SAUDI DAN PEMBOMAN KEDUBES IRAN
Saya baru saja membaca tulisan di situs media Lebanon Al Akhbar berjudul "The Mad Kingdom: Saudi Raises the Stakes" yang pada paragraf terakhirnya menuliskan:
"Jadi kegilaan kerajaan Saudi telah mencapai puncaknya, dan adalah mengejutkan bahwa ada sebagian kelompok di Lebanon yang bersedia mengikutinya, membantu Pangeran Bandar bin Sultan (kepala inteligen Saudi, orang nomor satu yang memimpin Saudi dalam berbagai konflik di Timur Tengah) menciptakan kekacauan di Lebanon dan Syria dalam beberapa bulan atau tahun ke depan".
Itu adalah sebagian dari beberapa tulisan yang menginformasikan tentang rencana Saudi melakukan "perang habis-habisan" demi mempertahankan eksistensinya setelah terancam oleh kegagalan "proyek Syria", ekspansi kaum Shiah Zaidiyah di Yaman Utara dan sikap Amerika yang melunak terhadap Iran.
"Jadi kegilaan kerajaan Saudi telah mencapai puncaknya, dan adalah mengejutkan bahwa ada sebagian kelompok di Lebanon yang bersedia mengikutinya, membantu Pangeran Bandar bin Sultan (kepala inteligen Saudi, orang nomor satu yang memimpin Saudi dalam berbagai konflik di Timur Tengah) menciptakan kekacauan di Lebanon dan Syria dalam beberapa bulan atau tahun ke depan".
Itu adalah sebagian dari beberapa tulisan yang menginformasikan tentang rencana Saudi melakukan "perang habis-habisan" demi mempertahankan eksistensinya setelah terancam oleh kegagalan "proyek Syria", ekspansi kaum Shiah Zaidiyah di Yaman Utara dan sikap Amerika yang melunak terhadap Iran.
Di antara rencana tersebut adalah membentuk pasukan
"Mohammad Army" berkekuatan 250.000 milisi bersenjata yang siap
dikerahkan ke wilayah-wilayah konflik di luar negeri serta mengobarkan
aksi-aksi teror terhadap kekuatan-kekuatan pro-Iran, terutama di Irak,
Syria, Yaman dan Lebanon.
Rencana "gila" Saudi sebagaimana ditulis Al Akhbar telah terjadi melalui beberapa aksi pemboman di jantung Hizbollah di Beirut Selatan beberapa bulan terakhir. Dan kini diduga motif itu pulalah yang mendasari terjadinya pemboman terhadap kantor kedubes Iran di Beirut, Lebanon, Selasa (19/11) yang menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya.
Iran telah menuduh Israel dan "tentara bayaran"-nya berada di balik pemboman tersebut, yang dikonfirmasi oleh pengakuan kelompok teroris Al Qaida, Abdullah al-Azzam Brigade sebagai pelaku serangan tersebut. Pengakuan tersebut mengukuhkan analisa Al Akhbar dan analis-analis politik lainnya bahwa Saudi, pendukung kuat Al Qaida, berada di balik serangan tersebut yang dalam operasi inteligennya selalu bekerjasama dengan inteligen Israel.
Pada bulan Agustus 2013 lalu pemimpin pemberontak Syria Ahmed al-Jerba mengungkapkan kepada publik keberadaan "Mohammad Army", pasukan milisi-teroris yang konon berkekuatan hingga 250.000 personil yang dibentuk oleh Saudi untuk menjalankan misi-misi Saudi di kawasan Timur Tengah. (Jerba berasal dari kelompok Free Syrian Army yang didukung Turki, yang kini terlibat persaingan keras dengan kelompok-kelompok Al Qaida dukungan Saudi). Sejak itu milisi ini menjadi perhatian media dan para pengamat politik.
"Pasukan extra-teritorial Saudi bernama "Mohammad Army" telah terbentuk, mereka telah menjalani pelatihan-pelatihan khusus dan memiliki senjata lengkap," tulis situs media al-Rai al-A’am baru-baru ini. Dikabarkan bahwa Saudi telah menghabiskan miliaran dolar untuk membentuk pasukan tersebut.
Sementara media Iran Fars News Agency baru-baru ini melaporkan, “disebut-sebut bahwa Mohammad Army akan menjadi pasukan penyerang Saudi Arabia di Syria dan mungkin juga akan dikerahkan ke Yaman untuk menghadapi gerakan Shiah al-Houthi yang kini tengah bertempur melawan kelompok-kelompok salafi di Dammaj, Yaman Utara.”
MENGUNDANG KECAMAN DOMESTIK DAN INTERNASIONAL
Setelah serangkaian serangan bom terhadap kawasan-kawasan basis pendukung kelompok Hizbollah di Beirut, kini serangan teroris yang hampir dipastikan digerakkan oleh konspirasi zionis-wahabi, akhirnya menghantam kedubes Iran di Beirut, Selasa pagi waktu setempat (19/11).
Aksi biadab yang menewaskan setidaknya 23 orang itu kontan menuai kecaman keras tidak saja dari dalam negeri namun juga dunia internasional.
Tidak lama setelah serangan tersebut Presiden Iran Sheikh Hassan Rouhani menerima telepon dari Presiden Lebanon Michel Sleiman dan keduanya saling menyatakan belasungkawa atas tewasnya korban dari kedua negara. Di antara korban yang tewas adalah pejabat atase kebudayaan Iran di Lebanon.
Iran melalui jubir kemenlu Marziyeh Afkham menyatakan kutukan keras atas aksi tersebut seraya menuduh "Zionists dan tentara-tentara bayarannya bertanggungjawab atas aksi tersebut." Menurut Afkham, karena serangan terjadi pada kantor kedubes Iran, maka Iran akan melakukan "penyelidikan" sendiri terhadap insiden tersebut.
Sekutu dekat Iran Syria tentu juga mengeluarkan kutukan keras atas insiden tersebut dan menyebutnya sebagai "serangan teroris". Demikian juga sekutu Iran lainnya, Russia yang selain mengeluarkan kutukan keras juga menyebutnya sebagai "aksi teroris".
Yang agak "mengherankan" adalah negara-negara barat yang juga beramai-ramai mengeluarkan kutukan keras terhadap serangan tersebut, mengingat selama ini mereka terkesan kurang responsif terhadap serangan-serangan teroris yang ditujukan terhadap Iran atau Syria. Hal ini mengindikasikan tengah terjadinya "perselisihan" antara Amerika-barat dengan Israel-Saudi sebagai dampai gagalnya "proyek Syria".
Menlu Inggris William Hague dalam pernyataannya mengutuk serangan tersebut serta menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga korban. Sementara Presiden Perancis menyatakan kutukan terhadap serangan seraya menyatakan dukungan pemerintah Perancis kepada pemerintah Lebanon untuk melindungi kesatuan negara.
Demikian juga menlu Amerika John Kerry yang selain mengutuk juga menyebut aksi serangan tersebut sebagai "tidak berperi kemanusiaan". Selanjutnya Kerry menyerukan semua pihak di Lebanon untuk mendukung penyelidikan yang dilakukan pemerintah Lebanon.
Kutukan juga disampaikan Sekjan PBB Ban Ki-moon beberapa jam setelah terjadinya serangan. Ia juga menyerukan kepada semua pihak di Lebanon untuk menjauhkan diri dari konflik Syria, seruan mana mengindikasikan bahwa serangan tersebut terkait dengan konflik Syria.
Kutukan juga mengalir dari para pemimpin politik Lebanon, tidak saja dari pemerintah dan kubu politik pro-Iran seperti Hezbollah, Amal, Free Patriotic Movement (Kristen) dan Marada Movement (Kristen), namun juga dari kubu politik anti-Iran seperti Partai Falangis (Kristen) dan Partai Sosialis (Druze). Kutukan juga disampaikan oleh Mufti Besar Lebanon Sheikh Mohammad Rashid Qabbani, yang menuduh serangan tersebut ditujukan untuk memecah belah kaum Shiah dan Sunni.
Rencana "gila" Saudi sebagaimana ditulis Al Akhbar telah terjadi melalui beberapa aksi pemboman di jantung Hizbollah di Beirut Selatan beberapa bulan terakhir. Dan kini diduga motif itu pulalah yang mendasari terjadinya pemboman terhadap kantor kedubes Iran di Beirut, Lebanon, Selasa (19/11) yang menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya.
Iran telah menuduh Israel dan "tentara bayaran"-nya berada di balik pemboman tersebut, yang dikonfirmasi oleh pengakuan kelompok teroris Al Qaida, Abdullah al-Azzam Brigade sebagai pelaku serangan tersebut. Pengakuan tersebut mengukuhkan analisa Al Akhbar dan analis-analis politik lainnya bahwa Saudi, pendukung kuat Al Qaida, berada di balik serangan tersebut yang dalam operasi inteligennya selalu bekerjasama dengan inteligen Israel.
Pada bulan Agustus 2013 lalu pemimpin pemberontak Syria Ahmed al-Jerba mengungkapkan kepada publik keberadaan "Mohammad Army", pasukan milisi-teroris yang konon berkekuatan hingga 250.000 personil yang dibentuk oleh Saudi untuk menjalankan misi-misi Saudi di kawasan Timur Tengah. (Jerba berasal dari kelompok Free Syrian Army yang didukung Turki, yang kini terlibat persaingan keras dengan kelompok-kelompok Al Qaida dukungan Saudi). Sejak itu milisi ini menjadi perhatian media dan para pengamat politik.
"Pasukan extra-teritorial Saudi bernama "Mohammad Army" telah terbentuk, mereka telah menjalani pelatihan-pelatihan khusus dan memiliki senjata lengkap," tulis situs media al-Rai al-A’am baru-baru ini. Dikabarkan bahwa Saudi telah menghabiskan miliaran dolar untuk membentuk pasukan tersebut.
Sementara media Iran Fars News Agency baru-baru ini melaporkan, “disebut-sebut bahwa Mohammad Army akan menjadi pasukan penyerang Saudi Arabia di Syria dan mungkin juga akan dikerahkan ke Yaman untuk menghadapi gerakan Shiah al-Houthi yang kini tengah bertempur melawan kelompok-kelompok salafi di Dammaj, Yaman Utara.”
MENGUNDANG KECAMAN DOMESTIK DAN INTERNASIONAL
Setelah serangkaian serangan bom terhadap kawasan-kawasan basis pendukung kelompok Hizbollah di Beirut, kini serangan teroris yang hampir dipastikan digerakkan oleh konspirasi zionis-wahabi, akhirnya menghantam kedubes Iran di Beirut, Selasa pagi waktu setempat (19/11).
Aksi biadab yang menewaskan setidaknya 23 orang itu kontan menuai kecaman keras tidak saja dari dalam negeri namun juga dunia internasional.
Tidak lama setelah serangan tersebut Presiden Iran Sheikh Hassan Rouhani menerima telepon dari Presiden Lebanon Michel Sleiman dan keduanya saling menyatakan belasungkawa atas tewasnya korban dari kedua negara. Di antara korban yang tewas adalah pejabat atase kebudayaan Iran di Lebanon.
Iran melalui jubir kemenlu Marziyeh Afkham menyatakan kutukan keras atas aksi tersebut seraya menuduh "Zionists dan tentara-tentara bayarannya bertanggungjawab atas aksi tersebut." Menurut Afkham, karena serangan terjadi pada kantor kedubes Iran, maka Iran akan melakukan "penyelidikan" sendiri terhadap insiden tersebut.
Sekutu dekat Iran Syria tentu juga mengeluarkan kutukan keras atas insiden tersebut dan menyebutnya sebagai "serangan teroris". Demikian juga sekutu Iran lainnya, Russia yang selain mengeluarkan kutukan keras juga menyebutnya sebagai "aksi teroris".
Yang agak "mengherankan" adalah negara-negara barat yang juga beramai-ramai mengeluarkan kutukan keras terhadap serangan tersebut, mengingat selama ini mereka terkesan kurang responsif terhadap serangan-serangan teroris yang ditujukan terhadap Iran atau Syria. Hal ini mengindikasikan tengah terjadinya "perselisihan" antara Amerika-barat dengan Israel-Saudi sebagai dampai gagalnya "proyek Syria".
Menlu Inggris William Hague dalam pernyataannya mengutuk serangan tersebut serta menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga korban. Sementara Presiden Perancis menyatakan kutukan terhadap serangan seraya menyatakan dukungan pemerintah Perancis kepada pemerintah Lebanon untuk melindungi kesatuan negara.
Demikian juga menlu Amerika John Kerry yang selain mengutuk juga menyebut aksi serangan tersebut sebagai "tidak berperi kemanusiaan". Selanjutnya Kerry menyerukan semua pihak di Lebanon untuk mendukung penyelidikan yang dilakukan pemerintah Lebanon.
Kutukan juga disampaikan Sekjan PBB Ban Ki-moon beberapa jam setelah terjadinya serangan. Ia juga menyerukan kepada semua pihak di Lebanon untuk menjauhkan diri dari konflik Syria, seruan mana mengindikasikan bahwa serangan tersebut terkait dengan konflik Syria.
Kutukan juga mengalir dari para pemimpin politik Lebanon, tidak saja dari pemerintah dan kubu politik pro-Iran seperti Hezbollah, Amal, Free Patriotic Movement (Kristen) dan Marada Movement (Kristen), namun juga dari kubu politik anti-Iran seperti Partai Falangis (Kristen) dan Partai Sosialis (Druze). Kutukan juga disampaikan oleh Mufti Besar Lebanon Sheikh Mohammad Rashid Qabbani, yang menuduh serangan tersebut ditujukan untuk memecah belah kaum Shiah dan Sunni.
REF:
"Wide Condemnations against Beirut Blasts, Iran Accuses Israel"; ALMANAR.COM.LB; 20 November 2013
"Saudi Prince Bandar’s Mideast crusade"; Catherine Shakdam; Press TV; 17 November 2013
"The Mad Kingdom: Saudi Raises the Stakes"; Ibrahim al-Amin; AL-AKHBAR; 15 November 2013
"Wide Condemnations against Beirut Blasts, Iran Accuses Israel"; ALMANAR.COM.LB; 20 November 2013
"Saudi Prince Bandar’s Mideast crusade"; Catherine Shakdam; Press TV; 17 November 2013
"The Mad Kingdom: Saudi Raises the Stakes"; Ibrahim al-Amin; AL-AKHBAR; 15 November 2013
1 komentar:
-
tidak dilupakan -perancis dikatakan turut terlibat
|
|||
Local Editor | |||
http://www.almanar.com.lb/english/adetails.php?fromval=2&cid=14&frid=23&seccatid=14&eid=121592
The terrorist attack against the Iranian embassy in
Beirut which killed and wounded dozens of people was widely condemned,
as Iran considered that the Israelis and their mercenaries are
responsible for the crime.
The Iranian President Sheikh Hassan
Rouhani called the his ambassador to Lebanon checking the detailed
conditions of the blasts and expressing solidarity with the Lebanese.
Rouhani also received a phone call from
the Lebanese president Michel Sleiman who offered him condolences for
the martyrs of Beirut twin blasts.
The Iranian Foreign Ministry spokeswoman
Marziyeh Afkham strongly condemned the attack as "an inhuman action",
and said, "The Islamic Republic of Iran takes the Zionists and their
mercenaries responsible for this action."
Afkham said since the attack targeted an
area in the vicinity of the Iranian Embassy compound in Beirut, Tehran
will pursue the incident.
Syria also strongly condemned a double bomb blast outside the Iranian embassy in Beirut.
"The Syrian government firmly condemns
the terrorist attack carried out near the Iranian embassy in Beirut,"
state television said.
UK Foreign Minister William Hague condemned the twin bombings that
erupted near the Iranian embassy in Beirut on Tuesday, offering his
condolences to the families of the victims.France also condemned the attack, with its presidency voicing its support for the Lebanese government “in order to protect national unity.”
US Secretary of State John Kerry on
Tuesday condemned what he called the "senseless and despicable" bomb
attacks against Iran's embassy in Beirut, urging all parties to back
Lebanon's probe.
Russia also strongly condemned as a "terrorist act" the double suicide bombing outside the Iranian embassy in Beirut.
The UN Security Council and UN leader
Ban Ki-moon on Tuesday condemned suicide bombs at the Iranian embassy in
Beirut and called on Lebanese to stay out of the Syria conflict.
House Speaker, Nabih Berri, said the
twin blasts in Bir Hassan region aimed against the Iranian Embassy which
has always been seeking to unify Lebanon and Lebanese and anchor
national security and stability, especially that conspirators behind the
blasts wanted to augment division between Lebanese.
Berri condemned and deplored the twin
blasts that jolted Tuesday morning Bir Hassan region, wishing the
injured people a speedy recovery.
The House Speaker cabled Ayatollah Ali
Khamenei, the Supreme Leader of the Iranian Revolution, offering him his
condolences on the death of Sheikh Ibrahim Ansari, the Iranian Cultural
Advisor at the Iranian Embassy, who was killed in the blast.
Caretaker Prime Minister, Najib Mikati, condemned the blast, describing it as "a cowardly terrorist act."
"The aim of the blast is to stir-up the situation in Lebanon and use the Lebanese arena to convey messages," Mikati confirmed.
Prime Minister-designate, Tammam Salam,
condemned the explosion, describing it as "a terrorist crime which would
aim to strike stability and national unity."
Salam said that the best response to the
owners of the evil schemes would be patience and to bridge all the gaps
in the national unity wall.
Hezbollah MP Mohammad Raad on Tuesday
said that the criminal explosion was a terrorist act replicating the
well known Zionist pattern of hostility.
"The aim is to carry on carnage,
sabotage, fomenting chaos, menacing national unity, and sapping
stability. It is a scheme to which the western-Israeli coalition abides
to and which interests intertwine with those of regional regimes and
Takfiri groups," the Head of Hezbollah's Loyalty to the Resistance
parliamentary bloc said in a statement.
Mufti of Lebanon, Sheikh Mohammad Rashid
Qabbani, on Tuesday condemned and deplored the twin blasts, saying that
such explosions aim to flare up local strife in Lebanon, notably
between Shiites and Sunnis.
Caretaker Defense Minister Fayez Ghosn
expressed strong disapproval of the two blasts that targeted Bir
Hassan's Iranian Embassy.
Marada movement leader, MP Sleiman
Frangiyeh, denounced on Tuesday Beirut twin blasts, saying this
terrorist act bore a clear message to the Resistance's path and to
Lebanon's civil peace.
The head of Phalange party Amine Gemayel
spoke out against the two explosions and called for an immediate
national position to rescue the country from the "clutches of this
merciless and hellish plot against Lebanon."
Free Patriotic Movement leader MP Michel
Aoun considered that the blasts were carried out by the desperate mad
who are giving samples of what may happen in case they took over the
authority.
Progressive Socialist Party MP Walid Jumblat on Tuesday expressed strong disapproval of the explosions.
Other political parties an figures
expressed their strong condemnation for the blasts and considered it as a
terrorist scheme that targets Lebanon and the region.
|
Saudi Prince Bandar’s Mideast crusade
Sun Nov 17, 2013 1:24PM
Catherine Shakdam
http://www.presstv.com/detail/2013/11/17/335149/saudi-prince-bandars-mideast-crusade/
Left
reeling from his failure to promote yet another senseless war in the
Middle East by encouraging Washington to launch a military assault
against Iran under the pretext that Tehran is developing a nuclear bomb -
such fantasy has been flaunted by both Saudi Arabia and Israel as to
promote their Zionists agenda in the region and bring down the last
bastion of Islam - Saudi Prince Bandar and his brother, the Deputy
Defense Minister Salman bin Sultan have been actively supervising the
establishment of a new special military unit: Mohammed Army, which will
act as an extraterritorial military force to the Kingdom and by
extension its Zionist allies.
Having been forced to postpone its attack against Iran, Saudi Arabia Intelligence Chief Bandar has chosen to concentrate his efforts on infiltrating and laying waste both Syria and Yemen as to ensure both nations complete and utter surrender as well as the destruction of their respective armies.
As Saudi Arabia lines up its dominoes, it is bent on crushing any potential contender to its power and will in the region.
From a pure military standpoint, Saudi Arabia stood a sitting duck before the might of Iraq, Syria and Yemen’s armies. And while it’s incredible wealth acted as a fortress for many decades, Al Saud understood very early on that should their house survive the test of time they would have to either raise an army mightier than that of their neighbors, or find a way to destroy their contenders. Used to pillage and thievery, the House of Saud chose the latter option, a true testimony to its less than tasteful heritage. Called the brigands of the desert, Al Saud only came to rule over the land of Hejaz after a man called Mohammed Abdul Wahab - a British agent - chose to ally himself to them as to conquer the cradle of Sunni Islam and replace its message by one more attune with its own agenda.
With Iraq out of the way, Saudi Arabia has been promoting instability and insecurity in both Syria and Yemen, always playing the sectarian card. Communities which have for centuries enjoyed peace, harmony and profound respect for one another, have now been plagued by hatred and terror by the hands of hateful regional powers, whose goals are to lay waste the very fabric of the Islamic world.
The warnings which Syrian President Bashar al-Assad issued as early as 2011 when the premise of a rebellion burgeoned in Damascus under the influence of a handful of foreign agents have come to pass without the world having even realized it. While President Assad was labeled a liar and a war-monger when he slammed “Zionist agents” for engineering unrest in Syria, accusing them of launching a crusade against Islam, while all the while pretending to be acting the democratic heroes, most onlookers to the Islamic Awakening rolled their eyes, shrugging off such comments as a conspiracy theory.
Two years into the crisis and reports of al-Qaeda presence in Syria have been legion. Syrian President al-Assad did indeed speak the truth, yet the world remained passive.
Saudi Arabia, the very country which has long claimed to be fighting Islamic terrorism across the Middle East and the world; the country which in the wake of September 11 vowed it would stand by its ally, the US, and destroy the axis of evil as former President George W Bush labeled it, has been openly supporting al-Qaeda in Syria, arguing that the organization is a “necessary evil.”
Still the public says nothing.
Today, Saudi Arabia is raising an army which will soon enter both Syria and Yemen. Mohammed Army will attempt to break the defenses of the Houthis - Yemen Shiite faction whose territories lay directly south of Saudi Arabia, posing a direct threat to the Kingdom - putting an end to decades of resistance.
The Houthis who have suffered the onslaught of a vicious sectarian strife in northern Sa’ada at the hands of the Salafis - Sunni radicals which are ideologically next of kin to Saudi Arabia Wahhabism - could face complete and utter annihilation, should Mohammed Army indeed cross the border into Yemen.
In the Levant, Syria faces a similar fate. While Syria’s armed forces have managed so far to consolidate their advances against al-Qaeda’s myriad of militias, the arrival of such a force could tip the balance of power and spell disaster for Damascus central government.
“The Saudi extraterritorial force named ‘Muhammad Army’ is being established and its forces have undergone specialized trainings and it is fully equipped,” al-Rai al-A’am news website reported earlier this week ringing the alarm. Already sources confirmed that the Saudi government has earmarked several billions of dollars for the project.
As reported by Fars News Agency, “It is said that Mohammed Army will be Saudi Arabia’s strike force in Syria and it might also be deployed for war against Yemen’s al-Houthi movement which is now in combat against the Salafi groups in Dammaj region in Northern Yemen.”
With a reported 250,000 men, Mohammed Army will essentially be the first open al-Qaeda military terror unit. Interestingly it was rebel Syrian politician Ahmed al-Jerba who in August 2013 first leaked such information.
Bent on slaying the Syrian regime, Prince Bandar has intensified propaganda against Damascus, working his venom on Washington to guarantee that all politicians - Republican and Democrat - will support his Middle Eastern crusade.
Appointed by Saudi King Abdulla last year as the head of the Saudi General Intelligence Agency, Prince Bandar has for the last months been focused exclusively on garnering international support for militants in Syria, aka terror militias in pursuit of the eventual toppling of the Syrian government.
In Yemen, Prince Bandar has worked tirelessly to prevent the Houthis from further securing supporters, by engineering an artificial sectarian strife as to prevent the group from ever weighing heavy on Yemen’s political map. Should the Houthis claim their place in Yemen’s political life, Al Saud could stand to lose the lands it stole from Yemen in the 1930s; lands which sit on billions of dollars’ worth of oil.
CS/HGH
Rezim Saudi Khawatir Nasibnya Seperti Ben Ali
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/02/28/rezim-saudi-khawatir-nasibnya-seperti-ben-ali/
Surat
kabar Amerika, The New York Times mempublikasikan laporan (23/2)
tentang antisipasi Arab Saudi, mengingat ia saat ini sedang dikelilingi
oleh negara-negara yang tidak stabil, dan para sekutunya berguguran dari
kursi kekuasaan setelah revolusi rakyat. Sehingga keadaan Arab Saudi
menjadi semi terisolasi. Para pejabat tingginya mengungkapkan tentang
kekhawatirannya bahwa Amerika sudah tidak mungkin menjadi sekutu yang
bisa diandalkannya. Terutama sejak pemerintahan Presiden Barack Obama
beralih memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok yang pro-demokrasi,
di mana tidak ada seseorang pun yang mampu menjamin hasilnya.
Raja Al Saud telah mengumumkan untuk pertama kalinya bahwa ia akan
melakukan berbagai reformasi ekonomi dan pembangunan. Beberapa media
mengutip dari sumber yang dekat dengan keluarga Al Saud bahwa ia telah
membebaskan para tahanan yang melakukan aksi protes di distrik Ihsa’.
Rezim Al Saud, yang didirikan oleh Inggris delapan dekade yang lalu,
dan mendapat dukungan dari Amerika telah melakukan penindasan dan teror
terhadap masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya, di sampaing
telah mengeksploitasi Islam, dan sekarang terlihat begitu khawatir akan
penggulingannya.
Sementara Amerika tidak akan menyesal untuk membuang apabila
bonekanya sudah mulai terlihat sempoyongan. Oleh karena itu, Al Saud
tampak begitu khawatir. Sedang Inggris ketika melihat kejatuhan rezim
ini, maka ia akan menunggangi gelombang untuk membuat boneka baru, yang
sesuai dengan situasi baru, seperti yang terjadi di Tunisia. Sehingga,
ketika bonekanya, Ben Ali sedang sempoyongan, maka ia tidak menyesal
untuk membuangnya, bahkan ia berusaha untuk memperkuat bonekanya yang
lain.
Dalam hal ini, rezim Al Saud benar-benar telah mengumumkan berbagai
tindakan yang terkait dengan peningkatkan taraf hidup di negara ini,
penciptaan kondisi yang cocok untuk kepemilikan rumah, dan pembebasan
pajak dari semua dana pinjaman pengembangan real estat, pemberian
subsidi keuangan sementara bagi para pengangguran selama satu tahun, dan
bantuan lainnya.
Rezim Al Saud berusaha untuk menutup celah-celah agar rakyat tidak
melawannya, seperti yang dilakukan rakyat di Tunisia, Mesir, Libya dan
lain-lainnya terhadap rezim-rezim yang serupa dengan rezim tersebut,
yang semuanya berkarakteristik sama, seperti suka melakukan kejahatan,
tirani, memperkosa hak, menjadi boneka penjajah, berkerja sesuai
arahannya, menjalankan rencananya, di samping tidak menerapkan syariah
Islam yang diyakini rakyatnya (kantor berita HT, 27/2/2011).
Obama Menyerang Negeri-Negeri Kaum Muslim, Mulai Dari Rezim Turki Hingga Rezim Mesir, Melewati Rezim Pemerintahan Saudi
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/06/11/obama-menyerang-negeri-negeri-kaum-muslim-mulai-dari-rezim-turki-hingga-rezim-mesir-melewati-rezim-pemerintahan-saudi-2/
[Al-Islam 459] Setelah
kunjungannya ke Istanbul (Turki), Obama mengarahkan tagetnya ke wilayah
Kinanah (Mesir) melewati Jazirah Arab. Pada hari Kamis pagi (4/6/2009)
Obama disambut oleh penguasa Mesir seperti seorang pahlawan yang baru
pulang dari medan tempur dengan membawa kemenangan! Sebelum
kedatangannya, sudah tampak penjagaan sangat ketat. Pasukan keamanan
tersebar di mana-mana. Berbagai bunga dan hiasan ucapan selamat berjajar
menyambut Presiden Amerika itu. Padahal dia adalah pemimpin kekufuran,
yang hingga kini masih terus menumpahkan darah umat Islam di Afganistan,
Pakistan dan Irak.
Penguasa Mesir menyambut Obama dari pintu Istana
Kubah dengan penuh kehangatan dan penghormatan. Dari sana Obama pergi
menuju Universitas Kairo untuk menempati mimbar kehormatan yang telah
disiapkan dan menyampaikan pidato kepada kaum Muslim.
Inti pidato yang disampikan Obama tidak berbeda
dengan kebijakan umum para mantan presiden Amerika sebelumnya. Mulai
dari awal hingga akhir, isi pidato Obama tidak keluar dari upaya Amerika
untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Amerika mencoba meyakinkan
kaum Muslim bahwa perang yang dilancarkan Amerika terhadap negeri-negeri
kaum Muslim adalah benar. Dengan tipudaya yang begitu sempurna, Obama
berusaha memunculkan kesan bahwa Amerika sedang berupaya membangun
hubungan yang bersifat umum (dengan Dunia Islam).
Namun, terkait dengan isu-isu yang kasatmata, isi
pidato Obama begitu tajam, pedas, jelas dan tanpa basa-basi, yang
menunjukkan permusuhannya yang nyata terhadap kaum Muslim. Allah SWT
berfirman:
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُTelah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi (QS Ali Imran [3]: 118).
Sejak awal Obama telah melontarkan berbagai ancaman
terhadap mereka yang disebut dengan ekstremis-teroris di Afganistan dan
Pakistan. Bahkan ia mendorong berbagai negara untuk berperang di pihak
Amerika. Dengan bangganya Obama mengatakan bahwa dirinya telah
mengumpulkan 46 negara untuk membantunya berperang di Afganistan.
Obama bahkan telah membombardir Pakistan secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, dia tidak merasa bersalah
sedikitpun meski yang dia bunuh adalah kaum perempuan, anak-anak dan
orang tua.
Walhasil, mereka itulah para ekstremis yang
sesungguhnya. Pasalnya, berbagai kejahatan telah dilakukan Amerika.
Amerika juga terus melakukan aksi pembunuhannya secara brutal di
Afganistan, Pakistan dan Irak. Namun, Obama terus saja mengatakan bahwa
Amerika tidak ingin memerangi Islam dan kaum Muslim, seperti yang telah
ia katakan di Turki.
Kemudian, ketika Obama beralih pada isu Palestina
dalam pidatonya itu, ia dengan jelas menyatakan bagaimana kuatnya
hubungan Amerika dengan negara Yahudi yang telah merampas Palestina.
Dalam pandangan Obama, negara Yahudi harus tetap dengan apa yang telah
dirampasnya. Kemudian, ia menekankan solusi dua negara, yaitu pengakuan
akan hak bangsa Yahudi atas sebagian besar wilayah Palestina, sementara
sisanya yang tinggal sedikit, disebut dengan negara bagi warga
Palestina.
Selanjutnya, dengan polosnya, Obama ingin
menghentikan pembangunan—bukan menghapus—permukiman Yahudi. Itu pun
dengan syarat, Palestina harus menghentikan setiap bentuk perlawanan dan
permusuhannya terhadap Yahudi.
Pidato Obama lalu memasuki isu senjata nuklir. Dalam
hal ini, ia fokus pada Iran. Ia menginginkan wilayah Timur Tengah bersih
dan bebas dari senjata nuklir. Anehnya, ia sama sekali tidak
menyebutkan institusi Yahudi meski hanya satu kata. Padahal semua tahu
bahwa institusi Yahudi adalah negara nuklir!
Dengan demikian, jelas hakikat kedatangan Obama
adalah untuk menyerang kaum Muslim melalui tipudaya, kelicikan dan
kata-kata manis. Di sisi lain, penguasa Mesir telah menyiapkan suatu
mekanisme untuk memobilisasi orang-orangnya agar bersorak-sorai dan
memberikan sambutan hangat atas tindakan jorok, keji dan beracun yang
dilakukan Amerika ini.
Sesungguhnya sorak-sorai dan sambutan hangat yang
palsu ini terlihat jelas sekali bagi siapapun yang kedua matanya sehat.
Jika tidak, bagaimana mungkin ia memberikan sambutan hangat atas pidato
Obama tentang solusi dua negara? Pantaskah seorang Muslim rela, apalagi
bersorak-sorai dan menyambut hangat keinginan Amerika untuk membagi-bagi
tanah Palestina yang penuh berkah—tanah tempat Isra’ dan Mikraj-nya
Nabi saw.—antara pemilik yang sah (kaum Muslim) dan orang yang telah
merampasnya (Yahudi)?
Bagaimana mungkin seorang Muslim bersorak-sorai
memberikan sambutan hangat, padahal Obama telah sengaja menyimpangkan
makna firman Allah SWT ketika ia menyitir firman-Nya:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًاSiapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena ia membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya (QS al-Maidah [5]: 32).
Ayat ini oleh Obama ditujukan kepada mereka yang
disebut dengan ‘ekstremis’ Muslim. Padahal ayat ini merupakan ayat yang
pertama kali diturunkan kepada Bani Israel. Dengan mengutip ayat ini,
Obama menganggap seorang Muslim yang membela agamanya dan keluarganya
serta memerangi orang-orang yang menyerangnya sebagai orang yang telah
membunuh semua manusia. Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh institusi
Yahudi yang telah membunuh warga Palestina, merampas tanahnya, mengusir
dari rumah-rumahnya, merampas kehormatan dan kesuciannya serta melakukan
kerusakan demi kerusakan, semua itu di mata Obama bukan pembunuhan atas
semua manusia.
Di mata Obama, pembantaian yang dilakukan Amerika
terhadap kaum Muslim, juga bukan pembunuhan atas semua orang. Allah SWT
berfirman:
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلا كَذِبًاAlangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta (QS al-Kahfi [18]: 5).
Bagaimana mungkin pula seorang Muslim bersorak-sorai
memberikan sambutan hangat kepada Obama, yang dengan seenaknya
mengumumkan bahwa Al-Quds (Yerusalem) dikuasai bersama oleh bangsa
Yahudi, orang-orang Kristen dan kaum Muslim? Padahal jelas Khalifah Umar
melalui Perjanjian Umariyah dulu telah menetapkan bahwa tidak seorang
Yahudi pun boleh tinggal di dalamnya.
Sungguh, sorak-sorai dan sambutan hangat itu terlihat
jelas sekali dustanya. Penguasa boneka yang telah disiapkan Obama
ternyata tidak mampu menyembunyikan semua kedustaan ini meskipun mereka
telah menyiapkan panggung sandiwara untuk Obama agar wajahnya terlihat
bagus, toleran dan adil.
Wahai kaum Muslim:
Sesungguhnya Obama mendatangi Anda dengan “pakaian
ibadah” sekadar demi memanfaatkan Anda, sementara Anda tidak merasa
dimanfaatkan. Karena itu, Obama sesungguhnya lebih berbahaya daripada
orang yang secara terang-terangan dan terbuka memusuhi Anda.
Amerika sebetulnya panik dan takut kepada Anda meski
Amerika dilengkapi dengan senjata berat dan modern. Jika tidak demikian,
tentu Amerika akan menyatakan secara terbuka permusuhannya kepada Anda.
Wahai kaum Muslim:
Obama memilih menyerang negeri-negeri kaum Muslim
bukan tanpa pertimbangan. Ia memulai ‘serangannya’ dari Istanbul
(Turki), melewati wilayah Jazirah dan berakhir di wilayah Kinanah
(Mesir). Istanbul merupakan wilayah kuasaan al-Fatih, ibukota Khilafah
yang pernah berdiri kokoh di hadapan dominasi Yahudi atas Palestina. Ia
juga menyadari bahwa wilayah Jazirah adalah ibukota Khilafah yang
pertama, yang dari Jazirah inilah Umar membebaskan al-Quds (Yerusalem).
Ia pun menyadari bahwa wilayah Kinanah (Mesir) adalah pusat kekuasaan
Shalahuddin, yang darinya beliau membebaskan al-Quds (Yerusalem) dari
kaum salibis.
Obama menyadari semua itu. Karenanya, ia datang ke
negeri-negeri tersebut membawa pesan untuk umat Islam, bahwa era
kemuliaan kaum Muslim sudah lenyap dan berakhir. Negara dan kekuasaan
sekarang ada di tangan Obama dan sekutunya serta di bawah pengaruh
Amerika.
Sungguh, kaum kafir penjajah lebih banyak mengetahui
pusat-pusat kekuatan umat Islam daripada kaum Muslim sendiri. Mereka
mempelajari sejarah dan agama kita, mengerti kantong-kantong kekuatan
kita dan memahami karakteristik-karakteristik kebaikan yang diemban umat
kita. Jadi, bukan hal yang kebetulan jika Obama menyitir firman Allah
SWT:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُواHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ia sengaja berhenti sampai pada kalimat di atas. Ia tidak meneruskannya sampai akhir ayat, yaitu:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْSesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ia tidak menyebutkan bahwa takwalah yang akan
menjadikan umat Islam paling mulia dan paling perkasa, dan dengan
ketakwaan pula umat Islam akan menjadikan Amerika dan pengikutnya
sebagai umat yang paling rendah dan paling hina.
Wahai kaum Muslim:
Sungguh, melalui pidatonya itu, Obama berusaha untuk
memperlihatkan bahwa dirinya adalah pemimpin dunia. Untuk itu, dia
menyiapkan para penguasa antek di negeri-negeri kaum Muslim, yang
kemudian memberi Obama mahkota yang melebihi apa yang dia inginkan.
Keadaan Obama dengan para anteknya itu sesungguhnya seperti keadaan
Fir’aun dengan kaumnya (Lihat: QS az-Zukhruf [43]: 54).
Namun, andai saja Obama itu cerdas dan pintar, dia
seharusnya menyadari bahwa wilayah Istanbul, Jazirah dan Kinanah (Mesir)
sesungguhnya tidak pernah menerima apalagi menyambutnya. Mereka yang
menyambutnya hanyalah kumpulan para penguasa pengkhianat yang tidak lama
lagi akan disingkirkan dari kehidupan kaum Muslim.
Obama juga seharusnya menyadari bahwa permainan
kata-kata dalam pidatonya dan tipuan-tipuan pernyataan yang dilontarkan,
tidak akan mampu mempengaruhi akal sehat kaum Muslim.
Sungguh, Hizbut Tahrir mengumumkan kepada Obama dan
dunia, bahwa Islam memiliki para tokoh dan ksatria yang akan menegakkan
Daulah Islam untuk menjadi negara nomor satu di dunia. Daulah Islam akan
datang untuk menegakkan keadilan, menghapus kezaliman dan mengembalikan
hak-hak kepada yang memang berhak; mengusir Amerika agar kembali ke
rumahnya sendiri dalam keadaan hina dan tak berdaya serta menghapus
institusi Yahudi yang telah merampas Palestina sehingga semuanya kembali
utuh menjadi bagian dari Daulah Islam. Bumi akan kembali bersinar
dengan tegaknya Khilafah dan kebaikan akan merata terasa di seluruh
penjuru dunia.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَAllah berkuasa atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya (QS Yusuf [12]: 21).
KOMENTAR AL-ISLAM:
Pentagon Mengaku Salah dalam Operasi Militernya di Afganistan (Eramuslim.com, 9/6/2009).
Itu hanya basa-basi! Sebab, Amerika tetap melanjutkan pembantaian kaum Muslim di Afganistan, juga Irak dan Pakistan.
Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini)
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/06/01/pengkhianatan-penguasa-saudi-dulu-dan-kini/
Dalam
pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28
Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang
dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di
antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan
asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu” jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang sejarah
Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam
tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu?
Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas
yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya
menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab.
Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil
jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan
kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa
kini dan masa depan kita.”
Dia
lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam,
“Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara
saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan
kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina,
banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak
untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina
sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa
penindasan.”
Apa
yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang
problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh
kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah
dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan
memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat
panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru
telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia
Islam.
Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel
jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun
1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada
perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah
menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel
menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT
Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan
Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap
tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab
Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan
membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke
belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.”
Saudi Arabia,
bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk
mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan
doa bagi Hizbullah.
Keluarga
Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan
penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam
Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan
penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi.
Kerajaan itu menjadi tuan
rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit.
Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait
membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih
bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran
mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga
dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka
kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik
pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan
pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi.
Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.
Sejarah Pengkhianatan al-Saud
Pengkhiatan
telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi
memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan
negara Israel.
Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan
Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap
pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul.
Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat
dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris.
Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di
semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat
pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu
Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan
pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai
imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris
untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris
memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan
mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung
pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk
memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad
ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan
opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan
kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat
kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi
mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun
1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi
Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan
dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang
mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan
sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan
Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu
penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul.
Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan
surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu
meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas
penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang
membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan
kerajaan di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria.
Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk
bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward
Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah
kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya
tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang
baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki
Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya
dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah
kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul
kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia
menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah
mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang
hati.
Keluarga
Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan
Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung
bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel.
Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari
kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel.
Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol
penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya
untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk
menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya
Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu,
pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann,
dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang
menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang
dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan,
yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun,
tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi
kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas.
Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi
Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap
Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara
Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah
berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli
persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan
tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar