureka moment" yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson
Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet untuk regenerasi
kepemimpinan Indonesia dan diganti Megawati, sehingga menimbulkan kecurigaan
dari pihak Mabes ABRI.
Dr.
Soerjadi adalah orang yang menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di
Kongres Medan (kongres dibiayai Sofjan Wanandi dari CSIS) yang mengumpulkan
massa menyerbu kantor PDI dan selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto
ternyata agen ganda bawahan Benny Moerdani, dan tentu saja saat itu Agum
Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid Benny Moerdani berada di sisi Megawati
atas perintah Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS
dalam Memoirnya, A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.
Semua fakta ini juga membuktikan bahwa dokumen
yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang mana
menyebutkan rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan
Sofjan-Jusuf Wanandi yang membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik
serta bukan dokumen buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana diklaim
oleh Budiman Sejatmiko selama ini.
Ini menjelaskan mengapa Presiden Megawati menolak
menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit
kepada anak buahnya seperti "siapa suruh kalian mau ikut saya?" dan
justru memberi jabatan sangat tinggi kepada masing-masing SBY yang memimpin
rapat penyerbuan Operasi Naga Merah; Sutiyoso yang komando lapangan penyerbuan
Operasi Naga Merah; Agum Gumelar dan Hendropriyono yang pura-pura melawan
koleganya. Megawati melakukan bunuh diri bila menyelidiki kejahatannya sendiri!
Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di
sisi Jokowi maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP; Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar;
Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros JK mendukung
Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.
B. Kerusuhan Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri ke Kursi Presiden.
Pernahkah anda mendengar kisah Kapten Prabowo
melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Ini
fakta dan bukan bualan. Banyak buku sejarah yang sudah membahas hal ini, dan
salah satunya cerita dari Kopassus di masa kepanglimaan Benny.
Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira
bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya "Apa ini?", jawab
sang perwira, "Sajadah untuk shalat, Komandan." Benny membentak
"TNI tidak mengenal ini." Benny juga sering mengadakan rapat staf
pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat
Jumat.
Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika
tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat
diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang,
18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.
Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang
sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke
pesantren kilat pada masa libur atau sering menghadiri pengajian diperlakukan
diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang perwira
dianggap fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya suram.
Silakan
perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos
penting pada masa Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong
Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM
Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut
Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman
Mantiri; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah
pola tidak terbantahkan bahwa perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani
berkuasa adalah non Islam atau Islam abangan (yang tidak dianggap
"fanatik" atau berada dalam golongan "islam santri" menurut
versi Benny).
Inilah yang dilawan Prabowo antara lain dengan
membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani
namun tidak berhasil. Tidak heran kelompok status quo dari kalangan perwira
Benny Moerdani membenci Prabowo karena Prabowo yang menghancurkan cita-cita
mendeislamisasi Indonesia
itu.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek
yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah
komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia
hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".
Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa
dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh
anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi,
mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus
Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah
komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya
dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"
Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu
Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang
dihancurkan Prabowo?
Silakan perhatikan
satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu
(menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden
Soeharto mangkat).
Ada Agum
Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh
Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris
(rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei
1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada
Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar
sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap
Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat
itu Benny memberi pesan sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ
sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan
dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)
Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan
dekat dengan Benny Moerdani namun kita memiliki cara membuktikan kebohongannya.
Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya
Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira
yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang
dalam daftar nama tersebut sudah disingkirkan Wiranto.
Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto
mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong. Namun bila kita
melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat
bahwa memang terjadi banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang
waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.
Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang
Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto menjawab sekali untuk
selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan
Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan
kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo,
Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto,
sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto. Hal ini
sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir
dan menistakan Prabowo.
Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu
tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya
padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang
membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan
Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.
Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny
Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah
satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga Wiranto
memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai
marinir berinisiatif keluar kandang.
Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan kelompok Benny Moerdani ada di belakang Kerusuhan Mei 98 adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan
massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak
Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar,
binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru
Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74
terbitan Sinar Harapan).
2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98
penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam
memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang
terlatih sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira
lapangan tipe komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani
yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi
taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun
Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan
Tempo-Gramedia).
Lagipula saat kejadian terbukti Benny Moerdani
sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa orang lapangan saat
kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 98 dilatih di Bogor!!!
3. Alasan Megawati setuju menjadi alat Benny
Moerdani padahal saat itu keluarga Soekarno sudah sepakat tidak terjun ke
politik dan alasan Benny Moerdani begitu menyayangi Megawati mungkin adalah
karena mereka sebenarnya pernah menjadi calon suami istri dan Soekarno sendiri
pernah melamar Benny, pahlawan Palangan Irian Jaya itu untuk Megawati, namun
kemudian Benny memilih Hartini wanita yang menjadi istrinya sampai Benny
meninggal (Salim Said, halaman 329).
Berdasarkan semua fakta dan uraian di atas maka
kiranya sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan Kelompok Benny Moerdani, dalang
Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 ada di belakang Jokowi-JK dengan
mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar) untuk melawan
Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menjadi
penghalang utama mereka ketika mencoba mendeislamisasi Indonesia.
[hudzaifah/Berric Dondarrion/voa-islam.com]
Berita Terkait :
- See
more at: http://www.voa-islam.com/read/opini/2014/06/07/30575/innalillahjenderal-jenderal-dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi/#sthash.K73DFYLO.dpuf
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
JAKARTA
(voa-islam.com) –slam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.07Zcp4Ah.dpbs
Allah selalu berpihak kepada kebenaran meskipun
serapih apapun kejahatan disembunyikan. Dan sudah sunatullah sesungguhnya orang
kafir dan munafik saling membantu satu sama lain.
Innalillahi,
ternyata AM Hendro Priono yang menjadi Ketua Timses Capres Jokowi adalah dalang
tragedi pembantaian Talangsari, Lampung & pembunuhan aktivis HAM Munir.
Fakta ini terungkap melalui rilis berita detik.
AM Hendro Priono yang menjadi Ketua Timses Capres
Jokowi adalah dalang tragedi pembantaian Talangsari, Lampung & pembunuhan
aktivis HAM Munir dan ini lupa dari serangan Jasmev & Jokowers selalu
teriak pelanggaran HAM, ketika isu Hendro Priono dalam kasus Tragedi Talangsari
Lampung di bahas para Jasmev & Jokowers diam membisu tidak ada yg berani
memberi komentar.
"Mengenai perintah tembak di tempat
bagaimana Pak?" tanya wartawan. "Saya tidak tahu karena yang
bertanggung jawab di lapangan itu Danrem yakni Pak Hendro. Pak Hendro
seharusnya datang hari ini untuk memberikan keterangan. Tetapi saya tidak
tahu," tandasnya.
Jakarta
- Sudah belasan tahun kasus Talangsari berlalu. Kini satu per satu pihak yang
terkait kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam
Sudomo diperiksa Komnas HAM.
Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.
Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.
Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia
yang mengecek ke sana.
Saat itu warga menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss
understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan
mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar
mantan KSAL ini.
Menurut Sudomo, kasus Talangsari dibuka kembali
mungkin karena ada tuntutan dari korban atau untuk mencari data. Saat peristiwa
itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan.
Hal itulah yang menjadi kesulitan.
Bahkan Riyanto,
saksi hidup dan pelaku tragedi pembantaian Talangsari angkat bicara soal fakta
yang terus dilestarikan demi kepentingan penguasa.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang
sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam
selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang
sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam
selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu
ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas
nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini.
Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap
demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa
terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada
sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras–
sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka
menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi stigma
negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.
Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang
kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah
sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta
orang).
Namun karena ulah yang segelintir ini umat Islam
pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini yang sedang
dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?
Selengkapnya tentang
kronologis TRAGEDI TALANGSARI lihat disini.
[detik/jabir/voa-islam.com]
Berita
Terkait :
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.07Zcp4Ah.dpuf
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
JAKARTA (voa-islam.com) - Allah selalu berpihak kepada kebenaran meskipun serapih apapun kejahatan disembunyikan. Dan sudah sunatullah sesungguhnya orang kafir dan munafik saling membantu satu sama lain.Innalillahi, ternyata AM Hendro Priono yang menjadi Ketua Timses Capres Jokowi adalah dalang tragedi pembantaian Talangsari, Lampung & pembunuhan aktivis HAM Munir. Fakta ini terungkap melalui rilis berita detik.
AM Hendro Priono yang menjadi Ketua Timses Capres Jokowi adalah dalang tragedi pembantaian Talangsari, Lampung & pembunuhan aktivis HAM Munir dan ini lupa dari serangan Jasmev & Jokowers selalu teriak pelanggaran HAM, ketika isu Hendro Priono dalam kasus Tragedi Talangsari Lampung di bahas para Jasmev & Jokowers diam membisu tidak ada yg berani memberi komentar.
"Mengenai perintah tembak di tempat bagaimana Pak?" tanya wartawan. "Saya tidak tahu karena yang bertanggung jawab di lapangan itu Danrem yakni Pak Hendro. Pak Hendro seharusnya datang hari ini untuk memberikan keterangan. Tetapi saya tidak tahu," tandasnya.
Jakarta - Sudah belasan tahun kasus Talangsari berlalu. Kini satu per satu pihak yang terkait kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam Sudomo diperiksa Komnas HAM.
Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.
Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini.
Menurut Sudomo, kasus Talangsari dibuka kembali mungkin karena ada tuntutan dari korban atau untuk mencari data. Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang menjadi kesulitan.
Bahkan Riyanto,
saksi hidup dan pelaku tragedi pembantaian Talangsari angkat bicara
soal fakta yang terus dilestarikan demi kepentingan penguasa.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga
Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk
tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga
Kontras– selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme
yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini.
Bila Komnas HAM –dan juga Kontras–
bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam
yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan
heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM
–dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia,
karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya
dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara
keseluruhan.
Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa
yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami
hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak
(ratusan juta orang).
Namun karena ulah yang segelintir ini
umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini
yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?
Selengkapnya tentang kronologis TRAGEDI TALANGSARI lihat disini. [detik/jabir/voa-islam.com]
Berita Terkait :
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, LampungRiyanto 'Talangsari': Komnas HAM & Kontras Lestarikan Citra Buruk Pada Islam
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.07Zcp4Ah.dpuf
Suatu Hari Berbincang Bersama Kepala BIN
http://yudisamara.org/2014/05/28/suatu-hari-berbincang-bersama-kepala-bin/
oleh Mega Simarmata
Dulu, pada periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Sby), posisi Kepala Badan Intelijen Negara dijabat oleh seorang purnawirawan TNI yang sangat kawakan, Syamsir Siregar namanya.
Syamsir Siregar lahir di Dumai, Riau, tanggal 23 Maret 1949.
Ia adalah seorang tokoh militer Indonesia yang menjabat Kepala Badan Intelijen Negara sejak 8 Desember 2004 hingga 22 Oktober 2009.
Syamsir lulusan Akademi Militer angkatan 1965 dan berasal dari kesatuan Infanteri – Kostrad.
Pangkat terakhir sebagai militer adalah Mayor Jenderal TNI dan jabatan terakhir di militer adalah Kepala Badan Intelijen ABRI.
Saat Syamsir menjadi Kepala BIN, ia mempunyai satu panggilan khusus dari saya yaitu Opung (yang artinya kakek dalam bahasa batak).
Panggilan Opung untuk Syamsir Siregar ini, akhirnya menjadi panggilan dari semua orang untuk Syamsir Siregar.
Maksudnya, sampai ke kalangan menteri-menteri, dan bahkan didalam internal BIN pun, kabarnya memanggil Syamsir pun dengan sebutan Opung.
Kebetulan saya adalah wartawati di lingkungan Istana Kepresidenan selama 9 tahun lamanya, yaitu dari tahun 1999-2008.
Jadi, mau tak mau, pejabat selevel Kepala BIN pun, akan saya kenal.
Sebab selain meliput di lingkungan Istana Kepresidenan, saya juga rutin selama bertahun-tahun, meliput di jajaran Kementerian Polhukkam, yang kala itu dipimpin oleh Widodo AS (mantan Panglima TNI).
Sejak Widodo menjadi Panglima TNI, saya sudah sangat dekat beliau.
Syamsir dan Widodo cukup erat dan sangat dekat.
Pada suatu hari, Syamsir mengundang 2 wartawati Istana yang sudah dikenalnya. Salah seorang diantaranya adalah saya.
Secara kebetulan juga, saya dan rekan wartawati yang diundang Syamsir waktu itu, sama-sama merupakan wartawati di lingkungan militer sejak era tahun 90 an.
Kami berdua diterima di ruang kerja Kepala BIN.
Pak Syamsir Siregar, alias si Opung ini, cara bicaranya sangat slebor alias sangat bergaya Medan.
“Opung, bagaimana situasi disini? Apa yang Opung bikin sama anak buah Opung disini ?” tanya saya waktu itu.
“Biasa ajalah. Tapi kumarahi mereka kalau berani-berani kirim sms ke handphone ku melaporkan panjang lebar situasi di lapangan. Langsung ku telepon, siapa aja yang kirim-kirim sms. Kubilang sama mereka … kau pikir kalau ada yang aku tak ngerti dari sms kalian ini, aku harus tanya ke handphone ku ini? Kalau ada laporan, telpon saya” begitu cerita Syamsir.
Sejak saat itu, tidak ada lagi bawahannya, termasuk setingkat Deputi atau Direktur, yang berani mengirim sms kepada Syamsir.
“Soal Munir, bagaimana Pung?” tanya kawan saya, sesama wartawati yang bekerja di stasiun televisi swasta.
Syamsir terdiam agak lama.
Tiba-tiba dia berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil sebuah majalah berita mingguan dan cover majalah itu memasang foto Almarhum Munir.
“Kupanggil Deputi aku soal si Munir ini. Begitu dia duduk di depanku, kusuruh dia baca majalah ini. Habis itu kutanya, apa yang bisa kau jelaskan sama aku soal si Munir ini?” tutur Syamsir menceritakan kejadian ia memanggil seorang Deputi BIN terkait kasus Munir.
“Dia diam aja. Tak di jawabnya apa-apa. Dia tak mau buka apapun. Dia tak mau sebut nama siapapun yang memerintahkan. Akhirnya kubilang sama dia. Susun barang kau. Mulai besok, jangan lagi kau ngantor sampai selesai kasus ini” kata Syamsir.
Setelah Syamsir menceritakan hal itu, kawan saya, wartawati yang ikut bersama saya bertamu ke ruang kerja Kepala BIN, melanjutkan pertanyaannya.
“Gimana dengan Pak Hendropriyono ?” tanya kawan saya itu.
Syamsir juga terdiam agak lama ketika pertanyaan masuk sampai ke nama Hendropriyono.
“Si Hendro? Datang dia kemarin. Dia telpon telpon aku, Bang minta waktu ketemu. Gitu katanya. Dia mohon mohon supaya bisa ketemu aku. Silahkan kubilang. Duduk dia disitu. Di pojok itu. Kuterima. Kalau memang dia mau ketemu, silahkan.” jawab Syamsir.
“Hendro terlibat ?” tanya kawan saya itu lagi.
Syamsir Siregar diam membisu.
Samasekali tidak menjawab pertanyaan ini. Raut wajah Syamsir tidak berubah alias tanpa ekspresi.
Itulah satu-satunya pertanyaan dari kawan saya yang tidak dijawab oleh Syamsir saat Kepala BIN ini mengundang dua wartawati datang bertamu ke ruang kerjanya.
Dan sepanjang Syamsir Siregar menjadi Kepala BIN, ia memang sangat dihormati oleh seluruh jajaran menteri, termasuk Panglima TNI, Kapolri dan pejabat di dalam pemerintahan Sby.
Sebab, dari segi angkatan, Syamsir terbilang sangat senior yaitu angkatan tahun 1965.
Tapi dari seluruh anggota kabinet Sby pada periode pertama, Syamsir hanya dekat dengan dua orang yaitu Widodo AS dan Mendagri M. Maruf.
Diluar dari kedua pejabat ini, tak ada yang berani sama Syamsir.
Semua takut dan semua segan.
Itulah sebuah kenangan tentang percakapan di ruang kerja seorang Kepala BIN, yang kala itu dijabat oleh seorang purnawirawan TNI yang sangat jagoan, Syamsir Siregar namanya.
Si Opung yang alergi kalau membaca sms dan kalau sudah sangat terpaksa untuk membalas sms itu, Syamsir akan membalas beberapa hari kemudian.
Sampai saat ini, pertanyaan kawan saya itu tak terjawab ….
Jakarta, Mei 2014
“Kenapa Abah dibunuh, Bu?”
Posted by KabarNet pada 07/09/2009
Oleh : SUCIWATI, Isteri Alm. Munir.
http://kabarnet.in/2009/09/07/kenapa-abah-dibunuh-bu%E2%80%9D/
BAGIAN PERTAMA
Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara
bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu
masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.
Suaraku mendadak menghilang. Airmataku
jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa
aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini,
sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya
ayahmu, suamiku, Munir. Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku.
Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,”
kata-kata itu terus mengiang di telingaku.
Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu
tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva
Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2.
Usman Hamid dari KontraS menelepon ke
rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang
tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu
bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.
Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?”
Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku
berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan
keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku,
nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam
duka yang tak terperi.
Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku
limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal
sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa
yang terjadi pada dia?
Begitu kesadaranku hadir, segera
kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di
Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di
Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis.
Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.
Orang-orang mulai berdatangan untuk
menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi
kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong
semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.
Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak
bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta,
tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak
tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak
maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak
sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir
meninggal di pesawat Garuda 974.
Kantor Garuda di Schipol pun sama saja.
Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar
yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama
karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan
dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang
mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini?
Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.
Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif,
saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva
terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku
merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.
Jiwaku hampa. Saat itu, dengan
kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar
kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah?
Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat
ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku,hamba siap
menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”
Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman,
kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai
ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka
cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak
akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita
tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah
hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak
akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk
Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif
keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab
pertanyaanmu. Aku tidak mampu.
Teman-teman dari berbagai lembaga juga
datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak
lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah.
Puluhan wartawan juga datang, tapi aku
tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku.
Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi
almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris
menangisi kehilangan Munir.
PADA 8 September 2004, aku menjemput
jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari
KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan,
beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.
Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir
terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan
doa-doa yang membuat kami tenang kembali.
Sejenak aku ingin hanya berdua dengan
suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku
pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan
saat itu. Sedih, hampa, kosong.
Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia.
Teringat saat-saat indah ketika kami bersama.
Tiba-tiba ada rasa lain
yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan
kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat
terhomat disisi-Mu. Amien.
Di Batu, 12 September 2004, kota
kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang.
Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis,
wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat
pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup
melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.
Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat
Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre
bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak
dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat
bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan
kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.
Seperti menanam sesuatu maka kamu akan
memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan
Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat.
Munir selalu mencoba berjuang bagi
tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan
keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja.
Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar
mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya
‘anak dan istrinya’.
TAK MUDAH bagiku mencerna kehilangan ini.
Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan
menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak,
maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak.
Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku
bangkit lagi.
Munir adalah manusia, sama sepertiku dan
yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya
persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara.
Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus
menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak
akan pernah mengembalikannya.
Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:
“Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku
kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh
memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah
memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah
memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta,
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon
bantuan, Allah memberiku kesempatan. Aku tidak pernah menerima apa yang
kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”
Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati
bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi.
Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku
tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli
kepada kami sekeluarga.
BAGIAN KEDUA
DUA bulan kemudian, tepatnya 11 November
2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada
wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku
sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap
almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah
Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.
Aku berharap teman-teman memiliki
jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun
menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor
Departemen Luar Negeri.
Teleponku ditanggapi seperti ping-pong.
Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak
Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan
kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan.
Entah, keberanian dari mana yang menyusup
dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara
dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon
pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.
Kepada para petinggi itu, aku bertanya,
“Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang
otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan
jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa
diabaikan begitu saja.
Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil
otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal
(Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga
aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.
Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman
Hamid dari KontraS, Binny Buchori dari Infid, Smita dari Cetro dan
beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi
kantor Kabareskrim.
Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang
menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir.
Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum
adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine,
dan darahnya. Ternyata dia memang dibunuh…!
KELUAR dari Mabes Polri, kami sudah
diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga
swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS.
Isinya, mendesak pemerintah untuk segera
melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan
membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan
masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat
di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.
Tak lama pula kami membentuk KASUM
(Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu
yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang
bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini
persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang
diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen
kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil
autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim
pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.
PADA 24 November 2004, Presiden Yudhoyono
bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku
bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004
Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari
Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.
Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif
menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir.
Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan
benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan
kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya
TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.
Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang
merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang
melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat
dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik
kematian Munir, suamiku.
Dia adalah orang yang menelepon suamiku
dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal
keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan
waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku
tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah
orang aneh dan sok akrab.
“Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba
menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke
Swiss,” begitu kata Munir
Terungkap dalam persidangan di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia
adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya
Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen
non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas
dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap
Munir.
Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk
Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui
telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly
yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa
diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan
pembersihan jejak.
KAMI, aku dan teman-teman KASUM, juga
melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui
berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan
dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai
daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta
yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.
Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku
bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas
sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan,
mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan
Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun
1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat
rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama
sang pilot dengan sang jenderal.
Indra Setiawan, saat itu menjabat
Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas
dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada
Indra,
Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?
Indra (menjawab dengan cepat) : Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.
Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.
Belakangan, dalam persidangan, baik
sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun
2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan
yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan
penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang
masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur,
maka pihak Garuda tidak bisa menolak.
BIN mengeluarkan permintaan tersebut
dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada
saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini
sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.
Surat yang diteken As’ad patut diduga
menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi
BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai
pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan
Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan Deputi IV Johannes
Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.
Irjen YWS yang ditulis Suciwati dalam
tulisannya sebagai orang yang patut dapat diduga ikut terlibat dalam
rencana MEMBUNUH Munir
BAGIAN KETIGA
SERANGKAIAN persidangan kasus pembunuhan
Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara
mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya
dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan
surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri
buatku.
Jantungku sakit sekali ketika aku
mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua
kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.
Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu
mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin
keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?
Dua dari tiga hakim yang membebaskan
Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai
tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor
jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam
menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.
Kesedihan sama sekali tidak membuatku
surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati
nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini
terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008
Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan
pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.
Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir
masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan
pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat
menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar
menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara
sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan
pembunuhan ini.
Tragisnya, sampai hari ini proses meraih
kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih
terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.
Benar, ada perkembangan baru dengan
ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini
diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung
untuk membuktikan dugaan tersebut.
Yah, aku berharap persidangan ini
berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa
ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan
berpihak kepadaku?
Aku berharap masih ada jaksa dan hakim
handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja
aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun
dia.
PERJALANAN meraih keadilan begitu
berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat
yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM
dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk
terus berjuang.
Tak jarang teror hadir. Ada ancaman
datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan
statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh
mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia
mendampingi dan menguatkanku.
Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam
negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan
rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru.
Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir.
Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi,
petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.
Tak hanya dari dalam negeri, dukungan
juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya,
68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden
Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS
tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam
menuntaskan kasus Munir.
Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM
(The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi
salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso,
peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan
pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.
Philip Alston, UN Special Rapporteur on
Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan
kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut
kasus Munir.
Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human
Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara),
juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak
Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.
Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen
Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus
Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini
meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.
Mengalirnya dukungan tersebut mestinya
membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini
harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat.
Dukungan bagi pemerintah telah mengalir,
secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk
memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai
terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan
Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu….
Presiden Yudhoyono pernah menyatakan
bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah
bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden.
Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas
internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan
misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran
saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang
telah terjadi.
BAGIKU, Munir adalah cahaya yang tidak
pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya.
Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam,
menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang
Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak
demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para
pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.
Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau
beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab
aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan
ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran
sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan
menurutMu.
Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang
lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau
muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi
manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.
Bekasi, September 2008. Tamat (katakami)
LAMPIRAN (BERITA YANG DIMUAT DI WWW.KOMPAS.COM )
SANTET JADI ALTERNATIF BUNUH MUNIR
Kamis, 25 September 2008 | 11:18 WIB
Kamis, 25 September 2008 | 11:18 WIB
JAKARTA, KAMIS — Santet ternyata menjadi
salah satu cara atau intrik yang akan digunakan untuk membunuh aktivis
HAM Munir pada tahun 2004. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan
pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan, Kamis
(25/9/2008), dari kesaksian aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia (PBHI) Hendardi.
Alternatif intrik ini merupakan petunjuk
dari dokumen yang diperoleh Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sekitar tahun
2005. Menurut Hendardi, dokumen tersebut diterima Ketua TPF Marsudi
Hanafi. Namun, mereka tidak mengetahui dari siapa dokumen tersebut
berasal.
Dokumen tersebut merupakan hasil tulisan
seseorang atau sejumlah orang yang tidak diketahui mengenai skenario
pembunuhan yang akan dipakai untuk membunuh Munir. Skenario tersebut
memuat pengetahuan dan analisis orang-orang tersebut mengenai siapa yang
terlibat, tempat dan waktu pertemuan, perencanaan cara dan intrik
alternatif pembunuhan dilangsungkan.
Di dalamnya juga memuat nama target lain
selain Munir serta eksekutornya, tapi Hendardi mengaku lupa. “Tapi
karena terakhir masa TPF tak kami jadikan data primer,” ujar Hendardi.
Selain intrik pembunuhan dengan santet,
intrik pembunuhan dengan racun juga tercantum di dalamnya. Bahkan
dituliskan telah dicobakan kepada hewan hingga hewan itu mati.
Amnesia-nya Mereka Yang Mendadak Anti ISIS
PADAHAL BELUM LAMA INI MEREKA YANG KONON ANTI ISIS... ITU... ADALAH SANGAT ... MENDUKUNG ISIS UNTUK MEMBUNUH UMAT MUSLIMIN BANGSA SURIAH-TAK PEDULI SUNI-SYIAH-ATAW NON MUSLIM..YG DIANGGAP PRO BASYAR ASSAD..??
15/08/2014
Dina Sulaiman
Masih ingat seorang politikus PKS yang mendukung serangan Amerika ke pemerintahan Suriah September 2013 lalu? Apakah masih ingat siapa yang memberontak terhadap Bashar yang diminta dibantu oleh Amerika itu? Jawabnya adalah ISIS. Tapi tiba-tiba banyak pihak yang selama ini mendukung ISIS/IS yang kemudian seolah-olah kaget dan terkejut karena sepak terjang kelompok teroris ini. Itulah yang hendak diingatkan oleh penulis catatan "curhat" di bawah ini. [lppimakassar.net]
Masih ingat seorang politikus PKS yang mendukung serangan Amerika ke pemerintahan Suriah September 2013 lalu? Apakah masih ingat siapa yang memberontak terhadap Bashar yang diminta dibantu oleh Amerika itu? Jawabnya adalah ISIS. Tapi tiba-tiba banyak pihak yang selama ini mendukung ISIS/IS yang kemudian seolah-olah kaget dan terkejut karena sepak terjang kelompok teroris ini. Itulah yang hendak diingatkan oleh penulis catatan "curhat" di bawah ini. [lppimakassar.net]
Ada segelintir orang (termasuk saya) yang sejak 2012 mengingatkan
bahayanya konflik di Suriah, yang apinya akan menyebar kemana-mana,
termasuk Indonesia. Tapi, suara-suara kami lenyap ditelan dahsyatnya
propaganda media mainstream, media nasional, media berlabel ‘Islam’,
ustadz-ustadz yang aktif di media sosial, dan para netizen awam yang bak
kerbau dicocok hidung men-share berita-berita pro-“mujahidin” dan
narasi-narasi kebencian. Saat itu, para penjagal di Suriah itu dianggap
layak disebut ‘mujahidin’ karena konon mereka Sunni yang sedang melawan
rezim -konon- Syiah kafir terlaknat.
Ketika fakta kesadisan para penjagal itu sudah tak bisa ditutup-tutupi lagi dan tak bisa lagi diterima akal sehat manusia normal, dan memiliki nama “ISIS”, semua berteriak-teriak “Itu buatan Amerika dan Israel!” Dan seolah dengan teriakan itu, gugur sudah dosa-dosa mereka yang dulu menyebarkan berita palsu soal Suriah dan mengintimidasi segelintir orang yang berani bersuara berbeda. Kalian berusaha sebarkan narasi bahwa ISIS adalah organisasi ‘sesat’ (seperti kata salah satu pengamat yang sering masuk TVOne: jihadnya benar, tapi caranya salah; kelompok jihad yang lain itu benar, tapi ISIS ini salah).
Seolah, dengan menyebutnya ‘anti Amerika-Israel’,maka yang salah adalah bule-bule di luar sana, bukan kalian, para pendukung ‘jihad’ Suriah, yang aktif berkoar-koar mendukung jihad Suriah sejak 2012.
Oya? Sedemikian hebatnya-kah orang AS dan Israel, sehingga bisa membuat ratusan ribu muslim dari berbagai penjuru dunia datang dengan sukarela ke Suriah untuk mempertaruhkan nyawa, “berjihad”, menjagal sambil berteriak Allahu Akbar? Apa ratusan ribu jihadis itu robot yang bisa disetir dengan remote control?
Tidak, tentu saja.
Betapa amnesianya kalian. Kalian lupakan sejarah kemunculan ISIS. Tanpa dukungan kalian, ISIS hari ini tak akan muncul.
Kalianlah yang bersalah atas lahirnya ISIS: kalian yang sekarang berteriak-teriak ISIS buatan AS, tapi di masa lalu (dan bahkan sampai sekarang) menyebarluaskan paham kebencian pada ‘orang yang berbeda’. Kalian, yang berkeliling Indonesia, menyebarkan kebencian, sambil menggalang dana, yang kalian salurkan kepada para jihadis.
Kalian, yang dalam pengajian-pengajian kalian menolak mengajarkan persaudaraan, cinta kasih, cinta pada negara, kesetiaan pada bangsa dan negara. Kalian, yang mengajarkan bahwa kesetiaan itu harus diberikan kepada syekh-syekh entah darimana, yang kalian bahkan tak begitu tahu nama aslinya, sosoknya, kepribadian, dan kesehariannya. Kalian, para ibu, para guru, para ustad/ustadzah yang di status-status facebook kalian, men-share tulisan-tulisan kebencian, hanya karena berpikir: ini kata ustadz saya, pasti benar, tak perlu lagi diverifikasi.
Kalianlah yang bersalah: kalian yang sekarang cuci tangan dan menolak ISIS, padahal di AD/ART organisasi kalian mengandung ideologi yang sama dengan ideologi ISIS. Hanya bedanya, ISIS sudah menjelma menjadi monster nyata yang menakutkan semua orang. Sementara kalian masih sekedar menuliskannya di AD/ART, masih sekedar berkoar-koar di mimbar-mimbar, masih sekedar mengumbar kebencian dalam setiap kesempatan. Termasuk juga, kalian, pejabat yang menolak menutup situs-situs penyebar kebencian dan penyokong utama jihad Suriah. Termasuk kalian: ormas yang menolak bersikap tegas menghentikan penyebaran narasi kebencian di negeri ini, padahal jelas-jelas mengatasnamakan ormas kalian. Kalian tahu salah, tapi diam saja.
AS dan Israel memang punya andil besar dalam konflik Timteng. Tapi jangan amnesia, andil kalian lebih besar lagi.
Semoga dengan ‘membesar’-nya ISIS, bayi yang tanpa sadar sudah kalian lahirkan dan besarkan, kalian menjadi sadar, betapa bahayanya ideologi kalian itu.
Sumber: Diambil dari blog Dina Sulaeman dengan judul yang sama. Diposting tanggal 14 Agustus 2014
Ketika fakta kesadisan para penjagal itu sudah tak bisa ditutup-tutupi lagi dan tak bisa lagi diterima akal sehat manusia normal, dan memiliki nama “ISIS”, semua berteriak-teriak “Itu buatan Amerika dan Israel!” Dan seolah dengan teriakan itu, gugur sudah dosa-dosa mereka yang dulu menyebarkan berita palsu soal Suriah dan mengintimidasi segelintir orang yang berani bersuara berbeda. Kalian berusaha sebarkan narasi bahwa ISIS adalah organisasi ‘sesat’ (seperti kata salah satu pengamat yang sering masuk TVOne: jihadnya benar, tapi caranya salah; kelompok jihad yang lain itu benar, tapi ISIS ini salah).
Seolah, dengan menyebutnya ‘anti Amerika-Israel’,maka yang salah adalah bule-bule di luar sana, bukan kalian, para pendukung ‘jihad’ Suriah, yang aktif berkoar-koar mendukung jihad Suriah sejak 2012.
Oya? Sedemikian hebatnya-kah orang AS dan Israel, sehingga bisa membuat ratusan ribu muslim dari berbagai penjuru dunia datang dengan sukarela ke Suriah untuk mempertaruhkan nyawa, “berjihad”, menjagal sambil berteriak Allahu Akbar? Apa ratusan ribu jihadis itu robot yang bisa disetir dengan remote control?
Tidak, tentu saja.
Betapa amnesianya kalian. Kalian lupakan sejarah kemunculan ISIS. Tanpa dukungan kalian, ISIS hari ini tak akan muncul.
Kalianlah yang bersalah atas lahirnya ISIS: kalian yang sekarang berteriak-teriak ISIS buatan AS, tapi di masa lalu (dan bahkan sampai sekarang) menyebarluaskan paham kebencian pada ‘orang yang berbeda’. Kalian, yang berkeliling Indonesia, menyebarkan kebencian, sambil menggalang dana, yang kalian salurkan kepada para jihadis.
Kalian, yang dalam pengajian-pengajian kalian menolak mengajarkan persaudaraan, cinta kasih, cinta pada negara, kesetiaan pada bangsa dan negara. Kalian, yang mengajarkan bahwa kesetiaan itu harus diberikan kepada syekh-syekh entah darimana, yang kalian bahkan tak begitu tahu nama aslinya, sosoknya, kepribadian, dan kesehariannya. Kalian, para ibu, para guru, para ustad/ustadzah yang di status-status facebook kalian, men-share tulisan-tulisan kebencian, hanya karena berpikir: ini kata ustadz saya, pasti benar, tak perlu lagi diverifikasi.
Kalianlah yang bersalah: kalian yang sekarang cuci tangan dan menolak ISIS, padahal di AD/ART organisasi kalian mengandung ideologi yang sama dengan ideologi ISIS. Hanya bedanya, ISIS sudah menjelma menjadi monster nyata yang menakutkan semua orang. Sementara kalian masih sekedar menuliskannya di AD/ART, masih sekedar berkoar-koar di mimbar-mimbar, masih sekedar mengumbar kebencian dalam setiap kesempatan. Termasuk juga, kalian, pejabat yang menolak menutup situs-situs penyebar kebencian dan penyokong utama jihad Suriah. Termasuk kalian: ormas yang menolak bersikap tegas menghentikan penyebaran narasi kebencian di negeri ini, padahal jelas-jelas mengatasnamakan ormas kalian. Kalian tahu salah, tapi diam saja.
AS dan Israel memang punya andil besar dalam konflik Timteng. Tapi jangan amnesia, andil kalian lebih besar lagi.
Semoga dengan ‘membesar’-nya ISIS, bayi yang tanpa sadar sudah kalian lahirkan dan besarkan, kalian menjadi sadar, betapa bahayanya ideologi kalian itu.
Sumber: Diambil dari blog Dina Sulaeman dengan judul yang sama. Diposting tanggal 14 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar