Pelanggaran aparatur negara (BNPT) terhadap Arrahmah.com
Ar Rahmah Media
Kamis, 29 September 2011 20:53:56
Hits: 4090
Gembar-gembor tentang media yang diopinikan sebagai salah satu pilar utama di dalam penegakan demokrasi di Indonesia, rupanya akan menjadi isapan jempol belaka. Hal tersebut dikarenakan adanya perlakuan diskriminasi terhadap media Islam. Mengapa?
Baru-baru ini BNPT mengajukan usulan kepada Menkominfo untuk menutup situs Ar rahmah media (www.arrahmah.com). Seperti telah kita ketahui bahwa Ar rahmah sesuai dengan mottonya “filter your mind, get the truth” telah berhasil membuktikan diri. Pemberitaan Arrahmah selalu berimbang sesuai dengan amanat UU Pers yang berlaku di wilayah hukum RI. Anehnya pemberitaan yang berimbang ini justru akan diberangus oleh pemerintah melalui kaki tangannya di BNPT yang selalu konsisten melakukan pemberantasan ‘terorisme’ yang makin tak terkendali.
Ada apakah di balik Arrahmah.com?
Banyak kalangan mengatakan bahwa Arrahmah.com bukanlah situs yang patut diawasi, karena dari sisi permodalan dan pembaca masih sangat jauh dengan media-media sekuler yang lebih mendapatkan keleluasaan dalam menerbitkan pemberitaan.
Tetapi dengan ijin Allah karena kejujuran dalam mengungkap fakta di balik peristiwa, Ar rahmah terbukti mampu membuka wawasan berpikir sebagian masyarakat Indonesia sehingga mereka menjadi cerdas dan kritis dalam menyikapi keadaan di negeri ini yang semakin amburadul.
Namun kegerahan timbul, karena dengan adanya Ar rahmah, pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan kritik masyarakat terutama umat Islam tidak dapat tenang dalam melancarkan kejahatan dan kebohongannya.
Jika saja penyelenggara negeri ini, mampu dan mau bersama-sama memperbaiki keadaan negeri ini secara bergotong royong, sudah seharusnya perilaku kanibalisme pers di zaman orde baru tidak di suburkan kembali. Sesuai dengan tujuannya, pers harus mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan bangsa ini dari belenggu kebohongan dan kebodohan.
BNPT sebagai garda terdepan dalam pemberantasan teror di Indonesia terlalu gegabah dengan fantasinya. Pasalnya, operasi penanggulangan teror di Indonesia sarat dengan kepentingan politik dan tidak akan selesai hanya dengan menutup Ar rahmah. Pemberantasan terorisme akan berhasil jika penanganannya diserahkan kepada pihak-pihak yang dapat dipercaya kredibilitasnya oleh semua pihak, bukan kepada orang-orang yang mempunyai kepentingan terselubung yang berlindung di balik perangkat Undang-Undang dan kepentingan.
Dalam sebuah wawancara Apa Kabar Indonesia Malam yang di pandu oleh penyiar Grace Natalie di TV One pada Rabu (28/9/2011), dengan bangganya Direktur BNPT Petrus Golose, mengklaim telah berhasil melakukan penegakan hukum terhadap 689 kasus teroris di Indonesia. Namun sayangnya, BNPT tak mampu menunjukkan prestasinya dalam melakukan penegakan hukum terhadap pembantaian warga Ambon dan Poso hingga meledaknya kerusuhan 10 September 2011 di Ambon.
Mengapa diskriminasi ini terjadi? Bukankah jumlah korban dalam peristiwa tersebut lebih banyak dari pada jumlah korban terorisme sejak tahun 2002-sekarang? Mengapa ketika Ar rahmah tampil membela hak-hak umat Islam yang juga warga Negara Indonesia selalu mendapatkan ancaman dan teror pembredelan yang justru dilakukan oleh aparatur Negara dan jajarannya? Inilah bukti bahwa Negara telah melakukan teror terhadap rakyatnya, terutama media Islam yang konsisten berjalan diatas bukti-bukti akurat.
Bagi media Islam, pemberitaan bukan sekedar berita namun mempunyai nilai iman dan ibadah, dan hal ini tidak bertentangan dengan Konstitusi Negara ataupun Undang-undang. Sikap diskriminatif inilah yang menimbulkan protes berkepanjangan, karena sebagai bagian dari warga Negara merasa tidak diakomodir hak-hak beragamanya sesuai dengan pasal-pasal yang termaktub dalam konstitusi.
Seharusnya BNPT lebih konsisten bekerjasama dengan POLRI kearah penegakan hukum terhadap kasus kriminal mulai Ambon, Poso, Narkoba, Teroris dan lain-lain, daripada melakukan intervensi kepada media melalui Menkominfo. Jika ini terjadi, tamatlah riwayat kejujuran di negeri ini karena pemerintah telah menghalalkan pelanggaran ini terus terjadi melalui kaki tangannya untuk melanggar hukum dan undang-undang. Ar rahmah akan terus melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan di negeri ini.
Ar Rahmah kecil-kecil cabe rawit, pedas isinya, tegas sikapnya…
Pengamat Media Islam
Jurus Mubazir Polri Soal Terorisme Lewat 3 Elemen Anti Teror Yakni BNPT, Densus & CRT
Jakarta 1/10/2010 (KATAKAMI) - Supaya tidak penasaran, apa kepanjangan dari BNPT maka kami beritahukan bahwa BNPT itu adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Tapi, hal ihwal tentang BNPT ini akan diuraikan nanti. Kami punya satu “cerita lama” yang perlu disampaikan di awal tulisan ini.
Seorang sumber KATAKAMI.COM yang berasal dari kalangan perwira tinggi Polri pernah bercerita pada tahun 2008 lalu bahwa rekannya sesama perwira tinggi Polri pernah menghubungi Kepala Badan Reserse & Kriminal (Bareskrim) Polri — saat itu djabat oleh Komjen. Susno Duadji –.
Menurut sumber kami itu, perwira tinggi dari kalangan intelijen itu menghubungi Komjen Susno Duadji dengan nada yang “terkejut dan sangat penasaran”.
Ia meminta agar Kabareskrim Komjen Susno Duadji mengecek dimana keberadaan Kombes Petrus Golose ( seorang perwira menengah di Bareskrim Polri yang menangani bidang Cyber Crime, dan di belakang layar diperbantukan juga untuk ikut menangani kasus-kasus terorisme ).
Usut punya usut, ternyata pada saat itu Kombes Petrus Golose sudah berbulan-bulan tidak masuk kantor.
Masih menurut sumber KATAKAMI.COM, Komjen Susno Duadji secepat kilat segera melakukan pengecekan tentang hal ihwal menghilangnya Kombes Petrus Golose.
Dan setelah dicek, ternyata tidak ada satupun pimpinan di Mabes Polri yang tahu atau memberi izin kepada Kombes Petrus Golose bisa membolos sampai berbulan-bulan seperti itu.
Sumber KATAKAMI.COM bercerita bahwa kepergian Kombes Petrus Golose itu samasekali tidak meminta dan tidak mendapatkan izin (baik lisan atau tulisan) dari Kapolri, Wakapolri atau Kabareskrim Polri.
Ternyata Petrus Golose ( yang merupakan tangan kanan dari Kalakhar BNN Komisaris Jenderal Gories Mere ini ) membolos dari Mabes Polri secara ilegal untuk berpergian ke Amerika Serikat.
Keberadaan Petrus Golose di Amerika Serikat menjelang penghujung tahun 2008 itu bertepatan dengan maraknya masa kampanye calon-calon Presiden, termasuk Barack Obama dari Partai Demokrat.
Sementara ketika itu di tanah air ( antara bulan September – Oktober 2008 ), 3 terpidana mati kasus Bom Bali I sudah mulai diberitakan di media massa dari dalam dan luar negeri bahwa mereka akan menjalani eksekusi mati di LP Batu ( Nusa Kambangan ).
Ketiga terpidana mati kasus Bom Bali I ini menjalani eksekusi mati pada tanggal 9 November 2008.
Pertanyaannya adalah, siapa yang memerintahkan Kombes Petrus Golose bisa berpergian ( secara ilegal ) ke Amerika Serikat untuk kepentingan atau misi yang tidak ditugaskan oleh Mabes Polri ?
Untuk apa ia pergi secara ilegal ke Amerika Serikat selama berbulan-bulan ?
Dan mengapa dibiarkan seorang perwira menengah Polri, bisa membolos selama berbulan-bulan tanpa mendapatkan sanksi tegas dari institusinya ?
Kalangan intelijen dan Bareskrim Polri tak bisa berbuat apa-apa untuk memantau, mengendalikan dan menindak perilaku seorang perwira menengah semacam ini.
Di saat yang bersamaan, tiba-tiba di tahun 2008 itu muncul sebuah SITUS TERORISME yang isinya ancaman dari ketiga terpidana mati kasus Bom Bali I ( Amrozi cs) bahwa mereka akan membunuh Presiden SBY dan para pejabat tinggi Indonesia.
Situs yang seolah-olah dibuat oleh kalangan TERORIS AL JAMAAH AL ISLAMYAH cabang Indonesia ini, ternyata setelah di usut dibayar, dibuat dan dikendalikan oleh pihak tertentu dari wilayah CANADA.
Kamuflase yang seolah-olah ingin membuat sensasi bahwa ketiga terpidana mati kasus Bom Bali I bisa membuat situs dari lokasi pemenjaraan mereka di Nusa Kambangan, akhirnya terkuak bahwa ternyata situs terorisme itu dibuat dari luar negeri.
Hebat kan !
Seberapa jauh ya, jarak antara AMERIKA SERIKAT KE CANADA ?
Lalu mengapa informasi ini kami ungkapkan sekarang lewat tulisan ini ?
Kami punya jawabannya dan ini sangat berkaitan erat.
Sebab Kombes Petrus Golose yang membolos secara ilegal selama berbulan-bulan dari BARESKRIM POLRI di penghujung tahun 2008 lalu, ternyata sekarang mendapat mutasi ( promosi ? ) ke BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME atau BNPT.
Apakah tidak dipertimbangkan rekam jejak seseorang jika ia hendak dimutasi atau dipromosikan ?
Apa maksud Polri lewat jurus 3 elemen anti teror yang saat ini dibentuk yaitu BNPT, Densus 88 Anti Teror dan Crisis Response Team ( CRT ) ?
Markas Besar Kepolisian memutasi para pejabat di Korps Detasemen Khusus 88 Anti Teror.Mutasi ini tertuang dalam surat telegram rahasia yang diperoleh wartawan bernomor STR/772/IX/2010, tertanggal 29 September.
Mereka yang dimutasi adalah Kepala Korps Detasemen Khusus 88 Anti Teror Brigadir Jenderal M. Tito Karnavian.
Tito dimutasi ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Pengganti Tito, Komisaris Besar Mohammad Syafii, yang selama ini menjabat sebagil Wakil Kadensus.
Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Idham Azis, dimutasi menjadi Wakil Kepala Densus untuk menggantikan Syafii.
Selain Tito, turut pula bergabung ke BNPT adalah Komisaris Besar Petrus R. Golose.
Petrus sebelumnya menjabat di Wakil Direktur Ekonomi Khusus.
Lalu ada Komisaris Besar Rudy Sufahriadi, mantan Kapolres Jakarta Utara, yang juga bergabung ke BNPT.
Yang ingin disampaikan disini, silahkan saja Mabes Polri melakukan mutasi atau bahkan promosi kepada anggota-anggotanya yang diyakini cakap serta berpengalaman menangani masalah terorisme.
Tetapi satu hal, mutasi dan promosi itu harus mengacu pada prestasi kerja dan kinerja selama ini.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dibentuk oleh Pemerintah Indonesia.
Yang sebenarnya diharapkan dari pembentukan BNPT ini adalah kemampuan dan kerendahan hati dari anggota-anggota Tim Anti Teror Polri adalah menjalin koordinasi dengan instansi lain dalam menangani terorisme yaitu dengan Badan Intelijen Negara ( BIN ) dan Tentara Nasional Indonesia ( TNI ).
Sejak Polri menangani kasus-kasus peledakan, dominasi penanganan terorisme ada di tangan ( kelompok ) Komjen Gories Mere.
Selama bertahun-tahun, kelompok “sok eksklusif” inilah yang merasa paling mampu menangani kasus-kasus peledakan bom di Indonesia.
Ini terekam dalam sebuah rekaman audio (suara) saat Komjen Gories Mere didampingi Brigjen Surya Darma melakukan sebuah presentasi ilegal di sebuah tempat ( tanpa meminta izin dari Kapolri, Wakapolri atau Kabareskrim Polri) pada bulan Juli 2007.
Dalam forum terbuka, Brigjen Surya Darma yang saat itu menjadi Komandan Tim Satgas Bom mengatakan sebagai berikut :
“Di Indonesia ini, yang paling mampu menangani teroris cuma kami, saya dan Pak Gories, lihat saja kalau kami mogok … akan kami doakan agar di Indonesia ini banyak PELEDAKAN BOM”.
Kaset rekaman itu sudah disampaikan oleh satu pihak kepada Menkopolhukkam ( yang saat itu dijabat Widodo AS ), Kapolri ( yang saat itu dijabat Jenderal Sutanto ) dan Kabareskrim ( yang saat itu dijabat oleh Bambang Hendarso Danuri ).
Kelompok Gories Mere dikenal sangat tidak mau dan tidak bisa menjalin koordinasi dengan BIN dan TNI ( bahkan dengan kalangan internal Polri sendiri ) untuk menangani kasus-kasus peledakan bom.
Inilah yang pernah dikecam secara keras oleh Syamsir Siregar saat ia menjabat sebagai KEPALA BADAN INTELIJEN NEGARA (BIN).
Berulang kali, Syamsir menyampaikan kecaman yang sangat sinis dan keras karena Tim Anti Teror Polri sangat larut dalam EGO SEKTORAL mereka untuk menangani kasus-kasus terorisme.
Tetapi ketika di beberapa tempat, tindakan-tindakan brutal Densus 88 Anti Teror menimbulkan gangguan keamanan, ternyata yang harus tampil membela dan ikut mengamankan adalah BIN dan TNI.
Kuatnya kecaman tentang kecenderungan merasa eksklusif dalam menangani kasus-kasus terorisme ( dan dituding mengedepankan EGO SEKTORAL ) selama bertahun-tahun di bawah kepemimpinan Gories Mere, akhirnya Mabes Polri menggelar LATIHAN ANTI TEROR GABUNGAN bersama TNI pada bulan Desember 2008.
Dua bulan setelah pengangkatan Bambang Hendarso Danuri sebagai Kapolri, digelar LATIHAN ANTI TEROR GABUNGAN.
Itulah untuk yang pertama kali, POLRI & TNI bersatu didalam wadah latihan bersama penanganan anti teror.
Latihan gabungan ini dipantau langsung oleh Jajaran Kantor Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan.
Menkopolhukkam Widodo AS, Kepala BIN Syamsir Siregar, Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso turun langsung ke lapangan untuk memantau jalannya LATIHAN GABUNGAN ANTI TEROR POLRI & TNI di bulan Desember 2008.
Sayang, latihan gabungan itu hanya merupakan kamuflase dan kepura-puraan belaka.
Terbukti pada bulan Juli 2009 ( 7 bulan setelah pelaksanaan LATIHAN GABUNGAN ANTI TEROR TNI- POLRI), Densus 88 Anti Teror kembali ke perilaku asal yaitu TIDAK MAU melakukan koordinasi dengan TNI saat menangani kasus peledakan bom di Hotel JW Marriot.
Jadi kalau sekarang Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengumumkan kepada media massa bahwa Mabes Polri siap melakukan koordinasi dengan TNI (Densus jaka, Den Bravo ataupun Sat Gultor Kopassus) dalam penangananan terorisme, pertanyaannya adalah … ” KEMANA SAJA POLRI SELAMA INI ? “
Mengapa baru sekarang ada keinginan dan kesadaran untuk sekedar “INGIN” berkoordinasi dengan TNI dalam menangani kasus-kasus terorisme ?
It’s too late.
Sudah sangat terlambat.
Tetapi tuntutan untuk berkoordinasi itu bersifat MUTLAK atau WAJIB HUKUMNYA.
Sebab ada pepatah yang mengatakan, “BETTER LATE THEN NEVER”
Lebih baik terlambat, daripada tidak samasekali.
Jalinlah koordinasi secara riil.
Secara nyata.
Bukan cuma sekedar lip service alias OMDO ( Omong Doang ).
Dan satu hal yang juga perlu dikritik dari kebijakan Mabes Polri adalah keberadaan sejumlah elemen ANTI TEROR yang di isi oleh orang-orang atau kelompok yang sama dalam penanganan terorisme.
Saat ini ada BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME ( BNPT ).
Lalu, pasca diterapkannya RESTRUKTURISASI ORGANISASI MABES POLRI, keberadaan Densus 88 Anti Teror telah dibubarkan atau dilikuidasi secara resmi dari seluruh Polda yang ada di Indonesia.
Restrukrirasi Polri secara resmi telah membubarkan DENSUS 88 ANTI TEROR.
Berdasarkan RESTRUKTURISASI ORGANISASI MABES POLRI tersebut, DENSUS 88 ANTI TEROR hanya ada di Mabes Polri sebagai pengambil kebijakan semata dan samasekali tidak mempunyai pasukan lagi di wilayah manapun yang ada di Indonesia.
Sebagai gantinya, Polri membentuk CRISIS RESPONSE TEAM ( CRT ) yang dilatih dan disiapkan di Amerika Serikat.
Ke depan, pasukan CRT inilah yang akan ditugaskan dan ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia melalui Polda – Polda yang ada di Indonesia.
Pertanyaannya, apa bedanya dan bagaimana pembagian tugas antara BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN ANTI TEROR, DENSUS 88 ANTI TEROR dan CRISIS RESPONSE TEAM ( CRT ).
Tidak ada bedanya !
Sebab, Mabes Polri menugaskan orang-orang yang sama untuk menduduki BADAN PENANGGULANGAN ANTI TEROR, DENSUS 88 ANTI TEROR dan CRISIS RESPONSE TEAM ( CRT ).
Apa maksudnya, dipecah menjadi 3 bagian seperti ini ?
Bagaimana mengendalikannya ?
Bagaimana memantau dan mensinergikan kinerja dari 3 elemen ANTI TEROR ini ?
Di elemen yang MANA ( dari ketiga elemen ANTI TEROR ini), Polri bisa dan mampu menjalin koordinasi dengan BIN dan TNI ?
Lalu jika ada bantuan keuangan dari negara-negara asing, harus dialamatkan ke elemen ANTI TEROR yang mana ?
Siapa yang memegang komando dalam penanganan, penanggulangan dan penindakan ( sesuai ketentuan hukum yang berlaku ) dalam penanganan terorisme ?
Berdasarkan hukum, POLRI diberi wewenang untuk melakukan penyidikan dan penindakan kasus-kasus terorisme.
Kalau memang Polri yang diberi kewenangan melakukan penangkapan dan penyidikan, untuk apa anggota-anggota Tim Anti Teror yang selama ini dikenal sebagai “orang-orang asuhan Gories Mere” disebar dan sengaja disusupkan ke semua elemen penanganan Anti Teror ?
Cukuplah dikumpulkan dalam satu wadah saja !
Untuk apa disebar dan dipecah-pecah, padahal orangnya dia-dia juga.
Atau dalam istilah yang penuh kelakar, LU LAGI LU LAGI ( L 4 ).
Ini bukan kritikan yang asal bunyi tetapi cobalah pertimbangkan betapa mubazirnya pemecahan penanganan anti teror yang sporadis seperti ini.
Dikumpulkan dalam satu wadah saja, Polri tidak pernah mau dan tidak pernah bisa berkoordinasi dengan internal dan eksternal.
Bukti konkrit yang paling nyata adalah kasus penanganan teorisme di Medan ( Sumatera Utara ) baru-baru ini.
Dengan dipimpin langsung oleh Kalakhar BNN Komjen Gories Mere, Densus 88 Anti Teror ( yang sebenarnya sudah dibubarkan ) menyerbu Bandara Polonia Medan tanpa mau melakukan koordinasi dengan TNI Angkatan Udara yang menjadi Tuan Rumah di Bandara Polonia Medan.
Tak cuma itu, seperti biasa … Komjen Gories Mere tak pernah mau dan tak pernah bisa berkoordinasi dengan internal Polri.
Kapolda Sumut Irjen Oegroseno
Polda Sumut tidak diberitahu dan tidak dilibatkan dalam aksi-aksi kelompok Gories Mere ini.
Tetapi, ketika tindakan dari “Densus 88 Anti Teror (Abal-Abal) pimpinan Gories Mere dikecam oleh TNI AU pasca penyerbuan Bandara Polonia Medan, TNI AU melayangkan surat protes secara resmi ke Polda Sumut.
TNI AU tidak bisa dan tidak mungkin mengirimkan surat protes kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) pimpinan Gories Mere.
Padahal penyerbuan atau operasi penyerangan (raid) ke Bandara Polonia Medan beberapa Minggu lalu dipimpin langsung oleh Kalakhar BNN Gories Mere.
Ini pelajaran bahwa sistem harus bekerja di negara ini.
Negara ini bukan negara ABAL-ABAL.
Semua harus ada aturannya.
Dan segala tindakan yang dilakukan aparatur penyelenggara negara harus bisa dipertanggung-jawabkan di muka hukum.
Tindakan apapun, tidak boleh siluman dan tidak boleh dilakukan semaunya sendiri saja.
Densus 88 sudah DIBUBARKAN SECARA RESMI oleh institusinya sendiri tetapi masih bisa melakukan OPERASI disana sini.
Di Aceh, di Medan, dan sekarang di Jakarta Timur ( pasca peledakan bom yang terjadi hari Kamis 30/9/2010 kemarin ).
Fakta bahwa DENSUS 88 ANTI TEROR sudah dibubarkan memang belum disadari dan dimengerti oleh semua pihak, termasuk oleh kalangan media massa di Indonesia.
Setiap penanganan anti teror ( terorisme ), pasti akan dihubungkan dengan DENSUS 88 ANTI TEROR.
Padahal DENSUS 88 ANTI TEROR sudah resmi dibubarkan oleh institusinya sendiri.
Nama DENSUS 88 sudah tidak bisa lagi disebut-sebut dalam penanganan terorisme di lapangan.
Polri seperti labil dan kebingungan sendiri untuk menangani terorisme ( pasca di likuidasinya DENSUS 88 ANTI TEROR ).
Tetap sama mengirimkan dan menyebutkan nama DENSUS 88 ANTI TEROR untuk menangani kasus-kasus peledakan bom atau TERORISME.
Foto (Kiri ke Kanan) : Menkopolhukkam Djoko Suyanto, Presiden SBY, Kapolri BHD & Jenderal Djoko Santoso
Padahal, lewat proposal permohonan RESTRUKTURISASI yang diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mabes Polri menegaskan bahwa keberadaan DENSUS 88 hanya akan dibuat sebagai pengambil kebijakan saja dan tidak punya pasukan lagi di seluruh Polda yang ada di Indonesia.
Sialnya, Densus 88 Anti Teror sudah dibubarkan, tetapi cikal bakal penggantinya yaitu CRISIS RESPONSE TEAM ( CRT ) belum juga di resmikan keberadaannya ke hadapan rakyat Indonesia.
Jadi sekali lagi pertanyaannya, apa maksud Mabes Polri mengaca-acak dan memecah-mecah elemen penanganan terorisme seperti ini ?
Dari era Tim Satgas Bom dibentuk, koordinasi penanganan terorisme tidak pernah bisa dilakukan.
Bahkan pernah terjadi di era tahun 2007, Tim Satgas Bom berseteru dengan Densus 88 Anti Teror.
Ketika itu, Tim Satgas Bom dipimpin Brigjen Surya Darma, sedangkan Densus 88 Anti Teror dipimpin Brigjen Bekto Suprapto.
Tim Satgas Bom ingin agar prestasinya diberitakan di media massa dan diakui keberadaannya oleh publik.
Ini fakta yang tak bisa dipungkiri lagi.
Berada dalam satu wadah penanganan terorisme dibawah institusi POLRI saja sudah terjadi perseteruan, apalagi dipecah-pecah seperti ini !
Jangan mengada-ada dalam menangani kasus-kasus terorisme.
Lakukan regenerasi secara komprehensif untuk menangani kasus-kasus terorisme di Indonesia.
Begitu banyak polisi-polisi yang cakap di seluruh wilayah Indonesia, berikan mereka kepercayaan untuk dilatih dan disiapkan secara sungguh-sungguh dalam penanganan teorrisme.
Sebab, penanganan terorisme di negara ini tidak boleh dan tidak bisa hanya dikuasai oleh segelintir orang saja yang selama ini berada didalam lingkaran satu nama saja yaitu Gories Mere.
Negara tidak bisa membiarkan EKSKLUSIVITAS semacam ini.
Negara tidak boleh kalah melawan TERORISME dan tidak boleh juga membiarkan HAK EKSKLUSIVITAS penanganan terorisme dibawah kendali satu nama saja yaitu GORIES MERE.
Memangnya siapa Gories Mere ?
Gories Mere itu bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya dalam penanganan terorisme di negara ini.
Dia cuma sekedar perwira tinggi yang sudah bertahun-tahun mendapatkan tugas untuk menangani NARKOBA tetapi tetap nyangsang dan terus menerus gatal menangani kasus-kasus terorisme.
Alangkah kasihannya polisi-polisi lain di negara ini kalau mereka tidak diberi kesempatan untuk mendalami penanganan terorisme.
Membangun jaringan membutuhkan waktu yang lama.
Harus ada regenerasi.
Dan regenerasi itu tidak bisa dikuasai oleh segelintir orang saja.
Dan PEMERINTAH juga harus mengkaji sistem penerimaan bantuan asing dari negara-negara lain dalam penanganan terorisme di Indonesia.
Pertimbangkanlah efektivitas “ONE GATE SYSTEM” dalam menerima, menampung dan mengelola bantuan asing untuk penanganan terorisme.
Ini masalah uang, jadi jangan sampai dinikmati terus menerus oleh MABES POLRI semata ( terutama oleh kelompok Gories Mere ).
Cukup, sudah terlalu lama Kelompok Gories Mere menikmati seluruh fasilitas dan apapun “kemudahan” yang melekat dalam operasi-operasi penanganan terorisme di negara ini. Misalnya, bantuan pelatihan teknologi atau pelatihan-pelatihan lain atas nama perang melawan teror.
Kalau cuma segelintir orang yang dibiarkan menguasai penanganan terorisme, maka orang yang itu-itu juga akan terus menerus menikmati seluruh fasilitas dan memenuhi undangan pelatihan dari sana-sini.
Foto : Tugu Monumen Daftar Korban Tewas Kasus BOM BALI I di Bali
Sekali lagi, hentikan semua EKSKLUSIVITAS ini !
Kita semua juga juga perlu menghimbau kepada Presiden Barack Obama agar AMERIKA SERIKAT menghentikan semua pelatihan dan bantuan apapun kepada orang atau kelompok yang sama dalam penanganan terorisme di Indonesia.
Sudah tidak bisa lagi dibiarkan dan didiamkan kemudahan atau keistimewaan kepada kelompok “sok” eksklusif seperti itu.
Di Indonesia ini, instansi resmi yang harus berkoordinasi menangani terorisme adalah POLRI, TNI dan BADAN INTELIJEN NEGARA.
Bahkan ketiga instansi ini harus siap juga bekerjasama dengan instansi lain agar penanganan terorisme itu lebih terpadu yaitu bekerjasama dengan KEJAKSAAN AGUNG, DEPARTEMEN LUAR NEGERI, DEPARTEMEN HUKUM dan HAM dan Departemen lainnya.
Tidak bisa lagi dibiarkan penanganan terorisme itu hanya diketahui, dikuasai dan dikendalikan oleh hanya segelintir orang.
PEMERINTAH juga harus melakukan inventarisasi terhadap semua DOKUMEN RAHASIA NEGARA dalam penanganan kasus-kasus terorisme, termasuk menginventarisasi serta mengawasi keberadaan seluruh BARANG BUKTI dalam kasus-kasus terorisme selama ini.
Jadi kalau ada PELEDAKAN BOM di negara ini, jangan lagi mencurigai instansi diluar POLRI.
Curigailah, pihak-pihak yang mengetahui dan mengendalikan lalulintas BARANG BUKTI kasus-kasus terorisme selama bertahun-tahun terakhir ini.
Ribuan peluru ( amunisi ), bahan-bahan pembuat bom, senjata-senjata api yang standar dan berkaliber sangat canggih, dimana semua itu ?
Apakah Presiden tahu dan mendapat laporan, berapa ratus ribu peluru ( amunisi ), berapa kilogram bahan-bahan pembuat bom, berapa unit senjata api dan bom yang siap ledak dan seluruh perangkat yang berhasil dirampas dalam kasus-kasus terorisme selama 10 tahun terakhir ?
Memang, akan ada alibi bahwa barang-barang bukti itu sudah diajukan ke pengadilan ( seiring dengan dibawanya kasus-kasus terorisme ke Pengadilan ).
Tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa sudah seluruhnya barang bukti kasus-kasus terorisme itu disita dan diamankan oleh aparat penegak hukum ?
Sebab, yang menangkap dan yang menjadi TANGAN PERTAMA yang menyita di lokasi penyergapan atau penangkapan adalah TIM ANTI TEROR POLRI.
Tidak ada yang tahu, apa yang sebenarnya yang terjadi, apa saja yang disita dan detail persenjataan apa saja yang ada di pihak “teroris?.
Coba, di cek, dimana semua itu ?
Selama 10 tahun terakhir, TNI tidak pernah dilibatkan oleh kelompok Gories Mere dalam penanganan terorisme !
Jadi bayangkan, seluruh barang bukti yang dirampas dan disita dalam kasus-kasus terorisme selama 10 tahun terakhir ini hanya diketahui dan dikuasai oleh kelompok Gories Mere saja.
Jangan ditutup-tutupi !
Dan jangan ada lagi kecurigaan terhadap TNI atau instansi lain.
Sederhana saja pemikirannya, dimana dan apa saja barang bukti ( terutama senjata, amunisi dan bom siap ledak ) yang disita dalam kasus-kasus terorisme selama 10 tahun terakhir.
Hei Bung 10 tahun itu bukan waktu yang singkat !
Pikirkanlah ini.
Dan hentikan semua debat kusir oleh REMISI untuk kasus-kasus terorisme.
Sebab, tidak perlu ada toleransi dalam kasus-kasus terorisme.
Disinilah NEGARA harus membuktikan bahwa NEGARA TIDAK BOLEH KALAH MELAWAN TERORIS.
Tetapi pertanyaannya, sudah dilaksanakankah semua keputusan hukum dari Majelis Hakim dalam kasus terorisme ?
Jawabannya, TIDAK !
Contoh nyata, vonis pidana kurungan (PENJARA) seumur hidup dari Majelis Hakim di Denpasar – Bali untuk ALI IMRON dalam kasus Bom Bali I.
Terpidana kasus Bom Bali I ini tidak pernah menjalani masa hukumannya di dalam penjara.
Ia dipinjam, dipakai dan dimanfaatkan oleh Kelompok Anti Teror pimpinan Gories Mere sampai detik ini.
Kalau memang hukum mau ditegakkan, seret dan penjarakan ALI IMRON ke dalam penjara.
Omong kosong soal penegakan hukum akalu GEMBONG TERORIS semacam ALIM IMRON — yang notabene menjadi perakit bom sehingga menewaskan ratusan orangg warga negara AUSTRALIA — ternyata dibiarkan bebas merdeka, tanpa perlu menjalani hukumannya.
Ilustrasi Gambar : WAR ON TERROR
Kesimpulannya, tanganilah kasus-kasus terorisme secara baik, benar dan mulai secara nyata berkoordinasi dengan semua pihak.
Tak perlu mengelabui rakyat Indonesia dan dunia internasional lewat pembentukan elemen-elemen baru ANTI TEROR, padahal di isi oleh orang-orang yang sama juga.
Hal ini hanya akan merugikan negara dalam hal anggaran.
Awasi secara ketat semua bantuan asing yaitu dengan memberlakukan ” ONE GATE SYSTEM” atau sistem satu pintu dalam menerima semua bantuan keuangan dan undangan-undangan pelatihan dari negara lain.
Sudah tidak boleh lagi dan sudah tidak bisa lagi dibiarkan ada “transaksi bantuan asing” yang UNTOUCHABLE alias tidak tersentuh oleh pengetahuan negara, parlemen dan media massa.
Semua bantuan asing itu harus diaudit dan dipertanggung-jawabkan pemakaiannya.
Satu sen pun, tidak boleh ada yang masuk ke kantor pribadi atau untuk mendanai operasi yang tidak resmi di hadapan negara.
Presiden SBY dan DPR harus menolak usulan pemberian anggaran sebesar Rp. 60 MILIAR untuk Densus 88 Anti Teror.
Waduh, besar sekali anggaran sebanyak itu hanya untuk DENSUS 88 ANTI TEROR.
Ada Badan Nasional Penanggulangan Anti Teror, ada Densus 88 Anti Teror, dan akan segera “tampil” CRISIS RESPONSE TEAM ( CRT ).
Mau berapa puluh miliar atau berapa ratus miliar uang dari negara yang harus diberikan kepada MABES POLRI lewat elemen-elemen anti teror ini ( padahal isinya adalah orang-orang yang sama juga ).
Pikirkanlah hal ini, untuk apa dibentuk begitu banyak elemen anti teror tetapi isinya dia dia juga.
Sementara NEGARA diharapkan memberi anggaran untuk operasional dari masing-masing elemen anti teror itu.
Lalu bagaimana kalau ada negara-negara sahabat yang ingin memberikan bantuan keuangan, kerjasama, pelatihan dan latihan gabungan ?
Kepada siapa dan harus bagaimana menyalurkan semua itu ?
Janganlah dibuat jadi amburadul penanganan terorisme di negara ini.
Coba jelaskan, TERORIS mana di dunia ini yang mau memunculkan diri, kalau aparat keamanan sedang bersiaga penuh 24 jam dalam sehari sepanjang tahun 2010 ini ?
Atau “TERORIS” itu yang semakin bodoh ?
Kasihan sekali teroris-teroris itu, mereka disebut-sebut punya senjata yang super canggih tetapi tak punya pertimbangan tentang kapan atau dimana mereka harus membalas dendam ?
Dan yang lebih bodohnya lagi, “TERORIS” mana di dunia ini yang menulis surat dulu kepada POLISI bahwa aksi mereka untuk balas dendam ?
“Hei Polisi, terimalah peledakan bom ini, sebagai aksi balas dendam gue kepada kalian ya !”.
Cobalah dipikirkan semua itu, apakah masuk akal semua aksi-aksi tolol seperti itu ?
Terorisme itu bukan seperti sepasang manusia yang sedang di mabuk cinta.
Kalau sedang dilanda asmara, rindu atau patah hati, menulis surat dulu untuk mengungkapkan isi hatinya kepada sang kekasih.
Ya Tuhan, semakin hari semakin menggelikan semua aksi terorisme yang bertebaran di wilayah Indonesia ini.
Cukuplah sudah suguhan soal terorisme ini.
Boss, sudah 10 bulan di tahun 2010 ini terjadi gunjang ganjing penanganan terorisme ini dipaksakan untuk menjadi santapan rakyat Indonesia.
Busyet deh, sudah seperti permainan anak kecil yaitu PETAK UMPET.
Kejar-kejaran dari satu daerah ke daerah yang lain.
Dari satu toko emas ke toko emas yang lain.
Dari markas level terendah polisi ke markas lainnya.
Aduh, kira-kira dong kalau mau mengkondisikan semua itu ke hadapan publik.
Teroris mana yang mau HEAD TO HEAD bertarung kalau seluruh kekuatan anti terorisme di negara ini sudah “SIAGA SATU” di tempatnya masing-masing dengan mobilitas yang sangat tinggi.
Apakah sudah sangat idiot teroris-terorisi itu, habis “merampok” toko emas di satu daerah, lalu ngibrit merampok ke toko emas lainnya di daerah lain.
Atau dari satu bank ke bank lain.
Gila kali, kalau terjadi pergeseran aksi-aksi terorisme yang bebal sebebal-bebalnya seperti itu.
Yang tidak-tidak saja, capek sekali mendapat suguhan atraksi yang semacam itu.
Lalu kalau selama ini ada DOMINASI PENANGANAN TERORISME oleh satu kelompok tertentu didalam internal Polri, ada satu pertanyaan untuk kelompok sok eksklusif ini.
Katanya HEBAT dalam penanganan terorisme, hei, kok bisa beranak-cucu kasus-kasus terorisme itu dalam kurun waktu yang berkepanjangan ?
Untuk apa teroris itu menghajar dan menyerang markas polisi kelas teri ?
Kalau memang atas nama DENDAM maka yang akan mereka ledakkan adalah MARKAS DENSUS 88 ANTI TEROR atau KANTOR BADAN NARKOTIKA NASIONAL ( BNN) sebab teroris-teroris itu pasti sudah tahu bahwa “jagoan anti teror” selama 10 tahun terakhir ini bernama Gories Mere — seorang pejabat penanggulangan narkoba yang masih tetap ngotot turun ke lapangan urusan terorisme –.
Bagaimana sih ?
Atas pengakuan Gories Mere sendiri ( pada awal tahun 2007), ia mengatakan kepada KATAKAMI.COM bahwa Al Qaeda sudah mengincar dirinya untuk diculik.
Kalau sudah Al Qaeda yang ditudingnya hendak menculik, untuk apa mengorbankan polisi yang tak ada sangkut-pautnya dalam urusan terorisme ?
Ini logika yang harus disadari oleh kelompok sok eksklusif dalam penanganan terorisme.
Ingatlah ucapan dari mulut kalian sendiri tentang ancaman penculikan di tahun 2007 ( dan bisa jadi, itupun hasil karangan kalian sendiri saja ).
Rakyat Indonesia capek sekali disuguhi atraksi-atraksi “terorisme” ala FILM RAMBO.
Sudahlah Boss, nasihat sederhana ini akan sangat manjur yaitu “MENCIPTAKAN KETAKUTAN DI TENGAH MASYARAKAT ADALAH BAGIAN DARI TEROR ITU SENDIRI”.
Izinkan, dan biarkanlah, rakyat Indonesia hidup dengan tenang dan damai.
Jangan direcoki dengan aksi-aksi yang berkepanjangan ….
(MS)
Tak Lazim Ibu Jenderal Undang Miss Universe Dinner Di Polda Jabar
Jakarta, 4 Oktober 2011 (KATAKAMI.COM) — Memang sudah menjadi agenda tetap jika Ratu Kecantikan Dunia (Miss Universe) datang berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri dan diminta meletakkan mahkota kepada Miss Indonesia 2011 yang akan diadakan hari Jumat, 7 Oktober 2011.
Yang menjadi sorotan adalah rencana makan malam sang Miss Universe asal Angola ke Markas Polda Jawa Barat di hari Sabtu (8/10/2011) malam, dengan diorganisir oleh sebuah event organizer (EO) bernama PT Viseta Global Utama dengan Komisaris Utama Ibu. Correta Putut Bayuseno, isteri dari Kapolda Jawa Barat Irjen. Putut Eko Bayuseno.
Irjen. Putut Eko Bayuseno adalah mantan Ajudan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada era kepemimpinan Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu tahun 2004-2009.
Yang menjadi kontroversi adalah media sudah ramai memberitakan bahwa kedatangan Miss Universe Leila Lopes ke Polda dibayar mahal oleh para perwira menengah Polda Jabar.
Pada headline Koran Galamedia hari Senin (3/10/2011) kemarin, disebutkan jika kedatangan Miss Universe Leila Lopes ke Polda dibayar mahal oleh para perwira menengah Polda Jabar. Mereka harus patungan untuk mengumpulkan dana Rp 750 juta untuk mendatangkan miss universe.
Seperti yang diberitakan oleh DETIK.COM (3/10/2011), kabar tentang “sawerannya” para Perwira Menengah di Polda Jawa Barat untuk membayar Miss Universe tersebut dibantah Ketua Bhayangkari Polda Jabar Coreta Putut Eko Bayuseno.
Menurut Correta, ia tak meminta pamen untuk patungan. Ia juga membantah harus mengeluarkan uang untuk kedatangan Miss Universe 2011.
“Kedatangan Miss Universe ke Bandung, kita benar-benar akan mengangkat budaya Jawa Barat mulai dari kesenian, makanan khas Jawa Barat, kerajinan tangan dan lain sebagainya,” jelas Correta, seperti yang dikutip dari DETIK.COM, Senin (3/10/2011).
Miss Universe sendiri dijadwalkan akan mengunjungi Polda Jabar pada tanggal 11 Oktober 2011 mendatang. Istri Kapolda Jawa Barat (Irjen Putut Eko Bayuseno) ini mengungkapkan, dalam kunjungan ini, telah disiapkan serangkaian acara untuk menyambut Miss Universe tersebut.
“Pada saat kedatangan Miss Universe itu kita sambut dengan tarian Jaipong dan yang nari Jaipongnya juga polwan-polwan,” kata Correta.
Setelah itu, Miss Universe juga akan diperkenalkan dengan budaya Sisingaan. Dalam kesempatan ini, Miss Universe akan dinaikkan ke atas Sisingaan.
“Kemudian nanti disambut oleh Cepot (tokoh pewayangan Jawa Barat). Dan nanti Cepotnya akan mengajak ngobrol Miss Universe pakai Bahasa Sunda,” kata dia.
Selain itu juga, akan ada pementasan alat musik khas Jawa Barat yaitu Angklung. “Yang main angklung juga putra-putri Bhayangkara (anak-anak polisi),” ujar dia.
Selain itu, untuk lebih memperkenalkan budaya Jawa Barat, acara makan-makan juga dipenuhi oleh sajian khas Sunda. “Seperti batagor, mie kocok, sate dan lain-lain,” kata dia.
Kabar tentang harus membayarnya para Perwira Menengah di Polda Jawa Barat hanya untuk melunasi tarif kunjungan Miss Universe ini dibantah oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
“Tidak ada itu urunan seperti itu. Tidak ada,” ujar Timur singkat usai menghadiri rapat konsultasi di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/10/2011).
Yang patut dikritisi disini adalah rencana mendatangkan Miss Universe ke Markas Polda Jawa Barat untuk makan malam tersebut adalah sesuatu yang sifatnya tidak lazim !
Tak pernah ada Polda manapun di Indonesia ini yang pernah berinisiatif mengundang seorang Ratu Kecantikan Dunia untuk mampir ke markas aparat penegak hukum di Indonesia.
Bahkan oleh Polda Metro Jaya yang kelasnya berada di atas Polda Jawa Barat.
Jika disebutkan bahwa rencana makan malam tersebut adalah bagian dari kegiatan sosial yang dikaitkan dengan peringatan HUT BHAYANGKARI maka harus diingatkan disini bahwa Hari Bayangkari sudah lama berlalu yaitu 1 Juli yang lalu.
Lihat dong kalender, tanggal dan bulan berapa sekarang ?
Miss Universe akan “dinner” di Markas Polda Jawa Barat hari Sabtu, 7 Oktober 2011.
Alias, tiga bulan setelah peringatan Hari Bhayangkari 1 Juli 2011.
Ibu Kapolda Jawa Barat harus menyadari betapa pentingnya menjaga nama baik dan reputasi dari sang suami.
Irjen. Putut Eko Bayuseno adalah seorang perwira tinggi Polri yang selama ini sudah sangat bagus kinerja dan prestasinya. Bahkan, pernah menjadi ajudan orang nomor satu di Republik ini.
Bisa dikatakan bahwa salah satu “The Rising Star” yang ada di jajaran Kepolisian saat ini adalah Irjen. Putut Eko Bayuseno.
Kepada Ibu Correta, tanyakanlah kepada sang suami, benarkah bahwa agenda kunjungan Miss Universe ke Indonesia, biasanya puncak kunjungannya ke Indonesia adalah bertemu dengan Presiden Republik Indonesia (bukankah Irjen. Putut Eko Bayuseno adalah mantan ajudan Presiden ?)
Pejabat dibawah Presiden yang biasanya ikut menyambut kunjungan Miss Universe ini adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dan Gubernur.
( Secara kebetulan, Pemimpin Redaksi KATAKAMI.COM Mega Simarmata juga tercatat sebagai wartawati di Istana Kepresidenan periode 1999-2008, dan masih bertugas meliput kegiatan Kepala Negara saat Irjen. Putut Eko Bayuseno masih bertugas sebagai ajudan Presiden SBY).
Artinya, memang tak lazim jika sekelas Kapolda menjadi tuan rumah jamuan makan makan untuk seorang Ratu Kecantikan kelas dunia.
Pejabat tinggi negara (diluar Presiden) yang biasanya menjadi tuan rumah penyambutan atau menjadi pihak pengundang agar sang Ratu Kecantikan mau bertamu, biasanya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata serta Gubernur.
Ibu Kapolda Jawa Barat tampaknya perlu meniru semua hal positif yang diajarkan oleh para pemimpin Bhayangkari sebelumnya, misalnya di era kepemimpinan Ibu Henny Sutanto dan Ibu Nanny Bambang Hendarso Danuri.
Tak ada yang neko-neko.
Belajarlah juga secara khusus kepada Ibu Henny Sutanto tentang bagaimana harus bersikap dalam menjaga nama baik dan reputasi suami, sebab Jenderal Polisi (Purn) Sutanto pun adalah mantan Ajudan Presiden di negara ini.
Masing-masing dari mereka menyadari bahwa isteri sangat dituntut untuk dapat menjaga nama baik dan reputasi sang suami.
Bahkan di era kepemimpinan Ibu Nanny Bambang Hendarso Danuri, tak boleh ada seperakpun sumbangan yang masuk ke dalam kas Ibu-Ibu Bayangkari dari sumbangan pengusaha.
Jadi singkat kata, tak usahlah ada kegiatan sosial yang terkesan dipaksakan dan menjadi tak lazim untuk dilakukan di Markas Kepolisian.
Alangkah mubazir uang jika memang benar tarif mendatangkan Ratu Kecantikan untuk satu kali makan malam saja bisa mencapai Rp. 750 juta !
Apalagi jika ternyata patut dapat diduga, ada sejumlah Perwira Menengah di jajaran Polda Jabar yang diminta “membereskan” masalah keuangan menyangkut kegiatan mendatangkan sang Ratu Kecantikan Dunia ini.
Misalnya pun, uang untuk membayarkan tarif Leila Lopes didapat dari pihak luar (sponsor), bukankah jauh lebih baik, jika uang sebanyak itu dipergunakan untuk hal-hal yang lebih berguna untuk masalah kemanusiaan lainnya ?
Atau untuk kebutuhan kesejahteraan keluarga anggota Polri.
Dan para sponsor itu, harus dipastikan bukan pihak-pihak yang mengharapkan imbal balik tertentu dari pihak Polda Jabar.
Jadi, memperlakukan seorang perempuan asing bak ratu yang didewa-dewakan ( apalagi disambut sangat berlebihan ), rasanya kurang tepat di tengah situasi Indonesia yang penuh keprihatinan seperti ini.
Tidak ada korelasinya, mengundang seorang Ratu Kecantikan ke markas aparat negara yang tugasnya menjaga kamtibnas sekaligus penegakan hukum di negara ini.
Publik lebih ingin mendengar prestasi dan kinerja yang terus membaik dari Irjen. Putut Eko Bayuseno dalam memimpin Polda Jawa Barat, daripada sekedar mendampingi sang isteri menyambut si Ratu Kecantikan yang memang benar-benar cantik sekali.
Begitu lho Bu Jenderal …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar