SEJARAH KELAM FREEPORT Latar Belakang Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua. Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK. Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041. Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Permasalahan Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut. Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya. Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM. Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan. Pemiskinan di Papua Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km). Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport. Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %). Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport. Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003. Kronologi Sosial-Ekonomi Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport: 16 Februari 1623. Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia. 23 November 1936. Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka kemudian mengumpulkan contoh batuan. Tahun 1936. Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung tembaga dan emas. Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk menyebut kawasan tertinggi di New Guinea itu. Ekspedisi napak tilas dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint–berdasar laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi. Maret 1966. Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal asing dengan berbagai deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi kepada Freeport Mc Moran di Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta konsesi di kawasan itu. Juni 1966. Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan untuk mewujudkan kontrak pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih sebagai negosiator dan kelak menjadi presiden Freeport Indonesia (FI) adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan direktur Bappenas tahun 1950-an. 5 April 1967. Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya 30 tahun. Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai. Desember 1969. Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi keseluruhan proyek mulai dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang decak kagum tersendiri karena tingkat kesulitannya sangat tinggi. Desember 1972. Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke Jepang. Maret 1973. Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru Freeport. Tahun 1974. Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang mengakibatkan terbunuhnya karyawan Freeport, hingga memaksa mereka membuat ”January Agreement” dengan warga desa Wa-Amungme untuk membangun sekolah dan fasilitas umum lainnya. Juli 1976 Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport. Angka ini hingga 1998 bertahan di level 10 persen dan royalti satu persen. April 1981. Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum cadangan Grasberg ditemukan. 28 Januari 1988. Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif. Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–pejabat public relations FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX terjual. Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya, jumlah depositnya diperkirakan mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K yang disetujui pada 1994, total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton. 30 Desember 1991. KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun. Bagi banyak orang, KK II ini berlangsung tidak transparan, bahkan tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas menguntungkan. Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup). ”Kami sudah menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang,” kata James Moffet, Preskom Freeport berbasa-basi. Preskom. Belakangan masuk Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto, dan Menaker kabinet Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.) 22 Agustus – 15 September 1995 Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia. 17 Januari 1996 Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya. 29 April 1966 Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM. 29 Juni 1996 Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15 juta) yang rencananya diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport. Penolakan juga datang dari gereja setempat. 30 September 1997 Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal, selesai memeriksa dan menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan kegiatan penambangan dan peningkatan kapasitas produksi Freeport hingga 300.000 ton per hari. Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju : “Atmosfer pertemuan itu kental dengan bau politis, sementara banyak anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan perluasan itu, tapi tak kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi. 11 Maret 1998 Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada Sidang Umum MPR 1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. 5 November 1998 Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga sarat KKN. “Tidak ada KKN di Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi masalah pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim Moffet dalam jumpa persnya seusai menghadap Kejagung. Tahun 2002 Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di Timika September 2008 Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini lantaran ada gangguan teknis di lokasi penambangan Grasberg, Papua. Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga 1,2 miliar pounds dan emas 1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini, tembaga 1,1 miliar pounds dan emas 1,1 juta ounc. 11 Desember 2008 Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi jumlah karyawan untuk mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan, sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia. Dua Karyawan Freeport menjadi tersangka kasus penembakan. Polisi menetapkan tujuh tersangka terkait kasus penembakan di Freeport, Timika, Provinsi Papua. Dua dari tujuh tersangka tersebut merupakan karyawan Freeport.27 Juli 2009 Pelanggaran HAM Setelah tujuh tahun beroperasi, timbul konflik sosial dan ekonomi antara Freeport dan masyarakat adat di sekitar wilayah pertambangan. Tahun 1974, suku Amungme yang berdiam di sekitar tambang menuntut Freeport membayar ganti rugi kepada mereka terkait pembabatan hutan perburuan suku itu. Freeport menyanggupi tuntutan itu, yang dituangkan dalam January Agreement 1974. Freeport juga dikecam karena mengimpor seluruh bahan pangannya dari Australia melalui jalur udara. Baru pada 1978, Freeport bersedia membeli sebagian sayur-mayur dari petani Irian. Muncul pula ganggauan keamanan, misalnya, pemotongan kabel telepon, gangguan terhadap pipa minyak dan jalur kabel, blokade di jalan logistik serta peledakan instalasi tambang di Tembagapura. Pada bulan Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi Indonesia. Insiden ini disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport yang tertuang dalam January Agreement. Hingga 1978 itu, Freeport tak memenuhi seluruh janji yang ada dalam perjanjian tersebut. Pada 31 Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Insden ini menewaskan dua warga Amerika yaitu Tid Bargon dan Ricky Saipar dan seorang warga Indonesia bernama S.S Bambang Riwanto. Tercatat sebanyak 13 orang pelaku penembakan, tiga di antara pelaku tersebut merupakan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yaitu Kapten Markus, Letnan Satu Wawan Suwandi, dan Prajurit Satu Jufri Uswanas. Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas penyelesaiannya. Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat perlindungan sehingga lolos dari jerat hukum. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM kasus-kasus Freeport tampaknya memang suatu hal yang absurd. Proyek Infrastruktur Freeport Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :
Proyek pertama senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa diperpanjang. Proyek kedua senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw. Tak lama kemudian, Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa. Sementara, proyek ketiga ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%). Proyek keempat yang mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport. Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter. Seluruh proyek-proyek di atas diduga berbau KKN yang dapat berlangsung mulus tanpa kontrol dari lembaga-lembaga negara terkait pada saat itu. Sebagai produk yang diduga berbau KKN, tentu saja Freeport mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun harap dicatat bahwa pada saat yang bersamaan, negara mengalami kerugian yang sangat besar, dan hal ini berpangkal dari kebijakan oknum-oknum Indonesia yang ber-KKN hanya untuk keuntungan pribadi & kelompok yang sedikit. Sekali lagi, KK dengan Freeport harus diperbaiki. Kerusakan Lingkungan akibat Pertambangan Freeport Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, terungkap bahwa bahwa tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport. Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun juka dihitung dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp 31 trilyun. Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah. Hal ini telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing. Dengan beragam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Freeport, mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan lingkungan. Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung jawab Freeport. Aktivitas pertambangan Freeport dinilai telah melanggar UU Kehutanan, yang mengamanatkan, aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan harus dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud adalah yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, aktivitas penambangan tetap dilakukan disebabkan:
Regulasi yang kemudian mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan lindung cukup mengkhawatirkan kelestarian hutan lindung. Hutan tropis merupakan komunitas yang paling banyak menyerap energi matahari yang sangat berpengaruh terhadap iklim bumi melalui evapotranspirasinya. Penambangan Freeport juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, karena penambangan memanfaatkan kawasan lindung, aktivitas penambangan hanya dibolehkan di kawasan budidaya. Pelanggaran terhadap tatanan ruang dapat berdampak pada penurunan kualitas tata ruang yang selanjutnya berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan dan manusia. Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33. Hubungan TNI/Polri dan Freeport Perusahaan tambang raksasa Freeport-McMoRan disinyalir telah memberi uang kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI agar pertambangan mereka di Papua tidak banyak diganggu, baik oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan. Koran The New York Times telah melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengetahui masalah itu. Koran tersebut berhasil mendapatkan laporan perusahaan Freeport yang menunjukkan, pada 1998-2004 perusahaan tambang emas dan tembaga menghabiskan dana US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar untuk personel TNI dan Kepolisian RI. Para penerimanya mulai jenderal hingga kapten. Berdasarkan laporan itu, para komandan mendapat uang puluhan ribu dolar. Bahkan ada yang disebut mendapat US$ 150 ribu (Rp 1,5 miliar). Sejumlah pejabat kepolisian dan militer termasuk mantan Danjen Kopassus, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, disebut-sebut sebagai pihak yang menerima keuntungan dari kerja sama militer, kepolisian dengan Freeport. Hal ini juga diakui oleh Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang mengatakan bahwa TNI pada dasarnya menerima semua bantuan militer. Bantuan militer itu akan diterima, dengan syarat dapat meningkatkan profesionalisme prajurit dan tidak bersifat mengikat. Rekomendasi dan Tuntutan Tambang Freeport adalah bukti salah urus sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industri pertambangan di Tanah Papua. Selama 42 tahun beroperasi, Freeport telah merusak tak hanya pegunungan Grasberg dan Ertsberg, tetapi sudah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa, mencemari perairan di muara sungai dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup dan mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Fakta kerusakan lingkungan akibat penambangan yang dilakukan Freeport ini disadari oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Republika, 23 Maret 2006). Sayangnya, pelanggaran tak ditindaklanjuti secara serius, meski Freeport terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997. Sementara itu, dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia, dan memberikan pendapatan yang tidak sebanding bagi negara. Kesejahteraan penduduk Papua semakin jauh dijangkau. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dilimbah Freeport. Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, bahkan jumlah penderita tertinggi berada di Papua. Kehidupan suku asli Papua pun terganggu eksistensinya, sejak ditandatanganinya KK I, alur hidup suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut. Kerusakan lingkungan sebagai bentuk destruktif aktivitas penambangan mengancam sumber alam bangsa. Freeport masih menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah mengalami pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh Pemerintah bahkan terkesan diabaikan. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua. Untuk menghentikan penjajahan Freeport, menegakkan kedaulatan, memberikan pendapatan negara yang sebanding, menegakkan keadilan bagi penduduk Papua, maka kami menuntut agar pemerintah mengambil berbagai tindakan dan kebijakan strategis, yang antara lain adalah:
Bagi sebagian kalangan di pemerintahan, DPR, pakar, maupun perguruann tinggi, masalah Freeport sudah dianggap selesai. Mereka meyakini bahwa segala sesuatunya sudah tercantum dan disepakati dalam kontrak, dan seluruh ketentuan dalam kontrak tersebut harus dihormati dan dijalankan hingga akhir masa berlakunya pada tahun 2041. Mereka tidak terlalu peduli dengan berbagai kerugian yang diderita oleh negara dan rakyat berupa kehilangan/berkurangnya pendapatan negara, kehilangan kedaulatan, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh penduduk asli Papua. Beragam hal yang merugikan itu harus diakhiri dan dikoreksi. Salah satu hal penting yang menjadi alasan kami adalah bahwa semua kebijakan dan kesepakatan merugikan yang tercantum dalam kontrak berpangkal pada kebijakan dan prilaku KKN pemegang kekuasaan masa lalu dan nafsu menjajah yang diusung oleh investor/negara asing. Menjadi sangat naïf dan layak dinilai tidak berdaulat serta tidak punya harga diri, jika kita sebagai bangsa tetap membiarkan kebijakan dan kontrak yang bermasalah ini berjalan sebagaimana berlaku selama ini, tanpa gugatan dan koreksi. Oleh sebab itu, dengan tulisan ini kami mengajak kita semua, para tokoh, politisi, pakar, akademisi, aktivis, pemuda dan terutama mahasiswa, untuk bersama-sama bangkit menggugat pengelolaan sumber daya alam di Papua ini, agar sesuai dengan amanat konstitusi dan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kontrak karya Freeport yang berlaku saat ini harus dibatalkan dan diganti dengan yang baru sesuai dengan amanat konstitusi, serta melibatkan peran BUMN dan BUMD Papua yang sangat signifikan dalam pengelolaannya.[] |
Freeport McMoRan's Corporate Profile May 19th, 1997 |
"We have a volcano that's been decapitated by nature, and we're mining the esophagus, if you will." Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, headquartered in New Orleans, is one of the world's largest and lowest cost copper and gold producers, from its Grasberg mine in Irian Jaya. In 1996 it was regarded as one of the ten worst corporations by the Multinational Monitormagazine.[2] For the money-minded however, Freeport-McMoRan Copper and Gold was listed as number 628 in the 1997 "Fortune 1000" listing of the biggest US-based corporations. Revenues were up 4% on last year at $1.9 billion with profits of $226 million.[3] The Grasberg concession's worth is estimated at $50 billion -- the single greatest asset of the company and its parent Freeport McMoRan Inc.[4] Traded as FCX on the New York Stock Exchange the money-making operations around and out of Grasberg -- exploring, mining, smelting and marketing -- are actually conducted through FCX's majority-owned subsidiaries, P.T. Freeport Indonesia Company (PT-FI), P.T. IRJA Eastern Minerals Corporation (Eastern Mining) and through Atlantic Copper Holding, S.A. (Atlantic), a wholly owned subsidiary. FCX is itself majority-owned by the parent company Freeport McMoRan Inc (FTX) which spun off its mining operation in 1988 as a public company shortly after Grasberg was discovered.[5] Freeport-McMoRan Inc. (FTX), has other business interests than copper and gold mining. These include a joint venture partnership in IMC-Agrico Company. This is one of the largest fertilizer producers in the world with operations in Florida and Louisiana. FTX also produces phosphate-based animal feed ingredients through IMC-Agrico. Further, FTX is the largest producer of Frasch sulphur worldwide, through majority ownership of a company known as Freeport McMoRan Resource Partners. FRP operate the offshore Louisiana Main Pass sulphur mine and the Culberson mine in West Texas. FTX is also engaged in the exploration, development and production of oil and gas reserves and has substantial oil production at Main Pass from the same geologic formation that holds the deposit's sulphur.[6] The Grasberg Mine's other StockholdersThe operations in Irian Jaya by Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc's subsidiary Freeport Indonesia (PT-FI) involve mineral exploration and development, mining and milling of ore containing copper, gold and silver and the worlwide marketing of concentrates containing these metals. As well as Freeport's 25 percent interest in the joint venture to construct a copper smelter on Java, Eastern Mining conducts mineral exploration activities on land adjacent to the Grasberg concession for them. Both PT-FI and Eastern Mining operate through Contracts of Work with the Government of Indonesia which, at the end of 1996, covered approximately 5 million acres of Irian Jaya. The other subsidiary of Freeport-McMoRan Copper & Gold known as Atlantic (formerly Rio Tinto Minera, S.A.) is engaged in the smelting and refining of copper concentrates from Grasberg in Spain and marketing refined copper products. In October 1996, FCX and The RTZ-CRA Group (RTZ-CRA) concluded exploration and expansion agreements worth $100 million.[7] As a result of this joint-venture and their 12% shareholding, in Freeport-mcMoRan Copper & Gold, RTZ-CRA are now seen to be in a major strategic alliance with Freeport and fuly involved in the ongoing debacle at Grasberg . RTZ-CRA is the world's largest mining company and has been the focus of protest for decades by labor, indigenous and human rights as well as environment groups.[8] PT-Freeport Indonesia's shareholders include the Indonesian Government (10%) as previously discussed. In March 1997 an Indonesian company known as PT Nusamba acquired about 4.5% of PT-Freeport Indonesia, in a bizarre business deal by which the $254 million commercial loans for the purchase were guaranteed by Freeport McMoRan Copper & Gold itself.[9] PT-Nusamba is controlled by prominent businessman Mohamad "Bob" Hasan, a close friend of President Suharto, and Nusamba is a subsidiary of the Nusamba Group, majority owned by foundations chaired by Suharto.[10] This creates a situation where an American business is underwriting operating in Indonesia is underwriting the purchase of some of its stock by the President of Indonesia. As mentioned, in 1996 a joint venture between Mitsubishi (75%) and Freeport McMoRan Copper & Gold(25%) was announced to construct the Gresik smelter to process copper in Romokalisari Village, in Manyar sub-district on Java. The inititation of the project came when the Indonesian Government told Freeport that it had to build a smelter if it wished to extend its mining contract. Due to be finished in 1998, the $710 million smelter plant will produce copper cathode, anode slimes and sulfuric acid.[11] Freeport McMoRan Copper & Gold's Board of Directors include Jim Bob Moffett, who is also Chief Executive Officer and a Director of Freeport McMoRan Inc. Another noteworthy Freeport Board member is former Secretary of State, Henry Kissinger. He is the company's main lobbyist for dealings with Indonesia. Dr Kissinger has had strong connections in Indonesia since he met with President Suharto just prior to the invasion of East Timor, reportedly to provide full American support. His firm receives a yearly retainer fee of $200,000 from Freeport.[12] Kissinger has been director of parent company Freeport McMoran Inc since the late 1980s, and is also a shareholder in both companies. Corporate documents distributed to Freeport shareholders at the company's annual meeting this year showed that Kissinger's alma mater, Harvard University, owns 53,000 shares in Freeport-McMoran, alongside larger Wall Street investors such as Putnam Invetsment Management, Oppenheimer & Co and Scudder, Stevens & Clark. Freeport's political influence does not end with Kissinger. In fact, according to Federal Election Commission documents, Freeport-McMoran gave the Democratic National Committee $40,000 on August 26 of 1996. On September 6, the wives of Freeport's top executives, Chief Financial Officer Richard Adkerson, vice chairman Rene Latiolais, and chief investment offiver Charles Goodyear, wrote checks to the DNC totalling $35,000. Four days later, Jim-Bob Moffett's wife Louise wrote a check to the DNC for $2,500, for a total of $77,500 in donations from sources related to Freeport McMoRan.[13] Image reprinted with permission of the cartoonist, Doug Potter] Jim Bob Moffett was the tenth most highly paid CEO in the U.S. in 1996.[14] Last year Moffett had a compensation package that consisted of $6.956 million in salary and bonuses and another $26.776 million in long-term compensation, for a total of $33.732 million. Then Freeport McMoran Inc. paid Moffett a salary of $180,556 and gave him a bonus of $1.025 million, plus miscellaneous and long-term pay totalling $693,948 and stock options with an estimated current value of $5.375 million. Thus, Moffett's total compensation as a corporate chieftain last year was $41.007 million. "Looking at it another way," reported the Austin Chronicle, "Moffett's pay was nearly three times the total amount that (Freeport) has agreed to pay several thousand Amungme tribal members who have been displaced by the company's mining project in Indonesia."[15] Freeport has received a huge amount of press concerning the company's involvement in the Busang controversy -- a supposedly enormous gold deposit or "motherlode" that turned out to be a hoax. Freeport's partner in the project was to be a Canadian-based mining company named Bre-X Minerals, which originally located the gold deposit in Indonesian Borneo and claimed it could contain up to 200 million ounces of gold worth almost $70 billion at current market prices. Recent testing by an independent consultant have confirmed drilling samples by Freeport-McMoran Copper and Gold at Busang that show the site may contain only a negligible fraction of the gold originally thought to be there. When the news that Busang might not contain as much gold as previously thought was made public in March, Freeport McMoran Copper and Gold and Bre-X stock shares took a beating. Bre-X stock fell to the ground, while Freeport stock shed several points. The Busang controversy was then further compounded by the reported death of Bre-X's chief geologist, Michael de Guzman, from an unexplained fall from a helicopter while in transit to meet Freeport to explain why recent drilling samples were not showing significant amount of gold. Confirmation that he died has yet to be made, and since the whole deposit has been proven to be false, speculation that he was in on the scam has increased. Freeport and the global gold industry may never live it down. A class action has been launched by small time investors who lost their fortune on Bre-X.[16] For more info on Freeport McMoRan -- check out the company's own material. And read --Spinning Gold -- a recent Mother Jones magazine article by Robert Bryce summarising how Freeport has bought out the critics of its Grasberg mine. Notes:
|
Grasberg [Cuplikan Kecil]
Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitarnya. Alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan menjaga alam sekitarnya. Caranya, dengan tidak sembarangan merusak lingkungan hidup.
Jika terjadi perusakan, hal itu sama saja dengan merusak diri mereka sendiri. Besarnya penghargaan terhadap alam diungkapkan dalam bentuk upacara pengucapan syukur atas berkah yang didapat
dari alam dan jika ada ada yang merusak alam terungkap dalam perkataan bijak yang berbunyi:
“Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arop nap
atendak, ib arop nan atendak. Kela arop nap atendak iatong heno! Inak juo onen diamo!”
Artinya: “Anak-anak, mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, dan batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku akan mengawasimu! ”(Beanal, 1997: 9)
Suku Amungme secara tradisional mendiami wilayah hampir sepanjang Pegunungan Jayawijaya dan terbagi dalam 66 klan. Klan-klan itu merupakan bagian dari masyarakat. Klan-klan tersebut terdiri atas Mom dan Magai. Perkawinan di antara mereka hanya bisa terlaksana jika kedua pasangan berasal dari dua klan yang berbeda. Jika pasangan berasal dari klan yang sama, perkawinan tidak bisa terlaksana. Jika terjadi pelanggaran, perkawinan itu akan dikutuk dan akan mendapat sanksi adat berupa hukuman mati yang disebut hanom.
Pada umumnya suku Amungme mendiami lembah-lembah di bagian selatan dan sedikit ke bagian utara Pegunungan Tengah Puncak Jaya. Seluruh lembah itu masuk ke dalam wilayah adat Amungme, yang dalam bahasa Amungkal disebut Amungsa 3.
Di lembah-lembah itulah, anak-anak suku Amungme membangun kehidupan mereka sejak beratus-ratus tahun lalu. Secara garis besar, daerah permukiman suku Amungme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Ninusa. Daerah permukiman yang terletak di kawasan hulu, berada di ketinggian sekitar 3000–3500 m. Daerah itu ditutupi hutan, dan penduduk yang mendiaminya berjumlah sekitar 20 klan yang disebut ninume.
- Utunsa. Daerah permukiman yang terletak di kawasan tengah, berada sekitar 1000–3000 m dpl. Daerah itu bertebing terjal dan berhutan lebat, dihuni oleh 11 klan yang disebut untungme.
- Onisa. Daerah permukiman yang terletak di kawasan hilir, berada sekitar 0–1000 m dpl. Daerah itu merupakan hutan dataran rendah dan perbukitan yang berada di ketinggian 100–1.000 m dpl. Kawasan ini dihuni oleh 25 klan yang disebut ondimangau
Masyarakat Amungme yang bermukim di lembah-lembah tersebut mendapat julukan orang Tsingame (berasal dari lembah Tsinga), Noembame (orang lembah Noemba), dan lain-lain. Secara tradisional, perkampungan orang-orang Amungme biasanya berada pada ketinggian 1.000 hingga 2.000 m dpl. Namun, mereka sering ditemukan di hutan dataran rendah, khususnya pada saat berburu atau bertukar barang dengan suku Kamoro yang tinggal lebih dekat ke pantai. Namun, saat ini permukiman suku Amungme telah bercampur baur dengan suku-suku lainnya akibat program pemukiman kembali yang dilakukan Freeport atau karena kebijakan pemukiman kembali oleh Departemen Transmigrasi.
Jumlah keseluruhan suku Amungme saat ini sekitar 12.000 jiwa yang tersebar di sepuluh lembah. Lembah Tsinga, Noemba, Waa, dan Lembah Wea merupakan lembah-lembah yang didiami khusus oleh suku Amungme. Selain itu, di Lembah Arowa dan Jaa tinggal suku Amungme yang telah berbaur dengan suku Moni. Di Lembah Beoga dan Ilaga, suku Amungme hidup berbaur dengan suku Dani, sedangkan di lembah Mapnduma dan Kupaga, warga Amungme tinggal berbaur dengan suku Nduga. Lembah-lembah tersebut dilalui oleh sungai-sungai yang menjadi sumber kehidupan terpenting mereka, yaitu sungai Aijkwa, Kamoro, Otokwa, Mina Jerui, dan Kopi. Sungai dekat tempat mereka tinggal diberi nama sesuai dengan nama-nama klan asalnya.
Wilayah hunian suku Amungme di sebelah timur dibatasi oleh Gunung Mangsari-Ninggok (Puncak Trikora), sedangkan di sebelah barat dibatasi oleh Gunung Ekaniggok (Nassao), dan Sungai Kamoro. Di sebelah utara dibatasi oleh Puncak Nemangkawi-Niggok (Puncak Jaya) dan Pegunungan Tengah serta di selatan berbatasan dengan wilayah kesatuan hidup suku Kamoro, sampai ke Timika dan Akimuga. Suku-suku yang bertetangga dengan Amungme adalah suku Nduga dan Sempat di sebelah timur (Jigi Mugi), sedangkan di sebelah barat (Delema Tegal) berbatasan dengan Moni dan Kamoro. Di sebelah utara, wilayah hunian suku Amungme berbatasan dengan suku Dani dan Ekari.
Kehidupan sosial-ekonomi suku Amungme saat ini bervariasi tingkatnya, mulai dari berburu, meramu, bercocok tanam secara berpindah-pindah, sampai bertani secara menetap. Selama berabad-abad, mereka telah berhasil mempertahankan hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada.
Pemimpin lokal suku Amungme dipilih berdasarkan kemampuan individual. Kepemilikan komunal atas hutan dan gunung tetap tidak berubah. Begitu pula dengan kepemilikan pribadi (keluarga) atas tanah yang digarap, tetap terus berfungsi. Tanah yang dimiliki secara pribadi dapat disewakan dengan cara bagi hasil atau memberikan kompensasi berupa harta yang dimiliki. Praktik-praktik komunal tetap ada dan hal itu memberikan dampak negatif maupun positif dalam perjuangan suku Amungme pada masa kini, khususnya untuk mengatasi kesulitan sosial-ekonomi.
Pemujaan terhadap roh leluhur tetap dipraktikkan meskipun sebagian besar dari mereka telah beragama Katolik dan Kristen. Agama Katolik dan Kristen merupakan hasil dari praktik zending yang dibawa oleh para misionaris dari Belanda.
Makanan utama orang Amungme adalah petatas, keladi, umbi-umbian, serta sayur-sayuran yang didapat dari hasil bercocok tanam. Kebutuhan akan daging mereka dapatkan dari hasil berburu atau beternak babi. Kegiatan bercocok tanam dan berburu tersebut mereka lakukan di lembah-lembah dan lereng-lereng pegunungan. Suku Amunge mengolah makanannya secara tradisional, yaitu dilakukan dengan mempergunakan batu yang sudah dibakar terlebih dahulu atau makanan dibakar di atas tumpukan kayu bakar.
Dari keseluruhan kehidupan sosial Amungme tersebut, pesta adat memainkan peran penting, yaitu sebagai penyeimbang antara kehidupan religius dan sosial serta demi keharmonisan hubungan antara alam dan manusia dan antara manusia dan leluhurnya.
Hak ulayat bagi suku Amungme meliputi Pegunungan Tengah Puncak Jaya (Nemangkawi Niggok) di sebelah timur dan Puncak Trikora (Mangari Sawari Niggok) di sebelah barat. Hak ulayat itu terwujud dalam bentuk kehidupan pedusunan warisan leluhur. Dalam kehidupan sehari-hari, hak ulayat mengandung nilai ekonomi, sosial, dan juga religi.
Seluruh aktivitas kehidupan suku Amungme dilalui dengan merambah hutan di sekeliling kampung dengan keterampilan yang diajarkan secara tradisional. Namun, mereka melakukan itu dengan memegang teguh nilai-nilai untuk tidak merusak hutan. Mereka diajarkan agar menjaga hutan dengan baik.
Suku Amungme menyakralkan dua gunung yang ditutupi salju abadi, yang menjulang di ketinggian antara 3.000 m sampai lebih dari 4.000 m di atas permukaan laut. Kedua puncak ini disebut suku Amungme sebagai bugara (puncak utama). Puncak utama ini dalam mitologi suku Amungme merupakan lambang kekuatan, kebanggaan, dan kedamaian. Dengan demikian, 18 daerah itu dipandang suci dan keramat, atau merupakan wilayah spirit of life-nya suku Amungme.
Wilayah itu tidak dihuni karena merupakan daerah suci. Suku Amungme mendirikan kampung-kampung permukiman di lembah-lembah tempat aliran air yang menjadi sumber kehidupan. Daerah yang dialiri sungai seperti itu merupakan daerah subur, dan dengan sendirinya bisa menyangga kebutuhan pangan dan sekaligus tempat bercocok tanam masyarakat Amungme. Wilayah hunian ini disebut Me Namorin. Lebih ke selatan dari Me Namorin disebut sebagai Steboandi, yaitu dataran rendah yang merupakan lahan perburuan dan ladang bagi suku Amungme.
Steboandi kaya akan berbagai ragam binatang buruan dan tanahnya subur. Namun demikian, daerah ini tidak menjadi tempat hunian karena dinilai sebagai sarang penyakit dan roh-roh jahat. Ironisnya, dalam areal penuh penyakit itulah kota Timika berada. Timika lalu dijadikan tempat permukiman suku Amungme setelah mereka tergusur dari lembah-lembah asal mereka akibat operasi pertambangan Freeport .
Namun, akhir-akhir ini mereka yang dipindahkan ke Timika, banyak kembali ke tempat asal mereka di lereng-lereng, lembah-lembah, dan dataran-dataran tinggi tinggi sekitar Timika.
Suku Amungme mengenal dunia modern sejalan dengan datangnya misi dan zending yang menyebarkan agama Kristen. Bersamaan dengan kedatangan misi ini, suku Amungme mulai
mengecap dunia pendidikan. Sampai saat ini, pendidikan mereka bisa dikatakan masih sangat memprihatinkan, meskipun ada di antara mereka yang telah memasuki perguruan tinggi. Saat ini lebih dari 80% warga suku Amunge masih buta huruf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar