https://www.google.com/search?q=IMAGE+PETA+PERANG+SURIAH&client=firefox-a&hs=cjD&rls=org.mozilla:en-US:official&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ei=wfLtUvrWO8Ogigfw34CoCg&ved=0CCoQsAQ&biw=1024&bih=574
Kapal Induk Rusia Bakal Berhadapan dengan AS di Suriah
[MOSKWA] Rusia menempatkan kapal-kapal perangnya di
pelabuhan Tartus, Suriah, bagian dari rencana jangka panjang untuk memperkuat
pertahanan maritim, yang secara providensial saat ini sangat berguna untuk mencegah
potensi konflik di negara strategis Timur Tengah (Timteng) itu. Terutama dengan
meningkatnya ancaman dari Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya untuk
melakukan intervensi di Suriah.
Kelompok kapal perang Rusia akan terdiri dari tiga kapal induk yang dipimpin kapal pengangkut pesawat dan rudal penjelajah Laksamana Kuznetsov. Para pejabat militer Rusia mengatakan penempatan kapal-kapal itu tidak berhubungan dengan krisis yang tengah terjadi di kawasan, namun bagian dari rencana yang sudah dipersiapkan lebih dari setahun lalu.
Mantan kepala staf angkatan laut Rusia Laksamana Viktor Kravchenko, menilai bahwa keberadaan kekuatan militer dari pihak selain NATO sangat berguna untuk kawasan Timteng, karena dapat mencegah meningkatnya konflik bersenjata. Kravchenko mengatakan bahwa skuadron khusus angkatan laut untuk menangkal pasukan Barat di Laut Mediterania, diciptakan sejak masa Uni Soviet.
Untuk memperbaiki dan memasok kebutuhan kapal-kapal itu, Moskwa memerlukan pangkalan di kawasan, dan itulah mengapa Tartus di Rusia menjadi sangat penting. Saat ini, Tartus banyak digunakan untuk mendukung kapal Laut Hitam Rusia, dengan sekitar 600 personil militer dan sipil dari Kementerian Pertahanan Rusia ditempatkan di pangkalan itu.
Laporan mengenai penguatan kapal-kapal Rusia ke Suriah muncul beberapa hari setelah kapal induk bertenaga nuklir AS, USS George HW Bush, bersandar di lepas pantai Suriah, bersama dengan beberapa kapal induk AS lainnya yang diyakini akan berusaha bertahan di Mediterania, untuk ambil bagian dalam Operasi Menegakkan Kebebasan dan Fajar Baru di Suriah.
Interfax melaporkan bahwa kapal-kapal dari Armada ke-6 AS juga melakukan patroli di kawasan. “Tentu, angkatan laut Rusia di Mediterania akan sepadan dengan kekuatan yang dibawa Armada ke-6 AS yang termasuk dengan satu atau dua kapal induk serta beberapa kapal perang lain yang mengawal,” kata Kravchenko.
“Tapi hari ini tidak ada yang berbicara tentang kemungkinan bentrok militer, karena setiap serangan pada kapal Rusia apapun akan dianggap sebagai deklarasi perang dengan segala konsekuensi,” tambahnya.
Keberadaan sejumlah kapal induk AS, seiring dengan peningkatan tekanan dari Liga Arab dengan menjatuhkan sanksi, bagian dari skenario menciptakan ketegangan di Suriah yang akan berujung dengan operasi militer untuk alasan kemanusiaan, seperti yang dilakukan Barat pada Libia. AS, Turki dan sejumlah negara-negara Arab yang menjadi sekutu Barat telah memerintahkan warga negara mereka keluar dari Suriah.
Paris telah mendesak dibuatnya zona aman yang diklaim untuk melindungi sipil, serta memberi jalan masuknya kelompok kemanusiaan ke Suriah.
Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe mengatakan telah berbicara dengan PBB, AS dan Liga Arab mengenai isu itu.
Tertutupnya kemungkinan aksi militer dengan dukungan PBB, setelah veto dari Rusia dan Tiongkok, membuat Liga Arab menjadi tombak terdepan dalam usaha penyerangan ke Suriah.
Situs berita Al Bawaba yang berbasis di Yordania, menyebut penerapan zona larangan terbang di Suriah oleh Liga Arab dengan dukungan logistik dari AS tengah didiskusikan. Awal November, Rusia juga telah mengirimkan kapal-kapalnya ke Tartus, yang ditengarai membawa penasehat-penasehat teknis untuk membantu Suriah membangun dan mengoperasikan sistem rudal S-300 yang dipasok Rusia.
Analis politik dari situs majalah internet infowars.com, Patrick Henningsen, meyakini peningkatan ketegangan atas Suriah diantara kekuatan-kekuatan utama dunia akan mengarah pada politik perang dingin baru di dunia. “Saya pikir kita akan melihat Perang Dingin baru terjadi dalam dua tahun mendatang, dan kita telah melihat tahap awalnya sekarang,” ucap Henningsen.
“Jika Barat berpikir mereka akan dengan mudah melakukan zona larangan terbang di Suriah, ini adalah situasi yang berbeda dari Libia. Ini akan jadi pertama kali di Suriah, dan juga jika melihat ke depan, dengan Iran, maka Barat saat ini tengah berusaha mengganggu sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk menyerang balik,” kata Henningsen, merujuk pada kerjasama militer yang erat antara Rusia dengan Suriah dan Iran. [RT/B-14]
Kelompok kapal perang Rusia akan terdiri dari tiga kapal induk yang dipimpin kapal pengangkut pesawat dan rudal penjelajah Laksamana Kuznetsov. Para pejabat militer Rusia mengatakan penempatan kapal-kapal itu tidak berhubungan dengan krisis yang tengah terjadi di kawasan, namun bagian dari rencana yang sudah dipersiapkan lebih dari setahun lalu.
Mantan kepala staf angkatan laut Rusia Laksamana Viktor Kravchenko, menilai bahwa keberadaan kekuatan militer dari pihak selain NATO sangat berguna untuk kawasan Timteng, karena dapat mencegah meningkatnya konflik bersenjata. Kravchenko mengatakan bahwa skuadron khusus angkatan laut untuk menangkal pasukan Barat di Laut Mediterania, diciptakan sejak masa Uni Soviet.
Untuk memperbaiki dan memasok kebutuhan kapal-kapal itu, Moskwa memerlukan pangkalan di kawasan, dan itulah mengapa Tartus di Rusia menjadi sangat penting. Saat ini, Tartus banyak digunakan untuk mendukung kapal Laut Hitam Rusia, dengan sekitar 600 personil militer dan sipil dari Kementerian Pertahanan Rusia ditempatkan di pangkalan itu.
Laporan mengenai penguatan kapal-kapal Rusia ke Suriah muncul beberapa hari setelah kapal induk bertenaga nuklir AS, USS George HW Bush, bersandar di lepas pantai Suriah, bersama dengan beberapa kapal induk AS lainnya yang diyakini akan berusaha bertahan di Mediterania, untuk ambil bagian dalam Operasi Menegakkan Kebebasan dan Fajar Baru di Suriah.
Interfax melaporkan bahwa kapal-kapal dari Armada ke-6 AS juga melakukan patroli di kawasan. “Tentu, angkatan laut Rusia di Mediterania akan sepadan dengan kekuatan yang dibawa Armada ke-6 AS yang termasuk dengan satu atau dua kapal induk serta beberapa kapal perang lain yang mengawal,” kata Kravchenko.
“Tapi hari ini tidak ada yang berbicara tentang kemungkinan bentrok militer, karena setiap serangan pada kapal Rusia apapun akan dianggap sebagai deklarasi perang dengan segala konsekuensi,” tambahnya.
Keberadaan sejumlah kapal induk AS, seiring dengan peningkatan tekanan dari Liga Arab dengan menjatuhkan sanksi, bagian dari skenario menciptakan ketegangan di Suriah yang akan berujung dengan operasi militer untuk alasan kemanusiaan, seperti yang dilakukan Barat pada Libia. AS, Turki dan sejumlah negara-negara Arab yang menjadi sekutu Barat telah memerintahkan warga negara mereka keluar dari Suriah.
Paris telah mendesak dibuatnya zona aman yang diklaim untuk melindungi sipil, serta memberi jalan masuknya kelompok kemanusiaan ke Suriah.
Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe mengatakan telah berbicara dengan PBB, AS dan Liga Arab mengenai isu itu.
Tertutupnya kemungkinan aksi militer dengan dukungan PBB, setelah veto dari Rusia dan Tiongkok, membuat Liga Arab menjadi tombak terdepan dalam usaha penyerangan ke Suriah.
Situs berita Al Bawaba yang berbasis di Yordania, menyebut penerapan zona larangan terbang di Suriah oleh Liga Arab dengan dukungan logistik dari AS tengah didiskusikan. Awal November, Rusia juga telah mengirimkan kapal-kapalnya ke Tartus, yang ditengarai membawa penasehat-penasehat teknis untuk membantu Suriah membangun dan mengoperasikan sistem rudal S-300 yang dipasok Rusia.
Analis politik dari situs majalah internet infowars.com, Patrick Henningsen, meyakini peningkatan ketegangan atas Suriah diantara kekuatan-kekuatan utama dunia akan mengarah pada politik perang dingin baru di dunia. “Saya pikir kita akan melihat Perang Dingin baru terjadi dalam dua tahun mendatang, dan kita telah melihat tahap awalnya sekarang,” ucap Henningsen.
“Jika Barat berpikir mereka akan dengan mudah melakukan zona larangan terbang di Suriah, ini adalah situasi yang berbeda dari Libia. Ini akan jadi pertama kali di Suriah, dan juga jika melihat ke depan, dengan Iran, maka Barat saat ini tengah berusaha mengganggu sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk menyerang balik,” kata Henningsen, merujuk pada kerjasama militer yang erat antara Rusia dengan Suriah dan Iran. [RT/B-14]
JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur
http://serbasejarah.wordpress.com/2012/11/23/jfk-indonesia-cia-freeport-sulphur/
Dalam Bagian Satu dari artikel ini
(Probe, Maret-April, 1996) kami telah bicarakan tentang Freeport melalui
tahun-tahun awal pengambilalihan tambang mereka oleh pemerintah Kuba
yang berpotensi menguntungkan di Teluk Moa Bay, sebagaimana pelarian
mereka bersama Presiden Kennedy mengenai masalah penimbunan ini. Namun
konflik terbesar yang akan dihadapi Freeport Sulphur adalah mengenai
perumahan di satu negara menghasil cadangan emas terbesar di dunia dan
cadangan tembaga:ketiga terbesar, yaitu: Indonesia. Untuk memahami
kerusuhan terakhir di pabrik Perusahaan Freeport (Maret, 1996), kita
perlu melihat kepada akar dari perusahaan ini, untuk menunjukkan
bagaimana hal-hal yang mungkin sangat berbeda harus Kennedy jalani untuk
melaksanakan rencananya bagi Indonesia.
Cerita Lalar Belakang Indonesia
Negeri
Indonesia ditemukan Belanda pada akhir tahun 1500-an. Selama tahun
1600-an awal mereka dikuasai oleh Perusahaan Hindia Belanda, perusahaan
swasta, selama hampir 200 tahun. Pada 1798, kekuasaan atas Indonesia
dipindahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, yang mempertahankan
kekuasaan atas negeri terbesar kelima di dunia ini sampai tahun 1941, di
mana saat itu Jepang datang selama Perang Dunia II. Pada tahun 1945
Jepang dikalahkan di Indonesia, dan Achmad Soekarno dan Mohammad Hatta
lalu naik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang
baru merdeka. Tapi dalam waktu satu bulan dari proklamasi kemerdekaan
Soekarno-Hatta, tentara Inggris mulai mendaratkan pasukannya di Jakarta
untuk membantu memulihkan pemerintahan kolonial Belanda. Perang selama
empat tahun terjadi. Pada tahun 1949, Belanda resmi menyerahkan
kedaulatan kembali ke Indonesia, dengan pengecualian satu wilayah kunci –
yaitu hotspot yang sekarang dikenal sebagai Irian Jaya atau Papua
Barat.
Penulis Gerard Colby dan Charlotte Dennett, dalam buku mereka Thy Will Be Done, menjelaskan situasi dalam apa yang kemudian disebut Nugini Belanda:
Untuk orang Barat, New Guinea seperti
anak berbakat yang ditarik ke arah yang saling berlawanan oleh orangtua
walinya yang tamak. Belanda menguasai bagian barat Papua Nugini,
sebagai sisa kerajaan-kerajaan Hindia Timur mereka yang besar sekali.
Sekutu lama mereka, Inggris, yang bertindak melalui Australia, menguasai
bagian timurnya. Tetangganya, Indonesia di sisi lain, berpikiran bahwa
semua New Guinea merupakan bagian dari wilayah nasional mereka, bahkan
jika itu masih dijajah oleh orang Eropa.
Nugini Belanda, atau Irian Barat
sebagaimana orang Indonesia menyebutnya, dihuni oleh suku-suku asli yang
dekat dengan budaya zaman batu, seperti suku Dani dan suku
Amungme. Ketika Indonesia berjuang untuk merebut kemerdekaan dari
Belanda, Irian Barat menjadi simbol bagi kedua belah pihak yang tidak
ingin melepaskannya. Hal ini akhirnya memaksa upaya Presiden Kennedy
untuk melewatkan kontrol daerah ini untuk orang Indonesia yang baru
medeka, dan menyingkirkan penjajahan Belanda.
Indonesia mengalami berbagai jenis
pemerintahan. Ketika Soekarno pertama kali naik ke tampuk kekuasaan pada
1945, orang asing menunjukkan bahwa pemerintahan Sukarno muncul sebagai
“fasis,” karena ia memegang kendali tunggal atas begitu banyak unsur
pemerintahan.Tunduk pada tekanan asing untuk tampil lebih demokratis,
Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer dan membuka
pemerintahan dengan sistem multipartai. Soekarno, terkait apa yang
diikuti penulis biografinya (sekarang menjadi pembawa acara kabel gosip)
Cindy Adams, mengatakan:
Dalam sebuah negara yang sebelumnya
menolak kegiatan politik, hasilnya sangat langsung. Lebih dari 40 partai
yang berbeda bermunculan. Begitu takut kita dicap sebagai “sebuah
kediktatoran yang disponsori fasisme Jepang.” Sehingga seorang individu
dapat membentuk organisasi sempalan yang ditoleransi sebagai partai
politik yang menjadi “corong demokrasi.” Tumbuh seperti gulma dengan
akar yang dangkal dan berat dengan kepentingan agak egois dan
pengumpulan suara, sehingga perselisihan internal tumbuh. Kami
menghadapi bencana, konflik tak berujung, kebingungan yang mendirikan
bulu kuduk. Indonesia sebelumnya ada dalam kebersamaan, sekarang ditarik
terpisah-pisah. Mereka berpecah-belah ke dalam kotak-kotak keagamaan
dan geografis, sesuatu yang aku perjuangkan sepanjang hidup untuk
mengeluarkan bangsa Indonesia dari perpecahan kepada persatuan Nasional…
Soekarno mengaitkan kenyataan bahwa
hampir setiap enam bulan, kabinet jatuh, dan pemerintahan baru akan
memulai, hanya untuk mengulangi siklus. Pada 17 Oktober 1952 suatu hal
datang ke kepalanya. Ribuan tentara dari tentara Indonesia menyerbu
gerbang istana dengan tuntutan “Bubarkan Parlemen.” Soekarno menghadapi
pasukan itu secara langsung, dengan tegas menolak untuk membubarkan
parlemen hanya karena tekanan militer, dan para prajurit pun
mundur. Akibat dari peristiwa ini adalah tentara Indonesia
terpecah-belah. Ada militer yang “pro-demo 17 Oktober 1952″ dan militer
“anti-Demo 17 Oktober 1952.” Pada tahun 1955, Pemilu diadakan dan
sistem pemerintahan parlementer diakhiri dengan voting. Orang komunis,
yang paling telah berbuat banyak untuk orang-orang yang menderita akibat
perubahan dari pemerintahan kolonial ke masa kemerdekaan, mendapatkan
banyak kemenangan dan simpati pada tahun 1955 dan 1956. Pada tahun 1955,
Sukarno menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung di mana
tokoh Komunis Cina yang terkenal Chou En Lai adalah figur tamu
utama. Selama pemilihan umum 1955, CIA telah memberikan uang satu juta
dolar kepada partai Masyumi, partai oposisi untuk partai Nasionalis
Sukarno dan Partai Komunis di Indonesia (disebut PKI)-dalam upaya untuk
mendapatkan kontrol atas politik negara. Tapi partai Masyumi gagal untuk
memenangkan hati dan pikiran rakyat.
Pada tahun 1957, sebuah percobaan
pembunuhan dilakukan terhadap Sukarno.Meskipun pelaku yang sebenarnya
tidak diketahui pada waktu itu, baik Soekarno dan CIA, melompat
menggunakan hal ini untuk tujuan propaganda. CIA dengan cepat
menyalahkan PKI. Soekarno, bagaimanapun, segera menyalahkan Belanda, dan
menggunakan ini sebagai alasan untuk merebut semua kepemilikan dan
bekas aset Belanda, termasuk Armada Pelayaran dan Perusahaan
Penerbangan. Soekarno bersumpah untuk mengusir Belanda dari Irian
Barat. Dia telah mencoba penyelesaian sengketa yang berdiri lama di atas
wilayah tersebut melalui PBB, tetapi ketok palu suara dari mayoritas
dua pertiga dibutuhkan untuk menyusun sebuah komisi yang memaksa Belanda
untuk duduk dengan Indonesia. Percobaan pembunuhan terhadap Sukarno
memberikan alasan yang sangat dibutuhkan untuk tindakan.
Kemenangan kaum Komunis, pertikaian di
ketentaraan, dan nasionalisasi kepemilikan eks Belanda 1957,
menyebabkan situasi memprihatinkan untuk kepentingan bisnis Amerika,
terutama industri minyak dan karet. CIA dengan penuh semangat, membantu
memicu pemberontakan daerah luar pulau Jawa, yang kaya sumber daya alam
terhadap pemerintah pusat yang berbasis di Jakarta, Jawa.
Kepentingan Rockefeller di Indonesia
Dua perusahaan minyak terkemuka berbasis
di Amerika melakukan bisnis di Indonesia pada saat itu adalah keluarga
Rockefeller yang mengendalikan Standar Oil: Stanvac (perusahaan patungan
antara Standard Oil of New Jersey dan Socony Mobil-Socony menjadi
Standard Oil of New York), dan Caltex, (perusahaan patungan Standard Oil
of California dan Texaco). Dalam Bagian I dari artikel ini kita
menunjukkan seberapa banyak Dewan Freeport Sulphur diisi oleh keluarga
Rockefeller dan sekutunya. Ingat bahwa Augustus C. Long anggota dewan
Freeport saat menjabat sebagai Ketua Texaco selama bertahun-tahun. Long
menjadi lebih dan lebih menarik karena cerita berkembang.
1958: CIA vs Soekarno
“Saya pikir inilah waktunya kami
menggiring kaki Sukarno ke api,” kata Frank Wisner, yang kemudian
menjadi Deputi Direktur Perencanaan CIA, pada tahun 1956. Pada 1958,
setelah gagal membeli pemerintahan Indonesia melalui proses pemilu 1955,
CIA mengobarkan operasi penuh di Indonesia. Operasi Hike, seperti yang
disebut, melibatkan persenjataan dan puluhan ribu warga Indonesia
terlatih serta “tentara bayaran” untuk memulai serangan dengan target
untuk menjatuhkan Soekarno.
Joseph Burkholder Smith adalah seorang
mantan agen CIA yang terlibat dengan operasi di Indonesia selama periode
ini. Dalam bukunya, Potraits of a Cold War (Potret Perang
Dingin), dia menggambarkan bagaimana CIA berperan langsung membuat,
tidak hanya sekedar memberlakukan, kebijakan di daerah ini:
sebelum melakukan tindakan langsung terhadap posisi Sukarno bisa diambil, kita harus mendapatkan persetujuan dari Kelompok Khusus — kelompok kecil pimpinan pejabat puncak Dewan Keamanan Nasional yang setuju menutupi rencana aksi rahasia ini. Penyebutan prematur ide seperti ini mungkin akan mendapatkannya ditembak jatuh …Jadi kita mulai memberi masukan intelijen kepada Departemen Luar Negeri dan departemen Pertahanan … Ketika mereka telah cukup membaca laporan yang mengkhawatirkan, kami berencana untuk memunculkan saran bahwa kita harus mendukung rencana Sang Kolonel (Suharto) untuk mengurangi kekuasaan Sukarno. Ini adalah metode operasi yang menjadi dasar dari banyak aksi petualangan politik tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan kata lain, mengaburkan fakta, bahwa CIA melakukan campur tangan (intervensi) dalam urusan negara-negara seperti Chili hanya setelah diperintahkan untuk melakukannya … Dalam banyak kasus, kami membuat program aksi sampai diri kita sendiri setelah kami telah mengumpulkan cukup intelijen untuk membuat mereka tampil diperlukan oleh situasi. Kegiatan kami di Indonesia pada 1957-1958 adalah salah satu contoh tersebut.
Ketika Duta Besar USA di Indonesia
menulis surat kepada Washington mengenai ketidaksetujuannya secara
eksplisit mengenai penanganan situas oleh CIA, Allen Dulles mendapatkan
saudaranya John Foster menunjuk seorang Duta Besar yang berbeda untuk
Indonesia, seseorang yang lebih menerima kegiatan CIA.
Selain kegiatan paramiliter, CIA mencoba
trik perang psikologis untuk mendiskreditkan Sukarno, seperti lewat
desas-desus bahwa ia (Sukarno) telah tergoda berselingkuh dengan seorang
pramugari Soviet. Untuk itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan Kantor
CIA, meminta Kepala Departemen Kepolisian Los Angeles untuk membantu
dengan proyek pembuatan film porno, yang CIA putuskan untuk digunakan
terhadap Sukarno, seolah-olah menampilkan Soekarno berperan porno. Orang
lain yang terlibat dalam upaya ini adalah Robert Maheu, dan Bing Crosby
dan saudaranya.
Badan Intelejen (Agency) berusaha untuk
menjaga rahasia partisipasi kudeta, akan tetapi salah satu “tentara
bayaran” menemui ketidakberuntungan di awal. Dia ditembak jatuh dan
ditangkap selama menjalankan pemboman, Allen Lawrence Pope membawa semua
jenis ID (Identity Card) pada dirinya yang menunjukkan bahwa ia adalah
seorang agen CIA. Pemerintah AS, sampai ke Presiden Eisenhower, mencoba
menyangkal bahwa CIA sama sekali tidak terlibat kudeta, tetapi
tersingkapnya AL Pope mengolok-olok sangakalan ini. Tidak takut oleh
memicu, seperti Arbenz telah alami di Guatemala, Soekarno membariskan
pasukan yang setia kepadanya dan menghancurkan pemberontakan yang
dibantu CIA. Sebelum skandal Bay of Pigs (Teluk Babi), ini adalah operasi terbesar Agency gagal.
1959: Gunung Tembaga
Pada titik ini, Freeport Sulphur memasuki
gambaran Indonesia. Pada bulan Juli, 1959, Charles Wight, yang kemudian
jadi Presiden Freeport dan dilaporkan mengobarkan plot anti-Castro dan
terbang ke Kanada dan/atau Kuba dengan Clay Shaw (lihat Bagian I dari
artikel ini) – sibuk membela perusahaannya, melawan tuduhan Komite Senat
(House Committee), yang membayar berlebihan kepada Pemerintah untuk
proses pengolahan bijih nikel di pabrik milik pemerintah di Nicaro,
Kuba. Komite merekomendasikan agar Departemen Kehakiman harus
melanjutkan investigasi. Perusahaan Pertambangan Freeport Moa Bay baru
saja dibuka, dan masa depan di Kuba sudah tampak suram. Pada bulan
Agustus, 1959, Direktur Freeport dan insinyur tertinggi Forbes Wilson
bertemu dengan Jan van Gruisen, managing director dari Perusahaan
Kalimantan Timur (East Borneo Company), yang fokus di
pertambangan. Gruisen baru saja menemukan sebuah laporan yang berdebu
yang pertama dibuat pada 1936 mengenai sebuah gunung yang disebut
“Ertsberg” (“Gunung Tembaga”) di Papua Nugini Belanda, yang ditulis oleh
Jean Jacques Dozy.Tersembunyi jauh selama bertahun-tahun di
perpustakaan Belanda selama serangan Nazi, laporan itu baru saja muncul
kembali. Dozy melaporkan adanya gunung penuh dengan bijih tembaga. Jika
benar, ini bisa membenarkan upaya diversifikasi baru Freeport ke
pertambangan tembaga. Wilson mengirim berita kabel markas Freeport New
York meminta izin dan uang untuk melakukan upaya eksplorasi bersama
dengan East Borneo Company (Perusahaan Kalimantan Timur). Kontrak
tersebut ditandatangani 1 Februari 1960.
Dengan bantuan panduan penduduk asli,
Wilson menghabiskan beberapa bulan berikutnya di tengah penduduk pribumi
yang dekat dengan kehidupan Zaman Batu, melalui perjalanan di daerah
yang hampir tak dapat dilewati ke Ertsberg. Wilson menulis sebuah buku
tentang perjalanan ini, berjudul The Conquest of Copper Mountain. Ketika ia akhirnya tiba, ia sangat senang pada apa yang ia temukan:
Suatu derajat yang sangat tinggi dari
mineralisasi … The Ertsberg ternyatamengandung 40% sampai 50% besi dan
tembaga … 3% … Tiga persen cukup kaya untuk deposit tembaga … Ertsberg
ini juga mengandung sejumlah tertentu perak bahkan lebih dan emas.
Dia mengirim pesan kabel kembali dalam
kode yang telah diatur ulang sebelumnya untuk dapat segera diterima
Presiden Freeport, Bob Hills di New York:
… Tiga belas hektar bebatuan di atas
tanah 14 hektar masing-masing pengambilan sampel pada kedalaman 100
meter, memunculkan warna progresif di antara warna tampak gelap egress
tangguh, semua tangan juga sebaik saran Sextant.
“Tiga belas hektar” berarti 13 juta ton bijih di atas tanah. ”Warna tampak gelap” berarti bahwa derajat bijih ore sangatlah baik. ”Sextant”
adalah kode untuk Perusahaan Kalimantan Timur. Ekspedisi sudah berakhir
pada bulan Juli 1960. Dewan Freeport tidak ingin melangkah ke depan
dengan usaha baru dan diduga berbiaya mahal pada usaha pengambilalihan
fasilitas tambang mereka di Kuba. Tapi dewan memutuskan untuk setidaknya
menekan maju dengan tahapan eksplorasi berikutnya: penyelidikan lebih
rinci sampel bijih dan potensi komersial. Wilson menggambarkan hasil
dari upaya ini:
Konsultan pertambangan mengkonfirmasi
perkiraan kami dari 13 juta ton bijih di atas tanah dan 14 juta lain di
bawah tanah untuk setiap 100 meter kedalaman. Konsultan lain
memperkirakan bahwa biaya pabrik untuk memproses 5.000 ton bijih per
hari akan menjadi sekitar $ 60 juta dan biaya produksi tembaga akan
menjadi 16,5 pound setelah kredit untuk sejumlah kecil emas dan perak
yang terkait dengan tembaga. Pada saat itu, penjualan tembaga di pasar
dunia adalah sekitar 35,5 untuk satu pound. Dari data ini, departemen
keuangan Freeport menghitung bahwa perusahaan dapat memulihkan investasi
(kembali modal) dalam tiga tahun dan kemudian mulai mendapatkan
keuntungan yang menarik.
Operasi terbukti secara teknis sulit,
yang melibatkan helikopter yang baru ditemukan dan mata bor
berlian. Situasi rumit adalah pecahnya perang dekat antara Belanda, yang
masih menduduki Irian Barat, dan Tentara Indonesia Sukarno yang
mendarat di sana untuk merebut kembali tanah sebagai milik
mereka. Bahkan pertempuran pecah di dekat jalan akses ke usaha
Freeport. Pada pertengahan tahun 1961, insinyur Freeport sangat merasa
bahwa proyek harus dikejar. Tapi saat itu, John F. Kennedy telah
mengambil alih kantor Presiden. Dan ia mengejar tentu saja jauh berbeda
dari pemerintahan sebelumnya.
Kennedy dan Soekarno
“Jangan heran Soekarno seperti
begiitu tidak menyukai kita. Dia harus duduk bersama dengan orang-orang
yang mencoba menggulingkan dia “-. Presiden Kennedy, 1961
Sampai saat Kennedy, terutama bantuan
yang ditawarkan ke Indonesia dari negara ini kebanyakan datang dalam
bentuk dukungan militer. Kennedy ide lain. Setelah pertemuan dengan
Sukarno 1961 yang positif di Amerika Serikat, Kennedy menunjuk tim
ekonom untuk mempelajari cara bahwa bantuan ekonomi dapat membantu
Indonesia mengembangkan cara-cara yang konstruktif. Kennedy memahami
bahwa Sukarno mengambil bantuan dan senjata dari Soviet dan Cina karena
dia membutuhkan bantuan, bukan karena ia ingin jatuh di bawah kekuasaan
komunis. Bantuan Amerika akan mencegah Sukarno dari menjadi tergantung
pada pasokan Komunis. Dan Sukarno sudah meletakkan pemberontakan komunis
pada tahun 1948. Bahkan Departemen Luar Negeri di Amerika Serikat
mengakui bahwa Sukarno lebih nasionalis daripada komunis.
Namun masalah yang mendesak selama jangka
pendek Kennedy adalah masalah Irian Barat. Belanda telah mengambil
sikap yang lebih agresif, dan Sukarno telah menyiapkan pasukan militer
untuk melawannya. Amerika, sebagai sekutu untuk keduanya, terjebak di
posisi tengah. Kennedy meminta Ellsworth Bunker untuk mencoba untuk
menengahi kesepakatan antara pemerintah Belanda dan Indonesia. ”Peran mediator,” kata Kennedy,
“bukan sesuatu yang menyenangkan,
kami siap untuk membuat semua orang marah dan gila, jika itu membuat
beberapa kemajuan buat kita.”
Hal itu membuat semua orang gila. Tapi
itu membuat kemajuan. Pada akhirnya, Amerika Serikat menekan Belanda di
belakang layar untuk menyerah kepada Indonesia. Bobby Kennedy terdaftar
dalam upaya ini, mengunjungi keduanya, Sukarno di Indonesia dan Belanda
di Den Haag. Kata Roger Hilsman di buku To Move a Nation :
Soekarno mengenali di dalam diri
Robert Kennedy integritas dan loyalitas tangguh yang sama, yang telah
dia lihat pada saudaranya: Presiden, dikombinasikan dengan pemahaman
yang benar tentang apa nasionalisme baru yang benar-benar disadari
semua.
Jadi dengan tawaran awal yang telah
dibuat untuk Soekarno dan Den Haag, Bunker mengambil alih seluk beluk
masing-masing pihak untuk dapat berbicara satu sama lain. Belanda, tidak
mau mengakui sisa-sisa terakhir dari kerajaan mereka yang besar sekali
kepada musuh mereka, bukan menekan Irian Barat untuk menjadi sebuah
negara yang merdeka. Tapi Sukarno tahu itu simbol untuk rakyatnya meraih
kemerdekaan final dari Belanda. Dan semua orang tahu bahwa dari
penduduk asli Papua tidak ada harapan apapun membentuk pemerintahan yang
berfungsi, hanya memiliki harapan telah didorong dari kehidupan
primitif ke dunia modern. PBB memilih untuk menyerahkan Irian Barat
sepenuhnya kepada Indonesia, dengan ketentuan bahwa, tahun 1969, rakyat
Irian Barat akan diberikan kesempatan untuk memilih apakah akan tetap
dengan atau memisahkan diri dari Indonesia. Kennedy menangkap momen itu,
menerbitkan Nota Keamanan Aksi Nasional (NSAM) 179, tanggal 16 Agustus
1962:
Dengan penyelesaian damai sengketa,
Irian Barat sekarang punya prospek, saya ingin melihat kami memanfaatkan
peran AS dalam mempromosikan penyelesaian ini untuk bergerak menuju
hubungan baru dan lebih baik dengan Indonesia. Aku mengumpulkan bahwa
dengan masalah ini diselesaikan orang Indonesia juga ingin bergerak ke
arah ini dan akan menyajikan kita dengan banyak permintaan.
Untuk merebut kesempatan ini, akankah
semua instansi terkait disilakan membaca program mereka untuk Indonesia
dan menilai tindakan lebih lanjut apa yang mungkin berguna. Ada di benak
saya kemungkinan perluasan civic action, bantuan militer, dan
stabilisasi ekonomi dan program pengembangan serta inisiatif diplomatik.
Roger Hilsman mengelaborasi apa yang dimaksud dengan Kennedy civic action: ” merehabilitasi kanal, pengeringan rawa untuk membuat sawah baru, membangun jembatan dan jalan, dan sebagainya.”
Freeport dan Irian Barat
Bantuan Kennedy dalam kedaulatan
Indonesia atas makelar Irian Barat hanya bisa datang sebagai pukulan ke
papan Freeport Sulphur itu. Freeport sudah memiliki hubungan positif
dengan Belanda, yang telah resmi misi eksplorasi awal di sana. Selama
periode negosiasi, Freeport mendekati PBB, tetapi PBB mengatakan
Freeport harus mendiskusikan rencana mereka dengan pejabat
Indonesia. Ketika Freeport pergi ke Kedutaan Indonesia di Washington,
mereka tidak mendapat tanggapan.
Keluhan Forbes Wilson:
Tidak lama setelah Indonesia memperoleh
kendali atas Irian Barat pada tahun 1963, kemudian Presiden Soekarno,
yang telah mengkonsolidasikan kekuasaan eksekutif-nya, membuat
serangkaian langkah yang akan membuat putus asa, bahkan buat investor
Barat yang bersemangat paling prospekti. Dia mengambil alih hampir
semua investasi asing di Indonesia. Ia memerintahkan agen-agen Amerika,
termasuk Agen Pembangunan Internasional, untuk meninggalkan negara
itu. Dia menanam hubungan dekat dengan Cina Komunis dan Partai Komunis
Indonesia dengan, yang dikenal sebagai PKI.
1962 telah menjadi tahun yang sulit bagi
Freeport. Mereka berada di bawah serangan terhadap isu
penimbunan. Freeport masih belum pulih dari memiliki fasilitas yang
menguntungkan mereka disita di Kuba. Dan sekarang mereka duduk, menatap
kekayaan potensial di Indonesia. Tapi dengan Kennedy memberikan dukungan
diam-diam untuk Soekarno, harapan mereka tampak suram.
Berbaliknya Nasib
Kennedy ingin meningkatkan paket bantuan
untuk Indonesia, menawarkan $ 11 juta. Selain itu, ia merencanakan
sebuah kunjungan pribadi ada pada tahun 1964 awal. Sementara Kennedy
mencoba untuk mendukung Sukarno, kekuatan lain ada yang melawan usaha
mereka. Perbedaan pendapat publik di Senat bergolak apakah terus
membantu Indonesia sementara Partai Komunis di Indonesia tetap
kuat. Kennedy bertahan. Dia menyetujui paket bantuan khusus pada 19
November 1963. Tiga hari kemudian, Sukarno kehilangan sekutu terbaik di
Barat. Kenedy mati terbunuh. Tak lama, ia akan kehilangan paket bantuan
juga.
Soekarno sangat terguncang oleh berita
kematian Kennedy. Padahal Bobby Kennedy awalnya membuat rencana
perjalanan Presiden Jhon F Kennedy ke Indonesia dilakukan pada Januari,
1964. Cindy Adams bertanya Soekarno apa yang dia pikirkan tentang Bobby,
dan mendapat lebih dari yang dia minta:
Wajah Sukarno menyala. ”Bob adalah sangat hangat. Dia seperti kakaknya. Aku mencintai kakaknya. Dia mengerti saya. Aku telah merancang dan membangun sebuah rumah tamu khusus di taman istana untuk John F. Kennedy, yang berjanji padaku bahwa ia datang ke sini dan menjadi Presiden Amerika pertama yang melakukan kunjungan kenegaraan ke negara ini “Dia terdiam.. ”Sekarang dia tidak akan datang.”Sukarno sangat berkeringat. Ia berulang kali mengusap alisnya dan dada. ”Katakan padaku, mengapa mereka membunuh Kennedy?”
Soekarno mencatat dengan ironis bahwa
persis pada hari Kennedy dibunuh, Kepala Pengawalnya berada di
Washington untuk belajar bagaimana melindungi presiden. Melihat ke masa
depan, ia tidak optimis:
Aku tahu Johnson … Aku bertemu dengannya ketika saya dengan Presiden Kennedy di Washington. Tapi aku bertanya-tanya apakah dia hangat seperti Yohanes. Aku ingin tahu apakah dia akan seperti Sukarno sebagai John Kennedy, teman saya, tidak.
LBJ dan Indonesia
Seperti yang orang lain telah catat,
kebijakan luar negeri (USA) berubah dengan cepat setelah kematian
Kennedy. Donald Gibson mengatakan dalam bukunya Battling Wall Street: “Dalam Kebijakan Luar negeri perubahan terjadi sangat cepat, dan sangat dramatis.” Gibson
menguraikan lima perubahan jangka pendek dan beberapa perubahan jangka
panjang yang mulai berlaku setelah kematian Kennedy. Salah satu
perubahan jangka tiba-tiba, adalah pembatalan paket bantuan untuk
Indonesia yang sudah disetujui Kennedy. Hilsman juga membuat peryataan
tentang poin ini:
Salah satu helai kertas pertama yang datang di meja Presiden Johnson adalah tekad presiden … di mana Presiden harus menyatakan bahwa bahkan bantuan ekonomi terus [ke Indonesia] adalah penting bagi kepentingan nasional (Amerika). Karena setiap orang di lini itu tahu bahwa Presiden Kennedy akan menandatangani tekad secara rutin, kami semua terkejut ketika Presiden Johnson menolak.
Seseorang di Freeport sangat senang
dengan perilaku Johnson sehingga ia mendukung dijalankannya presidensial
pada tahun 1964: Augustus C. “Gus” Long.
C. “Gus” Long, telah menjadi Pemimpin di
Texas Company (Texaco) selama bertahun-tahun. Pada tahun 1964, ia dan
sekelompok konservatif lain, sebagian besar mogul bisnis Republikan,
bergabung bersama untuk mendukung Johnson mengenai Goldwater. Kelompok
ini, yang menyebut diri mereka Komite Independen Nasional untuk Johnson,
termasuk orang-orang seperti Thomas Lamont, Edgar Kaiser dari Kaiser
Aluminium, Robert Lehman Lehman Brothers, Thomas Cabot dari Cabot
Corporation dari Boston, dan tokoh-tokoh terkemuka lain dari dunia
bisnis.
Long memiliki dua kaki keributan di
Indonesia -satu untuk Freeport, satu untuk Texaco.Pada tahun 1961,
Caltex-bersama-sama dimiliki oleh Standard Oil of California (Socal) dan
Texas Company (Texaco) – adalah salah satu dari tiga perusahaan minyak
besar di Indonesia yang dipaksa untuk beroperasi di bawah kontrak baru
dengan pemerintah Sukarno. Menurut ketentuan baru, 60% dari seluruh
keuntungan harus diberikan kepada pemerintah Indonesia. Jadi dia punya
dua alasan untuk khawatir dengan dukungan Kennedy terhadap brand
nasionalisme Sukarno, yang mengancam kepentingan kedua perusahaan di
mana ia memiliki saham substansial.
Dalam Bagian I, kami menyebutkan bahwa
Long telah melakukan “pekerjaan sukarela yang luar biasa” untuk
Presbyterian Hospital di New York, dikatakan oleh seorang mantan
karyawan perusahaan Public Relation mereka, Mullen Company, untuk
menjadi “sarang kegiatan CIA.” Sekarang kita tambahkan bahwa Long
terpilih menjadi Presiden dari Rumah Sakit Presbyterian dua tahun
berjalan, 1961 dan 1962. Pada tahun 1964, Long pensiun perannya sebagai
Ketua Texaco. Dia akan kembali sebagai Ketua pada tahun 1970. Apa yang
dia lakukan untuk sementara?
Pada bulan Maret tahun 1965, Long terpilih sebagai direktur Chemical Bank, perusahaan lain yang dikendalikan Rockefeller.
Pada bulan Agustus tahun 1965, Long
diangkat menjadi Dewan Penasehat Presiden urusan Intelijen Luar Negeri,
di mana ia akan menyetujui dan menyarankan kegiatan rahasia.
Pada bulan Oktober 1965, kegiatan rahasia intelejen Amerika mengakhiri nasib Sukarno.
1965: Tahun Vivere Pericoloso (Tahun Kehidupan yang Berbahaya)
Setelah kematian Kennedy, Sukarno menjadi
tumbuh semakin agresif terhadap Barat. Inggris sedang sibuk membentuk
sebuah negara baru mantan mitra dagang Indonesia: Malaya dan Singapura,
yang disebut Malaysia. Karena daerah itu termasuk wilayah dari mana CIA
telah meluncurkan beberapa kegiatan-kegiatan “Malaysia.” tahun 1958,
Sukarno benar-benar prihatin dengan apa yang ia rasakan berupa
pengetatan jerat buat Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1965, Soekarno
mengancam untuk menarik Indonesia keluar dari PBB jika Negara Malaysia
ini diakui. Dan itu dia lakukan, menjadikan Indonesia sebagai negara
pertama yang keluar dari PBB. Menanggapi tekanan AS terhadap Sukarno
untuk mendukung Malaysia, dia berteriak, “Persetan dengan bantuan Anda.”
Dia membangun pasukannya di sepanjang perbatasan Malaysia . Malaysia,
takut invasi, meminta PBB untuk dukungan.
Pada Februari, Sukarno bisa melihat tulisan di dinding:
JAKARTA, Indonesia, Feb 23 (UPI)-Presiden
Sukarno menyatakan saat ini bahwa Indonesia tidak mampu lagi membiarkan
kebebasan pers. Dia memerintahkan pelarangan koran anti-Komunis. …
“Saya memiliki informasi rahasia yang
mengungkapkan bahwa CIA itu menggunakan Badan untuk Promosi
Sukarnoisme untuk membunuh Sukarnoisme dan Sukarno, “katanya. ”Itulah
mengapa saya melarang itu.” (New York Times, 2/24/65)
Negara itu berantakan. demonstrasi
Anti-Amerika sering terjadi. Indonesia keluar dari Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Pers melaporkan bahwa Sukarno
bergerak lebih dekat ke Cina dan Soviet. Soekarno mengancam akan
menasionalisasi properti AS yang tersisa., karena telah diambil alih,
misalnya, salah satu operasi Amerika terbesar di Indonesia, pabrik ban
Goodyear Tire dan Rubber Company. Dan kemudian, dalam sebuah langkah tak
terduga, Singapura memisahkan diri dari Malaysia, melemahnya negara
yang baru terbentuk berbatasan dengan Indonesia.
Dengan kepentingan uang Amerika yang
terancam, semua “iming-iming wortel yang biasa” berupa bantuan asing
didorong, tidak memanfaatkan melalui IMF atau Bank Dunia, dan Freeport
Gus Long Intelijen Luar Negeri Dewan Presiden Penasehat, itu hanya
masalah waktu, dan tidak banyak, pada saat itu.
1 Oktober 1965: Kudeta ATAU COUNTER-KUDETA?
INDONESIA MENGATAKAN PLOT UNTUK
MENGGULINGKAN SOEKARNO DIGAGALKAN OLEH KEPALA TENTARA; PERTARUNGAN
KEKUASAAN DIPERCAYA BERLANJUT.
KUALA LUMPUR, Malaysia. 1
Oktober-Sebuah usaha untuk menggulingkan Presiden Sukarno malam
digagalkan oleh satuan-satuan tentara yang setia kepada Jenderal Abdul
Haris Nasution, radio Indonesia mengumumkan. …
Di Washington, juru bicara Departemen
Luar Negeri mengatakan hari Jumat bahwa situasi di Indonesia adalah
“sangat membingungkan.” Kata Robert J. McCloskey dalam sebuah konferensi
pers Departemen Luar Negeri telah mendapatkan laporan dari Kedutaan
Besar Amerika di Jakarta, tetapi “saat ini tidak mungkin untuk
upaya evaluasi apapun, penjelasan, atau komentar. “
Akhir kemarin, sebuah kelompok misterius yang menamakan dirinya Gerakan 30 September menguasai Jakarta.
Kolonel Untung, yang telah
mengumumkan melalui radio Indonesia bahwa ia adalah pemimpin gerakan
itu, mengatakan kelompok itu merebut kekuasaan Pemerintah untuk mencegah
kudeta “kontrarevolusi” oleh Dewan Jenderal. (New York Times,
10/2-3/65, International Edition)
Dalam keanehan, bergerak berbelit-belit,
sekelompok pemimpin militer muda membunuh sekelompok (jendral) tua, para
pemimpin moderat yang, menurut klaim mereka, akan melakukan tahap
kudeta, dengan bantuan CIA, terhadap Sukarno. Namun apa yang terjadi di
Indonesia ini setelah berubah menjadi salah satu mimpi buruk paling
berdarah di dunia yang pernah dilihat. Kontra-kudeta yang asli Ini
dicap upaya kudeta sebagai gantinya, dan dilukiskan mungkin sebagai
Merah terang. Kemudian, dalam kemarahan tersamar, bahwa otoritas Sukarno
telah terancam, Nasution bergabung dengan Jenderal Soeharto untuk
menggulingkan “Pemberontak”. Apa yang dimulai seolah-olah untuk
melindungi otoritas Sukarno yang berakhir dengan pelucutan Sukarno
sepenuhnya. Setelah ini terlalu ngeri untuk menggambarkannya dalam
beberapa kata. Angka korban bervariasi, tetapi konsensus pada kisaran
200.000 sampai lebih dari 500.000 orang tewas pada peristiwa
“kontra-kudeta” ini. Siapapun yang pernah memiliki hubungan dengan
Komunis PKI ditargetkan untuk dimusnahkan. Bahkan majalah Time
memberikan satu deskripsi akurat tanda apa yang terjadi:
Menurut perhitungan yang dibawa
keluar dari Indonesia oleh diplomat Barat dan wisatawan independen,
orang Komunis, simpatisan Merah dan keluarga mereka sedang dibantai oleh
ribuan orang. Unit tentara infanteri (Backland) dilaporkan telah
mengeksekusi ribuan komunis setelah interogasi di penjara-penjara desa
terpencil. … Berbekal pisau berbilah lebar disebut parang, sekelompok
Muslim merayap di malam hari ke dalam rumah Komunis, membunuh seluruh
keluarga dan mengubur mayat-mayat di kuburan dangkal. … Kampanye
pembunuhan menjadi begitu berani di bagian pedesaan Jawa Timur di mana
Kelompok Muslim menempatkan kepala korban di ujung tombak dan mengarak
mereka melalui desa-desa.
Pembunuhan massal sampai pada skala
tertentu sehingga pembuangan mayat telah menciptakan masalah sanitasi
yang serius di Jawa Timur dan Sumatra bagian utara, di mana udara lembab
berbau daging yang membusuk. Wisatawan dari daerah menceritakan tentang
sungai-sungai kecil yang telah benar-benar tersumbat dengan tubuh;
transportasi sungai di tempat yang telah terhambat.
Hari-hari selanjutnya, thumbnail sejarah
orang sering digambarkan aksi seperti ini: “Sebuah kudeta komunis yang
gagal pada tahun 1965 menyebabkan pengambilalihan anti-Komunis oleh
militer, di bawah pimpinan Jenderal Suharto.” (Sumber: The Concise Columbia Encyclopedia)
Tapi sebenarnya jauh lebih kompleks. Sebuah indikator persuasif untuk
ini terletak pada item berikut, dikutip dalam sebuah artikel yang luar
biasa yang ditulis oleh Peter Dale Scott yang diterbitkan dalam jurnal
Inggris Lobster (Fall, 1990). Scott mengutip seorang penulis yang
mengutip seorang peneliti yang, karena telah diberikan akses ke file
dari kementerian luar negeri di Pakistan, berlari di sebuah surat dari
seorang mantan duta besar yang melaporkan percakapan dengan seorang
perwira intelijen Belanda dengan NATO, yang mengatakan, menurut catatan
peneliti,
“Indonesia akan jatuh ke pangkuan
Barat seperti sebuah apel busuk.” Badan-badan intelijen Barat, kata dia,
akan mengorganisir sebuah kudeta “komunis prematur … [yang akan]
ditakdirkan untuk gagal, memberikan kesempatan yang sah dan selamat
datang kepada tentara untuk menghancurkan komunis dan membuat Soekarno
tawanan niat baik tentara.” Laporan duta. bertanggal Desember 1964.
Kemudian dalam artikel ini, kutipan dari buku Scott File CIA:
“Yang aku tahu,” kata salah seorang
mantan perwira intelijen dari peristiwa Indonesia, “adalah bahwa Agency
berguling di beberapa orang bagian atas (Top) dan bahwa hal-hal besar pecah dan sangat menguntungkan, sejauh yang kita peduli.”
Ralph McGehee, seorang veteran agen CIA
selama 25-tahun, juga menyebut keterlibatan agensi dalam sebuah artikel,
sebagian masih disensor oleh CIA, yang diterbitkan dalam The Nation (April 11, 1981):
Untuk menyembunyikan perannya dalam
pembantaian orang-orang yang tidak bersalah, CIA, pada tahun 1968,
mengarang sebuah penjelasan palsu tentang apa yang terjadi (yang
kemudian diterbitkan oleh CIA sebagai sebuah buku, Indonesia-1965: The Coup That Backfired). Buku
tersebut adalah hanya studi tentang politik Indonesia yang pernah
dirilis kepada publik atas inisiatif CIA sendiri. Pada saat yang sama
CIA menulis buku, itu juga terdiri sebuah penelitian rahasia tentang apa
yang sebenarnya terjadi……. [Satu kalimat dihapus.] CIA sangat bangga
dengan suksesnya ….. [satu kata dihapus] dan direkomendasikan sebagai
model untuk operasi masa depan ………. [satu setengah kalimat dihapus].
Freeport Setelah Soekarno
Menurut Forbes Wilson, Freeport memiliki
semuanya tetapi mengingat harapan untuk mengembangkan penemuan yang
menakjubkan di Irian Barat. Tapi sementara sebagian pers dunia masih
berusaha untuk mengungkap informasi yang rumit tentang siapa yang
benar-benar berkuasa, Freeport tampaknya memiliki track sisi
dalam. Dalam esai yang disebutkan sebelumnya, Scott mengutip berita
kabel (delegasi AS untuk PBB) yang menyatakan bahwa Freeport Sulphur
telah mencapai “kesepakatan” pendahuluan dengan para pejabat Indonesia
mengenai Ertsberg pada bulan April 1965, sebelum ada perjanjian sah yang
bisa saja ada harapan di depan mata.
Secara resmi, Freeport tidak punya
rencana seperti itu sampai setelah peristiwa Oktober 1965. Tetapi bahkan
cerita resmi tampak aneh bagi Wilson. Pada awal November, hanya sebulan
setelah peristiwa Oktober, pimpinan Freeport untuk waktu yang lama,
Langbourne Williams, memanggil Direktur Wilson ke rumahnya, menanyakan
apakah waktunya kini telah datang untuk mengejar proyek mereka di Irian
Barat. Reaksi Wilson menyebut ini menarik:
Aku begitu kaget aku tidak tahu harus berkata apa.
Bagaimana Williams tahu, dengan begitu
cepat, bahwa rezim baru akan berkuasa? Soekarno masih Presiden, dan akan
tetap demikian secara resmi hingga tahun 1967. Hanya orang dalam yang
tahu dari awal bahwa hari-hari terakhir Sukarno bisa dihitung, dan
kekuasaannya melemah. Wilson menjelaskan bahwa Williams punya beberapa
“informasi pribadi yang menantang” dari “dua eksekutif Texaco”
Perusahaannya Long berhasil mempertahankan hubungan dekat dengan seorang
pejabat tinggi rezim Soekarno, Julius Tahija. Tahija ini yang menjadi
broker pertemuan antara Freeport dan Ibnu Sutowo, Menteri Pertambangan
dan Perminyakan. Majalah Fortune mengatakan ini tentang Sutowo (Juli
1973):
Sebagai presiden-direktur dari
[perusahaan minyak milik Pemerintah/negara] Pertamina, Letnan Jenderal
Ibnu Sutowo menerima gaji hanya $ 250 per bulan, tetapi kehidupannya
seperti pada skala pangeran Kerajaan. Dia bergerak di sekitar Jakarta
dengan mobil pribadinya Rolls-Royce Silver Cloud. Dia telah membangun
sebuah kompleks rumah-rumah beberapa keluarga yang begitu besar sehingga
para tamu di pesta pernikahan putrinya bisa mengikuti seluruh
pertunjukan hanya pada televisi sirkuit tertutup.
… Garis batas antara kegiatan publik
dan swasta Ibnu Sutowo akan tampak kabur di mata orang Barat.Restoran
Ramayana di New York [di Rockefeller Center, dalam catatan-penulis],
misalnya, telah didanai oleh eksekutif berbagai perusahaan minyak AS,
yang menempatkan lebih dari $ 500.000 untuk masuk ke semacam bisnis
terkenal berisiko. Agaknya para pendukungnya termotivasi setidaknya
sebagian oleh keinginan untuk diakui ramah dengan umum.
Tapi di luar ini penghargaan meragukan, sesuatu yang sedikit lain, juga terungkap:
Perusahaan minyak Sutowo yang masih
kecil itu memainkan bagian penting dalam mendanai operasi-operasi
penting [selama peristiwa Oktober 1965.]
Mengingat banyaknya bukti bahwa CIA
terlibat dalam operasi ini, tampaknya mungkin bahwa Ibnu Sutowo sama
bertindak sebagai penyalur untuk dana mereka.
Setelah jatuhnya Soekarno dari kekuasaan,
Sutowo membangun sebuah perjanjian baru yang memungkinkan
perusahaan-perusahaan minyak untuk menjaga persentase keuntungan secara
substansial lebih besar buat mereka. Dalam sebuah artikel berjudul “Oil and Nationalism Mix Beatifully in Indonesia” (Juli, 1973), Fortune melabel kesepakatan pasca-Sukarno sebagai sesuatu yang ”sangat menguntungkan bagi perusahaan minyak.”
Pada tahun 1967, saat Undang-Undang
Penanaman Modal Asing di Indonesia disahkan, kontrak Freeport adalah
yang pertama yang akan ditandatangani. Dengan Kennedy, Soekarno, dan
setiap dukungan yang layak untuk nasionalisme Indonesia yang keluar dari
jalanan, Freeport mulai beroperasi.
Pada tahun 1969, pemungutan suara
diamanatkan kepada Kennedy oleh perjanjian yang ditengahi PBB pada
pertanyaan apakah kemerdekaan Irian Barat telah jatuh tempo. Di bawah
intimidasi berat dan kehadiran viseral militer, Irian “memilih” untuk
tetap menjadi bagian dari Indonesia. Freeport menjadi jelas posisinya.
Koneksi The Bechtel
Gus Long, yang sering menjadi mitra
makan malam Steve Bechtel, Sr, pemilik dengan Direktur CIA, John McCone,
Bechtel-McCone di Los Angeles pada tahun tiga puluhan. McCone dan
Bechtel, Senior, membuat bundel laporan “Keluar dari Perang Dunia II”,
berpisah, dan mereka pergi melalui jalan tidak begitu terpisah. tulis
Laton McCartney di Friend in High Place: The Bechtel Story:
Pada tahun 1964 dan 1965, direktur CIA
John McCone dan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones Steve memberi
penjelasan kepada Bechtel Sr tentang situasi yang memburuk dengan cepat
di Indonesia. Bechtel, SoCal, Texaco … pernah berurusan luas di bagian
dunia dan prihatin karena Presiden Indonesia Soekarno telah
menasionalisasi kepentingan bisnis Amerika di sana. … Pada Oktober 1965,
Sukarno digulingkan, dalam kudeta yang didukung oleh sejumlah alumni
CIA, dan digantikan oleh Presiden Soeharto, yang terbukti jauh lebih
menerima kepentingan bisnis AS dibanding pendahulunya.
Bechtel tidaklah asing buat CIA. Bechtel
Sr telah menjadi anggota Charter dari CIA saluran Asia Foundation dari
awal sebagai gagasan Allen Dulles. Mantan Direktur CIA Richard Helms
sendiri bergabung dengan Bechtel, sebagai “konsultan internasional” pada
tahun 1978. Kata seorang mantan eksekutif, Bechtel:
sarat dengan muatan CIA …
Badan/Agency ini tidak perlu meminta mereka untuk menempatkan
agen-agennya di Freeport… Bechtel senang untuk membawa mereka dan
memberi mereka bantuan apa pun yang mereka butuhkan.
“Teman tertua dan terdekat di industri
minyak” Bechtel Sr: Gus Long, punya masalah. Proyek Freeport ternyata
jauh lebih sulit daripada yang mereka telah ramalkan, dan mereka
membutuhkan bantuan dari luar. Jalan pegunungan ke “gunung tembaga”
memjadikan ekstraksi hampir mustahil. Freeport mempekerjakan Bechtel
untuk membantu mereka membangun infrastruktur yang tepat untuk mengubah
mimpi mereka menjadi kenyataan.
Bechtel datang dengan ekstra. Freeport
membutuhkan pembiayaan tambahan untuk proyek mahal mereka di
Indonesia. Bechtel Sr telah mendapatkan dirinya ditunjuk menjadi komite
penasihat bank Ekspor-Impor (Exim) setelah periode bersahabat yang
panjang dan nyaman, hingga Presiden Bank Exim Henry Kearns. Freeport
tidak senang dengan kurangnya kemajuan dan biaya operasi Bechtel. Forbes
Wilson mengancam untuk menjatuhkan mereka dari proyek tersebut. Bechtel
Sr melompat, mengatakan ia akan membuat prioritas atas proyek
Bechtel. Dia juga menjamin mereka $ 20 juta pinjaman dari bank
Exim. Ketika insinyur bank Exim tidak berpikir bahwa proyek Freeport
tampaknya cukup komersial dan tidak akan menyetujui pinjaman mereka,
Bechtel Sr memanggil Kearns, dan pinjaman cair melampaui keberatan
insinyur bank. Tiga tahun kemudian, Kearns ingin mengundurkan diri dari
bank ketika terungkap bank telah memberikan pinjaman yang terlalu
dermawan untuk beberapa proyek di mana Kearns secara pribadi
berinvestasi. Meskipun Senator Proxmire menyebutnya sebagai “konflik
kepentingan terburuk” yang pernah dia lihat selama tujuh belas tahun di
Senat, Departemen Kehakiman menolak untuk mengadili. Proxmire berkata:
Akan muncul pada jutaan warga Amerika
fakta bahwa ada standar ganda dalam penerapan hukum, satu untuk warga
negara biasa dan yang lain cukup untuk mereka yang memegang posisi
tinggi di pemerintahan dan membuat ribuan dolar untuk keuntungan pribadi
sebagai hasil dari tindakan resmi pemerintah.
Bechtel membantah tuduhan dari mantan
karyawanya yang telah menyebarkab lebih dari $ 3 juta dalam bentuk tunai
di seluruh Indonesia di awal 70-an.
Penyesalan selalu Terlambat
Tragedi pembunuhan Kennedy terletak pada
warisan yang tertinggal setelah ketidakhadirannya. Tanpa dukungannya
itu, bayi Indonesia melangkah menuju kenyataan, kemerdekaan ekonomi
hancur. Soekarno, memang bukan orang suci dan banyak masalah, namun ia
tetap berusaha untuk memastikan bahwa transaksi bisnis Negara Indonesia
dengan orang asing harus meninggalkan beberapa manfaat bagi orang
Indonesia. Soeharto, dalam kontras yang mengerikan, malah memungkinkan
orang asing untuk memperkosa dan menjarah Indonesia untuk keuntungan
pribadi mereka, dengan gaya hidup mewah dan kebanggaan, merampok sumber
daya berharga yang tak tergantikan milik Indonesia. Cindy Adams yang
menulis buku tentang pengalamannya dengan Sukarno, yang menyebut My Friend the Dictator. Jika Sukarno disebut diktator, apa istilah ada untuk Soeharto?
Pertambangan Grasberg Freeport di
Indonesia adalah salah satu dari cadangan tembaga dan emas terbesar di
dunia. Tetapi perusahaan yang berbasis di Amerika itu memiliki 82% saham
keuntungan perusahaaan, sementara pemerintah Indonesia dan perusahaan
swasta Indonesia hannya berbagi sedikit persen yang tersisa.
Seberapa besar Freeport membawa pengaruh
di Indonesia? Dapatkah mereka benar-benar mengatakan bahwa mereka
memiliki kepentingan terbaik Indonesia di hati?
Kissinger dan Timor Timur
Pada tahun 1975, tambang Freeport
berproduksi dengan baik dan sangat menguntungkan. Direktur Freeport Masa
Depan dan pelobi Henry Kissinger dan Presiden dan mantan anggota Komisi
Warren Gerald Ford terbang keluar dari Jakarta setelah Pemerintah
Indonesia di bawah Soeharto memberi pejabat Departemen Luar Negeri
“kedipan besar.” Soeharto kemudian digambarkan sebagai menggunakan
militer Indonesia untuk mengambil alih wilayah Timor Timur Portugis,
diikuti dengan pembantaian massal yang menyaingi pertumpahan darah 1965.
Kata seorang mantan perwira operasi CIA yang ditempatkan di sana pada waktu itu, Philip C. Liechty:
Soeharto diberi lampu hijau [oleh AS]
untuk melakukan apa yang dia lakukan. Ada diskusi di kedutaan dan di
lalu lintas perjalanan dengan Departemen Luar Negeri tentang masalah
yang akan dibuat bagi kita jika publik dan Kongres menyadari tingkat
dan jenis bantuan militer yang akan diberikan ke Indonesia pada waktu
itu. … Tanpa dukungan logistik besar-besaran militer AS di Indonesia
mungkin belum mampu menarik jika off.
Pada tahun 1980, Freeport bergabung
dengan perusahaan eksplorasi minyak dan pengembangan McMoRan, yang
dipimpin oleh James “Jim Bob” Moffett. Dua “Mo” menjadi satu, dan
Moffett (“Mo” di McMoRan) akhirnya menjadi Presiden Freeport McMoran.
Teman di Tempat Tinggi
Pada tahun 1995, Freeport McMoRan berhasil melakukan spin off Freeport McMoRan Copper & Gold Inc menjadi sebuah entitas anak perusahaan yang terpisah. Para Overseas Private Investment Corporation (OPIC)
menulis kepada Freeport McMoRan Copper and Gold bahwa mereka
berencana untuk membatalkan asuransi investasi mereka berdasarkan
catatan buruk pengelolaan lingkungan mereka di proyek Irian mereka, yang
menyatakan bahawa Freeport telah “membahayakan suatu lingkungan secara
tidak masuk akal atau besar bagi kesehatan, atau bahaya bagi
keselamatan di Irian Jaya. “
Freeport masih tidak duduk di atas
pembatalan ini. Kissinger telah mengeksekusi upaya lobi utama (di mana
dia dibayar $ 400.000 setahun), pertemuan dengan pejabat di Departemen
Luar Negeri dan bekerja di lorong-lorong Capitol Hill. Sumber dekat
dengan masalah, menurut Robert Bryce dalam edisi terbaru dari Texas Observer, yang mengatakan Freeport mempekerjakan mantan direktur CIA James Woolsey dalam memerangi OPIC.
Freeport, sekarang berkantor pusat di New
Orleans, berhasil menjaga teman-temannya di tempat-tempat tinggi. Pada
tahun 1993, kepala lobi pro-Soeharto adalah Senator kongres dari
Louisiana, Bennett Johnson. Perwakilan Robert Livingston, dari
Louisiana, melakukan investasi di Freeport Copper and Gold, sementara
DPR memperdebatkan dan memilih HR 322-the Mineral Exploration and Development Act.. Dan
ketika Jeffery Shafer, salah satu direktur OPIC, baru-baru ini
dinominasikan untuk ditunjuk menjadi Undersecretary Nasional Urusan,
itu pol Louisiana lain, kali ini Senator John Breaux, yang memilih untuk
memblokir penunjukan sampai Shafer memberikan penjelasan tentang
pembatalan OPIC tentang asuransi Freeport. Jim Bob Moffett, kepala
Freeport McMoRan, terdaftar dalam survei online Mother Jones Online ‘”Mojo Wire Coin-Op Congres” sebagai yang tertinggi dari 400 orang yang memberikan uang paling banyak dalam kontribusi kampanye.
Tindakan buruk Freeport di luar negeri
bukan hanya pelacakan seseorang saja. Di Louisiana itu sendiri, Freeport
dan tiga perusahaan lain (dua Freeport di antaranya kemudian
diakuisisi) mengajukan petisi untuk pembebasan khusus untuk UU Air
Bersih (Clean Water Act) dalam rangka untuk membuang 25 trilyun
pon limbah beracun ke sungai Mississipp secara legal. Warga memprotes,
dan petisi Freeport ditolak. Freeport kemudian melobi untuk melemahkan
pembatasan dari Clean Water Act.
Warga Austin, Texas, telah berjuang untuk
memblokir rencana Freeport untuk pengembangan real estat yang akan
mmembuat busuk Barton Springs, sebuah taman air yang populer di alam
terbuka di sana.
Menurut sebuah artikel baru-baru dalam
Nation (Juli 31/August 7, 1995), Freeport adalah bagian dari Koalisi
Nasional Wetlands, sebuah kelompok yang menulis dengan banyak bahasa
mengenai tagihan yang dirancang untuk menghilangkan pengawasan daerah
lahan basah EPA, membebaskan mereka untuk eksploitasi sumber daya
alam. Koalisi yang sama juga telah melobi untuk melemahkan Endangered Species Act. The Nation mengungkap bahwa aksi politik komite Freeport sejak tahun 1983 telah membayar anggota kongres lebih dari $ 730.000.
Skandal di UT
Catatan Freeport telah menyebabkan
kegemparan di University of Texas di Austin baru-baru ini. Departemen
Geologi universitas, yang telah melakukan penelitian di bawah kontrak
untuk Freeport, baru-baru ini diberi $ 2 juta dolar oleh Jim Bob Moffett
untuk sebuah bangunan baru. Dewan Penasehat sekolah, William
Cunningham, ingin memberi nama gedung tersebut dengan nama Moffett,
temannya dan rekan kerjanya (Cunningham juga merupakan Direktur
Freeport). Banyak orang di kampus memprotes pembangunan gedung
ini. Profesor Antropologi Stephen Feld mengundurkan diri dari posisinya
di universitas karena masalah ini, ia mengatakan bahwa UT tak dapat lagi
diterima secara secara moral sebagai tempat bagi pegawai. Protes
terhadap konflik kepentingan Cunningham dalam melayani UT dan Freeport,
menyebabkan pengunduran diri Cunningham Desember lalu. Dia mengundurkan
diri sehari setelah Freeport mengancam akan menggugat tiga profesor
yang telah protes paling keras di Universitas.
Siap di Brink (Poised on The Brink)
Sementara kemenangan moral dipuji di Texas, teror yang nyata terus berlangsung di pabrik Freeport di Indonesia.
Pada bulan Maret 1996, persis ketika
terakhir masalah ini akan kami publikasi ke pers, kerusuhan pecah di
pabrik Freeport di Irian Jaya (nama saat ini Irian Barat). Ribuan orang
berbaris di jalan-jalan di sekitar pabrik Freeport, di mana militer
telah baru-baru ini Desember menangkap dan menyiksa orang-orang yang
protes dan tinggal di daerah pertambangan Freeport itu. Protes-protes
yang berakar dalam dari keinginan untuk kemerdekaan Papua, Amungme, dan
banyak penduduk asli Irian Jaya yang tidak pernah menjadi rakyat
Belanda, dan juga tidak pernah benar-benar Indonesia.
Ketika kita pergi untuk mencetak,
sumber-sumber Indonesia melaporkan bahwa militer telah mengambil alih
sejumlah stasiun Keamanan di sekitar tambang Freeport. ”Latihan Militer”
untuk mengintimidasi orang-orang yang Maret lalu buat kerusuhan di
Freeport, menyebabkan pabrik Freeport kehilangan dua hari kerja dan
jutaan dolar. Meskipun tidak ada jam malam telah disebut, orang
melaporkan takut keluar di malam hari.
Suku-suku Amungme asli, Papua, dan
lain-lain masih berharap untuk mempertahankan kemerdekaan dari apa yang
mereka lihat hanya sebagai bentuk baru kolonialisme: tunduk kepada
kepentingan Freeport. Menurut New York Times (4/4/96), Freeport adalah
investor terbesar di Indonesia.
Dengan dukungan Kennedy, Indonesia
memiliki kesempatan untuk kemandirian ekonomi yang nyata. Rakyat Irian
dijanjikan pemungutan suara nyata bagi pemerintahan sendiri. Tapi ketika
Kennedy dibunuh, sebuah kediktatoran militer terinstal dan dilengkapi
sehingga kepentingan bisnis seperti Freeport telah diberi prioritas
lebih tinggi daripada tuntutan penduduk asli yang sumber daya alamnya
masih sedang dijarah.
Kadang-kadang, apa yang tidak kita mengerti tentang berita hari ini adalah apa yang kita tidak tahu tentang pembunuhan Kennedy.
Referensi :
Peta Krisis Utang Indonesia
|
BARU-baru ini (Agustus 2013) Bank
Indonesia mengeluarkan laporan perkembangan utang luar negeri Indonesia.
Publikasi itu sangat menarik karena data yang tercantum di dalamnya dapat
memberikan dua manfaat.
Kedua manfaat tersebut adalah,
pertama, mengidentifikasikan warisan utang yang ditinggalkan oleh rezim SBY.
Kedua, memproyeksikan pilihan kebijakan, ke arah manakah ekonomi Indonesia akan
bergerak pasca-2014.
Interpretasi peta
Terdapat sejumlah interpretasi yang
dapat diberikan dari kumpulan data yang termuat dalam laporan itu. Pada
intinya, seluruh interpretasi itu akan menjadi warisan bagi siapa pun yang
memimpin Indonesia pada tahun 2014 yang akan datang.
Pertama, utang luar negeri Indonesia, baik itu utang pemerintah (termasuk bank sentral) maupun utang swasta, terus meningkat dalam satu dasawarsa terakhir. Jika pada tahun 2006 utang Indonesia 132,633 miliar dollar, pada tahun 2013 (tercatat hingga Juni) telah meningkat menjadi 257,980 miliar dollar AS. Ini berarti terdapat peningkatan hampir 94 persen. Jika penduduk Indonesia kini diperkirakan 240 juta jiwa, salah satu interpretasi yang dapat dilakukan adalah setiap warga Indonesia kini berutang sekitar 1.000 dollar AS.
Kedua, persentase peningkatan tertinggi terjadi di utang swasta. Jika pada 2006 utang swasta 56,813 miliar dollar AS, pada 2013 meningkat menjadi 133,988 miliar dollar AS. Ini berarti peningkatan 135,8 persen. Adapun utang pemerintah meningkat sekitar 63,5 persen. Jika pada 2006, utang pemerintah 75,820 miliar dollar AS, pada Juni 2013 tercatat 123,992 miliar dollar AS. Peningkatan drastis jumlah utang swasta ini setidaknya menyampaikan pesan bahwa pihak swasta telah menjadi pemetik manfaat utama dari kebijakan liberalisasi lalu lintas modal di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Ketiga, pihak swasta memiliki potensi gagal bayar (default) lebih besar dibandingkan pemerintah. Interpretasi seperti ini muncul dari besaran beban pembayaran utang dalam kategori jangka pendek. Jumlah utang Indonesia kategori jangka pendek—pelunasannya kurang dari setahun—per Juni 2013 adalah 46,678 miliar dollar AS. Adapun jumlah utang jangka panjang (lebih dari setahun) 211,302 miliar dollar AS. Dari besaran utang jangka pendek itu, persentase swasta 84,79 persen. Untuk utang jangka panjang, situasi sebaliknya terjadi. Persentase utang pemerintah jauh lebih besar daripada swasta. Utang jangka panjang pemerintah (termasuk utang BI) adalah 55,32 persen.
Keempat, hingga Desember 2013, kewajiban pihak swasta untuk pembayaran utang diperkirakan empat kali lebih besar daripada pemerintah. Untuk pemerintah, utang luar negeri jatuh tempo diperkirakan 5,591 miliar dollar AS, terdiri dari utang pokok 3,852 miliar dollar AS dan cicilan utang bunga 1,739 miliar dollar AS. Situasi berbeda terjadi untuk utang swasta. Jumlah jatuh tempo hingga Desember 2013 adalah 22,266 miliar dollar AS.
Kelima, setelah 2013, yaitu Januari-Juni 2014 kewajiban pembayaran utang pemerintah diperkirakan 2,647 miliar dollar AS dengan rincian utang pokok 1,586 miliar dollar AS dan cicilan bunga 1,060 miliar dollar AS. Adapun kewajiban pihak swasta untuk kurun waktu sama 9,808 miliar dollar AS. Ini berarti total kewajiban pembayaran utang luar negeri pihak swasta setahun ke depan (Juni 2013-Juni 2014) diperkirakan 32,034 miliar dollar AS. Jika kewajiban pembayaran utang pemerintah dengan kewajiban pembayaran utang swasta digabung, total yang harus dibayar hingga Desember 2014 40,272 miliar dollar AS.
Keenam, alokasi utang terbesar terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja terkecil. Persentase utang terbesar kini di sektor keuangan/persewaan dan jasa perusahaan. Jika pada 2006, persentasenya 25,5 persen, pada 2013 meningkat menjadi 43,1 persen. Peningkatan cukup cepat juga terjadi di pertambangan dari 4,3 persen menjadi 10,0 persen. Sektor yang mengalami penurunan utang luar negeri adalah industri manufaktur dari 15,7 persen menjadi 10,8 persen, infrastruktur untuk listrik, gas, dan air bersih dari 9,9 persen menjadi 8,1 persen, serta bangunan dari 7,9 persen menjadi 4,3 persen. Dari data ini, setidaknya bisa diinterpretasikan, utang luar negeri umumnya telah dialokasikan pada sektor-sektor yang daya serap tenaga kerjanya paling sedikit. Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 2,4 persen dari pekerja Indonesia, pertambangan 10,6 persen. Pertanian yang menyerap tenaga kerja terbesar (35,1 persen) hanya menerima 3,1 persen utang luar negeri.
Ketujuh, bagian terbesar dari utang luar negeri yang dibuat pihak swasta Indonesia saat ini bukan oleh institusi bank, melainkan oleh perusahaan keuangan nonbank dan perusahaan nonkeuangan. Dari utang swasta 133,988 miliar dollar AS per Juni 2013, porsi utang bank hanya 23,341 miliar dollar AS. Sisanya (110,647 miliar dollar AS) dimiliki bukan bank dengan komposisi 7,797 miliar dollar AS oleh lembaga keuangan nonbank dan 102,670 miliar dollar AS oleh perusahaan bukan lembaga keuangan. Dengan kata lain, posisi lembaga bank sejauh ini tampak tidak menjadi faktor yang dapat memicu krisis. Ini bukan berarti tidak terdapat sama sekali kemungkinan krisis di sektor perbankan. Karena bisa saja terdapat kaitan erat dari bisnis yang dijalankan bank dengan bisnis yang dijalankan oleh lembaga keuangan nonbank. Angka-angka ini hanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa kalau dilihat dari segi jumlah, bank kini bukan lagi peminjam terbesar dibandingkan dengan institusi keuangan nonbank.
Kedelapan, dilihat dari mata uangnya, jumlah utang Indonesia terbesar dalam dollar AS. Persentasenya mencapai 68 persen. Tahun 2006, persentasenya hanya 58,2 persen. Utang dalam bentuk rupiah juga meningkat dari 7,2 persen menjadi 13,3 persen. Utang dalam yen dan euro sebaliknya turun tajam, masing-masing dari 22,9 persen dan 8,2 persen menjadi 12,5 persen dan 2,5 persen. Komposisi utang seperti ini perlu dicermati dalam kaitannya dengan penguatan dan penurunan nilai tukar masing-masing mata uang itu. Peningkatan nilai tukar dollar AS terhadap seluruh mata uang tentu saja akan menambah beban pembayaran utang Indonesia karena jumlah rupiah yang dibutuhkan jauh lebih besar untuk membayar utang luar negeri dalam dollar AS itu. Strategi yang biasanya dipakai untuk mengatasi ketidakpastian nilai tukar ini adalah mendiversifikasikan cadangan devisa dalam beberapa mata uang.
Kesembilan, dilihat dari negara kreditornya, terdapat empat aktor negara pemberi utang terbesar, yakni AS, Belanda, Jepang, dan Singapura, dengan porsi lebih dari 50 persen. Jika sebelumnya (pada 2006) negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia adalah Jepang (24,8 persen), disusul Singapura (10,5 persen), AS (9,4 persen), dan Belanda (8,9 persen), kini pemberi utang terbesar Singapura (17,3 persen), disusul Jepang (14,2 persen), AS (13,9 persen), dan Belanda (5,2 persen). Data ini setidaknya menunjukkan bahwa Singapura dan AS kian memiliki peran dan pengaruh lebih besar terhadap dinamika dan stabilitas ekonomi Indonesia dibandingkan Jepang dan Singapura. Data ini juga unik karena walau secara perdagangan kita jadi lebih dekat dengan China, tetapi negeri yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia tidak memberikan utang yang signifikan bagi Indonesia.
Kesepuluh, jika dilihat dari lembaga kreditornya, terdapat tiga lembaga pemberi utang terbesar bagi Indonesia, yaitu Bank Dunia (IBRD) sekitar 4,0 persen, Bank Pembangunan Asia (ADB) 4,0 persen, dan IMF 1,1 persen. Ada dua catatan menarik dibandingkan data 2006. Pertama, persentase Bank Dunia dan ADB mengalami penurunan. Porsi masing-masing pada 2006 adalah 5,6 dan 7,2 persen. Kedua, Indonesia tidak tercatat memiliki utang kepada IMF pada 2006, dan baru muncul pada 2009 sebesar 3,093 miliar dollar AS. Saat ini (per Juni 2013) utang Indonesia kepada IMF 2,978 miliar dollar AS. Tidak ada penjelasan BI mengapa data utang IMF ini muncul pada waktu itu.
Skenario kebijakan
Jika kita merujuk pada krisis 1997,
salah satu indikator yang biasanya dapat digunakan untuk menilai potensi krisis
keuangan yang muncul dari beban pembayaran utang itu adalah dengan melihat
rasio antara utang jangka pendek dan besaran cadangan devisa. Pada krisis 1997,
rasio tercatat 170 persen. Jika rasio ini dipakai, situasi sekarang tentu saja
relatif aman. Rasionya jauh lebih rendah daripada 1997. Hingga Juni 2013 rasio
tercatat 55,7 persen dengan cadangan devisa saat ini di kisaran 98 miliar dollar
AS.
Namun, patokan rasio ini juga tidak
memberikan kepastian jaminan yang mutlak. Harus dicatat pula bahwa ketika
Malaysia juga terkena krisis pada 1997, rasio utang jangka pendek negara itu
terhadap cadangan devisanya hanya sekitar 60 persen. Karena itu, satu-satunya
yang bisa dikatakan adalah: ”lampu kuning” tampaknya tengah menyala.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang harus dilakukan pemerintah yang akan
datang untuk membuat ”lampu kuning” itu kembali menjadi ”lampu hijau”?
Ada dua skenario kebijakan yang
tersedia. Pertama, melakukan restrukturisasi utang jangka pendek. Opsi
kebijakan seperti ini tentu saja dapat membawa dampak psikologis negatif bagi
pasar tentang ketahanan ekonomi makro Indonesia. Opsi seperti ini juga dapat
membuat menurunnya pertumbuhan ekonomi makro Indonesia karena mengharuskan
adanya persyaratan cukup ketat dalam mengakses sumber pendanaan. Kedua,
memfokuskan kebijakan pada peningkatan cadangan devisa. Ini berarti menggenjot
ekspor dan mengurangi impor. Pilihan kebijakan ini juga tidak mudah.
Peningkatan ekspor dimungkinkan jika kondisi ekonomi global, terutama China,
membaik. Pengurangan impor, terutama impor energi, hanya dimungkinkan jika
terjadi liberalisasi harga satuan energi di pasar domestik. Pilihan kebijakan
apa pun yang diambil, seluruh kekuatan politik yang ikut dalam pemilu tahun
2014 harus dapat menawarkan opsi kebijakan apakah yang akan diambil untuk
mengatasi warisan suram (grim legacy)
dari beban utang yang telah dihasilkan pemerintah sekarang. ●
intelijen Indonesia sekarang hanya sebagai pengamat bukan operator sehingga tidak bisa melakukan operasi kontra intelijen.
sejak reformasi, sistem intelijen Indonesia diubah sedemikian rupa sehingga tidak bisa lagi melakukan kontra intelijen.
tapi ingat BIN bukan bekerja untuk presiden, bukan pula bekerja untuk legislatif maupun yudikatif tetapi untuk rakyat dan negara Indonesia.
menurut saya negara seperti amerika, israel dan australia sangat berkepentingan dengan masa depan Indonesia, karena menurut ketiga negara ini, Indonesia bisa menjadi ancaman bila negara ini bersatu.
jadi sekarang ini Indonesia selalu diobrak abrik dari segi intelijen.
sejak reformasi, sistem intelijen Indonesia diubah sedemikian rupa sehingga tidak bisa lagi melakukan kontra intelijen.
tapi ingat BIN bukan bekerja untuk presiden, bukan pula bekerja untuk legislatif maupun yudikatif tetapi untuk rakyat dan negara Indonesia.
menurut saya negara seperti amerika, israel dan australia sangat berkepentingan dengan masa depan Indonesia, karena menurut ketiga negara ini, Indonesia bisa menjadi ancaman bila negara ini bersatu.
jadi sekarang ini Indonesia selalu diobrak abrik dari segi intelijen.
https://www.facebook.com/IntelijenDanPertahanan?ref=stream&hc_location=timeline
eksplorasi emas di Freport Papua sejak 1972 sama dengan APBN Indonesia selama 362.500 Tahun
Kekayaan di Indonesia, yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk Pribumi tetapi malah oleh pihak asing, Pertama kita semua tahu mengenai PT Freeport di Papua, setiap tahun rata-rata Royalti PT Freeport untuk Indonesia hanya sekitar 1%. Jadi kalau setahun Freeport menghasilkan 1 Triliun, kita cuma dapat 10 M, kalau 1000 Triliun, kita cuma dapat 10 Triliun.
Tahun 1970, operasi tambang berskala penuh pun dimulai dan kemudian pengapalan ekspor pertama kosentrat tembaga berlangsung 1972. Diperkirakan, sejak beroperasi hingga 2010 Freeport sudah menyedot 7,3 juta ton tembaga dan sekitar 725 juta ton emas.Sekarang
1 gram emas = 500.000
1 Kg emas = 500 juta
1 Ton emas = 500 Miliar
1.000 Ton emas = 500 Triliun
1 Juta Ton emas = 500.000 Triliun
724 Juta ton emas = sekitar 362.500.000 Triliun
itu emas dan itu cuma di Papua, belum yang di Bima dan tempat lain.Kalau APBN Indonesia sekitar 1.000 Triliun tiap tahun,berarti itu sama dengan APBN Indonesia selama 362.500 Tahun.
Kata orang luar, Penduduk Indonesia orangnya ramah2..Mungkin benar juga ya.
Sebenarnya kita juga tidak bisa menyalahkan Pihak lain karena kita sendiri tidak mau menjadi pengusaha. Populasi pengusaha di Indonesia sekitar 0.24% kalah jauh dibanding Singapura yang 7%. yang lebih miris, di Indonesia mayoritas jadi pegawai dan yang “memperdagangkan” kekayaan alam Indonesia pihak asing dan kita cuma dapat Royalti 1% dan Pajak yang tidak seberapa. hal lain mengapa masalah tersebut dapat terjadi karena kita tidak mau mengeksplorasi kekayaan alam kita sendiri.
Freeport Indonesia Tambang Emas Terbesar di dunia
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua berada di urutan pertama tambang emas terbesar di dunia. Terbesar dalam luas area dan produksi per tahunnya. Seperti dikutip dari data terakhir Thompson Reuters dan Metals Economics Group yang dilansir CNBC, Senin (19/3/2012), tambang dengan luas 527.400 hektar itu pada tahun 2011 lalu sudah memproduksi emas sebanyak 1.444.000 ons atau 40.936 kg.
Tambang yang lokasinya dekat dengan pegunungan Jayawijaya itu berupa tambang terbuka dan bawah tanah. Saat ini, Freeport mengklaim jumlah cadangan emasnya sekitar 46,1 juta troy ounce. Sementara nilai cadangan emasnya sendiri diperkirakan mencapai Rp 423,9 triliun. Nilai cadangan itu didapat dengan menggunakan hitungan harga emas dari London spot metal prices selama 3 tahun terakhir, yaitu US$ 1,023 per troy onz, atau setara dengan Rp 296.670 per gram (US$ 1 = Rp 8.990 pada akhir 2010).
Pada hitungan detikFinance menggunakan acuan harga emas sekarang yang sudah menyentuh kisaran Rp 550.000 per gram, jumlah cadangan emas Freeport mencapai Rp 1.329 triliun. Sementara Freeport menggunakan harga emas rata-rata 3 tahun terakhir yang sebesar Rp 296.670 per gram.
Seperti diketahui Freeport memiliki batas kontrak eksploitasi tambang di Papua hingga 2021 dalam kontrak karya generasi kedua pada 1991. Mereka punya hak mendapatkan perpanjangan 2 kali 10 tahun atau totalnya hingga 2041.
Kekayaan di Indonesia, yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk Pribumi tetapi malah oleh pihak asing, Pertama kita semua tahu mengenai PT Freeport di Papua, setiap tahun rata-rata Royalti PT Freeport untuk Indonesia hanya sekitar 1%. Jadi kalau setahun Freeport menghasilkan 1 Triliun, kita cuma dapat 10 M, kalau 1000 Triliun, kita cuma dapat 10 Triliun.
Tahun 1970, operasi tambang berskala penuh pun dimulai dan kemudian pengapalan ekspor pertama kosentrat tembaga berlangsung 1972. Diperkirakan, sejak beroperasi hingga 2010 Freeport sudah menyedot 7,3 juta ton tembaga dan sekitar 725 juta ton emas.Sekarang
1 gram emas = 500.000
1 Kg emas = 500 juta
1 Ton emas = 500 Miliar
1.000 Ton emas = 500 Triliun
1 Juta Ton emas = 500.000 Triliun
724 Juta ton emas = sekitar 362.500.000 Triliun
itu emas dan itu cuma di Papua, belum yang di Bima dan tempat lain.Kalau APBN Indonesia sekitar 1.000 Triliun tiap tahun,berarti itu sama dengan APBN Indonesia selama 362.500 Tahun.
Kata orang luar, Penduduk Indonesia orangnya ramah2..Mungkin benar juga ya.
Sebenarnya kita juga tidak bisa menyalahkan Pihak lain karena kita sendiri tidak mau menjadi pengusaha. Populasi pengusaha di Indonesia sekitar 0.24% kalah jauh dibanding Singapura yang 7%. yang lebih miris, di Indonesia mayoritas jadi pegawai dan yang “memperdagangkan” kekayaan alam Indonesia pihak asing dan kita cuma dapat Royalti 1% dan Pajak yang tidak seberapa. hal lain mengapa masalah tersebut dapat terjadi karena kita tidak mau mengeksplorasi kekayaan alam kita sendiri.
Freeport Indonesia Tambang Emas Terbesar di dunia
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua berada di urutan pertama tambang emas terbesar di dunia. Terbesar dalam luas area dan produksi per tahunnya. Seperti dikutip dari data terakhir Thompson Reuters dan Metals Economics Group yang dilansir CNBC, Senin (19/3/2012), tambang dengan luas 527.400 hektar itu pada tahun 2011 lalu sudah memproduksi emas sebanyak 1.444.000 ons atau 40.936 kg.
Tambang yang lokasinya dekat dengan pegunungan Jayawijaya itu berupa tambang terbuka dan bawah tanah. Saat ini, Freeport mengklaim jumlah cadangan emasnya sekitar 46,1 juta troy ounce. Sementara nilai cadangan emasnya sendiri diperkirakan mencapai Rp 423,9 triliun. Nilai cadangan itu didapat dengan menggunakan hitungan harga emas dari London spot metal prices selama 3 tahun terakhir, yaitu US$ 1,023 per troy onz, atau setara dengan Rp 296.670 per gram (US$ 1 = Rp 8.990 pada akhir 2010).
Pada hitungan detikFinance menggunakan acuan harga emas sekarang yang sudah menyentuh kisaran Rp 550.000 per gram, jumlah cadangan emas Freeport mencapai Rp 1.329 triliun. Sementara Freeport menggunakan harga emas rata-rata 3 tahun terakhir yang sebesar Rp 296.670 per gram.
Seperti diketahui Freeport memiliki batas kontrak eksploitasi tambang di Papua hingga 2021 dalam kontrak karya generasi kedua pada 1991. Mereka punya hak mendapatkan perpanjangan 2 kali 10 tahun atau totalnya hingga 2041.
Menggali Urgensi Selat Sunda dalam Pertikaian Global dari Perspektif Geopolitik (Bag-2)
Antara Gulliver dan “Kekaisaran Militer”
Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit mengungkap isyarat, bahwa saat ini tengah berlangsung pergeseran situasi global (geopolitical shift) dari kawasan Heartland (Timur Tengah/Asia Tengah) menuju Laut Cina Selatan. Adapun indikator dan garis besar perpindahan geopolitik dapat dicermati dari data-data sebagai berikut:
1) Menurut Bo Yaozhi, peneliti dari Universitas Negeri Singapura, AS ingin mengalihkan titik berat militernya ke kawasan Asia Pasifik, menempatkan kekuatan militer di kawasan tersebut dan menebar jaringan yang lebih besar;
2) Dalam kunjungan Obama ke Australia terkait penempatan marinir di Darwin, ia berkata bahwa prioritas utama pemerintahan AS adalah Asia Pasifik, mengingat kawasan ini menentukan masa depan di abad XXI. Menteri Pertahanan (Menhan), Leon Panetta pun menebalkan dalam pertemuan puncak Keamanan Asia diselenggarakan International Institute of Strategic Studies di Singapura (Sabtu, 2/6), bahwa AS akan menempatkan 60% armada di Asia Pasifik. Hingga tahun 2020 nanti terus menambah armada dari pembagian yang semula 50-50 antara Pasifik dan Atlantik, akan menjadi 60-40 bagi kedua samudera;
3) Munculnya ketidakpastian situasi di Timur Tengah akibat terkendalanya Military Roadmap AS terutama dalam penaklukkan Syria dan Iran. Military Roadmap tersebut pernah dipaparkan oleh Jenderal Wesley Clark, mantan Komandan NATO di Pentagon (Prof Michel Cossudovsky, www.globalresearch.ca). Kendala tadi selain karena Bashar al Assad terus melawan, juga upaya Barat menerbitkan Resolusi PBB bagi Syria bolak-balik gagal. Ini diungkap oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Hillary Clinton sewaktu kunjungan ke Beijing (Selasa,4/8). Clinton menyatakan kecewa atas tindakan Rusia dan Cina memblokir resolusi Dewan Keamanan, tetapi dijawab oleh Menlu Cina, Yang Jiechi, bahwa sejarah akan menilai posisi Cina terkait krisis Suriah adalah (penanganan) tepat. Apa yang kita pikirkan adalah kepentingan rakyat Suriah dan kawasan; dan juga
4) Cina memperingatkan AS agar tidak terlibat jauh dalam sengketa di perairan Cina Selatan karena teritorial yang diperebutkan adalah sengketa regional antara Cina melawan Taiwan, Cina versus beberapa anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Brunei Darussalam;
5) Kuatnya pengaruh Cina di Asia Pasifik dan sekitarnya akibat “Kebijakan Panda” serta melebarnya String of Pearls (pola penguasaan perairan dari Laut Cina Selatan-Selat Malaka-Laut Arab-Teluk Persia dll) merupakan strategi Negeri Paman Mao di perairan via pembangunan pelabuhan-pelabuhan di negara-negara pesisir Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan. Bahkan India-Cina telah mengaktifkan kembali manuver militer bersama setelah terkendala sejak 2008 akibat friksi diplomatik. Tak ketinggalan adalah perambahan hegemoni melalui Kebijakan Panda (investasi/uang) terhadap negara-negara pulau di Lautan Pasifik yang selama ini dalam orbit dan kendali AS;
6) Suksesnya penyelenggaraan KTT GNB ke 16 diikuti lebih 100-an negara di Tehran ialah ujud riil kemenangan diplomasi Iran terhadap AS dan sekutunya karena selama ini Barat berupaya menggiring opini agar dunia memusuhi dan mengucilkan Iran;
7) Kunjungan mendadak Hillary Clinton ke beberapa negara peserta dan anggota APEC yang berujung dalam KTT APEC di Vladivostok, selain mencerminkan “kepanikan AS” ---meminjam istilah Hendrajit --- secara tersirat menyimpan urgen agenda di Asia Pasifik. Inti kunjungan ke Indonesia, selain berkomitmen mendukung kepemimpinan Indonesia dalam KTT APEC 2013 di Bali, AS juga “menegur” atas intoleransi terhadap minoritas, dan lain-lain.
Agaknya perubahan geopolitik di atas, dicermati secara menarik oleh Toni Cartalucci, peneliti senior di Central for Research Globalization (CRG), Kanada. Ia membuat analogi bahwa Cina ibarat Gulliver yang terdampar di Pulau Liliput. Ketika terbangun ia mendapati dirinya terjerat tali oleh (kaum liliput) orang-orang kecil di sekeliling.
Menafsir analog Cartalucci, sepertinya Paman Sam hendak menggunakan negara-negara (proxy) di sekeliling Cina yang tergabung pada blok supra-nasional (ASEAN) sebagai front untuk “memaksa” (tie down) supaya mengikuti aturan main dan cara yang sama. Dalam buku Perang Cina Kuno strategi itu disebut “membunuh dengan pisau pinjaman”. Atau kata mBah saya, nabok nyeleh tangan!
Dan tampaknya, tafsiran ini terbukti dengan dukungan serta anjuran Panetta kepada Menhan se-ASEAN agar “bertindak seragam” terkait sengketa di Laut Cina Selatan. Secara tersirat, anjuran Panetta bersifat provokatif sebab tie down dan tindakan seragam bisa dimaknai “silahkan keroyok Cina”. Tapi Cartalucci mengingatkan, skenario tersebut tidak akan sukses seperti kisah ‘Perjalanan Gulliver’, bahkan mungkin sebaliknya. Artinya justru Cina yang kelak membebaskan dirinya sendiri dari jeratan temali, lalu bangkit dan menginjak-injak bangsa liliput di sekitarnya!
Masih terkait pergeseran geopolitik, Pengamat Pertahanan dan Militer dari UI Connie Rahakundini juga memprakirakan bahwa 8 tahun ke depan, “peperangan” dalam rangka perebutan sumber daya alam (SDA) dan jalur perdagangan beralih ke kawasan ini. Abad XXI, kata Connie telah melahirkan “kekaisaran militer” AS yang ditetapkan Bush Jr pada 14 Januari 2004.
Lebih dari setengah juta tentara formal plus mata-mata yang terselimuti melalui jejaring lembaga donor, teknisi, guru, serta badan usaha sudah tersebar membentuk koloni di negara-negara lain. Bukan hanya di darat, ia juga mendominasi lautan hingga samudera. Paman Sam membangun kekuatan angkatan laut yang hebat dengan mencantumkan nama-nama pahlawan pada kapal induk, seperti: Kitty Hawk, Constellation, Enterprise, John F. Kennedy, Nimitz, Dwight D. Eisenhower, Carl Vinson, Theodore Roosevelt, Abraham Lincoln, George Washington, John C. Stennis, Harry S. Truman, Ronald Reagan dan lainnya. Pangkalan militer AS telah mencapai 1000-an lebih di dunia. Data resmi dari Departement of Defence dalam laporan struktur tahun fiskal 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di 130 negara. Jumlah itu belum termasuk 6.000 pangkalan di wilayahnya sendiri. Luar biasa!
Dalam perspektif hegemoni AS, setiap negara yang berpotensi menjadi pesaing mutlak harus dibendung dan dilemahkan. Dibendung dari luar dilemahkan dari sisi internal. Tampaknya Cina merupakan kompetitor berat mengingat konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional. Persaingan keduanya berlangsung ketat terkait penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Dokumen Pentagon sendiri, Project for The New American Century and Its Implications 2002 (PNAC) meramal bahwa persaingan antara AS - Cina meruncing 2017 dan konfrontasi terbuka mungkin tidak bisa dielakkan. Inilah yang bakal terjadi.
Rezim Hukum Laut Internasional, atau United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi dalam UU 17/ 1985 menetapkan skema jalur kapal-kapal di wilayah perairan dalam 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (disingkat: ALKI).
ALKI I terdiri atas Selat Sunda yang bagian utara bercabang menuju Singapura dan Laut China Selatan; ALKI II meliputi Selat Lombok menuju Laut Sulawesi; dan ALKI III sekitar perairan Laut Sawu, Kupang (III A), dan seterusnya hingga sebelah timur Timor Leste (III C) dan perairan Aru (III D). Itulah fenomena “Pintu Gerbang Memanjang” membelah perairan Indonesia.
Berdasarkan UNCLOS 1982, ALKI menjamin hak perlintasan bagi kapal-kapal asing termasuk armada militer beroperasi secara normal. Fenomena tadi bisa menguntungkan di satu sisi, namun sisi buruknya lebih banyak mengingat saat ini tanpa pengawasan dan pengamanan maksimal. Ia bisa menimbulkan ancaman serta gangguan baik kejahatan, pencemaran lingkungan, penyelundupan, pembajakan, terorisme, trafficking in person, atau ancaman militer dari negara-negara yang melintas, baik dengan kedok pelayaran swasta, berdalih penelitian ilmiah, kerjasama dan latihan militer bersama, dan lain-lain.
Dalam UNCLOS memang membolehkan “penutupan sementara” suatu negara apabila terkait kepentingan nasional dan demi keamanan nasional, namun konsekuensi bagi negara yang bersangkutan harus menyediakan jalur alternatif sebagai pengganti. Secara geopolitik, hal-hal semacam ini sangat dikhawatirkan oleh negara-negara lain. Dengan kata lain, bila kelak Indonesia mampu mengontrol sendiri choke points-nya, maka kapal-kapal asing yang lalu-lalang di wilayah ALKI tidak bisa bebas melintas atau bertindak sembarangan.
Beberapa retorika pun muncul: Apakah “pelemahan dan pemandulan” terhadap elemen serta kekuatan-kekuatan laut di Indonesia merupakan by design pihak asing karena ketakutan bila republik ini cerdas mensiasati geopolitik dan geostrategi negaranya; bagaimana seandainya Selat Sunda dan Selat Lombok ditutup sebulan guna latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memberantas illegal fishing, atau memerangi terorisme di perairan?
Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit mengungkap isyarat, bahwa saat ini tengah berlangsung pergeseran situasi global (geopolitical shift) dari kawasan Heartland (Timur Tengah/Asia Tengah) menuju Laut Cina Selatan. Adapun indikator dan garis besar perpindahan geopolitik dapat dicermati dari data-data sebagai berikut:
1) Menurut Bo Yaozhi, peneliti dari Universitas Negeri Singapura, AS ingin mengalihkan titik berat militernya ke kawasan Asia Pasifik, menempatkan kekuatan militer di kawasan tersebut dan menebar jaringan yang lebih besar;
2) Dalam kunjungan Obama ke Australia terkait penempatan marinir di Darwin, ia berkata bahwa prioritas utama pemerintahan AS adalah Asia Pasifik, mengingat kawasan ini menentukan masa depan di abad XXI. Menteri Pertahanan (Menhan), Leon Panetta pun menebalkan dalam pertemuan puncak Keamanan Asia diselenggarakan International Institute of Strategic Studies di Singapura (Sabtu, 2/6), bahwa AS akan menempatkan 60% armada di Asia Pasifik. Hingga tahun 2020 nanti terus menambah armada dari pembagian yang semula 50-50 antara Pasifik dan Atlantik, akan menjadi 60-40 bagi kedua samudera;
3) Munculnya ketidakpastian situasi di Timur Tengah akibat terkendalanya Military Roadmap AS terutama dalam penaklukkan Syria dan Iran. Military Roadmap tersebut pernah dipaparkan oleh Jenderal Wesley Clark, mantan Komandan NATO di Pentagon (Prof Michel Cossudovsky, www.globalresearch.ca). Kendala tadi selain karena Bashar al Assad terus melawan, juga upaya Barat menerbitkan Resolusi PBB bagi Syria bolak-balik gagal. Ini diungkap oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Hillary Clinton sewaktu kunjungan ke Beijing (Selasa,4/8). Clinton menyatakan kecewa atas tindakan Rusia dan Cina memblokir resolusi Dewan Keamanan, tetapi dijawab oleh Menlu Cina, Yang Jiechi, bahwa sejarah akan menilai posisi Cina terkait krisis Suriah adalah (penanganan) tepat. Apa yang kita pikirkan adalah kepentingan rakyat Suriah dan kawasan; dan juga
4) Cina memperingatkan AS agar tidak terlibat jauh dalam sengketa di perairan Cina Selatan karena teritorial yang diperebutkan adalah sengketa regional antara Cina melawan Taiwan, Cina versus beberapa anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Brunei Darussalam;
5) Kuatnya pengaruh Cina di Asia Pasifik dan sekitarnya akibat “Kebijakan Panda” serta melebarnya String of Pearls (pola penguasaan perairan dari Laut Cina Selatan-Selat Malaka-Laut Arab-Teluk Persia dll) merupakan strategi Negeri Paman Mao di perairan via pembangunan pelabuhan-pelabuhan di negara-negara pesisir Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan. Bahkan India-Cina telah mengaktifkan kembali manuver militer bersama setelah terkendala sejak 2008 akibat friksi diplomatik. Tak ketinggalan adalah perambahan hegemoni melalui Kebijakan Panda (investasi/uang) terhadap negara-negara pulau di Lautan Pasifik yang selama ini dalam orbit dan kendali AS;
6) Suksesnya penyelenggaraan KTT GNB ke 16 diikuti lebih 100-an negara di Tehran ialah ujud riil kemenangan diplomasi Iran terhadap AS dan sekutunya karena selama ini Barat berupaya menggiring opini agar dunia memusuhi dan mengucilkan Iran;
7) Kunjungan mendadak Hillary Clinton ke beberapa negara peserta dan anggota APEC yang berujung dalam KTT APEC di Vladivostok, selain mencerminkan “kepanikan AS” ---meminjam istilah Hendrajit --- secara tersirat menyimpan urgen agenda di Asia Pasifik. Inti kunjungan ke Indonesia, selain berkomitmen mendukung kepemimpinan Indonesia dalam KTT APEC 2013 di Bali, AS juga “menegur” atas intoleransi terhadap minoritas, dan lain-lain.
Agaknya perubahan geopolitik di atas, dicermati secara menarik oleh Toni Cartalucci, peneliti senior di Central for Research Globalization (CRG), Kanada. Ia membuat analogi bahwa Cina ibarat Gulliver yang terdampar di Pulau Liliput. Ketika terbangun ia mendapati dirinya terjerat tali oleh (kaum liliput) orang-orang kecil di sekeliling.
Menafsir analog Cartalucci, sepertinya Paman Sam hendak menggunakan negara-negara (proxy) di sekeliling Cina yang tergabung pada blok supra-nasional (ASEAN) sebagai front untuk “memaksa” (tie down) supaya mengikuti aturan main dan cara yang sama. Dalam buku Perang Cina Kuno strategi itu disebut “membunuh dengan pisau pinjaman”. Atau kata mBah saya, nabok nyeleh tangan!
Dan tampaknya, tafsiran ini terbukti dengan dukungan serta anjuran Panetta kepada Menhan se-ASEAN agar “bertindak seragam” terkait sengketa di Laut Cina Selatan. Secara tersirat, anjuran Panetta bersifat provokatif sebab tie down dan tindakan seragam bisa dimaknai “silahkan keroyok Cina”. Tapi Cartalucci mengingatkan, skenario tersebut tidak akan sukses seperti kisah ‘Perjalanan Gulliver’, bahkan mungkin sebaliknya. Artinya justru Cina yang kelak membebaskan dirinya sendiri dari jeratan temali, lalu bangkit dan menginjak-injak bangsa liliput di sekitarnya!
Masih terkait pergeseran geopolitik, Pengamat Pertahanan dan Militer dari UI Connie Rahakundini juga memprakirakan bahwa 8 tahun ke depan, “peperangan” dalam rangka perebutan sumber daya alam (SDA) dan jalur perdagangan beralih ke kawasan ini. Abad XXI, kata Connie telah melahirkan “kekaisaran militer” AS yang ditetapkan Bush Jr pada 14 Januari 2004.
Lebih dari setengah juta tentara formal plus mata-mata yang terselimuti melalui jejaring lembaga donor, teknisi, guru, serta badan usaha sudah tersebar membentuk koloni di negara-negara lain. Bukan hanya di darat, ia juga mendominasi lautan hingga samudera. Paman Sam membangun kekuatan angkatan laut yang hebat dengan mencantumkan nama-nama pahlawan pada kapal induk, seperti: Kitty Hawk, Constellation, Enterprise, John F. Kennedy, Nimitz, Dwight D. Eisenhower, Carl Vinson, Theodore Roosevelt, Abraham Lincoln, George Washington, John C. Stennis, Harry S. Truman, Ronald Reagan dan lainnya. Pangkalan militer AS telah mencapai 1000-an lebih di dunia. Data resmi dari Departement of Defence dalam laporan struktur tahun fiskal 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di 130 negara. Jumlah itu belum termasuk 6.000 pangkalan di wilayahnya sendiri. Luar biasa!
Dalam perspektif hegemoni AS, setiap negara yang berpotensi menjadi pesaing mutlak harus dibendung dan dilemahkan. Dibendung dari luar dilemahkan dari sisi internal. Tampaknya Cina merupakan kompetitor berat mengingat konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional. Persaingan keduanya berlangsung ketat terkait penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Dokumen Pentagon sendiri, Project for The New American Century and Its Implications 2002 (PNAC) meramal bahwa persaingan antara AS - Cina meruncing 2017 dan konfrontasi terbuka mungkin tidak bisa dielakkan. Inilah yang bakal terjadi.
Aspek Yuridis dan Geostrategi
Rezim Hukum Laut Internasional, atau United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi dalam UU 17/ 1985 menetapkan skema jalur kapal-kapal di wilayah perairan dalam 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (disingkat: ALKI).
ALKI I terdiri atas Selat Sunda yang bagian utara bercabang menuju Singapura dan Laut China Selatan; ALKI II meliputi Selat Lombok menuju Laut Sulawesi; dan ALKI III sekitar perairan Laut Sawu, Kupang (III A), dan seterusnya hingga sebelah timur Timor Leste (III C) dan perairan Aru (III D). Itulah fenomena “Pintu Gerbang Memanjang” membelah perairan Indonesia.
Berdasarkan UNCLOS 1982, ALKI menjamin hak perlintasan bagi kapal-kapal asing termasuk armada militer beroperasi secara normal. Fenomena tadi bisa menguntungkan di satu sisi, namun sisi buruknya lebih banyak mengingat saat ini tanpa pengawasan dan pengamanan maksimal. Ia bisa menimbulkan ancaman serta gangguan baik kejahatan, pencemaran lingkungan, penyelundupan, pembajakan, terorisme, trafficking in person, atau ancaman militer dari negara-negara yang melintas, baik dengan kedok pelayaran swasta, berdalih penelitian ilmiah, kerjasama dan latihan militer bersama, dan lain-lain.
Dalam UNCLOS memang membolehkan “penutupan sementara” suatu negara apabila terkait kepentingan nasional dan demi keamanan nasional, namun konsekuensi bagi negara yang bersangkutan harus menyediakan jalur alternatif sebagai pengganti. Secara geopolitik, hal-hal semacam ini sangat dikhawatirkan oleh negara-negara lain. Dengan kata lain, bila kelak Indonesia mampu mengontrol sendiri choke points-nya, maka kapal-kapal asing yang lalu-lalang di wilayah ALKI tidak bisa bebas melintas atau bertindak sembarangan.
Beberapa retorika pun muncul: Apakah “pelemahan dan pemandulan” terhadap elemen serta kekuatan-kekuatan laut di Indonesia merupakan by design pihak asing karena ketakutan bila republik ini cerdas mensiasati geopolitik dan geostrategi negaranya; bagaimana seandainya Selat Sunda dan Selat Lombok ditutup sebulan guna latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memberantas illegal fishing, atau memerangi terorisme di perairan?
(Lanjut Bag-3) ..
Cerita Amriki di PRRI dan CIA di Permesta
http://serbasejarah.wordpress.com/2011/03/20/cerita-amriki-di-prri-dan-cia-di-permesta/
“Hatta… Kau benar,” katanya
dalam bahasa Belanda. Hatta tidak merespon kata-kata itu. Ia hanya
tepekur. Sedih. Dan tentunya itu bukan sebuah kepura-puraan.Waktu
kemudian menjadi saksi, pertemuan dua sahabat yang mengantarkan
kelahiran bayi bernama Indonesia itu, adalah pertemuan terakhir kalinya.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 21 Juni 1970 Soekarno pun pergi untuk
selamanya.
Saat mendengar Soekarno meninggal, konon
Hatta terdiam lama. Saya yakin, itu adalah sebentuk rasa kesedihan yang
luar biasa bagi laki-laki sederhana tersebut. Ya, Hatta tak mungkin
melenyapkan Soekarno dari benaknya. Sejak 1932, mereka berdua telah
berteman dan bahu membahu berjuang mendirikan Indonesia sekaligus
merawatnya.
1 Desember 1956.Wakil
Presiden Mohammad Hatta, resmi melepaskan jabatannya. Surat pengunduran
diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu
pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta, mulai hari itu juga,
resmi tanggal. Berpisah jalan.
Meski telah mengundurkan diri, namun
banyak pihak yang menginginkan agar Hatta bisa kembali aktif di
pemerintahan. Beberapa agenda dan pertemuan digelar untuk menjajaki
kemungkinkan ke arah itu.
Pada bulan September 1957, atas prakarsa
Perdana Menteri Ir Djuanda, digelar Musyawarah Nasional yang membahas
kemungkinan rekonsiliasi antara Soekarno-Hatta. Beberapa anggota DPR
juga mengajukan mosi mengenai pemulihan kerja sama antara
Soekarno-Hatta. DPR sendiri kemudian menerima mosi tersebut dan
menyepakati dibentuknya panitia Ad Hoc untuk mencari dan merumuskan
bentuk kerja sama yang baru antara Soekarno-Hatta. Panitia tersebut
resmi dibentuk pada 29 September 1957 dan dikenal sebagai Panitia
Sembilan.
Hingga pembubaran resmi panitia Sembilan
itu pada Maret 1958, tak ada keputusan konkrit yang dihasilkan. Publik
yang berharap Soekarno-Hatta bisa bekerjasama harus menelan
mentah-mentah harapannya. Dwi tunggal, yang sudah nyaris menjadi mitos
dan legenda itu, dipastikan pecah kongsi selamanya.
Ketika Soekarno membubarkan konstituante
yang dipilih rakyat dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli1959, Hatta
melihat Demokrasi sampai pada tahap yang membahayakan. Konstituante di
bubarkan Soekarno sebelum tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar
rampung.Dekrit Presiden itu akan memberlakukan kembali UUD 1945. Hatta
melihat hal itu dengan prihatin dan menganggap telah terjadi krisis
Demokrasi. Bung Hatta kemudian menulis buku Demokrasi kita
tahun 1960 dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin
Hamka. Soekarno marah karena isi buku tersebut dianggap menentang
kebijakannya. Selain dilarang terbit, majalah Panji Masyarakat juga
dilarang untuk dibaca, dilarang untuk disimpan, dan dilarang keras untuk
menyiarkan buku tersebut. Dan barang siapa yang tidak mengindahkan
larangan itu diancam hukuman berat. Padahal “Demokrasi Kita” merupakan
hasil pikiran brilian salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945.
*****
Pangkalan militer AS di kawasan Pasifik
sudah lama ada di Pearl Harbour, Pilipina (Subic dan Clark), Guam dan
setelah PD-2 bertambah dengan pangkalan baru di Okinawa, Taiwan, Korea
Selatan dan Vietnam Selatan. Sedangkan kekuatan militer Inggris berkuasa
di Singapura. Dengan sederetan pangkalan itu jalur ekonomi Selat Malaka
dan Laut Cina Selatan dikuasai. Kekuatan militer itu sudah berada dalam
suatu komando yaitu Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO). Kekuasaan
ekonomi juga kokoh karena hampir seluruh perdagangan Asia Timur
danTenggara adalah dengan Blok Barat.
Lautan memang dikuasai tapi di daratan
banyak masalah. Rakyat Vietnam bangkit melawan Perancis dan mereka
menang setelah benteng Dien Bien Phu berhasil digempur (1954). Dari
pemain di belakang layar AS mulai turun sendiri ke gelanggang. Di
Indonesia, Pemilu-55 menghasilkan empat besar (PNI, Masyumi, NU dan
PKI). Yang lebih mengkhawatirkan AS adalah hasil Pemilu Daerah 1957. Di
P. Jawa yang memilih PKI meningkat pesat, dari 19,8% dalam Pemilu-55
menjadi 30,5% dalam Pemilu Daerah-1957.
Sementara itu ketegangan antara pusat dan
daerah mulai meningkat, baik di kalangan sipil maupun militer. Hubungan
antara pimpinan militer pusat, Nasution dan stafnya, dengan para
kolonel di Sumatra dan Sulawesi sudah tegang. Penyelundupan kopra dan
karet menjadi sumber pendapatan para kolonel daerah. Dengan sumber dana
sendiri, mereka mau lebih otonom, mau lebih bebas dari kontrol pusat.
Nasution didukung sepenuhnya oleh Sukarno untuk menegakkan kontrol
pusat. Lalu dia memindahkan para panglima daerah itu. Warouw, panglima
Indonesia Timur, diberi tugas baru sebagai atase militer di Peking.
Tetapi beberapa kolonel Sumatera yang tidak setuju dengan rencana
Nasution kemudian mendirikan Dewan Banteng dipimpin oleh kolonel Ahmad
Husein, panglima Sumatra Barat. Tgl 20 Desember 56, Husein mengambil
kekuasaan sipil di Bukit Tinggi atas nama Dewan Banteng. Simbolon,
panglima Sumatra Utara coba merebut kekuasaan sipil di Medan, tetapi
gagal. Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan meresmikan berdirinya
Dewan Garuda yang tidak mengambil alih kekuasaansipil di Palembang
tetapi bertindak sebagai ‘penasehat’.
Pada 24 November 1956, reuni eks Divisi
Banteng (yang kemudian menjadi Dewan Banteng) di Padang, Sumatra Tengah
(kini Sumatra Barat), memberi perhatian serius terhadap otonomi luas
dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pokok-pokok
Perjuangan Dewan Banteng yang diumumkan seusai reuni, antara lain,
menuntut: “… pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah
dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta
pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang wajar,
layak, dan adil.”
Reuni eks Divisi Banteng juga: “Menuntut
serta memperjuangkan diadakannya suatu Dewan Perwakilan Daerah-daerah
(Senat) di samping DPR (Parlemen) yang akan dapat menjamin langsung
kepentingan daerah-daerah dalam wilayah Republik Indonesia.”
Kolonel Sumual, panglima Indonesia Timur
yang baru saja menggantikan Warouw, memproklamirkan keadaan darurat di
wilayahnya dan mengambil alih kekuasaan sipil di Makasar. Tanggal 2
Maret 1957 dibacakan “Piagam Perjuangan Semesta Alam” (Permesta) yang
menuntut: otonomi daerah yang lebih besar, kontrol terhadap pendapatan
daerah, desentralisasi dan kembalinya dwitunggal Sukarno-Hatta.
Menyusul proklamasi Permesta, kolonel Barlian di Sumatra Selatan juga
mendirikan pemerintahan militer dan menyingkirkan gubernur sipil.
Para panglima daerah mendapat dukungan
juga dari tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari profesor
Sumitro. Bekas menteri keuangan itu oleh militer dituduh korupsi, lalu
dia diperiksa. “In March, the army had summoned Sumitro for
questioning because of his association with a Chinese businessman who
had been arrested on charges of fraud, bribery and subversion. After two
interrogations regarding his financial ties with the businessman,
Sumitro refused to comply with a third summons on May 8, 1957, and
instead fled Jakarta” (K&K, 70-71). Sumitro kabur ke Sumatra
dan bergabung dengan para kolonel. Bersama Simbolon, Sumitro menjadi
jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro menghubungi
agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71). Tanggal 7-8
September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang.
Pertemuan itu mencetuskan “Piagam Palembang” yang mengajukan lima
tuntutan ke pusat: (1) Pemulihan Dwitunggal Soekarno-Hatta, (2) Penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) Pembentukan Senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4) Melaksanakan otonomi daerah, dan (5)
Melarang komunisme di Indonesia. Sayangnya, tuntutan daerah itu
tidak digubris oleh pemerintah pusat. Dengan berbagai fragmen yang
mendahuluinya, pada 10 Februari 1958, Dewan
Perjuangan mengumumkan
Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara.
Butir (3) piagam tersebut berbunyi sebagai berikut: “Memberantas
korupsi dan birokrasi disebabkan oleh sentralisme yang telah melewati
batas, yang menjadi penghalang bagi pembangunan yang adil dan merata
antara daerah-daerah Indonesia, serta perkembangan bakat potensi dan
tanggung jawabnya, baik di lapangan ekonomi, keuangan, dan
ketatanegaraan.”
Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan
rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan didirikannya Dewan Banteng,
proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan dicetuskannya Piagam
Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh pimpinan sipil dan
militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-12
September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling
Sumatra untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari
Hatta itu tidak berhasil meredakan ketegangan.
Bulan
Januari 1958 kolonel Barlian, panglima Sumatra Selatan, mengusulkan
pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari). Dalam pertemuan
itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi: Burhanuddin
Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin
Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dalam
pengasingan setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam
pertemuan Sungai Dareh itu, ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam
persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon dan
Sumual. “They discovered that the colonels already had
well-developed contacts and sources of funding and supply abroad,
especially with the CIA, and had been promised more, including air
cover.” (K&K, 128). Menurut Sjafruddin, mereka tidak tahu sebelumnya tentang kontak-kontak kolonel Husein dengan CIA, dan “We
were left completely in the dark with respect to his daily telegraphic
contact with Singapore, the CIA’s major headquarters for covert U.S.,
operations in the area.”
Para tokoh Masjumi berusaha agar para
kolonel tidak membentuk pemerintahan yang terpisah dari RI. Menurut
James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan Sungai Dareh
itu, tokoh-tokoh Masyumi berpikir, “Civil war must be prevented and
nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to
replace Juanda with Hatta.” (K&K, 129). Tapi mereka terdesak
oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian,
Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis. Pertemuan Sungai Dareh membentuk
“Dewan Perjuangan” dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai
markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan
Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di Sungai Dareh
itu terbatas, “The three Masyumi leaders realized that by
participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it
would not be possible to return to Jakarta” (K&K, 129).
Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS.
Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung
Karno. Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh
Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang
sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah.
Para kolonel terus menjalin hubungan
dengan AS dan Inggris. Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu
anti komunis. Sumitro memberi banyak nasehat pada para kolonel daerah
untuk sering-sering menyanyikan lagu anti-komunis ini. “By the time
of the February ultimatum to Jakarta anticommunism dominated the
interviews given by most rebel leaders to visiting Western journalists.” Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, “We must win American support by emphasizing the communist danger,” dan “it
was important to stress the anti- communist danger in the argument ‘so
as to interest the Americans’. Naturally our appeal must be made to fit
our audience. For the Western powers we stress the very realdanger of
communism” (K&K, 147).
Ketegangan hubungan antara Pusat dengan
Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an
memang dimonitor betul oleh pemerintahan Eisenhower. Ketika John Allison
diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari 1957),
pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, “Don’t let Sukarno get
tied up with the communists. Don’t let him use force against the Dutch.
Don’t encourage his extremism…Above all, do what you can to make sure
that Sumatra (the oil production island) doesn’t fall to the communists,”
(K&K, 84). Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC)
menugaskan seorang staf ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki “the
possible break-up of Indonesia” (K&K, 85). Dari studinya Mein
menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, “It would be
advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil,
petroleum, tin) under more reliable political control… Sumatra, with the
Malay peninsula, dominates the Staits of Malacca, and is of great
strategic importance.” Sebagai kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya
Indonesia, “Could succeed only with substansial material assistance from
the United States,” (K&K, 88-89).
Para
pejabat tinggi State Department (Departemen Luar Negeri) AS memutuskan
bahwa AS perlu melakukan operasi intelijen dan memberikan bantuan
militer ke pihak pemberontak di Sumatra (PRRI) dan Sulawesi (Permesta)
melawan pemerintah pusat RI di Jakarta. Pertimbangan utama politiknya
saat itu disebabkan oleh kecenderungan berkembangnya PKI dan sikap Bung
Karno yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menjaga kepentingan
ideologis AS di Asia, khususnya Indonesia. Di tengah-tengah suasana
Perang Dingin, faktor pertarungan ideologi memang mendominasi
pengambilan keputusan semacam itu.
Maka, sekumpulan “James Bond” dari kalangan CIA kemudian ditugasi melakukan operasi dengan code-name
Haik, pelesetan dari kode awalan HA dalam sistem CIA. Mulailah mereka
menyelenggarakan serangkaian pertemuan, operasi intelijen, dan kiriman
bantuan militer kepada PRRI dan Permesta. Potongan kisah-kisah pribadi
dan kolektif operasi AS di Indonesia itulah yang dituangkan ke dalam
buku Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia
karya Conboy dan Morrison ini. Suatu buku yang mungkin bisa memberikan
inspirasi baru bagi kisah-kisah fiksi Ian Flemming (kalau saja ia belum
meninggal) atau film semidokumenter seperti karya John Hughes, The Indonesian Upheaval, untuk tahun 1965.
Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal, ideologi anti-komunis dan intervensi militer.
Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai menyalurkan dana kepada
kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang dianggap pimpinan
para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para
kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, “Played up the anti-communist act because they knew we were interested in that.”
Dengan ideologi anti-komunis ini para pemberontak segera mendapat
senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai perlengkapan
perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat
udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20
mil selatannya Padang. Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon
untuk berlatih di fasilitas militer AS di Okinawa, Saipan dan Guam.
Persiapan militer untuk pemberontakan itu terus berlangsung selama akhir
tahun 1957 (K&K, 120-121).
Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI
memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap
dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. “The anti-communist theme
had by this time assumed major importance in the rebel propaganda,
particularly to their overseas backers.” (K&K, 147). Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. “It
was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the
rebels via Taiwan and the Philippines but that military personnel form
both the United States and the government of Chiang Kai-shek were
directly supporting the rebels and that Philippine government personnel
were alsogiving them significant assistance” (K&K, 168).
Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan
Armada-7 AS membentuk “Task Force-75″ yang terdiri atas satu cruiser,
dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi 2 batalion
marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki
lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom
oleh RI maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk
mengadakan intervensi militer langsung dengan alasan “Melindungi warga
AS di Caltex” (K&K, 149). Kolonel George Benson, atase militer AS di
Jakarta bilang, “The U.S was anxious to have pretext to send marines.” Dan dua batalion marinir itu sudah, “fully equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields” (K&K, 150).
Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua
sudah tahu. TNI bertindak cepat dan sangat berani. Dengan 5 batalion
marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak Caltex direbut sehingga
tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di Sumatra. Task
Force-75 terpaksa kembali ke pangkalan Subic di Pilipina. Tanggal 17
April Padang direbut kembali.
Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan
AS membuat Permesta berjaya di udara. Selama bulan April-Mei 1958,
Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan pengeboman di Banjarmasin,
Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate dan
Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang mensuplai
pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan
Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari
Amerika, Pilipina dan Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang
landasannya cukup panjang untuk mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29
berpangkal di Morotai maka Permesta punya kemampuan untuk membom
Surabaya, Bandung dan Jakarta. Dengan menguasai udara, sekaligus berarti
juga menguasai lautan, pimpinan militer Permesta, kolonel Vence Sumual,
sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta setelah menguasai Balikpapan
dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga AURI mengadakan
serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo,
yang dibarengi dengan serbuan darat. Tanggal 26 Juni Menado direbut.
Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan Permesta sudah
dipatahkan. (Lihat Operation “HAIK” : Clandestine US Operations: Indonesia 1958, Operation “Haik”)
Intervensi militer AS selama pemerintahan
Eisenhower ini gagal total. Memang petualangan politik-militer ini
hampir tidak tercatat dalam sejarah dunia. Baru studi Audrey Kahin dan
George Kahin pada tahun 1995 ini yang membentangkan intervensi
politik-militer AS dengan detail. Petualangan AS di Indonesia jauh lebih
besar dari pada Peristiwa Teluk Babi dalam pemerintahan Kennedy (untuk
menjatuhkan Fidel Castro di Kuba pada tahun 1961). Di Indonesia operasi
rahasia AS ini tidak hanya dilakukan oleh CIA, tetapi juga melibatkan
Angkatan Laut (Armada-7), Angkatan Udara AS, dan berlangsung dalam waktu
yang jauh lebih lama dari pada Peristiwa Teluk Babi. Dibandingkan
dengan Peristiwa Teluk Babi, “The intervention in Indonesia was by
far the most destructive in human terms, had a heavier and more lasting
political impact, and with respect to the U.S. objectives, was the most
counterproductive” (K&K,3).
********
Dalam buku Conboy dan Morrison “Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958“,
keterlibatan CIA dalam pergolakan ini sangat jelas. Adalah Presiden AS
Eisenhower, John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri AS, dan Allan
Dulles, Direktur CIA, yang mengantar keterlibatan CIA dalam perjuangan
PRRI/Permesta. Kekecewaan terhadap kebijakan lunak Presiden Henry
Truman menghadapi komunisme pasca-Perang Dunia II lewat program bantuan
ekonomi Marshall Plan telah mendorong pembuat kebijakan AS bertindak
lebih agresif untuk membendung bahaya komunis di seluruh belahan dunia.
Ketika bibit komunisme mulai bersemai di Indonesia, yang diserap dalam
konsep Nasakom (nasionalis, agama, komunis), tak aneh jika Eisenhower
dan Dulles bersaudara menganggap sepak terjang kolonel pembangkang di
Indonesia sebagai elemen kunci strategi Amerika dalam upaya menjegal
penyebaran komunis di Asia Tenggara.
Pilihannya tak hanya sekadar keterlibatan
secara terbuka ala Marshall Plan, tapi juga operasi tertutup yang
melibatkan jaringan CIA di seluruh dunia. “I think it’s time we held Sukarno’s feet to fire
(ini saatnya kita menyeret kaki Sukarno ke api),” ujar Frank Wisner,
kepala operasi klandestin CIA, seperti yang dikisahkan dalam buku karya
Conboy dan Morrison itu.
Meski pihak CIA dan para perwira
pembangkang mempunyai kepentingan bersama, situasi ini tak diketahui
secara persis oleh beberapa kolonel di Indonesia. Akibatnya, Ventje
Sumual, pemimpin Permesta, dan Letkol Sjoeib, tangan kanan Ahmad
Hussein di PRRI, pontang-panting berupaya membeli senjata.
PRRI/Permesta menggunakan uang hasil ekspor karet dan kopra. “Kita
harus punya senjata untuk menggertak Jakarta bahwa kita kuat,” ujar
Sjoeib seperti yang diutarakan kepada TEMPO.
Semua pergolakan perwira pembangkang itu
dimonitor markas CIA di Jakarta, yang memiliki jaringan dengan agen
lokal. Salah satu agen lokal CIA itu adalah Sutan Alamsjah Simawang.
Pengusaha Padang ini kabur ke Australia selama Perang Dunia (PD) II dan
sempat mendapat pendidikan latihan intelijen AS. Seusai PD II,
Simawang menjalin kontak dengan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dari
Simawang, CIA mengetahui bahwa Ketua Dewan Gadjah (Panglima Tentara
Teritorial Bukit Barisan) Kolonel M. Simbolon, yang terisolasi di
Padang, mulai merasakan tekanan. Sang Kolonel bergantung pada sumbangan
makanan dari Letkol Ahmad Hussein (Ketua Dewan Banteng) yang terbatas.
Dengan Hussein yang terjepit dan pasukan Simbolon mulai kelaparan,
tekanan pun mengganjal.
Adalah James M. Smith Jr., seorang
perwira CIA, yang kemudian menangani Simawang. Dia pernah ditempatkan
di Medan sehingga banyak mengenal perwira lokal TNI, termasuk Kolonel
Simbolon. Suatu hari pada 1957 di Jakarta, Smith kaget melihat dua
orang Sumatra sudah berada di depan pintu rumahnya untuk menyampaikan
pesan: Kolonel Simbolon sedang mencari kontak ke pemerintah Amerika.
“Mulanya saya pikir mereka provokator yang dikirim pemerintah pusat,”
kata Smith.
Washington segera menyetujui permintaan
Smith untuk bertemu dengan para pembangkang Sumatra. Ketika Smith
bertemu dengan Simbolon dan Hussein di Bukittinggi, mereka tak
membicarakan bantuan militer, melainkan hanya bantuan uang dan radio
komunikasi. Bantuan finansial itu segera dikirim lewat seorang perwira
CIA di Konsulat AS di Medan bernama Dean Almy, 30 tahun. Penugasan ini
membawa Almy ke balik setir jip untuk memulai perjalanan solo penuh
bahaya ke Bukittinggi. Di sebelahnya tergeletak tas berisi lembaran US$
50 ribu untuk pembelian beras bagi para pengikut Kolonel Simbolon.
Pertemuan Almy dengan Simbolon itu tak
menyinggung soal bantuan militer. Sebaliknya, Simbolon menegaskan
statusnya masih perwira TNI dengan komitmennya terhadap persatuan
bangsa, sekalipun menuntut otonomi regional yang lebih. Sejak saat itu,
AS semakin yakin dengan kawan kolonel Indonesianya tersebut. “Ia
(Simbolon) melihat ke dalam relung matamu dengan jabat tangan yang
kukuh,” ujar Almy, “Dia tak hanya tahu bahasa Inggris yang sempurna,
bahkan ia tahu bahasa prokem Amerika.”
Tapi PRRI masih berusaha mencari senjata
dengan cara membeli. Maka, Letkol Ahmad Hussein mengutus Letkol Sjoeib
ke Singapura dengan menumpang kapal Douglas. Kapal Norwegia ini disewa
PRRI untuk mengekspor karet ke Singapura. Saat karet dibongkar di
pelabuhan Johor, Malaysia, bak seorang pengusaha, Sjoeib turun dari
kapal dan dengan mobil meluncur ke Singapura. Dia mengontak seorang
pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang dekat dengan PRRI, bernama
A.P. Lim. Lim segera menyodorkan secarik kertas dengan nomor, nama
jalan, dan pesan yang samar, “Seseorang akan menemui Anda.”
Ketika Sjoeib sampai di alamat yang
dituju, ia bertemu dengan seorang pria jangkung berkulit putih yang
memperkenalkan diri sebagai George. Nama asli George sebenarnya adalah
Fravel “Jim” Brown, agen CIA yang juga pernah ditempatkan di Medan.
Tapi saat itu George menawarkan secangkir kopi beserta isyarat untuk
pertemuan yang akan datang. Karena gagal memperoleh senjata saat itu,
Sjoeib kembali ke Padang. Tapi, dua pekan kemudian, sebuah pesan dari
kantor pusat CIA sampai di konsulat Medan: “Kirimlah buku yang lebih
banyak.” Ini adalah tanda bahwa CIA pusat menyetujui bantuan yang lebih
banyak untuk PRRI. Almy pun menyusun rencana pertemuan dengan PRRI di
Singapura.
Pada pertemuan kedua itu, Sjoeib bersama
Simbolon bertemu langsung dengan Kepala Markas CIA di Singapura, James
Foster Collins. Sebelum berdinas di CIA, Collins sudah mengenal
sejumlah perwira senior TNI, termasuk Simbolon. Dalam pertemuan yang
juga dihadiri oleh Almy dan Jim Brown itu, sebuah tas berisi “buku”
(alias uang US$ 43 ribu) berpindah ke tangan Simbolon dan Sjoeib. Bak
kisah film-film James Bond, daftar senjata pun disodorkan: senjata
anti-pesawat terbang, antitank, senapan, dan granat. “Simbolon sangat
senang,” tutur Almy seperti yang dikisahkan dalam buku karya Conboy dan
Morrison itu.
Pada Januari 1958, kapal selam Amerika
USS Bluegill mendapat perintah sangat rahasia untuk menyiapkan misi
pengawalan pengiriman senjata ke Sumatra. John Mason—agen CIA yang
berhasil menangani infiltrasi CIA ke Cina dan Tibet—ditunjuk memimpin
operasi dengan nama sandi “Haik”. Kapal selam Bluegill berangkat dari
pangkalan di Teluk Subic, Filipina, dan bergerak dalam keheningan
jurang kegelapan 2.000 meter di bawah permukaan laut Selat Mentawai.
Sebuah pesan dari Singapura sampai di
Padang: “Barang-barang sudah berada di laut lepas. Harap Tuan-Tuan
besok mengambilnya.” Dua hari setelah konferensi Sungai Dareh, kapal
perang AS USS Thomaston meluncur memasuki Selat Mentawai. Kegelapan
malam melindungi kapal ini ketika ia memuntahkan dua kapal kecil dari
lambungnya. Begitu kapal kecil yang penuh senjata itu menyentuh air
laut, Thomaston segera kabur.
“Our baby is about to be born
(bayi kita sudah akan lahir),” ujar Jim Brown, yang mengamati
pengiriman senjata itu di Padang. Pada saat yang sama, John Mason
mengintip semua ketegangan yang berlangsung selama operasi pengiriman
senjata itu dari balik kamera periskop USS Bluegill. Inilah paket
pertama bantuan senjata CIA, yang kemudian disusul droping senjata
melalui Bandara Tabing.
Ternyata bantuan senjata CIA terasa
mubazir bagi PRRI. Ketika pasukan Jakarta menyerbu Padang pada Maret
1958, tak ada perlawanan yang berarti. Pasukan PRRI segera bergerilya
di hutan. Di Medan, agen CIA Dean Almy berusaha menemui anak buah
Simbolon untuk memperingatkan kedatangan pasukan Jakarta, tapi upayanya
sia-sia belaka. Mereka sudah lari ke hutan. Ironisnya, Asisten Atase
Angkatan Darat di Kedutaan Besar AS di Jakarta, George Benson, ikut
memberikan andil penghancuran PRRI oleh TNI. George Benson, yang dekat
dengan Kolonel Ahmad Yani, selaku Wakil Kasad, memberikan peta Sumatra
Barat kepada Ahmad Yani, yang kemudian secara efektif digunakan untuk
membekuk perlawanan PRRI. “Saya baru tahu keterlibatan CIA setelah
Allan Pope tertembak,” kata George Benson kepada TEMPO, yang
menghubunginya melalui telepon internasional.
Hanya perlu enam hari setelah kejatuhan
Padang, Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles mengalihkan dukungan
AS ke pemerintah pusat Jakarta. Sebaliknya, Permesta, yang sempat
malang-melintang menguasai wilayah Indonesia Timur, pada awal
perjuangannya harus membeli senjata sendiri. “Kami terdesak tenggat
Proklamasi Permesta,” ujar Mayor Nun Pantouw. Berbekal uang hasil
ekspor kopra sebesar US$ 4 juta, Ketua Dewan Tertinggi Permesta Letkol
Ventje Sumual menugasi Pantouw (kini 76 tahun) mencari senjata lewat
seorang kontraktor minyak AS bernama Wally Zimmerman. Kontraktor yang
berkantor di Singapura ini memberikan informasi lengkap pasar senjata
di Italia dan Swiss. Upaya Pantouw gagal meski sudah mencari hingga ke
Italia, karena terbentur pengangkutan. Tapi tentu saja semua perjalanan
perwira Permesta ini dimonitor oleh CIA.
Sebelum AS memberikan senjata gratis kepada Permesta, Pantouw berhasil membeli senjata bekas dari Taiwan lewat seorang broker,
Madame Chua. Senjata dan sebuah pesawat pengebom Beach Craft seharga
dua sampai tiga juta dolar itu memang akhirnya sampai ke Manado, tapi
ternyata sebagian di antaranya adalah senjata rongsokan. “Meski
rongsokan, masih bisa membunuh orang. Masa bodoh,” ujar Sumual kepada
TEMPO sembari tertawa.
Ketika bantuan senjata AS tiba, Sumual
merasa hanya membutuhkan dua batalion senjata anti-serangan udara.
Tapi, belakangan, ternyata kebutuhan Permesta meningkat dan CIA pun
sangat royal. Selain menempatkan agen CIA Cecil Cartwright, CIA
memberikan antiaircraft, dua pesawat pengebom B-26, dan 20
teknisi untuk pengoperasian pesawat tempur. Dengan bantuan sebanyak
itu, lahirlah rencana besar di benak Sumual. “Kapal terbang ada,
senjata lengkap. Kita merencanakan menduduki Jakarta,” ujar Sumual
bersemangat.
Sasaran pertama Sumual adalah Pulau
Morotai, yang memiliki landasan panjang untuk pesawat tempur B-26.
Tahap kedua, sasarannya Jakarta, dengan target antara bandara
Balikpapan dan kilang minyak di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Sumual
yakin bahwa mereka mampu memperoleh dukungan pasukan Siliwangi untuk
mengatasi tentara yang berpihak pada PKI. “Dengan demikian, praktis
Jakarta bisa kami kuasai, pemerintahan Sukarno diganti, dan kami
kembali ke barak,” ujar Sumual mengungkap cita-citanya di masa lalu.
Aksi-aksi pengeboman oleh Angkatan Udara Revolusioner (Aurev)—AU
Permesta—di bawah komando Petit Muharto itu pun terus berlangsung. Salah
seorang pilot yang dikirim CIA adalah Allan Pope, kala itu berusia 30
tahun. Bak macan, di dalam kokpit B-26, dia mengarungi udara. “Dia
(Pope) mengira dirinya sendiri dapat memenangi peperangan,” ujar Connie
Seirgrist, teman Pope.
Suatu hari, bak seorang lone ranger,
Pope memacu B-26 menuju Ambon. Pada lintasan pertama di atas pelabuhan
Ambon, Pope menebar selebaran yang berisi peringatan bagi penduduk
sipil dan kapal dagang agar menjauh dari barak TNI dan Teluk Ambon.
Ketika kembali lagi, Pope melepas tali bom dekat pantai, yang meledak
di laut. Dia kembali lagi dan mengaktifkan mitraliur. Tapi tiba-tiba
sebuah ledakan meletup di mesin kanan. Lampu bahaya pun berkedap-kedip
di kokpit. Secara refleks, Pope membelok dengan tajam mengarah ke
Bandara Mapangat di Manado. Tapi terlambat!
Di Kota Ambon, pasukan garnisun memungut
kepingan mesin B-26 yang menghunjam ke tanah. Senjata anti-pesawat
terbang ternyata berhasil menghantam B-26 Pope hingga jatuh di perairan
Ambon. Sebuah berita melesat ke Jakarta. Sejak saat itu, Pope memang
tak pernah kembali lagi ke Mapangat. Dia tertangkap dan divonis hukuman
mati di Yogyakarta.
Tertangkapnya Pope merupakan akhir
keterlibatan CIA dalam PRRI/Permesta dan sirnanya mimpi besar Sumual
untuk menguasai Jakarta. “Kalau Allan Pope tidak jatuh, rencana besar
saya pasti akan berjalan lancar,” ujar Sumual masygul. Dan sejarah
memang berbalik arah, tak sesuai dengan mimpi Sumual dan kawan-kawan.
Tiba-tiba, semudah membalikkan telapak
tangan, AS mengalihkan dukungannya ke Kepala Staf AD Mayjen A.H.
Nasution dan Kolonel Ahmad Yani, yang ditunjuk memimpin operasi
penumpasan PRRI/Permesta. “Ibaratnya, kami adalah kuda yang tidak kuat,
lalu ditinggalkan,” ujar Sumual.
Agen CIA Cecil Cartwright terpaksa
memenuhi perintah Direktur CIA Allan Dulles untuk hengkang dari Manado
demi kepentingan yang lebih besar: Amerika Serikat.
“Saya harus pergi,” ujar Cartwright kepada Sumual.“Selamat jalan,” ucap Sumual.
Indonesia 67 Tahun
https://www.facebook.com/IntelijenDanPertahanan?ref=stream&hc_location=timeline
Walaupun saya sudah agak bosan dengan berbagai
ketidakseriusan dan lemahnya Pemerintah
Indonesia sekarang, namun setiap kali memberikan penghormatan kepada
bendera Merah Putih selama beberapa menit seraya menyanyikan lagu
Indonesia Raya, tak kuasa air mata dan sesaknya hati ini mendorong untuk
menulis kembali untuk seluruh sahabat dan khususnya generasi muda
Indonesia yang akan mewujudkan Mimpi Indonesia Raya di masa mendatang.
Catatan perjalanan sosial bangsa Indonesia maju-mundur, tarik-ulur, bebas-tertahan, tumpang-tindih, dan senantiasa ramai dengan perdebatan tanpa ujung pangkal yang menyebabkan kita lupa akan siapa diri kita dan bagaimana kita akan memproyeksikan masa depan kita sebagai satu bangsa yang bermartabat dari Aceh hingga Papua. Masing-masing kita sibuk dengan urusan-urusan kecil mulai dari urusan pribadi, keluarga, kelompok, partai, dan berbagai hal yang sama sekali tidak menyentuh urusan nasional tentang identitas kebangsaan Indonesia yang dinamis (dapat menguat dan dapat pula melemah ikatannya). Tanpa mengurangi rasa hormat dan tanpa kepentingan apapun, saya berani menegaskan di sini bahwa hal ini adalah keterlupaan terbesar dari Pemerintah Indonesia yang cenderung mengabaikan pentingnya persaudaraan Indonesia Raya yang setara (non-diskriminatif), vitalnya semangat patriotisme bela negara dari Aceh hingga Papua, penghargaan kepada keberagaman/multibudaya yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia, serta ketiadaan program-program yang menyadarkan seluruh rakyat Indonesia tentang esensi menjadi bangsa Indonesia.
Saya melihat tidak ada sedikitpun upaya untuk mengeratkan secara terus-menerus hubungan antar elemen bangsa yang berbeda dalam semangat persatuan dan kesatuan yang saling menghormati. Kurangnya kesadaran untuk memliki empati terhadap sensitifitas dalam hubungan antar masyarakat yang berbeda baik dari suku, agama, ras maupun golongan yang diperburuk lagi dengan lemahnya penegakan hukum yang menjunjung tinggi rasa keadilan. Pemerintahan Orde Baru setidaknya memiliki mekanisme pukul rata dengan mengharamkan perdebatan SARA dan memukul siapapun yang memancing kegaduhan sosial dari masalah SARA.
Catatan perjalanan sosial bangsa Indonesia maju-mundur, tarik-ulur, bebas-tertahan, tumpang-tindih, dan senantiasa ramai dengan perdebatan tanpa ujung pangkal yang menyebabkan kita lupa akan siapa diri kita dan bagaimana kita akan memproyeksikan masa depan kita sebagai satu bangsa yang bermartabat dari Aceh hingga Papua. Masing-masing kita sibuk dengan urusan-urusan kecil mulai dari urusan pribadi, keluarga, kelompok, partai, dan berbagai hal yang sama sekali tidak menyentuh urusan nasional tentang identitas kebangsaan Indonesia yang dinamis (dapat menguat dan dapat pula melemah ikatannya). Tanpa mengurangi rasa hormat dan tanpa kepentingan apapun, saya berani menegaskan di sini bahwa hal ini adalah keterlupaan terbesar dari Pemerintah Indonesia yang cenderung mengabaikan pentingnya persaudaraan Indonesia Raya yang setara (non-diskriminatif), vitalnya semangat patriotisme bela negara dari Aceh hingga Papua, penghargaan kepada keberagaman/multibudaya yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia, serta ketiadaan program-program yang menyadarkan seluruh rakyat Indonesia tentang esensi menjadi bangsa Indonesia.
Saya melihat tidak ada sedikitpun upaya untuk mengeratkan secara terus-menerus hubungan antar elemen bangsa yang berbeda dalam semangat persatuan dan kesatuan yang saling menghormati. Kurangnya kesadaran untuk memliki empati terhadap sensitifitas dalam hubungan antar masyarakat yang berbeda baik dari suku, agama, ras maupun golongan yang diperburuk lagi dengan lemahnya penegakan hukum yang menjunjung tinggi rasa keadilan. Pemerintahan Orde Baru setidaknya memiliki mekanisme pukul rata dengan mengharamkan perdebatan SARA dan memukul siapapun yang memancing kegaduhan sosial dari masalah SARA.
Pemerintahan Reformasi tampak sama sekali tidak memiliki pijakan yang
kuat dalam mendorong terciptanya suasana tertib sosial karena ketiadaan
pegangan yang kokoh di masyarakat. Apa yang selama ini terjadi adalah
pemaksaan-pemaksaan oleh kelompok (yang lebih kuat) kepada kelompok
(yang lemah) atau terjadinya berbagai manuver kelompok untuk menguasai
atas nama demokrasi, dimana hasil akhirnya bukan untuk sebesar-besarnya
kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan golongan.
Akibatnya adalah semakin rusaknya tatanan hubungan sosial yang tercermin dalam berbagai aksi kekerasan di masyarakat. Terorisme, tindak kekerasan kepada kelompok minoritas, aksi kekerasan kepada kelompok marjinal yang berbeda secara politik sangat sering terjadi meskipun Indonesia telah demokratis, mengapa demikian? jangan-jangan kita sesungguhnya belum demokratis. Demokrasi membuka ruang yang luas untuk kebebasan setiap elemen bangsa dalam mengekspresikan aspirasinya baik melalui koridor pemilihan para wakil rakyat dan pemimpin bangsa (pemilu), maupun dalam bentuk tuntutan dan aksi demonstrasi. Aksi yang ekstrim adalah terorisme dan berbagai aksi kekerasan lainnya seperti gerilya separatisme yang sudah sewajibnya direspon dengan penegakkan ketertiban sosial baik oleh Polisi maupun TNI serta juga pendekatan hukum yang tegas melalui proses peradilan. Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas, dimana penegakan hukum harus sungguh-sungguh dilakukan.
Perjalanan sosial bangsa kita juga mencatat penyakit-penyakit yang parah dalam berbagai kasus korupsi di tingkat nasional maupun daerah. Sementara kemiskinan, tingkat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang buruk masih menghantui perjalanan bangsa Indonesia.
Akibatnya adalah semakin rusaknya tatanan hubungan sosial yang tercermin dalam berbagai aksi kekerasan di masyarakat. Terorisme, tindak kekerasan kepada kelompok minoritas, aksi kekerasan kepada kelompok marjinal yang berbeda secara politik sangat sering terjadi meskipun Indonesia telah demokratis, mengapa demikian? jangan-jangan kita sesungguhnya belum demokratis. Demokrasi membuka ruang yang luas untuk kebebasan setiap elemen bangsa dalam mengekspresikan aspirasinya baik melalui koridor pemilihan para wakil rakyat dan pemimpin bangsa (pemilu), maupun dalam bentuk tuntutan dan aksi demonstrasi. Aksi yang ekstrim adalah terorisme dan berbagai aksi kekerasan lainnya seperti gerilya separatisme yang sudah sewajibnya direspon dengan penegakkan ketertiban sosial baik oleh Polisi maupun TNI serta juga pendekatan hukum yang tegas melalui proses peradilan. Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas, dimana penegakan hukum harus sungguh-sungguh dilakukan.
Perjalanan sosial bangsa kita juga mencatat penyakit-penyakit yang parah dalam berbagai kasus korupsi di tingkat nasional maupun daerah. Sementara kemiskinan, tingkat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang buruk masih menghantui perjalanan bangsa Indonesia.
Pada sisi lain, kelompok
menengah dan profesional tampak terlalu over confidence karena mereka
relatif berada posisi yang diuntungkan dalam strata sosial dan
seringkali lupa untuk sejenak menengok ke bawah membangun kembali
ikatan-ikatan sosial lintas strata sosial yang hanya bisa dilakukan
melalui kesamaan jati diri kebangsaan Indonesia dengan kesetiakawanan
yang sejati. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri atau kelompoknya dan
menggagas jalan elitis yang cenderung mengabaikan pentingnya gerakan
yang lebih merakyat.
https://www.google.com/search?q=IMAGE+PETA+PERANG+SURIAH&client=firefox-a&hs=cjD&rls=org.mozilla:en-US:official&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ei=wfLtUvrWO8Ogigfw34CoCg&ved=0CCoQsAQ&biw=1024&bih=574
Tidak ada komentar:
Posting Komentar