Lazuardi Birru, deradikalisasi ala mantan Kadensus 88
M. Fachry
Senin, 10 Oktober 2011 12:48:11
Hits: 697
Deradikalisasi adalah mega proyek untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin dengan dalih “perang melawan terorisme”. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah pimpinan proyek deradikalisasi, sementara itu beberapa lembaga, yayasan, atau tokoh-tokoh tertentu menjadi agen binaan sekaligus mitra yang menjalankan proyek tersebut.
Salah satunya adalah Lazuardi Birru, sebuah organisasi binaan mantan Kadensus 88, Suryadarma yang belakangan ini aktif menyerang Islam dan kaum Muslimin. Apa dan bagaimana Lazuardi Birru serta proyek deradikalisasi ala mantan Kadensus 88 ini?
Siapa di balik Lazuardi Birru?
Lazuardi Birru, resmi berdiri pada hari Sabtu, 5 September 2009 di Aula Sakinah Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Kala itu, Suryadarma masih menjadi orang nomer satu di lembaga pemberantasan “teroris”, Densus 88, dan berpangkat Brigadir Jenderal Polisi (Purnawirawan).
Selain sebagai pendiri, Suryadarma dinobatkan juga menjadi pembina di Lazuardi Birru yang rencananya menjadi lembaga yang melakukan deradikalisasi terhadap mantan “teroris”. Dalam sambutannya ketika itu, Suryadarma mengatakan akan menunjukkan wajah Islam yang cinta damai, Islam yang jauh dari kekerasan. Sebuah bahasa kepalsuan proyek deradikalisasi.
Seorang sumber di Arrahmah.com membenarkan bahwa Suryadarma adalah board (semacam dewan pembina) di Lazuardi Birru. Peranannya memberikan arahan, nasehat tentang program-program Lazuardi Birru. Pembina juga sedikit banyak punya peran dalam membangun akses dan jaringan, baik pada sumber dana (donor, baik lembaga/individu) maupun jaringan pada resourcesseperti Nasir Abas dan Ali Imron, dan kawan-kawan. Karena itulah program buku atau komik Lazuardi Birru mengangkat profil kedua orang ini.
Di situs Lazuardi Birru, dipampang novel grafis berjudul “Kutemukan Makna Jihad” yang bercerita tentang tokoh binaan BNPT, Nasir Abas, dan komik berjudul “Ketika Nurani Bicara” yang bercerita tentang Ali Imron, tersangka Bom Bali I.
Memang, sejak menjadi Kepala Satgas Bom Mabes Polri, mantan Kadensus 88 ini intens bergaul dengan para tahanan “teroris” dan selalu melancarkan deradikalisasi dengan cara halus dan bahasa ‘pertobatan’. Suryadarma disebut-sebut sebagai tangan kanan Gories Mere yang memang kerap membelanya.
Gories Mere pernah menjelaskan di saat terjadi konflik antara Densus 88 dan Satgas Bom, yang ketika itu dipimpin Suryadarma. Satgas Bom di bawah Suryadarma yang bekerja sejak bom natal tahun 2000 memang tidak ditampilkan sebagaimana Densus 88 yang dilahirkan tahun 2003. Satgas bom dimaksudkan sebagai “silent warrior” yang memang harus ada di setiap Negara, ujarnya.
Ketika ditanya tentang siapa yang memberikan pendanaan kepada Lazuardi Birru, sumber Arrahmah.com yang enggan disebutkan namanya tersebut menjawab bahwa dirinya tidak tahu persis. Hanya saja ada beberapa konglomerat yang punya kedekatan dengan Suryadarma, dan tentu saja dari BNPT. Adapun mengenai siapa master mind dari Lazuardi Birru, sumber tersebut mengatakan sudah pasti ada di balik pengurus, karena para pengurus hanya sebatas pelaksana program.
Lazuardi Birru mitra BNPT hancurkan Islam
Lazuardi Birru yang berkantor di Manara Karya, Jalan Rasuna Said Kuningan, Jakarta belakangan santer namanya disebut-sebut, terutama karena gencar melakukan proyek deradikalisasi bersama BNPT.
Dana operasional BNPT sebesar Rp. 225 Miliar untuk tahun anggaran 2011 sudah tentu menggiurkan bagi siapa saja, termasuk Lazuardi Birru. Rencananya, BNPT mengajukan kenaikan anggaran di tahun 2012 nanti. Catatan hasil rapat anggaran BNPT dengan Komisi III tanggal 19 September 2011, menyebutkan bahwa Nahdatul Ulama (NU) sudah megajukan proposal 100 nama ulama di seluruh propinsi untuk ceramah keagamaan deradikalisasi. Ansyad Mbai, pimpinan proyek BNPT mengharapkan setiap masjid, dua anggota takmirnya di pihak BNPT dan bermaksud menjangkau 800 ribu masjid dan 40 ribu pesantren di seluruh Indonesia.
Seorang anggota rapat mengatakan : “Banyak rakyat yang lapor ke komisi III bilang, densus adalah alat bunuh dari asing” … Dia juga bilang bahwa BNPT jangan sampai jadi badan yang dibiayai asing untuk membunuhi dan menangkapi rakyat Indonesia. Faktanya, itulah yang terjadi!
Lazuardi Birru tentunya mendapat gelontoran dana dari BNPT sebagai mitra setianya. Pernah suatu ketika, mereka membagikan poster dan stiker bertema anti “teroris”. Mereka juga memasang poster sejumlah korban bom sejak tahun 2000 di Indonesia, dan tepat di bawah poster ada gambar Imam Samudera, Mukhlas, dan Amrozi yang disilang merah dan diberi tulisan “Mereka Bukan Pahlawan”.
Bersama induk semangnya, BNPT, Lazuardi Birru gencar melakukan deradikalisasi, terutama untuk mencuci otak ulama, ormas Islam, takmir masjid, dan kaum Muslimin pada umumnya yang belum menyadari bahaya di balik deradikalisasi.
Kiprah awalnya dilakukan pada hari Selasa, 30 November 2010. BNPT dan Lazuardi Birru menggelar proyek deradikalisasi di Hotal Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, dengan mengundang ratusan tokoh agama, dan tokoh masyarakat se-Jabodetabek.
BNPT menghadirkan pimpronya, yakni Ansyad Mbai sebagai keynote speaker sementara itu, Dhyah Madya Ruth, ketua Lazuardi Birru dijadikan nara sumber, bersama beberapa nara sumber lain untuk memuluskan proyek “setan” menghancurkan Islam, dengan tema “Peran Masyarakat dalam Penguatan Nilai-Nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamien untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”.
Seorang peserta berkomentar agar para ulama yang diundang BNPT bersikap kritis terhadap proyek deradikalisasi, jangan sampai proyek itu justru menjadikan ulama corong dan juru bicara Densus 88. Para ulama yang hadir diharap tidak mau dicuci otaknya untuk menelan mentah-mentah proyek deradikalisasi, dan jangan pula tergiur dengan proyek “setan” tersebut yang pada akhirnya dapat merugikan umat Islam sendiri.
Bagi Lazuardi Birru, proyek deradikalisasi sangat menggiurkan. Apalagi workshop akhirnya merekomendasi penerbitan bulletin Jum’at, buku khutbah Jum’at, dan lainnya dengan tema-tema deradikalisasi dan penanggulangan teroris. Lazuardi Birru pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas kecipratan proyek basah deradikalisasi. Mereka pun rajin menyelenggarakan workshop bersama BNPT, menerbitkan buku, mengeluarkan laporan, dan sejenisnya.
Melihat sepak terjang Lazuaradi Birru, organisasi binaan mantan Kadensus 88 yang juga mitra BNPT dalam proyek “setan” deradikalisasi, maka tidak aneh kalau kemudian Lazuardi Birru menuduh Arrahmah.com sebagai media on line radikal. Begitu pula dengan berbagai laporan ngawur serta proyek-proyek lainnya. Semua ini bagian dari misi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dengan memadamkan dakwah dan jihad fie sabilillah. Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)
By : Admin | 9 October 2011
Ideologi radikal justru diketahui berkembang dan begitu welcome di kalangan generasi muda.
Pemahaman Jihadis Radikal Menyebar ke Kalangan Remaja
Fenomena dan rangkaian bom yang terjadi di tanah air didorong oleh pemahaman jihad yang keliru. Pemahaman keliru ini dikembangkan oleh kelompok tertentu dan memiliki hubungan langsung dengan kelompok ex-Afganistan, Philipina, Malaysia, dan Jamaah Islamiyah.
Demikian dikatakan mantan pimpinan Mantiqi tiga, Nasir Abas, di hadapan ratusan siswa SLTA se-Kota Cirebon saat acara sosialisasi antiterorisme pada kegiatan ekstrakurikuler di SLTA yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di gedung pertemuan prima Universitas 17 Agustus Cirebon, Sabtu (8/10/2011).
Menurut Nasir ideologi tentang jihad radikal terhadap kelompok lain tidak berhenti pada kelompok Jamaah Islamiyah saja, melainkan sudah menyebar ke kelompok lain dan masuk ke generasi muda termasuk pelajar SLTA. Dani Dwi Permana adalah salah satu contoh yang menjadi tumbal aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriot 17 Juli 2009 lalu.
Nasir mengatakan meski ancaman organisasi jihad radikal terhadap integritas dan eksistensi bangsa Indonesia sudah diperkecil, namun ideologi radikal tidak ikut sirna. Ideologi radikal justru diketahui berkembang dan begitu welcome di kalangan generasi muda. Misalnya setiap ada konflik agama di dalam dan luar negeri, secara spontan ratusan pemuda bertekad untuk berjihad dan berjuang mengangkat senjata.
“Pemahaman jihad keliru yang menghalalkan kekerasan kepada orang tidak seiman akan berjalan terus jika tidak ada penafsiran lain yang bisa memberikan pemahaman jihad yang benar tak berarti perang dan membunuh,” terangnya.
Ia menambahkan pelaku bom bunuh diri meyakini jihad dengan bom adalah jalan yang benar untuk membasmi musuh Islam dan kelak dirinya akan mendapatkan imbalan surga. Pemahaman seperti itu, kata dia, yang menyebabkan pelaku bom terorisme tidak segan-segan membunuh ratusan orang yang dianggap kafir dengan cara meledakkan dirinya.
Menurut Nasir ada beberapa faktor yang melatarbelakangi aksi bom; misalnya isu global tentang penderitaan umat Islam di Palestina, Afganistan, Iraq, Pattani, Filipina, dan Kashmir. Isu utama penyerangan pasukan Amerika terhadap umat muslim menjadi topik utama pembicaraan kelompok radikal. Isu ini bisa membakar emosi dan membangkitkan rasa solidaritas seseorang yang mendalam dan semangat untuk berjuang membela nasib umat muslim dimana saja.
“Faktor lain adalah pemberian pangkat oleh tokoh muslim kepada pelaku bom dengan predikat mujahid. Bagi sebagian remaja gelar mujahid sebuah penghormatan istimewa yang dipandang mulia. Ketika mereka berkesempatan bertemu dengan pelaku bom, respon pertamanya terkagum-kagum dengan seorang yang disebut mujahid,” katanya.
Nasir mengimbau kepada generasi muda dan pelajar agar tidak terjerumus aksi terorisme. Karena itu, ia meminta generasi muda bersikap kritis dan mau terbuka dengan yang lain. Menurutnya, sebagian besar pelaku bom tidak kritis terhadap seseorang yang menjelaskan doktrin radikal. Jika bersikap kritis akan dianggap susah untuk direkrut menjadi pelaku bom bunuh diri.
“Kedua kita harus sharing terhadap informasi yang didapat dari orang lain. Sebab perekrut selalu minta pelaku agar tidak bercerita kepada orang lain. Jika kita nurut saja maka mulai mengarah ke kelompok mereka. Sharing untuk mendapatkan opini pembanding. Jika tidak cerita maka tidak mungkin dapat opini pembanding,” cetusnya.
“Hanya hati yang melihat dari sisi kemanusiaan yang dapat menolak kejahatan dan pemikiran pelaku bom,” imbuh dia.[]
Jur. Akhwani Subkhi
Red. Budi
By : Admin | 6 October 2011
Pemerintah melalui BNPT juga diharapkan membangun lembaga psikologi agama untuk menganalisis masalah kejiwaan para pelaku radikalisme-terorisme dan merehabilitasinya.
Tanggulangi Radikalisme, Pemerintah Dituntut Melibatkan Lembaga Pendidikan
Pemerintah melalui departemen-departemen yang berwenang seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan Nasional dituntut melibatkan lembaga pendidikan dalam merevitalisasi kurikulum pendidikan, khususnya agama Islam, yang menekankan Islam Rahmatan Lil ’Alamin. Hal ini penting dilakukan agar radikalisme tidak tumbuh di dunia pendidikan
Itulah salah satu butir rekomendasi dari Seminar Nasional “Dunia Pendidikan: Pemicu Atau Solusi Radikalisme?” yang digelar oleh BNPT di Jakarta, Selasa, 04/10/2011.
Selain soal kurikulum pemerintah melalui BNPT juga harus bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk mengawasi aktivitas organisasi intra dan ekstra sekolah/kampus, untuk memastikan bahwa materi kaderisasi organisasi tersebut tidak mengandung unsur radikalisme.
Untuk mengawali kerjasama, pemerintah bersama lembaga pendidikan agar bersama-sama menyebarkan buku-buku yang membahas mengenai deradikalisasi kepada seluruh lembaga pendidikan, agar dapat dipelajari oleh peserta didik.
“Pemerintah melalui BNPT agar membentuk pusat-pusat studi dan informasi dan kajian terorisme/radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan kampus dan sekolah yang bertugas melaksanakan program deradikalisasi,” demikian bunyi butir rekomendasi yang lain.
Jika program kerja sama di atas bisa terwujud, pemerintah diminta membuat payung hukum yang jelas mengenai keterlibatan lembaga pendidikan dalam menanggulangi radikalisme-terorisme.
Pemerintah melalui BNPT juga diharapkan membangun lembaga psikologi agama untuk menganalisis masalah kejiwaan para pelaku radikalisme-terorisme dan merehabilitasinya.
Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus mengedukasi masyarakat luas untuk menghilangkan stigma bahwa radikalisme berasal dari lembaga pendidikan, terutama pesantren. Pasalnya, secara umum, pendidikan tidak pernah mengajarkan radikalisme.
Sementara lembaga pendidikan dituntut oleh para peserta seminar untuk menciptakan kultur pengajaran dan lingkungan sosial yang moderat dengan saling menghargai perbedaan di dalamnya.
Jur. Syafiq Syeirozi
Red. Budi
Itulah salah satu butir rekomendasi dari Seminar Nasional “Dunia Pendidikan: Pemicu Atau Solusi Radikalisme?” yang digelar oleh BNPT di Jakarta, Selasa, 04/10/2011.
Selain soal kurikulum pemerintah melalui BNPT juga harus bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk mengawasi aktivitas organisasi intra dan ekstra sekolah/kampus, untuk memastikan bahwa materi kaderisasi organisasi tersebut tidak mengandung unsur radikalisme.
Untuk mengawali kerjasama, pemerintah bersama lembaga pendidikan agar bersama-sama menyebarkan buku-buku yang membahas mengenai deradikalisasi kepada seluruh lembaga pendidikan, agar dapat dipelajari oleh peserta didik.
“Pemerintah melalui BNPT agar membentuk pusat-pusat studi dan informasi dan kajian terorisme/radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan kampus dan sekolah yang bertugas melaksanakan program deradikalisasi,” demikian bunyi butir rekomendasi yang lain.
Jika program kerja sama di atas bisa terwujud, pemerintah diminta membuat payung hukum yang jelas mengenai keterlibatan lembaga pendidikan dalam menanggulangi radikalisme-terorisme.
Pemerintah melalui BNPT juga diharapkan membangun lembaga psikologi agama untuk menganalisis masalah kejiwaan para pelaku radikalisme-terorisme dan merehabilitasinya.
Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus mengedukasi masyarakat luas untuk menghilangkan stigma bahwa radikalisme berasal dari lembaga pendidikan, terutama pesantren. Pasalnya, secara umum, pendidikan tidak pernah mengajarkan radikalisme.
Sementara lembaga pendidikan dituntut oleh para peserta seminar untuk menciptakan kultur pengajaran dan lingkungan sosial yang moderat dengan saling menghargai perbedaan di dalamnya.
Jur. Syafiq Syeirozi
Red. Budi
Berpegang kuat pada prinsip Islam, media Islam dianggap 'radikal'
Rasul Arasy
Ahad, 9 Oktober 2011 15:56:24
Hits: 1395
JAKARTA (Arrahmah.com) – Media Islam memiliki ciri khas tersendiri dalam menyuarakan pesan-pesan Islam, oleh karena itu media Islam memiliki tanggungjawab besar yang memiliki bukti otentik berupa teks yang bisa dibaca orang kapan saja. Demikian yang diungkapkan Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya.
“Media Islam yang tidak konsisten, tentu saja akan dijauhi pembacanya. Sedangkan, pembaca media islam bukan hanya dibaca oleh orang Islam saja, tapi siapa saja. Tapi bagi saya, apapun yang terjadi, prinsip harus dipegang. Situs Islam, seperti Voa-Islam dan ar-Rahmah tentu punya prinsip, sehingga ada yang menilai situs tersebut dianggap terlalu keras membela Islam dan para terorisme. Tapi itu, kan anggapan orang luar saja,” kata Mustofa.
Lebih lanjut Mustofa mengatakan bahwa apapun yang terjadi, media Islam harus teguh memegang prinsip, tidak boleh terganggu oleh suara-suara miring dari pihak luar karena dalam dakwah hal itu sudah biasa.
“Tentu, dakwah di zaman Rasul dengan sekarang berbeda. Di masa Rasulullah, yang mendakwahkan Islam akan dilempar kotoran hewan, tapi sekarang bukan lagi kotoran hewan, tapi yang dilempar adalah isu-isu miring,” ujarnya.
Tak dipungkiri, media-media Islam yang tidak ikut mendukung kampanye pemerintah, akan dicap melawan pemerintah. Begitu juga, media Islam yang tidak mendukung program pemberantasan terorisme, akan dianggap pro terhadap terorisme. Ini sebuah dilema dan persepsi yang salah.
Mustofa mengungkapkan malah menjadi lucu ketika media Islam tidak menoleh dan membela kepentingan Islam. Memang, jika dibandingkan dengan media umum, karakter media Islam lebih mengetahui persoalan, jika menyangkut keislaman. Maka sudah sepantasnya lah media yang mengetahui soal islam itu menyuarakan kepentingan Islam.
Mustofa menjelaskan jika membandingkan media Islam dengan media umum sudah pasti berbeda. Media umum hanya memberitakan fakta apa yang dilihat (snapshoot), sedangkan media Islam mengupas dibalik semua peristiwa dan fakta itu, jadi tidak sekedar memberitakan fakta.
“Media Islam memang punya karakter tersendiri ketimbang media umum. Karena, media Islam harus membela jika menyangkut kepentingan Islam.”
Media Islam yang hanya memberitakan fakta adalah kesalahan besar. Karena fakta itu bisa dibuat. Termasuk, bom bisa dibuat oleh siapapun. Tidak harus pelaku bom, karena pelaku bom belum tentu sadar bahwa dia mengebom.
Bahkan yang harus diperhatikan media Islam adalah, jika hanya menyampaikan fakta semata, tidak mengupas apa dibalik fakta, maka itu namanya tidak tabayun. Karena itu ada istilah cross check (tabayun), dimana sebuah fakta harus dicari pembandingnya. Setidaknya harus menjawab pertanyaan kritis, apa benar ini tindakan terorisme, apa benar ini bom bunuh diri, apa benar ini fakta sesungguhnya? Inilah yang disebut sebagai perimbangan atau kesimbangan.
Mustofa menjelaskan bahwa keseimbangan antara media Islam dengan media umum juga berbeda. Media umum tidak akan mengurai dibalik fakta sedetil media Islam, hal tersebut dikarenakan media umum tidak didorong oleh tabayun sebagai bentuk ibadah. Sedangkan media Islam, tabayun itu merupakan bagian dalam kerangka ibadah.
Ghirah keislaman dari media Islam adalah nilai plus, ketika media umum tidak memiliki beban apa-apa, kecuali hanya semangat bekerja saja dengan orientasi hasil. Secara profit, media Islam belum tentu meraih keuntungan, tapi secara syar’i, media Islam membawa pesan-pesan ibadah.
Saat ini, para jurnalis muslim memang belum memiliki panduan menulis tentang peliputan kasus ‘terorisme’. Sehingga acapkali terjadi kesalahpahaman dan dilema, ketika melaporkannya dalam sebuah berita. Sebagai contoh, istilah teroris menjadi diskusi panjang para jurnalis muslim.
“Memang yang mengeluarkan istilah teroris adalah pemerintah. Ini berkaitan dengan tindak pidana UU Terorisme. Dalam hal ini, pemerintah mengekor dengan keinginan pemerintah AS sejak tahun 2001.”
Mustofa berpendapat bahwa media Islam boleh saja menyebut teroris dalam “tanda petik”. Terpenting, di dalam badan berita itu harus menjelaskan. Sebagai ide, kenapa tidak, jika media Islam mencoba merekonstruksi istilah terorisme menurut kacamata redaksi masing-masing.
“Bisa saja mengundang pimpinan media umum untuk berdiskusi. Dalam diskusi itu, bisa dibahas soal istilah terorsime, kelompok bersenjata, makar dan sebagainya. Barangkali, sesama jurnalis bisa menyatukan persepsi, untuk menghindari terjadinya fitnah. Mengingat pemaksaan kata-kata teroris, dapat menyebabkan timbulnya fitnah yang menyakitkan.”
Menurut Mustofa, media Islam punya hak dan kewenangan, untuk memilih narasumber, tergantung ciri khas medianya. Terbukti setiap media tidak sama dalam memilih narasumbernya. Memang, seyogianya, media Islam memilih narasumbernya, dan kalo bisa menghindari narasumber yang tidak sesuai dengan visi-misnya.
Jika tidak ada pilihan, seperti jumpa pers, pengamat yang pro pemerintah (BNPT) ikuti saja, tapi harus dicari pendapat lain, atau ada pengimbangan. Media Islam hendaknya tidak mentah-mentah menelan informasi atau pendapat dari satu pihak. Ada baiknya, membagi porsi saja, misalnya pendapat pro BNPT 20%, sedangkan pendapat lain 80%. Intinya, media islam, harus pintar-pintar memilih narasumber.
Mustofa berharap agar umat Islam bersikap arif dalam menyikapi kasus terorisme. Bagaimanapun, semua pihak, termasuk media Islam dipastikan tidak akan menyetujui aksi pengeboman. Disinilah peran media Islam yang notabene hanya membela, ketika Islam menjadi tertuduh.
“Media Islam yang mengutip pendapat ormas maupun tokoh Islam atas ketidaksetujuan dari tindakan pengeboman, tidak perlu dipersoalkan. Tidak apa-apa, jika yang disikapi aksi bomnya, tapi bukan mengutuk agamanya. Media Islam yang memegang prinsip, dipastikan banyak tantangan dan musuhnya. Itu sudah wajar. Hal itu sekaligus untuk menguji media Islam, apakah tumbang sampai di situ, atau akan tetap menjalan visi misinya atau istiqomah?” tandas Mustofa.
Media Islam, hendaknya jangan melemah, hanya karena tak tahan kritik dan upaya untuk menakuti-nakuti, apalagi sampai luntur dan berhenti ghirah keislamannya, akhirnya membuat media Islam menjadi banci. Media Islam yang tidak berani tegas, akan kehilangan kepercayaan (trust) dari pembacanya.
Terkait banyaknya opini yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang mencap situs-situs Islam diangggap ‘radikal’, Mustofa menolak dan menentang desakan itu.
“Saya sangat menentang, ketika Menkoinfo berkeinginan untuk menutup situs-situs jihad dan sebagainya, meski akhirnya tidak terjadi. Harus diakui, akan sulit dibedakan, mana situs jihad, radikal, terorisme dan kekerasan. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan dengan memberi stigma kepada situs-situs Islam.”
Mustofa Arrahmah dan voa-Islam sebenarnya situs yang biasa-biasa saja. Kalau arrahmah atau Voa-Islam dianggap sebagai situs radikal, setiap orang yang membaca situs tersebut pasti besoknya akan ngebom. Tapi ini kan tidak. Voa-Islam maupun Arrahmah tidak pernah menyuruh siapapun untuk melakukan pengeboman.
“Saya pernah istri saya buka situs voa Islam dan ar Rahmah. Komentar istri saya, situs itu biasa-biasa saja, tidak ada keingianan untuk ngebom.”
Sangat aneh, ketika situs Ar Rahmah dan Voa Islam disamakan dengan situs porno, seperti dikatakan Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj. Bagaimanapun kedua situs Islam itu berangkat dari hal yang suci, sedangkan situs porno berangkat dari kejahatan.
“Sangat tidak tepat dan keliru. Saya sangat menentang sekali pendapat itu. Nanti, saya akan merealese ucapan-ucapan para pejabat dan tokoh agama yang begitu mudahnya menjustifikasi. Saya kira statemen tokoh itu adalah bentuk mencari muka, yang memanfaatkan momen.”
Tidak hanya itu, bahkan berkali-kali Mustofa mengingatkan para pengamat terorisme di televisi, agar hati-hati menjustifikasi soal celana ngatung, jenggot panjang, dan cadar, seolah berbahaya dan mengkhawatirkan.
“Koruptor di pengadilan saja, yang sehari-hari tidak pernah pake cadar, seperti Yulianis, menutupi wajahnya dengan cadar. Di TV One, saya menilai Prof Sarlito membuat kesalahan besar, dengan menjustifikasi jenggot panjang dan celana ngatung sebagai ideologi berbahaya” ucapnya.
Lebih lanjut Mustofa berpendapat sebenarnya mereka bukan Islamophobi, mereka hanya tidak paham. Bahkan pengamat yang keliru biasanya dikarenakan ada kaitan dengan proyek mereka dibidang riset, re-edukasi, dan deradikalisasi yang pendanaannya diperoleh dari pemerintah. Dimana biasanya, kalau sudah bicara proyek, analisanya kadang menjadi tidak objektif. (voaI/arrahmah.com)
RUU Intelejen, alat mengkriminalisasikan umat Islam Indonesia
Rasul Arasy
Ahad, 9 Oktober 2011 14:47:09
Hits: 795
JAKARTA (Arrahmah.com) - Pembahasan RUU Intelejen telah memasuki babak akhir, tak lama lagi akan segera disahkan oleh DPR. Meski sudah banyak mengalami perubahan dari naskah aslinya, RUU tersebut tetap memuat sejumlah pasal yang berpotensi memberi ruang untuk kriminalisasi warga negara, khususnya umat Islam Indonesia.
“Ada kalimat atau frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga berpeluang menjadi pasal karet, seperti frase ‘ancaman nasional’ dan ‘keamanan nasional’, juga ‘ketahanan ideologi’, tidak jelas kriterianya. Itu bisa mengkriminalisasikan umat Islam Indonesia,” ujar juru bicara HTI, Ismail Yuswanto di Hall Volley, GBK Senayan, Jakarta, (9/10/2011).
Ismail menjelaskan, meskipun rumusan RUU Intelijen semakin membaik dalam naskah aslinya, namun muncul kembali pasal-pasal baru yang semakin tidak jelas, kabur dan cenderung multitafsir.
“Ada pasal-pasal baru seiring pembahasan RUU tersebut. Yang pertama sudah makin membaik, justru pasal yang baru muncul itu yang semakin mengaburkan keseluruhan rumusan RUU tersebut. Rumusannya semakin tidak jelas, kabur dan cenderung multitafsir, sehingga sangat tidak mungkin disalahgunakan,” kata Ismail menjelaskan.
“RUU Intelijen Negara tidak lebih dari kriminalisasi umat Islam. Oleh karena RUU itu yang nantinya akan menjadi UU bahwa akan hilang lah ruang untuk dakwah umat Islam,” kata Ismail.
Berbagai solusi telah dijabarkan oleh sejumlah elemen masyarakat terkait pembahasan RUU Intelijen di DPR. Namun, seiring perjalanan RUU tersebut,Ismail Yusanto menilai, anggota DPR masih saja tidak mampu merumuskannya secara cermat.
“Sudah banyak elemen masyarakat yang memberikan solusi untuk pasal-pasal yang masih bermasalah di dalam RUU tersebut. Tidak sedikit pula dari mereka, termasuk kami yang sudah duduk bersama di DPR, namun tetap saja anggota DPR tidak mampu merumuskan secara cermat dan bijak,” ujarnya.
Menurutnya, hingga kini masih ada tiga persoalan mendasar di RUU Intelijen. Permasalahan itu menyangkut, kewenangan intelijen, penangkapan dan masalah penyadapan.
“Kami sudah memberikan penjabaran serta solusi terhadap tiga masalah terbut waktu duduk bersama DPR. Kami juga mengakui bahwa ada beberapa solusi kami yang sudah diadopsi oleh DPR, tetapi malah dirusak di bagian lain. Alhasil percuma saja solusi yang kami berikan kemarin. Kami anggap dibalik ini ada pesanan penguasa. Dari pada RUU nantinya malah mengkriminalisasikan rakyat, lebih baik kami nyatakan tolak untuk RUU tersebut,” imbuh Ismail.
Lebih tegas HTI menyatakan sikap menolak RUU Intelijen, karena hanya dijadikan sebagai alat mengkriminalisasikan umat Islam di Indonesia.
“Memang RUU itu diperlukan oleh negara, tetapi tidak untuk memusuhi rakyatnya. Untuk itu kami dengan tegas menolak RUU Intelijen tersebut,” Ujarnya.
Terkait hal tersebut HTI menyerukan kepada seluruh ulama Indonesia untuk menolak RUU tersebut, dan terus menyerukan untuk menggandeng seluruh umat Islam, untuk selalu menjaga ukhwah islamiahnya.
“Bersama Ulama Tegakan Khilafah, mari kita saling merangkul agar tetap menjaga ukhuwah Islamiah kita,” ujar Ketua Umum Hizbut Tahrir Indonesia, Rohmat S Labib dalam pembukaan ceramah Hizbut Tahrir Indonesia, di Hall Volley, GBK Senayan Jakarta, Minggu (9/10).
Kegiatan bertema ‘Bersama Ulama Tegakan Khilafah’, para jamaah berkumpul bersama di Hall Volley, Glora Bung Karno, Jakarta, Minggu (9/10) untuk mendapatkan pesan yang baik dalam melakukan perilakunya sehari-hari.
“Untuk kesekian kalinya para ulama bersama Hizbut Tahrir berdiri pada shaff yang sama dengan semua kekuatan yang dimiliki dan menyeru untuk melakukan aktivitas dengan sungguh-sungguh, dengan mencurahkan semua kekuatan serta dalam waktu secepatnya untuk merintis kehidupan Islam,” imbuh Rohmat. (dbs/arrahmah.com)
Jangan sembarangan menyebut aktivis Islam 'bunuh diri'
Rasul Arasy
Senin, 10 Oktober 2011 13:41:56
Hits: 650
BEKASI (Arrahmah.com) – Menuduh para aktivis Islam dalam kasus bom Solo sebagai tindakan ‘bunuh diri’ adalah tuduhan keji dan dosa besar, lebih besar daripada tuduhan zina tanpa bukti.
Pernyataan tersebut disampaikan KH Mudzakkir dalam kajian ilmiah bertema “Islam, Radikalisme dan Rekayasa Kaum Kafir” yang diselenggarakan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi, di Masjid Islamic Centre Bekasi, Sabtu (8/10/2011).
Tanpa bermaksud membela aksi pemboman di rumah ibadah, KH Mudzakkir yang juga Pemimpin Ponpes Al Islam Solo, mengingatkan agar tidak menuduh seseorang melakukan bunuh diri bila tidak ada buktinya, karena setiap ucapan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
“Kok mereka tahu kalau saudara-saudara kita umat Islam itu melakukan bunuh diri? Tahu kalau mereka bunuh diri itu dari mana? Apakah sebelum melakukan aksi itu mereka mengirimkan pesan kalau mau bunuh diri?” ujarnya di hadapan ratusan jamaah.
“Itu kan tudingan orang-orang kafir dan orang-orang yang selama ini suka berbohong kepada umat Islam. Dari mana mereka tahu kalau itu bunuh diri?” tambahnya.
Lebih lanjut Mudzakkir mengatakan bahwa jika menuduh orang berbuat bunuh diri, harus ada bukti yang jelas. Seperti peristiwa tunggal orang gantung diri dengan latar belakang dililit hutang, ditinggal pacar, usaha bangkrut, dan sebagainya, kemudian merasa tidak ada harapan lalu frustasi dan melakukan bunuh diri.
“Kalau mereka (pelaku bom gereja Solo, red) dituduh bunuh diri, lalu frustasinya karena apa?” tukasnya.
Persoalan lain dalam tuduhan bunuh diri adalah siapa yang meledakkan bom itu. Maka untuk menyimpulkan seseorang melakukan bunuh diri harus ada bukti yang jelas.
“Kalau mereka dituduh bunuh diri, apakah betul mereka bunuh diri? Jangan-jangan ada bom di sini lalu ada orang lain yang memantik, dan dia tidak tahu ada orang lain yang memantik,” terangnya.
“Bahwa di situ ada bom, bisa saja yang meledakkan itu orang lain. Atau mereka sebenarnya disuruh orang lain yang menuduh itu? Kita tidak punya bukti untuk menuduh mereka bunuh diri.”
Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Hujurat 6, KH Mudzakkir mengingatkan umat Islam agar lebih kritis dan selektif dalam menyikapi segala berita dari orang fasik, termasuk berita tuduhan bom bunuh diri.
“Islam melarang kita untuk mempercayai tuduhan-tuduhan tersebut. Dosa besar! Allah Ta’ala menyatakan, in ja’akum fasiqun binaba’in fatabayyanuu,” tegas pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo itu.
Berdasarkan ayat tersebut, bila ada berita harus dilakukan tabayun, cek ricek dan cari bukti, jangan sampai kita memutuskan atau menetapkan sesuatu tanpa bukti lalu menyesal di belakang hari. Terlebih tuduhan teroris dan bunuh diri kepada saudara sesama muslim yang tanpa bukti adalah tindakan yang tidak Islami.
“Ini ada saudara kita mati dizalimi orang, tidak kita bela tapi malah kita tuduh teroris. Kok tega sekali kita mengatakan begitu?”
Bahaya tuduhan teroris dan bunuh diri kepada sesama Muslim, ungkap Mudzakkir, jauh lebih berbahaya daripada tuduhan zina tanpa bukti. Menuduh seseorang sebagai pezina saja, lanjutnya, Allah memberikan peringatan keras dalam Al-Qur’an surat An-Nur 12-17, sebagai ifkun mubin (kebohongan yang nyata) dan buhtanun ‘azhim (kebohongan besar) yang terancam dengan ‘adzabun ‘azhim (azab yang besar).
Mudzakkir menegaskan sebagai umat beriman, umat Islam jangan latah menuduh sesama muslim sebagai teroris dan bunuh diri.
“Ini adalah kebohongan yang besar. Jika selama ini kita pernah berbuat seperti itu, ikut-ikutan mengecap mereka tanpa bukti, maka saya bacakan satu ayat Al-Qur’an, ‘Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali memperbuat yang seperti itu lagi selama-lamanya, kalau memang kalian orang-orang yang beriman,’” urainya sembari menyitir Al-Qur’an surat An-Nur 17.
Belajar dari berbagai kesalahan informasi mass media di masa lalu, Mudzakkir mengingatkan agar umat Islam mewaspadai informasi seputar bom dan terorisme. Pasalnya di Solo pernah ditemukan sebuah bom di dalam gereja, kemudian ormas-ormas Islam mengultimatum polisi agar mengungkap siapa pelakunya. Kalau polisi tidak bisa menangkap pelakunya berarti pelakunya adalah polisi sendiri. Ternyata disampaikan secara diam-diam oleh aparat bahwa pelakunya adalah orang dalam sendiri.
“Sampai sekarang saya ndak tahu apa maksud ‘orang dalam’ itu, apakah orang dalam gereja atau orang dalam polisi?” jelasnya.
Dari berbagai kasus terorisme di Solo yang sarat kejanggalan itu, Mudzakkir mencurigai kalau bom di depan gereja Bethel Solo beberapa waktu lalu dilakukan oleh orang luar.
“Dulu di Ambon banyak umat Islam dibunuh, tapi gereja di Solo selalu aman-aman. Kok tiba-tiba ini terjadi bom gereja? Pasti dari luar yang memang di luar kendali kita. Pelakunya jangan-jangan mereka sendiri,” tegasnya.
Mudzakkir menambahkan, berita dari aparat kepolisian menyangkut kasus terorisme tidak bisa dipercaya. Ia mencontohkan, di Cawang, Jakarta Timur, ada dua orang pemuda yang dibunuh dengan tuduhan teroris. Setelah terbunuh, polisi mencari identitasnya, ternyata tidak bisa menemukan siapa nama dan alamat dua orang tersebut. Bahkan ketika dikuburkan di Pondok Ranggon Jakarta Timur, pada Selasa (8/5/2010), polisi hanya bisa memberi label Mr X-1 dan Mr X-2 di nisan kuburan.
“Mereka membunuh dua orang yang disangka teroris tapi tidak tahu siapa namanya dan di mana alamatnya, lalu kedua jenazahnya dikuburkan dengan diberi label Mr X1 dan Mr X2,” gugatnya.
Dengan validitas yang tidak shahih seperti itu, maka umat Islam dilarang keras percaya dengan informasi polisi terkait berita ‘terorisme’. (voaI/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar