RAJUT
Bad Day Penyadapan Australia
Posted: 19/11/2013 00:05
TOPIK
#Penyadapan
#Australia
#Rajut
http://news.liputan6.com/read/749551/bad-day-penyadapan-australia
Liputan6.com, Jakarta : Indonesia kembali menjadi
sasaran penyadapan oleh Australia. Kali ini badan mata-mata Australia
menyadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah
orang dekatnya.
Berita Terkait
Dalam dokumen yang dibocorkan Edward Snowden, mantan
kontraktor Badan Keamanan Nasional atau National Security Agency (NSA)
Amerika Serikat, Presiden SBY disadap Australia.
Dalam pernyataan yang dimuat The Guardian dan ABC, Senin 18 November 2013, disebutkan SBY menjadi target penyadapan pada 2009.
Dalam
dokumen yang dibocorkan Edward Snowden, Australia juga mencoba menyadap
telepon Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf
Kalla, mantan Menpora Andi Mallarangeng, Menko Perekonomian Hatta
Rajasa, mantan Menkeu Sri Mulyani, Widodo Adi Sucipto, dan Sofyan
Djalil.
Di dalam dokumen itu tertulis, badan intelijen Australia
melacak kegiatan SBY melalui telepon genggamnya selama 15 hari pada
Agustus 2009. Ketika itu Australia dipimpin Kevin Rudd dari Partai
Buruh. Selain SBY, badan mata-mata Australia bernama Defence Signals
Directorate (DSD) juga menyadap Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Diplomasi Koboi
Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, penyadapan Australia ini merupakan masalah serius yang menyangkut hubungan antarnegara. Karenanya, pemerintah harus berlaku tegas menyikapi hal tersebut.
Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, penyadapan Australia ini merupakan masalah serius yang menyangkut hubungan antarnegara. Karenanya, pemerintah harus berlaku tegas menyikapi hal tersebut.
"Snowden ngomong Australia menyadap pembicaraan SBY lewat telepon. Presiden SBY kalau tidak bereakasi, tidak mustahil besok bongkar hal lain yang lebih substantif bisa lebih tidak enak didengar oleh beliau (SBY)," tambah Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin.
Wakil
Ketua DPR Priyo Budi Santoso pun marah dan kecewa. Menurutnya,
penyadapan Australia tidak patut dilakukan dan menyalahi tata krama
diplomasi. Oleh karena itu perlu diplomasi yang lebih garang kepada
Negeri Kanguru itu.
"Kadang kita harus gunakan diplomasi koboi, sekali waktu perlu lah dengan diplomasi koboi."
Terkejut dan Tak Nyaman
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa tak nyaman dengan pemberitaan media Australia ABC dan Inggris The Guardian adanya penyadapan telepon oleh intelijen Australia.
"Saya
belum mendapatkan informasi seperti apa. Tapi kalau ada informasi dari
Menteri Senior seperti itu, kalau kami disadap ya tentu merasa tidak
nyaman," terangnya.
Dia menilai perbuatan menyadap telepon yang
dilakukan Badan Intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan pejabat
lainnya merupakan tindakan tidak baik. Apalagi sampai membongkar
percakapan yang menyangkut rahasia negara.
"Kalau memang benar (penyadapan), saya merasa prihatin terhadap pola-pola seperti itu. Mohon maaf, bagaimanapun juga ada komunikasi yang menyangkut rahasia negara," kata dia.
Sementara itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merupakan satu dari sejumlah pejabat yang menjadi target penyadapan Australia pada 2009 silam itu mengaku terkejut.
Menurut
Jusuf Kalla bila benar sejak dulu pemerintah Australia melakukan
penyadapan terhadap pemimpin dan para menteri di Indonesia, berarti hal
itu sudah sangat melanggar etika internasional. Oleh karena itu,
pemerintah Indonesia harus melayangkan protes.
Dia menilai, penyadapan tersebut merupakan bentuk tamparan terhadap pemerintah Indonesia. Bukan hanya hanya atas nama pribadi.
Tolak Komentar
Perdana Menteri Australia Tony Abbott menolak berkomentar atas
kabar tersebut. Di hadapan parlemen Australia, dia hanya menjelaskan
setiap pemerintah pasti mengumpulkan informasi dan semua pemerintahan
juga tahu bahwa setiap negara memang mengumpulkan informasi
"Tugasku
yang paling penting untuk melindungi Australia dan mengutamakan
kepentingan negara. Dan aku tidak akan pernah ingkar dari tugasku itu,"
ujar Abbott, seperti dimuat The Australian, Senin (18/11/2013).
Menlu Marty Natalegawa pun minta pemerintah Australia tidak meremehkan masalah isu penyadapan tersebut.
"Sekali
lagi saya sampaikan jangan diremehkan. Jangan dikecilkan sikap kita
yang sangat terganggu dengan pemberitaan (penyadapan) ini. Kita meminta
pihak Australia untuk memahami. Kita sudah ambil langkah-langkah," kata
Marty di Kementerian Luar Negeri.
Ia mengatakan yang pertama kali memunculkan masalah penyadapan tersebut adalah pihak Australia sendiri melalui media massanya.
Dipulangkan
Menanggapi dugaan penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia, pemerintah mengambil 3 langkah sesuai instruksi Presiden SBY. Salah satunya, memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema.
"Kami
memutuskan untuk memanggil pulang Dubes Indonesia di Canberra. Karena
mustahil Dubes bisa melakukan tugasnya di tengah suasana saat ini. Pak
Nadjib kami harap untuk kembali ke Jakarta segera mungkin untuk
konsultasi dengan kami. Agar selanjutnya mengambil keputusan," kata
Marty saat konferensi pers di Ruang Nusantara Kementerian Luar Negeri,
Senin (18/11/2013).
Marty menegaskan, bila benar Australia melakukan penyadapan seperti penyataan Snowden, maka hal tersebut adalah tindakan tidak bersahabat.
"Belum
kita bicara hubungan antarbangsa. Prinsip hukum internasional, pun
melarang dan tidak menganggap lazim penyadapan. Ini hari yang tidak baik
antar kedua negara. It's a bad day. Namun, kita negara yang sanggup berpikir rasional, tegas, dan terukur," ujar Marty.
Dia juga sangat menyesali tindakan Australia itu. "Informasi yang mereka (Australia) peroleh dengan cara penyadapan, was it worthed? Inilah yang sangat disesali," sindirnya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan, isu penyadapan para pejabat pemerintah Indonesia oleh Australia diyakini akan mengganggu hubungan bilateral kedua negara.
Baru Reaktif Sekarang?
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menilai, meski penarikan Dubes Indonesia untuk Australia itu baik, pemerintah tetap belum tegas.
Hal ini karena merebaknya masalah penyadapan sudah beberapa pekan dan
sudah dari lama publik menginginkan pengusiran Dubes Australia dan
Amerika Serikat untuk Indonesia.
"Mengapa ketika sekarang muncul
nama SBY dan Ibu Ani, pemerintah langsung reaktif? Bukankah Indonesia
milik rakyat Indonesia? Bukan sekadar milik Pak SBY dan Ibu Ani?" heran
Hikmahanto. (Mvi)
Hikmahanto: Kenapa Saat SBY-Ani Disadap Baru Reaktif?
Oleh Raden Trimutia Hatta
Posted: 18/11/2013 18:31
Berita Terkait
Namun pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menilai, meski penarikan Dubes Indonesia untuk Australia itu baik, pemerintah tetap belum tegas.
"Belum
tegas karena tindakan baru dilakukan saat ini, padahal merebaknya
masalah penyadapan sudah beberapa pekan," kata Guru Besar Hukum
Internasional Universitas Indonesia (UI) itu dalam keterangan tertulis
yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Senin (18/11/2013).
Selain
itu, sambungnya, pemerintah Indonesia dianggap tidak tegas karena
publik telah meminta agar dilakukan pengusiran sejumlah diplomat
Australia dan Amerika Serikat. Belum lagi publik tidak akan puas karena
sebelum ada berita penyadapan dilakukan terhadap SBY dan Ibu Negara Ani
Yudhoyono, pemerintah hanya mengingatkan agar Australia tidak mengulangi
perbuatan penyadapan.
"Mengapa ketika sekarang muncul nama SBY
dan Ibu Ani, pemerintah langsung reaktif? Bukankah Indonesia milik
rakyat Indonesia? Bukan sekadar milik Pak SBY dan Ibu Ani?" heran
Hikmahanto.
Menurutnya, pemerintah seharusnya segera melakukan
pengusiran terhadap diplomat Australia dan AS. "Dengan tindakan tegas
ini, Edward Snowden diharapkan tidak akan mempermainkan dan
mempermalukan Indonesia dengan mengungkap sedikit semi sedikit dokumen
yang dimilikinya ke media," tukas Hikmahanto.
Australia diketahui
telah mencoba menyadap telepon Presiden SBY dan 9 pejabat di lingkaran
dalam Istana. Mereka adalah Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden
Boediono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Mallarangeng, Menteri Koordinator Bidang Prekonomian Hatta
Rajasa, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Widodo Adi Sucipto, dan
Sofyan Djalil. (Mut/Sss)
JK: Kalau Benar Saya Disadap, Indonesia Harus Protes
Senin, 18 November 2013 14:26 wib
Mantan Wapres Jusuf Kalla (Foto: dok.JK)
JAKARTA - Isu
penyadapan oleh Australia dan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia,
ternyata sudah terjadi sejak 2004. Saat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) masih berduet dengan Jusuf Kalla (JK), sebagai Wakil
Presiden.
"Berarti kalau itu benar, karena saya tidak mau mengandai-andai, berarti Australia telah menyadap Presiden dan Wakil Presiden. Itukan melanggar aturan dan etika internasional," ungkap JK saat ditemui di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Jakarta, Senin (18/11/2013).
Saat disinggung, apakah ada pembicaraan rahasia antara dirinya dengan SBY atau pihak lain? JK mengaku tidak ingat persis.
"Wah itukan telepon saya dipakai untuk apa saja. Baik untuk perintah ini dan itu serta apa saja dipakai. Tergantung ada rahasia atau tidak bagi dia. Saya tidak ingat orang pembicaraan ribuan kali," tegasnya.
Menurut JK, jika memang isu penyadapan tersebut benar, maka pemerintah Indonesia harus melayangkan protes.
"Harusnya pemerintah memprotes. Ini bukan kedua kalinya, tapi itu sambungan saja. Ini kemudian timbul Wapres juga disadap, ternyata saya disadap juga. kalau itu benar saya disadap bukan pribadi, tapi atas nama pemerintah seharusnya memang protes," pungkasnya. (faj)
"Berarti kalau itu benar, karena saya tidak mau mengandai-andai, berarti Australia telah menyadap Presiden dan Wakil Presiden. Itukan melanggar aturan dan etika internasional," ungkap JK saat ditemui di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Jakarta, Senin (18/11/2013).
Saat disinggung, apakah ada pembicaraan rahasia antara dirinya dengan SBY atau pihak lain? JK mengaku tidak ingat persis.
"Wah itukan telepon saya dipakai untuk apa saja. Baik untuk perintah ini dan itu serta apa saja dipakai. Tergantung ada rahasia atau tidak bagi dia. Saya tidak ingat orang pembicaraan ribuan kali," tegasnya.
Menurut JK, jika memang isu penyadapan tersebut benar, maka pemerintah Indonesia harus melayangkan protes.
"Harusnya pemerintah memprotes. Ini bukan kedua kalinya, tapi itu sambungan saja. Ini kemudian timbul Wapres juga disadap, ternyata saya disadap juga. kalau itu benar saya disadap bukan pribadi, tapi atas nama pemerintah seharusnya memang protes," pungkasnya. (faj)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar