Otorisasi Kedustaan Negara di Televisi
Otorisasi Kedustaan Negara di Televisi
Oleh : Ostaf Al Mustafa
Humas Pendustaan via Televisi
Otorisasi kedustaan negara yang berbalut adegan kekerasan tak bisa tersembunyi bau busuknya. Kebusukan dari kedustaan negara tersebut, tak terbungkus rapi oleh pelaksanaan hukum yang bobrok. Kedustaan itu menjadi bocor, karena dilakukan aparat penegak hukum yang tak terpercaya.
Hukum tak lagi tegak, sebab pihak tertinggi yang menjadi penegak itu, menjadi ujung terdepan yang membengkokkan hukum. Apapun jenis pembungkus yang rapuh, tak bisa diubah menjadi tiang yang tegak. Negara belum terkalahkan dalam urusan legalisasi kedustaan ini. Stasiun televisi ikut menggalakkan kedustaan ini, dengan menjadi ‘humas informal pendustaan’ untuk melegalkan otorisasi kekerasan negara tersebut. Kedustaan di televisi semakin lentur, bisa berkali-kali dilakukan dengan kebenaran yang longgar.
Pertunjukan otorisasi ini untuk melawan apa yang disebut dalam siaran televisi itu sebagai teroris. Televisi telah memaklumatkan penyebaran kekerasan formal yang diselingi penghiburan via tayangan iklan.
Dari tayangan semacam ini negara telah memaksakan sebuah kepatuhan tanpa batas, dengan kekuatan aparat yang siap membunuh kapan saja. Kepatuhan untuk menerima begitu saja, apapun yang dikatakan oleh negara tentang terorisme. Itu memang selalu terjadi di tayangan yang berintikan perburuan teroris.
George Orwell dalam “1984” mengindikasikan bagaimana warga masyarakat dapat tergiring pikirannya oleh kekuatan televisi melalui manipulasi opini. “Penemuan mesin cetak, bagaimanapun juga makin memudahkan untuk memanipulasi opini publik. Film dan radio, membawa proses itu lebih jauh lagi. Perkembangan televisi dan kemajuan teknisnya, memungkinkan untuk menerima dan menyiarkan terus menerus pada instrumen yang sama. Akibatnya dapat membuat kehidupan pribadipun berakhir. Setiap warga negara sangat penting untuk diawasi dan dimata-matai selama dua puluh empat jam sehari di bawah kendali polisi. Hal itu dilakukan dalam bentuk propaganda resmi, ketika semua saluran komunikasi telah tertutup.
Kemungkinan untuk melakukan tindakan pemaksaan, bukan hanya dalam kepatuhan penuh pada kehendak negara, tapi juga melalui keseragaman opini pada setiap orang, yang kemudian terlaksana pertama kali melalui saluran televisi.” Televisi memang sudah membentuk kepatuhan itu pada tahun 1984, sebagaimana yang ditulis Orwell.
Daya rusak kepatuhan pada negara yang dibentuk televisi, tentu kini makin membesar. Pembesaran kepatuhan tersebut, terjadi pada pengabsahan kekerasan legal dan penyeragaman opini yang membentuk kedunguan publik.
Ruang Gratis Pendustaan
Televisi menjadi ruang gratis untuk mempertontonkan kekerasan formal, melalui fakta yang termanipulasi. Tayangan yang terekayasa itu menjadi suatu realitas tersendiri yang berbeda dengan fakta kebenaran sebenarnya. Televisi melakukan pembuatan realitas baru dalam bentuk siaran langsung.
Reportase kemudian digiring oleh embedded journalist (jurnalis yang terlibat langsung bersama subyek berita), agar fakta yang disiarkan terbentuk dalam realitas dramatisasi. Pemberitaan dusta seperti ini umumnya memiliki ‘rasa Amerika’ dan ’selera Inggris’, tapi kini sudah memiliki ‘hasrat Indonesia’ pula.
Hasrat kedustaan itu terlaksana karena saluran televisi Indonesia juga telah melakukan pendustaan serupa. Sampel tentang embedded journalist yang terlibat langsung dalam pendustaan fakta tersebut yakni Lazuardi (Metro TV) dan Ecep S Yasa (tvOne), saat terjadi operasi penggerebekan tersangka teroris di Solo, Jawa Tengah (13/5/10). Embedded journalist berkaitan dengan reporter-reporter berita yang menempel pada unit militer dalam suatu konflik bersenjata (Wikifedia).
Masalahnya kini, sebutan tersangka kepada yang dicurigai teroris, seringkali juga menjadi vonis langsung dengan hukuman tembak di tempat. Vonis bukan dijatuhkan melalui ketukan palu di meja hijau, tapi melalui muntahan peluru. Vonis tanpa prosedur hukum ini, sudah berkali-kali dilakukan Densus 88, untuk mengejar target publikasi. Hukum telah dirusak tatanannya oleh aparat negara. Kerusakan pelaksanaan hukum itu yang bisa disaksikan melalui tayangan televisi. Tayangan Metro TV dan tvOne, merupakan fakta tak terbantahkan, betapa hukum dihancurkan oleh aparat negara itu sendiri.
Jalur kedustaan ‘rasa Amerika’ dan ’selera Inggris’, yang telah menjadi propaganda itu bisa dilacak ketika CNN, ABC, BBC, Fox News dan sebagainya, memberitakan serangan 11 September. Pemberitaan penuh warna konspirasi yang digalang oleh media corporatocracy (korporatokrasi media) itu, memulai ajang baru industri berita yang paling laku sebagai bisnis yang tak merugi yakni isu terorisme. ‘Korporatokrasi media’ yakni kekuatan korporasi yang menguasai pemberitaan, termasuk bagaimana menyetir informasi, agar bisa terbeli dan membentuk opini yang terkendali di seluruh dunia.
Kekuatan ‘korporatokrasi media’ yakni menjadikan terorisme sebagai aset industri informasi dan lahan berita yang tak pernah kering. Jalur kedustaan ‘rasa Amerika’ dan ’selera Inggris’ dalam isu terorisme selalu dibasahkan dengan berita berdarah, linangan minyak mentah dan kepulan asap yang menyembunyikan liputan yang tak pernah berimbang.
Jalur kedustaan ‘rasa Amerika’ dan ’selera Inggris’ dalam televisi, nyaris sepenuhnya bisa disajikan dalam ‘hasrat Indonesia’, dengan kedustaan yang serupa dalam wajah kekerasan yang mirip.
Prinsip jurnalisme seperti “both cover side”, yang selalu menjadi dalih untuk pemberitaan yang seolah-olah benar, telah menjadi ambiguitas sejati. Ambiguitas terjadi, ketika kebenaran dalam pemberitaan, merupakan dusta itu sendiri. Dalam industri pemberitaan ini, penyampaian kedustaan ‘hasrat Indonesia ’ tersebut, dipertontonkan pada suatu suatu episode penyergapan tiga orang tersangka teroris. Metro TV dan tvOne memang belum menjadi ‘korporatokrasi media’ yang mampu mengendalikan topik dan subyek pemberitaan.
Namun pola yang dilakukan dalam ambiguitas “both cover side”, telah terlaksana. Negara berhasil menyuntikkan kebohongan pemberitaan pada siaran televisi. Ini terjadi karena kuasa gelap aparat masih tinggi dalam membuat kedustaan formal. Bila Metro TV dan tvOne, telah menjadi ‘korporatokrasi media’, maka suatu ketika pasti mampu menyondorkan pada negara, sejumlah pemberitaan dusta yang bisa ditanamkan ke pikiran publik dan massa.
Operasi antiterror tersebut merupakan realitas pembualan yang didramatisir oleh polisi. Kedustaan ini tentu saja beragenda terselubung untuk membentuk kepatuhan yang seragam, agar masyarakat selalu saling mencurigai dan saling mewaspadai. Tentu saja selalu ada yang menjadi korban tak bersalah dalam stigmatisasi sebagai teroris.
Polisi sadar bahwa dramatisasi operasi tersebut bisa ditanggapi masyarakat sebagai ‘realitas bualan’ belaka. Untuk itu, Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Zainuri Lubis mengatakan, penangkapan tiga orang yang diduga teroris di Solo, Jawa Tengah, bukanlah rekayasa Polri. (KOMPAS.com, 13/5/10).
Dengan menggunakan potongan bahasa Arab, Zanuri justru memperkuat kedustaan yang terjadi. “Itusuudzon, faktanya kita lihat, yang jelas ada orang, ada senjata,” katanya. Kompas.com, mempertegas adanya kedustaan Zanuri dengan menyebutkan pandangan masyarakat yang menjadi penyaksi langsung operasi tersebut. Berdasarkan informasi Kompas.com, warga Solo di sekitar lokasi kejadian penggerebekan tiga orang teroris tersebut menduga bahwa penggerebekan oleh Densus 88 hanya sebuah rekayasa.
Hannibal Wijyanto, wartawan senior ANTV dalam catatannya di Facebook juga menyatakan hal serupa. Hannibal menyatakan, kejanggalan pun semakin lengkap ketika beberapa warga mengakui bahwa sebenarnya sehari sebelumnya rumah bengkel itu sudah didatangi sejumlah orang bertampang tegap, yang menurut warga adalah polisi…. “Ya mirip mereka-mereka itu, mas…,” kata mereka.
Konferensi Pers versi Novel Detektif
Realitas bualan negara ini bukan rencana yang rapi, tapi terkesan asal-asalan. Melalui media online,riwayat kedustaan dua stasiun televisi yang bersekongkol dengan aparat negara itu, dapat terungkap tanpa tirai pembenaran sama sekali. Hannibal Wijayanto membeberkan adanya manipulasi dan kedustaan tersebut, dengan sindiran berjudul, “Dagelan Penggerebegan Teroris”. Dagelan ini diperkuat dengan konferensi pers yang dilakukan Kapolri Bambang Hendarso Danuri, yang juga dihadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto. Keduanya menyampaikan tentang keberhasilan penggerebegan teroris di Solo tersebut.
Jumat siang (14/5), pukul 13.40 WIB, Menkopolhukam Djoko Suyanto memimpin konferensi pers terkait operasi antiteror Densus 88. Rendahnya nilai kebenaran berita ini, terbaca dari pernyataan Menko Polhukam yang diliput langsung oleh tvOne. Ia meminta agar masyarakat tidak apriori terhadap keberhasilan POLRI terkait terorisme. Tak biasanya, Kapolri menghadirkan Menko Polhukam Djoko untuk memberikan keterangan pers tentang operasi Densus 88. Ini menunjukkan Kapolri butuh dukungan untuk memperkuat lemahnya nilai fakta yang terberitakan.
Djoko Suyanto meminta masyarakat untuk tetap mempercayai kesungguhan POLRI. Ia menekankan bahwa pada intinya semua yang dilakukan POLRI bukanlah sandiwara untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap beberapa peristiwa yang saat ini tengah menjadi topik hangat di tengah masyarakat seperti halnya kasus Century, Gayus Tambunan hingga Brigjen Polisi Susno Duadji.
Rendahnya nilai kebenaran ini mengakibatkan harus menghadirkan Menkopolhukam Djoko Suyanto dalam konferensi pers tersebut. Ini pasti dimaksudkan untuk memperkuat pernyataan Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Zainuri Lubis, yang terkesan lemah sekali nilai validitasnya. Tentu juga untuk membantu pernyataan Kapolri yang sama lemahnya dengan apa yang telah dikemukakan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri.
Kebohongan dari operasi polisi tersebut, harus dikuatkan oleh tiga kedustaan lainnya, berupa kasus Century, Gayus Tambunan hingga Brigjen Polisi Susno Duadji. Tiga serial kasus ini ditangani oleh POLRI secara bohong-bohongan. Serial dari kedustaan dengan dramatisasi alur kisah yang berbeda, juga telah menjadi komodifikasi di televisi. Kedustaan ini juga diperparah ketika laporan inteljen disebarkan dalam konferensi pers, untuk menguatkan kedustaan yang sudah ada.
Pada dramatisasi penggerekan tersangka teroris di Solo, ditambahi dengan penyampaian laporan inteljen tentang adanya teroris yang mau membunuh presiden dan membentuk negara baru. “Mereka akan menyerang semua pejabat yang hadir pada Upacara 17 Agustus 2010. Semua pejabat negara akan dibunuh termasuk para tamu negara yang hadir,” kata Kapolri (ANTARA News, 14/5/10).Konferensi pers yang mirip penyampaian resensi novel detektif yang bernuansa thriller, telah menjadi kedustaan yang rapi dan jamak.
Rendahnya mutu investigasi inteljen yang disampaikan Kapolri, membuat Joko Suyanto, harus tampil untuk memberi penguatan pembenaran. Menkopolhukam meminta kepada semua pihak tidak memandang sebelah mata informasi yang disampaikan pihak Polri.
“Apa yang disampaikan Kapolri bukan rekaan belaka, melainkan hasil penyelidikan terhadap pelaku-pelaku. Apa yang diungkap Kapolri tidak boleh dipandang isu tak mendasar,” ungkapnya (KOMPAS.com, 14/5/10) “Pemerintah tidak boleh meremehkan informasi itu. Tidak boleh kita menyebut itu sebagai isu yang tidak mendasar,” katanya (ANTARA News, 14/5/10).
Kedustaan Resmi Arahan Negara
JPPN. Com, (14/5/10) menutup berita yang berjudul, “Kapolri : Teroris Siapkan Kudeta, Presiden dan Seluruh Menteri Dibunuh Saat HUT RI” dengan menunjukkan betapa tidak terpercayanya apa yang disampaikan Kapolri. JPPN. Com menulis, “Keraguan terhadap kesimpulan Polri ini muncul mengingat tak adanya bukti-bukti kuat tentang akan adanya rencana besar untuk meruntuhkan negara dan menghabisi seluruh pejabatnya.
Bahkan ada yang beranggapan, kesimpulan serta penangkapan teroris satu pekan ini hanya untuk mengalihkan sejumlah isu internal yang kini melanda Mabes Polri. Antara lain kasus makelar kasus yang kini melibatkan Komjen (pol) Susno Duaji, isu rekening puluhan miliar milik petinggi polri, serta isu miring poligami”.
Tempo Interaktif (14/5/10) memberitakan pernyataan Kapolri mentah-mentah dengan judul “Target Teroris Membunuh Presiden dan Deklarasikan Negara Syariah Islam”. Pemberitaan Tempo Interaktif yang datar ini, terjadi karena memuat berita konferensi pers semata-mata. Pemberitaan ala Tempo Interaktif, terkesan hanya sebagai corong belaka, tanpa memperbandingkan dengan situasi sebenarnya.
Judul yang menggelegar itu, terlalu mengada-ada, karena tak ada indikasi apa-apa dalam berita itu yang bisa membuktikan tentang target pembunuhan presiden dan pendeklarasian Negara Syariah Islam. Adanya penemuan senjata, sama sekali tak berkaitan dengan pembentukan negara Syariah Islam. Tempo Interaktif, menggiring pembacanya seperti kehendak bualan negara tersebut.
Empat berita senada disampaikan hidayatullah.com (17/5/10), gatra.com (16/5/10), republika.co.id (16/5/10) dan antaranews.com, yang memberitakan bantahan Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) KH Hasyim Muzadi yang meragukan keterangan Polri bahwa kelompok teroris di Indonesia mengincar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Saya tidak yakin kalau terorisme di Indonesia punya target membunuh SBY,” kata Hasyim di Jakarta, Minggu (16/5).
Hasyim yang juga pengasuh Pesantren Al Hikam, Depok mengatakan fase terorisme adalah ekstremitas ideologi dan perlawanan global terhadap Amerika Serikat (AS). “Belum tampak urusannya dengan SBY,” kata mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut. Apalagi, lanjutnya, pernyataan adanya ancaman kepada SBY dikeluarkan oleh Polri sendiri, bukan oleh sisa teroris yang ditangkap.
Keraguan KH. Hasyim Muzadi juga dimuat di beritasore.com (17/5/10). Dalam pemberitaan itu, beritasore.com menyebutkan, Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) KH Hasyim Muzadi mengatakan tidak yakin atau ragu kelompok teroris di Indonesia mengincer Presdien Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebab, setahunya fase terorisme adalah ekstremitas ideology dan perlawanan global terhadap Amerika Serikat (AS). Apalagi, adanya ancaman terhadap Presiden itu datang dari Polri sendiri, bukan dari kelompok teroris yang tersisa.
Banyaknya tersangka teroris yang ditembak mati menambah keraguan Hasyim Muzadi karena mereka tidak bisa dimintaui keterangan lagi, apa benar mereka teroris dan apa benar mengincer petinggi di negeri ini.
Selanjutnya beritasore.com memberikan tambahan penegas yakni, keterangan terbaru dari Hasyim Muzadi kemarin itu memang ada benarnya. Sebab, selama ini sasaran teroris di Indonesia adalah obyek asing khususnya Amerika dan aktek-anteknya, sepertri kasus bom Bali I dan II, bom Marriott I dan II, bom Ritz Carlton, bom Kedubes Australia dll.
Pernyataan Kapolri tentang adanya teroris yang akan membunuh SBY berindikasi pembualan dan lebay. Petinggi nomor satu polisi tersebut, justru menyebarkan teror kepada masyarakat. Seharusnya terorislah yang menyatakan sendiri hal seperti itu, tapi justru malah keluar dari mulut Kapolri sendiri. Kapolri mengeluarkan kalimat teror kepada masyarakat dengan falasi pernyataannya.
Komodifikasi Kedustaan dalam Ritus Kebohongan
Radartasikmalaya.com memberitakan cukup rinci ritus kedustaan negara ini, sehingga komodifikasi kebohongan tersebut terungkap sangat jelas. Radartasikmalaya.com juga menggambarkan mimik Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) di Mabes Polri, dalam konferensi pers tersebut.
Target kelompok itu adalah menjatuhkan pemerintahan yang sah, demikian pernyataan BHD. “Mengganti sistem demokrasi dengan syariat Islam atau negara Islam,” ujar BHD dengan raut muka tanpa senyum. Kening BHD berkerut dan tampak ada keraguan saat menyebut kata Islam sebagai dasar teroris beraksi. Sesekali BHD juga berhenti menghela nafas .
(http://www.radartasikmalaya.com 15/5/10)
Lemahnya daya meyakinkan dalam penyampaian BHD, tercermin dari pernyataan Menkopolhukam Marsekal (purn) Djoko Suyanto yang meminta anak buahnya dan masyarakat tetap waspada. “Tolong, jangan underestimate atau meremehkan informasi Kapolri ini. Negara tidak boleh kalah,” kata Djoko yang khusus datang ke Mabes Polri untuk menyampaikan apresiasi presiden pada Densus 88.
“Yakinlah bahwa ini bukan rekayasa, kami juga minta partisipasi karena terorisme bukan hanya tanggung jawab polisi,” katanya. Menurut BHD, terdapat tiga orang tokoh penting dalam pendanaan itu sudah ditangkap Kamis 6 Mei lalu.
“Dana ada dari tiga orang yakni Haris Amir Falah, Hariyadi Usman, dan dokter Syarif Usman,” BHD menyebut Haris mempunyai 200 juta, Hariyadi 250 juta dan Syarif Usman 200 juta. Sisanya ditemukan di rumah Maulana, teroris yang tewas di Cawang, Jakarta Timur.
“Ditemukan dalam pecahan dolar, ringgit dan rupiah,” demikian deskripasi BHD tentang dana tersebut. Pernyataan BHD, mendapat bantahan dari sebuah sumber Jawa Pos. Menurut sumber tersebut, ekonomi ketiga orang itu pas-pasan. “Saya akrab dengan Haris Amir Falah, tak mungkin dia punya 200 juta apalagi dana itu untuk terorisme,” katanya. Secara pasti ia menambahkan, “Saya menduga dia memang dijebak dan diarahkan untuk skenario tertentu,”.
Pernyataan BHD, tentang Haris Amir Falah sebagai tersangka teroris, karena ia ketua ketua Jamaah Ansharut Tauhid DKI Jakarta. Seperti skenario yang pernah terjadi di era pemerintahan Megawati, maka pola ini terulang untuk menjerat kembali Abu Bakar Baasyir ke kungkungan penjara.
Skenario pembuktian kesalahan Abu Bakar Baasyir di era Megawati gagal terjadi. Kini beliau kembali di penjara untuk membenarkan kecurigaan Negara yang berbalut kedustaan tersebut. Saat ini Ustads Abu Bakar Baasyir memimpin Jamaah Ansharut Tauhid. Dengan cara menangkap salah seorang ketua jamaah tersebut, maka bisa menjadi alasan memenjarakan Ustads Abu Bakar Baasyir merupakan pendeklarasi Jamaah Ansharut Tauhid, di Asrama Haji Bekasi, Rabu (17/9/08).
Kedustaan Negara dan Resistensi Masyarakat
Reproduksi kedustaan negara yang ditujukan kepada masyarakat yakni adanya kesengajaan POLRI untuk membuat kecurigaan kepada kelompok Islam tertentu. Masyarakat hendak digiring untuk membuat konflik horizontal dan menjadikan sesama ummat Islam menjadi musuh bagi sesamanya.
Memang saat ini polisi terkesan membuat penggiringan opini menuju tindakan kekerasan sesama masyarakat Muslim yang berkaitan dengan isu teroris. Usaha gelap polisi tersebut belum terjadi. Kedustaan negara itu malah berbalik, ketika di Solo justru terjadi aksi penolakan terhadap keberadaan Densus 88 dan tvOne. Ketidak-benaran fakta tentang terorisme menjadi bahan bakar kebencian dan resistensi pada polisi. Resistensi itu terjadi di Solo, kota yang dijadikan polisi sebagai area pembualan penggerebegan teroris.
Kredibilitas Joko Suyanto, Bambang Hendarso Danuri dan Zainuri Lubis, telah hancur dalam ritus kebohongan ini. Sejumlah media online berhasil membongkar ketidak-benaran operasi tersebut. Metro TV dan tvOne, juga tak begitu terpercaya lagi dalam pemberitaannya. Mengapa untuk kebohongan yang jalang ini,
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia ) diam seribu kuku? Tak ada satupun telunjuk anggota komisi ini yang bereaksi keras memperlihatkan semua ketidak-benaran dalam rekayasa pemberitaan ini. Kuku-kuku anggota KPI, tak berdaya mencengkeram tugasnya untuk memastikan adanya ritus kedustaan dalam penyiaran Metro TV dan tvOne.
Ratusan pemuda yang mengatasnamakan “Solidaritas Umat Islam Surakarta” (SUIS), Jumat (21/05/10), pukul 13.00 WIB mengadakan aksi di depan Mapoltabes Surakarta. Aksi dilakukan dengan Long March (jalan kaki) dari Masjid Kota Barat menuju Mapoltabes Surakarta (Arrahmah.com, 21/05/10)).
Pendemo ini lebih berfokus pada Densus 88, sebagaimana isi spanduk mereka antara lain yakni, “Densus Penyebar Teror di Masyarakat”, “Densus Antek Amerika, BUBARKAN”, dan “Dulu Ada PKI, Sekarang Ada Densus”. Padahal dibalik itu terdapat dua stasiun televisi yang juga menyebarkan kebencian kepada masyarakat Muslim, karena menyiarkan operasi penggerebegan teroris yang direkayasa. SUIS seharusnya juga melihat fenomena media televisi yang siarannya berdaya rusak tinggi dan menyebarkan teror pula.
Kesadaran terhadap pendustaan yang dilakukan oleh stasiun televisi memang telah terjadi dengan adanya penolakan secara keras terhadap tvOne setahun lalu. Penolakan itu terjadi saat prosesi penguburan dua tersangka teroris. Pengumuman di papan tulis dipasang di depan rumah Eko Joko Sarjono alias Eko Peyang, sedang pengumuman di selembar kertas dipasang di rumah Air Setiawan.
Rumah Air dan Eko terletak berdekatan yang berada di Kampung Brengosan, Purwosari, Solo.Tulisan di papan tulis warna hitam itu cukup mencolok. Sama mencoloknya dengan tulisan di atas selembar kertas warna putih. “TVone Dilarang Masuk,” demikian bunyi tulisan yang membuat tersenyum itu. (detikcom,12/08/09). Meski telah direstensi, tvOne masih saja membuat kedustaan yang jalang.
Dalam “Tell Me No Lies” yang ditulis John Pilger (Random House UK , 2004) yang berkaitan dengan jurnalisme investigasi terdapat kutipan dari disiden Soviet, ‘Ketika kebenaran telah digantikan dengan diam, maka diam adalah kebohongan.” Pilger menambahkan, saat ini terdapat diam sureal, yang penuh dengan suara ribut yang mencekam, dengan itulah kekuasaan diselaraskan bersama tipu muslihat dan kekerasan. Apa yang dikatakan Pilger, sangat cocok dengan otorisasi kedustaan negara yang hendak membuat diam dan membungkam masyarakat dengan dramatisasi kedustaan dan penipuan realitas tentang terorisme di Solo. Namun tipu muslihat dan kedustaan yang dilakukan dalam konspirasi buruk bersama dua stasiun televisi itu, tak bisa membungkam kebenaran. Kebenaran selalu memiliki jalan tersendiri untuk keluar dari pembungkam yang dilakukan Negara. Segenap pendustaan informasi yang dilakukan negara, hanyalah tipu muslihat yang berumur pendek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar