Kerry to Saudis: We Heard the Same Position in “Israel” - By Nidal Hamadeh, Al-Manar
http://vista.sahafi.jo/art.php?id=bd33f779a1c76f3941f0880af5e69314510c6f20
As
a direct expression of the fear felt by the ruling family in the
Kingdom because of the new American tendencies in the region, Saudi
officials told the U.S. Secretary of State John Kerry- who visited
Riyadh earlier this week- that “Geneva II” and the negotiation with Iran
will be at their expense.
Kerry, Faisal Kerry told the Saudis that “we have heard this
position also in Israel,” and that the US can postpone “Geneva II”
conference so as to pave the way for the Syrian opposition to agree on a
unified delegation to go to negotiate with the regime. As for
negotiating with Iran, this matter cannot be stopped and is related to
the P5+1countries who are negotiating with Iran over its nuclear
program.
The Saudis reminded the U.S. Secretary of State of their huge and
determined role in contributing to collapsing the Soviet Union, either
through financing and mobilizing the Muslims in the war against the Red
Army in Afghanistan, or through the American-Saudi agreement to flood
the world market with oil, which was concluded during King Fahd bin
Abdul Aziz’s visit to Washington in early 1985. Saudi Arabia fully
implemented the agreement, directly causing the fall of the Soviet Union
economically and thus it collapsed. Therefore, the Saudis expressed
their surprise that the United States is entering into agreements with
the enemies of the Kingdom at the expense of Saudi Arabia.
Kerry responded saying that the United States is fully committed to
the security of Saudi Arabia and the Gulf states, and that the
agreement with Iran will lift the risk of allowing Tehran to acquire
nuclear weapons facing these states. He added that America wants from
Tehran not to undertake any military activities in its nuclear program.
On the other hand, Syrian opposition sources said that the Saudis
informed the opposition coalition and the loyal groups in the Syrian
opposition of the U.S. administration’s decision to enter into agreement
with Russia. Moreover, they also informed them that they thus must work
to frustrate the Russian-American agreement, because America, according
to the Saudi opinion, will be forced in the end to intervene militarily
in Syria if the Syrian war continued and if no political agreement has
been reached. Hence, the opposition has to reject any form of
negotiation with the regime and to impede the holding of the “Geneva II”
conference, which is considered the fruit of an American-Russian
consensus, based upon which Russia imposed its conditions, primarily
preserving the current regime in Syria. This opinion is also adopted by
Syrian opposition sides that are still hoping that the U.S. will
interfere militarily and will overthrow the regime in Damascus.
The Syrian opposition sources added that Saudi Arabia is trying to
circumvent the Russian - American agreement and to hold the “Geneva II”
conference to impose a new fait accompli on the ground by trying to
unite the armed factions in the north and in the Damascus countryside
under one leadership and one united operations room for each of the two
areas.
According to two sources in the Syrian opposition, Damascus has
threatened late September to bomb the Jordanian capital Amman, if Jordan
fulfilled the Saudi desire to make the border area between the two
countries similar to the Turkish-Syrian border through enabling Saudi
Arabia to supply and equip thousands of militants on the border between
Jordan and Syria.
The two sources emphasize that the Jordanian intelligence dealt
seriously with this Syrian threat, and provided security assistance to
the Syrian army in the towns of Daraa countryside, what led to the
killing of “Yasser Aboud”, the commander of the operations room of the
southern region of the Free Syrian Army. He was tightly ambushed and
killed in the city of Tafas southern Syria on 21 October, and four top
leaders of the armed groups were also killed as well. The opposition
sources indicate that these leaders do not usually meet but only in the
event of planning to launch a major military operation, and it seems
that the goal of this meeting was to prepare for an attack on a Syrian
army positions in the strategic al-Harra hill southern Syria.
TURKI DAN JORDANIA MULAI RASIONAL, SAUDI MAKIN TIDAK RASIONAL
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/11/turki-dan-jordania-mulai-rasional-saudi.html#more
Menyusul keputusan Amerika untuk menyelesaikan konflik Syria dengan
perundingan melalui Perundingan Genewa II yang tanggalnya masih belum
ditetapkan, telah terjadi perubahan politik yang sangat signifikan dalam
konflik tersebut di mana semua kekuatan internasional yang terlibat
dalam konflik tersebut menyambut positif rencana perundingan tersebut.
Turki, misalnya, yang terlibat sangat aktif dalam konflik tersebut kini telah menghentikan sebagian besar dukungannya kepada para pemberontak Syria yang pada akhirnya itu semua memberikan keuntungan besar bagi pemerintah Syria di medan perang dengan direbutnya sebagian besar wilayah yang tadinya di bawah kontrol pemberontak, terutama di sekitar Damaskus dan Aleppo.
Turki, misalnya, yang terlibat sangat aktif dalam konflik tersebut kini telah menghentikan sebagian besar dukungannya kepada para pemberontak Syria yang pada akhirnya itu semua memberikan keuntungan besar bagi pemerintah Syria di medan perang dengan direbutnya sebagian besar wilayah yang tadinya di bawah kontrol pemberontak, terutama di sekitar Damaskus dan Aleppo.
Demikian pula Jordania yang mulai meninggalkan kebijakan
pro-pemberontakan Syria. Pada tgl 21 Oktober lalu misalnya, inteligen
Yordania membantu militer Syria menyergap para komandan Free Syrian Army
di kota Tafas hingga menewaskan Yasser Aboud dan 4 komandan Free Syrian
Army lainnya.
Akibat "mundurnya" Amerika dari rencana intervensi maka di medan perang pun terjadi perpecahan di antara faksi-faksi pemberontak, utamanya antara faksi Free Syrian Army yang terdiri dari unsur-unsur kelompok Ikhwanul Muslimin dan kelompok sekuler melawan faksi Al Qaida yang didukung Saudi, yaitu kelompok Al Nusra Front dan ISIS. Dalam perkembangannya kelompok Al Nusa Front memisahkan diri dari ISIS dan cenderung mengikuti rencana Amerika, sementara ISIS cenderung mengikuti Saudi.
Ada 2 negara "tidak rasional" yang justru menginginkan perundingan itu gagal dan tetap berkeingingan agar regim Bashar al Assad diturunkan dengan kekuatan senjata. Negara pertama tentu saja Israel, dan yang kedua adalah Saudi Wahabiah. Menurut sumber-sumber pemberontak Syria, pemerintah Saudi telah meminta kepada kelompok-kelompok pemberontak yang setia kepadanya untuk meningkatkan intensitas pertempuran demi menggagalkan rencana Perundingan Genewa II. Dalam perhitungan Saudi, jika pertempuran terus berkecamuk maka pada akhirnya Amerika akan melakukan intervensi.
Berbaliknya Amerika dalam konflik Syria sangat memukul Saudi. Tidak mengherankan ketika dalam kunjungannya ke Saudi baru-baru ini Menlu Amerika John Kerry harus menerima "keluh kesah" dan "rengekan" Saudi. Kepada Kerry para pejabat Saudi mengingatkan Amerika tentang "jasa-jasa" yang telah diberikan Saudi kepada Amerika. Misalnya saja peran Saudi dalam menggalang gerakan mujahidin di Afghanistan yang berhasil mengusir pasukan Uni Sovyet dari Afghanistan. Selain itu kesepakatan Saudi-Amerika untuk menggelontorkan minyak Saudi ke pasar dunia tahun 1985 telah memukul ekonomi Sovyet hingga akhirnya menumbangkannya. Itulah sebabnya Saudi merasa "sakit hati" karena Amerika telah melakukan pendekatan terhadap musuh (Iran) sembari mengabaikan "aspirasi" Saudi.
Akibat "mundurnya" Amerika dari rencana intervensi maka di medan perang pun terjadi perpecahan di antara faksi-faksi pemberontak, utamanya antara faksi Free Syrian Army yang terdiri dari unsur-unsur kelompok Ikhwanul Muslimin dan kelompok sekuler melawan faksi Al Qaida yang didukung Saudi, yaitu kelompok Al Nusra Front dan ISIS. Dalam perkembangannya kelompok Al Nusa Front memisahkan diri dari ISIS dan cenderung mengikuti rencana Amerika, sementara ISIS cenderung mengikuti Saudi.
Ada 2 negara "tidak rasional" yang justru menginginkan perundingan itu gagal dan tetap berkeingingan agar regim Bashar al Assad diturunkan dengan kekuatan senjata. Negara pertama tentu saja Israel, dan yang kedua adalah Saudi Wahabiah. Menurut sumber-sumber pemberontak Syria, pemerintah Saudi telah meminta kepada kelompok-kelompok pemberontak yang setia kepadanya untuk meningkatkan intensitas pertempuran demi menggagalkan rencana Perundingan Genewa II. Dalam perhitungan Saudi, jika pertempuran terus berkecamuk maka pada akhirnya Amerika akan melakukan intervensi.
Berbaliknya Amerika dalam konflik Syria sangat memukul Saudi. Tidak mengherankan ketika dalam kunjungannya ke Saudi baru-baru ini Menlu Amerika John Kerry harus menerima "keluh kesah" dan "rengekan" Saudi. Kepada Kerry para pejabat Saudi mengingatkan Amerika tentang "jasa-jasa" yang telah diberikan Saudi kepada Amerika. Misalnya saja peran Saudi dalam menggalang gerakan mujahidin di Afghanistan yang berhasil mengusir pasukan Uni Sovyet dari Afghanistan. Selain itu kesepakatan Saudi-Amerika untuk menggelontorkan minyak Saudi ke pasar dunia tahun 1985 telah memukul ekonomi Sovyet hingga akhirnya menumbangkannya. Itulah sebabnya Saudi merasa "sakit hati" karena Amerika telah melakukan pendekatan terhadap musuh (Iran) sembari mengabaikan "aspirasi" Saudi.
"Kami mendapat keluhan serupa di Israel," kata Kerry kepada para pejabat Saudi di sela-sela kunjungannye ke Saudi baru-baru ini.
Untuk
menepis kekecewaan Saudi, Kerry pun menjelaskan bahwa Amerika akan
menunda Perundingan Genewa II hingga dicapai kesepakatan di antara
kelompok-kelompok pemberontak Syria untuk menghadiri perundingan dengan
satu aspirasi. Namun tentang perundingan nuklir Iran Kerry menjelaskan
bahwa Amerika tidak dalam posisi menentukan karena semuanya ditentukan
oleh negara-negara anggota tetap DK PBB dan Jerman. Kerry juga
meyakinkan Saudi bahwa perundingan dengan Iran akan menggagalkan ambisi
Iran untuk mendapatkan senjata nuklir.
Sementara itu
sumber-sumber di pemerintah maupun pemberontak Syria menyebutkan bahwa
Syria telah mengancam Jordania akan membom ibukota Jordania, Amman, jika
Jordania mengikuti rencana Saudi untuk meningkatkan kekuatan militer
pemberontak di perbatasan Jordania-Syria. Ditambah ketidak sukaan
Jordania dengan kehadiran kelompok-kelompok militan di negaranya yang
mengancam keamanan internal, ancaman itulah yang menjadi sebab inteligen
Yordania mengkhianati Saudi dengan melakukan kerjasama dengan inteligen
Syria yang berbuntut pada serangan mematikan terhadap para pemimpin
kelompok Free Syrian Army.
REF:
"Kerry to Saudis: We Heard the Same Position in “Israel”"; Nidal Hamadeh; ALMANAR.COM; 9 November 2013
Turki Praktekkan Toleransi Antar Mazhab, Begini Caranya
Minggu, 17 November 2013, 00:02 WIB
Hurriyet Daily News
Hurriyet Daily News
REPUBLIKA.CO.ID, ERZINCAN --
Dunia Muslim terkenal dengan slogan
ilahiah, yang mempunyai dimensi kesakralan dan keabadian, untuk
menunjukkan solidaritas sosial bernama 'Ukhuwah Islamiah'.
Namun, dalam prakteknya, perbedaan metodologi cara pandang memahami
ajaran Islam terpecah menjadi paling tidak beberapa mazhab, sehingga
ukhuwah itu kadang kala tinggal menjadi slogan saja.
Perbedaan itu terlihat dari klasifikasi pemikiran fikih, mulai dari
mainstream Maliki, Hanafi, Syafii, Hanbali, Ja'fari dan lain sebagainya.
Ada juga beberapa mazhab kecil lainnya,di antaranya sudah punah seperti
Mazhab Zahiri, yang diasaskan kepada ulama Eropa, Ibn Hazm al-Zahiri
yang lahir di Cordova, Spanyol, pada Rabu 7 November 994 M.
Ada lagi Mazhab Alawzai, Althawri, Mazhab Allaith, Mazhab Tabari dan
lain sebagainya. Belum lagi mazhab tauhid seperti Almaturidi dan
Alash'ariah. Semuanya dalam tahap tertentu membingungkan kalangan yang
mempunyai kedangkalan dalam pemahaman filosofi beragama sehingga, kalau
tidak hati-hati, terjebak menjadi apatisme bermazhab alias Alla mazhabiyah.
Untuk menciptakan kerukunan antar mazhab di negaranya, pemerintah
Turki selalu merangkul semua pihak dan mengingatkan para pemeluk agama
dan pengikut mazhab, bagaimana kedamaian antar umat manusia di negara
itu pernah terwujud sebelum munculnya inovasi mazhab dan pemikiran.
"Negara ini milik kita bersama. Para leluhur kita, sama seperti
pendahulu mereka, telah tinggal bersama di sini. Oleh karena itu, semua
keberhasilan hanya dapat dicapai jika kita selalu memperlakukan orang
lain dengan penghormatan, cinta dan berdialog," kata Presiden Abdullah
Gül saat mengunjungi sebuah cemevi, istilah untuk gedung majelis taklim
kalangan Syiah Alawiyah di Erzincan Jumat (15/11).
Ajakan ini bertepatan dengan momen penghormatan umat Islam terhadap
kesucian bulan Muharam yang dihormati karena pada bulan ini banyak
mengandung poin sejarah seperti kesahidan Imam Husein RA serta mengenang
saat-saat penyelamatan bangsa Yahudi, yang dipimpin Nabi Musa AS saat
dulu, oleh Allah SWT dari perbudakan pemerintahan Fir'aun di Mesir.
Dilaporkan Hurriyet Daily News, kunjungan Gül itu juga
bertepatan dengan keresahan komunitas Alawiyah kepada pemerintah yang
belum mengakui cemevi sebagai tempat suci resmi Syiah selain masjid dan
lain-lain. Hal itu berkaitan khususnya dengan paket demokratisasi di
negara itu, yang di antaranya berhasil mengakhiri diskriminasi negara
terhadap kalangan wanita yang berjilbab.
Gül, yang juga politisi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), saat
itu sangat berbahagia dengan peningkatan kesadaran dan pemahaman
politisi negara itu ke nilai luhur sekularisme yang sebenarnya sesuai pemahaman Mazhab Anglo-Saxon dan tidak lagi mengadopsi kedangkalan Mazhab Sekuler Restriktif. Ketegangan pun mereda antara kelompok nasionalis dengan sekuler yang anti-jilbab.
Dalam memahami kasus Alawiyah ini, petinggi AKP masih mencermati
beberapa pertimbangan. Menteri Perburuhan Faruk Çelik lebih menyetujui
adanya pengakuan kepada lembaga-lembaga cemevi, dan meminta hal itu
jangan dibenturkan dengan masalah 'ketidaksetujuan teologis dan hukum'.
Gül yang disambut oleh pimpinan organisasi masyarakat Hacı Bektaş
Veli Foundation, mengatakan, sebuah langkah kesadaran terus mendapatkan
momentumnya di Turki dan beberapa kemajuan sudah dicapai, walaupun harus bergerak selangkah demi selangkah.
"Bukan saja kepada warga Alawiyah kita, juga terhadap masalah yang
menimpa warga Sunni, yang ada di Barat (Turki) dan di Timur negara
semuanya mempunyai problematika dan permintaan masing-masing. Apa yang
penting bagi kita adalah kesediaan untuk meminjamkan telinga untuk
mendengar semua [tuntutan] ini dan berusaha untuk menyelesaikannya,"
katanya.
Redaktur : Julkifli Marbun |
Sumber : Hurriyet Daily News |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar