Arti Kemakmuran di Sistem Dajjal
Rabu, 31 Oktober 2012
http://www.hidayatullah.com/read/25682/31/10/2012/arti-kemakmuran-di-sistem-dajjal.html
Oleh: Muhaimin Iqbal
DI AWAL awal Orde Baru tahun 1966, konon Indonesia
berada di puncak keterpurukannya dengan pendapatan per kapita hanya US$
200. Selama 32 tahun kemudian dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di
sekitar 5 % pendapatan per kapita itu tahun 1997 menjadi US$ 900. Lima
belas tahun kemudian tahun 2012 sekarang ini pendapatan per kapita kita
berada di kisaran US$ 3,250. Benarkah kita telah mengalami peningkatan
kemakmuran yang luar biasa?
Bila Dollar yang menjadi ukurannya sebagaimana dunia mengukur tingkat kemakmurannya, maka betul seolah kita telah mengalami lompatan kemakmuran yang luar biasa – lebih dari 16 kalinya selama 46 tahun ini. Atau kemakmuran penduduk negeri ini berlipat menjadi dua kalinya setiap 11.5 tahun – WOW!
Bila Dollar yang menjadi ukurannya sebagaimana dunia mengukur tingkat kemakmurannya, maka betul seolah kita telah mengalami lompatan kemakmuran yang luar biasa – lebih dari 16 kalinya selama 46 tahun ini. Atau kemakmuran penduduk negeri ini berlipat menjadi dua kalinya setiap 11.5 tahun – WOW!
Peningkatan kemakmuran yang luar biasa semacam ini memang terjadi di ekonomi kapitalisme, tetapi umumnya hanya berlaku pada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki akses-akses sumber daya ekonomi seperti modal, pasar, ilmu pengetahuan, resources dlsb. Bagi sebagian besar penduduk yang memiliki keterbatasan akses, maka kemakmuran itu sulit menyertainya.
Pemerintah-pemerintah di dunia yang fokus pada pertumbuhan atau peningkatan GDP per capita dalam Dollar, akan tertipu dalam pencapaiannya – karena meskipun dalam Dollar peningkatan pendapatan itu nampak sangat significant – tetapi tidak dalam daya beli yang sesungguhnya, yang sebaliknyalah yang terjadi.
Saya coba konversikan pendapatan-pendapatan tersebut kedalam Dinar atau kambing - karena sepanjang jaman 1 Dinar setara dengan harga 1 ekor kambing yang baik, hasilnya nampak dalam grafik dibawah :
Tahun 1966 ketika pendapatan per kapita kita masih di angka US$ 200 , itu setara dengan 42 ekor kambing saat itu. Ketika pendapatan per kapita kita mencapai US$ 900 dalam 32 tahun kemudian tahun 1997, itu setara dengan 20 ekor kambing. Tahun ini, pendapatan per kapita kita meningkat menjadi di kisaran US$ 3,250 , tetapi ini hanya setara sekitar 14 ekor kambing kelas baik atau setara sekitar 14 Dinar saja!
Jadi kemakmuran yang dihitung dengan angka Dollar itu hanya semu semata karena tidak mencerminkan daya beli yang sesungguhnya. Tetapi mengapa seluruh dunia, orang menggunakan angka Dollar untuk melihat tingkat kemakmurannya?
Pasti bukan kebetulan kalau uang satu Dollar itu bergambar mata satu seperti pada gambar dibawah.
Bukan kebetulan pula kalau umat ini diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits shahihnya untuk mewaspadai si mata satu ini sebagai berikut :
“Maukah aku beritahukan kepada kalian suatu hal mengenai Dajjal? suatu yang belum pernah dikabarkan oleh seorang nabipun kepada kaumnya: Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, ia datang dengan sesuatu seperti surga dan neraka. Yang dikatakannya surga berarti itu adalah neraka. Dan sungguh aku memperingatkannya atas kalian sebagaimana Nabi Nuh mengingatkannya atas kaumnya.” (HR. Muslim)
Yang disampaikan oleh dunia bahwa kemakmuran itu telah menghampiri kita, karena daya beli kita sudah US$ 8.9 per hari – jauh dari standar kemiskinan dunia yang US$ 2/hari – itu seperti kabar surga tetapi sesungguhnya neraka sebagaimana diungkap dalam hadits tersebut diatas. Neraka karena daya beli riil kita terhadap kambing saja ternyata turun tinggal 1/3-nya (dari 42 ke 14) dari 1966 hingga 2012 ini.
Menariknya dalam hadits tersebut disebutkan bahwa peringatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang Dajjal ini adalah seperti peringatan Nabi Nuh ‘Alaihi Salam terhadap kaumnya. Kita tahu bahwa kaum Nabi Nuh ‘Alaihi Salam yang tidak mengindahkan peringatan nabinya ditenggelamkan dalam banjir sampai musnah.
Demikian pula dengan peringatan tentang Dajjal ini, bila kita tidak mengindahkan peringatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – kita harus mewaspadai konsekwensinya. Umat ini bisa ditenggelamkan dalam kemiskinan yang sangat yang membawa kemusnahan.
Bila daya beli terhadap kambing rata-rata penduduk ini turun tinggal 1/3-nya dalam 46 tahun terakhir, tidak takutkah kita dengan apa yang terjadi dalam setengah abad kedepan ketika daya beli umat ini tinggal sekitar 4.5 ekor kambing meskipun dalam Dollar kita akan nampak sangat makmur di atas US$ 50,000,- per kapita?
Alhamdulillah kita dikarunia dua mata untuk melihat secara sempurna, tidak bias. Bahkan kita dikarunia mata hati untuk melihat apa yang tidak bisa dilihat dengan mata fisik kita. Saya sungguh berharap para pemegang otoritas negeri ini, para pemimpin, para pengambil keputusan, para pembuat undang-undang, para penegak hukum - semuanya juga menggunakannya.
Agar kita terbebas dari bias penglihatan, melihat neraka seolah surga atau sebaliknya melihat surga padahal neraka – sebagimana yang diungkapkan oleh hadits tersebut di atas. Agar kita dan anak cucu kita juga tidak musnah tenggelam – sebagaimana ditenggelamkannya umat nabi Nuh ‘Alaihi Salam yang tidak mengindahkan peringatan nabinya.
Bahkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu begitu ceto ke welo- welo (amat sangat jelas, red) tentang siapa Dajjal itu: “…bahwa ia (Dajjal) itu adalah Yahudi…” (HR Muslim).
Dan kita kini tahu bahwa sistem Yahudi telah merasuki hampir keseluruhan aspek kehidupan kita, tentang pengelolaan uang/modal melalui berbagai bank dan lembaga keuangannya, tentang pasarnya, tentang eksploitasi sumber daya alamnya, tentang pemikirannya, budayanya, peradabannya dlsb.dlsb.
Lantas bagaimana kita bisa terlepas diri
dari sistem Dajjal yang bila kita tidak hiraukan akan menenggelamkan
kita sebagimana umat nabi Nuh ‘Alaihi Salam ditenggelamkan oleh banjir?
Lagi-lagi petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu ceto ke welo-welo: “Siapa yang menghafal sepuluh ayat dari awal surat Al Kahfi, maka dia akan terpelihara dari kejahatan Dajjal.” (HR Muslim).
Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut disampaikan kepada para sahabat beliau. Melalui sejarah kita tahu kebiasaan para sahabat, yaitu setiap menerima Al-Qur’an dari Nabi, 10 ayat demi 10 ayat dihafalkan dan diamalkan, kemudian 10 ayat berikutnya dst.
Artinya adalah untuk bisa benar-benar terbebas dari fitnah Dajjal sebagaimana petunjuk dalam hadits tersebut, kita juga tidak boleh berhenti pada sekedar menghafalkannya. Kita harus bisa sampai pada tataran semaksimal mungkin memahami kemudian juga mengamalkannya.
Apa yang bisa kita pahami dan amalkan dari 10 ayat awal dari surat Al-Kahfi ini?, di dalamnya terdapat kisah para pemuda yang berusaha mengikuti petunjuk yang lurus, menjaga aqidahnya, dan membentengi diri, masuk gua untuk bisa terlepas dari pengaruh yang sangat buruk dan kejahatan penguasa dunia saat itu.
Maka hanya dengan cara inilah generasi muda dari anak cucu kita harus kita siapkan untuk melepaskan diri dari sistem Dajjal itu, kita harus mampu membangun benteng yang kuat agar sistem pendidikan kita, ekonomi kita, uang kita, pengelolaan sumber daya kita, pasar kita, ilmu pengetahuan kita dlsb. semuanya mampu untuk berlepas diri dari sistem-nya penguasa dunia saat ini yang begitu jelasnya – bahwa mereka adalah si mata satu sebagaimana mereka deklarasikan dalam satu (an) mata uang mereka! Wa Allahu A’lam.*
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com
LIHATLAH...PERMIANAN...UANG...DAN RIIL EKONOMI..??!!!.... MUNGKIN INI SUATU HAL YANG PERLU JADI RENUNGAN..DAN BELAJAR DENGAN FAKTA...??!!
Uang Berperang dengan Uang, Garam yang Menang
Selasa, 30 Oktober 2012
http://www.hidayatullah.com/read/25658/30/10/2012/uang-berperang-dengan-uang,-garam-yang-menang-.html
Oleh: Muhaimin Iqbal
PEPERANGAN antara uang atau dalam bahasa aslinya disebut currency wars atau juga disebut competitive devaluation, adalah kondisi dimana negara-negara bersaing dalam merendahkan nilai tukar uangnya. Strategi ini umumnya ditempuh untuk meningkatkan daya saing export dan menurunkan daya saing produk import di dalam negeri.
Strategi ini bahkan juga termasuk yang diresepkan oleh Internasional Monetary Fund (IMF) sejak awal tahun 1980-an untuk negara-negara berkembang. Alasannya ya itu tadi, untuk mengurangi konsumsi impor dan menaikkan daya saing ekspor.
Teorinya adalah bila daya saing produk-produk yang diekpsor dari suatu negara kuat, maka akan banyak permintaan untuk produk tersebut dan meningkatkan pula Gross Domestic Products (GDP). Tingginya GDP yang melebihi pertambahan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan penduduk negeri yang bersangkutan.
Di antara negara-negara di dunia, China yang paling sering dituduh oleh negara mitra dagangnya terutama Amerika bahwa mereka (China) merendahkan nilai tukar uangnya secara tidak wajar. Keunggulan China dalam ekspor selama ini adalah karena currency wars ini – kata Amerika.
Lebih jauh , calon presiden Amerika yang akan mengikuti pemilihannya minggu depan – Mitt Romney punya tekat bahwa bila dia terpilih sebagai presiden, dia akan men-cap China sebagai currency manipulator. Ini akan bisa memicu perang mata uang dan perang dagang berikutnya, yang bukan hanya melibatkan dua negara Amerika dan China – tetapi seluruh negara lain akan terpaksa terlibat.
Sebagaimana perang yang selalu membawa korban, demikian pula dengan perang antar uang ini. Korban utamanya adalah masyarakat yang berpenghasilan tetap dan masyarakat yang tabungannya dalam mata uang kertas negeri yang bersangkutan.
Ketika daya beli mata uang kertas diturunkan baik secara mendadak dengan devaluasi ataupun secara bertahap melalui inflasi, daya beli uang masyarakat tentu ikut menurun – maka menurun pulalah tingkat kemakmurannya.
Daya beli tabungan mereka dalam segala bentuknya baik berupa deposito, tabungan, asuransi, dana pensiun , tunjangan hari tua, dana pesangon dlsb. ikut turun nilainya – sehingga bukan hanya kemakmuran saat ini yang terganggu – tetapi juga kemakmuran jangka panjang ke depan.
Pemerintah China nampaknya tahu betul dampak currency wars yang mereka termasuk pemain utamanya (meskipun tidak pernah diakuinya) terhadap penurunan kemakmuran rakyatnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang ini. Tetapi mereka juga punya solusinya.
Solusi yang ditempuh pemerintah China adalah mempermudah dan bahkan memfasilitasi rakyatnya untuk bisa secara ramai-ramai menabung emas. Masyarakat China sangat paham atas fungsi emas dalam mempertahankan kemakmuran mereka.
Lantas bagaimana dengan kita-kita yang hidup di negara yang (mau tidak mau) juga terlibat dalam currency wars, uang kita terus menurun daya belinya tergerus oleh inflasi – tetapi tidak ada kebijakan atau dorongan dalam bentuk apapun dari pemerintah untuk kepemilikan emas masyarakat?
Jawabannya ada di salah satu hadits shoheh yang diriwayatkan oleh sejumlah perawai berikut: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit)
Mengapa hadits ini bisa menjadi jawaban atas problem kita yang hidup di tengah currency wars?, karena hadits tersebut memberi kita contoh sejumlah benda riil yang memiliki nilai intrinsic – yang bisa berperan sebagai uang. Uang dalam arti yang sesungguhnya, yang mampu mempertahankan nilai (store of value), yang bisa menjadi satuan nilai (unit of account) dan tentu juga bisa berperan sebagai alat tukar (medium of exchange).
Pertanyaan berikutnya adalah di mana benda-benda riil tersebut menjadi uang yang sesunggungnya, uang dengan ke tiga fungsinya tersebut di atas? Jawabannya adalah sederhana yaitu di pasar! Manakala kita bisa menciptakan pasar untuk benda riil – apapun, maka dia menjadi uang yang sesungguhnya.
Garam misalnya yang termasuk disebut dalam hadits tersebut di atas. Di jalan yang sama daerah tempat tinggal saya saja ada dua agen garam besar. Saya sering melihat mobil-mobil besar berhenti di depan pintunya me-naik-turunkan ber ton-ton garam.
Siapa yang butuh ber-ton-ton garam ini? Itulah pasar dari jutaan penduduk di Jabodetabek dan sekitarnya – yang tidak bisa tidak membutuhkan garam untuk masakannya. Uang bagi para pedagang ini ya garamnya, ketika Rupiah terus mengalami penyusutan daya beli melalui inflasi – gampang saja bagi mereka ini, tinggal menyesuaikan harga jual garamnya.
Bukan hanya garam, gandum, beras dan sejenisnya benda riil yang bisa menjadi uang – benda riil apapun asal sudah tercipta pasarnya – dialah uang yang sesungguhnya itu.
Maka sejauh kita bisa menciptakan pasar untuk segala bentuk kebutuhan masyarakat kita, baik berupa emas/Dinar, garam, beras, kebun, dlsb.dlsb, insyaallah kita bisa melindungi diri dari menjadi korban currency wars. Selama masih ada ‘garam’ , perang antar mata uang itu masih bisa kita menangkan! Insyaallah…
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar dan kolumnis hidayatullah.com
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut disampaikan kepada para sahabat beliau. Melalui sejarah kita tahu kebiasaan para sahabat, yaitu setiap menerima Al-Qur’an dari Nabi, 10 ayat demi 10 ayat dihafalkan dan diamalkan, kemudian 10 ayat berikutnya dst.
Artinya adalah untuk bisa benar-benar terbebas dari fitnah Dajjal sebagaimana petunjuk dalam hadits tersebut, kita juga tidak boleh berhenti pada sekedar menghafalkannya. Kita harus bisa sampai pada tataran semaksimal mungkin memahami kemudian juga mengamalkannya.
Apa yang bisa kita pahami dan amalkan dari 10 ayat awal dari surat Al-Kahfi ini?, di dalamnya terdapat kisah para pemuda yang berusaha mengikuti petunjuk yang lurus, menjaga aqidahnya, dan membentengi diri, masuk gua untuk bisa terlepas dari pengaruh yang sangat buruk dan kejahatan penguasa dunia saat itu.
Maka hanya dengan cara inilah generasi muda dari anak cucu kita harus kita siapkan untuk melepaskan diri dari sistem Dajjal itu, kita harus mampu membangun benteng yang kuat agar sistem pendidikan kita, ekonomi kita, uang kita, pengelolaan sumber daya kita, pasar kita, ilmu pengetahuan kita dlsb. semuanya mampu untuk berlepas diri dari sistem-nya penguasa dunia saat ini yang begitu jelasnya – bahwa mereka adalah si mata satu sebagaimana mereka deklarasikan dalam satu (an) mata uang mereka! Wa Allahu A’lam.*
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com
LIHATLAH...PERMIANAN...UANG...DAN RIIL EKONOMI..??!!!.... MUNGKIN INI SUATU HAL YANG PERLU JADI RENUNGAN..DAN BELAJAR DENGAN FAKTA...??!!
Uang Berperang dengan Uang, Garam yang Menang
Selasa, 30 Oktober 2012
http://www.hidayatullah.com/read/25658/30/10/2012/uang-berperang-dengan-uang,-garam-yang-menang-.html
Oleh: Muhaimin Iqbal
PEPERANGAN antara uang atau dalam bahasa aslinya disebut currency wars atau juga disebut competitive devaluation, adalah kondisi dimana negara-negara bersaing dalam merendahkan nilai tukar uangnya. Strategi ini umumnya ditempuh untuk meningkatkan daya saing export dan menurunkan daya saing produk import di dalam negeri.
Strategi ini bahkan juga termasuk yang diresepkan oleh Internasional Monetary Fund (IMF) sejak awal tahun 1980-an untuk negara-negara berkembang. Alasannya ya itu tadi, untuk mengurangi konsumsi impor dan menaikkan daya saing ekspor.
Teorinya adalah bila daya saing produk-produk yang diekpsor dari suatu negara kuat, maka akan banyak permintaan untuk produk tersebut dan meningkatkan pula Gross Domestic Products (GDP). Tingginya GDP yang melebihi pertambahan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan penduduk negeri yang bersangkutan.
Di antara negara-negara di dunia, China yang paling sering dituduh oleh negara mitra dagangnya terutama Amerika bahwa mereka (China) merendahkan nilai tukar uangnya secara tidak wajar. Keunggulan China dalam ekspor selama ini adalah karena currency wars ini – kata Amerika.
Lebih jauh , calon presiden Amerika yang akan mengikuti pemilihannya minggu depan – Mitt Romney punya tekat bahwa bila dia terpilih sebagai presiden, dia akan men-cap China sebagai currency manipulator. Ini akan bisa memicu perang mata uang dan perang dagang berikutnya, yang bukan hanya melibatkan dua negara Amerika dan China – tetapi seluruh negara lain akan terpaksa terlibat.
Sebagaimana perang yang selalu membawa korban, demikian pula dengan perang antar uang ini. Korban utamanya adalah masyarakat yang berpenghasilan tetap dan masyarakat yang tabungannya dalam mata uang kertas negeri yang bersangkutan.
Ketika daya beli mata uang kertas diturunkan baik secara mendadak dengan devaluasi ataupun secara bertahap melalui inflasi, daya beli uang masyarakat tentu ikut menurun – maka menurun pulalah tingkat kemakmurannya.
Daya beli tabungan mereka dalam segala bentuknya baik berupa deposito, tabungan, asuransi, dana pensiun , tunjangan hari tua, dana pesangon dlsb. ikut turun nilainya – sehingga bukan hanya kemakmuran saat ini yang terganggu – tetapi juga kemakmuran jangka panjang ke depan.
Pemerintah China nampaknya tahu betul dampak currency wars yang mereka termasuk pemain utamanya (meskipun tidak pernah diakuinya) terhadap penurunan kemakmuran rakyatnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang ini. Tetapi mereka juga punya solusinya.
Solusi yang ditempuh pemerintah China adalah mempermudah dan bahkan memfasilitasi rakyatnya untuk bisa secara ramai-ramai menabung emas. Masyarakat China sangat paham atas fungsi emas dalam mempertahankan kemakmuran mereka.
Lantas bagaimana dengan kita-kita yang hidup di negara yang (mau tidak mau) juga terlibat dalam currency wars, uang kita terus menurun daya belinya tergerus oleh inflasi – tetapi tidak ada kebijakan atau dorongan dalam bentuk apapun dari pemerintah untuk kepemilikan emas masyarakat?
Jawabannya ada di salah satu hadits shoheh yang diriwayatkan oleh sejumlah perawai berikut: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit)
Mengapa hadits ini bisa menjadi jawaban atas problem kita yang hidup di tengah currency wars?, karena hadits tersebut memberi kita contoh sejumlah benda riil yang memiliki nilai intrinsic – yang bisa berperan sebagai uang. Uang dalam arti yang sesungguhnya, yang mampu mempertahankan nilai (store of value), yang bisa menjadi satuan nilai (unit of account) dan tentu juga bisa berperan sebagai alat tukar (medium of exchange).
Pertanyaan berikutnya adalah di mana benda-benda riil tersebut menjadi uang yang sesunggungnya, uang dengan ke tiga fungsinya tersebut di atas? Jawabannya adalah sederhana yaitu di pasar! Manakala kita bisa menciptakan pasar untuk benda riil – apapun, maka dia menjadi uang yang sesungguhnya.
Garam misalnya yang termasuk disebut dalam hadits tersebut di atas. Di jalan yang sama daerah tempat tinggal saya saja ada dua agen garam besar. Saya sering melihat mobil-mobil besar berhenti di depan pintunya me-naik-turunkan ber ton-ton garam.
Siapa yang butuh ber-ton-ton garam ini? Itulah pasar dari jutaan penduduk di Jabodetabek dan sekitarnya – yang tidak bisa tidak membutuhkan garam untuk masakannya. Uang bagi para pedagang ini ya garamnya, ketika Rupiah terus mengalami penyusutan daya beli melalui inflasi – gampang saja bagi mereka ini, tinggal menyesuaikan harga jual garamnya.
Bukan hanya garam, gandum, beras dan sejenisnya benda riil yang bisa menjadi uang – benda riil apapun asal sudah tercipta pasarnya – dialah uang yang sesungguhnya itu.
Maka sejauh kita bisa menciptakan pasar untuk segala bentuk kebutuhan masyarakat kita, baik berupa emas/Dinar, garam, beras, kebun, dlsb.dlsb, insyaallah kita bisa melindungi diri dari menjadi korban currency wars. Selama masih ada ‘garam’ , perang antar mata uang itu masih bisa kita menangkan! Insyaallah…
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar dan kolumnis hidayatullah.com
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar