KERUSUHAN SAMPANG Rois Dijerat Pasal Berlapis Rabu, 29/08/2012 | 13:08 WIB | |||||||
SAMPANG –
Sedikit demi sedikit kerusuhan Sampang
yang diyakini dipicu konflik keluarga--asmara—dan berbuntut pada bentrok
kelompok Islam Syiah dan Sunni mulai terurai. Satu tersangka berinisial
R—dikabarkan Rois Hukama--dari kelompok Sunni, adik Tajul Muluk
(pemimpin Syiah--bakal dijerat dengan 5 pasal KUHP. Ancaman penjara
hingga 15 tahun pun menanti.
“Tersangka Rois Hukama yang kini
ditahan di Polres Sampang akan dijerat dengan pasal berlapis, yakni
pasal 338 (pembunuhan), 354 (penganiayaan), 170 (pengeroyokan dan
perusakan), 55 (turut serta), dan 56 (turut serta) Undang-undang KUHP
dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara hingga 15 tahun penjara,” ungkap
Kapolres Sampang, AKBP Solehan saat dihubungi Rabu (29/8).
Diakuinya,
Rois ditetapkan menjadi tersangka pasca dilakukan pemeriksaan terhadap 8
saksi kerusuhan di Desa Karang Gayam, Kec. Omben, Sampang 26 Agustus
lalu.
Sementara itu untuk 7 orang saksi, lanjut dia, pihaknya
sudah melepas karena dari hasil pengembangan penyidikan tidak cukup
bukti untuk menjerat sebagai tersangka. Mengenai motif kerusuhan, ia
menyebut motif yang terungkap dari pemeriksaan tersangka dan saksi
adalah masalah keluarga antara Rois dengan Tajul Muluk yang kebetulan
berbeda mazhab (paham keagamaan).
’’Dari aksi kerusuhan
tersebut, kami telah menyita sejumlah bahan bom ikan (bondet) dan
ratusan senjata tajam (sajam) seperti celurit, parang, dan senjata tajam
lainnya,’’ katanya.
Terpisah, Kabid Humas Polda Jatim,
Kombespol Hilman Tayib memaparkan, tersangka diduga telah berperan
menjadi pemicu kerusuhan di Sampang hingga menyebabkan jatuhnya korban
jiwa, terjadinya penganiayaan, mengganggu ketertiban umum dan turut
serta dalam tindak pidana. "Peran tersangka sesuai pasal yang di
sangkakan,"ujarnya
Hilman menegaskan, dalam kerusuhan yang
telah menjadi perhatian nasional itu, dua orang meninggal yakni Husein
dan Tamama yang berasal dari dua kelompok dan empat anggota kepolisian
yang mengamankan lokasi mengalami luka-luka. “Satu anggota kami
luka-luka berat dan tiga lainnya luka ringan,” katanya.
Berdasarkan informasi dari keluarga korban yang tewas dalam kerusuhan itu, Hamamah alias Moh Khosim telah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kasin Malang. Sebab, pemakanan korban di desa setempat ditentang oleh warga.
Selain
mengamankan delapan orang, penangkapan kemarin juga mengamankan ratusan
senjata tajam dan beberapa jenis bom ikan dari sekitar lokasi
penyerangan. Dalam penyerangan itu, beberapa rumah kelompok Syiah hangus
dibakar, dua korban tewas, beberapa luka-luka termasuk Kapolsek Omben,
AKP Aris Dwiyanto.
Penyerangan pada Minggu siang kemarin dipicu setelah terjadi ketegangan antara sejumlah siswa dari warga Syiah yang hendak kembali belajar ke Bangil dicegat oleh beberapa orang tak dikenal. Puluhan massa menghadang dan mengancam akan membakar mobil yang ditumpangi para siswa itu. Karena dihadang tanpa alasan yang jelas, mereka yang di dalam mobil bersitegang dengan kelompok massa tersebut. Di sisi lain, akibat aksi kekekerasan tersebut, puluhan Anak-Anak Syiah yang diungsikan di Gedung Olah Raga (GOR) mengalami trauma. Kondisi tersebut mendapat perhatian serius dari Komite Anak Sampang dengan mencoba menghibur mereka untuk menghilangkan rasa sedih anak-anak ini," kata Ketua Komite Anak, Sampang, Untung Rifai di itu.
Untung
Rifai, Ketua Komite Anak, menyatakan, jika kondisi psikis anak-anak itu
dibiarkan maka dapat menganggu kejiwaannya. Sehingga dia mencoba
memberikan bimbingan permainan dengan harapan, anak-anak korban
penyerangan ini tetap bisa bersemangat. ’’Mereka sebenarnya tidak
mengetahui permasalahan yang terjadi, namun kejadian tragis yang dilihat
langsung dengan mata kepalanya itu akan terus membekas dalam benak
pikirannya. Sehingga membutuhkan terapi kejiwaan akan tidak
terguncang,’’ ujar Untung.
Sementara pantauan kondisi
pengungsi di tempat penampungan, satu persatu mulai terserang berbagai
penyakit. Berdasarkan data pelayanan medis Dinas Kesehatan (Dinkes)
Sampang, tercatat sebanyak 31 orang harus mendapat perawatan intensif
karena korban mengalami luka-luka serius. Tak hanya itu, serangan
penyakit demam dan diare juga mulai dikeluhkan para pengungsi.
’’Kita memang memprioritaskan terhadap korban yang mengalami luka-luka akibat benda tajam atau terkena pecahan batu maupun kelereng. Namun ada sebagian pengungsi yang mulai terserang diare dan panas tubuhnya deman, sehingga petugas medis yang selalu menjaga kesehatan pengungsi melakukan perawatan media,’’ jelas Kepala Dinkes Sampang, Firman Pria Abadi.
Jumlah
penduduk sekitar yang menjadi korban kerusuhan sekitar 210 orang dan
mengungsi di GOR Sampang. Mereka mendapat bantuan kebutuhan hidup,
kesehatan dan aneka kebutuhan lainnya. “Kebutuhan hidup para pengungsi
dibantu pemerintah, kesehatannya juga, termasuk mental para pengungsi,”
kata Hilman.
Untuk mengamankan lokasi konflik, Polda Jatim
terus menambah pasukan, Total anggota Polres-polres Pulau Madura
ditambah pasukan Brimob Polda Jatim menjadi dua ribu personel. Kondisi
terakhir imbuh Hilman, aktivitas masyarakat seudah berjalan normal.
“Jadi, sementara ini situasi disana sudah mulai kondusif, masyarakat
sudah bertani dan menjalankan aktifitas seperti biasa,” pungkasnya.
Terpisah,
Gubernur Jatim Soekarwo mengaku pihak aparat kecolongan dalam
mengantisipasi adanya potensi konflik. Menurut Soekarwo pada hari minggu
seluruh aparat penegak hukum sedang berkonsentrasi untuk mengamankan
puncak arus balik lebaran tahun 2012. “Pada saat itu kami (pemerintah
dan polisi) berkonsentrasi pada arus mudik dan arus balik Lebaran. Nah
pada saat itulah bentrokan pecah,” ujarnya
Dirinya mengatakan akan bersama aparat kepolisian tokoh agama serta tokoh masyarakat setempat berjanji akan segera menyelesaikan kasus tersebut. namun dirinya menekankan pentingnya penyelesaian masalah dengan melakukan pendekatan hukum yang persuasif.
“Hukum harus ditegakkan, persuasif. Tapi
kalau agama, saya tidak bisa masuk, mungkin Menteri Agama yang bisa
berdialog. Kami ingin menyelamatkan minoritas ke tempat yang layak,”
pungkasnya.m2,gim,m7,rud
|
|||||||
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=e769c83a549ca32b92e9d9b40d3b04ad&jenis=b706835de79a2b4e80506f582af3676a |
Serangan
kedua kali terhadap para warga Syiah di Nangkernang, Sampang, Madura,
Jawa Timur memang peristiwa tragis dan telah menginjak-injak citra
bangsa Indonesia yang terkenal toleran dalam menghadapi setiap
perbedaan. Rakyat yang selama ini dikenal santun tiba-tiba berubah
menjadi beringas. Tak puas atas perbedaan yang terjadi di sekitar
mereka.
Hingga saat ini terus beredar kecaman dan penyesalan atas terjadinya insiden ini, namun yang diperlukan saat ini adalah mencari sebab dan akar permasalahan. Sehingga masalah ini bisa dituntaskan sesegera mungkin dan tidak akan terjadi kembali serta merembet ke wilayah lain.
Berbagai pandangan dan analisa bermunculan mengenai sebab terjadinya konflik ini. Ada yang berpendapat aksi kekerasan ini dipicu oleh masalah internal dan keluarga serta tidak ada kaitannya dengan perbedaan mazhab. Namun buktinya ternyata isu ini berkembang ke arah Sunni-Syiah. Jika hanya permasalah internal dan keluarga maka seharusnya tidak akan merembet luas melibatkan massa. Dan juga tidak akan terjadi serangan sampai dua kali.
Hal ini patut diperhatikan dan ditelusuri dengan seksama. Sementara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur menilai konflik Syiah di Sampang sebenarnya sudah lama diselesaikan dengan kesepakatan di tingkat lokal Sampang maupun SK Gubernur Jatim 55/2012. PWNU kemudian menilai bentrokan yang terjadi kemarin merupakan hasil dari pelanggaran kesepakatan yang dilakukan kelompok Syiah Sampang sehingga konflik pun meletus.
"Syiah itu melanggar HAM, karena mereka melecehkan Islam. Solusinya, kami tidak melarang, tapi kami meminta Syiah untuk menghindari kiprahnya di ranah publik, kalau mereka tidak memasuki ranah publik atau hanya internal keluarga, tentu mereka akan aman," kata Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah kepada ANTARA di Surabaya, Selasa. Statemen ketua PWNU Jatim terkait Syiah melanggar HAM patut disayangkan, karena dirilis di saat pengikut Syiah sendiri menjadi korban HAM.
Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi tentang solusi bentrok komunitas Syiah dengan masyarakat Desa Karanggayam, Omben, Sampang, Madura yang terjadi dua kali yakni 29-30 Desember 2011 dan 26 Agustus 2012.
Menurut dia, bila jamaah Syiah memasuki ranah publik, maka dipastikan akan terjadi konflik, karena masyarakat sekitar akan merasa dilecehkan. "Buktinya, masyarakat Sampang aman-aman saja dengan Muhammadiyah, Kristen, Buddha, dan sebagainya, karena memang tidak ada pelecehan itu," katanya.
Oleh karena itu, SK Gubernur Jatim Nomor 55/2012 tentang Pembinaan Kehidupan Beragama dan Aliran Sesat sebenarnya merupakan "solusi" karena tidak memberi ruang kepada ajaran yang melecehkan Islam untuk memasuki ranah publik.
"Kalau SK itu diterapkan, maka Syiah di Indonesia akan aman. Itu jauh lebih baik daripada pelarangan terhadap Syiah yang dilakukan Aljazair, Mesir, Yordania, Cassablanca, dan sebagainya. Hanya Indonesia, Lebanon, dan Iran yang menerima Syiah. Indonesia masih toleran, asalkan sifatnya pribadi atau internal keluarga, bukan disyiarkan," katanya.
Dengan demikian, katanya, konflik yang terjadi di Sampang sesungguhnya bukan konflik agama, melainkan konflik mazhab atau aliran yang bisa diselesaikan dengan memposisikan masing-masing kelompok secara proporsional dan penyelesaian ala Indonesia itu hendaknya tidak dilanggar.
"Kami juga bukan tidak mau berdialog, melainkan justru Syiah selalu menolak untuk datang bila diundang berdialog. Ada pula pimpinan Syiah di tingkat lokal yang mau berdialog, tapi mereka selalu lemah dalihnya," katanya.
Namun, katanya, PWNU Jatim juga sepakat bila polisi bertindak sesuai hukum tatkala melihat konflik aliran yang mengandung unsur pidana. "Silakan saja, asalkan penanganannya sesuai fakta, transparan, dan terukur," katanya.
Ia menambahkan PWNU Jatim juga sudah membentuk tim pencari fakta (TPF) yang melibatkan LPBHNU Sampang dan LPBHNU Jatim. "Kami akan terbuka dengan hasil TPF dan tidak ada masalah dengan proses hukum yang berjalan," katanya.
Hasil Rapat Para Menteri Tanggapi Kasus Serangan Sampang
Hasil rapat koordinasi para pejabat tinggi yang digelar di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin malam, 27 Agustus 2012, setidaknya menghasilkan empat butir kesimpulan.
Empat butir kesimpulan tersebut adalah, meminta kepolisian secepatnya mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kriminal pertikaian antara penganut Syiah dan warga di Sampang.
Selain itu, masyarakat yang kehilangan tempat tinggal akan segera dicarikan solusi sementara tempat penampungan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Untuk solusi jangka panjang akan segera dibicarakan antara Pemerintah Provinsi dan pemerintah pusat. Sedangkan kesimpulan terakhir adalah, konflik di Sampang bukanlah konflik antar Suni dan Syiah.
"Sore tadi kami sudah tinjau lokasi, dan hasilnya kami rapatkan malam ini hasilnya empat poin ini akan segera kita kerjakan bersama," kata Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, usai pertemuan pada Selasa dinihari, 28 Agustus 2012.
Pertemuan tertutup yang berlangsung sejak pukul 20.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB itu juga dihadiri Menteri Agama, Suryadarma Ali; Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin; Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono; serta Kepala BIN, Marciano Norman.
Hadir pula Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Hadiatmoko, Panglima Kodam V/Brawijaya Mayor Jenderal Murjito, serta Ketua DPRD Jawa Timur, Imam Sunardi.
PBNU Kecam Serangan Terhadap Warga Syiah di Sampang
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengutuk terulangnya aksi kekerasan terhadap warga Islam Syiah di Nanggernang, Sampang, Madura, Jawa Timur. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Senin, mendesak aparat keamanan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku aksi kekerasan yang dinilainya sebagai tindak kriminal.
"Saya melihat (kejadian) itu sebagai kriminal murni, karena dakwah tidak dibenarkan kalau sampai harus saling melukai, apalagi saling bunuh. Oleh karenanya aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, harus bisa bertindak sesuai dengan hukum yang ada," katanya.
Terkait tudingan sejumlah pihak bahwa Syiah sebagai aliran sesat, menurut Said Aqil, bukan berarti tindak kekerasan terhadap penganutnya dibenarkan. "Kenyataannya di dunia ini Syiah dianggap sesat, keluar dari Islam dan lain sebagainya, tetapi tidak dibenarkan kalau penyelesaiannya melalui jalan kekerasan. 'Laa ikraha fiddin', tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), tidak ada kekerasan dalam agama," katanya.
NU, lanjut Said Aqil, menolak kekerasan dari dan kepada siapapun, serta apapun latar belakang kejadiannya.
"NU dengan Syiah jelas beda, terlebih dengan Ahmadiyah, jelas berbeda. Tapi dalam pergaulan kami menolak adanya kekerasan, karena ajakan berubah itu ada metodenya. Dakwah, diskusi yang bermartabat, dan itu semua yang selama ini kami lakukan," katanya.
PBNU sejauh ini sudah melakukan sejumlah upaya untuk membantu menyelesaikan perselisihan warga Islam Syiah di Sampang, Madura.
Ketua PBNU Saifullah Yusuf, yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur, secara khusus sudah diberikan mandat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tetap sesuai dengan prinsip-prinsip Nahdlatul Ulama. (IRIB Indonesia/Republika/Tempo)
Hingga saat ini terus beredar kecaman dan penyesalan atas terjadinya insiden ini, namun yang diperlukan saat ini adalah mencari sebab dan akar permasalahan. Sehingga masalah ini bisa dituntaskan sesegera mungkin dan tidak akan terjadi kembali serta merembet ke wilayah lain.
Berbagai pandangan dan analisa bermunculan mengenai sebab terjadinya konflik ini. Ada yang berpendapat aksi kekerasan ini dipicu oleh masalah internal dan keluarga serta tidak ada kaitannya dengan perbedaan mazhab. Namun buktinya ternyata isu ini berkembang ke arah Sunni-Syiah. Jika hanya permasalah internal dan keluarga maka seharusnya tidak akan merembet luas melibatkan massa. Dan juga tidak akan terjadi serangan sampai dua kali.
Hal ini patut diperhatikan dan ditelusuri dengan seksama. Sementara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur menilai konflik Syiah di Sampang sebenarnya sudah lama diselesaikan dengan kesepakatan di tingkat lokal Sampang maupun SK Gubernur Jatim 55/2012. PWNU kemudian menilai bentrokan yang terjadi kemarin merupakan hasil dari pelanggaran kesepakatan yang dilakukan kelompok Syiah Sampang sehingga konflik pun meletus.
"Syiah itu melanggar HAM, karena mereka melecehkan Islam. Solusinya, kami tidak melarang, tapi kami meminta Syiah untuk menghindari kiprahnya di ranah publik, kalau mereka tidak memasuki ranah publik atau hanya internal keluarga, tentu mereka akan aman," kata Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah kepada ANTARA di Surabaya, Selasa. Statemen ketua PWNU Jatim terkait Syiah melanggar HAM patut disayangkan, karena dirilis di saat pengikut Syiah sendiri menjadi korban HAM.
Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi tentang solusi bentrok komunitas Syiah dengan masyarakat Desa Karanggayam, Omben, Sampang, Madura yang terjadi dua kali yakni 29-30 Desember 2011 dan 26 Agustus 2012.
Menurut dia, bila jamaah Syiah memasuki ranah publik, maka dipastikan akan terjadi konflik, karena masyarakat sekitar akan merasa dilecehkan. "Buktinya, masyarakat Sampang aman-aman saja dengan Muhammadiyah, Kristen, Buddha, dan sebagainya, karena memang tidak ada pelecehan itu," katanya.
Oleh karena itu, SK Gubernur Jatim Nomor 55/2012 tentang Pembinaan Kehidupan Beragama dan Aliran Sesat sebenarnya merupakan "solusi" karena tidak memberi ruang kepada ajaran yang melecehkan Islam untuk memasuki ranah publik.
"Kalau SK itu diterapkan, maka Syiah di Indonesia akan aman. Itu jauh lebih baik daripada pelarangan terhadap Syiah yang dilakukan Aljazair, Mesir, Yordania, Cassablanca, dan sebagainya. Hanya Indonesia, Lebanon, dan Iran yang menerima Syiah. Indonesia masih toleran, asalkan sifatnya pribadi atau internal keluarga, bukan disyiarkan," katanya.
Dengan demikian, katanya, konflik yang terjadi di Sampang sesungguhnya bukan konflik agama, melainkan konflik mazhab atau aliran yang bisa diselesaikan dengan memposisikan masing-masing kelompok secara proporsional dan penyelesaian ala Indonesia itu hendaknya tidak dilanggar.
"Kami juga bukan tidak mau berdialog, melainkan justru Syiah selalu menolak untuk datang bila diundang berdialog. Ada pula pimpinan Syiah di tingkat lokal yang mau berdialog, tapi mereka selalu lemah dalihnya," katanya.
Namun, katanya, PWNU Jatim juga sepakat bila polisi bertindak sesuai hukum tatkala melihat konflik aliran yang mengandung unsur pidana. "Silakan saja, asalkan penanganannya sesuai fakta, transparan, dan terukur," katanya.
Ia menambahkan PWNU Jatim juga sudah membentuk tim pencari fakta (TPF) yang melibatkan LPBHNU Sampang dan LPBHNU Jatim. "Kami akan terbuka dengan hasil TPF dan tidak ada masalah dengan proses hukum yang berjalan," katanya.
Hasil Rapat Para Menteri Tanggapi Kasus Serangan Sampang
Hasil rapat koordinasi para pejabat tinggi yang digelar di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin malam, 27 Agustus 2012, setidaknya menghasilkan empat butir kesimpulan.
Empat butir kesimpulan tersebut adalah, meminta kepolisian secepatnya mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kriminal pertikaian antara penganut Syiah dan warga di Sampang.
Selain itu, masyarakat yang kehilangan tempat tinggal akan segera dicarikan solusi sementara tempat penampungan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Untuk solusi jangka panjang akan segera dibicarakan antara Pemerintah Provinsi dan pemerintah pusat. Sedangkan kesimpulan terakhir adalah, konflik di Sampang bukanlah konflik antar Suni dan Syiah.
"Sore tadi kami sudah tinjau lokasi, dan hasilnya kami rapatkan malam ini hasilnya empat poin ini akan segera kita kerjakan bersama," kata Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, usai pertemuan pada Selasa dinihari, 28 Agustus 2012.
Pertemuan tertutup yang berlangsung sejak pukul 20.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB itu juga dihadiri Menteri Agama, Suryadarma Ali; Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin; Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono; serta Kepala BIN, Marciano Norman.
Hadir pula Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Hadiatmoko, Panglima Kodam V/Brawijaya Mayor Jenderal Murjito, serta Ketua DPRD Jawa Timur, Imam Sunardi.
PBNU Kecam Serangan Terhadap Warga Syiah di Sampang
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengutuk terulangnya aksi kekerasan terhadap warga Islam Syiah di Nanggernang, Sampang, Madura, Jawa Timur. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Senin, mendesak aparat keamanan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku aksi kekerasan yang dinilainya sebagai tindak kriminal.
"Saya melihat (kejadian) itu sebagai kriminal murni, karena dakwah tidak dibenarkan kalau sampai harus saling melukai, apalagi saling bunuh. Oleh karenanya aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, harus bisa bertindak sesuai dengan hukum yang ada," katanya.
Terkait tudingan sejumlah pihak bahwa Syiah sebagai aliran sesat, menurut Said Aqil, bukan berarti tindak kekerasan terhadap penganutnya dibenarkan. "Kenyataannya di dunia ini Syiah dianggap sesat, keluar dari Islam dan lain sebagainya, tetapi tidak dibenarkan kalau penyelesaiannya melalui jalan kekerasan. 'Laa ikraha fiddin', tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), tidak ada kekerasan dalam agama," katanya.
NU, lanjut Said Aqil, menolak kekerasan dari dan kepada siapapun, serta apapun latar belakang kejadiannya.
"NU dengan Syiah jelas beda, terlebih dengan Ahmadiyah, jelas berbeda. Tapi dalam pergaulan kami menolak adanya kekerasan, karena ajakan berubah itu ada metodenya. Dakwah, diskusi yang bermartabat, dan itu semua yang selama ini kami lakukan," katanya.
PBNU sejauh ini sudah melakukan sejumlah upaya untuk membantu menyelesaikan perselisihan warga Islam Syiah di Sampang, Madura.
Ketua PBNU Saifullah Yusuf, yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur, secara khusus sudah diberikan mandat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tetap sesuai dengan prinsip-prinsip Nahdlatul Ulama. (IRIB Indonesia/Republika/Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar