Melawan Lupa (17): Jurnalisme Kompas, Menyihir 'Boleh
Korupsi Asal Santun'
Berita Terkait
- Pernyataan FUI tentang Penerbitan Karikatur Menghina Islam oleh The Jakarta Post
- Aa Gym : Karikatur Jakarta Post Sangat Melukai Hati, Penghinaan Amat Keji
- TPM: Indonesia Merdeka karena Islam, The Jakarta Post Jangan Lecehkan Lafadz Tauhid
- Jokowi, Siapa yang Berbohong di Bulan Puasa?
Selasa, 11 Ramadhan 1435 H / 8 Juli 2014 07:00 wib
http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2014/07/08/31462/melawan-lupa-17-jurnalisme-kompas-menyihir-boleh-korupsi-asal-santun/#sthash.Rm1Muyey.dpbs
Melawan Lupa (17): Jurnalisme Kompas, Menyihir 'Boleh Korupsi Asal Santun'
Tulisan tajam dan pisau analisa yang presisi
kerap ditorehkan Faizal Assegaf, Ketua Progress 98 ini. Tulisan yang ia unggah
di Visibaru.com ini berjudul "Jurnalisme Kompas dan Premanisme
Ahok" hadir ditengah kepongahan media Kompas yang secara apik
mengemas kenaifan dan kemunafikan secara sistematis berbalut humanisme dan
kesantunan artificial.
Ia menyitir Prof Dr Arief Budiman, Dosen di
Melbourne University, dalam diskusi bertema "Media dan Kekuasaan" di
Gedung Pers Semarang (23/3/2007) menegaskan, opini publik yang dibuat media
massa sangat memberi andil besar menopang agenda politik kekuasan.
Tak heran, para penguasa dan orang-orang kuat
(cukong) berlomba menguasai media untuk menampilkan image dan melegitimasi
kepentingan mereka di hadapan rakyat.
Kompas adalah salah satu media yang dianggap
paling mumpuni menyalurkan syahwat pencitraan penguasa dan para cukong
(konglomerasi hitam). Dalam berbagai penampilan Jokowi - Ahok, penyajian berita
oleh kompas sukses mengkelabui publik.
Dengan kreasi tipu muslihat, Kompas bergerak
tanpa halangan menyihir akal sehat publik. Tak mengherankan karena Kompas,
dan juga Tempo dipromotori oleh Ivan Kats, Agen CIA pada tahun 1960an silam.
Kehandalan Kompas meracik berita untuk
melanggengkan kepentingan penguasa dan konglomerasi telah berlangsung puluhan
tahun dan menjadi watak bawaan. Dengan kreasi tipu muslihat, Kompas bergerak
tanpa halangan menyihir akal sehat publik.
Tak mengherankan karena Kompas, dan juga Tempo dipromotori
oleh Ivan Kats, Agen CIA pada tahun 1960an silam.
Di era kekuasaan Orde Baru, Kompas berdiri di
garis terdepan membela berbagai kepentingan rezim Soeharto. Selama tiga puluh
dua tahun hubungan Kompas dan rezim diktator berlangsung mesra di bawah slogan
industri pers: "jurnalisme damai".
Kompromi Kompas dengan penguasa dan konglomerasi
tidak terbangun gratis. Namun kolusi itu memberi keuntungan besar, baik
sokongan finansial maupun politik. Walhasil, media jaringan Katolik tersebut,
tumbuh sebagai industri pers dengan capaian keuntungan triliun rupiah dan
memperlebar berbagai usahanya di sejumlah sektor.
Praktek industri pers ala Kompas, oleh para pakar
jurnalisme menyebutnya sebagai "modus kejahatan bertopeng pers".
Yakni, membela kepentingan penguasa dan cukong dengan cara menipu publik.
Namun, di mata misionaris Katolik, pendekatan kompas dianggap halal dan efektif
untuk membodohi ummat Islam.
Premanisme Kepemimpinan Ahok
Bila di
masa Orde Baru, Kompas sukses meraih keuntungan besar di bawah panji:
"jurnalisme damai", maka pada era reformasi pendekatan itu berganti
dengan doktrin: "jurnalisme santun". Beda di cara namun tetap mengais
untung dengan menipu publik.
Jurnalisme
santun terkenal canggih lantaran sukses mendongkrak pengaruh pencitraan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kurun waktu hampir 10 tahun. Dan di ujung
kekuasaan SBY, Kompas perlahan bergerak mundur dan menjalin mitra barunya dengan
PDIP guna menyokong proyek pencitraan Jokowi - Ahok.
Tak
heran, jurnalisme santun Kompas menuai sindiran dari berbagai kalangan dengan
apa yang mereka sebut sebagai: "Distorsi menifestasi pers yang berpijak
pada spirit dan ajaran Katolik".
Kritikan
yang menegaskan adanya kerancuan dari ajaran Katolik yang gencar menyerukan
kejujuran dan kesantunan, tapi di balik semua itu hanyalah kepura-puraan
semata.
Ihwal
kerancuan itu oleh Ketua Pembina Partai Gerindra dengan lantang mengatakan:
"boleh korupsi asal santun, boleh menipu asal santun, boleh maling uang
rakyat tapi harus santun..."
Tudingan
Prabowo menghantam perilaku penguasa dan figur-figur publik yang dicitrakan
oleh Kompas dengan aneka berita yang dikemas dalam bahasa kesantunan namun
tujuannya terbukti mengkelabui rakyat.
Tapi ada
yang menarik. Dalam perilaku Ahok, jurnalisme santun rekayasa Kompas menjadi
kontradiktif. Gaya
premanisme Ahok justru dihadirkan oleh Kompas secara mencolok dan agresif
menggilas nurani publik.
Ahok
tampil bebas menggulir berbagai pernyataan yang kasar. Acap kali bersuara
dengan kata-kata kotor, tapi justru oleh Kompas dianggap lumrah dan diklaim
sebagai gaya
kepemimpinan yang sejalan dengan kehendak rakyat banyak.
Premanisme
kepemimpinan Ahok bebas menghias hampir semua halaman Kompas, lantaran sosok
tersebut hadir sebagai keterwakilan minoritas dan mendapat sokongan dana besar
dari jaringan cukong.
Publik
pun khawatir, kelak nanti bila ada gembong Narkoba yang disokong oleh para
cukong untuk merebut kekuasaan, maka Kompas pun memolesnya dalam aneka rekayasa
pencitraan untuk menipu rakyat.
Munarman : Kompas pandai menyembunyikan misi ideologisnya
Munarman
yang merupakan pengacara dan Juru Bicara FPI ini mengungkap sesuatu yang jarang
di ungkap banyak pihak, soal dewan pers yang tak akan membela
media-media Islam.
Dengan
gayanya yang berapi-api, lugas, cerdas dan tajam dalam ulasan yang membuka mata
kita soal kenetralan sebuah media, "Jangan berharap ada media yang netral,
kita lihat di Tempo Gunawan Mohamad menulis bahwa Pers tidak harus netral. Oh
Jelas itu kenyataan, kita saja yang bodoh yang menganggap itu netral, seperti
Kompas dan Tempo segala macam itu netral. Bodoh kita namanya" tegasnya.
Munarman
sedikit demi sedikit membongkar media-media mainstream yang sejatinya memusuhi
umat Islam, "Jadi kalo ada yang berharap pers mau memuat apa yang kita
(umat Islam) inginkan yang berbeda dengan kepentingan mereka, maka kita bodoh
karena kita tidak tahu siapa musuh kita , kita buta dengan dunia, buta dengan
fakta diluar kita, maka ini yang perlu dipahami," urainya lagi.
Ia
uraikan fakta bahwa media mereka punya misi masing-masing yang merugikan umat
Islam dalam kontek kekerasan budaya, dan misi mereka adalah anti Islam, dalam
perspektif Islam tentunya. "Mereka memanfaatkan betul media-media besar
itu adalah alat propaganda, propaganda anti Islam, mereka media-media besar
itu. Maka media Islam wajib juga menjadi media propaganda Islam. Karena mereka
propagandakan anti Islam." jelasnya lagi.
Mereka
memanfaatkan betul media-media besar itu adalah alat propaganda, propaganda
anti Islam, mereka media-media besar itu. Maka media Islam wajib juga menjadi
media propaganda Islam." jelasnya lagi.
Media Kompas, Tempo Pintar Menyembunyikan Misi Ideologisnya
Tak bisa
dipungkiri media besar adalah alat propaganda dan ideologis, "Media besar
itu seperti Kompas, Tempo dan lainnya pintarnya mereka bisa
menyembunyikan misi ideologisnya, dan mereka hanya menampilkan aspek-aspek yang
bersifat humanisnya, tetapi misi ideologisnya bisa mereka sembunyikan"
imbuh Munarman.
Misi ideologis seperti apa?
Munarman menambahkan " misi
ideologisnya adalah membangun sebuah tata peradaban, sistem dan tata nilai yang bertentangan dengan nilai Islam, yaitu
Sepilis (Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme) atau yang mereka
sebut dengan demokrasi sebetulnya."
Contohnya
saja media Kompas, kita bisa lihat pada awal tahun 1960-an. Kita bisa cek dari
buku 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' karya Wijaya Herlambang.
Dalam
buku yang ditulis yang aslinya adalah tesis Wijaya Herlambang yang merupakan
aliran kiri itu kini seorang dosen, ia menelanjangi keterlibatan CIA dalam
pendirian Kompas dan Tempo yang kini bagai gurita media di Indonesia.
"Dalam
buku itu datanya lengkap, membuka siapa itu Gunawan Mohamad dan PK Ojong.
Mereka berdua berhubungan erat dengan Ivan Kats, seeorang Agen CIA yang masuk
ke dalam CCF (Congres For Cultural Freedom) berpusat di Prancis untuk
menggalang anti komunis dan menyebarkan ide SEPILIS. Dan termasuk pendirian
Kompas dan Tempo atas dorongan dari Ivan Kats. Maka jika mereka sudah
berhubungan dengan intelijen begitu maka bisa kita duga, sekali lagi bisa kita
duga ada campur tangan CIA dalam pendirian kedua media itu (Kompas dan Tempo),
begitu cara melacaknya." urainya rinci.
Demikian
halnya dengan media Islam, harus menjadi propaganda Islam, bukan hobi semata
menurut Munarman, "Ini benar-benar pertempuran ideologis, bukan sentimen
kita seneng dengan Islam, karena Islam itu bukan hobi, bukan untuk disenangi,
Islam itu untuk dijalankan (dalam kehidupan kita sehari-hari)"
apa yang
didukung Kompas dan Tempo itu pasti salah karena ada pesanan aseng dana asing,
jadi patokan kebenaran adalah apa yang tidak di dukung atau dijelek-jelekan
Kompas dan Tempo berarti itu yang benar. Coba saja perhatikan
Munarman
menyatakan, "Pokoknya apa yang didukung Kompas dan Tempo itu pasti salah
karena ada pesanan aseng dana asing, jadi patokan kebenaran adalah apa yang
tidak di dukung atau dijelek-jelekan Kompas dan Tempo berarti itu yang benar.
Coba saja perhatikan" tegasnya.
Sesuai
dengan misinya, Mashadi Pimred Voa-Islam ini menyatakan bahwa "Voa-Islam
menjadi anti-tesa media-media mainstream yang memutar balikan fakta dan akal
sehat, apa yang didukung jaringan Kompas dan Tempo biasanya ada kepentingan Sepilis dan asing,
indikatornya adalah apa yang didukung mereka itu biasaanya merugikan umat
Islam, nah kita dukung yang dibenci Kompas dan Tempo, tentu dalam konteks
kebenaran dan kesahihan hakiki." ujarnya saat acara Silaturahim Nasional 5
Tahun Voa Islam dan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di Hotel Gren Alia Cikini 26
Juni silam.
Ingat
kata Bung Karno : “Jika asing memuji-memuji pemimpin kita, itu tandanya
pemimpin itu lemah, busuk, tidak layak jadi Pemimpin atau Presiden! demikian
halnya dengan para media pendukungnya.”
Ga usah
mikir copras capres, nanti otaknya bocal bacel demikian sindir Cak Lontong,
hehehe. [dzarwatuSanam/voa-islam.com]
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2014/07/08/31462/melawan-lupa-17-jurnalisme-kompas-menyihir-boleh-korupsi-asal-santun/#sthash.Rm1Muyey.dpuf
Munarman: Kompas & Tempo Itu Media Ideologis, Bisa Kita Duga CIA Terlibat Sejak
1960
Berita Terkait
- Pernyataan FUI tentang Penerbitan Karikatur Menghina Islam oleh The Jakarta Post
- Aa Gym : Karikatur Jakarta Post Sangat Melukai Hati, Penghinaan Amat Keji
- TPM: Indonesia Merdeka karena Islam, The Jakarta Post Jangan Lecehkan Lafadz Tauhid
- Jokowi, Siapa yang Berbohong di Bulan Puasa?
Senin, 11 Ramadhan 1435 H / 7 Juli 2014 23:00 wib
http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2014/07/07/31392/munarman-kompas-tempo-itu-media-ideologis-bisa-kita-duga-cia-terlibat-sejak-1960/#sthash.AVWGoRyy.dpbs
Munarman: Kompas & Tempo Itu Media Ideologis, Bisa Kita Duga CIA Terlibat Sejak 1960
JAKARTA
(voa-islam.com) - Ada
sekelumit fakta dan pernyataan yang menarik dari Munarman SH saat menjadi
pembicara acara Silaturahim Nasional 5 Tahun Voa Islam di Hotel Gren Alia
Cikini 26 Juni 2014 silam.
Poin
pertama saat ia
menjadi pembicara pada acara Voa-Islam dengan tema 'Jurnalistik dan Hukum'.
Munarman mengungkap sesuatu yang jarang di ungkap banyak pihak, soal dewan pers
yang tak akan membela
media-media Islam.
Dengan
gayanya yang khas dan tajam dalam membuka pembicaraan dengan ulasan yang
membuka mata kita, bahwa jangan berharap ada media yang netral, "Jangan
berharap ada media yang netral, kita lihat di Tempo Gunawan Mohamad menulis
bahwa Pers tidak harus netral. Oh
Jelas itu kenyataan, kita saja yang bodoh yang menganggap itu netral, seperti
Kompas dan Tempo segala macam itu netral. Bodoh kita namanya" tegasnya.
Munarman
sedikit demi sedikit membongkar media-media mainstream yang sejatinya memusuhi
umat Islam, "Jadi kalo ada yang berharap pers mau memuat apa yang kita
(umat Islam) inginkan yang berbeda dengan kepentingan mereka, maka kita bodoh
karena kita tidak tahu siapa musuh kita , kita buta dengan dunia, buta dengan
fakta diluar kita, maka ini yang perlu dipahami," urainya lagi.
Ia
uraikan fakta bahwa media mereka punya misi masing-masing yang merugikan umat
Islam dalam kontek kekerasan budaya, dan misi mereka adalah anti Islam, dalam
perspektif Islam tentunya. "Mereka memanfaatkan betul media-media besar
itu adalah alat propaganda, propaganda anti Islam, mereka media-media besar
itu. Maka media Islam wajib juga menjadi media propaganda Islam. Karena mereka
propagandakan anti Islam." jelasnya lagi.
Mereka
memanfaatkan betul media-media besar itu adalah alat propaganda, propaganda
anti Islam, mereka media-media besar itu. Maka media Islam wajib juga menjadi
media propaganda Islam." jelasnya lagi.
Media
Kompas, Tempo Pintar Menyembunyikan Misi Ideologisnya
Tak bisa
dipungkiri media besar adalah alat propaganda dan ideologis, "Media besar
itu seperti Kompas, Tempo dan lainnya pintarnya mereka bisa
menyembunyikan misi ideologisnya, dan mereka hanya menampilkan aspek-aspek yang
bersifat humanisnya, tetapi misi ideologisnya bisa mereka sembunyikan"
imbuh Munarman.
Misi ideologis seperti apa?
Munarman
menambahkan " misi ideologisnya adalah membangun sebuah tata peradaban,
sistem dan tata nilai yang
bertentangan dengan nilai Islam, yaitu Sepilis (Sekulerisme,
Liberalisme, Pluralisme) atau yang mereka sebut dengan demokrasi
sebetulnya."
Contohnya
saja media Kompas, kita bisa lihat pada awal tahun 1960-an. Kita bisa cek dari
buku 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' karya Wijaya Herlambang.
Dalam buku
yang ditulis yang aslinya adalah tesis Wijaya Herlambang yang merupakan aliran
kiri itu kini seorang dosen, ia menelanjangi keterlibatan CIA dalam pendirian
Kompas dan Tempo yang kini bagai gurita media di Indonesia.
"Dalam
buku itu datanya lengkap, membuka siapa itu Gunawan Mohamad dan PK Ojong.
Mereka berdua berhubungan erat dengan Ivan Kats, seeorang Agen CIA yang masuk
ke dalam CCF (Congres For Cultural Freedom) berpusat di Prancis untuk
menggalang anti komunis dan menyebarkan ide SEPILIS. Dan termasuk pendirian
Kompas dan Tempo atas dorongan dari Ivan Kats. Maka jika mereka sudah
berhubungan dengan intelijen begitu maka bisa kita duga, sekali lagi bisa kita
duga ada campur tangan CIA dalam pendirian kedua media itu (Kompas dan Tempo),
begitu cara melacaknya." urainya rinci.
Demikian
halnya dengan media Islam, harus menjadi propaganda Islam, bukan hobi semata
menurut Munarman, "Ini benar-benar pertempuran ideologis, bukan sentimen
kita seneng dengan Islam, karena Islam itu bukan hobi, bukan untuk disenangi,
Islam itu untuk dijalankan (dalam kehidupan kita sehari-hari)"
"Poin
kedua, di dalam
undang-undang pers itu memang memiliki fungsi ada 5, yaitu fungsi informasi,
hiburan, pendidikan, sosial kontrol, ekonomi. Tidak ada fungs-fungsi lainya,
itulah mereka pandai menyembunyikan misi ideologisnya dalam kelima misi
tersebut." imbuhnya
Misalnya
saja untuk fungsi ekonomi itu adalah jelas ekonomi kapitalisme, selanjutnya
fungsi informasi adalah propaganda bagaiman demokrasi, HAM adalah baik untuk
semua manusia. Mereka bisa menyembunyikan di dalam poin-poin itu.
Maka
dari itu Munarman kembali meyakinkan, "kalo kita sudah masuk ke dunia
pers, masuk ke dunia informasi ini adalah perang informasi, tidak lain dan
tidak bukan hakikatnya adalah alat perang propaganda, kalo kita tak tahu
caranya menjadi propagandis yang baik maka kita akan keteteran."
3 Jenis Kelompok Wartawan Sekuler
Maka
dari itu banyak hal yang disembunyikan, Ia kembali mengurai kebohongan makna
kode etik jurnalistik "wartawan-wartawan sekarang ini bull shit, omong
kosong kalo masih berpegang pada kode etik jurnalistik."
Ia
mengurai 3 jenis kelompok wartawan sekuler, "Karena wartawan itu ada tiga
macam,
1)
Kelompok pertama ada wartawan
Ideologis. "Dedengkotnya Tempo Gunawan Mohamad, dan
mantan Dewan Pers Uni Lubis, mereka dedengkot dalam konteksnya menyebarkan
SEPILIS (Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme) dan ANTI ISLAM." tegas
Munarman. Kelompok Ideologis ini hanya menyebarkan saja namun mereka tak berani
melakukan.
Contohnya
saja saat Uni Lubis mempromosikan Majalah Playboy, Popular atau sejenisnya
bukan pornografi, Uni Lubis menyebutnya sebagai produk pers. "Kalo foto
dengan celana dalam disebut bukan sebuah pornografi maka coba Uni Lubis ke
kantor hanya dengan pakai (*maaf) Bra dan CD saja. Berani ga? Nah Kan
tidak berani Dia. Itu hanya menyebarkan liberalisme dana merusak orang saja.
Nah dia tidak konsisten jadinya."
Mereka
tergabung dalam The Editors
Club, dedengkot yang punya kekuasaan pada media-media itu kerap
bertemu di hotel-hotel berbintang dalam membahas dan menentukan serta
menyepakati opini-opini apa saja yang akan disebarkan media-media mereka.
Wartawan
Ideologis ini bagi yang masih muda, diberi beasiswa dan bekerjasama dengan
Kedubes Amerika untuk dibentuk menjadi wartawan Ideologis alias misionaris dan
propagandis.
"Mereka
sudah bersatu, maka media Islam harus bersatu jangan ribut saja antara
wartawan, bagaimana mau melawan mereka kalo tidak bersatu," demikian saran
Munarman.
2)
Kelompok kedua wartawan Pragmatis yang hanya datang
pada undangan liputan, reportase dan konferensi pers saja.
Karena
mereka bukan pemegang kebijakan redaksi, maka kalo kita kasih amplop atau uang
pun tidak akan keluar di media massa,
karena harus melewati kebijakan para kelompok Ideologis alias misionaris dan propagandis
yang memberikan izin untuk tayangkan berita.
3)
Ketiga wartawan Idealis yang
cukup jarang saat ini. Cenderung menjadi minoritas di media.
Sistematis Cara Kerja Mereka & Bekerjasama
Dengan AS, Inggris, Australia
Menurut
Munarman, cara kerja mereka kerja sangat sistematis. Ketika LSM menggelar
konferensi pers dan mengundang mereka maka cepat sekali berita LSM masuk
ke media mereka.
"Karena
para wartawan ideologis sudah berteman dengan LSM dan kedubes Amerika, Inggris, Australia
ketika diberikan melalui beasiswa dan secara spesifik ada kontrak-kontraknya.
Jadi jangan heran jika ormas-ormas Islam mengundang mereka akan sulit tayang
beritanya. Misalnya korban Densus 88 mengundang wartawan media maka tidak akan
ada yang" urainya.
Bagi
pemilik media Islam perlu memanfaatkan betul medianya sebagai alat propaganda
Islam. Semoga Allah membela dan langkah kita meninggikan kalimat Allah agar
semakin tinggi.
Sebagaimana
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah ! ada
seseorang yang berperang karena keberaniannya, ada lagi karena fanatik
(golongan), ada juga karena riya, mana diantara mereka yang termasuk berjihad
di jalan Allah ? maka beliau menjawab : “Barangsiapa yang berperang di jalan
Allah agar kalimat Allah tinggi maka dia di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari
7458 dan Muslim 1904].
[adivammar/voa-islam.com]
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2014/07/07/31392/munarman-kompas-tempo-itu-media-ideologis-bisa-kita-duga-cia-terlibat-sejak-1960/#sthash.AVWGoRyy.dpuf
Pater Beek, Kasbul dan Jokowi
Posted Politik
http://yudisamara.org/2014/06/22/pater-beek-kasbul-dan-jokowi/
Pater Beek Kasbul Jokowi
in
http://yudisamara.org/2014/06/22/pater-beek-kasbul-dan-jokowi/
Pater Beek Kasbul Jokowi
M. Sembodo penulis buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’ menulis
tentang gerakan apa yang disebut Kasbul (Katholik Sebulan). Dalam sebuah
situs ‘tikus merah’ Sembodo mengulas skenario gerakan Kasbul, termasuk
pengkaitan gerakan rahasia ini dengan pencapresan Joko Widodo (Jokowi).
Berikut tukilannya:
Kasbul merupakan ajang bagi Pater Beek untuk mendidik kader-kader
Katolik yang militan. Awalnya, tempat kaderisasi terletak di Asrama
Realiono, Yogyakarta. Letak asrama ini tak jauh dari kampus Universitas
Sanata Dharma di Jalan Gejayan (sekarang bernama Jalan Afandi)
Yogyakarta. Di tempat inilah para kader Katolik muda dididik untuk
menghadapi kaum Komunis dan Islam.
Pater Beek memang dikenal sebagai rohoniawan yang anti Komunis.
Sebelum peristiwa 1965 pecah, Pater Beek mendidik mahasiswa-mahasiswa
Katolik dalam Kasbul untuk melawan kekuatan Komunis.
Richard Tanter (1991) menyatakan:
“
Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar bagi Indonesia maupun bagi Gereja, yaitu Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman.”
Richard Tanter (1991) menyatakan:
“
Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar bagi Indonesia maupun bagi Gereja, yaitu Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman.”
Oleh sebab itu, Pater Beek mengkonsolidasi kekuatan untuk melawan
Komunisme yang saat itu kuat di Indonesia. Ia kumpulkan mereka untuk
diberi pendidikan. Terutama yang dihimpun adalah mahasiswa-mahasiswa
Katolik dari berbagai daerah. Dalam buku berjudul “Bayang-bayang PKI”
(1986) dijelaskan:
“Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina
anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagi kekuatan
anti-komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia), yang saat itu merupakan organisasi underbouw Partai
Katolik.
Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dan CIA.”
Keterlibatan Pater Beek adalam gerakan anti Komunis juga ditulis oleh
Oei Tjoe Tat (1995) dalam memoarnya. Ia memberikan kesaksian sebagai
berikut:
“Pater Beek itu, saya lihat pertama kali setelah saya dibebaskan.
Saya di dalam tahanan mendengar dari orang-orang PNI, BAPERKI, PKI, dan
sebagainya bahwa Pater Beek ini adalah agen CIA. Dia membina
pemuda-pemuda keturunan Katolik, terutama pemuda-pemuda keturunan
Tionghoa-Katolik, untuk antara lain membakar gedung Kedubesan RRT,
membakar gedung Universitas Res Publika dan menghancurkan semua
gedung-gedung PKI atau rumah-rumah orang PKI. Ini dianggap ultra-kanan.
Selama saya mendengarkan itu, saya di RTM. Bagaimanapun saya Katolik.
Jadi, ada seorang pastur Katolik begitu, saya diam. Tapi pada waktu saya
diperkenalkan dengan Pater Beek dan datang ke sini [RTM-red] kemudian,
dia mengaku. Dia bilang begini pada saya, “Kalau pak Oei perlu sesuatu
dari…, saya bisa. Ali Moertopo, semua jenderal.” Saya dengar dia ini
membantu Liem Bian Koen dan Liem Bian Khie, Sumarlin. Semua ini di bawah
dia. Dia juga kuat di PMKRI.”
Ketika PKI ditumpas pasca Peristiwa 1965, Pater Beek, lewat Ali
Moertopo, menyerahkan 5.000 nama orang-orang PKI pada CIA. Hal ini
terungkap ketika wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane yang
mewawancarai mantan pejabat Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, pejabat
CIA dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Ia mendapatkan pengakuan dari nara sumbernya itu. Salah satu yang
diwawancarai adalah Lydman—mantan wakil kepala misi Kedubes Amerika
Serikat di Jakarta. Dalam wawancara tersebut Lydman mengatakan
pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya juga
dibantu oleh Ali Moertopo.
Lantas bagaimana nasib 5.000 nama orang-orang komunis tersebut?
Robert J Martens yang saat Peristiwa 1965 pecah menjabat sebagai
Sekretaris I Kedubes Amerika Serikat melakukan pengecekan terhadap
5.000 orang dalam daftar itu.
Dari hasil pengecekannya didapatkan semua orang yang terdapat dalam
daftar itu ditangkap dan kemudian dibunuh. Menanggapi pembunuhan
tersebut, Pater Beek dalam wawancaranya dengan Aaad van Heuvel (1993)
dengan ringan mengatakan: “Masalahnya mereka atau kita (yang dibunuh).”
Setelah orang-orang Komunis ditumpas, entah apa alasannya, pada tahun
1967 tempat pendidikan Kasbul di pindahkan ke Klender, Jakarta Timur.
Menurut Mujiburrahman (2006) tempat di Klender dikelola oleh seorang
suster bernama Mathilda Maria Van Thienen. Dari wawancara dengan sang
suster, Mujiburrahman mendapatkan keterangan bahwa asrama di Klender
terdiri dari tiga blok dengan 72 ruangan dan 114 tempat tidur. Biasanya
Pater Beek akan datang empat kali dalam setahun memimpin acara Kasbul.
Sistem Kaderisasi dalam Kasbul
Dalam setiap pelatihan Kasbul, biasanya diikuti oleh 100 orang, 10 di
antaranya adalah perempuan. Mereka merupakan kader-kader Katolik
terpilih dari berbagai daerah dengan latar belakang pendidikan yang
berbeda-beda. Supaya bisa mengikuti kaderisasi yang sifatnya rahasia
ini, seseorang harus mendapatkan rekomendasi dari romo di tempatnya
berasal. Pendanaan dari acara ini sebagian besar didapatkan dari luar
negeri, terutama Belanda dan Jerman.
Aturan Kasbul memang cukup berat. Seseorang yang telah mengikuti
Kasbul dilarang keras menceritakan keikutsertaannya pada orang lain,
baik pada keluarga maupun teman. Sebelum pelatihan, mereka akan
menjalani serangkaian test psikologi.
Test ini digunakan untuk mengatahui sifat dan keahlian seseorang yang
kelak diperlukan sewaktu melakukan penugasan. Sedangkan untuk
menyembunyikan identitas seseorang, maka selama pelatihan nama diubah
sehingga antara satu peserta dengan peserta yang lain tidak saling
mengenal identitas sebenarnya.
Metode pelatihan yang diterapkan Pater Beek dalam Kasbul merupakan kombinasi antara kaderisasi Katolik ala Jesuit dan Komunis. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau selama kaderisasi dididik dengan disiplin yang keras. Menurut Mujiburrahman, selama pelatihan tak jarang mereka harus terlibat dalam adu fisik, direndahkan dan dilecehkan guna menggembleng mental. Apa yang diungkapkan Mujiburrahman juga dibenarkan oleh George J. Aditjondro:
“Dalam kegiatan Kasbul itu bukan cuma indoktrinasi yang dilakukan,
bahkan latihan fisik yang mendekati latihan militer juga diberikan. Di
sana para kader dilatih menghadapi situasi jika diintrograsi oleh lawan.
Bagaimana meloloskan diri dari tahanan, bagaimana survive dan
sebagainya.”
Sementara itu, Richard Tanter juga memberikan pendapat yang serupa:
“Dalam pratiknya, kursus-kursus tersebut mengambil metode campuran,
perpaduan teknik-teknik pendidikan Jesuit dan Komunis, berbasiskan
disiplin diri yang kuat. Kursus atau pelatihan-pelatihan ini
diselenggarakan dengan pendekataan yang amat brutal atas para
pesertanya: para calon kader bahkan kerap kali diharuskan saling
menghajar atau memukul rekan-rekan sepelatihannya sendiri, dihina dengan
keharusan merangkak di lantai yang penuh dengan kotoran, sesi-sesi
harian yang panjang penuh dengan umpatan mengejutkan di tengah malam
buta.”
Selain cara-cara yang telah diuraikan di atas, mereka juga diharuskan
puasa sepanjang hari dan berdoa semalam suntuk. Hal seperti itu juga
dilakukan oleh Pater Beek. Sementara itu, bagi peserta pelatihan yang
melanggar disiplin yang telah ditetapkan akan dihukum, dan apabila sudah
berulang-ulang melakukan kesalahan, maka akan dipulangkan.
Dalam Kasbul seseorang juga diuji kejujurannya. Sebagaimana
dituturkan Mujiburrahman, cara pengujian ini dilakukan Pater Beek dengan
cara meletakkan uang pada sebuah buku yang sering dibaca oleh peserta.
Bila uang itu hilang, maka Pater Beek akan melakukan investigasi.
Ia akan mencoba mengidentifikasikan siapa yang mengambil uang tersebut. Pertama-tama ia akan menanyai penjual dikompleks pelatihan itu. Apabila uang tidak ditransaksikan di tempat itu, maka ia menanyai orang-orang yang dicurigai. Dan setelah uang ditemukan, ia akan menghukum orang tersebut.
Setelah Komunis berhasil dihancurkan oleh Orde Baru, sasaran Pater
Beek pindah ke Islam. Teori Pater Beek tentang Islam sebagai ancaman
dikenal sebagai teori “Lasser Evil Theory (Teori Setan Kecil).” Dalam
teori itu dibabarkan bahwa setelah komunis berhasil dihancurkan oleh
tentara, maka akan muncul dua ancaman. Tentang dua ancaman ini George J.
Aditjondro memberikan uraian sebagai berikut:
“Setelah komunis dihancurkan oleh tentara, (Pater) Beek melihat ada
dua ancaman (setan) yang dihadapi kaum Katolik di Indonesia. Kedua
ancaman sama-sama berwarna hijau, Islam dan tentara. Tapi Beek yakin,
tentara adalah ancaman yang lebih kecil (lasser evil) dibandingkan Islam
yang dilihatnya sebagai setan besar. Berdasarkan pikiran itulah maka
perintah Beek kepada kader-kadernya adalah rangkul tentara dan gunakan
mereka untuk menindas Islam.”
Tentang pilihan Pater Beek memilih Orde Baru dan tentaram ditekankan Ricarad Tanter sebagai berikut:
“Pemilihan semacam ini dibenarkan (Peter) Beek, dengan dalih sungguh pun banyak kesalahan yang dilakukan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selaian memberikan dukungan atas “the lesser evil (tentara).”
B. Suryasmoro Ispandrihari, salah satu narasumber Mujiburrahman dalam
desertasinya yang pernah ikut Kasbul pada tahun 1988, mengungkapkan
bahwa para peserta diajarkan untuk menjadikan Islam sebagai musuh yang
menakutkan.
“Islam adalah musuh Katolik… Dan jika diperlukan lulusan Kasbul harus
mengambil senjata untuk berjuang melawan Islam,” begitu penuturan B.
Suryasmoro Ispandrihari menirukan ucapan salah seorang pengajarnya di
Kasbul.
Pernyataan Suryasmoro Ispandrihari juga dibenarkan oleh Damai
Pakpahan seorang peserta Kasbul tahun 1984 dan sekarang menjadi aktivis
LSM di Yogyakarta. Karena doktrin dalam Kasbul yang Islamphobia, membuat
Damai Pakpahan memilih keluar dari jaringan Kasbul. Apa yang dilakukan
oleh Damai Pakpahan juga dilakukan George J. Aditjondro. Ia menuturkan
sebagai berikut:
“Saya sendiri juga pernah menjadi kader Pater Beek dan dilatih
melawan komunis. Tapi seperti juga Wangge, ketika CSIS sudah menjadikan
Islam sasarannya, dan karena CSIS menjadi tanki pemikir rezim Suharto,
juga karena ikut berdarahnya tangan CSIS di Timor Timur, saya tidak bisa
lagi tetap berada dalam jaringan pengikut Pater Beek.
Epilog: Setelah Katolik Dipinggirkan Soeharto
Setelah selesai kaderisasi para lulusan Kasbul diharuskan setia pada
Peter Beek. Bentuk kesetiaan ini selain taat menjalankan perintah juga
diharuskan membuat laporan setiap bulan. Tentang hal di diungkapkan oleh
Ricard Tanter:
“Setelah hari-hari yang melelahkan, dalam jam tidur yang mat pendek,
dan lain sebagainya, hasil akhirnya adalah: menjadi seorang kader yang
sepenuhnya setia, patuh kepada Beek secara personal; menjadi orangnya
Beek seumur hidup, yang bersedia melakukan apa saja baginya.
Ketika para kader itu dipulangkan ke habitat asalnya, orang-orang
muda ini kemudian diminta untuk menghasilkan laporan bulanan atas segala
hal yang mereka dengar dan lihat di dalam organisasi masing-masing,
yang dilakukan untuk Beek dan demi Beek seorang. Secara bertahap Beek
membangun kepentingan dirinya, sebuah jaringan—kerja intelejen personal.
Bagi pimpinan-pimpinan Gereja yang mendukung program Beek, maka
hasilnya tentu akan memuaskan.”
Apa yang diungkapkan Richard Tanter memang benar. Para lulusan Kasbul
kemudian dibuatkan jaringan yang dikembangkan dengan sistem sel.
Masing-masing sel dipimpin oleh seorang koordinator yang berhubungan
dengan koordinator sel-sel lainnya. Dengan sistem ini, selain
organisasinya rapi, juga memungkinkan gerakan yang efektif. Sementara
itu, para lulusan terbaik akan dikirim ke luar negeri.
Posisi politik Kasbul memang tidak konsisten. Setelah melawan
Komunis, Islam, mereka kemudian bergeser melawan Soeharto. Ini terjadi
ketika pada tahun 1990-an Soeharto mulai merangkul Islam dengan merestui
berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), dan posisi CSIS
mulai disingkirkan.
Sejak kejadian itu, bandul politik Kasbul menjadi anti Soeharto.
Tidak mengherankan kalau kemudian kader-kader Kasbul disebar masuk ke
dalam gerakan prodemokrasi. Tentu saja sebagian dari kader-kader Kasbul
masuk dalam PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang pada waktu itu paling
keras melawan orde baru.
Pencapresan Jokowi
Sekarang, setelah Soeharto jatuh, dalam demokrasi terbuka,
kader-kader Kasbul menyebar lagi. Mereka tentu akan terus terlibat dalam
politik. Menjelang Pemilu 2014, mereka tentu mempunyai kepentingan
untuk mendukung calon presiden tertentu.
Ajianto Dwi Nugroho, misalnya, kader Kasbul lulusan Fisipol UGM,
belakangan ikut terlibat menggalang kekuatan untuk memajukan Jokowi
sebagai presiden. Lewat lembaga yang dimilikinya yang sebagian stafnya
alumni Kasbul, dia ikut momoles pencitraan Jokowi dalam berbagai media.
Kerja Ajianto Dwi Nugroho bisa dijadikan contoh bagaimana kader-kader
Kasbul bekerja. Sewaktu mahasiswa, ia masuk dalam lingkaran pers
mahasiswa UGM, Balairung. Sembari di Balairung ia mendekat pada gerakan
mahasiswa semacam SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi)
Yogyakarta dan Dewan Mahasiswa UGM. Walaupun agak terlambat, ia kemudian
masuk menjadi anggota PRD pada tahun 1999.
Untuk survive ia sempat berpacaran dengan mahasiswi beragama Islam
dan berkerudung, guna membiayai hidupnya. Dengan pelatihan yang
diperoleh ketika mengikuti Kasbul, ia bisa mengambil peran dalam setiap
perubahan politik yang ada. Itulah salah satu kelebihan kader-kader
Kasbul.
Yang terbaru adalah ketika Jacob Soetoyo melalui jasa lobi Paus
Fransicus kepada Presiden Obama dalam pertemuan mereka di Vatikan pada
27 Maret 2014 lalu. Paus meminta kesediaan Obama untuk mendesak kelompok
kristen Indonesia melonggarkan kendali mereka terhadap Jokowi. Kelompok
kristen Indonesia itu selama ini berkuasa atas diri Jokowi melalui
peran James Riady yang juga merupakan anggota Arkansas Connection yang
memiliki kaitan erat dengan penguasa Gedung Putih.
Atas restu Paus dan izin Obama, Jacob Soetoyo mempertemukan Jokowi
dengan sejumlah duta besar di kediamannya, di bilangan Jakarta Selatan.
Tidak tanggung-tanggung, Jacob mempertemuan Jokowi beserta Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarnoputri dengan dubes-dubes negara “hiu.” Meski
demikian, sejatinya, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia adalah sebagai
tuan rumah pertemuan itu. Kediaman Dubes Vatikan tentu tidak mungkin
digunakan menyambut para tamu agung itu karena akan merugikan posisi
politik Jokowi di mata umat Islam Indonesia.
Jacob memang lebih dikenal sebagai pengusaha. Tapi, dalam konteks
menjadi fasilitator pertemuan Jokowi-Mega dengan para duta besar
tersebut, tentu kapasitasnya sebagai bagian dari CSIS (Centre for
Strategic and International Studies).
Sudah banyak yang tahu bahwa CSIS merupakan lembaga pemikir orde baru
yang memberikan masukan strategi ekonomi dan politik pada Soeharto.
Tapi, yang belum banyak diketahui adalah hubungan CSIS dengan organisasi
fundamentalis Katolik dengan Kasbul tadi.
Keberhasilan elit Katolik merebut kendali atas diri Jokowi, sayangnya
ditumpangi oleh elit dan kader – kader eks partai komunis atau
simpatisan PKI yang kebetulan di wilayah Surakarta, Klaten, Sragen,
Sukoharjo dan Boyolali, banyak aktifis dan kader PKI yang menjadi
penganut Katolik untuk menghindar dari penangkapan oleh aparat saat
operasi pembersihan eks PKI dilancarkan di masa – masa awal orde baru.
Mereka, para elit dan kader komunis ini kemudian menjadi penumpang gelap
dalam tim sukses atau pendukung Jokowi di mana – mana terutama di Jawa
Tengah dan Jakarta.
Meski kelompok Katolik berhasil mendobrak benteng pertahanan Faksi
Kristen PDIP terhadap pengendalian atas diri Jokowi, Faksi Kristen tetap
ngotot dan terus berusaha agar tetap mendapat ruang kendali atas diri
Jokowi, walaupun tidak sepenuh dan sekuat saat Jokowi belum direbut
Faksi Katolik dan Komunis.
Sejarah baru peta kekuatan politik di Indonesia sedang ditorehkan.
Faksi Kristen, Katolik dan Komunis yang sebelumnya selalu bermusuhan,
kini bersatu (untuk sementara) dalam rangka mendukung kemenangan capres
Jokowi dalam pilpres 2014.
Bagaimana posisi umat Islam Indonesia ? Seperti biasa, meski Islam
mayoritas di Indonesia (87%), namun tak berdaya dan tak mampu bersatu.
Seperti buih di lautan ….
Daftar Nama Cukong Joko Widodo
in
- Edward Soerjadjaja: dia adalah orang pertama yang mengakui mendukung
Jokowi dan Ahok pada pilgub lalu dengan pendanaan. Ahok sempat
membantah, akan tetapi kita lebih baik percaya kepada Edward karena dia
adalah pengusaha yang tidak berkepentingan mengakui mendukung pasangan
yang tidak terkenal. Dana dari Edward waktu itu adalah sebesar Rp.
30miliar, dan pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok perusahaan Edward
memperoleh proyek monorel dan M
-
Prajogo Pangestu: dia hadir dalam rapat antara Jokowi-Ahok dan
Megawati pada Desember 2013 untuk membahas perpindahan Ahok ke PDIP
bila Jokowi menjadi presiden sehingga Jakarta tetap berada di bawah
kendali PDIP.
- 60 pengusaha besar yang berkumpul di Kantor Pusat PDIP sehari menjelang pencapresan Jokowi dan tujuan mereka berkumpul sebagaimana diakui Tjahjo Kumolo adalah untuk memberikan sumbangan besar kepada PDIP.
- Jusuf Kalla: JK adalah orang yang pertama kali membawa Jokowi ke Jakarta dan juga membujuk Megawati untuk menunjuk Jokowi sebagai capres. JK juga mendanai Jokowi-Ahok pada pilgub kemarin.
- Stan Greenberg: awalnya saya tidak percaya bualan Triomacan2000 tentang keterlibatan Stan Greenberg, namun masuknya majalah The Foreign Policy dan Fortune yang memiliki hubungan erat dengan Stanley Greenberg dalam menulis tentang Jokowi adalah 50 besar pemimpin besar dunia membuat kita harus mencurigai bahwa orang ini memang terlibat.
- Goenawan Mohamad: mungkin Goenawan Mohamad atau GM tidak ikut saweran uang, tapi yang jelas dia menyediakan majalah miliknya, Tempo sebagai media pencitraan bagi Jokowi. Tempo adalah media pertama yang mempromosikan Jokowi secara masif.
- CIA/USAid: USAid adalah lembaga samaran CIA yang tugasnya memberi
dana kepada para pemberontak. Salah satu penerima dana dari CIA di
Indonesia adalah Goenawan Mohamad, misalnya untuk mendirikan lembaga
perlawanan terhadap orde baru USAid memberikan dana sebesar US 300.000
kepada Goenawan Mohamad untuk mendirikan Institut Studi Arus Informasi.
Uang di atas belum termasuk uang sebesar US 26juta yang diterima GM dan
teman-temannya sebagai dana perang melawan Orde Baru. Jauh sebelumnya
pada masa orde lama, sebagaimana temuan Widjaja Herlambang dalam
disertasinya Kekerasan Budaya Pasca 1965, Goenawan Mohamad juga menerima
uang dari Amerika untuk melawan Lekra/komunis/PKI dengan membentuk
Manifes Kebudayaan.
Keterlibatan Tempo dan GM dalam mempromosikan Jokowi membuktikan Amerika kemungkinan besar berada di belakang promosi gencar terhadap Jokowi, ditambah fakta Amerika Serikat telah begitu lancang menyatakan tidak suka melihat Prabowo menjadi presiden karena memilih Jokowi, memang mereka siapa berani menentukan pemimpin yang hendak dipilih bangsa ini? - Koruptor BLBI? Menurut TM2000 koruptor BLBI ada di belakang Jokowi dan hal ini memang masuk akal mengingat mereka bisa melenggang bebas karena SKL yang diterbitkan pemerintahan Megawati.
- James Riady: belum ada bukti bahwa keluarga Riady membiayai Jokowi, namun fakta bahwa Jokowi telah dua kali hadir di SPH dan Rumah Sakit Siloam atas perintah James Riady menyebabkan kita patut curiga ada James Riady di belakang Jokowi. Apalagi faktanya penggusuran warga liar waduk pluit dan pembuatan taman waduk pluit “secara kebetulan” dilakukan pada saat Grup Usaha Lippo milik James Riady mau membangun sekolah mewah SPH, hotel bintang lima dan rumah sakit Siloam tepat di seberang Waduk Pluit, benar-benar tepat di seberang.
- Keluarga Salim: faktanya detik.com tidak pernah memberitakan satu
hal negatifpun tentang Jokowi, sekalipun saat itu ada isu negatif
tentang Jokowi. Pemilik detik adalah Chaerul Tanjung yang juga merupakan
proxy atau bawahan dari keluarga Salim yng mengurus sebagian harta
mereka.
Adanya begitu banyak pihak di belakang Jokowi yang terkenal sebagai walikota Solo dan gubernur Jakarta boneka jelas mengkuatirkan, sebab kita tidak tahu apa kepentingan para cukong tersebut membiayai pencapresan Jokowi?
Home | Liberalism |
The GodMother (3): Megawati, Batu Tulis Dan Tekanan Syahwat Budi Gunawan
Berita Terkait
- Faizal Assegaf: Prabowo Tak Ingin Kalahkan Jokowi, Tapi Menangkan 10 Alasan! Apa Saja?
- The GodMother (1): Aktivis Progress 89 Ungkap Prabowo Jadi Presiden, Megawati Masuk Penjara
- Pasang Iklan di Halaman Log Out Facebook Seperti Jokowi? Siapkan Dana 8 Miliar Per Hari!
- The GodMother (2): Rachmawati Soekarnoputri Siapkan Buku Putih 'Dosa Politik Megawati'
Senin, 11 Ramadhan 1435 H / 7 Juli 2014 09:02 wib
The GodMother (3): Megawati, Batu Tulis Dan Tekanan Syahwat Budi Gunawan
http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2014/07/07/31423/the-godmother-3-megawati-batu-tulis-dan-tekanan-syahwat-budi-gunawan/#sthash.QXlH0qnk.dpbs
Sahabat Voa Islam,
Kita bahas episode The GodMother ke tiga, kita
ungkap selaput yang menyelimuti syahwat para elite negara kit yang ternyata
penipu dan memiliki moral yang tidam terpuji.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Pejuangan telah
mengusung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon Presiden pada Pemilu
2014. Tak terima, Partai Gerindra pun mengusut perjanjian keduanya pada 2009
yang dikenal dengan batu tulis.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai
Gerindra, Hashim Djojohadikusumo memastikan perjanjian Batu Tulis yang
disepakati pada 2009 lalu menyebut, PDI Perjuangan akan memberikan dukungannya
terhadap Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2014.
Berikut isi keseluruhan perjanjian yang
ditandatangani pada 16 Mei 2009 itu:
Kesepakatan Bersama PDI Perjuangan dan Partai Gerindra
dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik
Indonesia 2009-2014
Megawati
Soekarnopitri sebagai Calon Presiden, Prabowo Subianto sebagai Calon Wakil
Presiden
1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI
Perjuangan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) sepakat
mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai Calon Presiden dan Prabowo Subianto
sebgai calon Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
2009.
2. Prabowo Subianto sebagai Calon
Wakil Presiden, jika terpilih, mendapat penguasaan untuk mengendalikan program
dan kebijakan kebangkitan ekonomi Indonesia yang berdasarkan asas berdiri di
kaki sendiri, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian nasional di
bidang kebudayaan dalam kerangka sistim presidensial. Esensi kesepakatan ini
akan disampaikan Megawati Soekarnoputri pada saat pengumuman pencalonan
Presiden dan calon Wakil Presiden serta akan dituangkan lebih lanjut dalam
produk hukum yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
3. Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bersama-sama membentuk
kabinet berdasarkan pada penugasan butir 2 di atas. Prabowo Subianto menentukan
nama-nama menteri yang terkait, menteri-menteri tersebut adalah: Menteri
Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM,
Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan.
4. Pemerintah yang terbentuk akan mendukung program kerakyatan PDI
Perjuangan dan 8 (delapan) program aksi Partai Gerindra untuk kemakmuran
rakyat.
5. Pendanaan pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 ditanggung
secara bersama-sama dengan prosentase 50% dari pihak Megawati Soekarnoputri dan
50% dari pihak Prabowo Subianto.
6. Tim sukses pemenangan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dibentuk bersama-sama melibatkan kader PDI
Perjuangan dan Partai Gerindra serta unsur-unsur masyarakat.
7. Megawati
Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden pada
Pemilu Presiden tahun 2014.
Jakarta 16 Mei 2009
Megawati Soekarnoputri
Prabowo Subianto (keduanya tandatangan di atas materai)
Megawati Soekarnoputri
Prabowo Subianto (keduanya tandatangan di atas materai)
Ada Hubungan "Mesra"
apa antara Megawati dengan Budi Gunawan Hingga Megawati "Tunduk"
dihadapan Budi gunawan?
Apakah
JK punya Kartu Truff megawati-budi gunawan sehingga JK bisa mengalahkan
cawapres pendampingi jokowi?
Atau JK
menyimpan suatu hal yg maha besar lagi antara mega-budi gunawan?
Sebelum
Selasa malam, nama Jusuf Kalla sebenarnya telah dicoret sebagai kandidat
cawapres Jokowi oleh internal PDIP atas berbagai alasan. Secara personal,
Megawati menilai Jusuf Kalla sebagai ‘lain di depan, lain lagi di belakang’.
Megawati melihat Jusuf Kalla sebagai sosok yang munafik.
Belum
lagi masukan dari beberapa orang kepecayaan Mega, yakni Muhammad Prananda,
Hasto Kristianto, dan Rini Suwandi. Ketiga penasihat utama Megawati itu menilai
Jusuf Kalla tak cocok mendampingi Jokowi karena pasti akan lebih mendominasi.
Kawan-kawan
tentu tahu, Jusuf Kalla diajukan ke PDIP oleh tiga partai, yaitu Nasdem (6%),
PKB (9%) dan PPP (7%). Megawati dan ketiga penasihatnya termasuk Jokowi sendiri
tidak ingin ada Koalisi Gendut. Jika kita kalkulasikan, koalisi PDIP dan Nasdem
saja sudah memperoleh sekitar 25-26% suara legislatif. Apabila ditambah dengan
PKB dan PPP, koalisi akan memperoleh 41-42% suara.
Bagi
PDIP, koalisi empat partai membentuk 42% suara, dimana PDIP hanya menguasai 19%
(tidak mayoritas), tidak efektif. Terlebih, 23% suara tersebut merupakan buah
gabungan tiga suara partai pengusung Jusuf Kalla.
Kekhawatiran
Megawati, Jokowi, dan PDIP adalah kabinet akan dikuasai oleh orang-orang dari
kelompok Jusuf Kalla. Nantinya, pemerintahan Jokowi rentan digulung oleh Jusuf
Kalla. Itu sebabnya PDIP mencoret nama Jusuf Kalla sejak awal.
Kembali
masuknya Jusuf Kalla atas lobi Budi Gunawan yang membawa kepentingan politik
dari kepolisian menimbulkan tanda tanya besar bagi internal PDIP selama
beberapa hari terakhir.
Mereka
melihat ada gejala tidak wajar dari Megawati terkait perubahan besar, mendadak,
dan sedikit memaksa ini. Megawati seperti disandera oleh sesuatu yang kita
tidak bisa pahami.
Jusuf
Kalla mengetahui hal itu; sesuatu yang tidak bisa kita pahami itu. Ia pun
bersama mantan ajudannya, Irjen Syafruddin, mengajak Budi Gunawan yang memiliki
‘kuasa besar’ terhadap putri Presiden Sukarno ini, bermain dalam skenario
‘menyandera’ Megawati agar mau memasukkan kembali Jusuf Kalla sebagai calon
terkuat pendamping Jokowi.
Pertanyaannya,
apakah memang Megawati begitu ingin menguasai Polri atau jangan-jangan Budi
Gunawan yang sebenarnya ingin mengembalikan pengaruh dalam korpsnya itu lewat
‘penyanderaan’-nya terhadap Megawati?
Pertanyaan
berikutnya, bagaimana bisa Megawati sampai-sampai mengabaikan tiga penasihat
utamanya hanya karena lobi Budi Gunawan untuk memasukkan nama Jusuf Kalla dalam
bursa cawapres pendamping Jokowi?
Ada hutang budi apa Megawati pada Budi Gunawan
‘rekening gendut’? Atau jangan-jangan ada hubungan tertentu antara Megawati
dengan Budi Gunawan?
Wallahualam
bisahwab...
[RioBaretaz/wahid/voa-islam.com]
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2014/07/07/31423/the-godmother-3-megawati-batu-tulis-dan-tekanan-syahwat-budi-gunawan/#sthash.QXlH0qnk.dpuf
Selasa, 11 Ramadhan 1435 H / 8 Juli 2014 07:00 wib
9.760 views
Melawan Lupa (17): Jurnalisme Kompas, Menyihir 'Boleh Korupsi Asal Santun'
JAKARTA (voa-islam.com) -Tulisan tajam dan pisau analisa yang presisi kerap ditorehkan Faizal Assegaf, Ketua Progress 98 ini. Tulisan yang ia unggah di Visibaru.com ini berjudul "Jurnalisme Kompas dan Premanisme Ahok" hadir ditengah kepongahan media Kompas yang secara apik mengemas kenaifan dan kemunafikan secara sistematis berbalut humanisme dan kesantunan artificial.
Ia menyitir Prof Dr Arief Budiman, Dosen di Melbourne University, dalam diskusi bertema "Media dan Kekuasaan" di Gedung Pers Semarang (23/3/2007) menegaskan, opini publik yang dibuat media massa sangat memberi andil besar menopang agenda politik kekuasan.
Tak heran, para penguasa dan orang-orang kuat (cukong) berlomba menguasai media untuk menampilkan image dan melegitimasi kepentingan mereka di hadapan rakyat.
Kompas adalah salah satu media yang dianggap paling mumpuni menyalurkan syahwat pencitraan penguasa dan para cukong (konglomerasi hitam). Dalam berbagai penampilan Jokowi - Ahok, penyajian berita oleh kompas sukses mengkelabui publik.
Dengan kreasi tipu muslihat, Kompas bergerak tanpa halangan menyihir akal sehat publik. Tak mengherankan karena Kompas, dan juga Tempo dipromotori oleh Ivan Kats, Agen CIA pada tahun 1960an silam.Kehandalan Kompas meracik berita untuk melanggengkan kepentingan penguasa dan konglomerasi telah berlangsung puluhan tahun dan menjadi watak bawaan. Dengan kreasi tipu muslihat, Kompas bergerak tanpa halangan menyihir akal sehat publik.
Tak mengherankan karena Kompas, dan juga Tempo dipromotori oleh Ivan Kats, Agen CIA pada tahun 1960an silam.
Di era kekuasaan Orde Baru, Kompas berdiri di garis terdepan membela berbagai kepentingan rezim Soeharto. Selama tiga puluh dua tahun hubungan Kompas dan rezim diktator berlangsung mesra di bawah slogan industri pers: "jurnalisme damai".
Kompromi Kompas dengan penguasa dan konglomerasi tidak terbangun gratis. Namun kolusi itu memberi keuntungan besar, baik sokongan finansial maupun politik. Walhasil, media jaringan Katolik tersebut, tumbuh sebagai industri pers dengan capaian keuntungan triliun rupiah dan memperlebar berbagai usahanya di sejumlah sektor.
Praktek industri pers ala Kompas, oleh para pakar jurnalisme menyebutnya sebagai "modus kejahatan bertopeng pers". Yakni, membela kepentingan penguasa dan cukong dengan cara menipu publik. Namun, di mata misionaris Katolik, pendekatan kompas dianggap halal dan efektif untuk membodohi ummat Islam.
Premanisme Kepemimpinan Ahok
Bila di masa Orde Baru, Kompas sukses meraih keuntungan besar di bawah panji: "jurnalisme damai", maka pada era reformasi pendekatan itu berganti dengan doktrin: "jurnalisme santun". Beda di cara namun tetap mengais untung dengan menipu publik.
Jurnalisme santun terkenal canggih lantaran sukses mendongkrak pengaruh pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kurun waktu hampir 10 tahun. Dan di ujung kekuasaan SBY, Kompas perlahan bergerak mundur dan menjalin mitra barunya dengan PDIP guna menyokong proyek pencitraan Jokowi - Ahok.
Tak heran, jurnalisme santun Kompas menuai sindiran dari berbagai kalangan dengan apa yang mereka sebut sebagai: "Distorsi menifestasi pers yang berpijak pada spirit dan ajaran Katolik".
Kritikan yang menegaskan adanya kerancuan dari ajaran Katolik yang gencar menyerukan kejujuran dan kesantunan, tapi di balik semua itu hanyalah kepura-puraan semata.
Ihwal kerancuan itu oleh Ketua Pembina Partai Gerindra dengan lantang mengatakan: "boleh korupsi asal santun, boleh menipu asal santun, boleh maling uang rakyat tapi harus santun..."
Tudingan Prabowo menghantam perilaku penguasa dan figur-figur publik yang dicitrakan oleh Kompas dengan aneka berita yang dikemas dalam bahasa kesantunan namun tujuannya terbukti mengkelabui rakyat.
Tapi ada yang menarik. Dalam perilaku Ahok, jurnalisme santun rekayasa Kompas menjadi kontradiktif. Gaya premanisme Ahok justru dihadirkan oleh Kompas secara mencolok dan agresif menggilas nurani publik.
Ahok tampil bebas menggulir berbagai pernyataan yang kasar. Acap kali bersuara dengan kata-kata kotor, tapi justru oleh Kompas dianggap lumrah dan diklaim sebagai gaya kepemimpinan yang sejalan dengan kehendak rakyat banyak.
Premanisme kepemimpinan Ahok bebas menghias hampir semua halaman Kompas, lantaran sosok tersebut hadir sebagai keterwakilan minoritas dan mendapat sokongan dana besar dari jaringan cukong.
Publik pun khawatir, kelak nanti bila ada gembong Narkoba yang disokong oleh para cukong untuk merebut kekuasaan, maka Kompas pun memolesnya dalam aneka rekayasa pencitraan untuk menipu rakyat.
Munarman : Kompas pandai menyembunyikan misi ideologisnya
Munarman yang merupakan pengacara dan Juru Bicara FPI ini mengungkap sesuatu yang jarang di ungkap banyak pihak, soal dewan pers yang tak akan membela media-media Islam.
Dengan gayanya yang berapi-api, lugas, cerdas dan tajam dalam ulasan yang membuka mata kita soal kenetralan sebuah media, "Jangan berharap ada media yang netral, kita lihat di Tempo Gunawan Mohamad menulis bahwa Pers tidak harus netral. Oh Jelas itu kenyataan, kita saja yang bodoh yang menganggap itu netral, seperti Kompas dan Tempo segala macam itu netral. Bodoh kita namanya" tegasnya.
Munarman sedikit demi sedikit membongkar media-media mainstream yang sejatinya memusuhi umat Islam, "Jadi kalo ada yang berharap pers mau memuat apa yang kita (umat Islam) inginkan yang berbeda dengan kepentingan mereka, maka kita bodoh karena kita tidak tahu siapa musuh kita , kita buta dengan dunia, buta dengan fakta diluar kita, maka ini yang perlu dipahami," urainya lagi.
Ia uraikan fakta bahwa media mereka punya misi masing-masing yang merugikan umat Islam dalam kontek kekerasan budaya, dan misi mereka adalah anti Islam, dalam perspektif Islam tentunya. "Mereka memanfaatkan betul media-media besar itu adalah alat propaganda, propaganda anti Islam, mereka media-media besar itu. Maka media Islam wajib juga menjadi media propaganda Islam. Karena mereka propagandakan anti Islam." jelasnya lagi.
Mereka memanfaatkan betul media-media besar itu adalah alat propaganda, propaganda anti Islam, mereka media-media besar itu. Maka media Islam wajib juga menjadi media propaganda Islam." jelasnya lagi.
Media Kompas, Tempo Pintar Menyembunyikan Misi Ideologisnya
Tak bisa dipungkiri media besar adalah alat propaganda dan ideologis, "Media besar itu seperti Kompas, Tempo dan lainnya pintarnya mereka bisa menyembunyikan misi ideologisnya, dan mereka hanya menampilkan aspek-aspek yang bersifat humanisnya, tetapi misi ideologisnya bisa mereka sembunyikan" imbuh Munarman.
Misi ideologis seperti apa?
Munarman menambahkan " misi ideologisnya adalah membangun sebuah tata peradaban, sistem dan tata nilai yang bertentangan dengan nilai Islam, yaitu Sepilis (Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme) atau yang mereka sebut dengan demokrasi sebetulnya."
Contohnya saja media Kompas, kita bisa lihat pada awal tahun 1960-an. Kita bisa cek dari buku 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' karya Wijaya Herlambang.
Dalam buku yang ditulis yang
aslinya adalah tesis Wijaya Herlambang yang merupakan aliran kiri itu
kini seorang dosen, ia menelanjangi keterlibatan CIA dalam pendirian
Kompas dan Tempo yang kini bagai gurita media di Indonesia.
"Dalam buku itu datanya lengkap, membuka siapa itu Gunawan Mohamad
dan PK Ojong. Mereka berdua berhubungan erat dengan Ivan Kats, seeorang
Agen CIA yang masuk ke dalam CCF (Congres For Cultural Freedom) berpusat
di Prancis untuk menggalang anti komunis dan menyebarkan ide SEPILIS.
Dan termasuk pendirian Kompas dan Tempo atas dorongan dari Ivan Kats.
Maka jika mereka sudah berhubungan dengan intelijen begitu maka bisa
kita duga, sekali lagi bisa kita duga ada campur tangan CIA dalam
pendirian kedua media itu (Kompas dan Tempo), begitu cara melacaknya."
urainya rinci.Demikian halnya dengan media Islam, harus menjadi propaganda Islam, bukan hobi semata menurut Munarman, "Ini benar-benar pertempuran ideologis, bukan sentimen kita seneng dengan Islam, karena Islam itu bukan hobi, bukan untuk disenangi, Islam itu untuk dijalankan (dalam kehidupan kita sehari-hari)"
apa yang didukung Kompas dan Tempo itu pasti salah karena ada pesanan aseng dana asing, jadi patokan kebenaran adalah apa yang tidak di dukung atau dijelek-jelekan Kompas dan Tempo berarti itu yang benar. Coba saja perhatikanMunarman menyatakan, "Pokoknya apa yang didukung Kompas dan Tempo itu pasti salah karena ada pesanan aseng dana asing, jadi patokan kebenaran adalah apa yang tidak di dukung atau dijelek-jelekan Kompas dan Tempo berarti itu yang benar. Coba saja perhatikan" tegasnya.
Sesuai dengan misinya, Mashadi Pimred Voa-Islam ini menyatakan bahwa "Voa-Islam menjadi anti-tesa media-media mainstream yang memutar balikan fakta dan akal sehat, apa yang didukung jaringan Kompas dan Tempo biasanya ada kepentingan Sepilis dan asing, indikatornya adalah apa yang didukung mereka itu biasaanya merugikan umat Islam, nah kita dukung yang dibenci Kompas dan Tempo, tentu dalam konteks kebenaran dan kesahihan hakiki." ujarnya saat acara Silaturahim Nasional 5 Tahun Voa Islam dan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di Hotel Gren Alia Cikini 26 Juni silam.
Ingat kata Bung Karno : “Jika asing memuji-memuji pemimpin kita, itu tandanya pemimpin itu lemah, busuk, tidak layak jadi Pemimpin atau Presiden! demikian halnya dengan para media pendukungnya.”
Ga usah mikir copras capres, nanti otaknya bocal bacel demikian sindir Cak Lontong, hehehe. [dzarwatuSanam/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar