Suksesi Kerajaan Saudi
Raja Saudi akan Rombak Kebijakan Kerajaan yang Mulai Oleng
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdcdfn0s5yt0o56.lp2y.html
Rencana dan keputusan ini dilakukan, menyusul anjloknya kondisi
kesehatan kepala dinas intelijen Arab Saudi sekaligus arsitek terorisme
nomor wahid dunia, Pangeran Bandar bin Sultan akibat menderita masalah
kognitif setelah mengalami serangan pada Juli 2012.
Al-Saud the geng
Semilir isu berhembus di London dan Jenewa pada Sabtu, 08/02/14, yang isinya menyatakan bahwa Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud, diduga sedang mempertimbangkan untuk merombak kebijakan luar negeri Kerajaan serta mempersiapkan suksesi kepemimpinan yang disukainya.
Rencana dan keputusan ini dilakukan, menyusul anjloknya kondisi kesehatan kepala dinas intelijen Arab Saudi sekaligus arsitek terorisme nomor wahid dunia, Pangeran Bandar bin Sultan akibat menderita masalah kognitif setelah mengalami serangan pada Juli 2012.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi selama 38 tahun, Pangeran Saud al-Faisal, juga dikatakan mulai pikun.
Selama seminggu, berbagai sumber melaporkan bahwa Pangeran Bandar menjalani rawat inap di rumah sakit Amerika Serikat untuk menjalani operasi.
Selama masa ini, diduga Washington mengirimkan utusan khusus ke Riyadh untuk melakukan pembicaraan dengan Raja dan putranya. [IT/BLN/rj]
Pergulatan gerontokrasi Saudi
Koran SINDO
Kamis, 5 September 2013 − 11:37 WIB
http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/05/18/779526/pergulatan-gerontokrasi-saudi
MUHAMMAD TAKDIR
DI tengah
hiruk-pikuk peristiwa politik di Mesir yangsemakinrunyam, di bagian
lain dunia Arab mulai tebersit spekulasi masa depan kekuasaan al-Saud brotherhood seiring usia senja Raja Abdullah bin Abdul Aziz bin Saud yang kini memasuki 90 tahun.
Sejak tampil dominan dalam politik Saudi pada 1995 dan memimpin negeri itu 10 tahun kemudian, Abdullah dikabarkan berada dalam kondisi kesehatan yang sangat rentan. Putra Abdul Aziz al-Saud, pendiri dan raja pertama Arab Saudi dari pasangan permaisuri Fahda binti Asl al- Shuraim tersebut, jarang muncul di hadapan publik empat bulan terakhir ini. Abdullah dikabarkan terlihat ketika mempersingkat pelesirannya di Maroko pada Mei 2013 dengan kembali ke Ryadh akibat situasi pertikaian bersenjata yang semakin memburuk di Suriah.
Keraguan pada AS
Paling mudah menyelami spekulasi liar tentang masa depan kelanggengan klan al- Saud dengan memahami konfigurasi hubungan Saudi dengan patron strategisnya, AS. Bukan rahasia lagi bahwa kini keluarga al-Saud dibayangi keraguan terhadap komitmen regional AS di Timur Tengah, khususnya pada perlindungan kepentingan kerajaan, terutama setelah Arab Spring menghasilkan banyak pemerintahan baru di Tunisia, Mesir, dan Libya.
Washington juga dinilai gagal menghidupkan komitmen-komitmennya pasca-Arab Spring di negaranegara bergolak tersebut. Di bawah settinghubungan seperti ini, tidak akan ada yang dapat memprediksikan dengan pasti destinasi akhir aliansi yang telah terbangun lama antara Washington dan Ryadh. Menyaksikan gelombang perang saudara yang kini terjadi di Suriah serta pergolakan potensi civil war di Mesir boleh dikata seluruh gelinding perubahan Arab Spring telah menjelma menjadi Arab Uprising.
Istilah ini mengacu pada pandemik pemberontakan di banyak bagian wilayah Arab. Pergolakan di wilayah-wilayah itu menjadi periode paling gelap dalam sejarah Timur Tengah. Apalagi AS misalnya terlihat kesulitan membangun navigasi konstruktif dengan major player seperti Mesir yang kini kembali bergolak dengan ambruknya Presiden Mohammed Morsi, pentolan Ikhwanul Muslimin. Seolah-olah freedom agenda yang digaungkan pada masa pemerintahan Presiden George Walker Bush gagal dimodifikasi dengan cara lebih baik oleh Obama.
Sekitar dua tahun lalu Presiden AS Barack Obama pernah menjanjikan era baru engagement negara itu di kawasan. Obama menyebut demokratisasi dan HAM sebagai prioritas perubahan yang digelindingkan di Timur Tengah. Kenyataannya, seruan itu diyakini cenderung diterima sebagai mixed signal yang dilematis bagi Saudi. Dengan model politik sekarang ini, sulit bagi Saudi mengikuti napas freedom agenda.
Kalaupun Obama berhasil melakukan modifikasi terhadap freedom agenda, Saudi kemungkinan tetap tidak akan mudah membangun pilar demokrasi dan sentimen HAM yang sesuai kebutuhan gerontokrasi dalam tubuh dinasti al-Saud. Disebut gerontocratic rulers karena inilah bentuk penguasaan oligarkis yang sangat bergantung pada figur pimpinan paling dituakan dalam kelompok tersebut.
Cara pandang Raja Abdullah yang sangat defensif untuk menjaga kelanggengan al-Saud brotherhood sama rumitnya dengan manuver zig-zag yang dilakukannya dalam mempertahankan keseimbangan perubahan dan politik establishment al-Saud. Pada 27 Mei 2013 misalnya, Abdullah memutuskan untuk meningkatkan status Saudi Royal National Guard, sebuah unit militer yang sangat berpengaruh dan telah dikomandoinya selama puluhan tahun menjadi institusi penuh kementerian.
Putranya, Miteb bin Abdullah, 61, diproyeksikan mengisi posisi pimpinan pada kementerian baru tersebut. Manuver itu diharapkan memberi ruang political clout yang lebih baik bagi Miteb untuk dapat bersaing “memperebutkan” puncak kekuasaan kerajaan di Saudi dengan kalangan generasi muda al-Saud lainnya. Langkah tersebut lazim diambil pada situasi genting dan kritis yang memerlukan skenario antisipatif, baik secara politis maupun militer.
Menariknya, Abdullah akan tetap mengedepankan proses suksesi yang memberi ruang bagi bertahannya gerontokrasi dalam tubuh kerajaan dengan memilih Pangeran Salman bin Abdul Aziz bin Saud, 77, sebagai salah satu figur alternatif. Para pangeran tua al-Saud (senior princes) masih ambivalen untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada generasi lapis kedua di luar keturunan pertama Abdul Aziz as-Saud yang berasal dari sekitar 16 istri atau permaisuri.
Cara ini telah berlangsung selama 81 tahun dan dilakukan secara mulus dalam lima kali perpindahan tahta dari satu putra al-Saud ke putra al-Saud lainnya. Proses king-making seperti ini tidak akan berubah secara dramatis karena itu dapat mengganggu transformasi kekuasaan saat dalam kondisi regional yang sangat labil.
Mempertahankan gerontokrasi
Washington cukup berhatihati mencermati pergerakan zigzag Raja Abdullah. AS sebenarnya lebih menyukai figur muda al-Saud yang dapat mempercepat pembaruan di Saudi dan berasal dari generasi yang lebih segar. Imbas Arab Springs, tidak terkecuali di Saudi, mendesak dibukanya jalan lebih lebar bagi demokratisasi dan reformasi sehingga membuat AS lebih acceptable di kawasan secara keseluruhan.
Untuk itu, AS tentu punya figur favorit seperti Pangeran Mohammed bin Nayef, 53, yang kini menjabat menteri dalam negeri Saudi. Tetapi, Raja Abdullah punya cukup alasan untuk mengkhawatirkan ada potensi destabilizing power struggle di kalangan para pangeran muda al-Saud. Bisa dibayangkan bahwa dengan sekitar 50 sampai 200 anak dan cucu Abdul Aziz bin Saud yang berasal dari puluhan istri, intrik dan pergesekan kekuasaan akan selalu mewarnai sistem oligarki gerontokrasi Saudi.
Jangankan figur muda al- Saud, gesekan pun sejak lama sudah terjadi pada lapisan generasi pertama Kerajaan Saudi. Abdullah punya relasi unik dengan royal family lain dari garis ibubernamaHussahbintiAhmad al-Sudairy atau lebih populer dikenal sebagai “The Sudairy Seven”. Hubungan Abdullah dengan The Sudairy Seven bisa disebut kompleks dan tricky.
Abdullah “terikat” untuk bermain cantik dengan “The Sudairy Seven” karena setelah memecat PangeranAhmadbinAbdulAziz, 73, putra paling bontot keluarga Sudairy sebagai menteri dalam negeri pada November 2012, Abdullah harus bersandar pada Pangeran Salman bin Abdul Aziz, 77, sebagai calon pemegang tahta selanjutnya. Padahal Pangeran Salman merupakan saudara kandung Pangeran Ahmad.
Abdullah juga sebelumnya memiliki hubungan tidak “sreg” dengan putra Sudairy lainnya karena mematahkan dominasi almarhum Pangeran Sultan bin Abdul Aziz di Kementerian Pertahanan dan Penerbangan Sipil Saudi akibat tuduhan penyalahgunaan keuangan. Pada saatnya nanti, jika kesehatan Raja Abdullah memaksa ada alih kekuasaankepada Pangeran Salman, Pangeran Ahmad akan ikut diuntungkan oleh pergeseran tersebut.
Sebaliknya, jika dengan izin Tuhan––Abdullah berusia lebih lama daripada Salman yang kini diduga mengidap penyakit Alzheimer ataupun masalah kesehatan lainnya, kemungkinan Raja Abdullah lebih memilih saudara tirinya dari lain ibu, Baraka al-Yamaniyah, yakni Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, 68. Pada akhirnya kendali kerajaan terus berputar di lingkaran para tetua dan pangeran sepuh al-Saud. Publik lambat laun akan memahami bahwa karakter gerontokrasi sebenarnya menjadi persoalan mendasar langkah-langkah progresif Saudi kedepan.
Dikhawatirkan, tekanan publik terhadap gelinding perubahan di Saudi akan membuat AS salah membaca seperti Washington membaca Mesir saat Mohammad Morsi digulingkan dengan cara kudeta militer. Ini sama kelirunya dengan penafsiran public terhadap dukungan al-Saud kepada para pemberontak Suriah vis-à-vis Bashar al-Assad yang dapat dimaknai ironis; keluarga kerajaan mendukungadaaksiperubahan, demokratisasi, dan reformasi di Arab Saudi.
MUHAMMAD TAKDIR
Praktisi Politik Luar Negeri @emteaedhir
Sejak tampil dominan dalam politik Saudi pada 1995 dan memimpin negeri itu 10 tahun kemudian, Abdullah dikabarkan berada dalam kondisi kesehatan yang sangat rentan. Putra Abdul Aziz al-Saud, pendiri dan raja pertama Arab Saudi dari pasangan permaisuri Fahda binti Asl al- Shuraim tersebut, jarang muncul di hadapan publik empat bulan terakhir ini. Abdullah dikabarkan terlihat ketika mempersingkat pelesirannya di Maroko pada Mei 2013 dengan kembali ke Ryadh akibat situasi pertikaian bersenjata yang semakin memburuk di Suriah.
Keraguan pada AS
Paling mudah menyelami spekulasi liar tentang masa depan kelanggengan klan al- Saud dengan memahami konfigurasi hubungan Saudi dengan patron strategisnya, AS. Bukan rahasia lagi bahwa kini keluarga al-Saud dibayangi keraguan terhadap komitmen regional AS di Timur Tengah, khususnya pada perlindungan kepentingan kerajaan, terutama setelah Arab Spring menghasilkan banyak pemerintahan baru di Tunisia, Mesir, dan Libya.
Washington juga dinilai gagal menghidupkan komitmen-komitmennya pasca-Arab Spring di negaranegara bergolak tersebut. Di bawah settinghubungan seperti ini, tidak akan ada yang dapat memprediksikan dengan pasti destinasi akhir aliansi yang telah terbangun lama antara Washington dan Ryadh. Menyaksikan gelombang perang saudara yang kini terjadi di Suriah serta pergolakan potensi civil war di Mesir boleh dikata seluruh gelinding perubahan Arab Spring telah menjelma menjadi Arab Uprising.
Istilah ini mengacu pada pandemik pemberontakan di banyak bagian wilayah Arab. Pergolakan di wilayah-wilayah itu menjadi periode paling gelap dalam sejarah Timur Tengah. Apalagi AS misalnya terlihat kesulitan membangun navigasi konstruktif dengan major player seperti Mesir yang kini kembali bergolak dengan ambruknya Presiden Mohammed Morsi, pentolan Ikhwanul Muslimin. Seolah-olah freedom agenda yang digaungkan pada masa pemerintahan Presiden George Walker Bush gagal dimodifikasi dengan cara lebih baik oleh Obama.
Sekitar dua tahun lalu Presiden AS Barack Obama pernah menjanjikan era baru engagement negara itu di kawasan. Obama menyebut demokratisasi dan HAM sebagai prioritas perubahan yang digelindingkan di Timur Tengah. Kenyataannya, seruan itu diyakini cenderung diterima sebagai mixed signal yang dilematis bagi Saudi. Dengan model politik sekarang ini, sulit bagi Saudi mengikuti napas freedom agenda.
Kalaupun Obama berhasil melakukan modifikasi terhadap freedom agenda, Saudi kemungkinan tetap tidak akan mudah membangun pilar demokrasi dan sentimen HAM yang sesuai kebutuhan gerontokrasi dalam tubuh dinasti al-Saud. Disebut gerontocratic rulers karena inilah bentuk penguasaan oligarkis yang sangat bergantung pada figur pimpinan paling dituakan dalam kelompok tersebut.
Cara pandang Raja Abdullah yang sangat defensif untuk menjaga kelanggengan al-Saud brotherhood sama rumitnya dengan manuver zig-zag yang dilakukannya dalam mempertahankan keseimbangan perubahan dan politik establishment al-Saud. Pada 27 Mei 2013 misalnya, Abdullah memutuskan untuk meningkatkan status Saudi Royal National Guard, sebuah unit militer yang sangat berpengaruh dan telah dikomandoinya selama puluhan tahun menjadi institusi penuh kementerian.
Putranya, Miteb bin Abdullah, 61, diproyeksikan mengisi posisi pimpinan pada kementerian baru tersebut. Manuver itu diharapkan memberi ruang political clout yang lebih baik bagi Miteb untuk dapat bersaing “memperebutkan” puncak kekuasaan kerajaan di Saudi dengan kalangan generasi muda al-Saud lainnya. Langkah tersebut lazim diambil pada situasi genting dan kritis yang memerlukan skenario antisipatif, baik secara politis maupun militer.
Menariknya, Abdullah akan tetap mengedepankan proses suksesi yang memberi ruang bagi bertahannya gerontokrasi dalam tubuh kerajaan dengan memilih Pangeran Salman bin Abdul Aziz bin Saud, 77, sebagai salah satu figur alternatif. Para pangeran tua al-Saud (senior princes) masih ambivalen untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada generasi lapis kedua di luar keturunan pertama Abdul Aziz as-Saud yang berasal dari sekitar 16 istri atau permaisuri.
Cara ini telah berlangsung selama 81 tahun dan dilakukan secara mulus dalam lima kali perpindahan tahta dari satu putra al-Saud ke putra al-Saud lainnya. Proses king-making seperti ini tidak akan berubah secara dramatis karena itu dapat mengganggu transformasi kekuasaan saat dalam kondisi regional yang sangat labil.
Mempertahankan gerontokrasi
Washington cukup berhatihati mencermati pergerakan zigzag Raja Abdullah. AS sebenarnya lebih menyukai figur muda al-Saud yang dapat mempercepat pembaruan di Saudi dan berasal dari generasi yang lebih segar. Imbas Arab Springs, tidak terkecuali di Saudi, mendesak dibukanya jalan lebih lebar bagi demokratisasi dan reformasi sehingga membuat AS lebih acceptable di kawasan secara keseluruhan.
Untuk itu, AS tentu punya figur favorit seperti Pangeran Mohammed bin Nayef, 53, yang kini menjabat menteri dalam negeri Saudi. Tetapi, Raja Abdullah punya cukup alasan untuk mengkhawatirkan ada potensi destabilizing power struggle di kalangan para pangeran muda al-Saud. Bisa dibayangkan bahwa dengan sekitar 50 sampai 200 anak dan cucu Abdul Aziz bin Saud yang berasal dari puluhan istri, intrik dan pergesekan kekuasaan akan selalu mewarnai sistem oligarki gerontokrasi Saudi.
Jangankan figur muda al- Saud, gesekan pun sejak lama sudah terjadi pada lapisan generasi pertama Kerajaan Saudi. Abdullah punya relasi unik dengan royal family lain dari garis ibubernamaHussahbintiAhmad al-Sudairy atau lebih populer dikenal sebagai “The Sudairy Seven”. Hubungan Abdullah dengan The Sudairy Seven bisa disebut kompleks dan tricky.
Abdullah “terikat” untuk bermain cantik dengan “The Sudairy Seven” karena setelah memecat PangeranAhmadbinAbdulAziz, 73, putra paling bontot keluarga Sudairy sebagai menteri dalam negeri pada November 2012, Abdullah harus bersandar pada Pangeran Salman bin Abdul Aziz, 77, sebagai calon pemegang tahta selanjutnya. Padahal Pangeran Salman merupakan saudara kandung Pangeran Ahmad.
Abdullah juga sebelumnya memiliki hubungan tidak “sreg” dengan putra Sudairy lainnya karena mematahkan dominasi almarhum Pangeran Sultan bin Abdul Aziz di Kementerian Pertahanan dan Penerbangan Sipil Saudi akibat tuduhan penyalahgunaan keuangan. Pada saatnya nanti, jika kesehatan Raja Abdullah memaksa ada alih kekuasaankepada Pangeran Salman, Pangeran Ahmad akan ikut diuntungkan oleh pergeseran tersebut.
Sebaliknya, jika dengan izin Tuhan––Abdullah berusia lebih lama daripada Salman yang kini diduga mengidap penyakit Alzheimer ataupun masalah kesehatan lainnya, kemungkinan Raja Abdullah lebih memilih saudara tirinya dari lain ibu, Baraka al-Yamaniyah, yakni Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, 68. Pada akhirnya kendali kerajaan terus berputar di lingkaran para tetua dan pangeran sepuh al-Saud. Publik lambat laun akan memahami bahwa karakter gerontokrasi sebenarnya menjadi persoalan mendasar langkah-langkah progresif Saudi kedepan.
Dikhawatirkan, tekanan publik terhadap gelinding perubahan di Saudi akan membuat AS salah membaca seperti Washington membaca Mesir saat Mohammad Morsi digulingkan dengan cara kudeta militer. Ini sama kelirunya dengan penafsiran public terhadap dukungan al-Saud kepada para pemberontak Suriah vis-à-vis Bashar al-Assad yang dapat dimaknai ironis; keluarga kerajaan mendukungadaaksiperubahan, demokratisasi, dan reformasi di Arab Saudi.
MUHAMMAD TAKDIR
Praktisi Politik Luar Negeri @emteaedhir
Perebutan Kekuasaan di Arab Saudi
Setelah kondisi pemimpin Arab Saudi, Raja Abdullah dikabarkan semakin parah dan sebuah Dewan untuk mengelola pemerintahan dibentuk, perang perebutan kekuasaan di antara para pangeran al-Saud semakin tajam.
Sejumlah petinggi Arab menyatakan, pengamatan ketat di sekitar lembaga penting pemerintah, istana, rumah anggota keluarga al-Saudi di berbagai kota negara ini mengindikasikan bahwa perang perebutan kekuasaan di negara kaya minyak tersebut telah dimulai.
Al-Saud termasuk pemimpin Arab yang berusaha keras mencegah runtuhnya pemerintahan diktator Arab ketika gelombang Kebangkitan Islam di Dunia Arab meletus. Al-Saud dalam hal ini tercatat sebagai pihak yang paling khawatir jika tumbangnya diktator Dunia Arab memperkokoh tekad rakyatnya untuk mengubah pemerintahan di negara ini. Kekhawatiran ini ternyata lebih cepat terealisasi dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya. Rakyat Arab Saudi seperti kebanyakan rakyat di negara Arab menggelar aksi protes anti pemerintah di berbagai wilayah negara ini khususnya wilayah Timur dan fenomena ini menjadi lonceng tanda bahaya bagi keluarga kerajaan al-Saud.
Meski demikian, apa yang meningkatkan kekhawatiran al-Saud di Arab Saudi adalah aksi protes anti pemerintah ini bersamaan dengan kematian beruntun pangeran tua khususnya pangeran mahkota dalam satu tahun. Dimulai dari kematian Pangeran Sultan bin Abdulaziz dan satu tahun kemudian disusul oleh penggantinya Pangeran Mahkota Nayef bin Abdulaziz yang digerogoti penyakit dan usia tua.
Sementara itu, Raja Abdullah yang kondisi fisiknya lemah akibat penyakit dan usia tua, tanpa mengindahkan tuntutan para cucu Abdulaziz, menunjuk penggantinya di antara pangeran tua dan saudaranya. Tentu saja hal ini membuat perebutan kekuasaan di antara keluarga al-Saud terus berlanjut.
Di Arab Saudi, kekuasaan tidak diwariskan dari ayah kepada anak, namun dari saudara kepada saudara. Oleh karena itu, kematian raja Arab Saudi akan menjadikan pangeran mahkota, Salman bin Abdulaziz 78 tahun sebagai pemimpin Riyadh berikutnya. Hal ini juga berarti masa habisnya kekuasaan keluarga Abdullah bin Abdulaziz di Arab saudi, karena mengingat usia tua Pangeran Salman, kekuasaan berikutnya akan jatuh kepada para cucu Abdulaziz. Dengan demikian anak dari raja mendatang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi raja berikutnya.
Mengingat kondisi ini, berbagai sumber setelah tersebar berita kondisi fisik Raja Abdullah semakin parah menggunakan ibarat "Perang Kekuasaan di Arab Saudi Semakin Dekat".
Isu penting yang mengancam masa depan politik al-Saud di Arab Saudi adalah raja dan petinggi saat ini masih tetap enggan melakukan reformasi meski dalam hal-hal parsial ketika aksi protes anti pemerintah berkobar di negara ini. Faktor ini mendorong para pengamat memprediksikan eskalasi protes anti pemerintah jika muncul berita kematian sang raja.
Sementara itu, pergerakan rakyat saat ini mendukung analisa para pengamat, karena baru-baru ini disebar berbagai selebaran di kota Taif, Riyadh, Jeddah, dan berbagai kawasan timur terkait peran rezim al-Saud di negara-negara Arab dan dampak negatifnya bagi Arab Saudi serta penolakan terhadap kebijakan dekat Riyadh dengan Rezim Zionis Israel. Hal ini menunjukkan gerakan anti pemerintah telah memasuki fase baru.
Realitanya kini rezim paling berpengaruh di Dunia Arab akibat parahnya krisis politik di Arab Saudi dililit perang perebutan kekuasaan dan mungkin hal ini akan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan serius di bumi Arab Saudi dalam gelombang Kebangkitan Islam. (IRIB Indonesia/MF/NA)
Pangeran al-Waleed: Saudi Dilanda Korupsi Besar-besaran
Islam
Times - http://www.islamtimes.org/vdccxmq1x2bq0e8.5fa2.html
Dalam sebuah surat untuk Ketua Organisasi Anti Korupsi Arab
Saudi, Pangeran al-Waleed bin Talal al-Saud menuntut agar korupsi
keuangan di kerajaan itu dilawan sambil mengungkapkan beberapa nama
pejabat yang korup.
Korupsi di Saudi Arabia.jpg
Seorang pangeran Saudi mengatakan, negaranya menderita korupsi yang merajalela di berbagai organisasi negara.
Dalam sebuah surat untuk Ketua Organisasi Anti Korupsi Arab Saudi, Pangeran al-Waleed bin Talal al-Saud menuntut agar korupsi keuangan di kerajaan itu dilawan sambil mengungkapkan beberapa nama pejabat yang korup.
Sementara itu, media setempat mengatakan proyek multi milyar dolar mobil pertama Arab Saudi yang dibangun secara lokal, kendaraan segala medan yang disebut Ghazal 1 tidak benar-benar ada.
Arab Saudi menyetujui pembentukan komisi anti korupsi pada tahun 2011 dalam rangka mempromosikan transparansi dan pemberantasan korupsi.
Pada Agustus 2013, pangeran Saudi yang diasingkan, Khalid Bin Farhan al-Saud mengkritik pembungkaman suara oposisi dan korupsi yang merajalela di Saudi. Dia juga mempertanyakan tindakan keras Arab Saudi terhadap demonstran anti rezim dan dukungan negaranya pada teroris di Suriah.
Korupsi begitu mendarah daging dalam keluarga kerajaan Saudi. Meski penghasilan minyak sangat besar di negara itu, Saudi masih berjuang melawan kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan lapangan pekerjaan dan program kesejahteraan di Arab Saudi tidak seimbang dengan populasi booming yang hanya berkisar 6 juta pada tahun 1970 menjadi 28 juta jiwa pada tahun 2012.[IT/r]
Menlu Qatar: Kita Bersaudara dengan Israel
Menteri Luar Negeri Qatar, Khaled bin Mohammad al-Atiyeh, menilai hubungan negaranya dengan Israel bersahabat.
Tasnim News (6/2) melaporkan, Rafael Ahrin, seorang jurnalis Israel yang ikut serta dalam Konferensi Keamanan Munich, Jerman dalam hal ini mengatakan, "Saya dikirim dari Israel untuk menghadiri konferensi di Jerman itu dan ketika saya berpapasan dengan Menlu Qatar saya melihat pemandangan yang aneh."
Ditambahkannya, "Saya berpapasan dengan Menlu Qatar dan saya menjabat tangannya, jabatan tangan kami ini berlanjut untuk waktu yang cukup panjang, dan bahkan ketika saya jelaskan kepadanya bahwa saya adalah wartawan Israel, dia menekan tangan saya."
Ahrin kepada The Times of Israel mengatakan, "Ketika Menteri Luar Negeri Qatar mengetahui status saya sebagai warga Israel, dia berkata, ‘memangnya kenapa kita semua adalah saudara."
Setelah itu, Menlu Qatar meminta nomor kontak Ahrin untuk merencanakan wawancaranya terkait kondisi regional. (IRIB Indonesia/MZ)
UU baru Saudi Arabia: Tuntutan Reformasi adalah Aksi Terorisme
Islam
Times-
Selain itu, undang-undang baru itu juga memberikan wewenang
kekuasaan lebih luas kepada dinas intelijen kerajaan untuk menyerang
rumah-rumah dan menyadap panggilan telepon dan aktivitas internet.
Raja Abdullah
Arab Saudi memberlakukan undang-undang baru yang memungkinkan kerajaan mendakwa seseorang sebagai teroris bagi mereka yang menuntut reformasi, mengekspos korupsi atau terlibat dalam perbedaan pendapat.
Undang-undang baru itu menyatakan, setiap tindakan yang dianggap "merusak" negara atau masyarakat, termasuk panggilan perubahan rezim di Arab Saudi, bisa dikenai hukuman sebagai bentuk aksi terorisme.
Selain itu, undang-undang baru itu juga memberikan wewenang kekuasaan lebih luas kepada dinas intelijen kerajaan untuk menyerang rumah-rumah dan menyadap panggilan telepon dan aktivitas internet.
Aktivis hak asasi manusia khawatir dengan hukum baru itu dan mengatakan hal itu jelas ditujukan untuk menjaga keluarga penguasa al-Saud dalam mengontrol di tengah tuntutan demokrasi reformasi yang tumbuh lebih keras sejak protes Musim Semi Arab mengguncang wilayah tersebut pada tahun 2011 dan menggulingkan para pemimpin otokrat lama.
Undang-udang baru yang menurut Peneliti Human Rights Watch Adam Coogle sebagai Undang-undang kejam dan memberikan alasan pengekekangan untuk melawan pemprotes damai. “Undang-undang tersebut bersifat draconian dalam semangatnya maupun dalam teksnya, dan ada alasan kuat untuk khawatir bahwa pemerintah akan dengan mudah menggunakannya untuk melawan oposisi damai.”
Langkah itu disetujui oleh Kabinet pada 16 Desember 2013, dan disahkan oleh Raja Abdullah.
Undang-undang ini diterbitkan secara keseluruhan untuk pertama kalinya pada hari Jumat, 01/02/14, dalam situs resmi pemerintah Um al-Qura.
Arab Saudi adalah salah satu monarki absolut terakhir di dunia, dan semua keputusan berpusat di tangan Raja berumur 89 tahun, Abdullah al-Saud dan tidak ada parlemen. [IT/Onh/Ass
Konspirasi Busuk Saudi Arabia, Qatar dan Antek-antek Zionis
http://abna.ir/data.asp?lang=12&Id=305832
Menarik mencermati perkataan wakil Menteri Luar Negeri Iran urusan Arab dan Afrika, Hossein Amir-Abdollahian, dalam sebuah wawancara (8/3) yang dimuat di Islam Times beberapa hari lalu, ketika itu ia mengatakan bahwa Iran tidak akan pernah mengizinkan Amerika Serikat mengambil keuntungan dari krisis yang melanda Suriah. Iran juga tidak akan membiarkan AS mengganggu keseimbangan kekuasaan di wilayah tersebut.
Fokus tulisan ini bukan untuk mendedah hasil wawancara itu (diperlukan tulisan tersendiri untuk membahasnya), tapi akan membahas krisis bikinan paksa yang terjadi di suriah dan konspirasi busuk yang sebenarnya terjadi untuk melengserkan paksa pemerintahan al Asad. Dengan perlahan, terutama setelah semua upaya menggulingkan pemerintahan suriah dukungan rakyat gagal dilakukan, krisis Suriah membuka mata dunia dan mempertontonkan kebusukan musuh-musuh suriah sebenarnya.
1. Amerika, Israel dan NATO
Hampir semua kerusuhan, peperangan dan teror yang terjadi khususnya di Timur Tengah, dalangnya adalah Amerika-Israel dengan menggunakan NATO sebagai ujung tombaknya. Arab spring yang terjadi di dunia Arab sebenarnya konspirasi mereka meskipun tidak semuanya sejalan dengan skenario yang sudah mereka persiapkan. Dikarenakan bangkitnya kesadaran rakyat dan rindunya mereka dengan kebebasan dan kemulian Islam yang selama ini terpendam dalam kubangan lumpur dosa para pemimpin boneka Amerika dan budak Israel.Suriah adalah diantara negara yang berusaha dikudeta secara halus dengan cara menggunakan segelintir oposisi binaan CIA yang sudah dipersiapkan, baik dana maupun persenjataan. Perusuh-perusuh binaan ini adalah para teroris yang tidak segan membunuh sipil dan anak-anak kecil sekalipun. Barat menamakan mereka “aktivis”.
Amerika – Israel begitu bernafsu menggulingkan pemerintahan sah Damaskus dan menggunakan segalam macam cara termasuk veto PBB, dikarenakan dukungan penuh dan tanpa henti Suriah terhadap trio muqowamah; Iran, Hamas dan Hizbullah. Inilah inti sebenarnya kengotototan Washington. Di samping itu, karena Damaskus begitu mesra dengan musuh Amerika, Rusia dan Cina. Sehingga banyak analis perang mengatakan kalau krisis suriah sebenarnya perang antara Amerika vs Rusia Cina. Bahkan kalau seandainya perang jadi digelar akan terjadi perang dunia ketiga.
Maka tidak heran, jika Amerika-Israel tidak segegabah menurunkan NATO. Sebagaimana kasus Libya yang secara langsung dan prontal mengobarkan perang. Disamping sudah kehabisan modal juga terlalu beresiko kalau mengobarkan perang baru, maka konspirasi Amerika-Israel dengan mempersenjatai teroris dan NATO secara tidak langsung.
Dalam sebuah operasi yang dilakukan pemerintah Suriah di kota Homs terungkap bahwa agen Mossad, CIA dan Blackwater terlibat dalam kekerasan militer di Suriah.
Bukti keterlibatan itu terkuak saat pihak militer Suriah menangkap 700 orang bersenjata dan mereka adalah warga Arab, Israel, dan Amerika yang menggunakan senjata buatan Eropa . Tulis Media Rusia, Rabu (7/3) Al-manar juga melaporkan bahwa Pasukan keamanan Suriah mendapat bukti yang kuat atas keterlibatan militer Barat 'dalam konflik internal Suriah,
Ahli urusan strategis Suriah, Salim Harba mengatakan, "Orang-orang bersenjata yang ditangkap adalah warga Negara Arab, Irak, dan Libanon. Di antara mereka adalah juga agen intelijen Qatar dan non-Arab pejuang dari Afghanistan, Turki, dan beberapa negara Eropa seperti Perancis, "
Harba juga mengatakan bahwa kantor koordinasi opoisi yang berada di Qatar adalah disponsori oleh Amerika. Selain itu, Kebocoran informasi yang diperolah dari perusahaan intelijen Stratfor juga menunjukkan tentara NATO yang menyamar sudah berada di berbagai tempat di Suriah sejak lama.
2. Liga Arab, Saudi, Qatar dan Turki
Dalam krisis yang terjadi di Suriah, Liga Arab sudah kehilangan legitimasinya. Sejatinya, Suriah yang nota bene merupakan anggota Liga Arab dan berhak mendapat perlindungan, justru menjadi korban kebijakan pengayomnya. Dari awal sejak krisis Suriah terjadi, negara-negara liga Arab justru mengembargo pemerintahan Asad dan menguncilkan Damaskus. Dan liga Arab pulalah yang memaksa krisis Suriah menjadi urusan internasional dengan melibatkan PBB.Liga Arab menjadi kaki tangan dan corong Amerika-Israel, maka Saudi dan Qatarlah yang mewakili kepentingan mereka, karena mereka punya kepentingan dan urusan yang sama. Disamping unjuk gigi supaya dianggap sebagai negara berpengaruh di kawasan, Saudi dan Qatar juga berupaya menjegal Iran yang dianggap mempunyai pengararuh besar di kawasan.
Menyingkirkan peran Iran terkait krisis Suriah adalah hal penting buat mereka.
Aliran dana dan persenjataan kepada oposisi dan teroris bayaran dari Saudi dan Qatar mengalir deras, dengan melibatkan Turki diperbatasan negaranya. Pelatihan-pelatihan perang kepada oposisi oleh CIA jauh-jauh hari juga sudah dilakukan di Turki.
Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Hamad bin Jassim al-Thani dalam pertemuan para menlu Liga Arab di Kairo, Sabtu, 10/03/, begitu bernafsu supaya secepatnya menyerang Suriah.
"Saatnya tiba untuk melaksanakan usul mengirim pasukan Arab dan internasional ke Suriah," kata Sheikh .
Menteri Informasi Suriah, Adnan Mahmud mengatakan, Arab Saudi dan Qatar mendukung "geng teroris bersenjata" beroperasi di Suriah dan mengatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas insiden pembunuhan di negara ini.
"Beberapa negara mendukung geng teroris bersenjata, seperti Arab Saudi dan Qatar, teroris adalah kaki tangan mereka, dan menargetkan warga Suriah ... mereka harus bertanggung jawab atas pertumpahan darah," kata Mahmoud.
Sheikh Mohammad Alaedin Madhi (16/3), seorang ulama senior Mesir mengatakan, Arab Saudi dan Qatar terang-terangan campur tangan dalam urusan internal negara-negara Muslim lainnya dan menyebut dua negara tersebut sebagai 'pelayan Israel' karena sedang melaksanakan rencana Israel-AS di Suriah.
"Pertama, apakah ada demokrasi di Qatar dan Arab Saudi? Saya tidak berpikir begitu. Mereka sudah mengganggu di Libya. Mereka juga sudah membunuh orang ratusan kali lebih dari yang Gaddafi lakukan di Libya. Mereka (Qatar dan Saudi) tidak ada hubungannya dengan Islam." Kata ulama tersebut dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Press TV di ibukota Mesir, Kairo.
Bahkan utusan PBB-Liga Arab, Kofi Annan ketika berusaha mencari solusi damai atas kerusuhan Suriah dengan cara mendesak supaya menghentikan kekerasan, justru Kelompok-kelompok bersenjata di Suriah binaan Saudi dan Qatar menolak proposal itu.
Mantan Sekjen PBB ini memperingatkan setiap intervensi militer di Suriah dan setiap kesalahan perhitungan tentang Suriah akan berdampak mengerikan bagi kawasan. Dan konspirasi busuk yang berdampak mengerikan di Suriah saat ini justru sedang berlangsung.
3. Al Jazira, Al Arabiya Dan Media-Media Corong Amerika-Israel
Untuk memuluskan konspirasi yang mereka rancang di Suriah, Amerika, Israel, Turki, Saudi dan Qatar menggunakan media-media mainstream sebagai corong kebijakan busuk mereka. Media yang sejatinya sebagai penerang dan alat warta kebenaran dan berkeadilan, ditangan musuh-musuh Suriah menjadi senjata mematikan untuk mempengaruhi opini publik dunia. Media masa mereka menjadi alat pembenaran arogansi. Barat mengedepankan jargon kebebasan bereksperi, tapi itu hanya untuk musuh mereka dan demi kepentingan mereka sendiri. Sangat disayangkan, media-media nasional di Indonesia menelan mentah-mentah pemberitaan bohong itu (baca editorial Islam Times, Kompas Ngawur (Lagi) Soal Pemberitaan Suriah)Pekerja media di Al Arabiya milik Saudi Arabia dan Al Jazeera milik Qatar, karena kemanusian dan independensinya terusik ketika harus memanifulasi pemberitaan yang bertentangan dengan fakta, ahirnya ramai-ramai mengundurkan diri (baca editorial Islam Times, Al-Jazeera akan Gulung Tikar?) dan berita Tertangkap Basah: CNN Palsukan Video Kerusuhan Suriah)
Duta Suriah untuk PBB Bashar al-Jaafari mengatakan, seorang wartawan dari Kantor Berita Qatar, jaringan TV Al-Jazeera, di London, memberikan catatan kepadanya dan mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Qatar menginstruksikan kepada jaringan Al-Jazeera untuk meningkatkan jam tayang liputan media Al-Jazera terkait kerusuhan pesanan di Suriah, sebelum pertemuan Dewan Keamanan pada tanggal 4 Februari lalu.
Ia pun mengkritik saluran televisi berita, Al Arabiya Saudi dan Al Jazeera milik Qatar, yang didirikan semata untuk "melayani kepentingan Israel."
4. Wahabi, al Qoida dan Fatwa Ulama Saudi
Kospirasi yang lebih busuk lagi dalam krisis politik bikinan di Suriah adalah menyatunya antara Fatwa ulama Saudi untuk membenarkan tindakan pemerintahannya mengintervensi Suriah dan seruan pemimpin al Qoida pengganti Osama kepada para pengikutnya untuk mendukung pemberontak dan kesemuanya sejalan dengan keinginan Amerika dan Israel.Mufti Agung Arab Saudi dan Ketua Ulama Senior Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Sheikh, berfatwa bahwa mendukung Tentara pemberontak di Suriah dan membuatnya lebih kuat seiring dengan semakin lemahnya rezim Suriah adalah bentuk jihad di jalan Allah.
Mufti Wahabi panutan kelompok takfiri tersebut mengatakan bahwa segala hal yang bisa memperkuat Tentara Bebas Suriah dan memperlemah rezim Suriah diperbolehkan oleh Syariah (hukum agama).
"Upaya melemahkan rezim Suriah, adalah cara berjuang untuk Allah" tandasnya.
Pemimpin Al-Qaedah, Ayman Al- Zawahiri dalam sebuah rekaman video berdurasi delapan menit dengan judul Onwards, Lions of Syria di sebuah situs, menyerukan para pengikutnya yang berada di Turki, Irak, Yordania dan Libanon untuk mendukung para pemberontak Suriah.
“Rakyat Suriah masih terus berduka setiap hari, sedangkan Bashar al-Assad tidak kunjung tergoyahkan," ujar al-Zawahiri seperti dikutip Reuters Minggu, (12/2).
Dia pun menyeru pengikut Wahabi supaya membantu saudara-saudaranya di Suriah dengan semua yang mereka bisa, hidupnya, uangnya, serta informasi yang dimiliki.
Sebagaimana diberitakan, Deputi kementerian dalam negeri Irak mengatakan kepada AFP, hari Sabtu (11/02) bahwa orang-orang al Qoida dengan senjata lengkap bergerak dari Irak menuju Suriah. Di Irak mereka meneror orang-orang Syiah dan menimbulkan kekacauan, setelah sebagian tentara Amerika ditarik dari Irak, sekarang di Suriah memerangi pasukan keamanan Suriah demi melancarkan agenda Amerika-Israel, saudi-Qatar.
Disadari atau sengaja, konspirasi ulama Wahabi dan seruan pemimpin al Qaida itu sebenarnya dalam rangka melemahkan perjuangan rakyat Palestina dan demi mendukung eksistensi Zionis di kawasan. Bohong belaka mereka memerangi Amerika dan Israel sedangkan yang memperkuat perlawanan di Palestina adalah Basar al Asad di Suriah.
Amerika, Israel, Saudi, Qatar, Turki, al Qaida adalah setali tiga uang, sama-sama berkonspirasi menimbulkan kekacauan di Suriah demi menggulingkan pemerintah dukungan rakyat pendukung perlawanan Palestina.
Siapa yang akan menang? Kemenangan milik Suriah yang bertahan dan berani melawan dengan dukungan segenap rakyatnya. [IslamTimes/sa]
Konspirasi Busuk Saudi Arabia, Qatar dan Antek-antek Zionis
http://abna.ir/print.asp?lang=12&id=305832
Amerika, Israel, Saudi, Qatar, Turki, al Qaida adalah setali tiga uang, sama-sama berkonspirasi menimbulkan kekacauan di Suriah demi menggulingkan pemerintah dukungan rakyat pendukung perlawanan Palestina. |
Menarik
mencermati perkataan wakil Menteri Luar Negeri Iran urusan Arab dan
Afrika, Hossein Amir-Abdollahian, dalam sebuah wawancara (8/3) yang
dimuat di Islam Times beberapa hari lalu, ketika itu ia mengatakan bahwa
Iran tidak akan pernah mengizinkan Amerika Serikat mengambil keuntungan
dari krisis yang melanda Suriah. Iran juga tidak akan membiarkan AS
mengganggu keseimbangan kekuasaan di wilayah tersebut.
Fokus tulisan ini bukan untuk mendedah hasil wawancara itu (diperlukan
tulisan tersendiri untuk membahasnya), tapi akan membahas krisis bikinan
paksa yang terjadi di suriah dan konspirasi busuk yang sebenarnya
terjadi untuk melengserkan paksa pemerintahan al Asad. Dengan perlahan,
terutama setelah semua upaya menggulingkan pemerintahan suriah dukungan
rakyat gagal dilakukan, krisis Suriah membuka mata dunia dan
mempertontonkan kebusukan musuh-musuh suriah sebenarnya.
1. Amerika, Israel dan NATO
Hampir semua kerusuhan, peperangan dan teror yang terjadi khususnya di
Timur Tengah, dalangnya adalah Amerika-Israel dengan menggunakan NATO
sebagai ujung tombaknya. Arab spring yang terjadi di dunia Arab
sebenarnya konspirasi mereka meskipun tidak semuanya sejalan dengan
skenario yang sudah mereka persiapkan. Dikarenakan bangkitnya kesadaran
rakyat dan rindunya mereka dengan kebebasan dan kemulian Islam yang
selama ini terpendam dalam kubangan lumpur dosa para pemimpin boneka
Amerika dan budak Israel.
Suriah adalah diantara negara yang berusaha dikudeta secara halus dengan
cara menggunakan segelintir oposisi binaan CIA yang sudah dipersiapkan,
baik dana maupun persenjataan. Perusuh-perusuh binaan ini adalah para
teroris yang tidak segan membunuh sipil dan anak-anak kecil sekalipun.
Barat menamakan mereka “aktivis”.
Amerika – Israel begitu bernafsu menggulingkan pemerintahan sah Damaskus
dan menggunakan segalam macam cara termasuk veto PBB, dikarenakan
dukungan penuh dan tanpa henti Suriah terhadap trio muqowamah; Iran,
Hamas dan Hizbullah. Inilah inti sebenarnya kengotototan Washington.
Di
samping itu, karena Damaskus begitu mesra dengan musuh Amerika, Rusia
dan Cina. Sehingga banyak analis perang mengatakan kalau krisis suriah
sebenarnya perang antara Amerika vs Rusia Cina. Bahkan kalau seandainya
perang jadi digelar akan terjadi perang dunia ketiga.
Maka tidak heran, jika Amerika-Israel tidak segegabah menurunkan NATO.
Sebagaimana kasus Libya yang secara langsung dan prontal mengobarkan
perang.
Disamping sudah kehabisan modal juga terlalu beresiko kalau
mengobarkan perang baru, maka konspirasi Amerika-Israel dengan
mempersenjatai teroris dan NATO secara tidak langsung.
Dalam sebuah operasi yang dilakukan pemerintah Suriah di kota Homs
terungkap bahwa agen Mossad, CIA dan Blackwater terlibat dalam kekerasan
militer di Suriah.
Bukti keterlibatan itu terkuak saat pihak militer Suriah menangkap 700
orang bersenjata dan mereka adalah warga Arab, Israel, dan Amerika yang
menggunakan senjata buatan Eropa .
Tulis Media Rusia, Rabu (7/3)
Al-manar juga melaporkan bahwa Pasukan keamanan Suriah mendapat bukti
yang kuat atas keterlibatan militer Barat 'dalam konflik internal
Suriah,
Ahli urusan strategis Suriah, Salim Harba mengatakan, "Orang-orang
bersenjata yang ditangkap adalah warga Negara Arab, Irak, dan Libanon.
Di antara mereka adalah juga agen intelijen Qatar dan non-Arab pejuang
dari Afghanistan, Turki, dan beberapa negara Eropa seperti Perancis, "
Harba juga mengatakan bahwa kantor koordinasi opoisi yang berada di
Qatar adalah disponsori oleh Amerika.
Selain itu, Kebocoran informasi
yang diperolah dari perusahaan intelijen Stratfor juga menunjukkan
tentara NATO yang menyamar sudah berada di berbagai tempat di Suriah
sejak lama.
2. Liga Arab, Saudi, Qatar dan Turki Dalam krisis yang terjadi di Suriah, Liga Arab sudah kehilangan legitimasinya.
Sejatinya, Suriah yang nota bene merupakan anggota Liga
Arab dan berhak mendapat perlindungan, justru menjadi korban kebijakan
pengayomnya. Dari awal sejak krisis Suriah terjadi, negara-negara liga
Arab justru mengembargo pemerintahan Asad dan menguncilkan Damaskus. Dan
liga Arab pulalah yang memaksa krisis Suriah menjadi urusan
internasional dengan melibatkan PBB.
Liga Arab menjadi kaki tangan dan corong Amerika-Israel, maka Saudi dan
Qatarlah yang mewakili kepentingan mereka, karena mereka punya
kepentingan dan urusan yang sama. Disamping unjuk gigi supaya dianggap
sebagai negara berpengaruh di kawasan, Saudi dan Qatar juga berupaya
menjegal Iran yang dianggap mempunyai pengararuh besar di kawasan.
Menyingkirkan peran Iran terkait krisis Suriah adalah hal penting buat
mereka.
Aliran dana dan persenjataan kepada oposisi dan teroris bayaran dari
Saudi dan Qatar mengalir deras, dengan melibatkan Turki diperbatasan
negaranya. Pelatihan-pelatihan perang kepada oposisi oleh CIA jauh-jauh
hari juga sudah dilakukan di Turki.
Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Hamad bin Jassim al-Thani dalam
pertemuan para menlu Liga Arab di Kairo, Sabtu, 10/03/, begitu bernafsu
supaya secepatnya menyerang Suriah.
"Saatnya tiba untuk melaksanakan usul mengirim pasukan Arab dan
internasional ke Suriah," kata Sheikh .
Menteri Informasi Suriah, Adnan Mahmud mengatakan, Arab Saudi dan Qatar
mendukung "geng teroris bersenjata" beroperasi di Suriah dan mengatakan
bahwa mereka bertanggung jawab atas insiden pembunuhan di negara ini.
"Beberapa negara mendukung geng teroris bersenjata, seperti Arab Saudi
dan Qatar, teroris adalah kaki tangan mereka, dan menargetkan warga
Suriah ... mereka harus bertanggung jawab atas pertumpahan darah," kata
Mahmoud.
Sheikh Mohammad Alaedin Madhi (16/3), seorang ulama senior Mesir
mengatakan, Arab Saudi dan Qatar terang-terangan campur tangan dalam
urusan internal negara-negara Muslim lainnya dan menyebut dua negara
tersebut sebagai 'pelayan Israel' karena sedang melaksanakan rencana
Israel-AS di Suriah.
"Pertama, apakah ada demokrasi di Qatar dan Arab Saudi? Saya tidak
berpikir begitu. Mereka sudah mengganggu di Libya. Mereka juga sudah
membunuh orang ratusan kali lebih dari yang Gaddafi lakukan di Libya.
Mereka (Qatar dan Saudi) tidak ada hubungannya dengan Islam." Kata ulama
tersebut dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Press TV di ibukota
Mesir, Kairo.
Bahkan utusan PBB-Liga Arab, Kofi Annan ketika berusaha mencari solusi
damai atas kerusuhan Suriah dengan cara mendesak supaya menghentikan
kekerasan, justru Kelompok-kelompok bersenjata di Suriah binaan Saudi
dan Qatar menolak proposal itu.
Mantan Sekjen PBB ini memperingatkan setiap intervensi militer di Suriah
dan setiap kesalahan perhitungan tentang Suriah akan berdampak
mengerikan bagi kawasan. Dan konspirasi busuk yang berdampak mengerikan
di Suriah saat ini justru sedang berlangsung.
3. Al Jazira, Al Arabiya Dan Media-Media Corong Amerika-Israel
Untuk memuluskan konspirasi yang mereka rancang di Suriah, Amerika,
Israel, Turki, Saudi dan Qatar menggunakan media-media mainstream
sebagai corong kebijakan busuk mereka. Media yang sejatinya sebagai
penerang dan alat warta kebenaran dan berkeadilan, ditangan musuh-musuh
Suriah menjadi senjata mematikan untuk mempengaruhi opini publik dunia.
Media masa mereka menjadi alat pembenaran arogansi. Barat mengedepankan
jargon kebebasan bereksperi, tapi itu hanya untuk musuh mereka dan demi
kepentingan mereka sendiri. Sangat disayangkan, media-media nasional di
Indonesia menelan mentah-mentah pemberitaan bohong itu (baca editorial
Islam Times, Kompas Ngawur (Lagi) Soal Pemberitaan Suriah)
Pekerja media di Al Arabiya milik Saudi Arabia dan Al Jazeera milik
Qatar, karena kemanusian dan independensinya terusik ketika harus
memanifulasi pemberitaan yang bertentangan dengan fakta, ahirnya
ramai-ramai mengundurkan diri (baca editorial Islam Times, Al-Jazeera
akan Gulung Tikar?) dan berita Tertangkap Basah: CNN Palsukan Video
Kerusuhan Suriah)
Duta Suriah untuk PBB Bashar al-Jaafari mengatakan, seorang wartawan
dari Kantor Berita Qatar, jaringan TV Al-Jazeera, di London, memberikan
catatan kepadanya dan mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Qatar
menginstruksikan kepada jaringan Al-Jazeera untuk meningkatkan jam
tayang liputan media Al-Jazera terkait kerusuhan pesanan di Suriah,
sebelum pertemuan Dewan Keamanan pada tanggal 4 Februari lalu.
Ia pun mengkritik saluran televisi berita, Al Arabiya Saudi dan Al
Jazeera milik Qatar, yang didirikan semata untuk "melayani kepentingan
Israel."
4. Wahabi, al Qoida dan Fatwa Ulama Saudi.
Kospirasi yang lebih busuk lagi dalam krisis politik bikinan di Suriah
adalah menyatunya antara Fatwa ulama Saudi untuk membenarkan tindakan
pemerintahannya mengintervensi Suriah dan seruan pemimpin al Qoida
pengganti Osama kepada para pengikutnya untuk mendukung pemberontak dan
kesemuanya sejalan dengan keinginan Amerika dan Israel.
Mufti Agung Arab Saudi dan Ketua Ulama Senior Sheikh Abdul Aziz bin
Abdullah Al-Sheikh, berfatwa bahwa mendukung Tentara pemberontak di
Suriah dan membuatnya lebih kuat seiring dengan semakin lemahnya rezim
Suriah adalah bentuk jihad di jalan Allah.
Mufti Wahabi panutan kelompok takfiri tersebut mengatakan bahwa segala
hal yang bisa memperkuat Tentara Bebas Suriah dan memperlemah rezim
Suriah diperbolehkan oleh Syariah (hukum agama).
"Upaya melemahkan rezim Suriah, adalah cara berjuang untuk Allah"
tandasnya.
Pemimpin Al-Qaedah, Ayman Al- Zawahiri dalam sebuah rekaman video
berdurasi delapan menit dengan judul Onwards, Lions of Syria di sebuah
situs, menyerukan para pengikutnya yang berada di Turki, Irak, Yordania
dan Libanon untuk mendukung para pemberontak Suriah.
“Rakyat Suriah masih terus berduka setiap hari, sedangkan Bashar
al-Assad tidak kunjung tergoyahkan," ujar al-Zawahiri seperti dikutip
Reuters Minggu, (12/2).
Dia pun menyeru pengikut Wahabi supaya membantu saudara-saudaranya di
Suriah dengan semua yang mereka bisa, hidupnya, uangnya, serta informasi
yang dimiliki.
Sebagaimana diberitakan, Deputi kementerian dalam negeri Irak mengatakan
kepada AFP, hari Sabtu (11/02) bahwa orang-orang al Qoida dengan
senjata lengkap bergerak dari Irak menuju Suriah. Di Irak mereka meneror
orang-orang Syiah dan menimbulkan kekacauan, setelah sebagian tentara
Amerika ditarik dari Irak, sekarang di Suriah memerangi pasukan keamanan
Suriah demi melancarkan agenda Amerika-Israel, saudi-Qatar.
Disadari atau sengaja, konspirasi ulama Wahabi dan seruan pemimpin al
Qaida itu sebenarnya dalam rangka melemahkan perjuangan rakyat Palestina
dan demi mendukung eksistensi Zionis di kawasan. Bohong belaka mereka
memerangi Amerika dan Israel sedangkan yang memperkuat perlawanan di
Palestina adalah Basar al Asad di Suriah.
Amerika, Israel, Saudi, Qatar, Turki, al Qaida adalah setali tiga uang,
sama-sama berkonspirasi menimbulkan kekacauan di Suriah demi
menggulingkan pemerintah dukungan rakyat pendukung perlawanan Palestina.
Siapa yang akan menang? Kemenangan milik Suriah yang bertahan dan berani
melawan dengan dukungan segenap rakyatnya. [IslamTimes/sa]
Catatan Diskusi “Masa Depan Politik Timur Tengah : Konflik, Agama dan Politik”
http://hmislemanblog.wordpress.com/2013/12/23/catatan-diskusi-masa-depan-politik-timur-tengah-konflik-agama-dan-politik/
Dua Akar Konflik
Pergolakan timur tengah selalu menarik diamati, dinamika yang berkembang disana sangat dinamis dan penuh dengan gejolak. Ahmad Sahide, melihat bahwa peta politik timur tengah secara umum bisa dilihat dari dua faktor, pertama, masalah agama, penganut faham islam sunni dan penganut faham islam syiah. Konflik ini sebenarnya konflik lama antara fathimiyah dan ummayah-abbasiyah, dan terus berlangsung lama, tetapi direproduksi ulang sejak pasca revolusi islam iran. Kemunculan Iran yang beraliran Syiah dianggap sebagai salah satu ancaman bagi stabilitas politik di timur tengah, khususnya Arab Saudi yang beraliran wahabisme Sunni. Arab Saudi sangat mengkhawatirkan penyebaran ajaran syiah di kawasan timur tengah, dilain sisi secara resmi Saudi menyebut syiah sebagai bukan islam. Faktor kedua adalah, sikap politik, yang pro barat dan anti barat. Sikap pro barat sangat ditunjukan oleh Arab Saudi, Mesir (dibawah Anwar Sadat dan Husni Mubarak) yang sejak awal menjadi sekutu utama Amerika Serikat, sedangkan sikap politik anti barat sering dimunculkan oleh berbagai kekuatan politik timur tengah, diantaranya Iran, Iraq (di zaman Saddam Husein), Libya (di bawah Khadafi), Hamas di Palestina, Hizbullah di Iran. Perbedaan sikap politik ini berhasil membangun konfigurasi diplomasi regional yang dinamis.Arab Spring dan Peta Regional
Dalam konteks kontenporer ada beberapa kekuatan kunci yang perlu diamati, yaitu, Arab Saudi dengan Wahabismenya, Iran dengan Syiahnya, kemudian pendatang baru Turki dibawah Erdogan. Mereka adalah kekuatan dominan yang memiliki pengaruh regional. Pasca arab spring, terjadi pergulatan masif, pertama, dihancurkanya rezim ben ali di Tunisia dan rezim Khadafi di Libya, kemudian digulingkanya Mubarak di Mesir. Perubahan peta politik ini kemudian merambah di Bahrain dan Suriah. Tunisia, Libya dan Mesir, kalangan islamis nasional berhasil merebut kekuasaan pasca runtuhnya rezim akibat intervensi barat, walaupun di mesir akhirnya IM justru dikudeta ulang oleh militer. Sedangkan di Bahrain dan Suriah, dua negara dengan tipikal unik, Bahrain mayoritas Syiah tetapi pemimpinya sunni, sedangkan Suriah mayoritas sunni tetapi pemimpinya syiah. Disinilah terjadi pergolakan yang dipicu oleh Arab Saudi dan Iran, keduanya berusaha memperebutkan pengaruh. Bahrain berhasil diamankan setelah Arab Saudi memberikan bantuan besar-besaran pada pemerintahnya dan internal negerinya cukup solid tidak terpecah sehingga konflik mudah dipadamkan, sedangkan Suriah ternyata menjadi medan konflik, dikarenakan suriah merupakan salah satu wilayah strategis. Perebutan suriah tidak hanya didukung kekuatan regional iran dan Saudi, tetapi juga didalangi peran barat (AS dan eropa) dengan Rusia dan China (China merupakan pihak paling dirugikan pasca jatuhnya khadafi karena kontrak energi China dan Uni Afrika di bawah Khadafi dibatalkan oleh Barat) . Keduanya saling mempertahankan dengan sekuat tenaga, terbukti dengan veto Rusia untuk menolak intervensi militer DK PBB ke Suriah.Konfigurasi politik di berbagai Lahan
Konfigurasi politik timur tengah cukup unik, pasca jatuhnya Mubarak di mesir, IM yang berkuasa ternyata didukung oleh pihak salafi (wahabi) di parlemen, mereka berkoalisi untuk membentuk pemerintahan, tetapi langkah Mursy untuk melakukan pendekatan ke Iran dan China dianggap sebagai bahaya oleh barat sehingga Mursy dengan skenario cantik dijatuhkan melalui kudeta militer yang didukung barat (barat tidak menyebutnya sebagai kudeta). Mursy berusaha membangun kekuatan anti barat bersama Iran, di saat inilah barat dan Arab Saudi khawatir, maka wajar ketika Mursy dijatuhkan partai salafy memilih diam. Kenaikan mursy juga menyisakan momok yang menjadikanya mudah dijatuhkan salah satunya, gerakan pembersihan orang-orang non IM dari berbagai lembaga pemerintah, bahkan hingga tingkat kepala sekolah yang non IM harus diganti, sehingga menjadikan reaksi cukup keras dikalangan kelas menengah mesir untuk membiarkan jatuhnya mursy. Pemerintahan Mursy menjadi satu preseden penting, bahwa IM di Mesir belum sepenuhnya siap memimpin.Konfigurasi di Mesir berbeda di Palestina, Hamas dan Hizbullah bahu-membahu melawan Israel. Iran, Turki, dan ikhwanul muslimin di mesir bersatu untuk saling mendukung melawan zionisme Israel, dan mereka sama-sama mengutuk Saudi yang memilih diam bahkan seringkali melindungi israel. Tetapi, ketika peta konflik berubah di Suriah, perubahan koalisi terjadi. Turki, IM (di mesir), dan Saudi bersatu dengan barat untuk menghabisi Assad yang didukung Iran, dan di-back up-i Rusia dan China (assad penganut aliran syiah, sedangkan mayoritas penduduk suriah adalah sunni). Motif konflik ini ibarat perulangan perang dingin baru yang terjadi di Timur Tengah, dimana dua kubu raksasa dunia bertarung dengan meminjam tangan-tangan rakyat sebangsa, hanya saja isu konflik sunni-syiah menjadi alat utamanya. Barat dan Rusia-China jelas melihat timur tengah sebagai sumber daya strategis terutama terkait dengan cadangan migas yang terdapat didalam perut buminya. Kegagalan Arab Saudi untuk menggulingka Assad ternyata berdampak pada gerakan untuk menghabisi seluruh sayap-sayap politik syiah di seluruh dunia, dengan gencar kampanye anti syiah yang didanai besar-besaran.
Masalah dan Solusi
Permasalahan besar di Timur tengah, adalah tidak adanya pranata demokrasi yang mendukung proses demokratisasi berjalan.Pertama, tingginya ashobiyah, primordialisme sehingga tidak berkembang wacana pluralism, toleransi ataupun nasionalisme,
kedua, minimnya kampus-kampus kajian sosial-politik, jika pun ada hanya dinikmati orang-orang dari keluarga elit,
Ketiga,tidak munculnya media dan civil society independen. Media dikuasai oleh kalangan raja-raja (aljazeera) sedangkan civil society tidak berkembang secara wacana, sehingga perlawanan selalu diartikan dengan angkat senjata, perlawanan terhadap pemerintah dilakukan dengan cara memberontak (Al Qaeda, dll).
Keempat, standar ganda barat, barat tidak berusaha mendemokratiskan timur tengah karena tidak sesuai dengan kepentinganya, demokrasi sejati akan membawanya sulit untuk menguasai timur tengah. Maka barat yang getol menyerukan demokrasi tidak melakukanya di Timur Tengah. Barat menuduh Iran tidak demokratis, tetapi sama sekali tidak menyinggung Arab Saudi.
Kelima, terjadinya perselingkuhan agama dan politik, kerajaan-kerajaan islam selalu melegitimasi setiap tindakanya dengan berbagai fatwa ulama-ulamanya, tetapi terkadang dalam politik sangat terlihat inkonsistensi sikapnya yang menunjukan bahwa ulama benar-benar dijadikan sekedar tameng politik.
Solusi untuk Timur Tengah,
pertama, perlu penyemaian gagasan pluralism, toleransi yang moderat untuk membentuk kesadaran plural di masyarakat Arab,
kedua, memperkokoh kajian-kajian, kampus dan studi-studi sosial politik di timur tengah,
Ketiga, mendorong lahirnya media dan civil society yang independen, termasuk kalangan ulama independen yang tidak menjadi bagian dari praktek politik kekuasaan.
Refleksi
Konflik timur tengah memberikan pelajaran penting, pertama, toleransi menjadi bagian penting dari bangunan sebuah bangsa, kedua, konflik internal umat islam tentang sunni dan syiah menjadi momok besar yang perlu disikapi secara bijak agar tidak berujung pada konflik horizontal, ketiga, keberadaan pranata demokrasi, kampus, civil society (termasuk ulama) dan media yang independen menjadi penentu berlangsungnya demokratisasi negara tanpa kooptasi kepentingan politik(tulisan ini dikutip dari berbagai gagasan yang muncul dalam diskusi yang dipantik oleh Mas Ahmad Sahide, Kandidat Doktor Kajian Timur Tengah UGM) pada 19 Des 2013 di Sekretariat HMI MPO Cabang Sleman
Perbandingan Politik Arab saudi dan Iran
- PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkembangan politik di dunia Islam menjadi perhatian berbagai kalangan ketika beberapa negara di dalam kawasan Middle East North Africa (MENA)
mengalami perubahan yang sangat dinamis dengan ditandai oleh berbagai
revolusi di beberapa negara tersebut. Hal tersebut sebenarnya memberikan
sebuah tanda bahwa kawasan dunia Islam, khususnya di MENA mampu
memberikan perbedaan di dalam perkembangan politik di dunia bagi
perbandingan politik negara-negara di dunia Islam, bahkan dunia
internasional.
Secara khusus, selain berbagai negara yang telah atau sedang mengalami
berbagai pola perubahan politik di dunia Islam seperti Tunisia, Mesir
dan Libya. Adapun, negara-negara yang belum mengalami situasi dan
kondisi seperti negara-negara yang telah disebutkan tersebut, masih
kokoh berdiri dengan berbagai kekuatan yang dimilikinya sebagai fondasi
dasar negara bangsa tersebut dalam melindungi eksistensi negaranya,
meskipun sebenarnya negara-negara ini mempunyai potensi yang sama dari
negara-negara yang mengalami perubahan politik.
Kedua negara yang akan dibahas dalam makalah ini memang telah mengalami
berbagai proses panjang dalam mempertahankan posisi strategis negara
ini sehingga mampu berdiri dengan berdasarkan fondasi yang kokoh, selain
memiliki perbedaan mendasar dari beberapa negara yang mengalami
perubahan politik itu, kedua negara ini, yaitu Kerajaan Arab Saudi dan
Republik Islam Iran mempunyai pendekatan khusus dalam melakukan berbagai
kegiatan politik yang selalu didasarkan pada pemahaman nasionalisme
sebagai kekuatan lokal dan keagamaan, dalam hal ini Islam.
Walaupun kedua negara ini mampu memperjuangkan eksistensi di tengah
pergolakan politik di dalam kawasan MENA, namun perlu diketahui bahwa
gerakan oposisi di dalam negara tersebut memberikan tekanan-tekanan
terhadap proses demokratisasi di kedua negara tersebut, meskipun dalam
bentuk kecil. Perbedaan lain yang menarik dalam pembahasan kedua negara
ini adalah aliran-aliran dalam Islam di kedua negara ini saling bertolak
belakang yang menandai bahwa aliran Islam ini—sunni-syiah--, walaupun
memiliki perbedaan di kedua negara, tetapi mampu menjadi dasar yang kuat
dalam pembentukan kerangka negara bangsa di kedua negara ini.
Dalam hal ini, keberhasilan atau kegagalan dari liberalisasi politik (demokrasi) tergantung pada resolusi konflik antara elit Arab dalam mempromosikan ekonomi pasar bebas, rezim mereka, dan negara-negara otoriter yang mereka kontrol, sehingga memungkinkan suatu rezim akan runtuh dalam berbagai kekuatan tersebut.[1]
B. PEMBAHASAN KERAJAAN ARAB SAUDI
http://akuanalisa.blogspot.com/2012/01/perbandingan-politik-arab-saudi-dan.html
1. Latar Belakang Kerajaan Arab Saudi
Sebenarnya Kerajaan Arab Saudi, selanjutnya disebut Arab Saudi, terbentuk atas dasar hubungan antara Muhammad bin Saud, disebut juga sebagai Abdul Aziz (kelompok
Saud) dengan Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) sebagai bentuk
keterkaitan antara kekuasaan militer lokal dan agama. Dengan terjadinya
hubungan tersebut, dapat dipastikan hak-hak rezim untuk memerintah
sangat bergantung pada kedua hubungan itu. Dalam persekutuan tersebut,
aliansi Arabia Tengah antara Muhammad bin Abdul Wahab sebagai kaum
kebangkitan Islam dalam mengikuti dan menganut kepercayaan tentang
keesaan Tuhan secara murni, secara tegas menolak terhadap yang lainnya,
yaitu musyrik atau pemujaan terhadap berhala, yang berasal dari wilayah
setempat dengan Muhammad bin Saud dari Diriyah dalam wilayah Nejed
(dekat wilayah Riyadh) yang mempunyai basis militer kelompok Saud.
Persekutuan tersebut terjadi pada tahun 1744[3]
dengan mempersatukan visi spiritual dan ambisi temporal sehingga
menghasilkan gerakan religis-politis yang gemilang dengan merebut dan
menguasai Mekkah dan Madinah pada tahun 1802 dan menyatukan suku-suku
yang tercerai-berai di Arabia.[4]
Pada waktu itu pula tercipta kesatuan masyarakat Islam dibawah pimpinan
seorang imam/raja yaitu Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab
sebagai pemegang bimbingan keagaman dan pengesahan hukum Islam.
Selanjutnya, pemerintahan Arab Saudi ini adalah hasil perjuangan
persekutuan antara kedua belah pihak tersebut yang melahirkan konsep
gerakan religis-politis dengan mengalahkan kekuasaan Ottoman Turki di
Arab. Keberhasilan keluarga Saud mengambil alih wilayah-wilayah dari
Turki Usmani yang dikuasai oleh Muhammad Ali Pasha karena didukung oleh
gerakan keagamaan kelompok Wahabi yang bergerak dari Nejed pada tahun
1744.[5]
Pada periode berikutnya di wilayah Arab ini terjadi kegoyahan
pemerintahan karena terjadi perebutan kekuasaan antara keluarga sampai
tahun 1902, sehingga pada kemudian hari muncul seorang pemimpin yang
sangat berpengaruh dari dinasti itu, yaitu Abdul Aziz bin Saud yang
bertempat tinggal di Riyadh dengan dukungan kelompok Wahabi. Dengan
begitu, daerah-daerah tersebut kembali bersatu dan pada tahun 1913,
kekuasaan Turki mulai berkurang, bahkan mampu terpinggirkan hingga
keluar dari daerah Hasa, hingga pada tahun 1925, keluarga Hasyimiah
menyerahkan Hijaz dan pada akhirnya pada tanggal 23 September tahun 1932
diproklamirkan seluruh wilayah ini sebagai negara bangsa Arab Saudi.[6]
Dengan demikian, Arab Saudi sampai mengalami perkembangan saat ini dan
mengalami stabilitas politik didasarkan pada penyatuan dua basis besar
dalam perjalanan pemerintahan Arab Saudi saat ini, sehingga dapat di
analisa bahwa Arab Saudi dapat mengalami perubahan politik yang besar,
dalam hal ini pergolakan politik, ketika persatuan internal dari kedua
basis besar tersebut mengalami perpecahan.
- Islam dan Konstitusi di Kerajaan Arab Saudi
Secara
politik, konstitusi adalah bagian dari kesepakatan-kesepakatan politik
yang dipergunakan oleh setiap negara dalam melakukan kegiatan
pemerintahannya. Dengan begitu, konstitusi adalah bagian dari negara
bangsa, yaitu sebuah negara yang mempunyai kejelasan dalam bagian-bagian
wilayahnya. Secara langsung sebenarnya Arab Saudi, ketika dilihat dari
segi kekuasaan yang mempunyai berbagai wilayah serta pemerintahan perlu
atau harus mempunyai konstitusi sebagai dasar pedoman pemerintahan.
Dengan demikian jelas bahwa Arab Saudi memiliki konstitusi, meskipun
tidak dalam buatan manusia secara umum, dengan berbagai
kesepakatan-kesepakatan politik yang menjadi penyatuan pemahaman dari
para pengambil kebijakan bentuk konstitusi Arab Saudi tersebut.
Dalam bagian ini, konstitusi dari Arab Saudi adalah al-Qur’an dan
syariat Islam, dengan konstitusi seperti itu, Islam dalam hal ini
al-Qur’an dan syariat Islam terus menerus memberikan basis ideologi bagi
kekuasaan kelompok Saud dan mengalami pengesahannya sepanjang hukum.
Sekalipun bentuk kerajaan bukan lembaga yang bersifat Islam, tapi
kerajaan itu diberi landasan yang rasional bahwa seluruhnya, bahkan juga
raja tunduk kepada hukum Islam sehingga al-Qur’an dan hukum Islam
memberikan basis dan struktur fundamental bagi negara terhadap
konstitusi, hukum dan peradilan.[7] Pada tahun 1992, Arab Saudi melakukan transformasi baru dalam hal konstitusi yang kemudian menetapkan Basic Law of Goverment dalam mengurus pemerintahan, hak dan kewajiban pemerintah serta warga negara.
Agar lebih jelas, di dalam ayat 1 pada undang-undang Arab Saudi
menyebutkan bahwa: "Kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab Islam,
memiliki kedaulatan penuh, Islam sebagai agama resmi, undang-undang
dasarnya al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam,
bahasa resmi bahasa Arab, dan ibukotanya Riyadh". Dan ayat 5 menyebutkan
bahwa sistem pemerintahan di Arab Saudi adalah Kerajaan atau Monarki.
Selanjutnya, kebijaksanaan ini (kekuasaan monarki) memberikan fleksibilitas
yang besar terhadap raja dari Arab Saudi dalam menetapkan aturan bagi
seluruh wilayah yang tidak secara khusus didasarkan pada al-Qur’an dan
syariat Islam. Dalam tindakan seperti itu, sehingga menurut kerajaan
sangat mubazir/sia-sia membuat konstitusi tertulis sebab telah terjawab
dari pidato pangeran Faisal pada tahun 1963, pada saat satu tahun
sebelum menjabat raja yang mempunyai inti bahwa yang diinginkan oleh
manusia adalah kebaikan, keamanan, kebebasan, kesembuhan dan
perkembangan ilmiah, dan hal itu semua berada dalam satu tempat, yaitu
syariat Islam dan syariat Islam itu masuk di dalam al-Qur’an. Dengan
demikian, kesepakatan-kesepakatan politik, yaitu konstitusi dipahami
oleh pengambil kebijakan, yaitu raja sebagai sebuah pemahaman mengenai
al-Qur’an dan syariat Islam.
Oleh karena itu, konstitusi dari kerajaan ini berbeda dengan berbagai
negara bangsa yang lain, sebab kesepakatan-kesepakatan politiknya pun
berbeda sehingga melahirkan perbedaan pandangan tentang makna
konstitusi. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa Arab Saudi memiliki
konstitusi yang berasal dari para pengambil kebijakan, yaitu seorang
raja dalam menetapkan suatu konstitusi sebagai dasar pelaksanaan
pemerintahan, dan konstitusi tersebut bersifat teologis yaitu al-Qur’an
dan syariat Islam.
Meski syariat Islam berlaku disana, namun dalam beberapa hal, sistem
hukumnya juga mengenal perundang-undangan sekuler sebagai upaya untuk
bisa menjembatani dan mengimbangi dalam hubungan dengan dunia luar,
apalagi dalam kaitannya dengan hubungan dagang minyak (joint petrolioum) dengan negara-negara Barat terutama Amerika Serikat.[8]
Dalam bagian lain, kekuasaan raja di Arab Saudi tidak Absolute Monarch
menurut Jhon L. Esposito, sebab raja harus tunduk kepada syariat. Dalam
hal ini raja memerintah tidak berdasarkan hak ketuhanan (Divine Right)
tetapi secara informal dipilih oleh Dewan Keluarga Saud. Dengan begitu,
menyimpang dari syariat adalah dasar bagi penyingkirannya dari
jabatannya seperti halnya dengan Saud bin Abdul Aziz, yang memerintah
dari tahun 1953 sampai tahun 1964 yang terbukti inkonstitusional sebab
lebih mengutamakan kepentingan selera yang melampaui batas daripada
memerintah.[9]
Namun, secara pelaksanaan di lapangan tetap saja raja memiliki peran
besar, hal ini yang memberikan legitimasi bahwa Arab Saudi murni monarki
absolut, meskipun demikian tuntutan dalam membatasi kekuasaan raja
tetap ada.
- Bagan Struktur Kekuasaan Kerajaan Arab Saudi
- Sistem Politik Kerajaan Arab Saudi
Sebelum membahas secara jauh, sebenarnya nama resmi negara bangsa Arab Saudi berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Mamlakah al-Arabiyah as-Saudiyah.
Selanjutnya bagian ini akan menjelaskan berbagai pengalaman negara ini
dalam menjalankan sistem politik untuk melangsungkan mekanisme
pemerintahan. Sejak kekuasaan dilaksanakan oleh dua basis besar, yaitu
Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab, praktis kekuasaan
sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dilaksanakan secara langsung
oleh raja dalam suatu dinasti, yang kemudian disebut sebagai monarki
feodal Arab.[10]
Begitu juga jabatan-jabatan penting lainnya dikelola oleh keluarga
raja, bahkan Komisi Pengawasan Pengadilan diangkat dan ditunjuk oleh
raja, demikian pula dalam hal pemerintahan daerah, serta gubernur dari
semua provinsi ditentukan dan dipilih oleh raja.[11]
Dalam
hal pemisahan kekuasaan di Arab Saudi, maka akan dibahas beberapa hal
mengenai pemisahan kekuasaan di dalam sistem yang diterapkan di kerajan
ini, pertama dalam hal eksekutif yaitu kepala negara dipegang
oleh seorang raja yang telah ditetapkan oleh mekanisme Dewan Keluarga
Saud sehingga tidak ada partai politik di Arab Saudi, setelah itu ketika
semakin maju proses pemerintahan, maka dibentuk berbagai departemen
yang pejabatnya dipegang oleh keluarga Saud.[12]
Kedua,
dalam bidang legislatif menjelang tahun 2000, untuk menghadapi era
globalisasi dan tekanan demokratisasi, maka terbentuk suatu badan
musyawarah atau majelis syura dalam merespon berbagai tekanan, bahkan
dianggap berbagai kalangan pengamat sebagai upaya menghindar dari
pembentukan partai politik. Ketiga, yudikatif yaitu sistem
peradilan yang terdiri dari pengadilan-pengadilan biasa, pengadilan
tinggi agama Islam dan sebuah mahkamah banding. Sistem hukum ini
bersumber dari al-Qur’an yang bersumber dari hadis periwayatan sunni
mazhab Wahabi. Adapun, disana berlaku pula hukum adat dan hukum suku
yang diawasi oleh Komisi Pengawas Pengadilan.
Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa Arab Saudi mempunyai bentuk
pemerintahan Monarki Konstitusional, yaitu kerajaan yang harus tunduk
dan taat kepada konstitusi, yakni al-Qur’an dan syariat Islam, hal
tersebut berdasarkan pengamatan Jhon L. Esposito. Jadi, ketika seorang
raja menyimpang dari konstitusi tersebut, maka boleh disingkirkan dan
hal itu dilakukan oleh Dewan Keluarga Saud. Dalam sistem politik ini
memang tidak demokratis, namun seiring dengan perkembangan dan munculnya
tuntutan berbagai kelompok, maka terdapat nilai-nilai demokrasi,
walaupun sangat kecil sekali, bahkan sebagian pengamat menyebut sama
sekali tidak ada.
- Tuntutan Reformasi oleh Gerakan Islam (Proses Demokratisasi Semu)
Memang
harus diakui bahwa gerakan Islam di Arab Saudi agak sulit terjadi
karena sistem otoritarianisme yang begitu kuat dan juga dampak dari
kekayaan minyak. Tetapi, harus diakui juga bahwa para aktivis Islam
memberikan penyatuan perhatian terhadap ideologis dan material dalam
pembingkaian rasa ketidakpuasaan itu terhadap rezim yang menurut banyak
ahli berhasil. Pertama aktivis ini mengkritik secara ideasional bahwa rezim telah keluar dari jalur Islam yang benar. Kedua
menurut aktivis Islam ini telah ada penghapusan kontrak sosial antara
negara dan masyarakat di Arab Saudi. Hal tersebut yang menuai protes
oleh gerakan Islam ini karena sentimen yang diambil menjadi penting
sehingga memberi masukan agar ada renegotiation kontrak dan pendefinisian-ulang aturan main. Hal tersebut sebenarnya secara tidak langsung adalah penggerogotan rezim.
Dalam beberapa hal juga perlu diketahui, para aktivis Islam memberikan
pembingkaian sejarah yang murni daripada bingkaian sejarah yang diberi
oleh rezim yang sarat dengan tipu daya akan status quo.
Sebenarnya aktivis Islam memberikan bingkai baru agar hal tersebut
mendominasi pada tataran yang kecil sehingga nantinya diharapkan menjadi
besar. Struktur ini dimainkan secara baik di tingkat pedesaan dalam
memberikan wacana terhadap rezim. Namun, lagi-lagi ada hambatan yang
begitu kuat, terutama sistem dari rezim ini telah mengakar pada beberapa
individu yang membuat perubahan menjadi susah dalam menggerakkan
gerakan Islam.
Perubahan Gerakan: Tuntutan Menjadi Alternatif
Setelah
berjibaku untuk melakukan aksi kolektif dalam upaya gerakan sosial yang
menimbulkan berbagai kesulitan dalam berbagai bidang. Akhirnya, pada
1991 beberapa intelektual memberikan petisi untuk pemulihan nilai-nilai
Islam yang diterima oleh ulama negara kemudian diserahkan kepada Raja. Pertama, petisi
itu ditolak dan beberapa tahun kemudian dikirim lagi dengan tuntutan
yang lebih berani dan keras dalam mengkritik kebijakan yang terjadi
dalam pemerintahan Fahd.[13]
Ada hal yang menarik disini, bukan karena kritik tuntutan tersebut,
tetapi lebih jauh lagi aksi kolektif yang inovatif memberikan sebuah
rangsangan yang mengubah perbincangan politik di Arab Saudi. Hal ini
memberikan kebebasan masyarakat terhadap pembicaraan politik dan agama
dalam hal pembebasan pemikiran, yang dahulu ditentang. Meski kita
mengetahui bahwa masyarakat Arab Saudi ragu terhadap kemampuan mereka
dalam merubah sistem, namun mereka memiliki keyakinan terhadap Islam.
Izin kritik telah terbuka yang artinya pembebasan berpikir tidak dapat
ditutup lagi, hal tersebut karena aksi kolektif dari aktivis Islam.
Lebih jauh lagi, aksi kolektif dalam upaya memberikan kritik ini
menjadi terbuka lebar bukanlah suatu akhir dari gerakan, tetapi ini
hanyalah rangkaian yang akan memberikan suatu perjalanan yang baik dari
kerangka gerakan sosial. Dalam hal tersebut, sebenarnya Islam memainkan
peran penting dalam mendobrak kerangkeng rezim. Kaum Islamis secara
agresif memberikan peralawanan terhadap rezim karena kaum ini melekat
dengan beberapa kelompok sosial, ekonomi, daerah, komunal dan
sebagainya. Hal yang dapat dibenarkan juga adalah karena kelompok Islam
mampu bersusah payah dalam rangka berjuang melawan rezim serta
meyakinkan rezim tersebut. Dari pembahasan tersebut, dapat diartikan
bahwa gerakan sosial dalam arti penggulingan kekuasaan memang tidak
terjadi, namun dalam rangka memajukan Arab Saudi menuju reformasi
sepertinya telah berhasil lewat beberapa kebijakan yang telah ada.
- Posisi dan Pengaruh Kerajaan Arab Saudi di Dunia Internasional
Pengaruh
Arab Saudi di dunia internasional sangat kuat, terutama karena minyak
yang merupakan alat politik, sehingga mengakibatkan pihak Barat terus
bergantung pada Arab Saudi, dengan begitu kekuatan Arab Saudi sangat
besar terhadap keberlangsungan pola konsumsi minyak pihak Barat. Sebagai
contoh, Arab Saudi pernah mengancam pihak Barat akan memboikot produksi
minyaknya, akibat meletusnya pertikaian Arab dan Israel yang didukung
oleh Amerika Serikat[14], sehingga pertikaian itu berakhir.
Selain minyak, kondisi strategis dalam segi geografi juga menjadi
pengaruh yang sangat besar bagi Arab Saudi, dimana di negara ini
terdapat kota suci dan simbol persatuan umat Islam di seluruh dunia,
sehingga Arab Saudi mampu memberikan pengaruh yang cukup besar di dunia
internasional karena terdapat pada posisi yang sangat baik dalam bidang
tertentu yang sebenarnya bidang strategis, yaitu sisi ekonomi dan
religius dalam kerangka persaingan berbagai negara di dunia
internasional.
C. PEMBAHASAN REPUBLIK ISLAM IRAN
1. Latar Belakang Republik Islam Iran
Kelompok-kelompok paling berpengaruh dalam perumusan filsafat pergerakan Revolusi Islam Iran, selanjutnya disebut Iran,
secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok: ulama pada
satu pihak dan intelektual awam di pihak lain. Di antara yang paling
menonjol di dalam kelompok ulama termasuk, tentu saja Ayatullah Syaikh
Murtadha Mutahhari dan Ayatullah Ruhullah Khomaeni. Sedangkan yang
paling menonjol dalam kelompok intelektual awam adalah Ali syari’ati,
Mehdi Bazargan dan Bani Sadr.[16]
Permusuhan antara rezim Reza Syah Pahlevi dan kelompok nasionalis
berawal dari pembentukan Majelis Parlemen 23 Juni 1908 oleh rezim yang
banyak merugikan rakyat, sehingga terjadi konflik terus menerus yang
akhirnya menghancurkan dominasi rezim ini. Dalam bagian lain, ketika
melihat lintas sejarah, wilayah Iran
mendapat campur tangan Eropa, terutama Inggris pada tahun 1779, pada
saat dinasti Qajar berkuasa. Jadi, perlu diketahui bahwa kondisi Iran sebelum berbentuk Republik Islam Iran adalah kerajaan.
Selanjutnya, ketika masih dibawah kekuasaan rezim Resa Syah Pahlevi
yang didukung oleh kekuasaan Amerika Serikat, sehingga berbagai
pengelolaan pemerintahan selalu menguntungkan pihak keluarga rezim
tersebut dan kepentingan pihak Amerika Serikat, hingga pada tahap
kegiatan ekonomi yang dilakukan rezim ini sangat merugikan rakyat,
terutama terhadap upeti yang harus diberikan rakyat bagi Pahlevi
Foundation, buatan rezim, dengan imbalan mereka mendapat bantuan
kesehatan dan pendidikan di negeri tersebut.
Kemudian pada tahun 1963 dikeluarkannya Referendum Nasional yang salah
satu isinya tentang hak guna lahan, sehingga pada tahun-tahun sesudahnya
terjadi berbagai kerusuhan hebat yang dicetuskan oleh National Front
yang akhirnya dimanfaatkan oleh berbagai elemen, seperti kaum agama dan
intelektual dalam meruntuhkan kekuasaan rezim, sehingga pada tahun 1979
terjadilah revolusi Islam Iran yang dipelopori oleh para ulama (Islam
syiah) dan cendekiawan/intelektual awam.[17]
2. Islam dan Konstitusi Republik Islam Iran
Konstitusi
dari Iran dibuat berdasarkan kesepakatan Majelis Para Ahli yang terdiri
dari wakil-wakil rakyat yang bertugas untuk menyusun Undang-Undang
Dasar berdasarkan rancangan usul pemerintah serta segala usul rakyat,
menyusun Undang-Undang Dasar yang berisi 12 bab yang mengandung 175
pasal prinsip dalam awal abad kelima belas tahun Hijriah.[18]
Perubahan
konstitusional dan institusional yang substansif dilakukan melalui
pemilihan. referendum tahun 1979 dengan agenda perubahan pemerintahan Iran
dari monarki konstitusional menjadi republik Islam. Majelis ahli yang
di dominasi para ulama dipilih untuk membuat rancangan konstitusi, yang
akan disahkan melalui referendum rakyat.[19]
Dalam
pandangan Khomeini, pemerintahan Islam bersifat tirani dan juga tidak
absolut kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional. Akan tetapi,
bukan bersifat konstitusional sebagaimana pengertian saat ini, yaitu
berdasarkan persetujuan yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan
suara mayoritas. Pengertian konstitusional yang sebenarnya adalah bahwa
pemimpin adalah suatu subjek dari kondisi-kondisi tertentu yang berlaku
di dalam kegiatan memerintah dan mengatur negara yang dijalankan oleh
pemimpin tersebut, yaitu kondisi-kondisi yang telah dinyatakan oleh
al-Qur’an dan Sunnah atas kondisi-kondisi tersebut yang merupakan
hukum-hukum atau aturan-aturan Islam yang juga terdiri dari
kondisi-kondisi yang harus diperhatikan dan dipraktikkan oleh rakyat
keseluruhan. Jadi, sangat jelas bahwa konstitusi Iran memberikan jaminan
terhadap dasar agama negara Islam yang sesuai dengan al-Quran dan
syariat Islam. Secara murni berdasarkan hukum, maka hukum Iran
adalah Konstitusi Republik Islam Iran yang disahkan pertama kali oleh
Majelis Ahli tanggal 15 November 1979 dan diamandemen pada Juli 1989.
3. Bagan Struktur Kekuasaan Republik Islam Iran
4. Sistem Politik Republik Islam Iran
Secara garis besar, nama resmi negara ini dalam berbahasa Arab adalah Jumhuri-e Islami-e Iran
yang berdiri pada tahun 1 April 1979 yang dikepalai oleh seorang kepala
Negara sebagai pemimpin tertinggi dalam agama, yaitu Ayatullah Ali
Khamenei. Sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh Mahmoud Ahmadinejad dan ketua parlemen Iran dipimpin oleh Ali Larijani.[20]
Dalam
pemerintahan ini, secara langsung konsep yang ada sesuai dengan konsep
teokrasi dalam sistem politik, dimana kekuasaan terpusat pada imam kedua
belas, namun sesuai dengan keimanan aliran syiah ini, maka pemerintah
dan parlemen yang menjalankan dan mengawasi jalannya sistem
pemerintahan, seperti kepala pemerintahan dipegang oleh seorang
presiden, yang walaupun dipilih oleh rakyat tetapi diangkat, dilantik
dan diberhentikan oleh Faqih atau Dewan Faqih/Wilayatul Faqih
(suatu sistem dimana wilayah kekuasaan dalam pengaturan hukum-hukum
Islam berada pada wilayah para orang-orang yang terpilih yang menguasai
prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum Islam serta seluruh aspek
keimanan yang dikepalai oleh seorang imam masa kegaiban).
Sedangkan, ketua kabinet (dewan menteri-menteri) dipegang oleh ketua parlemen
yang dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh presiden, setelah
mendapat persetujuan dari Badan Legislatif (Dewan Pertimbangan Nasional
Iran), kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional
Iran. Badan Legislatif ini memang bertugas mengawasi pihak eksekutif,
selain tugasnya membuat undang-undang, tetapi badan legislatif ini tidak
bebas begitu saja membuat undang-undang karena harus disesuaikan dengan
al-Qur’an dan hadis mazhab syiah.
Disamping itu, dikenal pula Dewan Pelindung Konstitusi, dewan ini disebut juga Dewan Perwalian atau The Guardian Council of Constitution
(Syura ne Gahdan) yang bertugas mengawasi agar undang-undang yang
dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak bertentangan dengan
ajaran Islam dan konstitusi.[21]
5. Demokratisasi di Republik Islam Iran
Dalam banyak segi, republik Islam adalah bentuk pemerintahan yang paling mendekati demokrasi yang pernah dimiliki Iran. Khomeini mendirikan negara Islam melalui konsensus rakyat dan sebagian besar orang Iran
masih tetap mendukung rezim tersebut. Banyak orang mungkin
memperdebatkan dukungan mayoritas rakyat terhadap rezim itu. Namun,
sifat semi-demokratisnya sangat jelas. Di satu pihak, Iran telah memfungsikan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selanjutnya hingga saat ini, dalam pemerintahan Iran proses pemilihan umum berjalan baik sebagai konsekuensi dari arus demokrasi di Iran.
Di lain pihak, Iran
menikmati pluralisme terbatas. Kebebasan untuk mengungkapkan diri
dibatasi oleh ideologi Islam Iran dan kepercayaan bahwa hukum dan
nilai-nilai Islam itulah yang merupakan tuntunan bagi masyarakat,
individu, organisasi, partai politik dan lembaga harus beroperasi di
dalam parameter-parameter identitas dan komitmen Islam revolusioner Iran
yang sering berubah-ubah. Dengan demikian, ideologi dan tuntunan Islam
dari negara itu berimplikasi pada pengawasan negara atas pers dan media massa,
serta penerapan aturan yang menetapkan minuman, pakaian, dan ibadah.
Namun, bahkan di sini, pers, sebagaimana parlemen Iran, sangat beraneka
ragam dan dalam batas-batas tertentu, bersikap kritis sejak soal
kepemimpinan dan reformasi tanah hingga pendidikan, perdagangan dengan
Barat dan kedudukan kaum perempuan.[22]
Dengan demikian, pengalaman Iran
sebagai sebuah negara bangsa yang mampu memberikan kombinasi antara
kesesuaian pemerintahan perwakilan dengan nilai-nilai tradisional yang
dihormati harus diapresiasi, khususnya oleh dunia Islam. Dalam hal ini,
sangat ironis ketika pihak Barat merasa terganggu soal hijab yang cenderung mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat Iran
secara umum lebih terbuka dan lebih liberal dibandingkan
tetangga-tetangga mereka di kawasan Teluk. Sebagai contoh, bangsa Arab,
yang tidak diberi hak suara itu, menyaksikan dalam pemerintahan Islam Iran sesuatu yang tampaknya bisa menjadi contoh baik bagi demokrasi dalam konteks dunia Islam.[23]
Secara teoritis, Joseph Schumpeter memberikan legitimasi pada prosedur
utama demokrasi, yakni sarana pemilihan para pemimpin secara kompetitif
oleh rakyat yang mereka pimpin, dan hal tersebut dilihat oleh Samuel P.
Hutington sebagai satu syarat terciptanya demokrasi modern.[24] Jika hal tersebut menjadi rujukan dalam tahap perkembangan demokrasi, maka secara prosedural, Iran
mampu mengembangkan sisi demokrasi sebagai sebuah sistem politik dalam
perkembangan di dunia Internasional, namun tidak melupakan unsur lokal
dan kekuatan ideologis (Islam syiah).
Selain itu, dalam sistem pemerintahan Wilayatul Faqih, Iran
melaksanakan pemilihan umum dalam empat tahun sekali, untuk memilih 290
anggota majelis legislatif. Pada tahun 2000 ini, Iran memasuki babak
baru dengan sistem multipartai, sebelumnya pemilihan umum Iran hanya
diikuti tiga kontestan, yakni Majma’e Rouhaniyoun Mobarez, Jame’e
rouhaniyat Mobarez dan Partai Pelaksana Pembangunan.[25] Dengan demikian, agak keliru bila memberikan penilaian bahwa dalam mekanisme pemerintahan Iran belum demokratis.
6. Posisi dan Pengaruh Republik Islam Iran di Dunia Internasional
Bagian
ini secara tegas, tanpa mengesampingkan pengamatan dari sudut pihak
Barat, sesungguhnya ketika Iran hadir dalam suasana berbeda di tengah
perkembangan politik di dunia internasional dewasa ini, sungguh Iran
mampu memberikan sebuah kontribusi, bukan hanya dalam bidang pemikiran
tentang konsep Imamat, Wilayatul Faqih dan Ijtihad Syiah. Namun,
perkembangan dari gerakan revolusi Islam itu yang mampu memberikan
tekanan terhadap berbagai negara adidaya, seperti Amerika Serikat.
Sejalan dengan itu, posisi Iran sebagai penganut faham teokrasi modern,
karena mampu menyandingkan berbagai unsur ideologisasi dengan kebutuhan
konsep negara modern, seperti lahirnya pola pembagian kekuasaan yang
secara tegas mengikuti negara modern, namun selalu dikemas dengan segi
Islam yang kental bernuansa lokal (syiah). Perjuangan Iran dalam
mencapai kekuatan besar tercermin dalam menyatukan visi bagi seluruh
rakyat di sana, tidak bisa dipungkiri ada beberapa kelompok oposisi yang
secara terus-menerus melakukan tekanan dalam berbagai pergolakan
politik, akan tetapi bila isu tersebut meruapakan isu bersama, seperti
kepentingan nasional, bukan tidak mungkin, semua bergerak dalam poros
persatuan.
Kekuatan Iran
terletak dari bagaimana mereka mempersatukan doktrin ideologi (Islam)
dengan rasa nasionalisme yang tinggi, sehingga menghasilkan persekutuan
revolusioner dalam penegakkan negara bangsa. Dengan kata lain, Iran
mengalami perkembangan yang pesat, selaras dengan itu kemajuan di
segala bidang merupakan hasil dari persatuan dua basis tersebut. Dalam
hal ini, posisi Iran mampu berdiri dengan kaki sendiri, tanpa melakukan kegiatan romantisme politik dengan pihak Barat. Dengan demikian, posisi Iran
yang tidak bergantung pihak Barat mampu mempengaruhi dunia
internasional agar memperhitungkan negara-negara lain, khususnya
negara-negara yang berada pada kawasan Timur Tengah.
[1]Samih
K. Farsoun dan Christina Zacharia, “Class, Economic Change, and
Political Liberalization in the Arab World,” dalam Rex Brynen, Political Liberalization and Democratization in the Arab World (Colorado: Lynne Rienner Publishers, 1995), 262.
[2]Gambar peta kerajaan Arab Saudi ini diambil pada tanggal 25 Oktober 2011 di situs http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Sa-map.png
[3]James P. Piscatori, “Politik Ideologis di Arab Saudi,” dalam Azyumardi Azra, ed., Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 196.
[4]Jhon L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 141.
[5]Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), h. 118.
[6]Ibid., h. 119.
[7]Esposito, Islam dan Politik, h. 144.
[8]Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, h. 120.
[9]Esposito, Islam dan Politik, h. 145.
[10]Inu Kencana Syafiie, al-Qur’an dan Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 361.
[11]Ibid., h. 362.
[12]Ibid., h. 367.
[13]Gwenn Okruhlik, “ Membuat Perbincangan Diizinkan: Islamisme dan Reformasi di Arab Saudi,” dalam Quintan Wikrotowicz, ed., Aktivisme Islam (Jakarta: Mizan, 2008), h. 328.
[14]Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, h. 120.
[15] Gambar peta Republik Islam Iran ini diambil pada tanggal 25 Oktober 2011 di situs http://id.wikipedia.org/wiki/Iran#Pemerintahan_dan_politik
[16]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Pos-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 67.
[17]Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, h. 190.
[18] Buku Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Republik Islam Iran Selayang Pandang (Jakarta: Terbitan Kedutaan Besar Republik Islam Iran, T.thn), h. 63.
[19]Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim (Bandung: Mizan, 1999), h. 80.
[20]Artikel diambil pada tanggal 25 Oktober 2011 di situs http://www.kemlu.go.id/tehran/pages/com
[21]Syafiie, al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 356.
[22] Jhon O. Voll, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim, h. 97.
[23]Ibid., h. 101.
[24]Samuel P. Hutington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Grafiti, 2007), h. 12.
HANDPHONE ORIGINAL TERPERCAYA. Nikmati Keuntungan Berbelanja Dengan Hrg Relatif Murah,Super Promo.Kami Menawarkan Berbagai Jenis Type HP,Laptop,Camera,dll,Garansi Resmi Distributor dan Garansi TAM ....
BalasHapusSemua Produk Kami Baru dan Msh Tersegel dLm BOX_nya.
BERMINAT HUB-SMS:0857-3112-5055 ATAU KLIK WEBSITE RESMI KAMI http://www.alpha-shopelektronik.blogspot.com/
BlackBerry>Samsung>Nokia>smartfrend>Apple>Acer>Dell>Nikon>canon>DLL
Dijual
Ready Stock !
BlackBerry 9380 Orlando - Black
Rp.900.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Curve 8520 Gemini
Rp.500.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Bold 9780 Onyx 2
Rp.800.000,-
Ready Stock !
Blackberry Curve 9320
Rp.700.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Tab 2 (7.0)
Rp. 1.000.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Nexus I9250 - Titanium Si
Rp.1.500.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Note N7000 - Pink
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Y S5360 GSM - Pure White
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 800 - Matt Black
Rp.1.700.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia-710-white
Rp. 900.000,-
Ready Stock !
Nokia C2-06 Touch & Type - Dual GSM
Rp.450.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 710 - Black
Rp. 900.000,-
Smartfren Andromax Z
Rp.1,500.000
Smartfren Andromax U Limited Edition
Rp.1.000.000
Tablet Asus Eee Pad Slider SL 1O1
Rp.2.000.000
Tablet Asus Memo Pad ME172 V
RP.800.000
Lenovo ldea Pad B490
Rp.2.000.000
Lenovo think Pad edge A86
RP.1.500.000
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari XL) - Black
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari Telkomsel)
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPod Touch 4 Gen 8GB
Rp.700.000
Ready Stock !
APPLE iPod Nano 8GB - Pink
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4752-2332G50Mn Core i3 Win7 Home
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Acer Aspire S3-951-2364G34iss
Rp. 1.200.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 5951G Core i7 2630 Win 7
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4755G Core i5 2430 Win 7 Home Premium Green
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Nikon D7000 kit 18-105mm
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Nikon D90 Kit 18-105mm Vr
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix L 120 Red
Rp. 900.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix P 500 Black
Rp 1.000.000
ALPHA SHOP
alpha-shopelektronik.blogspot.com
HANDPHONE ORIGINAL TERPERCAYA. Nikmati Keuntungan Berbelanja Dengan Hrg Relatif Murah,Super Promo.Kami Menawarkan Berbagai Jenis Type HP,Laptop,Camera,dll,Garansi Resmi Distributor dan Garansi TAM ....
BalasHapusSemua Produk Kami Baru dan Msh Tersegel dLm BOX_nya.
BERMINAT HUB-SMS:0857-3112-5055 ATAU KLIK WEBSITE RESMI KAMI http://www.alpha-shopelektronik.blogspot.com/
BlackBerry>Samsung>Nokia>smartfrend>Apple>Acer>Dell>Nikon>canon>DLL
Dijual
Ready Stock !
BlackBerry 9380 Orlando - Black
Rp.900.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Curve 8520 Gemini
Rp.500.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Bold 9780 Onyx 2
Rp.800.000,-
Ready Stock !
Blackberry Curve 9320
Rp.700.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Tab 2 (7.0)
Rp. 1.000.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Nexus I9250 - Titanium Si
Rp.1.500.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Note N7000 - Pink
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Y S5360 GSM - Pure White
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 800 - Matt Black
Rp.1.700.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia-710-white
Rp. 900.000,-
Ready Stock !
Nokia C2-06 Touch & Type - Dual GSM
Rp.450.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 710 - Black
Rp. 900.000,-
Smartfren Andromax Z
Rp.1,500.000
Smartfren Andromax U Limited Edition
Rp.1.000.000
Tablet Asus Eee Pad Slider SL 1O1
Rp.2.000.000
Tablet Asus Memo Pad ME172 V
RP.800.000
Lenovo ldea Pad B490
Rp.2.000.000
Lenovo think Pad edge A86
RP.1.500.000
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari XL) - Black
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari Telkomsel)
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPod Touch 4 Gen 8GB
Rp.700.000
Ready Stock !
APPLE iPod Nano 8GB - Pink
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4752-2332G50Mn Core i3 Win7 Home
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Acer Aspire S3-951-2364G34iss
Rp. 1.200.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 5951G Core i7 2630 Win 7
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4755G Core i5 2430 Win 7 Home Premium Green
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Nikon D7000 kit 18-105mm
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Nikon D90 Kit 18-105mm Vr
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix L 120 Red
Rp. 900.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix P 500 Black
Rp 1.000.000
ALPHA SHOP
alpha-shopelektronik.blogspot.com
Syiah tai lo
BalasHapus