Kamis, 21 Juni 2012

......Takhrij Atsar Imam Aliy : Ketenangan Ada Pada Lisan Umar bin Khaththab....>>> ....Tulisan ini kami buat untuk menguji validitas atsar Imam Ali radiallahu ‘anhu yang memuat pujian terhadap Umar bin Khaththab yaitu “ketenangan ada pada lisan Umar”. Atsar ini telah dishahihkan oleh sebagian salafy nashibi. Diriwayatkan bahwa tabiin yang meriwayatkan ini dari Ali yaitu Asy Sya’biy, Zirr bin Hubaisy, ‘Amru bin Maimun, Zadzan dan Thariq bin Syihab.....>>>..... Tertarik untuk belajar mengenal cara berhujah dengan kajian Hadist atau penyataan shahabat Rasulullah SAW... yang konon dipermasalahkan keabsahannya..... ??? >>> Disini menguji kejujuran para Penguji dan ketinggian ilmu dan kefahamannya.... >>> Benar2 sangat menarik dan sepatutmya kita ikut menyimak dan belajar tentang mencari Kebenaran.... BUKAN Pembenaran atas sesuatu pendapat atau dalil.... yang mungkin sesungguhnya tidaklah sekuat yang dikira.... >>>

Takhrij Atsar Imam Aliy : Ketenangan Ada Pada Lisan Umar bin Khaththab

Takhrij Atsar Imam Aliy : Ketenangan Ada Pada Lisan Umar bin Khaththab

Tulisan ini kami buat untuk menguji validitas atsar Imam Ali radiallahu ‘anhu yang memuat pujian terhadap Umar bin Khaththab yaitu  

“ketenangan ada pada lisan Umar”

Atsar ini telah dishahihkan oleh sebagian salafy nashibi. Diriwayatkan bahwa tabiin yang meriwayatkan ini dari Ali yaitu Asy Sya’biy, Zirr bin Hubaisy, ‘Amru bin Maimun, Zadzan dan Thariq bin Syihab.
.
.
Riwayat Asy Sya’biy dari Aliy

حدثنا جعفر قثنا وهب بن بقية قثنا خالد بن عبد الله عن إسماعيل بن أبي خالد عن الشعبي قال قال علي ما كنا نبعد ان السكينة تنطق على لسان عمر

Telah menceritakan kepada kami Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Ismaiil bin Abi Khaliid dari Asy Sya’bi yang berkata Ali berkata “kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Fadhail Ash Shahabah no 523]
Diriwayatkan dalam Fadhail Ash Shahabah no 310, 601, 614, 627, diriwayatkan dalam Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 1/461, Musnad Aliy bin Ja’d 1/348 no 2403, Juz Abu Aruubah [riwayat Abu Ahmad Al Hakim] no 35, Amaaliy Ibnu Busyraan no 176, Amaaliy Ibnu Bakhtariy no 92, Asy Syari’ah Al Ajurry 3/96, Al Madkhal Baihaqiy no 67, Al Ahadits Al Mukhtarah Al Maqdisiy no 549 & 550, Syarh Sunnah Al Baghawiy 14/86 no 3877, Hilyatul Auliya Abu Nu’aim 4/328 & 8/211 semuanya dengan jalan sanad Ismail bin Abi Khalid dari Asy Sya’bi dari Aliy.
Ismail bin Abi Khalid dalam periwayatan dari Asy Sya’biy memiliki mutaba’ah diantaranya dari Asy Syaibaniy sebagaimana tampak dalam riwayat berikut

حدثنا يحيى بن محمد قثنا يعقوب بن إبراهيم نا عبد الله بن إدريس عن الشيباني وإسماعيل بن أبي خالد عن الشعبي قال قال علي ما كنا نبعد أن السكينة تكون على لسان عمر

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis dari Asy Syaibani dan Ismail bin Abi Khalid dari Asy Sya’bi yang berkata Ali berkata “kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Fadha’il Ash Shahabah no 634].
Diriwayatkan juga dalam Fadhail Ash Shahabah no 707 dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/23 no 32637 dengan jalan sanad Asy Syaibani dan Ismail dari Asy Sya’bi dari Ali. Selain itu Ismail bin Abi Khalid mempunyai mutaba’ah yaitu Bayaan bin Bisyr Al Ahmasiy

حدثنا عبد الله قال حدثني هارون بن سفيان نا معاوية نا زائدة نا بيان عن عامر عن علي قال ان كنا لنتحدث ان السكينة تنطق على لسان عمر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Haruun bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah dari Zaidah dari Bayaan dari ‘Aamir dari ‘Aliy yang berkata “kami dulu berkata bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Fadha’il Ash Shahabah no 470]
Riwayat Zaa’idah ini juga disebutkan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 44/108.  Zaa’idah dalam riwayat di atas memiliki mutaba’ah dari Jarir sebagaimana disebutkan Amaaliy Al Muhaamiliy [riwayat Ibnu Mahdiy] no 34 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 44/108 dengan jalan sanad Yusuf bin Musa dari Jarir dari Bayaan dari Asy Sya’biy dari Aliy. Ismaiil bin Abi Khalid juga memiliki mutaba’ah dari Mujalid bin Sa’id Al Hamdaniy sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Al Mathaalib Al ‘Aliyyah no 3883 dengan jalan sanad dari Hammad dan ‘Abbad bin ‘Abbad dari Mujalid dari Asy Sya’biy dari Aliy. Dan dari Abu Ismaiil Katsir An Nawaa’ sebagaimana disebutkan dalam Fadha’il Ash Shahabah no 711. Sejauh ini diketahui bahwa ada lima perawi yang meriwayatkan dari Asy Sya’biy dari Ali yaitu
  1. Ismaiil bin Abi Khalid perawi Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/93]
  2. Abu Ishaq Asy Syaibaniy atau Sulaiman bin Abi Sulaiman termasuk perawi Bukhari Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/386]
  3. Bayaan bin Bisyr Al Ahmasiy termasuk perawi Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/141]
  4. Mujalid bin Sa’id Al Hamdaniy termasuk perawi Muslim, dikatakan Ibnu Hajar “tidak kuat mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya” [At Taqrib 2/159]
  5. Katsir An Nawaa’ termasuk perawi Tirmidzi yang dhaif [At Taqrib 2/37]
Riwayat Asy Sya’biy dari Ali ini kedudukannya dhaif karena inqitha’ [terputus]. Asy Sya’biy tidak mendengar dari Aliy. Al Hakim berkata

وأن الشعبي لم يسمع من عائشة ولا من عبد الله بن مسعود ولا من أسامة بن زيد ولا من علي

Dan Asy Sya’biy tidak mendengar dari Aisyah, tidak dari Abdullah bin Mas’ud, tidak dari Usamah bin Zaid dan tidak dari Aliy [Ma’rifat Ulumul Hadis 1/164]
Pernyataan Al Hakim ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 11/348 bahwa Asy Sya’biy tidak mendengar dari Aliy. Hal yang sama juga dikatakan Ibnu Hibban sebagaimana dinukil Ibnu Jauzi dalam Al Maudhu’at 2/264. Al Qurthubiy berkata “Asy Sya’bi tidak bertemu dengan Aliy [Tafsir Al Qurthubiy 2/248]. Ibnu Abdil Barr juga berkata “Asy Sya’biy tidak bertemu dengan Aliy” [Al Istidzkar 8/168]
Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa Asy Sya’biy meriwayatkan atsar Ali ini dari Abu Juhaifah Wahb As Suwaa’iy sebagaimana yang tampak dalam riwayat berikut

حدثنا عبد الله قال حدثني هدية بن عبد الوهاب أبو صالح بمكة قثنا محمد بن عبيد الطنافسي قثنا يحيى بن أيوب البجلي عن الشعبي عن وهب السوائي قال خطبنا علي فقال من خير هذه الأمة بعد نبيها فقلنا أنت يا أمير المؤمنين فقال لا خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر وما كنا نبعد أن السكينة تنطق على لسان عمر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Hadiyyah bin ‘Abdul Wahaab Abu Shalih di Mekkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid Ath Thanaafisiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayuub Al Bajalliy dari Asy Sya’biy dari Wahb As Suwaa’iy yang berkata Ali berkhutbah kepada kami dan berkata “siapakah sebaik-baik umat setelah Nabi-Nya?”. Kami berkata “engkau wahai amirul mukminin”. Beliau berkata “tidak sebaik-baik umat setelah Nabi-Nya Abu Bakar kemudian Umar dan kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Fadhail Ash Shahabah no 50]
Atsar Yahya bin Ayub dari Asy Sya’biy di atas juga diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Musnad Ahmad 1/106 no 834 dan dalam As Sunnah no 1374. Diriwayatkan secara ringkas oleh Abu Nu’aim yaitu dengan matan berikut

حدثنا محمد بن أحمد بن الحسن، حدثنا الحسن بن علي بن الوليد حدثنا عبد الرحمن بن نافع، حدثنا مروان بن معاوية، عن يحيى بن أيوب البجلي، عن الشعبي، عن أبي حجيفة، قال: قال على كرم الله وجهه: ما كنا نبعد أن السكينة تنطق على لسان عمر رضي الله تعالى عنه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Aliy bin Waaliid yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Naafi’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Marwaan bin Muawiyah dari Yahya bin Ayuub Al Bajalliy dari Asy Sya’biy dari Abu Juhaifah yang berkata Ali berkata “kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Hilyatul Auliyaa Abu Nu’aim 1/42]

أخبرنا الحسن بن مروان بقيسارية ثنا إبراهيم بن معاوية بن ذكوان ثنا محمد بن يوسف الفريابي ثنا يحيى بن أيوب البجلي عن الشعبي عن أبي جحيفة عن علي بن أبي طالب أنه قال إن كنا لنعد ان السكينة تنطق على لسان عمر رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Hasan bin Marwaan di Qaisariyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mu’awiyah bin Dzakwaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf Al Faryaabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayuub Al Bajalliy dari Asy Sya’biy dari Abu Juhaifah dari Aliy bin Abi Thalib bahwa ia berkata “kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar radiallahu‘anhu” [Fawaid Ibnu Mandah no 51]
Riwayat Abdullah sanadnya shahih sampai ke Yahya bin Ayuub Al Bajalliy sedangkan riwayat Abu Nu’aim dan Ibnu Mandah tidak tsabit sanadnya hingga Yahya bin Ayuub. Riwayat Abu Nu’aim lemah karena Marwan bin Muawiyiah mudallis martabat ketiga [Thabaqat Al Mudallisin no 105] dan ia membawakan riwayatnya dengan ‘an anah. Sedangkan riwayat Ibnu Mandah lemah karena Hasan bin Marwan dan Ibrahim bin Muawiyah majhul tidak dikenal kredibilitasnya.
Atsar Asy Sya’bi dari Abu Juhaifah dari Aliy ini sanadnya khata’ karena Yahya bin Ayuub yang dikatakan Ibnu Hajar “tidak ada masalah padanya” [At Taqrib 2/297] telah menyelisihi para perawi yang lebih tsiqat darinya yaitu Ismail bin Abi Khalid, Asy Syaibaniy dan Bayaan bin Bisyr Al Ahmasiy dimana ketiganya meriwayatkan atsar tersebut dari Asy Sya’biy dari Aliy. Daruquthni juga mengisyaratkan kesalahan Yahya bin Ayuub dimana ia berkata bahwa yang shahih dari sanad tersebut adalah sanad dengan riwayat irsal Asy Sya’biy dari Aliy [Al Ilal Daruquthni no 471]. Dari segi matan, riwayat Yahya bin Ayuub juga menyelisihi perawi lain yang lebih tsiqat darinya. Perhatikan riwayat berikut

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي نا سفيان بن عيينة عن بن أبي خالد عن الشعبي عن أبي جحيفة قال سمعت عليا يقول خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر ولو شئت لحدثتكم بالثالث

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Khalid dari Asy Sya’biy dari Abu Juhaifah yang berkata aku mendengar Ali berkata “sebaik-baik umat setelah Nabi-Nya Abu Bakar dan Umar dan jika aku menghendaki maka akan aku kabarkan kepadamu yang ketiga” [Fadha’il Ash Shahabah no 260]
Ismail bin Abi Khalid dalam riwayat di atas memiliki mutaba’ah yaitu Abu Ishaq Asy Syaibani [Fadhail Ash Shahabah no 409], Bayaan bin Bisyr [Fadhail Ash Shahabah no 406, 547], dan Mutharrif bin Tharif [Fadha’il Ash Shahabah no 130]. Semuanya meriwayatkan dengan matan seperti di atas tanpa tambahan lafaz “kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar”.
Yahya bin Ayuub Al Bajalliy telah melakukan kesalahan dengan mencampuradukkan kedua riwayat Asy Sya’bi. Yaitu riwayat Asy Sya’biy dari Abu Juhaifah dari Ali tentang sebaik-baik umat dan riwayat Asy Sya’biy dari Ali tentang ketenangan pada lisan Umar. Isma’il bin Abi Khalid, Asy Syaibani dan Bayaan bin Bisyr perawi yang lebih tsiqat dan lebih tsabit darinya telah memisahkan kedua riwayat tersebut.
.
.
Riwayat ‘Amru bin Maimun Dari Aliy

حدثنا محمد بن عثمان بن ابي شيبة قال حدثنا احمد بن يونس قال حدثنا ابو اسرائيل الملائي عن الوليد بن العيزار عن عمرو بن ميمون عن علي قال اذا ذكر الصالحون فحي هلا بعمر ما كنا نبعد اصحاب محمد عليه السلام ان السكينة تنطق على لسان عمر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Israiil Al Malaa’iy dari Waliid bin Aizaar dari ‘Amru bin Maimun dari Aliy yang berkata “Jika disebutkan orang-orang shalih maka penuhilah dengan Umar, kami sahabat Muhammad tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Mu’jam Al Awsath Thabraniy 5/359 no 5549]
Riwayat ‘Amru bin Maimun ini disebutkan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 1/42 dan 4/152, juga dalam Tatsbiitul Imamah no 65. Ahmad bin Yunus dalam periwayatan dari Abu Israiil memiliki mutaba’ah dari Ubaidillah bin Musa sebagaimana yang disebutkan Al Fasawi dalam Ma’rifat Wal Tarikh 1/462 dan Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwah 6/369-370.
Riwayat ‘Amru bin Maimun ini dhaif karena Abu Israiil. Abu Israiil Al Malaa’iy Al Kufiy adalah Ismaiil bin Abu Ishaq Al ‘Absiy termasuk perawi Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad mengatakan ia ditulis hadisnya dan telah meriwayatkan hadis mungkar. Ibnu Ma’in terkadang berkata “shalih” terkadang berkata “dhaif”. Bukhari berkata Ibnu Mahdi meninggalkannya dan ia dihaifkan Abu Waliid. Abu Zur’ah berkata shaduq. Abu Hatim berkata hasanul hadis tetapi tidak bisa dijadikan hujjah ditulis hadisnya dan buruk hafalannya. Nasa’i berkata “tidak tsiqat” dan terkadang berkata “dhaif”. Al Uqailiy berkata “dalam hadisnya terdapat waham dan idhthirab”. At Tirmidzi berkata “tidak kuat disisi ahli hadis”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “matruk al hadits”. Ibnu Hibban menyatakan ia mungkar al hadits. Abu Israiil dikenal sebagai perawi yang mencela dan mengkafirkan Utsman bin ‘Affan [At Tahdzib juz 1 no 545].
Daruquthni berkata “dhaif” [Al Ilal no 1043] dan Daruquthni memasukkan namanya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Daruquthni no 74]. Ibnu Hajar berkata “shaduq buruk hafalannya” [At Taqrib 1/93] tetapi dalam Talkhis Al Habir, Ibnu Hajar berkata “dhaif” [Talkhiish Al Habiir 1/502 no 296]. Adz Dzahabi berkata “dhaif” [Al Kasyf no 370]. Riwayat ini mengandung illat [cacat] lain yaitu Abu Israiil Al Malaa’iy disebutkan Ibnu Hajar sebagai mudallis martabat kelima [Thabaqat Al Mudallisin no 130] dan riwayatnya di atas dibawakan dengan ‘an anah maka kedudukannya dhaif.
Sebagian nashibi mengira bahwa Abu Israiil Al Kufiy dalam sanad di atas adalah Yunus bin Abi Ishaq, hal ini sangat jelas keliru. Dalam sanad tersebut Abu Israiil yang dimaksud adalah Abu Israiil Al Malaa’iy dan ia adalah Ismaiil bin Abu Ishaq bukannya Yunus bin Abi Ishaaq. Selain itu nashibi tersebut mengatakan kalau Daruquthni menshahihkan riwayat ‘Amru bin Maimun dari Aliy di atas. Inipun juga keliru, inilah yang dikatakan Daruquthni

وروي هذا الحديث عمرو بن ميمون الأودي عن علي حدث به أبو إسرائيل الملائي واختلف عنه فقال أبو فروة الرهاوي عن أبي غسان عن أبي إسرائيل عن العيزار بن حريث عن عمرو بن ميمون عن علي وخالفه محمد بن إسحاق بن سابق فرواه عن أبي إسرائيل عن الوليد بن العيزار عن عمرو بن ميمون عن علي وهو الصحيح

Dan diriwayatkan hadis ini oleh ‘Amru bin Maimun Al Awdiy dari Aliy, yaitu diceritakan oleh Abu Israiil Al Malaa’iy dimana terdapat perselisihan tentang riwayatnya. Berkata Abu Farwah Ar Rahaawiy dari Abu Ghassaan dari Abu Israiil dari Aizaar bin Huraits dari ‘Amru bin Maimun dari Aliy dan riwayat ini diselisihi oleh Muhammad bin Ishaq bin Saabiq, dimana riwayatnya adalah dari Abi Israail dari Waliid bin Aizaar dari ‘Amru bin Maimun dari Ali, dan inilah yang shahih. [Al Ilal Daruquthni no 471]
Jadi yang dimaksud perkataan Daruquthni “inilah yang shahih” adalah riwayat Abu Israiil yang tsabit itu adalah riwayat Abu Israail dari Walid bin Aizaar bukan riwayat Abu Israail dari Aizaar bin Huraits. Jadi perkataan shahih Daruquthni itu adalah untuk merajihkan salah satu riwayat yang bertentangan dengan riwayat lain. Bagaimana mungkin dikatakan Daruquthni menshahihkan riwayat Abu Israail Al Malaa’iy jika ia sendiri menyatakan Abu Israail dhaif [Al Ilal Daruquthni no 1043]. Ini kesalahan yang timbul dari ketidakmampuan memahami apa yang dibaca.
.
.
Riwayat Zirr bin Hubaisy Dari Aliy

أخبرنا عبد الرزاق قال اخبرنا معمر عن عاصم عن زر بن حبيش عن علي قال ما كنا نبعد أن السكينة تنطق على لسان عمر

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari ‘Aashim dari Zirr bin Hubaisy dari Aliy yang berkata “kami tidaklah menjauh bahwa ketenangan ada pada lisan Umar” [Mushannaf ‘Abdurrazaq 11/222 no 20380]
Riwayat Zirr bin Hubaisy ini juga diriwayatkan dalam Fadahail Ash Shahabah no 522 dan Asy Syari’ah Al Ajjuriy no 1327. Riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu ‘Ashim bin Abi Najud dikatakan sebagian ulama mengalami ikhtilath di akhir umurnya. Hammad bin Salamah berkata “Ashim mengalami ikhtilath di akhir umurnya” [At Tahdzib juz 5 no 67]. Ibnu Hibban dalam Al Majruhin yaitu biografi Umar bin Ghiyaats mengutip bahwa ‘Aashim mengalami ikhtilath di akhir umurnya [Al Majruhin 2/88]  dan tidak diketahui apakah Ma’mar meriwayatkan darinya sebelum atau sesudah ‘Ashim mengalami ikhtilath.
Riwayat ini juga dhaif karena mengandung illat lain yaitu sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’in riwayat Ma’mar dari ‘Aashim idhthirab dan banyak mengandung kesalahan

قال يحيى وحديث معمر عن ثابت وعاصم بن أبي النجود وهشام بن عروة وهذا الضرب مضطرب كثير الأوهام

Yahya berkata “dan hadis Ma’mar dari Tsabit, ‘Aashim bin Abi Najuud, Hisyaam bin Urwah mudhtharib banyak mengandung kesalahan” [At Tahdzib juz 10 no 441]
Ma’mar dalam periwayatan dari ‘Aashim telah menyelisihi Syarik yang meriwayatkan atsar ini dari ‘Aashim dari Musayyab bin Raafi’ dari Abdullah bin Mas’ud sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 6/354 no 31981 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 44/111. Syarik Al Qadhiy adalah perawi yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya, pada dasarnya riwayat Syarik dan Ma’mar dari ‘Aashim masing-masing mengandung kelemahan tetapi riwayat Syarik didahulukan dari riwayat Ma’mar karena ‘Aashim termasuk orang Kufah dan Syarik dikatakan sebagian ulama bahwa ia lebih alim dalam riwayat dari orang-orang Kufah. Jadi Ma’mar dalam riwayatnya dari ‘Aashim telah melakukan kesalahan dalam menisbatkan riwayat ini kepada Aliy bin Abi Thalib.
.
Riwayat Zaadzan dari Aliy
 Atsar Aliy [radiallahu 'anhu] ini juga diriwayatkan oleh Zaadzan Al Kindiy sebagaimana yang disebutkan Daruquthni dalam Al Ilal dengan sanad berikut

حدثنا أبو وهب الأبلي يحيى بن موسى قال ثنا موسى بن سفيان ثنا عبد الله بن الجهم قال ثنا عمرو بن أبي قيس عن أعين بن عبد الله عن أبي اليقظان عن زاذان عن علي

Telah menceritakan kepada kami Abu Wahb Al ‘Abliy Yahya bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Muusa bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Jahm yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Abi Qais dari A’yan bin ‘Abdullah dari Abi Yaqzhaan dari Zadzaan dari Aliy. [Al Ilal Daruquthni no 471]
Riwayat ini sanadnya shahih sampai ‘Abdullah bin Jahm. Daruquthni telah berhujjah dengan para perawi riwayat ini sampai Abdullah bin Jahm. Daruquthni berkata

وروي هذا الحديث عن زاذان أبي عمر عن علي حدث به عمرو بن أبي قيس واختلف عنه فرواه محمد بن سعيد بن سابق عن عرمو بن أبي قيس عن أبي اليقظان عن زاذان عن علي وخالفه عبد الله بن الجهم فرواه عن عمرو بن أبي قيس عن أعين بن عبد الله قاضي الري عن أبي اليقظان عن زاذان عن علي وهو الصحيح

Dan diriwayatkan hadis ini dari Zaadzaan Abi Umar dari Aliy, hal ini diceritakan oleh ‘Amru bin Abi Qais dan terdapat perselisihan dalam riwayatnya. Telah meriwayatkan Muhammad bin Sa’id bin Saabiq dari ‘Amru bin Abi Qais dari Abul Yaqzhaan dari Zaadzaan dari Aliy. Dan Abdullah bin Jahm menyelisihinya dimana ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Abi Qais dari A’yan bin ‘Abdullah Qadhi Ray dari Abul Yaqzhaan dari Zaadzaan dari Aliy dan inilah yang shahih [Al Ilal Daruquthni no 471]
Penshahihan Daruquthni terhadap riwayat Abdullah bin Jahm menunjukkan bahwa di sisi Daruquthni, Abul Wahb Yahya bin Musa, Musa bin Sufyan dan Abdullah bin Jahm adalah para perawi tsiqat. Musa bin Sufyaan adalah Musa bin Sufyan bin Ziyad Al Askariy biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 9/163 no 15787]. Telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat diantaranya Abu Awanah yang memasukkan hadisnya dalam Shahih Abu Awanah.
Riwayat Muhammad bin Sa’id bin Saabiq yang disebutkan Daruquthni diriwayatkan oleh Ibnu Busyraan dalam Amaliy Ibnu Busyraan no 913 dengan jalan sanad dari Abu Aliy Ahmad bin Fadhl bin Khuzaimah dari Ya’qub bin Yusuf Al Qazwainiy dari Muhammad bin Sa’id bin Saabiq dari ‘Amru bin Abi Qais dari Abul Yaqzhaan dari Zaadzaan dari Aliy. Daruquthni merajihkan riwayat Abdullah bin Jahm yaitu dimana ‘Amru bin Abi Qais meriwayatkan dari A’yan bin ‘Abdullah dari Abul Yaqzhaan.  Dari sini dapat disimpulkan bahwa Amru bin Abi Qais terkadang meriwayatkan langsung dari Abul Yaqzhaan dan terkadang meriwayatkan melalui perantara A’yan bin Abdullah seorang yang majhul. Maka disini terdapat illat [cacat] bahwa ‘Amru bin Abi Qais tidak mendengar langsung hadis ini dari Abul Yaqzhaan.
Selain itu riwayat Zaadzaan ini dhaif karena Abul Yaqzhaan, dia adalah Utsman bin Umair Al Bajalliy. Ahmad berkata “dhaif al hadits”. Ibnu Mahdi meninggalkannya. Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkannya. Abu Hatim berkata “dhaif al hadits mungkar al hadits”. Daruquthni berkata “matruk”. Ibnu Abdil Barr mendhaifkannya. Ibnu Hibban mendhaifkannya dan menyatakan ia mengalami ikhtilath dan tidak boleh berhujjah dengannya [At Tahdzib juz 7 no 293]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif mengalami ikhtilath dan sering melakukan tadlis [At Taqrib no 4539]. Maka riwayat Abul Yaqzhaan ini dhaif karena ia sendiri seorang yang dhaif ditambah lagi ia mengalami ikhtilath sering melakukan tadlis dan riwayatnya di atas dibawakan dengan ‘an anah maka hal ini lebih menguatkan kedhaifan riwayat tersebut.
.
.
Riwayat Thariq bin Syihaab dari Aliy

حدثنا محمد بن أحمد بن علي بن مخلد ثنا محمد بن يونس ثنا عمر بن حفص ثنا شعبة عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال قال علي رضي الله عنه كنا نتحدث أن ملكاً ينطق على لسان عمر رضي الله عنه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Aliy bin Makhlad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihaab yang berkata Ali radiallahu ‘anhu berkata kami dahulu berkata bahwa Malaikat berbicara pada lisan Umar radiallahu ‘anhu [Al Imamah Wal Rad 'Ala Raafidhah Abu Nu'aim no 92]
Abu Nu’aim Al Ashbahaaniy juga meriwayatkan atsar Imam Ali ini dalam kitabnya Hilyatul Auliya 1/42 dan Tasbiitul Imamah Wa Tartib Al Khilaafah no 90 dengan jalan sanad dari Muhammad bin Ahmad bin Makhlad dari Muhammad bin Yunus dari Utsman bin Umar dari Syu’bah dari Qais bin Muslim dari Thaariq bin Syihaab dari Aliy radiallahu ‘anhu. Riwayat ini sanadnya dhaif karena Muhammad bin Yuunus Al Kadiimiy. Adz Dzahabiy menyatakan bahwa ia salah seorang yang matruk. Ibnu Adiy, Ibnu Hibban dan Daruquthni menuduhnya memalsukan hadis. Abu Dawud, Musa bin Haruun dan Qaasim bin Zakariya menyatakan ia pendusta. [Mizan Al I'tidal Adz Dzahabiy 4/74-75 no 8353]
Riwayat Muhammad bin Yunus Al Kadiimiy dari Utsman bin Umar dari Syu’bah diselisihi oleh riwayat Yahya bin Abi Bukair, Muslim bin Ibrahiim, Asad bin Musa dan ‘Aashim bin Aliy dimana mereka meriwayatkan dari Syu’bah dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihaab tanpa menyebutkan dari Aliy. Riwayat Thariq bin Syihaab [tanpa menyebutkan dari Aliy] disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 6/358 no 32011 [riwayat Yahya bin Bukair], Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 44/111 [riwayat Muslim bin Ibrahiim], Ya’qub Al Fasawiy dalam Ma’rifat Wal Tarikh 1/241 [riwayat Muslim bin Ibrahiim] dan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 8/320 no 8202 [riwayat Asad bin Musa dan 'Aashim bin Aliy].
.
.
Secara ringkas riwayat Imam Ali di atas yang memuji Umar bahwa “ketenangan ada pada lisan Umar” terdiri atas beberapa jalan yang dhaif yaitu
  1. Riwayat Asy Sya’biy dari Aliy kedudukannya dhaif karena inqitha’ atau sanadnya terputus. Apalagi Asy Sya’biy dikenal sering memursalkan hadis dari Aliy yang sebenarnya ia ambil dari Harits Al A’war seorang yang dhaif dan pendusta. Maka terdapat kemungkinan riwayat ini diambil Asy Sya’bi dari Al Harits.
  2. Riwayat ‘Amru bin Maimun dari Aliy kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sanadnya hingga ‘Amru bin Maimun karena kelemahan Abu Israail Al Mala’iy. Selain itu riwayat ‘Amru dhaif karena Abu Israail seorang mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
  3. Riwayat Zirr bin Hubaisy dari Aliy kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sanadnya hingga Zirr bin Hubaisy karena ‘Aashim dikatakan ikhtilath dan tidak diketahui Ma’mar meriwayatkan darinya sebelum atau sesudah ‘Aashim ikhtilath. Selain itu riwayat Zirr lemah karena kelemahan riwayat Ma’mar dari ‘Aashim yang Idhthirab dan banyak mengandung kesalahan.
  4. Riwayat Zaadzaan dari Aliy kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sanadnya hingga Zaadzaan karena kelemahan Abul Yaqzhaan seorang yang dhaif matruk, mengalami ikhtilath dan sering melakukan tadlis. Jadi selain riwayat Zaadzaan lemah karena ia seorang yang matruk juga karena tidak diketahui apakah riwayat Zaadzaan ini diriwayatkan sebelum atau sesudah ia mengalami ikhtilath dan lemah karena Zaadzaan seorang mudallis dan riwayatnya ini dengan ‘an anah.
  5. Riwayat Thariq bin Syihaab dari Aliy kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sanadnya dari Aliy karena Muhammad bin Yunus Al Kadiimiy seorang yang dituduh pemalsu hadis dan pendusta. Apalagi terbukti bahwa riwayat yang tsabit adalah perkataan Thariq bin Syihaab bukan perkataan Aliy.
Satu-satunya sanad terkuat dari Atsar Aliy di atas adalah riwayat Asy Sya’biy dari Ali dan inipun kedudukannya dhaif apalagi seperti yang kami katakan Asy Sya’biy seringkali memursalkan hadis Aliy yang sebenarnya ia riwayatkan dari Al Harits Al A’waar seorang yang dhaif baik dari segi ‘adalah maupun dhabitnya. Maka terdapat kemungkinan Asy Sya’biy meriwayatkan atsar ini dari Al Harits dari Aliy. Kesimpulannya riwayat Imam Aliy ini dhaif dengan keseluruhan jalan-jalannya.

2 Tanggapan

  1. alhamdulillah, setelah menunggu dari april hingga juni… he he
  2. Ada tanggapan dari Nashibi mengenai artikel diatas. Berikut tanggapan kami terhadap bantahan basa-basinya terhadap artikel diatas.
    Ada yang seorang Raafidliy yang mengkritik tulisan di atas. Saya ucapkan terima kasih. Namun saya lihat, seperti biasa yang ia tuju awal memang pelemahan hadits. Jadi alasan-alasan yang ia buat pun cenderung mengada-ada. Ada empat point yang ingin saya angkat :
    Menggelikan, bukankah nashibi ini yang mengada-ada dalam menshahihkan hadis yang sesuai dengan hawa nafsunya. Seperti biasa maling teriak maling. Mari kita lihat empat poin basi miliknya
    1. Jalan riwayat Asy-Sya’biy dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
    Ia berkata :
    Apalagi Asy Sya’biy dikenal sering memursalkan hadis dari Aliy yang sebenarnya ia ambil dari Harits Al A’war seorang yang dhaif dan pendusta. Maka terdapat kemungkinan riwayat ini diambil Asy Sya’bi dari Al Harits [selesai].
    Tentu saja ia akan berkata begitu karena itulah jalan yang paling mungkin ia tempuh agar jalan riwayat Asy-Sya’biy ini tidak bisa dijadikan i’tibar. Basi.
    Benar bahwasannya ia punya riwayat dari ‘Aliy melalui perantaraan Al-Haarits. Namun selain Al-Haarits, ia juga terkenal meriwayatkan dari ‘Aliy melalui perantaraan Abu Juhaifah. Juga dari Abu Waail, ‘Abdullah bin Ma’qil, dan yang lainnya.
    Riwayat Asy Sya’bi itu sudah jelas dhaif karena inqitha’. Perkara Asy Sya’bi meriwayatkan dari para perawi lain [selain Al Harits] dari Ali itu tidak bermakna apa-apa. Aneh sekali pikiran nashibi ini, saya cuma bilang ada kemungkinan riwayat ini diambil Asy Sya’biy dari Al Harits dan ini kemungkinan yang tidak mengada-ada. Faktanya memang ada riwayat mursal Asy Sya’biy ternyata ia ambil dari Al Harits. Lha perkara ada perawi lain toh tidak mengganggu sedikitpun kemungkinan yang saya katakan. Kami sudah tahu hal itu, kalau memang kami beranggapan Asy Sya’bi cuma meriwayatkan dari Al Harits saja maka kami akan mengatakan dengan pasti bahwa riwayat tersebut diambil dari Al Harits. Faktanya kami katakan “kemungkinan” nah ini kesimpulan yang objektif dan tidak mengada-ada. Silakan belajar lagi wahai nashibi cara berpikir dengan benar. Bantah dengan akal pikiran bukan dengan hawa nafsu.
    Lagi pula Al-Haarits ini – dengan melihat kesimpulan seluruh imam al-jarh wat-ta’dil terhadapnya – bukanlah seorang pendusta – meskipun riwayatnya lemah
    Apalagi ocehan basi ini, pokok bahasannya sudah lewat. Kalau nashibi ini masih ngeyel ya silakan saja. Yang mengatakan Al Haarits pendusta adalah sekelompok ulama atau imam jarh wat ta’dil yaitu Ali bin Madini, Abu Ishaq, Abu Khaitsamah termasuk Asy Sya’biy sendiri. Perkara ia mau merajihkan pendapat ulama lain ya silakan. Orang lainpun bisa merajihkan pendapat yang lain pula. Kalau ia mau mensyaratkan seorang perawi dikatakan pendusta jika seluruh ulama jarh wat ta’dil berijma’ bahwa dia pendusta maka mungkin tidak akan pernah ada perawi yang dikatakan pendusta. Kesimpulan kami tentang Al Harits ia adalah perawi yang dhaif baik dari segi ‘adalah maupun dari segi dhabit-nya. Kalau mau membahas tentang Al Harits secara khusus, silakan buat tulisan yang komprehensif, Insya Allah akan kami tanggapi. Jika tidak berminat maka kami tidak berminat pula bersaing sikap ngeyel dengan nashibi itu.
    2. Riwayat ‘Amru bin Maimuun dari ‘Aliy radliyallaahuu ‘anhu.
    Ia mengatakan :
    “Riwayat ‘Amru bin Maimun dari Aliy kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sanadnya hingga ‘Amru bin Maimun karena kelemahan Abu Israail Al Mala’iy. Selain itu riwayat ‘Amru dhaif karena Abu Israail seorang mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah” [selesai].
    Ia mengelirukan tulisan di atas yang menisbatkan Abu Israaiil Al-Kuufiy kepada Yuunus bin Abi Ishaaq, dimana yang benar – katanya – adalah Abu Israaiil Al-Mulaa’iy.
    Dalam catatan kaki no. 31 (riwayat Abu Nu’aim dalam Tatsbiitul-Imaamah) dan no. 33 (riwayat Ath-Thabaraaniy) telah saya sebutkan dengan riwayat yang menyebutkan Abu Israaiil Al-Mulaa’iy.
    Tapi kenapa di atas saya sebutkan Yuunus bin Abi Ishaaq ?. Tentu saja ada sebabnya, yaitu :
    Perhatikan catatan kaki 30 – 33. Di situ Abu Israaiil disebutkan dalam tiga lafadh, yaitu Abu Israaiil Al-Kuufiy, Abu Israaiil, dan Abu Israaiil Al-Mulaa’iy. Tapi satu yang pasti, bahwa Abu Israaiil di situ adalah Abu Israaiil yang mengambil riwayat dari Al-Waliid bin ‘Aizaar.
    Sudah keliru cari –cari alasan pula. Basi sekali, bahkan dengan sepintas saja sangat jelas faktanya kalau Abu Israil itu adalah Ismail bin Khalifah. Ia katakan ada tiga lafaz yaitu Abu Israail Al Kuufy, Abu Israaiil dan Abu Israail Al Mulaa’iy. Ketiga lafaz ini menunjukkan satu orang yang sama yaitu Abu Israaiil Al Mulaa’iy Al Kufiy dan ia adalah Ismail bin Khalifah. Daruquthni dalam kitab Al Ilal menyatakan dengan tegas bahwa ia meriwayatkan dari Al Waliid bin ‘Aizaar. Jadi klop sekali, tidak ada yang mengada-ada. Ini kesimpulan objektif yang akan diambil oleh siapapun yang belajar ilmu hadis dengan benar.
    Perincian penisbatan Abu Israaiil adalah sebagai berikut :
    1. ‘Ubaidullah bin Muusaa.
    Ia menyebutkan gurunya adalah Abu Israaiil Al-Kuufiy (riwayat Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 1/462 dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/369). ‘Ubaidullah seorang yang tsiqah. Sanad riwayat ini shahih sampai ‘Ubaidullah. Di antara syaikh ‘Ubaidullah bin Muusaa adalah Yuunus bin Abi Ishaaq (Tahdziibul-Kamaal, 19/166].
    Bukankah salah satu guru ‘Ubaidullah juga bernama Abu Israaiil Al-Mulaa’iy ?.
    Benar. Oleh karena itu, ‘Ubaidullah bin Muusaa membedakan dua gurunya itu dengan penyebutan Abu Israaiil Al-Kuufiy (untuk Yuunus bin Abi Ishaaq) dan Abi Israaiil Al-Mulaa’iy (untuk Ismaa’iil bin Khaliifah – misal : dalam riwayat Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 790, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 3388, dll.).
    Yang lucu dari pernyataan di atas adalah apakah dalam riwayat Yaqub bin Sufyan, Ubaidillah bin Musa menyatakan bahwa Abu Israail Al Kuufiy yang dimaksud adalah Yunus bin Abi Ishaaq?. Tidak ada, dan nashibi itu yang mengada-adakannya sendiri. Apakah sudah menjadi rumus baku kalau Ubaidillah bin Musa menyebutkan Abu Israail Al Kuufiy maka itu harus merujuk pada Yunus bin Abi Ishaaq?. Bukankah Abu Israail Al Mulaa’iy dapat juga dikatakan Abu Israail Al Kuufiy. Justru yang kami temukan jika Ubaidillah meriwayatkan dari Yunus bin Abu Ishaq maka ia akan menyebutkan dengan tashrih yaitu telah mengabarkan kepada kami Yunus bin Abu Ishaaq. Sebagaimana nampak dalam riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak no 3247 dan no 8600. Maka atas dasar apa ia memaksakan bahwa Abu Israail Al Kuufiy itu merujuk pada Yunus bin Abi Ishaaq. Sebagai suatu kemungkinan ya tidak masalah tetapi kemungkinan ini tidaklah menafikan bahwa bisa saja Abu Israail Al Kuufiy yang dimaksud adalah Abu Israail Al Mulaa’iy.
    2. Abu Ahmad Az-Zubairiy.
    Ia menyebutkan gurunya bernama Abu Israaiil (riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/42 dan 4/152). Abu Ahmad Az-Zubairiy ini namanya Muhammad bin ‘Abdillah bin Az-Zubair, seorang yang tsiqah. Abu Ahmad jika memutlakkan nama Abu Ishaaq, maka maksudnya adalah Al-Mulaa’iy. Ada catatan jalan riwayat no. 2 ini bersama no. 3 di bawah.
    3. Ahmad bin Yuunus.
    Ia menyebutkan nama gurunya adalah Abu Ishaaq Al-Mulaa’iy (riwayat Abu Nu’aim dalam At-Tatsbiit no. 65 dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath).
    Antara jalan riwayat no. 2 dan 3 sama-sama diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah. Ia seorang imam lagi haafidh, namun beberapa ulama mengkritik haditsnya. Sebagian ulama mutaqaddimiin mendustakannya, namun pendustaan ini tidaklah benar. Yang benar, haditsnya hasan, kecuali jika terbukti kuat ada penyelisihan. Dan di sini ia goncang dalam membawakan riwayat.
    Dalam sanad jalan sanad no. 2, ia membawakan riwayat dari Thaahir bin Abi Ahmad, dari ayahnya, dari Abu Israaiil Al-Mulaa’iy. Dalam sanad no. 3, ia membawakan riwayat dari Ahmad bin Yuunus, dari Abu Ishaaq Al-Mulaa’iy. Idlthraab yang seperti ini tidaklah memudlaratkan riwayatnya, karena beredar di kalangan perawi tsiqah. Hanya saja, idlthiraab ini menunjukkan bahwa sebenarnya Muhammad bin ‘Utsmaan hanya mempunyai satu jalan riwayat saja yang tsabit dari Abu Israaiil Al-Mulaa’iy. Mungkin berasal dari jalaur sanad no. 2 atau no. 3.
    Pertanyaan untuk anda wahai nashibi. Kalau anda menerima penta’dilan terhadap Muhammad bin Utsman bin Syaibah dan menerima riwayatnya maka seharusnya ini menjadi bukti kuat bahwa Abu Israail Al Kuufiy yang dimaksud adalah Abu Israa’il Al Mulaa’iy. Tetapi nafsu anda tidak menghendakinya maka anda mengada-adakan alasan untuk membodohi orang awam atau untuk terus membantah supaya terlihat keren.
    [Dan hanya mengingatkan saja, karena orang Raafidlah ini kadang lupa-lupa ingat kalau sedang asik mengkritik riwayat yang merugikan keyakinannya. Dulu, ia merajihkan pelemahan Muhammad bin 'Utsmaan bin Abi Syaibah, dan bahkan merajihkan pendustaan para ulama kepadanya. Nah, kalau memakai logika orang Syi'ah ini yang tempo dulu, maka jalan riwayat no. 2 dan no. 3 yang menyebutkan Abu Israaiil Al-Mulaa'iy jelas sangat lemah, sehingga tersisa jalan riwayat no. 1].
    Wah sayang sekali wahai nashibi, anda terjebak oleh imajinasi anda sendiri. Siapa yang bilang saya berhujjah dengan riwayat Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah. Saya berhujjah dengan perkataan Daruquthni dalam Al Ilal yang menyatakan dengan tegas bahwa Abu Israa’il yang dimaksud adalah Abu Israa’il Al Mulaa’iy. Sungguh kasihan, sekarang giliran saya yang menyerang anda. Sudah anda katakan sebelumnya bahwa anda menerima riwayat Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, nah bukankah itu menunjukkan kalau Abu Israail yang dimaksud adalah Abu Israiil Al Mulaa’iy Al Kuufiy. Ketiga lafaz itu menunjukkan perawi yang sama, tidak ada larangan untuk menyebut Abu Israa’il Al Mulaa’iy sebagai Abu Israa’il Al Kuufiy, sah sah saja. Mengapa anda memaksakan bahwa keduanya harus berbeda? Nafsu anda yang menginginkannya bukan.
    Jika demikian, maka tersisa pembicaraan, apakah yang meriwayatkan dari Al-Waliid bin ‘Aizaar ini Abu Israaiil Al-Kuufiy Yuunus bin Abi Ishaaq, ataukah Abu Israaiil Al-Malaaiy Ismaa’iil bin Khaliifah ?.
    Dalam kitab Tahdziibul-Kamaal (31/64), jajaran murid Al-Waliid bin ‘Aizaar adalah Yuunus bin Abi Ishaaq. Tidak disebutkan padanya Ismaa’iil bin Khaliifah Abu Israaiil Al-Mulaa’iy. Maka dari sinilah saya lebih condong bahwa Abu Ishaaq Al-Kuufiy ini adalah Yuunus, sehingga sanad hasan.
    Waham waham, jauh sebelum ada kitab Tahdzib Al Kamal, Daruquthni telah menegaskan kalau Abu Israa’il Al Mulaa’iy juga meriwayatkan dari Walid bin ‘Aizaar yaitu hadis ini. Maka yang benar adalah Abu Israa’il tersebut adalah Ismaa’il bin Khalifah.
    Sekedar info saja, pentahqiq kitab Tahdzib Al Kamal dalam catatan kaki biografi Abu Israa’il Al Mulaa’iy membawakan riwayat Yaqub bin Sufyan diatas dan ini menegaskan bahwa Abu Israa’il Al Kuufiy yang dimaksud adalah Abu Israa’il Al Mulaa’iy. Bukan berarti kami bertaklid pada pentahqiq kitab tersebut hanya saja kami ingin menunjukkan bahwa orang yang mengerti ilmu hadis akan mengambil kesimpulan sama seperti yang kami ambil
    Taruhlah kita sepakat dengan apa yang dikatakan oleh rekan Raafidliy kita itu bahwa Abu Ishaaq ini adalah Al-Mulaa’iy. Tapi mari kita tengok komentarnya tentang Abu Ishaaq Al-Mulaa’iy ini :
    Mari kita lihat apa lagi komentar nashibi ini untuk memuaskan hawa nafsunya dalam membantah orang yang ia tuduh Rafidhah.
    Ahmad mengatakan ia ditulis hadisnya dan telah meriwayatkan hadis mungkar. Ibnu Ma’in terkadang berkata “shalih” terkadang berkata “dhaif”. Bukhari berkata Ibnu Mahdi meninggalkannya dan ia dihaifkan Abu Waliid. Abu Zur’ah berkata shaduq. Abu Hatim berkata hasanul hadis tetapi tidak bisa dijadikan hujjah ditulis hadisnya dan buruk hafalannya. Nasa’i berkata “tidak tsiqat” dan terkadang berkata “dhaif”. Al Uqailiy berkata “dalam hadisnya terdapat waham dan idhthirab”. At Tirmidzi berkata “tidak kuat disisi ahli hadis”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “matruk al hadits”. Ibnu Hibban menyatakan ia mungkar al hadits. Abu Israiil dikenal sebagai perawi yang mencela dan mengkafirkan Utsman bin ‘Affan [At Tahdzib juz 1 no 545].
    Daruquthni berkata “dhaif” [Al Ilal no 1043] dan Daruquthni memasukkan namanya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Daruquthni no 74]. Ibnu Hajar berkata “shaduq buruk hafalannya” [At Taqrib 1/93] tetapi dalam Talkhis Al Habir, Ibnu Hajar berkata “dhaif” [Talkhiish Al Habiir 1/502 no 296]. Adz Dzahabi berkata “dhaif” [Al Kasyf no 370]. Riwayat ini mengandung illat [cacat] lain yaitu Abu Israiil Al Malaa’iy disebutkan Ibnu Hajar sebagai mudallis martabat kelima [Thabaqat Al Mudallisin no 130] dan riwayatnya di atas dibawakan dengan ‘an anah maka kedudukannya dhaif. [selesai].
    Anda dapat lihat kecenderungannya untuk menampilkan beberapa jarh yang bertujuan – seperti biasa – agar riwayat Abu Israaiil Al-Mulaa’iy ini lemah dan tidak bisa dijadikan i’tibar. Sama seperti kasus Asy-Sya’biy di atas.
    Basi sekali nashibi satu ini, nampak jelas dalam tulisan saya bahwa saya menampilkan juga sebagian ta’dil terhadap Abu Israa’il Al Mula’iy hanya saja saya merajihkan bahwa kedudukannya dhaif.
    Sedikit akan saya koreksi dengan beberapa penambahan.
    Perkataan Ahmad yang benar adalah : “Ditulis haditsnya, dan ia telah meriwayatkan sebuah hadits munkar dalam permasalahan qatill (orang yang terbunuh)”. Jadi, riwayat munkarnya ini khusus, yaitu dalam hadits ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid. Jelas bedalah antara yang ditulis orang Raafidliy itu dengan yang tertulis dan Tahdziibut-Tahdziib. Diriwayat lain, ketika ia (Ahmad) ditanya : “Apakah ia dla’iif ?”. Ahmad menjawab : “Tidak, tapi ia menyelisihi dalam hadits-hadits”. Riwayat Ahmad dalam At-Tahdziib ini tidak ditulis oleh rekan Raafidliy itu sebab jelas akan merugikannya.
    Beda apanya wahai nashibi. Saya menulis Ahmad mengatakan ia ditulis hadisnya dan telah meriwayatkan hadis mungkar. Sekarang silakan pelototi apa yang anda tulis bagian mana bedanya. Saya hanya meringkas apa yang dikatakan Ahmad bin Hanbal. Bagian mana yang merugikan saya. Hati anda itu terlalu gelap untuk menilai apa yang ditulis orang lain terutama oleh orang yang anda tuduh rafidhah. Sekedar tambahan terbukti bahwa riwayat mungkar Abu Israa’il tidak hanya riwayatnya dari Athiyyah. Syu’bah pernah menyatakan mungkar hadis Abu Israa’il yang bukan riwayatnya dari Athiyyah. [Al Kamil Ibnu Adiy 1/290]
    Tentang perkataan Ibnu Ma’iin, riwayat lain dalam At-Tahdziib disebutkan : “Ashhaabul-hadiits, tidak ditulis haditsnya. Dan saya tambahkan, bahwa dalam riwayat Ad-Duuriy, ia berkata : “Tsiqah”. Begitu pula yang dibawakan Ibnu Syaahiin.
    Giliran saya yang mengoreksi anda wahai nashibi. Apa-apaan kutipan anda itu, yang dikatakan Ibnu Ma’in sebenarnya adalah “ashhabul hadits [para ahli hadis] tidak menulis hadisnya” Bukannya seperti yang anda bilang “ashhabul hadis, tidak ditulis hadisnya”. Seolah-olah menurut Ibnu Ma’in, Abu Israa’il itu termasuk ahli hadis tetapi tidak ditulis hadisnya. Itu terjemahan yang maaf menyesatkan sekali.
    Memang ternukil Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat tetapi ternukil pula Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif. Pendapat yang rajih soal penukilan Ibnu Ma’in ini adalah Abu Israa’il seorang yang dhaif. Hal ini dikuatkan bahwa disisi Ibnu Ma’in seorang perawi yang mencela Utsman seperti Abu Israa’il adalah Dajjal yang terlaknat dan tidak ditulis hadisnya

    سمعت يحيى يقول تليد كذاب كان يشتم عثمان وكل من يشتم عثمان أو طلحة أو أحدا 
    من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم دجال لا يكتب عنه
     وعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين

    [Ad Duuriy] berkata aku mendengar Ibnu Ma’in berkata “Talid pendusta, ia mencaci Utsman dan siapa saja yang mencaci Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Nabi maka ia adalah Dajjal tidak boleh ditulis hadisnya dan untuknya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2670]
    Abu Israa’il tidak hanya mencela Utsman tetapi juga mengkafirkannya. Kita patut heran dengan nashibi yang berkeras menjadikan perawi satu ini sebagai seorang yang layak dijadikan I’tibar hadisnya. Bukankah nashibi itu sangat membenci Syiah atau Rafidhah yang ia katakan mengkafirkan Abu Bakar dan Umar kalau begitu kenapa sekarang berbasa-basi mau membela perawi yang mengkafirkan Utsman bin ‘Affan. Tidak lain karena kebetulan perawi ini sedang meriwayatkan hadis yang sesuai dengan hawa nafsunya. Sekali lagi, inkonsistensi.
    ‘Amru bin ‘Aliy berkata : “Bukan termasuk pendusta”. Perkataan ini tidak dibawakan oleh orang Raafidlah itu dalam At-Tahdziib. ‘Amru bin ‘Aliy meriwayatkan sebab ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy tidak meriwayatkan haditsnya adalah karena ia mencela/mencela ‘Utsmaan bin ‘Affaan. Dan itulah juga yang dikatakan oleh Al-Bukhaariy.
    Apa masalahnya? Apakah perkataan “bukan pendusta” adalah termasuk perkataan ta’dil?. Apakah setiap perawi dhaif itu harus bertitel “kadzab”?. Kami juga mengutip bahwa Abu Ahmad Al Hakim berkata “matruk”. Lafaz jarh ini memang tidak seberat lafaz “kadzab” tetapi itu termasuk pendhaifan yang berat.
    Perkataan Abu Haatim yang lebih lengkapnya adalah : “Hasanul-hadiits, jayyidul-liqaa’. Ia mempunyai beberapa kekeliruan (aghaalith). Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya, namun ditulis haditsnya. Ia mempunyai hapalan yang jelek (sayyi’ul-hifdh)”.
    Ini pun kami tulis diatas secara ringkas. Intinya disisi Abu Hatim, Abu Isra’il sangat lemah dalam dhabit-nya walaupun tidak bermasalah dalam ‘adalah-nya.
    Ibnul-Mubaarak berkata : “Jeleknya hapalannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Kebanyakan yang ia riwayatkan menyelisihi perawi tsiqah, dan ia secara umum termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Ibnu Sa’d berkata : “Mereka (para ulama) berkata bahwa ia seorang yang shaduuq”. Al-Husain Al-Ju’fiy berkata : “Ia panjang jenggotnya, bodoh”. Abu Daawud berkata : “Ia tidak berdusta. Haditsnya bukan dari hadits Syi’ah, dan tidak terdapat padanya nakarah (pengingkaran)”. Al-Juuzajaaniy : “Pendusta, menyimpang”. Al-Fasawiy berkata : “Tsiqah”.
    Perkataan Ibnu Sa’ad bahwa para ulama menyatakan ia shaduq bertentangan dengan apa yang dikatakan Ibnu Ma’in bahwa para ahli hadis tidak menulis darinya. Perkataan Abu Dawud juga terbukti keliru karena faktanya terdapat nakarah pada hadis-hadis Abu Israa’il. Al Fasawiy menyatakan ia tsiqat dan ia menyendiri dalam ta’dil ini [tentu saja perkataan Ibnu Ma’in tidak dihitung berdasarkan penjelasan kami sebelumnya]. Nashibi ini mengutip perkataan Al Juuzajaniy bahwa Abu Israa’il pendusta dan menyimpang tetapi anehnya ia lebih memilih menyatakan Abu Israa’il shaduq karena disini Abu Israa’il sedang meriwayatkan hadis yang sesuai dengan hawa nafsunya. Kami yakin sekali kalau orang seperti Abu Israa’il ini meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait yang tidak sesuai hawa nafsunya maka nashibi itu akan habis-habisan mencelanya. Itulah gaya ilmu hadis khas ala nashibi “standard ganda”
    Jadi,….. kesimpulan Ibnu Hajar yang menyatakan : “Shaduuq, namun jelek hapalannya” adalah benar. Ia dicela sebagian ulama karena madzhabnya yang buruk dalam tasyayyu’.
    Gak perlu kami ulang kalau Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya yang lain menyatakan Abu Israa’il dhaif begitu pula yang dikatakan oleh Adz Dzahabi. Dengan mengumpulkan semua perkataan para ulama maka yang rajih adalah Abu Israa’il seorang yang dhaif . Kalau menurut nashibi itu Abu Israa’il bisa dijadikan I’tibar ya silakan asal ingat saja bahwa banyak sekali perawi dengan kedudukan seperti ini yang meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Maka bersiap-siap saja untuk menerimanya dengan dongkol
    Adapun pengklasifikasian Ibnu Hajar bahwa ia termasuk mudallis martabat kelima, maka ini perlu diteliti kembali. Ibnu Hajar menyandarkan sifat tadlis ini pada At-Tirmidziy. Ia (Ibnu Hajar) berkata : “Dan At-Tirmidziy mengisyaratkan bahwa ia sering melakukan tadlis” [Ta’rifu Ahlit-Taqdiis, hal. 139 no. 130].
    Selain disebutkan dalam Ta’rifu Ahlit Taqdiis, Ibnu Hajar juga menyebutkan Abu Israa’il sebagai mudallis dalam kitabnya An Nukat. Abu Israa’il disebutkan pula sebagai mudallis oleh Sibtu Ibnu Ajamiy dalam Asma’ Al Mudallisin no 93, Hammad Al Anshariy dalam Tadlis Wal Mudallisun no 157, dan Abu Zur’ah dalam Al Mudallisin no 77. Dan semuanya mengutip perkataan Tirmidzi sebagaimana yang dinukil Ibnu Hajar
    At-Tirmidziy ketika membawakan hadits tatswib berkata : “Hadits Bilaal, aku tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Abu Israaiil Al-Mulaa’iy. Dan Abu Israaiil tidak mendengar hadits ini dari Al-Hakam bin ‘Utaibah”. Ia berkata : “Ia hanyalah meriwayatkan dari Al-Hasan bin ‘Umaarah, dari Al-Hakam bin ‘Utaibah” [As-Sunan no. 198].
    Perkataan ini tidak benar, sebab dalam riwayat Ahmad 4/307, Abu Israaiil menyebutkan tashrih penyimakannya dari Al-Hakam bin ‘Utaibah. Ibnul-jauziy pun menolak penisbatan inqitha’ ini. Telah menyebutkan pelemahan sebagian ulama bahwa Abu Israaiil tidak mendengar dari Al-Hakam, ia berkata :
    مُجَرَّدُ التَّضْعِيفِ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يُبَيَّنَ سَبَبُهُ، وَقَدْ ذَكَرْنَا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ
    “Pendla’ifan tersebut tidaklah diterima hingga diterangkan sebabnya. Dan telah kami sebutkan darinya bahwasannya ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam” [At-Tahqiiq, no. 418].
    Dalam salah satu riwayat memang disebutkan Abu Israa’il menyebutkan tashrih penyimakannya dari Al Hakam bin Utaibah tetapi tashrih ini mengandung illat [cacat] karena Abul Walid pernah menanyakan langsung kepada Abu Israa’il dan ia menjawabnya dengan syaak [ragu] bahwa ia mendengarnya dari Al Hakam atau dari Hasan bin Umarah dari Al Hakam. Al Bukhari mengutip pendhaifan Abul Walid dalam kitabnya Adh Dhu’afa Ash Shaghiir no 15

    إسماعيل بن أبي إسحاق أبو إسرائيل العبسي الملائي الكوفي
     عن الحكم وعطية ضعفه أبو الوليد قال سألته عن حديث بن أبي ليلى عن بلال كان يروي
     عن الحكم في الأذان قال سمعته من الحكم أو الحسن بن عمارة عنه

    Ismail bin Abi Ishaaq Abuu Israa’il Al ‘Absiy Al Mulaa’iy Al Kuufiy meriwayatkan dari Al Hakam dan ‘Athiyyah. Ia didhaifkan oleh Abu Walid yang berkata “aku bertanya kepadanya tentang hadis Ibnu Abi Laila dari Bilal dimana ia meriwayatkan dari Al Hakam tentang Adzan. Ia berkata “aku mendengarnya dari Al Hakam atau dari Hasan bin ‘Umarah dari Al Hakam” [Adh Dhu’afa Ash Shaghiir no 15]
    Keraguan Abu Israa’il menjadikan illat [cacat] bagi riwayat dimana ia menyebutkan secara tashrih penyimakannya dari Al Hakam. Dan nampaknya keraguan Abu Israa’il ini menjadi salah satu alasan Abu Walid mendhaifkannya sehingga Bukhari mengutipnya dalam kitabnya Adh Dhu’afa. Apalagi Abu Israa’il seorang yang dhaif dan dikatakan sangat buruk hafalannya maka riwayat tashrihnya itu tidak bisa dijadikan hujjah. At Tirmidzi dimana ia termasuk perawi yang meriwayatkan hadis Bilal tersebut menegaskan bahwa Abu Israa’il tidak mendengarnya dari Al Hakam tetapi dari Hasan bin Umarah dari Al Hakam. Ibnu Hajar dan yang lainnya ketika mengutip At Tirmidzi mereka tidak membantahnya bahkan berhujjah dengannya untuk menetapkan Abu Israa’il sebagai mudallis.
    Nashibi itu mengutip perkataan Ibnu Jauzi dimana Ibnu Jauzi pada dasarnya berhujjah dengan riwayat dimana Abu Israa’il menyebutkan tasrih penyimakannya dari Al Hakam. Telah kami sebutkan bahwa riwayat tashrih itu mengandung illat [cacat] yang berasal dari Abu Israa’il sendiri.
    Jadi riwayat ‘Amru bin Maimun dhaif karena Abu Israa’il Al Mulaa’iy Al Kuufiy dimana yang rajih bahwa ia seorang yang dhaif , selain itu dikatakan bahwa ia seorang mudallis dan riwayatnya di atas dengan ‘an anah maka riwayatnya dhaif.
    3. Riwayat Zirr bin Hubaisy dari ‘Aliy.
    Orang Raafidlah ini mengatakan :
    ” Ma’mar dalam periwayatan dari ‘Aashim telah menyelisihi Syarik yang meriwayatkan atsar ini dari ‘Aashim dari Musayyab bin Raafi’ dari Abdullah bin Mas’udsebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 6/354 no 31981 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 44/111. Syarik Al Qadhiy adalah perawi yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya, pada dasarnya riwayat Syarik dan Ma’mar dari ‘Aashim masing-masing mengandung kelemahan tetapi riwayat Syarik didahulukan dari riwayat Ma’mar karena ‘Aashim termasuk orang Kufah dan Syarik dikatakan sebagian ulama bahwa ia lebih alim dalam riwayat dari orang-orang Kufah. Jadi Ma’mar dalam riwayatnya dari ‘Aashim telah melakukan kesalahan dalam menisbatkan riwayat ini kepada Aliy bin Abi Thalib.”.
    Begitulah katanya.
    Bagaimana bisa dikatakan bahwa Ma’mar keliru, dan Syaarik benar ?. Justru kritikan para ulama kepada Syariik ini adalah ketika ia pindah ke kota Kuufah dan menjabat sebagai qadliy. Aneh-aneh saja orang ini. Jalur periwayatan Ma’mar, dari ‘Aashim, dari Zirr bin Hubaisy ini ma’ruf dalam kutub hadits (misal : Ibnu Maajah no. 226, Ahmad no. 17627, Ibnu Khuzaimah no. 193, Ibnu Hibban no. 85, dan yang lainnya). Bagaimana bisa dikatakan bahwa riwayat Ma’mar dari ‘Aashim ini keliru ?. Bukan tidak mungkin ‘Aashim ini mempunyai dua jalur periwayatan, yaitu dari Zirr bin Hubaisy dan dari Al-Musayyib bin Raafi’.
    Susah memang bicara dengan orang yang sudah gelap mata. Kalau ia tidak tahu cara berdalil ya gak perlu banyak bicara. Bukankah sudah kami katakan sebelumnya bahwa baik riwayat Ma’mar maupun riwayat Syarik sama-sama mengandung kelemahan. Kami akui riwayat Syaarik dhaif tetapi jika dibandingkan riwayat Ma’mar maka ia lebih didahulukan karena disini ia meriwayatkan dari orang Kufah. Syarik dikatakan sebagian ulama seperti Waki’ dan Ibnu Mubarak kalau ia lebih alim soal riwayat dari orang-orang Kufah. Inilah pertimbangan kami mendahulukan riwayat Syariik.
    Ucapan Nashibi itu bisa saja ‘Aashim memiliki dua jalur periwayatan adalah ucapan basa-basi. Baru saja diatas ketika mengomentari riwayat Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah yang punya dua jalur periwayatan sampai Abu Israa’il ia mengatakan terjadi idhthirab dan hanya satu riwayat yang tsabit. Mengapa ia tidak mengatakan bisa saja memang ada dua jalan sanad milik Muhammad bin Utsman?. Tentu saja cara berdalilnya yang standar ganda itu disesuaikan dengan hawa nafsunya. Jika kira-kira menguatkan argumennya ya ia pakai jika menentang argumennya ya ia tinggalkan dan ia meloncat ke kaidah lain yang bisa ia pakai untuk mempertahankan argumennya. Lucunya, apa ia kira orang lain tidak bisa melihat dalih akrobatik yang sering ia tunjukkan.
    Contoh lain pada tulisan soal riwayat Zaid bin Aliy menyepakati Abu Bakar, ia ikut-ikutan menyalahkan Ibnu Syabbah dalam salah satu riwayatnya dari Hushain bin Hafsh dari Ats Tsawriy dari Zubaid dari Ibnu Mas’ud karena riwayat yang tsabit adalah dari Ats Tsawriy dari Mughirah dari Sa’id dari Ibnu Abbas. Mengapa ia tidak katakan kalau bisa saja Ats Tsawriy memiliki dua jalan periwayatan?. Ia justru ikut menyalahkan Ibnu Syabbah karena pada saat itu bersesuaian dengan hawa nafsunya. Jika ia mengatakan bisa saja ada dua jalur periwayatan maka ia tidak punya jalan untuk mencari cacat Ibnu Syabbah.
    Al-Baihaqiy mengatakan bahwa riwayat Zirr bin Hubaisy ini merupakan mutaba’ah bagi riwayat lainnya.
    Biasa,… Anda akan tahu motif alasannya ini agar jalur periwayatan Zirr bin Hubaisy tidak bisa menjadi i’tibar. Kok anehnya, dikit-dikit bilang ‘menyelisihi’.
    Riwayat Zirr bin Hubaisy diatas dhaif karena pertama ‘Aashim dikatakan mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan tidak diketahui apakah Ma’mar meriwayatkan darinya sebelum atau sesudah ‘Aashim mengalami ikhtilath. Metode melemahkan hadis model begini seringkali dipakai oleh nashibi itu jadi ya tolong diperhatikan. Kedua riwayat Ma’mar dari ‘Aashim lemah karena dikatakan Ibnu Ma’in mudhtharib dan banyak mengandung kesalahan. Terdapat qarinah yang menguatkan bahwa riwayat tersebut keliru yaitu seperti yang nampak dalam riwayat Syaarik.
    4. Riwayat Zaadzaan Al-Kindiy.
    Di bagian ini Anda akan menyimak keanehan analisis dari orang Raafidlah itu (seperti biasa). Ia berkata :
    Daruquthni berkata

    وروي هذا الحديث عن زاذان أبي عمر

    عن علي حدث به عمرو بن أبي قيس واختلف عنه فرواه محمد بن سعيد بن سابق

    عن عرمو بن أبي قيس عن أبي اليقظان عن زاذان

    عن علي وخالفه عبد الله بن الجهم فرواه عن عمرو بن أبي قيس

    عن أعين بن عبد الله قاضي الري عن أبي اليقظان عن زاذان عن علي وهو الصحيح

    Dan diriwayatkan hadis ini dari Zaadzaan Abi Umar dari Aliy, hal ini diceritakan oleh ‘Amru bin Abi Qais dan terdapat perselisihan dalam riwayatnya. Telah meriwayatkan Muhammad bin Sa’id bin Saabiq dari ‘Amru bin Abi Qais dari Abul Yaqzhaan dari Zaadzaan dari Aliy. Dan Abdullah bin Jahm menyelisihinya dimana ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Abi Qais dari A’yan bin ‘Abdullah Qadhi Ray dari Abul Yaqzhaan dari Zaadzaan dari Aliy dan inilah yang shahih [Al Ilal Daruquthni no 471]
    Penshahihan Daruquthni terhadap riwayat Abdullah bin Jahm menunjukkan bahwa di sisi Daruquthni, Abul Wahb Yahya bin Musa, Musa bin Sufyan dan Abdullah bin Jahm adalah para perawi tsiqat. Musa bin Sufyaan adalah Musa bin Sufyan bin Ziyad Al Askariy biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 9/163 no 15787]. Telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat diantaranya Abu Awanah yang memasukkan hadisnya dalam Shahih Abu Awanah” [selesai].
    Perhatikan kalimat yang dibold!. Ia menganggap perkataan Ad-Daaruquthniy wahuwa ash-shahiih sebagai bentuk pentashhiihan terhadap jalur riwayat. Namun, ketika mengkritik jalur ‘Amru bin Maimuun dimana Ad-Daaruquthniy mengatakan hal yang sama, ia menganggap itu bukan sebagai bentuk pentashhihan. Ini sih model analisis basi. Kontradiktif….. Padahal kritikannya pada saya atas perkataan Ad-Daaruquthniy pada jalur riwayat ‘Amru bin Maimuun – setelah saya cermati ulang – adalah benar. Itu bukan tashhiih sanad, tapi satu bentuk perajihan atas salah satu jalur sanad dibandingkan yang lain.
    Kita katakan akal nashibi itulah yang basi. Ini kesekian kalinya nashibi itu tidak mengerti cara berhujjah dan apa itu namanya kontradiktif. Perkataan Daruquthni “wahuwa ashshahih” diatas memang bukan bentuk pentashihan terhadap riwayat Abu Yaqzhaan. Siapa yang sedang berkata demikian wahai nashibi?. Perkataan tersebut juga adalah bentuk perajihan Daruquthni terhadap salah satu riwayat.
    Kami akan menjelaskan pelan-pelan agar nashibi yang tidak bisa berpikir dengan baik itu mengerti. Kita lihat riwayat Abu Israa’il Al Mulaa’iy yang disebutkan Daruquthni sebelumnya yaitu ada dua riwayat
    Riwayat Abu Farwah Ar Rahawiy dari Abi Ghassan dari Abu Israa’il dari Aizar bin Huraits
    Riwayat Muhammad bin Ishaq bin Saabiq dari Abu Israa’il dari Walid bin ‘Aizar
    Ketika Daruquthni merajihkan riwayat Muhammad bin Ishaq bin Saabiq dengan berkata inilah yang shahih maka menurut Daruquthni riwayat inilah yang benar. Riwayat ini yang sedang dijadikan hujjah oleh Daruquthni maka sanadnya sudah pasti shahih di sisi Daruquthni sampai Muhammad bin Ishaq bin Saabiq. Apa mungkin Daruquthni berhujjah dengan riwayat yang dhaif di sisinya.
    Begitupula dengan perajihan selanjutnya yaitu ada dua riwayat Abul Yaqzhaan yang diketahui Daruquthni yaitu
    Riwayat Muhammad bin Sa’id bin Saabiq dari ‘Amru bin Abi Qais dari Abul Yaqzhaan
    Riwayat Abdullah bin Jahm dari Amru bin Abi Qais dari A’yan bin Abdullah dari Abul Yaqzhaan
    Daruquthni menyatakan riwayat Abdullah bin Jahm yang shahih dan rajih. Riwayat inilah yang dijadikan hujjah oleh Daruquthni maka sudah pasti sanadnya shahih disisi Daruquthni hingga Abdullah bin Jahm. Riwayat Abdullah bin Jahm ini adalah riwayat milik Daruquthni sendiri yang ia ambil dari Syaikh-nya Abul Wahb Yahya bin Musa dari Musa bin Sufyan dari Abdullah bin Jahm. Maka wajar kalau kami katakan Daruquthni telah berhujjah dengan para perawi itu sampai Abdullah bin Jahm.
    Jadi disisi Daruquthni ketiganya adalah tsiqat atau minimal shaduq. Jadinya apanya yang kontradiksi, pikiran nashibi itu saja yang tidak mampu memahami apa yang ia baca. Maklumlah ia sedang sibuk mencari bantahan untuk melindungi dirinya jadi tidak sempat membaca dengan baik.
    Apapun itu, gak usah dibahas lebih lanjut lah. Inti dari riwayat ini ada perselisihan antara Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 4/139 yang menyebutkan perantara A’yan bin ‘Abdillah; dan riwayat Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 926 yang tidak menyebutkannya. Manakah yang lebih kuat ?. Menurut Ad-Daaruquthniy merajihkan riwayat yang ia bawakan. Ya ini perlu diteliti ulang.
    Ya silakan saja kalau mau diteliti ulang tetapi kaidah ilmu tetap dipakai. Jika Daruquthni merajihkan dan berhujjah dengan salah satu riwayat maka itu berarti riwayat tersebut shahih disisinya dan berarti pula penta’dilan terhadap para perawinya sampai perawi yang ia jadikan hujjah.
    Yahyaa bin Muusaa bin Ishaaq, Abu Wahb Al-Ailiy adalah perawi yang majhuul (haal) [lihat : Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy oleh Muqbil bin Hadiy Al-Wadii’iy, hal. 489 no. 1267.
    Lha yang bilang majhul kan nashibi itu. Kami sudah cek tuh ke kitab Muqbil yang disebutkannya tidak ada perkataan “majhul”. Seandainya pun Muqbil berkata demikian maka apa perkataannya itu hujjah mati dan tidak bisa dikatakan “perlu diteliti ulang”. Abul Wahb Yahya bin Musa adalah Syaikh [guru] Daruquthni dimana Daruquthni telah berhujjah dan menshahihkan hadisnya maka ia tsiqat di sisi Daruquthniy. Daruquthni lebih mengetahui kedudukan Abul Wahb daripada Muqbil bin Hadiy dan tentu saja lebih mengetahui dari nashibi yang kacau itu.
    Muusaa bin Sufyaan, ia hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan. Saya tidak tahu sekumpulan perawi tsiqah yang dimaksudkan orang Raafidlah itu. Seandainya ia menyebutkannya, tentu lebih baik. Seandainya Muusaa ini kita anggap seorang perawi yang shaduuq, tetap saja sanad Ad-Daaruquthniy ini lemah hingga Jahm, karena kemajhulan Abu Wahb dan A’yan. Berbeda halnya dengan sanad Ibnu Basyraan yang shahih hingga ‘Amru bin Qais.
    Muusa bin Sufyaan tidak hanya ditsiqatkan Ibnu Hibban. Abu Awanah juga mentsiqatkannya karena ia termasuk Syaikh [gurunya] yang ia ambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Mustakhraj Abu Awanah no 6638]. Sekumpulan perawi tsiqat yang dimaksud adalah
    Ahmad bin Zuhair Al Tusturiy [Mu’jam Al Kabir 15/317 no 17291] ia seorang Imam Hujjah muhaddis Syaikh Al Islam [As Siyar 14/362]
    Zakariya bin Yahya As Sajiy [Mu’jam Al Kabir 2/248 no 2044], ia seorang Imam Tsabit Hafizh [As Siyar 14/198]
    Muhammad bin Nuh Al Jundaisaburiy [Sunan Daruquthni 4/262 no 82]. Ia seorang yang tsiqat ma’mun [Tarikh Baghdad 3/324]
    Ahmad bin Musa bin Ishaq Abu Abdullah Al Anshariy disebutkan dalam biografinya bahwa ia meriwayatkan dari Musa bin Sufyaan dan ia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 5/144]
    Musaddan bin Ya’qub bin Ishaq disebutkan dalam biografinya bahwa ia meriwayatkan dari Musa bin Sufyaan dan ia shaduq [Tarikh Baghdad 6/71]
    Abu Bakar Muhammad bin Muhammad bin Dawud Al Ijliy [Mu’jam Asy Syuyukh Ash Shaydaawiy no 91] dan ia seorang yang shaduq [Su’alat Mas’ud bin Aliy no 5]
    Abu Awanah dalam kitabnya Mustakhraj Abu Awanah
    Dan berdasarkan riwayat yang dibahas di atas, Daruquthni telah berhujjah dengan riwayatnya dan ini berarti dalam pandangan Daruquthni ia seorang yang tsiqat.
    Mengenai perkataan nashibi “tetap saja sanad Ad-Daaruquthniy ini lemah hingga Jahm, karena kemajhulan Abu Wahb dan A’yan”. Abu Wahb telah kita katakan di atas bahwa ia adalah gurunya Daruquthni dimana Daruquthni sendiri telah berhujjah dengan hadisnya. Daruquthni jelas lebih tahu kedudukan gurunya daripada nashibi ini. Apa mungkin Daruquthni berhujjah dengan riwayat perawi yang majhul dalam pandangannya?.
    Yang lucu adalah nashibi itu mengatakan sanad Daruquthni lemah sampai Abdullah bin Jahm karena kemjahulan Abu Wahb dan A’yan. Tentu saja ini konyol A’yan bin Abdullah itu adalah perawi yang muncul setelah perawi Abdullah bin Jahm bukannya sebelum Abdullah bin Jahm. Nampak sekali kalau orang terlalu nafsu membantah maka komentarnya akan ngelantur.
    Saya tidak tahu kok tiba-tiba ia jadi taqlid sama Ad-Daaruquthniy ya ?. O iya,.. sebab, kalau ia sepakat dengan tashhiih Ad-Daaruquthniy (padahal bukan tashhiih), maka kedla’ifan jalur riwayat ini jadi tambah, yaitu adanya inqitha’ antara ‘Amru bin Qais dengan Abul-Yaqdhaan. Atau, ‘Amru ini idlthirab. Kadang meriwayatkan melalui perantaraan A’yun bin ‘Abdillah dari Abul-Yaqdhaan; kadang langsung dari Abul-Yaqdhaan.
    Wah sejak kapan ya ilmu hadis gak pake taklid, memangnya nashibi itu tidak taklid pada ulama jarh wat ta’dil. Apa yang kami bahas itu sudah sesuai dengan kaidah ilmu hadis?. Masalahnya ada nashibi yang suka bertingkah membuat syubhat basi untuk melindungi keyakinannya. Riwayat Ibnu Basyraan dan riwayat Daruquthni keduanya shahih jadi illat [cacat] tersebut memang ada. Amru bin Abi Qais terkadang meriwayatkan dari Abul Yaqzhaan dan terkadang meriwayatkan dari A’yan bin ‘Abdullah dari Abul Yaqzhaan. Kesimpulannya Amru bin Abi Qais tidak mendengar langsung dari Abul Yaqzhaan tetapi melalui perantara A’yan bin Abdullah.
    Walhasil, jalur riwayat ini adalah lemah karena Abul-Yaqdhaan saja sebagaimana disebutkan dalam artikel di atas. Dan ia seorang yang dla’if dan sering melakukan tadlis. Para ulama banyak mengkritik karena madzhabnya yang cenderung ghulluw pada Syi’ah. Memang benar ia seorang yang dla’iif, namun haditsnya tetap ditulis sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy. Wallaahu a’lam.
    Abul Yaqzhaan adalah perawi yang dhaif mungkar al hadits dan matruk maka ia tidak bisa dijadikan i’tibar apalagi ada dua kelemahan lain terkait Abul Yaqzhaan. Ia dikatakan mengalami ikhtiltah maka tidak diketahui apakah perawi yang meriwayatkan darinya mendengar hadis ini sebelum atau sesudah ia mengalami ikhtilath maka riwayatnya dhaif. Selain itu ia dikatakan sering melakukan tadlis dan riwayatnya diatas dengan ‘an anah maka riwayatnya dhaif. Nashibi itu berbasa basi demi membela keyakinannnya. Kesimpulannya atsar Imam Ali diatas dhaif dengan keseluruhan jalan-jalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar