Pasal-pasal kontroversi bertebaran dalam undang-undang intelejen
Rasul Arasy
Kamis, 13 Oktober 2011 14:29:34
Hits: 731
JAKARTA (Arrahmah.com) – Meskipun diwarnai kecaman dan penolakan dari berbagai elemen, toh pada akhirnya RUU Intelejen disahkan juga. Berbagai kelompok dari elemen masyarakat menolak dan mengecam pengesahan UU yang kental akan inflitrasi asing tersebut.
Kecaman dan penolakan tersebut, dikarenakan banyaknya pasal kontroversi yang memungkinkan penyalah gunaan Undang-undang Intelejen oleh kelompok tertentu, mengingat para penguasa dan pejabat di Indonesia adalah ‘tipe pemimpin yang gampang dibeli’.
Berikut adalah pasal-pasal bermasalah yang terdapat dalam RUU Inteljen:
a. Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30, Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengana. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, atau sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi sumber daya alam, dan lingkungan hidup dan/atau
b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase, yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalankan proses hukum.
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
(2) penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:
a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen,
b. atas perintah kepala BIN, dan
c. jangka waktu penyadapan enam bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
(3) Penyadapan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri.
a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen,
b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara,c. tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan, dan
d. bekerja sama dengan penegak hukum terkait.
Setiap orang yang dengan sengaja mencuri, membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, dipidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.
Setiap Personel Intelijen Negara yang membocorkan upaya pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi, fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan, dan/atau personel intelijen negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi dan aktivitas intelijen negara sebagaimana dimaksud pasal 18 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Tidak adanya penyamaan persepsi terkait deskripsi frase-frase yang multitafsir membuat pasal-pasal tersebut dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi dan membungkam siapapun yang mengkritik pemerintah. Hal ini tentu saja, bukan hal yang salah jika pengesahan undang-undang intelejen pada dasarnya adalah ‘cara halus’ mengembalikan Indonesia pada rezim represif, karena memang pada kenyataannya orang-orang dan tokoh-tokoh dibalik undang-undang intelejen tersebut tak lain adalah generasi ‘yang dibesarkan dan merupakan hasil didikan rezim represif’ tersebut. Wallohualam. (dbs/arrahmah.com)
AJI : "Pengesahan RUU Intelejen membahayakan kebebasan pers"
Rasul Arasy
Selasa, 11 Oktober 2011 14:35:20
Hits: 856
JAKARTA (Arrahmah.com) – Banyak hal di dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen yang berpotensi membahayakan masyarakat sipil bila disahkan begitu saja dalam Rapat Paripurna DPR RI, demikian yang diungkapkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Siaran pers AJI yang diterima di Jakarta, Senin (10/10/2011) malam, menyebutkan bahwa DPR berencana mengesahkan RUU Intelijen pada 11 Oktober 2011 dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Terkait hal tersebut AJI meminta DPR dan pemerintah tidak serta merta mengesahkan RUU Intelijen mengingat masih banyak hal yang berpotensi membahayakan kehidupan masyarakat sipil, mengancam profesi jurnalis, serta menabrak peraturan perundangan lain.
AJI mengakui Komisi I DPR telah mengeluarkan draf RUU Intelijen terbaru, namun tetap belum cukup karena terdapat pasal yang apabila diterapkan dapat membahayakan kehidupan demokrasi dan kebebasan pers.
Misalnya Pasal 32 terkait kewenangan penyadapan kepada aparat intelijen yang dinilai seharusnya diterapkan dalam situasi khusus dengan payung hukum yang jelas, seperti situasi darurat sipil atau darurat militer.
AJI berpendapat, pembatasan atau restriksi terhadap kebebasan melalui “penyadapan” perlu dijabarkan secara lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negeri tertib sipil atau dalam kondisi aman damai.
Pasal lainnya yang dikritik adalah pasal 26 RUU Intelijen yang menyebutkan: “Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen”.
Arti dari pasal tersebut adalah siapapun yang terbukti membuka atau membocorkan rahasia intelijen dapat dikenai sanksi pidana yang sebagaimana diatur pasal 44 dan 45 RUU Intelijen yakni 10 tahun penjara dan 7 tahun penjara dan atau denda ratusan juta rupiah.
AJI menilai pasal 26 RUU Intelijen cenderung subjektif, terlalu luas, dan definisi “rahasia intelijen” sebagaimana dirincikan dalam pasal 25 bertabrakan dengan definisi “informasi negara”.
Selain itu, pasal 26 juga rawan disalahgunakan aparatur negara terutama untuk melindungi kekuasaan karena bisa dikenakan kepada jurnalis yang mempublikasikan informasi atau melakukan jurnalisme investigasi dan menyebarkan laporannya kepada publik sehingga rumusan pasal ini berpotensi mengancam kebebasan pers.
Untuk itu, AJI meminta Komisi I DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk terlebih dulu menyamakan, memperjelas persepsi dan definsi tentang “rahasia negara” dan membedakannya dengan “informasi negara”. Hal tersebut sangat penting mengingat definisi itu terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalis dalam mewartakan kebenaran kepada publik.
Selain itu, AJI mengajak para jurnalis dan masyarakat umum agar senantiasa menggunakan kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi dengan panduan etika jurnalistik serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. (ans/arrahmah.com)
Bos media rame-rame masuk politik, masyarakat harus lebih cerdas menganalisis opini yang dihembuskan media
Rasul Arasy
Kamis, 13 Oktober 2011 15:40:24
Hits: 1018
JAKARTA (Arrahmah.com) –
Makin maraknya bos media massa sekuler yang ikut-ikutan tampil dalam kancah politik dengan bergabung bersama partai politik menjelang Pemilu 2014, Dewan pers dan organisasi wartawan bertekad mengawasi peran media dalam permainan politik.
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengungkapkan pers merupakan instrumen publik dan tidak boleh menjadi alat untuk kepentingan golongan tertentu. Setiap orang, bisa saja masuk partai politik, termasuk kalangan pers. Namun, kapasitasnya sebagai individu, bukan orang pers atau media yang menjadi miliknya.
Bagir menegaskan bahwa independensi pers harus dijaga, jangan sampai kehilangan nilainya. Pers harus bisa memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Pers harus bisa menyeimbangkan kepentingan politik dan publik.
“Jadi, harus jelas, kapan menjadi politikus dan orang atau pemilik pers,” katanya.
Wacana “perang” berita muncul setelah bos kelompok Media Nusantara Citra (MNC Grup), Hary Tanoesoedibjo bergabung dengan partai Nasional Demokrat. Grup ini memiliki stasiun televisi RCTI,MNCTV (dulu TPI) serta media cetak dan Internet (okezone.com).
Selain itu, Partai Nasional Demokrat dibidani Surya Paloh, pemilik Media Grup dengan Metro TV,dan seperti yang diketahui Aburizal Bakrie ketua umum partai Golkar adalah pemilik TVOne.
Versus Perang berita sangat terlihat ketika pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dua tahun lalu. Persaingan Surya Paloh dengan Aburizal di kongres partai dipersengit dengan pemberitaan di televisi, Metro TV dan TVOne.
“Pers tak bisa bekerja untuk kepentingan tertentu,” ujar Bagir.
Terkait hal tersebut, tentu saja berharap agar masyarakat makin cerdas dalam memahani peran media tanpa melakukan apapun adalah hal yang mustahil. Bahwa pada dasarnya media sekuler tak pernah benar-benar merdeka dalam pemberitaan mereka. Kalau pun bukan untuk kepentingan sang bos dalam mencapai tampuk kekuasaan politik, media sekuler kerap kali menjadi perpanjangan tangan untuk menggencarkan wacana atau opini pembodohan masyarakat terkait dengan stigma negatif para aktivis Islam dan mendeskreditkan ajaran islam itu sendiri.
Karena itu pentingnya keberadaan media Islam sebagai upaya mencerdaskan dan memfilter opini pembodohan yang secara seragam dikoar-koarka media sekuler adalah hal yang urgen. (dbs/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar