Jalur
Gaza masih menjadi ajang kebiadaban dan kegilaan rezim Zionis Israel.
Perempuan, anak-anak dan warga sipil di Gaza terus menjadi korban
arogansi dan mesin-mesin perang Israel. Departemen Kesehatan Palestina
menyatakan, sejak dimulainya serangan sadis Israel ke Gaza, lebih dari
1700 warga Palestina gugur syahid dan 9000 lainnya cidera.
Timur Tengah |
04-08-2014 | |
Kejahatan di Jalur Gaza dan Kebungkaman Negara-negara Arab | |
UNICEF
mengumumkan bahwa korban di pihak anak-anak Gaza mencapai 296 orang.
Pembantaian warga tak berdosa di Gaza terjadi di saat negara-negara Arab
yang menganggap Palestina bagian dari Dunia Arab, memilih bungkam
menyaksikan kondisi kawasan terisolir ini.
Tak diragukan lagi bahwa sikap pasif para pemimpin dan raja negara-negara Arab telah membuka peluang lebar-lebar bagi Israel untuk melanjutkan brutalitasnya terhadap warga Palestina. Faisal al-Shaya, salah satu anggota parlemen Kuwait dengan transparan mengisyaratkan masalah ini dan mengatakan, pembantaian sadis di Jalur Gaza, perusakan rumah warga Palestina dan pembantaian massal perempuan serta anak-anak tak berdosa di Gaza akibat dari kebungkaman serta sikap pasif negara-negara Arab saat ini. Namun dibalik kebungkaman pemerintah Arab yang juga dapat juga dikategorikan sebagai sikap dan dukungan mereka terhadap rezim Zionis Israel dan yang menyebabkan berlanjutnya kejahatan Tel Aviv di Gaza adalah sikap pasif masyarakat internasional. Sampai saat ini belum dirilis satu buah resolusi anti Zionis. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Dewan Keamanan hanya bungkam menyaksikan peristiwa berdarah di Gaza dan hal ini membuka peluang bagi rezim penjajah untuk melakukan kejahatan di wilayah terisolir ini. Pembantaian massal anak-anak yang tengah bermain di jalan-jalan, serangan ke sekolah dasar, universitas serta rumah sakit merupakan bukti nyata kejahatan perang yang terjadi di Gaza. Namun PBB dan Dewan Keamanan masih saja menutup mata mereka terhadap peristiwa dan sejarah pahit umat manusia ini. Yang paling menyedihkan adalah di sela-sela kejahatan anti kemanusiaan di kawasan kecil dan terisolir Gaza, pemerintah Barat masih tetap melanjutkan bantuan senjata kepada mesin-mesin perang Israel. Senjata inkonvensional yang ditembakkan ke Gaza selama 27 hari lalu seluruhnya buatan Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Barat lain. Dukungan finansial dan senjata Barat terhadap Israel terus berlanjut di tengah-tengah protes opini publik dunia terhadap kejahatan rezim Tel Aviv di Gaza dan membuat Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dengan berani mengatakan, "Agresi ke Jalur Gaza akan terus berlanjut." Sikap ini dapat dicermati sebagai hasil dari kebijakan dualisme masyarakat internasional terkait kejahatan kemanusiaan di Gaza serta ideologi radikal sejumlah Zionis garis keras terkait pembantaian massal bangsa Palestina. Zionis radikal yang bertepuk tangan dan bersuit menyaksikan pembantaian anak-anak dan perempuan di Jalur Gaza merupakan peristiwa menyedihkan dan patut ditangisi matinya sifat manusiawi di dunia. Dominique de Villepin, mantan perdana menteri dan menteri luar negeri Perancis dalam sebuah artikelnya meminta Paris mengakui telah mendanai pembantaian massal di Gaza oleh Israel, juga menilai apa yang terjadi terhadap bangsa Palestina tak berbeda dengan terorisme terorganisir rezim Zionis Israel. Kini muncul pertanyaan, apakah masyarakat internasional tidak memiliki undang-undang dalam menyikapi terorisme terorganisir sebuah rezim penjajah yang memaksa sebuah bangsa menjadi pengungsi dan setelah lebih dari enam dekade pendudukan masih tetap melakukan pembantaian massal? Mungkin hukum internasional termutilasi oleh kepentingan politik Barat dan pengaruh lobi Zionis dunia. Kini masyarakat dunia di Gaza hanya diam menyaksikan perang dan pembantaian terhadap sebuah bangsa yang tidak memiliki senjata untuk membela diri kecuali air mata. Ini merupakan bukti bahwa perang di Gaza adalah perang yang tidak seimbang Ada Timbunan Senjata AS di Israel
Gambar arsip 'bunker buster' dari NPR
Seandainya Israel kehabisan amunisi, negeri itu dapat menggunakan timbunan senjata Amerika bernilai hampir satu miliar dolar yang disimpan di sana oleh Amerika Serikat untuk keadaan darurat. Sejauh ini, Israel belum meminta akses ke timbunan itu -- meski sedang bertikai dengan Hamas di Gaza. Timbunan yang tidak terlalu diketahui orang banyak ini secara resmi dikenal sebagai War Reserve Stockpile Ammunition-Israel (WRSA-I) dan dijaga di Israel sejak tahun 1990-an oleh Komando Militer AS untuk Eropa (United States European Command). Program penimbunan itu disetujui oleh kongres dan cakupannya telah meluas dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja tempat penimbunan dan jenis serta jumlah amunisi yang disimpan itu dirahasiakan. Namun demikian, laporan bulan April oleh Congressional Research Service menyebutkan "Amerika Serikat menyimpan rudal, kendaraan lapis baja dan amunisi artileri" dalam timbunan itu. Demikianlah laporan yang dilansir Liputan6.com dari ABC News (15/07/2014). Seorang pejabat pertahanan Amerika Serikat mengatakan bahwa "program ini mencakup timbunan amunisi yang dimiliki dan diatur oleh Amerika Serikat di Israel untuk pemakaian oleh pasukan AS maupun Israel." Walaupun senjata-senjata dalam timbunan ini milik AS, pada hakekatnya senjata-senjata itu diperuntukkan bagi penggunaan oleh Israel kalau diminta ketika Israel kehabisan amunisi tertentu dalam keadaan darurat. Pejabat itu mengatakan bahwa Israel belum meminta penggunaan amunisi yang disimpan dalam timbunan ini sebagaimana yang dilakukan Israel dalam perang tahun 2006 melawan Hisbullah. Ukuran dan cakupan persenjataan ini telah bertambah sejak pertama kalinya diadakan pada tahun 1990-an. Pada awalnya, amunisi yang ada hanya senilai US$100 juta, tapi pada tahun 2010 Kongres menyetujui tambahan amunisi senilai US$800 juta. Pejabat pertahanan itu mengatakan bahwa jumlah amunisi dalam timbunan itu sekarang bernilai US$1 miliar. Akses Israel ke amunisi AS itu bisa dilakukan dalam waktu yang cukup singkat setelah ada persetujuan presiden. "Jika presiden memberi wewenang pemberian kepada Israel, kasus Penjualan pada Militer Asing (FMS) 'darurat' diproses oleh Departemen Pertahanan (DoD) AS dan amunisi itu bsia dijual kepada Israel," kata pejabat itu. Penggunaan timbunan dalam hal keadaan darurat "didefinisikan dan disetujui oleh presiden," kata pejabat itu. Pemindahan peluru ke dalam kendali Israel "dapat berlangsung hanya dalam beberapa jam setelah persetujuan presiden." Laporan Congressional Research Service mengatakan bahwa "pemerintah Israel menanggung hingga 90% biaya pengangkutan, penyimpanan dan pemeliharaan yang berhubungan dengan program WRSA-I ini." (Ein)
Ada Timbunan Senjata AS di Israel
Gambar arsip 'bunker buster' dari
NPR
Liputan6.com,
Yerusalem Dengan begitu seringnya pertikaian
bersenjata antara Israel dengan tetangga-tetangganya, tidak terbayangkan betapa
banyak senjata dan amunisi yang terpakai untuk keperluan itu. Ternyata, ada
cadangan senjata dan amunisi dalam jumlah besar yang tersedia di negeri zionis.
Seandainya
Israel kehabisan amunisi, negeri itu dapat menggunakan timbunan senjata Amerika
bernilai hampir satu miliar dolar yang disimpan di sana oleh Amerika Serikat
untuk keadaan darurat. Sejauh ini, Israel belum meminta akses ke timbunan itu
-- meski sedang bertikai dengan Hamas di Gaza.
Timbunan
yang tidak terlalu diketahui orang banyak ini secara resmi dikenal sebagai War
Reserve Stockpile Ammunition-Israel (WRSA-I) dan dijaga di Israel sejak tahun
1990-an oleh Komando Militer AS untuk Eropa (United States European Command).
Program penimbunan itu disetujui oleh kongres dan cakupannya telah meluas dalam
beberapa tahun belakangan ini.
Tentu
saja tempat penimbunan dan jenis serta jumlah amunisi yang disimpan itu dirahasiakan.
Namun demikian, laporan bulan April oleh Congressional Research Service
menyebutkan "Amerika Serikat menyimpan rudal, kendaraan lapis baja dan
amunisi artileri" dalam timbunan itu. Demikianlah laporan yang dilansir Liputan6.com
dari ABC News (15/07/2014).
Ada Timbunan Senjata AS di Israel
Gambar arsip 'bunker buster' dari NPR
Seandainya Israel kehabisan amunisi, negeri itu dapat menggunakan timbunan senjata Amerika bernilai hampir satu miliar dolar yang disimpan di sana oleh Amerika Serikat untuk keadaan darurat. Sejauh ini, Israel belum meminta akses ke timbunan itu -- meski sedang bertikai dengan Hamas di Gaza. Timbunan yang tidak terlalu diketahui orang banyak ini secara resmi dikenal sebagai War Reserve Stockpile Ammunition-Israel (WRSA-I) dan dijaga di Israel sejak tahun 1990-an oleh Komando Militer AS untuk Eropa (United States European Command). Program penimbunan itu disetujui oleh kongres dan cakupannya telah meluas dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja tempat penimbunan dan jenis serta jumlah amunisi yang disimpan itu dirahasiakan. Namun demikian, laporan bulan April oleh Congressional Research Service menyebutkan "Amerika Serikat menyimpan rudal, kendaraan lapis baja dan amunisi artileri" dalam timbunan itu. Demikianlah laporan yang dilansir Liputan6.com dari ABC News (15/07/2014). Seorang pejabat pertahanan Amerika Serikat mengatakan bahwa "program ini mencakup timbunan amunisi yang dimiliki dan diatur oleh Amerika Serikat di Israel untuk pemakaian oleh pasukan AS maupun Israel." Walaupun senjata-senjata dalam timbunan ini milik AS, pada hakekatnya senjata-senjata itu diperuntukkan bagi penggunaan oleh Israel kalau diminta ketika Israel kehabisan amunisi tertentu dalam keadaan darurat. Pejabat itu mengatakan bahwa Israel belum meminta penggunaan amunisi yang disimpan dalam timbunan ini sebagaimana yang dilakukan Israel dalam perang tahun 2006 melawan Hisbullah. Ukuran dan cakupan persenjataan ini telah bertambah sejak pertama kalinya diadakan pada tahun 1990-an. Pada awalnya, amunisi yang ada hanya senilai US$100 juta, tapi pada tahun 2010 Kongres menyetujui tambahan amunisi senilai US$800 juta. Pejabat pertahanan itu mengatakan bahwa jumlah amunisi dalam timbunan itu sekarang bernilai US$1 miliar. Akses Israel ke amunisi AS itu bisa dilakukan dalam waktu yang cukup singkat setelah ada persetujuan presiden. "Jika presiden memberi wewenang pemberian kepada Israel, kasus Penjualan pada Militer Asing (FMS) 'darurat' diproses oleh Departemen Pertahanan (DoD) AS dan amunisi itu bsia dijual kepada Israel," kata pejabat itu. Penggunaan timbunan dalam hal keadaan darurat "didefinisikan dan disetujui oleh presiden," kata pejabat itu. Pemindahan peluru ke dalam kendali Israel "dapat berlangsung hanya dalam beberapa jam setelah persetujuan presiden." Laporan Congressional Research Service mengatakan bahwa "pemerintah Israel menanggung hingga 90% biaya pengangkutan, penyimpanan dan pemeliharaan yang berhubungan dengan program WRSA-I ini." (Ein) Ada Timbunan Senjata AS di Israel
Gambar arsip 'bunker buster' dari NPR
Seandainya Israel kehabisan amunisi, negeri itu dapat menggunakan timbunan senjata Amerika bernilai hampir satu miliar dolar yang disimpan di sana oleh Amerika Serikat untuk keadaan darurat. Sejauh ini, Israel belum meminta akses ke timbunan itu -- meski sedang bertikai dengan Hamas di Gaza. Timbunan yang tidak terlalu diketahui orang banyak ini secara resmi dikenal sebagai War Reserve Stockpile Ammunition-Israel (WRSA-I) dan dijaga di Israel sejak tahun 1990-an oleh Komando Militer AS untuk Eropa (United States European Command). Program penimbunan itu disetujui oleh kongres dan cakupannya telah meluas dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja tempat penimbunan dan jenis serta jumlah amunisi yang disimpan itu dirahasiakan. Namun demikian, laporan bulan April oleh Congressional Research Service menyebutkan "Amerika Serikat menyimpan rudal, kendaraan lapis baja dan amunisi artileri" dalam timbunan itu. Demikianlah laporan yang dilansir Liputan6.com dari ABC News (15/07/2014). Seorang pejabat pertahanan Amerika Serikat mengatakan bahwa "program ini mencakup timbunan amunisi yang dimiliki dan diatur oleh Amerika Serikat di Israel untuk pemakaian oleh pasukan AS maupun Israel." Walaupun senjata-senjata dalam timbunan ini milik AS, pada hakekatnya senjata-senjata itu diperuntukkan bagi penggunaan oleh Israel kalau diminta ketika Israel kehabisan amunisi tertentu dalam keadaan darurat. Pejabat itu mengatakan bahwa Israel belum meminta penggunaan amunisi yang disimpan dalam timbunan ini sebagaimana yang dilakukan Israel dalam perang tahun 2006 melawan Hisbullah. Ukuran dan cakupan persenjataan ini telah bertambah sejak pertama kalinya diadakan pada tahun 1990-an. Pada awalnya, amunisi yang ada hanya senilai US$100 juta, tapi pada tahun 2010 Kongres menyetujui tambahan amunisi senilai US$800 juta. Pejabat pertahanan itu mengatakan bahwa jumlah amunisi dalam timbunan itu sekarang bernilai US$1 miliar. Akses Israel ke amunisi AS itu bisa dilakukan dalam waktu yang cukup singkat setelah ada persetujuan presiden. "Jika presiden memberi wewenang pemberian kepada Israel, kasus Penjualan pada Militer Asing (FMS) 'darurat' diproses oleh Departemen Pertahanan (DoD) AS dan amunisi itu bsia dijual kepada Israel," kata pejabat itu. Penggunaan timbunan dalam hal keadaan darurat "didefinisikan dan disetujui oleh presiden," kata pejabat itu. Pemindahan peluru ke dalam kendali Israel "dapat berlangsung hanya dalam beberapa jam setelah persetujuan presiden." Laporan Congressional Research Service mengatakan bahwa "pemerintah Israel menanggung hingga 90% biaya pengangkutan, penyimpanan dan pemeliharaan yang berhubungan dengan program WRSA-I ini." (Ein) Menteri Zionis: Kami Rugi Besar Dalam Pertempuran Di Gaza
Zionist Israel (foto : infopalestina)
Nazaret-Pusat Informasi Palestina:
http://gazanews.wordpress.com/
Menteri
Pariwisata zionis, Uzi Landau mengakui kegagalan militernya merealisir
tujuan agresi. Ia menyatakan, kami mengalami kerugian besar, dan
kekalahan strategi menghadapi pihak perlawanan di Gaza.
Seperti dirilis harian Yediot Aharonot zionis, Ahad (3/8) Landau
menyatakan, militer Israel secara dramatis tak berdaya, selama 26 hari
melakukan gempuran udara, darat dan laut tak mampu mengalahkan Hamas.
Ia menambahkan, Israel ragu dan menganggap enteng Hamas, hal ini
membawa dampak buruk bagi kekuatan militer Israel, karena itu Presiden
Amerika Barak Obama, harus mengevaluasi hasil ini, dan tak boleh
memberikan kesempatan untuk berunding dengan teroris, ungkapnya.
(qm/infopalestina.com)
Jalur Gaza, Kamp Konsentrasi Terbesar di Dunia
Jalur Gaza, Beritaempat.com – http://www.beritaempat.com/internasional/jalur-gaza-kamp-konsentrasi-terbesar-di-dunia/
Warga Palestina di
Jalur Gaza dan wilayah lainnya di Kawasan Pendudukan telah hidup di
Kamp Konsentrasi Terbesar selama beberapa dekade. Setiap harapan untuk
berdamai dengan Israel langsung sirna karena pemerintah zionis yahudi
itu telah menguasai seninya menunda-nunda dan membuyarkan setiap upaya
untuk menegakkan arti perdamaian yang sesungguhnya.
Mengapa Israel harus berdamai? Mereka memiliki kekuasaan juga
kekuatan. Setiap detik secara ilegal negara laknatullah itu mencaplok
jengkal demi jengkal tanah Palestina dan berhasil lolos dengan tipu daya
mereka, dan jika ada sedikit saja indikasi perlawanan dari warga
Palestina, mereka langsung mengerahkan jet-jet tempurnya, membom mereka
dan menghapus para pembangkang dari wajah peta dunia.
Itulah gambaran tragedi di Jalur Gaza. Aksi pembantaian yang
dilakukan oleh pasukan zionis yahudi Israel dihadapan masyarakat dunia
justru hanya jadi tontonan, dan semua orang hanya bisa menyaksikan tanpa
daya, wanita dan anak-anak secara brutal dibunuh, dibantai, satu
genosida yang ditayangkan langsung di televisi, sementara para penonton
tv di Israel dan para pendukungnya mengelu-elukan pasukan pembunuh
massal itu.
Propaganda Israel adalah para pejuang Palestina menembakkan roket ke
wilayah warga sipil dan hingga kini belum ada pihak yang bisa
mendokumentasikan kefaktualannya. Roekt betul ditembakkan para pejuang
Palestina, namun sasarannya adalah pangkalan militer Israeli, markas
penyerangan pembantaian warga di Jalur Gaza.
Tetapi seperti kecap nomor satu, propaganda Israel itu laris dan
diterima pihak barat bahkan masyarakat dunia, mungkin untuk menyelimuti
mata mereka dari kengerian yang dihujankan pada warga sipil tak
bersalah, termasuk wanita dan anak-anak, yang merupakan korban terbanyak
diantara mereka yang tewas dibantai. Mungkin pemimpin laknatullah itu
mencari cara untuk meringankan hati nurani mereka bahwa betul adalah
satu keharusan untuk membunuh mereka warga Palestina yang tidak bersalah
dan tidak berdaya menggunakan berbagai cara dengan dalih menegakkan
‘perdamaian dunia’.
Cukup dimengerti, media barat seperti the New York Times, BBC dan CNN
antara lain mencari cara untuk menutupi kejahatan sesungguhnya yang
dilakukan pasukan zionis yahudi dalam invasi darat, yang nyata-nyata
menyasar warga sipil dengan menyamarkan agresi keji Israel itu sebagai
pertempuran kecil-kecilan yang dilaporkan sebagai tambahan dari berita
lainnya yang dianggap lebih penting.
Lembaga media tersebut sudah lama sebenarnya kehilangan rasa
netralitas bahkan etika jurnalistiknya setiap kali melaporkan agresi
Israel yang seimbang. Banyak diantara pejabat top atau staf media itu
merupakan simpatisan zionis yahudi, karena itu bisa diterima bahwa anda
tidak akan mendengar atau membacanya dengan betul apa yang mereka
laporkan.
Tetapi berapa banyak media yang berani menerbitkan bahwa Israel
dengan senjata lengkap yang diberikan pihak barat terutama Amerika
Serikat tekah menduduki secara militer Jalur Gaza sejak tahun 1967.
Selama 47 tahun yang panjang, pendudukan itu tetap menjadi yang
terpanjang, paling berdarah dan paling brutal dalam sejarah manusia,
bahkan dibandingkan yang katanya kekejaman Hitler sekali pun. Hingga
saat ini, dalam tujuh tahun terakhir pasukan zionis yahudi Israel telah
membunuh 2,500 warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
Satu tim pencari fakta kembali dengan hasil yang mengerikan setelah
perjalanan mereka di wilayah Gaza tahun lalu. Mereka menyalahkan Israel
sebagai diktator paling brutal. Mereka mendakwa bahwa Israel, dengan
pendukung utama Amerika Serikat, telah melakukan “pengepungan brutal di
Jalur Gaza sejak tahun 2007. Zionis Israel itu telah menutup wilayah
udara, darat bahkan akses air dari Jalur Gaza. Tidak ada yang bisa
masuk, tidak ada yang bisa keluar. Sepanggal tanah di Jalur Gaza yang
merupakan rumah bagi sekitar 1.7 juta orang”. Karena dibuat seperti
kerangkeng, tim pencari fakta itu pun menggambarkan wilayah itu sebagai
penjara terbuka terbesar di dunia”.
Blokade selama tujuh tahun itu telah melumpuhkan ekonomi warga Gaza,
menghancurkan infrastruktur yang ada dan telah memutus akses bagi
sejumlah kebutuhan paling dasar yang diperlukan untuk hidup dengan layak
dan sehat. Tujuan zionis yahudi dengan pengepungan ini adalah
menggiring warga di Jalur Gaza ke posisi tanpa harapan, dan keputus
asaan dan mengelakkan mereka bahkan dari segala macam kebutuhan paling
dasar, yang tampaknya telah sukses dilakukan pasukan laknatullah
tersebut.
Namun apakah surat kabar paling bergengsi di dunia seperti the New
York Times melaporkan siksaan semacam itu yang dialami di bawah opresi
Israel ? Anda bisa mengatakan tentu saja tidak.
Tim pencari fakta itu juga menemukan bahwa “Angkatan Bersenjata
Israel secara rutin melancarkan penyerbuan ke Jalur Gaza untuk
menghancurkan lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai ‘zona
terlarang.’ Tank-tank Israel, bulldozer dan jeep-jeep militer mereka,
dikawal dengan helikopter dan drone, secara sistematis menghancurkan
kebun-kebun buah dan lahan pertanian milik warga Palestina di Jalur
Gaza. Infrastruktur warga sipil di wilayah ini juga tidak luput dibumi
hanguskan; termasuk ratusan rumah, sumur-sumur, peternakan ayam – masjid
dan sekolah juga masuk agenda penghancuran zionis Israel”. Apakah BBC
telah melaporkan pelanggaran hak azasi manusia itu secara terang-terangan ?
Pekan lalu, seorang tokoh akademisi terkemuka di Israel mengusulkan
agar pasukan Israel memperkosa semua wanita dan gadis-gadis Palestina
saat mereka masuk ke Jalur Gaza. Tujuannya ? Mematahkan tulang punggung
perlawanan! Apakah ide mengerikan seperti Nazi itu yang diusulkan Israel
tayang di berita utama CNN ? Ironisnya adalah tokoh-tokoh Israel juga
yang berusaha meyakinkan dunia akan ancaman nuklir Iran. Warga di Jalur
Gaza sudah memiliki pemikiran yang realistis dan menyadari siapa musuh
yang sebenarnya, dan itu bukan negara empat huruf.
Keunggulan militer Israel bisa jadi mencetak beberapa kemenangan di
medan perang menghadapi warga Gaza yang tak berdaya dan tak mempunyai
senjata. namun apakah upaya para zionis yahudi Israel itu akan
memberikan perdamaian dan bisa diterima ? Pastinya tidak, apalagi semaki
banyak yang berpaling karena aksi pembantaian dan kebrutalan mereka. Di lain pihak, api perlawanan tetap membara.(gn)
Gaza’s doctors: The other face of the Resistance
For 29 days, doctors in Gaza have been working amid blood and
body parts. As hundreds of people suffering serious injuries continue to
stream in, they are unfortunately forced to give priority only to those
they can save. In the meantime, janitors working by their side have not
stopped rinsing the blood away.
Gaza – Dr. Nidal Ahmed has just finished operating on one of
the victims of Israel’s war on the Gaza Strip. Taking his gloves off, he
wiped the sweat dripping off of his forehead and took a deep breath. He
is exhausted. In half an hour, he is scheduled to re-enter the
operating room to perform a surgery on a patient who lost one of his
limbs.
For about 20 days, Dr. Ahmed – who is in his mid 30s – has been working as a surgeon in the Kamal Adwan Hospital in northern Gaza. What makes him persevere, he said, is “the humanitarian mission he is performing, which is no less important than that of the fighters on the battlefield.”
A large number of physicians, especially those affiliated with the
former Hamas government, have not been paid their salaries for four
months. Nevertheless, they are still doing their job just like the rest
of the doctors who have been paid by the national consensus government
b
Ahmed sipped a cup of coffee and held a cigarette in his hand as he
stood in front of a window overlooking the gate of the only hospital in
the area. He has not seen his family in more than 10 days and has not
slept in many hours. He decided to have coffee instead of food since he
lost his appetite because of the harrowing scenes of the martyrs and the
wounded arriving in droves.
Less than five minutes into his break, two ambulances arrived at the
Kamal Adwan Hospital carrying people who had been injured in the Abraj
al-Sheikh Zayed area north of the Jabalya refugee camp. With his
stethoscope dangling around his neck, he rushed forward to check on the
condition of the wounded.
Most of the doctors in Gaza have not been able to see their families
during the war that has lasted for more than 29 days, resulting in over
1,850 martyrs and close to 9,000 injured persons. Some of them even
exchanged their Eid al-Fitr wishes with their families over the phone.
The spokesperson for the Health Ministry in Gaza, Dr. Ashraf
al-Qudra, took advantage of the temporary truce announced on Friday
morning to rush from al-Shifa Hospital in central Gaza where he works to
Khan Younis in southern Gaza to check on his wife and four children.
Qudra, who holds a degree in alternative medicine from Pakistan, said
this was the second time he sees his family since the start of the war.
Nevertheless, he cut his visit short because Israel violated the truce
and resumed bombing in the southern province. Qudra, like many others,
rushed back to al-Shifa Hospital in his white coat. His phone did not
stop ringing as local and international media outlets were calling him
repeatedly to know the number of the martyrs and the wounded that fell
as a result of the bombing.
As the Health Ministry spokesperson, he talked about the immense
difficulties they are facing because most of the hospitals and emergency
centers in Gaza have been targeted. This has become a major concern for
physicians in general and the medical staff in al-Shifa Hospital
particularly. They cannot keep up with the number of the wounded who
keep arriving around the clock. It is more than they can handle.
Qudra said the doctors are suffering tremendously, “especially those
who lost loved ones and whose houses were destroyed while they were
working.” He pointed out that many physicians would break their fast
with a sip of water inside the operating room during Ramadan. “Some of
them did not have enough time to change their blood-soaked clothes
before sitting down to eat their meals,” he added. There are even
stories of doctors whose dead or injured relatives, sometimes their own
children, arrived at the hospitals where they work unbeknownst to them.
As to the question of dealing with thousands of cases that exceed the
capacity of medical centers, Qudra pointed out that there are huge
shortages in the number of hospital beds and a large number of wounded
people were being treated on hospital floors. He added: “Some patients
could not spend the needed duration of treatment inside a hospital. They
had to be discharged in order to accommodate hundreds of incoming
cases.”
Mohammed Abu Arab, a Palestinian physician living in Norway, came to Gaza with a number of other doctors to help after the war broke out. He said the priority in treating the injured is given to those who can be saved. Abu Arab explains: “We faced tough choices. We were forced sometimes not to treat cases that could not be saved or were unlikely to survive in order to save people who are more likely to make it.”
He told Al-Akhbar that doctors make their decisions based on
the kind of injury and how serious it is. “They spare no effort to treat
cases where the hope of recovery is high.”
He said the cases that affected him the most and caused him a great
deal of pain were those of children, “especially those with amputated
limbs.” He pointed out that a quarter of the martyrs in the Gaza Strip
are children “which contradicts Israeli claims of striking terrorist
forces.”
It should be noted that the war has claimed the lives of more than 10
medical workers in Gaza. Furthermore, about 13 hospitals were targeted
and nine ambulances destroyed. According to the Health Ministry’s
statistics, the Israeli war led to the closure of 27 medical centers in
different areas of the Gaza Strip while health facilities are
experiencing severe shortages in equipment and medications.
It is not an exaggeration to say that doctors cannot find even a
little bit of time to be interviewed. In a short visit to al-Shifa
Hospital, they appear hard at work as though in a beehive, especially in
the reception area where the injured are registered and transferred to
beds in order to be treated as physicians’ outfits get soaked with
blood.
Janitors too do not have a chance to take a breath. They work around
the clock to wash the blood off of hospital floors and sterilize
anything it is needed. They are having to spray air freshener in
mortuary refrigerators to get rid of the stench of decomposing bodies
pulled from under the rubble.
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
Washington Post: Prajurit Hamas Adalah Pasukan Paling Profesional Dan Berbahaya Di Dunia
Salah satu surat kabar Amerika Serikat menyebut Brigade al Qassam
sebagai pasukan paling profesional dan berbahaya di dunia, seperti
ditulis oleh wartawan militer dalam salah satu artikel berita di surat
kabar Washington Post.
Brigade Al-Qassam juga sukses memproduksi pesawat drone yang diberi
nama Ababil. Drone-drone Brigade Al-Qassam terdiri dari tiga tipe yang
mampu memerankan fungsi mata-mata, serangan bom dan serangan “bunuh
diri”
Seperti dikutip dari N Post dari sebuah artikel yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab menyatakan “ selain milisi Hizbullah Lebanon yang memiliki kekuatan yang berbahaya di dunia ini, Hamas sebagai faksi perjuangan terbesar di Jalur Gaza berkembang sangat cepat pasca terjadinya agresi Israel (pertempuran Al-Furqan) pada tahun 2008 lalu.”
Dalam artikelnya, N Post menyebut bahwa Hamas memiliki persenjataan
yang sangat baik dan para pejuangnya memiliki tingkat profesional yang
tinggi dalam berbagai kondisi medan pertempuran dan mahir menggunakan
berbagai persenjataan.
Brigade Asy-Syahid Izzuddin Al-Qassam, sayap militer kelompok pejuang
Hamas, pada hari ke-28 pertempuran “daun-daun yang dimakan ulat”, Ahad
(3/8/2014) mengungkapkan salah satu kejutan produk industrinya. Senjata
sniper “Ghaul” produk para insinyur teknik Brigade Al-Qassam secara
resmi diungkap ke publik pada Ahad malam.
Dalam pernyataan militernya melalui situs resminya, Brigade Al-Qassam
menyatakan mujahidin mereka berhasil memproduksi senjata sniper kaliber
14,5 mm dengan efektifitas membunuh sampai jarak 2 kilometer.
Brigade Al-Qassam memberi nama “Ghaul” untuk senjata sniper mereka,
sebagai bentuk penghargaan terhadap salah seorang komandan Brigade
Al-Qassam dan insinyut tekniknya, Asy-Syahid Adnan Ghaul yang dibunuh
oleh penjajah “Israel” pada tahun 2004.
Di tengah embargo total sejak tujuh tahun terakhir dan di tengah
keterbatasan sarana, kemampuan Brigade Al-Qassam memproduksi senjata
sniper secara mandiri merupakan pukulan telak bagi penjajah “Israel”.
Sebelumnya Brigade Al-Qassam telah sukses memproduksi roket-roket
jarak jauh jenis J 80, R 160 dan M 75 yang mampu menjangkau kota-kota
“Israel” yang berjarak 140 kilometer utara Jalur Gaza.
Artikel tersebut menyatakan bahwa perang-perang seperti ini adalah
tempat pelatihan kelas pertama bagi para pejuang untuk mengembangkan
taktik secara praktis dan manuver mereka di daerah perkotaan, sama
seperti yang terjadi di Suriah.
Diakhir tulisannya, N Post menyebut bahwa apa yang terjadi di Gaza,
Suriah dan Irak merupakan peringatan bagi siapa saja yang menyerukan
kembalinya pasukan Amerika ke wilayah tersebut, ditengah berkembangnya
kemampuan para pejuang dan kelompok milisi di Timur Tengah. Dan Israel
tengah merasakannya saat ini. (Rassd/Ram)
http://www.beritaempat.com/wp-content/cache/dccfd3d9d4523b28b41ec8d2d5e498e7.jpg
|
Hankam | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar