Gerakan Anti-Wall Street Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme
Selasa, 11/10/2011 12:11 WIB
Krisis ekonomi negara AS yang berujung pada aksi protes besar-besaran rakyat AS dengan gerakan anti-Wall Street membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang dianut negara itu dan sebagian negara Eropa (baca:negara-negara Barat) bukanlah sistem yang menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya, tapi sebuah sistem yang hanya menguntungkan korporasi dan para pemilik modal.
Pakar ekonomi Richard Wolff mengatakan, kapitalisme menjadi akar persoalan ketidakadilan ekonomi yang sekarang dirasakan rakyat AS. Bertambahnya pengangguran, tuna wisma, ketidakamanan dan gejolak sosial adalah dampak dari sistem perekonomian kapitalis yang membuka peluang pada perusahaan korporasi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan memicu munculnya sebuah sistem politik yang korup.
"Di AS, mungkin sudah terlambat buat kita untuk memperdebatkan sistem perekonomian, karena kapitalisme sudah berlangsung sekian lama.
Selama berpuluh-puluh tahun, kita gagal untuk mempertanyakan, memperdebatkan dan mengkritik kapitalisme yang menjadi sistem perekonomian negeri ini, karena membahas masalah ini dianggap tabu," kata profesor yang sekarang mengajar di New School University di New York itu.
"Orang yang mengkritik atau mempertanyakan sistem kapitalisme akan dicap pengkhianat, tidak loyal bahkan dicap lebih buruk dari itu. Dan karena dianggap tabu, banyak yang tak sadar ketika kapitalisme sudah tidak efektif lagi, tidak adil dan merosot menjadi sebuah krisis dan bencana sosial yang sekarang hampir tidak bisa kita tanggung lagi akibatnya," sambung Profesor Wolff yang juga ikut berunjuk rasa bersama para demonstran anti-Wall Street di Zuccotti Park, New York.
Ia mengatakan, sudah saatnya melakukan demokratisasi di tempat kerja agar apa yang diperjuangan rakyat AS sekarang lewat aksi "Menduduki Wall-Street" bisa tercapai.
"Kita punya sumber daya manusia, ketrampilan dan alat produksi serta jasa yang kita butuhkan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengorganisasikan kembali unit-unit produksi itu dengan cara yang berbeda, keluar dari sistem perekonomian yang kapitalis yang terbukti tidak mampu memenuhi kebutuhan dan menyejahterakan rakyat," tukas Wolff.
Ia menambahkan, "Kita perlu mengubah struktur perusahaan korporasi yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang, menyebabkan polusi lingkungan dan menimbulkan sistem politik yang korup. Kapasitas produksi barang dan jasa yang dilakukan harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan semua orang--seperti udara, air, jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan."
"Saya ingin menyampaikan slogan 'AS bisa lebih baik tanpa kapitalisme korporasi', Biarkan ide dan perdebatan ini menjadi wacana yang mengemuka dalam gerakan rakyat yang kita saksikan sekarang. Biarkan mereka mendobrak hal yang selama ini dianggap tabu, mengkritik dan mengecam sistem kapitalisme. Sistem perekonomian harus diperbaharui untuk kepentingan umat manusia, dan bukan untuk kepentingan korporasi," tandas Wolff. (kw/CD)
Mengulas Krisis Ekonomi Gelombang Kedua di Barat |
Brussel terus dikejutkan dengan berbagai aksi demo dan protes anti kebijakan ekonomi negara-negara Uni Eropa. Brussel yang juga lokasi markas besar Uni Eropa menjadi ajang unjuk rasa dan protes yang sengaja ditujukan pada para pejabat Uni Eropa. Konfederasi Serikat Pekerja Eropa yang juga penggagas demonstrasi di Brussel menyatakan bahwa demonstrasi yang digelar saat terbesar dalam sepanjang sejarah di Brussel. Ditegaskannya, "Belum pernah terjadi unjuk rasa sebesar ini di Brussel dalam 30 tahun terakhir ini." Bersamaan dengan aksi protes di Brussel, sejumlah kota lainnya di Eropa juga dikejutkan dengan aksi unjuk rasa besar-besaran. Di Spanyol, pekerja dan buruh menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran atas undangan organisasi dan sindikat-sindikat pekerja. Disebutkan bahwa demonstrasi yang digelar di Spanyol tercatat sebagai aksi unjuk rasa terbesar dalam 8 tahun terakhir ini. Hal serupa juga terjadi di Irlandia. Para demonstran berkumpul di depan gedung parlemen Irlandia dan menuntut program pengetatan ekonomi dan parahnya kondisi krisis di negara ini. Aksi unjuk rasa juga terjadi di Yunani. Para pekerja transportasi kereta api di Yunani memprotes langkah privatisasi perusahaan milik negara ini. Semua aksi unjuk rasa itu digelar dalam rangka memprotes kebijakan pengetatan ekonomi, pengurangan gaji dan kenaikan pajak. Kebijakan ekonomi Eropa itu dilakukan untuk menekan defisit anggaran negara dan pengontrolan hutang negara. Aksi-aksi unjuk rasa itu digelar saat Komisi Uni Eropa menyodorkan prakarsa yang mengharuskan semua negara anggota Eropa harus menerapkan kebijakan pengurangan defisit anggaran negara. Jika tidak, anggota yang bersangkutan akan dikenakan denda. Sebagian besar negara Eropa tengah menghadapi gelombang kedua krisis ekonomi. Imbas gelombang kedua krisis ekonomi ini tidak kalah dengan gelombang krisis ekonomi pertama. Pada gelombang pertama, krisis ekonomi terjadi pada tahun 2008 yang menghantam seluruh negara Eropa. Krisis pertama disebabkan keterpurukan ekonomi, kehilangan keseimbangan di pasar-pasar finansial dan ketidakmampuan masyarakat untuk membayar hutang mereka. Dalam beberapa tahun terakhir ini, bagian keuangan dan jasa menjadi bagian besar ekonomi Eropa. Karena keuntungan besar di bidang ini, sejumlah negara Eropa mengalami perkembangan ekonomi dahsyat. Di antara negara-negara itu adalah Yunani, Irlandia, Spanyol, Portugal dan sejumlah negara anggota baru Uni Eropa di timur benua ini. Akan tetapi negara-negara itu tiba-tiba harus menghadapi nasib sial karena krisis ekonomi yang menghantam Eropa. Akibatnya, negara-negara itu menerima hantaman ekonomi lebih besar di banding negara-negara lainnya. Sistem keuangan negara-negara seperti Yunani, Spanyol, Portugal dan Irlandia saling berhubungan dengan sistem kapitalis. Bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi AS pada tahun 2008 yang kemudian menjalar ke negara-negara lainnya, negara-negara Eropa yang mempunyai perkembangan ekonomi yang tinggi, menjadi sasaran utama krisis setelah AS. Karena dahsyatnya krisis ekonomi, negara-negara itu harus menyuntikkan dana lebih besar ke pasar-pasar keuangan dan finansial. Kebijakan ekonomi ini malah menjebak negara-negara itu pada pembengkakan defisit dan hutang negara. Pada akhirnya, negara-negara Eropa itu terancam pailit. Di antara negara-negara Eropa itu adalah Yunani berada di peringkat utama yang menerima imbas terbesar dari krisis ekonomi dunia. Berdasarkan data yang ada, tingkat defisit Yunani mencapai 13 persen, sedangkan hutan negara ini menembus angka 300 milyar Euro. Mengingat keterkaitan ekonomi Euro, krisis ekonomi Yunani langsung menghantam mata uang Euro dan menyebabkan rendahnya mata uang ini. Menghadapi dampak negatif dan imbas buruk mata uang Euro, negara-negara anggota Uni Eropa bersedia membantu dana 110 milyar Euro ke Yunani. Hal itu juga dilakukan dengan kerjasama Dana Moneter Internasional (IMF). Akan tetapi kondisi serupa tidak hanya dialami Yunani, tapi negara-negara lainnya seperti Spanyol, Portugal, dan sejumlah negara anggota baru Uni Eropa, mempunyai nasib serupa. Karena kondisi itu, dibentuklah sebuah dana bantuan darurat dengan anggaran 750 milyar Euro. Pembentukan Dana Bantuan Darurat bertujuan menghindari larinya investasi dan membangun kepercayaan investor untuk mengulurkan invetasi di negara-negara yang terkena krisis. Sementara itu, Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang juga menjadi penjamin terbesar Dana Bantuan Darurat, menuai kritikan serius dari opini umum, partai-partai dan kalangan politisi negara ini karena sepakat mengucurkan dana bantuan ke Yunani. Imbasnya, partai koalisi di kabinet Angela Merkel terpaksa menerima kekalahan dalm pemilu negara bagian. Belum lama ini, Merkel dalam pidatonya seraya menyinggung bantuan negara-negara Eropa ke Yunani, menegaskan bahwa negara lain tidak akan menggunakan paket stimulus ekonomi negara ini. Dikatakannya, "Kami berada dalam kondisi yang berbeda dengan sebelumnya. Untuk itu, kita harus mempunyai struktur baru untuk menghadapi problema ekonomi." Pernyataan itu disampaikan saat Irlandia membutuhkan suntikan dana. Akan tetapi Kanselir Jerman menyatakan bahwa pemerintahnya tidak akan mengucurkan kepada negara manapun. Pernyataan Angela Merkel juga memberikan pesan kepada negara-negara yang menanti suntikan dana untuk menghadapi problema ekonomi, harus menerapkan pengetatan ekonomi. Kebijakan ekonomi Eropa dituntut harus memilih antara opsi buruk dan terburuk. Perekonomian kapitalis berhubungan dengan konsumsi. Dengan demikian, konsumsi semakin bertambah, putaran industri dan pasar keuangan akan lebih lancar. Sebaliknya, bila konsumsi berkurang, maka peerputaran ekonomi akan mengarah pada keterpurukan dan peningkatan pengangguran. Kebijakan penghematan ekonomi dan pengurangan dana kesejahteraan dan sosial sama halnya dengan penekanan kalangan menengah ke bawah dan penekanan konsumsi. Pengurangan konsumsi itu akan menyebabkan keterpurukan yang lebih serius dan penambahan pengangguran. Negara-negara Eropa yang menghadapi pembengkakan defisit anggaran, mendapat tekanan dari Uni Eropa supaya menyeimbangkan anggaran dengan pendapatan. Dari sisi lain, kebijakan pengetatan ekonomi menuai kritikan opini umum di berbagai negara. Penentangan kebijakan pengetatan ekonomi dan pengurangan dana kesejahteraan dan sosial, kian meluas di Eropa. Masyarakat Perancis, Inggris dan Jerman selama bertahun-tahun terbiasa mendapat fasilitas sosial dan kesejahteraan. Semua itu tiba-tiba diputus, bahkan dilakukan bersamaan dengan revisi undang-undang kerja yang justru dinilai membahayakan masyarakat negara-negara bersangkutan. Dalam revisi undang-undang, pemerintah Eropa memberikan peluang kepada pemilik pabrik untuk lebih mudah mengeluarkan para pekerja. Gelombang kedua krisis ekonomi dan kebijakan pengetatan ekonomi menyebabkan kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda dari sebelumnya, khususnya di negara-negara Eropa yang tengah berkembang. Kondisi berbeda ini menuntut masyarakat Eropa harus melambaikan tangan selamat tinggal pada kebijakan kesejahteraan dan sosial seperti asuransi kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan. Negara-negara Eropa pada dekade 70 dan 80-an mengambil kebijakan kesejahteraan untuk menghadapi pengaruh komunis di benua ini. Kebijakan itu diambil untuk memberikan jaminan kepada warga yang berpenghasilan rendah. Kini, negara-negara Eropa dihadapkan pada krisis ekonomi serius sehingga terpaksa harus menghapus kebijakan kesejahteraan dan sosial. Kebijakan pengetatan ekonomi yang berimbas pada pengurangan dan pemutusan tunjangan warga, tentunya menuai kritik opini umum karena masyarakat di benua ini sudah terbiasa menjalani kehidupan dengan segala tunjangan dari pemerintah. Kebijakan kesejahteraan dan sosial pada awalnya dimunculkan karena kekhawatiran akan pengaruh komunis. Akan tetapi setelah peniadaan dan pengurangan tunjangan, kondisi ini selain memicu kemarahan, juga berakibat pada meluasnya kelompok radikal di tengah masyarakat Eropa. Bahaya kelompok radikal tidak dapat diabaikan begitu saja karena itu bisa memperkeruh konflik sosial dan sikap rasialis di Eropa. |
Warga Menentang Satu Persen Populasi Kaya Amerika Serikat |
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=36772&Itemid=69 distribusi kekayaan dan kekuasaan hanya kepada kelompok minoritas di negara ini. Demikian dikatakan Editor Ocupy Wall Street Journal, Arun Gupta kepada Press TV (8/10). "Ini bukan tuntutan satu orang, dapat kita katakan mengapa warga berdemo karena mereka semua menentang konsentrasi ekstrim kekayaan dan kekuasaan hanya di antara satu persen golongan masyarakat," tambahnya "Ini adalah sistem yang kaya, oleh orang kaya, dan untuk orang kaya," tutur Gupta. "Kami perlu mendapatkan profit dari sistem, bukan hanya sistem politik, melainkan juga sistem ekonomi, karena jika Anda membuat perubahan politik, tapi membiarkan perusahaan memegang kontrol, maka mereka perlahan-lahan akan menguasainya," kata Gupta. Dia juga mengkritik pemerintah AS yang menurutnya telah melakukan praktik "pelembagaan korupsi dan suap." "Kami menyebutnya kampanye kontribusi dan donasi politik," katanya. Sejak 17 September lalu, para demonstran Amerika memprotes ketidakadilan sosial, pengangguran, dan kemiskinan. Protes yang dimulai di ke 847 99 persen" untuk menunjukkan fakta bahwa mereka bukan bagian dari satu persen orang kaya Amerika yang menguasai kekayaan negara ini. (IRIB/MZ) |
| ||||
Demo Anti-Politik Ekonomi AS Menular ke Inggris |
Demonstrasi massif di Amerika Serikat kini telah merambat ke wilayah Eropa. Sama seperti gerakan Ocupy Wall Street, warga Inggris akan meluncurkan protes dengan slogan Ocupy London's Stock Exchange" pada 15 Oktober dalam rangka menunjukkan keputusasaan mereka terhadap pemerintahan koalisi. Press TV melaporkan (10/10), seperti yang diperkirakan, warga Inggris mengikuti jejak warga Amerika dalam menunjukkan kemarahkan mereka terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Dalam sebuah langkah simbolis, ratusan aktivis Inggris menduduki rangka mencegah ratifikasi reformasi RUU National Health Service (NHS) di House of Lords. Langkah itu dinilai meniru aksi para demonstrasn Amerika yang menduduki Namun demo di Westminster itu baru babak awal menyusul rencana ribuan warga Inggris untuk berpartisipasi dalam kampanye Ocupy London's Stock Exchange. Sebuah laman Facebook bernama "Occupy London's Stock Exchange" juga telah mendapat sambutan lebih dari 5.000 orang. Dalam laman tersebut warga Inggris diimbau bergabung dengan protes yang akan digelar pada tanggal 15 Oktober mendatang. Sementara itu, lebih dari 1.500 pengguna jasa Twitter juga telah menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan gerakan pada 15 Oktober nanti. (IRIB/MZ) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar