Hegemoni Global
Jendral AS: "Kami Ciptakan Teroris untuk Gulingkan Pemerintah"
10 Feb 2014 13:40
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdccpxq1e2bqps8.5fa2.txt
Jendral (pur.) Wesley Clark, mantan Panglima Tertinggi Pasukan
Gabungan NATO di Kosovo (1997-2000), bersaksi bahwa AS berencana
menggulingkan tujuh negara setelah peristiwa (9/11, yaitu Irak , Suriah,
Libanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Iran
Dalam sebuah tayangan berdurasi dua menit, Jendral (pur.) Wesley Clark, mantan Panglima Tertinggi Pasukan Gabungan NATO di Kosovo (1997-2000), bersaksi bahwa AS berencana menggulingkan tujuh negara setelah peristiwa (9/11, yaitu Irak , Suriah, Libanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Iran.
"Pentagon mengakui strategi untuk melakukannya (di sini, di sini, di sini). AS melakukan aksi terorisme di negara yang ingin mereka kontrol. AS terus memprovokasi untuk melakukan pembalasan terhadap aksi terorisme. AS melabeli aksi pembalasan terhadap 'terorisme' demi menjustifikasi operasi militer rahasia dan terbuka untuk menggulingkan pemerintahan yang menjadi targetnya," ujarnya.
Karena itu, AS memicu "perang melawan teror" sebagai kebijakan yang dipilih; peristiwa 9/11 (momen runtuhnya menara kembar World Trade Center akibat ditabrak dua pesawat "komersial" pada 2001) hanyalah pura-pura, bukan penyebabnya.
Memang, hukum perang dan dua Resolusi Dewan Keamanan PBB memungkinkan kerjasama internasional untuk menemukan, menangkap, dan mengadili para teroris 9/11 secara faktual demi tegaknya keadilan yang didukung semua bangsa. Tapi AS malah menolak aturan hukum, melanggar kewajiban perjanjian, menewaskan sekitar satu juta orang sejak serangan 9/11, dan sejauh ini telah membebani dalam jangka panjang biaya (perang) 4-6 triliun dolar AS kepada pembayar pajak AS (40-60 ribu dolar AS per keluarga).
Petualangan AS dalam tipu-menipu dan kedustaan ini berakhir saat warga Amerika di tubuh militer, lembaga hukum, pemerintahan, media, pendidikan, dan khalayak umum memiliki integritas intelektual dan keberanian moral yang cukup untuk mengakui bahwa "sang kaisar tidak lagi memiliki pakaian" fakta-fakta yang jelas. Pilihan kebijakan AS untuk melancarkan Perang Agresi yang melanggar hukum itu telah menewaskan 20-30 juta orang dalam perang terselubung maupun terbuka sejak 1945.
Semua itu menyusul sejarah panjang perang-perang yang diawali kedustaan dan pelanggaran perjanjian untuk mencuri tanah dan sumberdaya, sebagaimana yang sebelumnya pernah saya ingatkan kepada khalayak:
1. AS terus-terusan melanggar perjanjian dengan penduduk asli Amerika, serta memanipulasi maknanya demi mencuri tanah-tanah mereka.
2. Presiden AS Polk berbohong kepada Kongres untuk memulai perang Agresi di Meksiko. Hasilnya, AS mengambil-alih 40 persen wilayah Meksiko pada 1848. Ini tetap terjadi meskipun sudah dijelaskan sebening kristal oleh Abraham Lincoln bahwa Kesepakatan Adams-Onis menempatkan "sengketa perbatasan" 400 mil dalam wilayah yang selamanya dijanjikan kepada Meksiko dan janji itu selamanya di luar klaim AS.
3. AS melanggar perjanjian kita dengan Hawaii dan telah mencuri negara mereka pada 1898.
4. AS mengingkari janji-janji kebebasan setelah Perang warga Amerika keturunan Spanyol untuk memaksakan aturan kita di Filipina dan memasang diktator yang ramah terhadap AS di Kuba.
5. Amerika Serikat memasuki Perang Dunia I tanpa adanya ancaman terhadap keamanan nasional AS serta memenjarakan calon presiden ke-3 karena pidato publiknya yang menggugat perang.
6. CIA memiliki beberapa perang terselubung; mungkin yang paling penting dalam konteks hari ini adalah perang terhadap Iran: "Operasi Ajax" menggulingkan demokrasi Iran dan memasang diktator brutal yang bersahabat dengan AS. Ketika diktator itu digulingkan dan Iran menolak yang lain, AS membantu Irak secara ilegal untuk menyerang dan menginvasi Iran sejak 1980 hingga 1988, membunuh hingga jutaan warga Iran. Jika AS berdusta dan bertindak dua kali melawan hukum untuk menggulingkan demokrasi Iran sepanjang masa hidup kita sendiri, bukankah harus kita asumsikan pertama-tama bahwa perang hari ini yang melanggar hukum juga diawali dengan kebohongan? Setelah kebohongan (yang didokumentasikan di bawah) dikonfirmasi, tidakkah kita seharusnya menangkap Penjahat Perang AS ketimbang membiarkannya membunuh lagi?
7. Perang Vietnam terjadi setelah AS mengizinkan pembatalan pemilihan umum untuk menyatukan negeri, yang ditingkatkan dengan insiden Teluk Tonkin: intelijen palsu yang terbaik, namun kemudian dimanipulasi menjadi peristiwa bendera-palsu (false-flag) untuk perang "defensif".
8 . Barangkali yang paling mengganggu adalah gugatan perdata keluarga Dr. King yang menyatakan bahwa pemerintah AS bersalah dalam pembunuhan Dr. King. Media korporasi, termasuk kalangan penerbit buku kita, menghapus sejarah ini . Kesimpulan keluarga King adalah bahwa Martin Luther King dibunuh untuk mementahkan rencana "Gerakan Duduki DC (Washington)"-nya yang dimulai sejak musim panas 1968 untuk mengakhiri versinya tentang perang hari itu.
9. Kita baru tahu dari laporan Kongres bahwa semua "alasan" untuk memerangi (baca: menginvasi) Irak sebenarnya palsu sebagaimana mereka katakan.
10. Dua
"alasan" untuk memerangi Iran sama palsunya dengan "alasan" untuk
memerangi Irak. Hati-hati dengan serangan bendera-palsu AS atau Israel
untuk menyalahkan Iran sebagai dalih perang "defensif" lain:
a. Presiden Iran tidak pernah secara fisik mengancam Israel.
b. Semua material nuklir Iran sepenuhnya digunakan untuk tujuan damai dan legal untuk energi dan obat-obatan. (IT/GRN/rj)
Bila Saudi Tinggalkan “Prajuritnya” di Suriah Perubahan signifikan dirasakan oleh “gerakan” terorisme internasional setelah Amerika memutuskan meninggalkan mereka. Kelompok utama Sunni Lebanon, Al Muqtabal, yang selama ini bahu-membahu bersama mereka memerangi Hizbollah, memilih bergabung bersama Hizbollah dalam pemerintahan mendatang. Militer Lebanon pun kini lebih berani bertindak terhadap tokoh-tokoh ektremis, seperti penangkapan Madjid al Madjid, pimpinan kelompok Brigade Al Azzam yang diduga telah melakukan serangan bom terhadap kedubes Iran di Beirut bulan November tahun lalu.
Lalu tiba-tiba, militer Turki yang tadinya bersahabat dengan mereka di medan perang Suriah pun turut memerangi mereka bersama milisi-milisi Kurdi. Selanjutnya mereka pun menyaksikan beberapa kelompok pemberontak Suriah yang dibantu Amerika, Turki, Qatar dan negara-negara barat membentuk koalisi bersama untuk memerangi mereka. Disusul kemudian dengan “lari”-nya Pangeran Bandar bin Sultan dari medan peperangan dan “bersembunyi” di Amerika.
Namun yang paling mengejutkan mereka adalah pengumuman pemerintah Saudi Arabia yang melarang warganya terlibat dalam peperangan di luar negeri dan mengancam mereka dengan hukuman berat jika kembali ke tanah air.
Ada hal menarik tentang pengumuman pemerintah Saudi tgl 3 Februari tersebut. Sebelumnya, di awal bulan, media-media Amerika termasuk “Wall Street Journal” dan “New York Times” mengabarkan tentang “rencana” kunjungan Presiden Barack Obama ke Saudi Arabia. Namun kedubes Amerika di Saudi segera membantah laporan-laporan tersebut.
“Kedubes Amerika tidak memiliki informasi tentang rencana kunjungan tersebut dan tidak bisa berkomentar atas hal itu,” kata jubir kedubes Amerika di Saudi Arabia Stewart White.
Namun setelah pengumuman pemerintah Saudi, Gedung Putih langsung mengumumkan rencana kunjungan Barack Obama ke Saudi bulan Maret mendatang.
Para analis tentu banyak yang menyimpulkan bahwa pengumuman pemerintah Saudi, serta pengesahan undang-undang anti-teorisme beberapa waktu lalu, merupakan bentuk kepatuhan Saudi terhadap “patron”-nya, Amerika Serikat yang menganggap keberadaan para teroris di Suriah tidak bisa lagi dibiarkan terlalu kuat. Namun ada dimensi lain dari “kebijakan” Saudi tersebut, yaitu kekhawatiran para teroris itu akan menyulitkan pemerintah di dalam negeri, terutama setelah mereka kembali.
Pemerintah Saudi sendiri telah menyiapkan 2 skenario “strategi melepaskan diri” dari konflik Suriah bagi para “prajurit”-nya yang tergabung dalam beberapa kelompok teroris. Strategi tersebut pernah dilakukan di Afghanistan paska hengkangnya tentara pendudukan Uni Sovyet. Pertama adalah “pemulangan” melalui jalur resmi di kantor Kedubes Saudi di Turki. Yang kedua adalah pembubaran kelompok-kelompok bersenjata di sepanjang perbatasan. Dan yang ketiga adalah meninggalkan mereka begitu saja di Suriah.
Namun bagaimana Saudi bisa melakukan itu semua jika tanpa ada tekanan dari “tuan”-nya?
Menurut berbagai sumber inteligen, para pejabat Amerika telah “memojokkan” Saudi dengan bukti-bukti keterlibatan Saudi dalam serangan senjata kimia di Suriah bulan Agustus 2013 lalu. Bukti-bukti lainnya termasuk kaitan Saudi dengan aksi-aksi terorisme di berbagai negara di Timur Tengah hingga Rusia. Bukti-bukti itu sudah beredar di kalangan diplomat ingternasional dan cukup kuat untuk menjadikan Saudi negara pariah, dikucilkan PBB dengan cap negara teroris.
Amerika, setelah melihat konflik Suriah tidak berjalan sebagaimana diharapkan, serta perselisihan Palestina-Israel yang tidak kunjung selesai, telah memilih jalan pintas untuk menyelesaikan kedua masalah itu sekaligus, meskipun dengan itu harus mengorbankan Saudi Arabia dan munculnya Iran ke “panggung utama”.
Dengan tumbangnya kekuasaan Mohammad Moersi di Mesir dan Qatar dan Saudi yang kini termarginalkan karena kaitan terorisme mereka, koalisi Iran-Turki kini menjadi kekuatan utama di Timur Tengah. Sangat jelas bahwa kedua negara telah membangun kerjasama tingkat tinggi untuk memerangi terorisme, yang mengemuka dalam kunjungan PM Turki Recep Tayyep Erdogan ke Iran baru-baru ini.
Hasilnya adalah bahwa Saudi takut dengan kepulangan para pejuangnya di Suriah, sehingga harus menyiapkan daftar hukuman yang keras untuk menghindari dampak kekerasan pada “hari perhitungan”. Selain itu, ada yang bahkan lebih berbahaya, yaitu sanksi internasional yang menunggu kerajaan jika tidak menarik diri dari perang di Suriah dan pendanaan terorisme di tingkat internasional, hal mana menyebabkan badan-badan intelijen Eropa harus meningkatkan kehadiran mereka di wilayah tersebut untuk memantau kembalinya warga Saudi kembali ke kerajaan.
Selama kunjungannya ke Riyadh baru-baru ini, Menlu AS John Kerry menggambarkan posisi Saudi mengenai isu permukiman yahudi yang mengganjal perundingan perdamaian Israel-Palestina, dengan kata-kata menarik. Dia menyebutkan “antusiasme yang kuat” pada hal ini, pada saat tidak ada antusiasme seperti itu sebelumnya.
Di sinilah informasi terjalin: isu terorisme yang disajikan Amerika Serikat kepada rekan-rekan Arab mereka dan isu pemukiman Palestina-Israel. Sumber yang dekat dengan Otoritas Palestina di Ramallah mengatakan bahwa Kerry telah meminta Kepala Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, untuk mengakui Israel sebagai negara Yahudi dengan imbalan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Ini akan diikuti dengan ditinggalkannya secara bertahap prinsip “hak untuk kembali” bagi pengungsi Palestina sekaligus menghidupkan kembali proyek implantasi dalam skala besar, di mana negara-negara Arab plus beberapa negara lain seperti Australia dan Kanada, akan menampung para pengungsi Palestina.
Sumber-sumber Palestina menambahkan bahwa Presiden Abbas enggan mengumumkan persetujuannya atas usul tersebut tanpa “payung” oleh negara Arab yang berpengaruh. Kerry meyakinkan Abbas bahwa ia akan secara pribadi melakukan tugas ini. Siapa lagi yang paling bisa diharapkan kecuali Saudi?
Secara umum, undang-undang anti-terorisme Saudi dan dekrit kerajaan yang melarang warga Saudi terlibat kegiatan terorisme adalah tanda dari tahap baru ini.(ca)
a. Presiden Iran tidak pernah secara fisik mengancam Israel.
b. Semua material nuklir Iran sepenuhnya digunakan untuk tujuan damai dan legal untuk energi dan obat-obatan. (IT/GRN/rj)
Jakartatheraphy Theraphy shared syriatimes.id's photo.
FEBUARI 13 2014
https://www.facebook.com/
https://www.facebook.com/
Bila Saudi Tinggalkan “Prajuritnya” di Suriah Perubahan signifikan dirasakan oleh “gerakan” terorisme internasional setelah Amerika memutuskan meninggalkan mereka. Kelompok utama Sunni Lebanon, Al Muqtabal, yang selama ini bahu-membahu bersama mereka memerangi Hizbollah, memilih bergabung bersama Hizbollah dalam pemerintahan mendatang. Militer Lebanon pun kini lebih berani bertindak terhadap tokoh-tokoh ektremis, seperti penangkapan Madjid al Madjid, pimpinan kelompok Brigade Al Azzam yang diduga telah melakukan serangan bom terhadap kedubes Iran di Beirut bulan November tahun lalu.
Lalu tiba-tiba, militer Turki yang tadinya bersahabat dengan mereka di medan perang Suriah pun turut memerangi mereka bersama milisi-milisi Kurdi. Selanjutnya mereka pun menyaksikan beberapa kelompok pemberontak Suriah yang dibantu Amerika, Turki, Qatar dan negara-negara barat membentuk koalisi bersama untuk memerangi mereka. Disusul kemudian dengan “lari”-nya Pangeran Bandar bin Sultan dari medan peperangan dan “bersembunyi” di Amerika.
Namun yang paling mengejutkan mereka adalah pengumuman pemerintah Saudi Arabia yang melarang warganya terlibat dalam peperangan di luar negeri dan mengancam mereka dengan hukuman berat jika kembali ke tanah air.
Ada hal menarik tentang pengumuman pemerintah Saudi tgl 3 Februari tersebut. Sebelumnya, di awal bulan, media-media Amerika termasuk “Wall Street Journal” dan “New York Times” mengabarkan tentang “rencana” kunjungan Presiden Barack Obama ke Saudi Arabia. Namun kedubes Amerika di Saudi segera membantah laporan-laporan tersebut.
“Kedubes Amerika tidak memiliki informasi tentang rencana kunjungan tersebut dan tidak bisa berkomentar atas hal itu,” kata jubir kedubes Amerika di Saudi Arabia Stewart White.
Namun setelah pengumuman pemerintah Saudi, Gedung Putih langsung mengumumkan rencana kunjungan Barack Obama ke Saudi bulan Maret mendatang.
Para analis tentu banyak yang menyimpulkan bahwa pengumuman pemerintah Saudi, serta pengesahan undang-undang anti-teorisme beberapa waktu lalu, merupakan bentuk kepatuhan Saudi terhadap “patron”-nya, Amerika Serikat yang menganggap keberadaan para teroris di Suriah tidak bisa lagi dibiarkan terlalu kuat. Namun ada dimensi lain dari “kebijakan” Saudi tersebut, yaitu kekhawatiran para teroris itu akan menyulitkan pemerintah di dalam negeri, terutama setelah mereka kembali.
Pemerintah Saudi sendiri telah menyiapkan 2 skenario “strategi melepaskan diri” dari konflik Suriah bagi para “prajurit”-nya yang tergabung dalam beberapa kelompok teroris. Strategi tersebut pernah dilakukan di Afghanistan paska hengkangnya tentara pendudukan Uni Sovyet. Pertama adalah “pemulangan” melalui jalur resmi di kantor Kedubes Saudi di Turki. Yang kedua adalah pembubaran kelompok-kelompok bersenjata di sepanjang perbatasan. Dan yang ketiga adalah meninggalkan mereka begitu saja di Suriah.
Namun bagaimana Saudi bisa melakukan itu semua jika tanpa ada tekanan dari “tuan”-nya?
Menurut berbagai sumber inteligen, para pejabat Amerika telah “memojokkan” Saudi dengan bukti-bukti keterlibatan Saudi dalam serangan senjata kimia di Suriah bulan Agustus 2013 lalu. Bukti-bukti lainnya termasuk kaitan Saudi dengan aksi-aksi terorisme di berbagai negara di Timur Tengah hingga Rusia. Bukti-bukti itu sudah beredar di kalangan diplomat ingternasional dan cukup kuat untuk menjadikan Saudi negara pariah, dikucilkan PBB dengan cap negara teroris.
Amerika, setelah melihat konflik Suriah tidak berjalan sebagaimana diharapkan, serta perselisihan Palestina-Israel yang tidak kunjung selesai, telah memilih jalan pintas untuk menyelesaikan kedua masalah itu sekaligus, meskipun dengan itu harus mengorbankan Saudi Arabia dan munculnya Iran ke “panggung utama”.
Dengan tumbangnya kekuasaan Mohammad Moersi di Mesir dan Qatar dan Saudi yang kini termarginalkan karena kaitan terorisme mereka, koalisi Iran-Turki kini menjadi kekuatan utama di Timur Tengah. Sangat jelas bahwa kedua negara telah membangun kerjasama tingkat tinggi untuk memerangi terorisme, yang mengemuka dalam kunjungan PM Turki Recep Tayyep Erdogan ke Iran baru-baru ini.
Hasilnya adalah bahwa Saudi takut dengan kepulangan para pejuangnya di Suriah, sehingga harus menyiapkan daftar hukuman yang keras untuk menghindari dampak kekerasan pada “hari perhitungan”. Selain itu, ada yang bahkan lebih berbahaya, yaitu sanksi internasional yang menunggu kerajaan jika tidak menarik diri dari perang di Suriah dan pendanaan terorisme di tingkat internasional, hal mana menyebabkan badan-badan intelijen Eropa harus meningkatkan kehadiran mereka di wilayah tersebut untuk memantau kembalinya warga Saudi kembali ke kerajaan.
Selama kunjungannya ke Riyadh baru-baru ini, Menlu AS John Kerry menggambarkan posisi Saudi mengenai isu permukiman yahudi yang mengganjal perundingan perdamaian Israel-Palestina, dengan kata-kata menarik. Dia menyebutkan “antusiasme yang kuat” pada hal ini, pada saat tidak ada antusiasme seperti itu sebelumnya.
Di sinilah informasi terjalin: isu terorisme yang disajikan Amerika Serikat kepada rekan-rekan Arab mereka dan isu pemukiman Palestina-Israel. Sumber yang dekat dengan Otoritas Palestina di Ramallah mengatakan bahwa Kerry telah meminta Kepala Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, untuk mengakui Israel sebagai negara Yahudi dengan imbalan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Ini akan diikuti dengan ditinggalkannya secara bertahap prinsip “hak untuk kembali” bagi pengungsi Palestina sekaligus menghidupkan kembali proyek implantasi dalam skala besar, di mana negara-negara Arab plus beberapa negara lain seperti Australia dan Kanada, akan menampung para pengungsi Palestina.
Sumber-sumber Palestina menambahkan bahwa Presiden Abbas enggan mengumumkan persetujuannya atas usul tersebut tanpa “payung” oleh negara Arab yang berpengaruh. Kerry meyakinkan Abbas bahwa ia akan secara pribadi melakukan tugas ini. Siapa lagi yang paling bisa diharapkan kecuali Saudi?
Secara umum, undang-undang anti-terorisme Saudi dan dekrit kerajaan yang melarang warga Saudi terlibat kegiatan terorisme adalah tanda dari tahap baru ini.(ca)
Like · · Share · 7 hours ago ·
- 4 people like this.
- Agus Salim kasiaannn, jadi anak terbuang. begitulah nasib berkawan dg para munafik\
Rekaman Pembicaraan Pejabat AS Soal Ukraina Bocor
Jumat, 07 Februari 2014, 17:12 WIB
Reuters http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/02/07/n0mf1k-rekaman-pembicaraan-pejabat-as-soal-ukraina-bocor
Reuters http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/02/07/n0mf1k-rekaman-pembicaraan-pejabat-as-soal-ukraina-bocor
REPUBLIKA.CO.ID, KIEV --
Rekaman pembicaraan pejabat senior
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Duta Besar AS di Kiev,
diunggah ke situs jejaring Youtube. Rekaman tersebut berisi diskusi
kedua pejabat pemerintah AS terkait krisis yang terjadi di Ukraina.
Pembicaraan yang terjadi antara Asisten Menteri Luar Negeri AS
Victoria Nuland dan Duta Besar AS untuk Ukraina, Geoffrey Pyatt, muncul
di Youtube pada Kamis (6/2). Tak hanya membahas krisis di Ukraina,
pembicaraan juga mengungkapkan upaya Uni Eropa untuk bekerja sama dengan
Washington dalam mendukung oposisi Ukraina.
Dalam rekaman itu, Nuland dan Pyatt juga membahas mengenai peluang
sejumlah tokoh oposisi dalam pemerintahan baru. Nuland menyatakan,
kurang setuju jika tokoh oposisi Vitaly Klitschko masuk dalam kabinet
baru Ukraina. "Saya tak berpikir Klitsch (Klischko) akan berada dalam
pemerintahan, saya pikir itu bukan ide yang bagus," ujar Nuland dalam
rekaman.
Mereka juga membahas prospek utusan PBB yang mendukung pemerintahan
baru di Ukraina. Para pejabat AS menolak mengkonfirmasi masalah
tersebut, tapi tak menentang keaslian rekaman. Juru bicara departemen
luar negeri Jan Psaki juga mengamini keaslian rekaman berdurasi sekitar
empat menit itu."Saya tidak mengatakan rekaman itu tidak asli," ujarnya
seperti dilansir BBC.
Rusia yang telah lama memiliki hubungan yang semakin mendingin dengan
AS bereaksi keras dengan bocoran rekaman tersebut. Rusia menuduh AS
menyulut kudeta di Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan
diperkirakan akan bertemu dengan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich, di
Olimpiade Musim Dingin Sochi.
Sementara itu, AS menuding bocornya rekaman pembicaraan tak lain
merupakan ulah Rusia. Juru bicara Gedung Putih Jay Carney mengatakan,
video tersebut pertama kali muncul ke publik melalui kicauan pemerintah
Rusia lewat akun Twitternya. "Saya pikir ada sesuatu mengenai peran
Rusia," ujarnya.
Kehebohan atas kebocoran rekaman itu menimbulkan pernyataan mengenai
standar keamanan misi diplomatik di Kiev. Rekaman juga menimbulkan
dugaan atas kemungkinan penyadapan Rusia. Kamis, pembantu senior Putin
juga menuduh AS mencampuri urusan dalam negeri Ukraina.
Sergei Glazyev mengatakan, AS menghabiskan uang hingga 20 juta dolar
untuk membantu oposisi Ukraina. Glazyev mengancam, Moskow juga bisa
melakukan intervensi. Moskow selama ini telah berjanji memberi pinjaman
ke Ukraina sebesar 15 miliar dolar. Namun, Moskow tak akan memberi
bantuan secara penuh sampai pembentukan pemerintahan baru di Kiev.
Krisis di Ukraina pecah sejak sikap Yanukovich memicu protes massa
pada November 2013. Saat Yanukovich menyerah pada tekanan Rusia dan
mundur dari perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Yanukovich juga mengatakan pada Putin rencananya membentuk
pemerintahan baru di Kiev. Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov dan
kabinetnya mengundurkan diri bulan lalu, saat Yanukovich menenangkan
aksi protes jalanan.
Di Kiev ribuan aktivis oposisi Ukraina, berunjuk rasa di depan
Independence (Maidan) Square. Mereka membawa perisai dan pemukul
baseball. Mereka menggelar aksi di hadapan pendukung pemerintah yang
berkemah di sebelah parlemen dengan kawalan ratusan polisi.
Putin Bertemu Pemimpin Asing di Sochi
baomoi.com
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/02/06/n0ju771-putin-bertemu-pemimpin-asing-di-sochi
REPUBLIKA.CO.ID, SOCHI -- Presiden Rusia Vladimir Putin, yang
menghabiskan akhir pekan pra-Olimpiade di Sochi, Kamis akan memulai
serangkaian pertemuan dengan para pemimpin asing yang tiba di sini untuk
menghadiri acara Olimpiade, kata layanan pers Kremlin.
Menurut mereka, pemimpin Rusia pertama akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping dan Presiden Tajikistan Emomali Rakhmon.
Kemudian, Putin akan mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Turki Recep Erdogan, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Presiden Kirghizstan Almazbek Atambayev dan beberapa pemimpin asing lainnya.
Menurut Sekretaris Pers Presiden, Dmitry Peskov, sekitar 60 pemimpin asing berencana untuk menghadiri acara Olimpiade, di antaranya 44 akan hadir pada upacara pembukaan pada 7 Februari.
Hal ini tidak mengesampingkan bahwa di antara para tamu akan hadir Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Ukraina mengatakan presiden telah merencanakan kunjungan tersebut.
Presiden Rusia mengatakan ia berencana untuk membahas berbagai masalah global dengan para timpalannya.
"Saya yakin kita akan menggunakan kesempatan [Olimpiade] ini untuk berbicara dalam suasana yang tenang dan ramah," katanya kepada wartawan pada Rabu, saat ia mengunjungi Desa Olimpiade.
"Kita harus menggunakan kesempatan ini semaksimal mungkin untuk mencoba menemukan titik yang sama dan bergerak maju dalam pemecahan berbagai masalah."
"Ada banyak dari mereka [masalah] di dunia," katanya, dan menambahkan bahwa hal-hal yang mungkin dibahas akan mencakup situasi masalah ekonomi dan keamanan Suriah, Ukraina, serta Timur Tengah.
Pemimpin Rusia juga mencatat bahwa mitra Asia khawatir atas kemungkinan pengembangan situasi di Afghanistan setelah pasukan koalisi ditarik dari negara itu.
Menurut mereka, pemimpin Rusia pertama akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping dan Presiden Tajikistan Emomali Rakhmon.
Kemudian, Putin akan mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Turki Recep Erdogan, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Presiden Kirghizstan Almazbek Atambayev dan beberapa pemimpin asing lainnya.
Menurut Sekretaris Pers Presiden, Dmitry Peskov, sekitar 60 pemimpin asing berencana untuk menghadiri acara Olimpiade, di antaranya 44 akan hadir pada upacara pembukaan pada 7 Februari.
Hal ini tidak mengesampingkan bahwa di antara para tamu akan hadir Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Ukraina mengatakan presiden telah merencanakan kunjungan tersebut.
Presiden Rusia mengatakan ia berencana untuk membahas berbagai masalah global dengan para timpalannya.
"Saya yakin kita akan menggunakan kesempatan [Olimpiade] ini untuk berbicara dalam suasana yang tenang dan ramah," katanya kepada wartawan pada Rabu, saat ia mengunjungi Desa Olimpiade.
"Kita harus menggunakan kesempatan ini semaksimal mungkin untuk mencoba menemukan titik yang sama dan bergerak maju dalam pemecahan berbagai masalah."
"Ada banyak dari mereka [masalah] di dunia," katanya, dan menambahkan bahwa hal-hal yang mungkin dibahas akan mencakup situasi masalah ekonomi dan keamanan Suriah, Ukraina, serta Timur Tengah.
Pemimpin Rusia juga mencatat bahwa mitra Asia khawatir atas kemungkinan pengembangan situasi di Afghanistan setelah pasukan koalisi ditarik dari negara itu.
"Kami khawatir atas masalah ini juga - kawasan ini adalah perut
selatan Rusia dan kita tidak bisa mengatakan bahwa perbatasan kedap
udara," kata Putin.
Al Rai: Setiap Aksi Teror di Lebanon Dibalas oleh Hizbullah
Salah satu media berbahasa Arab mengutip sumber-sumber Hizbullah, Lebanon mengungkap reaksi gerakan perlawanan Islam itu atas serangkaian serangan yang dilakukan kelompok-kelompok teroris Takfiri.
Tasnim News (6/2) melaporkan, surat kabar Kuwait, Al Rai mengabarkan, wilayah-wilayah konsentrasi Hizbullah baru-baru ini menjadi sasaran serangan bunuh diri. Selain Dahiya, Beirut dan Hermel, wilayah-wilayah lain di Lebanon berada di bawah ancaman kelompok-kelompok Takfiri, terutama setelah kelompok-kelompok ini meminta warga Ahlu Sunnah untuk menjauhi pusat-pusat warga Muslim Syiah.
Surat kabar Kuwait itu menulis, "Kekhawatiran dan ketakutan warga Kristen semakin besar khususnya setelah kelompok-kelompok Takfiri mengancam militer Lebanon dan mitra Kristen Hizbullah."
"Mereaksi serangan-serangan ini apa yang akan dilakukan Hizbullah? Opsi-opsi apa yang dimiliki Hizbullah dalam menghadapi serangan-serangan ini?", tambahnya.
Hizbullah akan membalas serangan-serangan kelompok Takfiri terhadap warga sipil dan upaya mereka untuk menciptakan fitnah mazhab, Sunni-Syiah di medan pertempuran Suriah.
Menurut Al Rai, serangan-serangan Takfiri di Hermel menyebabkan Hizbullah menembus wilayah-wilayah yang dikuasai para teroris di perbatasan Lebanon dan menewaskan puluhan dari mereka. Menjawab aksi peledakan di depan Kedutaan Besar Iran di Beirut dan ledakan di Bir Al Abed, Hizbullah menyerang Al Nabek, Qara dan Deir Atiyah di Suriah serta menewaskan sejumlah banyak teroris. Membalas penculikan para pemuda wilayah Al Qusyar dan pembunuhan terhadap warga Muslim Syiah di wilayah itu, Hizbullah membersihkan Al Qusyar dari anasir teroris.
Reaksi Hizbullah atas peledakan di Choueifat, kata Al Rai, adalah pembersihan kota Yabroud dari para teroris. Hizbullah sedang mempersiapkan serangan luas di wilayah tersebut untuk menumpas habis kelompok teroris.
Sumber-sumber Hizbullah mengatakan, "Hizbullah berperang dengan kelompok-kelompok teroris Takfiri seperti Front Al Nushra, akan tetapi apa dosa warga sipil? Jika mereka berani, bertempurlah di medan perang, bukannya melakukan aksi-aksi bunuh diri."
"Setiap insiden yang terjadi di Lebanon akan dibalas dengan operasi-operasi militer ke markas-markas Takfiri di Aleppo dan wilayah-wilayah lain di Suriah," katanya lagi.
Ia menegaskan, "Pejuang-pejuang Tuhan siap menyergap para teroris Takfiri itu. Hizbullah ingin menciptakan persatuan Islam dan melawan pemikiran Takfiri." (IRIB Indonesia/HS)
Ini Dia Alasan Arab Saudi Umbar Kebencian pada Iran
Islam
Times- "Penguasa despotik Arab Saudi dan patron Amerikanya (AS) tidak
tahan menyaksikan perkembangan Iran sebagai kekuatan ekonomi dunia.
Secara langsung, gejala ini mengancam Istana Saud secara politik dan
ekonomi, yang pada gilirannya akan mengancam Washington tepat di
jantungnya
Raja Abdullah
Penguasa Arab Saudi semakin terangan-terangan memerlihatkan kebencian sekaligus ketakutannya terhadap pengaruh Iran yang diakui memang semakin besar dan kuat di Timur Tengah. Analis senior, Finian Cunningham, menyatakan bahwa kebencian rezim kerajaan yang dibentuk pada 1920-an oleh tripartit kolonial Inggris, klan al-Saud, dan pembesar agama Wahhabi itu terhadap Iran semakin kencang menyusul keberhasilan Revolusi Islam pada 1979, yang “mengancam seluruh penguasa otokratik di kawasan,” seraya menambahkan bahwa Riyadh memandang “Iran yang nyata-nyata mendapatkan mandat secara demokatis sebagai ancaman mematikan bagi despotisme mereka.”
Sejak revolusi bergulir sampai sekarang, Repubik Islam Iran telah membuat publik internasional terpukau. Selain mampu berdikari dan benar-benar demkratis, negeri "berjuta ulama" itu berhasil mengukir pelbagai prestasi menganggumkan berkelas dunia dalam bidang medis, sains, budaya, politik, ekonomi, kemiliteran, jaringan, dan sebagainya. Padahal, sampai hari ini, Iran terus mengalami tekanan bertubi-tubi dari lawan-lawannya yang dikomandoi Amerika Serikat cs. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pengaruh Iran dari hari ke hari makin kuat di kawasan maupun di belahan bumi lain.
“Makin mekar pengaruh politik Iran di kawasan, makin besar pula ketakutan penguasa Saudi terhadap ancaman eksistensialnya,” tulis Cunningham. Lebih jauh, Cunningham menunjuk pada sumberdaya raksasa Iran serta pertumbuhan ekonominya seraya mengatakan bahwa Arab Saudi menginginkan Republik Islam itu “dihalang-halangi dari upaya mengembangkan kekayaan energi potensialnya.”
Analis Timur Tengah ini juga menulis, "Penguasa despotik Arab Saudi dan patron Amerikanya (AS) tidak tahan menyaksikan perkembangan Iran sebagai kekuatan ekonomi dunia. Secara langsung, gejala ini mengancam Istana Saud secara politik dan ekonomi, yang pada gilirannya akan mengancam Washington tepat di jantungnya.” Rezim Wahhabi yang berkuasa di Arab Saudi juga membenci Republik Islam Iran yang menjadi “pusat Islam Syiah di kawasan dan dunia.”
Seraya menggarisbawahi pelbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak takfiri dukungan Arab Saudi terhadap kaum Muslim Syiah dan para penganut agama lain di Suriah, ia mengatakan bahwa kebencian dan ketakutan Riyadh terhadap Iran diungkapkan dengan menyulut perang terselubung terhadap Iran dan para sekutunya, termasuk Suriah, rakyat Bahrain, Irak, Yaman, dan di manapun juga.”
Para anggota senior Istana Saud, lanjutnya, mengakui bahwa fokus mereka di Suriah sebenarnya, sebagai contoh, bukan semata-mata menjatuhan pemerintahan Bashar al-Assad dan mengupayakan pergantian rezim di sana. Target utama mereka adalah sekutu kawasan terdekat Assad sendiri, yaitu Iran.
Tiba-tiba saja penghuni Istana Saud menjadi sosok paranoid sehingga di manapun di kawasan, selalu melihat kehadiran Iran.
Sampai-sampai, sebagaimana dikutip New York Times pada bulan Desember 2013 lalu, Duta Besar Arab Saudi Ambassador untuk Inggris, Mohammed bin Nawaf bin Abdulaziz al-Saud, menuduh Iran tanpa secuil bukti pun, bahwa Iran "telah mendanai dan melatih milisi di Irak, 'teroris' Hizbullah di Libanon, serta milisi di Yaman dan Bahrain."
Inilah ironi Istana Saud, yang jelas-jelas menjadi sponsor para teroris atau rezim teror di kawasan, seperti Jabhah al-Nusrah di Syria yang terkait dengan al-Qaeda, ISIS di Irak, dan raja despotik al-Khalifa di Bahrain. [IT/Presstv/rj]
Saudi-US Relations: Between Tension and Profit
As the media continues to focus its spotlight on the recent
Saudi-American political disputes, analysts believe that on a more
fundamental level, the military and economic ties are likely to endure
as the money continues to flow.
In 1933, as the Arab American Company (ARAMCO) started exploring and developing vast oil reserves, the relationship between the infantile Wahhabi kingdom and the developing Western superpower blossomed and an agreement was made.
It was simple: oil for protection. Saudi ensured the flow of oil at stable prices, while the US protected and provided security for the al-Saud monarchy. It became one of the most essential components that shaped power structures which govern the region to this day. But as tensions surfaced in recent months, many began to speculate over the future relationship between the two countries.
The Saudis were surprised and furious. They, like everyone else, were kept in the dark regarding the secret negotiations, and were concerned the deal would signal an end of Western attempts to contain Iranian regional power.
The Saudis were already fuming with their American ally over its last-minute decision to not strike Syria in mid-September, and over what the Saudis perceived to be inadequate support for former Egyptian dictator Hosni Mubarak during the Egyptian uprising in January 2011.
The Americans, meanwhile, have become exceedingly uncomfortable with the key role members of the Saudi monarchy are playing in fermenting and nourishing fundamentalist armed groups in Syria, Yemen, Afghanistan, and Iraq.
But analysts say the current tension is not necessarily a radical development, as political disagreements have appeared in the past, and that such disagreements will not have a profound effect on the future of their bilateral relationship.
“This is not new,” Frederic Wehrey, a senior associate at the Carnegie Endowment for International Peace and lieutenant colonel in the US Air Force Reserve, said during a talk he gave at the Carnegie Middle East Center in Beirut.
“The Saudis were not particularly pleased during the Iraq-Iran-US talks in 2007. It goes all the way back to when the Saudis were in conflict with [Egyptian leader] Gamal Abdul Nasser,” he said.
The constant theme, Wehrey argued, is that the Saudis felt that they were not being consulted. With Iran, which the Saudis consider a major hegemonic threat in the region, the dispute arises from Saudi fears that they will be downgraded and confined to the status of ‘junior partner’ in America’s plans for the region.
“Saudi and much of the Gulf always wanted to internationalize security, and Iran does not. The Gulf will always fear two things: abandonment, and entrapment by American wars or policies,” he argued.
“There is no amount of assurances to fully assuage the Saudis. The US bent over backwards many times, and we can point to Obama's upcoming trip to Saudi Arabia in March,” as an example of easing concerns, Wehrey said.
“There were many issues historically, but I think today the US is concerned with the Saudi-Israeli plans against the Syrian state. The Saudis tried to get US involved in wars for Saudi interests, like Iran, but this is not possible,” he told Al-Akhbar.
Ibrahim further opined the Saudi monarchy was currently in a state of confusion, saying, “they were betting on a complete change in the power dynamics in the region, and because that did not happen, the monarchy has lost its nerves,” implying they are driven by emotional rather than political calculations.
For Ibrahim, the dispute was directly linked to Saudi's role in fermenting fundamentalist armed groups in places like Syria.
“That is why the Americans waited first for the Saudi King to issue his decree that says Saudis fighting abroad will be jailed, before announcing Obama's visit,” he said. “It was only a few hours after the decree was made that the Americans announced the visit.
“It shows you how sensitive the matter was and the amount of US pressure on the Saudi monarchy.”
Similarly, Wehrey noted that there is a growing belief in Washington that the war in Syria has “eclipsed the Iraq war as a magnet for foreign volunteers” which Saudi is seen as playing a major role in.
“The memory of Afghanistan and Iraq is palatable in Washington now,” Wehrey said, referring to the American army’s battles with fighters who were backed by Saudi Arabia.
“And the worry [with Syria] is where the fighters are going next,” he added.
And stemming off the present dispute, media and political commentators have argued that Saudi, and the rest of the Gulf, would attempt to seek a more independent and less reliant relationship from the US, at least politically. But for both Wehrey and Ibrahim, this trend is not entirely likely.
“Seeking a polygamous, if I can use this term, relationship with other powers is challenging. No body is equipped to fill in as a the security guarantor today – China, EU, or Russia are not candidates,” Wehrey said, adding “there is also a great deal of disunity in the Gulf over foreign policy objectives, and much of the efforts are aiming to deal with internal discontent and other ideological threats by passing draconian laws, ejecting expatriates, and so forth.”
And, Wehrey noted, according to Pentagon and Department of Defense officials he has spoken to, the military-to-military relationship continues to be solid.
“We are not going anywhere,” he said, “The Gulf is still a door-way for US power projection into the rest of the region. This still guides a lot of the thinking.”
“The Middle East has become too costly for the US,” Ibrahim said on his part, “and Asia is becoming an attractive region for the US because it's stable and has large economic potential. While I think Saudi and America will not have the same political relations as before, the military relationship is still going strong because its purely about money.”
“This is the only advantage the Saudis provide [for the Americans]. It's nothing else but a reservoir of money for the American military industry,” he concluded.
Indeed, in 2010 the US and Saudi Arabia inked an arms deal worth $60 billion – the largest US arms deal ever – which is expected to provide the Saudi military with state-of-the-art aircraft, bunker busters, and other advanced military equipment, as well as training.
No matter the extent of the political quarrel, the exuberant, lucrative profits made from this relationship – for the Americans at least – suggests that it will be business as usual for the near future.
In 1933, as the Arab American Company (ARAMCO) started exploring and developing vast oil reserves, the relationship between the infantile Wahhabi kingdom and the developing Western superpower blossomed and an agreement was made.
It was simple: oil for protection. Saudi ensured the flow of oil at stable prices, while the US protected and provided security for the al-Saud monarchy. It became one of the most essential components that shaped power structures which govern the region to this day. But as tensions surfaced in recent months, many began to speculate over the future relationship between the two countries.
Secret Negotiations
In the final week of last November, a historical deal was struck between Iran and six world powers, including the US, that sought to lessen sanctions on the Islamic Republic in return for more international oversight on its nuclear energy program. That deal emerged after the US and Iran conducted secret meetings that sought to subdue the drums of war.The Saudis were surprised and furious. They, like everyone else, were kept in the dark regarding the secret negotiations, and were concerned the deal would signal an end of Western attempts to contain Iranian regional power.
The Saudis were already fuming with their American ally over its last-minute decision to not strike Syria in mid-September, and over what the Saudis perceived to be inadequate support for former Egyptian dictator Hosni Mubarak during the Egyptian uprising in January 2011.
The Americans, meanwhile, have become exceedingly uncomfortable with the key role members of the Saudi monarchy are playing in fermenting and nourishing fundamentalist armed groups in Syria, Yemen, Afghanistan, and Iraq.
But analysts say the current tension is not necessarily a radical development, as political disagreements have appeared in the past, and that such disagreements will not have a profound effect on the future of their bilateral relationship.
“This is not new,” Frederic Wehrey, a senior associate at the Carnegie Endowment for International Peace and lieutenant colonel in the US Air Force Reserve, said during a talk he gave at the Carnegie Middle East Center in Beirut.
“The Saudis were not particularly pleased during the Iraq-Iran-US talks in 2007. It goes all the way back to when the Saudis were in conflict with [Egyptian leader] Gamal Abdul Nasser,” he said.
The constant theme, Wehrey argued, is that the Saudis felt that they were not being consulted. With Iran, which the Saudis consider a major hegemonic threat in the region, the dispute arises from Saudi fears that they will be downgraded and confined to the status of ‘junior partner’ in America’s plans for the region.
“Saudi and much of the Gulf always wanted to internationalize security, and Iran does not. The Gulf will always fear two things: abandonment, and entrapment by American wars or policies,” he argued.
“There is no amount of assurances to fully assuage the Saudis. The US bent over backwards many times, and we can point to Obama's upcoming trip to Saudi Arabia in March,” as an example of easing concerns, Wehrey said.
State of Confusion
Fouad Ibrahim, a Saudi journalist and opponent to the monarchy based in Beirut, claims the main issue between the two nations is how Saudi conducts itself in the region.“There were many issues historically, but I think today the US is concerned with the Saudi-Israeli plans against the Syrian state. The Saudis tried to get US involved in wars for Saudi interests, like Iran, but this is not possible,” he told Al-Akhbar.
Ibrahim further opined the Saudi monarchy was currently in a state of confusion, saying, “they were betting on a complete change in the power dynamics in the region, and because that did not happen, the monarchy has lost its nerves,” implying they are driven by emotional rather than political calculations.
For Ibrahim, the dispute was directly linked to Saudi's role in fermenting fundamentalist armed groups in places like Syria.
“That is why the Americans waited first for the Saudi King to issue his decree that says Saudis fighting abroad will be jailed, before announcing Obama's visit,” he said. “It was only a few hours after the decree was made that the Americans announced the visit.
“It shows you how sensitive the matter was and the amount of US pressure on the Saudi monarchy.”
Similarly, Wehrey noted that there is a growing belief in Washington that the war in Syria has “eclipsed the Iraq war as a magnet for foreign volunteers” which Saudi is seen as playing a major role in.
“The memory of Afghanistan and Iraq is palatable in Washington now,” Wehrey said, referring to the American army’s battles with fighters who were backed by Saudi Arabia.
“And the worry [with Syria] is where the fighters are going next,” he added.
And stemming off the present dispute, media and political commentators have argued that Saudi, and the rest of the Gulf, would attempt to seek a more independent and less reliant relationship from the US, at least politically. But for both Wehrey and Ibrahim, this trend is not entirely likely.
“Seeking a polygamous, if I can use this term, relationship with other powers is challenging. No body is equipped to fill in as a the security guarantor today – China, EU, or Russia are not candidates,” Wehrey said, adding “there is also a great deal of disunity in the Gulf over foreign policy objectives, and much of the efforts are aiming to deal with internal discontent and other ideological threats by passing draconian laws, ejecting expatriates, and so forth.”
And, Wehrey noted, according to Pentagon and Department of Defense officials he has spoken to, the military-to-military relationship continues to be solid.
“We are not going anywhere,” he said, “The Gulf is still a door-way for US power projection into the rest of the region. This still guides a lot of the thinking.”
“The Middle East has become too costly for the US,” Ibrahim said on his part, “and Asia is becoming an attractive region for the US because it's stable and has large economic potential. While I think Saudi and America will not have the same political relations as before, the military relationship is still going strong because its purely about money.”
“This is the only advantage the Saudis provide [for the Americans]. It's nothing else but a reservoir of money for the American military industry,” he concluded.
Indeed, in 2010 the US and Saudi Arabia inked an arms deal worth $60 billion – the largest US arms deal ever – which is expected to provide the Saudi military with state-of-the-art aircraft, bunker busters, and other advanced military equipment, as well as training.
No matter the extent of the political quarrel, the exuberant, lucrative profits made from this relationship – for the Americans at least – suggests that it will be business as usual for the near future.
aya ibu hayati ingin berbagi cerita kepada anda semua bahwa saya yg dulunya cuma seorang TKW di HONGKONG jadi pembantu rumah tangga yg gajinya tidak mencukupi keluarga dikampun,jadi TKW itu sangat menderita dan disuatu hari saya duduk2 buka internet dan tidak disengaja saya melihat komentar orang tentan MBAH KABOIRENG dan katanya bisa membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi MBAH KABOIRENG dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan MBAH KABOIRENG meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan MBAH KABOIRENG kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik MBAH KABOIRENG sekali lagi makasih yaa MBAH dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja MBAH KABOIRENG DI 085-260-482-111 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW.. KLIK GHOB 2D 3D 4D 6D DISINI
BalasHapusSaya ibu hayati ingin berbagi cerita kepada anda semua bahwa saya yg dulunya cuma seorang TKW di HONGKONG jadi pembantu rumah tangga yg gajinya tidak mencukupi keluarga dikampun,jadi TKW itu sangat menderita dan disuatu hari saya duduk2 buka internet dan tidak disengaja saya melihat komentar orang tentan MBAH KABOIRENG dan katanya bisa membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di HONGKONG,akhirnya saya coba untuk menhubungi MBAH KABOIRENG dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg diberikan MBAH KABOIRENG meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan MBAH KABOIRENG kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik MBAH KABOIRENG sekali lagi makasih yaa MBAH dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja MBAH KABOIRENG DI 085-260-482-111 insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW.. KLIK GHOB 2D 3D 4D 6D DISINI
HANDPHONE ORIGINAL TERPERCAYA. Nikmati Keuntungan Berbelanja Dengan Hrg Relatif Murah,Super Promo.Kami Menawarkan Berbagai Jenis Type HP,Laptop,Camera,dll,Garansi Resmi Distributor dan Garansi TAM ....
BalasHapusSemua Produk Kami Baru dan Msh Tersegel dLm BOX_nya.
BERMINAT HUB-SMS:0857-3112-5055 ATAU KLIK WEBSITE RESMI KAMI http://www.alpha-shopelektronik.blogspot.com/
BlackBerry>Samsung>Nokia>smartfrend>Apple>Acer>Dell>Nikon>canon>DLL
Dijual
Ready Stock !
BlackBerry 9380 Orlando - Black
Rp.900.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Curve 8520 Gemini
Rp.500.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Bold 9780 Onyx 2
Rp.800.000,-
Ready Stock !
Blackberry Curve 9320
Rp.700.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Tab 2 (7.0)
Rp. 1.000.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Nexus I9250 - Titanium Si
Rp.1.500.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Note N7000 - Pink
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Y S5360 GSM - Pure White
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 800 - Matt Black
Rp.1.700.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia-710-white
Rp. 900.000,-
Ready Stock !
Nokia C2-06 Touch & Type - Dual GSM
Rp.450.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 710 - Black
Rp. 900.000,-
Smartfren Andromax Z
Rp.1,500.000
Smartfren Andromax U Limited Edition
Rp.1.000.000
Tablet Asus Eee Pad Slider SL 1O1
Rp.2.000.000
Tablet Asus Memo Pad ME172 V
RP.800.000
Lenovo ldea Pad B490
Rp.2.000.000
Lenovo think Pad edge A86
RP.1.500.000
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari XL) - Black
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari Telkomsel)
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPod Touch 4 Gen 8GB
Rp.700.000
Ready Stock !
APPLE iPod Nano 8GB - Pink
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4752-2332G50Mn Core i3 Win7 Home
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Acer Aspire S3-951-2364G34iss
Rp. 1.200.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 5951G Core i7 2630 Win 7
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4755G Core i5 2430 Win 7 Home Premium Green
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Nikon D7000 kit 18-105mm
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Nikon D90 Kit 18-105mm Vr
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix L 120 Red
Rp. 900.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix P 500 Black
Rp 1.000.000
ALPHA SHOP
alpha-shopelektronik.blogspot.com