Baghdad, LiputanIslam.com
–
Ketua Lembaga Jamaah Ulama (Sunni) Irak, Syeikh Khaled al-Mala,
menegaskan bahwa krisis keamanan dan maraknya kekerasan yang melanda
Irak dipicu bukan oleh sektarianisme Sunni dan Syiah Irak, melainkan
semata-mata akibat adanya ulah kelompok radikal dan teroris yang
mengatasnamakan Islam dan sama-sama ditolak oleh kalangan Syiah maupun
Sunni di Irak.
Pakar ilmu tafsir kelahiran Basrah, Irak selatan, itu mengingatkan
bahwa para ulama terkemuka Syiah di Irak mengeluarkan fatwa angkat
senjata kepada para pengikutnya bukan ketika kaum Syiah menjadi korban
keganasan kawanan ekstrimis pemuja kekerasan (kelompok Negara Islam Irak
dan Suriah/ISIS) hingga jatuh banyak korban di kalangan Syiah,
melainkan justru ketika ada kota Sunni yang jatuh ke tangan kawanan
bersenjata yang disebutnya sebagai para penjahat najis tersebut.
“Setengah juta orang Syiah dibantai secara massal, tapi ulama panutan
(marji’) Syiah tidak mengeluarkan fatwa jihad, atau fatwa perlawanan,
atau fatwa angkat senjata terhadap pihak manapun,” ujarnya dalam sebuah
dialog TV al-Mayadeen.
Dia menambahkan, “Majelis-majelis Husainiyyah dan masjid-masjid
mereka dihancurkan, makam Imam Ali Hadi dan makam Imam Hasan al-Askari
dibom, dan Negara Islam Irak pimpinan Abu Musa al-Zarqawipun menyatakan
bertanggungjawab atas serangan itu, kemudian orang Tunisia dan
kelompoknya itu ditangkap atas pemboman makam tersebut, dan pembantaian
di Irak terhadap kelompok ini terus berlangsung, tapi para ulama Syiah
tidak mengeluarkan pernyataan apapun.”
Dia lantas menjelaskan bahwa ulama terkemuka Syiah (Ayatollah Ali
al-Sistani) angkat bicara dan mengeluarkan fatwa jihad justru ketika
kota Mosul yang mayoritas penduduknya Sunni jatuh ke tangan ekstrimis
bersenjata, dan fatwa itu keluar lebih dengan semangat moral kebangsaan,
bukan semangat partisan, sehingga fatwa jihad melawan ISIS itu mendapat
sambutan dari semua warga dan suku Syiah maupun Sunni, termasuk di
Hadithah, Qaim, Fallujah dan Baghdad.
“Sekarang,” katanya saat menyinggung keganasan ISIS, “kaum wanita
Mosul diperkosa, gereja-gereja dihancurkan, para ulama yang menentang
perilaku para penjahat najis dan pelaku perusakan di muka bumi itu
dibunuhi.”
(mm)
Golestan adalah salah satu dari 30 provinsi di Republik Islam Iran.
Provinsi ini terletak di bagian utara Iran. Ibu kota provinsi ini adalah
kota Gorgan. Terdapat beberapa kaum di provinsi ini, di antaranya yang
terbesar adalah kaum Persia dan kaum Turkmen. Bahasa yang digunakannya
pun sesuai dengan kaumnya.
Yang harus dicontoh dari provinsi ini adalah Persaudaraan dan
persatuan yang sangat baik di antara dua mazhab besar dalam Islam, Sunni
dan Syiah. Sekitar 34% masyarakat provinsi Golestan bermazhab Hanafi,
yang kebanyakan penganutnya dari kaum Turkmen dan tersebar di kota Aqh
Qhala, Bandar Tukmen, Gonbad Kavus, Marvare tape dan Gomishan. Salah
satu desa yang sudah saya kunjungi adalah desa Gugjeh.
Setelah selesai menelusuri Dinding Besar Gorgan,
selanjutnya bis terus membawa kami melewati bukit-bukit pegunungan.
Sekitar pukul 3 siang, kami sampai di desa Gugjeh. Bis berhenti di dekat
sebuah masjid dengan nama Masjid Hadhrat Abu Bakr as Shidiq ra. Suasana
sungguh sangat ramai, warga desa ternyata telah siap menyambut kami
dengan adat penyambutan ala Turkmen.
Pertama-tama, kepala desa mengucapkan do’a dan ucapan selamat datang,
kemudian masyarakat yang lainnya membawa senampan roti Turkmen dengan
bunga di sekitarnya dan ditemani dua gadis berbusana Turkmen. Kemudian
semuanya bershalawat kepada Nabi Saw dan satu persatu mengambil roti
tersebut dan memasuki masjid. Sambutan warga desa sungguh sangat hangat
sekali. Perlu diketahui adalah seluruh warga desa ini adalah Sunni
sedangkan para tamunya bermazhab Syiah. Keakraban dua mazhab besar ini
sungguh sangat terasa.
Acara
di dalam masjid adalah sambutan-sambutan, sambutan pertama dari pihak
tuan rumah diwakili oleh Kepala Desa dan dari pihak tamu oleh pejabat
Walikota. Salah satu pesan sambutan yang masih saya ingat adalah
,“Provinsi Golestan harusnya bisa menjadi contoh untuk kota atau negara
yang lainnya, contoh bahwa Sunni dan Syiah bisa bersatu dalam kerukunan,
keakraban dan persaudaraan. Sunni dan Syiah bisa bersatu, sebagai mana
bersatunya kami di sini,”demikian ucapnya.
“Perbedaan adalah rahmat dan kami di sini sekarang sedang saling
berkasih sayang. Justru yang harus kita lakukan sekarang adalah bersatu
melawan musuh Islam,” tambahnya. Setelah selesai sambutan-sambutan,
acara diteruskan dengan shalat berjamaah dan makan siang dengan menu
khas Turkmen. Yaitu nasi kuning yang ditaburi daging ayam.
Setelah itu, rombongan tamu membagi-bagikan bingkisan kepada
anak-anak kecil warga desa dan akhirnya kami harus berpamitan dengan
warga desa Gugjeh. Saya pun berharap, semoga persatuan Sunni-Syiah tidak
hanya saya temukan di desa ini, di negeri ini, namun juga di
negeri-negeri lainnya di seluruh dunia.
Kami menaiki bis, namun ternyata di sini juga kami harus berpisah
dengan rombongan yang lainnya karena acara hari ini telah selesai. Namun
mas’ul dari jami’ah kami, membawa kami ke tempat bersejarah lainnya di
provinsi Golestan ini. Yaitu Gonbad e Qabus.
Gonbad e Qabus
Gonbad-e Qabus adalah salah satu bangunan bersejarah di Iran yang
tepatnya berada di kota Gonbad-e Kāvus, Provinsi Golestan utara Iran.
Bangunan ini dibangun sekitar abad keempat hijriah. Tinggi bangunan ini
adalah 70 meter dan termasuk bangunan tanah liat tertinggi di dunia.
Berdasarkan penjelasan yang tertulis di prasasti Gonbad-e Qabus,
bangunan ini dibangun oleh Amir Shams al-Ma’ali tahun 397 H (1006 M) dan
pembangunannya memerlukan waktu selama lima tahun.
Ketinggian Gonbad-e Qabus hingga di bawah kerucut mencapai 37 meter
dan ketinggian kubahnya mencapai 18 meter. Total ketinggian bangungan
ini mencapai 55 meter. Jika kita tambahkan dengan tanah yang dijadikan
landasannya maka ketinggian Gonbad-e Qabus bisa mencapai 70 meter. Di
sekitar bangunan ini terdapat taman yang cukup luas yang bisa dipakai
untuk berekreasi bersama keluarga, duduk-duduk menikmati pemandangan
tingginya bangunan tua ini atau makan-makan bersama.
Sejumlah ornamen yang menghiasi Gonbad-e Qabus meski terlihat
sederhana, namun indah dan menjadi contoh seni Islam. Seni kaligrafi
berbentuk sabuk yang melingkari bangunan menggunakan tulisan Kufi.
Adapun tulisannya adalah sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحیم هذ القصر العالی الامیر شمس المعالی الامیر ابن الامیر قابوس بن وشمگیر امر به نبائه فی حیاتی سنه سبع و تسعين و ثلثماته قمریه و سنه خمس و سبعین و ثلثماته
“Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Istana tinggi ini untuk Pangeran Syamsul Ma’ali, al-Amir bin
al-Amir Qabus bin Wushmgir, memerintahkan untuk membangun itu selama
hidupnya. Tahun 397 Hiriah dan tahun 375 Masehi”
Adapun bahan utama bangunan Gonbad-e Qabus adalah tanah liat dan
akibat faktor iklim warna kapur serta tanah liat yang semula merah
menjadi perunggu. Saat proses pembangunan karena tidak adanya teknologi
modern, digunakanlah tanah liat yang dibangun seperti tangga melingkar
dan ketika selesai proses pembangunan masih tersisa jelas tanah di
sekitar bangunan yang menyerupai bukit.
Gonbad-e Qabus dibangun untuk dijadikan kuburan dan hal ini
dijelaskan oleh prasasti yang ada. Arthur Pope dalam hal ini
mengatakan,”Di sisi timur jajaran gunung al-Borz dan di samping hamparan
padang pasir luas di Asia terdapat peninggalan bersejarah yang
menunjukkan keagungan arsitektur Iran. Bangunan tersebut adalah Gonbad-e
Qabus yang menjadi makam Qabus bin Voshmgir. Sebuah makam yang indah
meski tidak memiliki hiasan dan ornamen.
Setelah selesai melihat-lihat, kami akhirnya pulang sekitar pukul 7
sore. Karena pertengahan musim semi, pukul 7 saat itu masih terang. Hari
yang melelahkan, namun indah. (Syarief Hiedayat/LiputanIslam.com)
_______
Penulis adalah Mahasiswa Al-Musthafa
International University, Branch Gorgan. Wawancara dengannya tentang
kehidupan di Iran bisa dibaca di sini.
Para Tentara Zionis Alami Shock dan Trauma Parah Akibat Perang di Gaza
Redaksi Salam-Online –
GAZA (SALAM-ONLINE):
Sumber-sumber medis Zionis mengungkapkan para tentara Yahudi yang
terluka dalam pertempuran di Jalur Gaza mengalami trauma psikologis yang
sangat berat. Mereka kerap mengalami mimpi buruk yang sangat mengganggu
berupa ketakutan dengan situasi perang. Mereka terpaksa disuntik bahan
narkotika untuk dapat tidur tanpa gangguan. Untuk mereka yang menderita
paling serius belum bisa dilakukan rehabilitasi psikologis dan sosial.
Menurut situs Zionis, Walla, seperti dikutip Infopalestina.com, Selasa
(12/8), tentara yang terluka menderita trauma psikologis yang parah—di
samping kerusakan dan cedera fisik, yang disebabkan oleh pertempuran dan
bentrokan sengit yang mereka alami saat menghadapi para pejuang
Palestina di Jalur Gaza. Demikian menurut sumber-sumber medis dan
keluarga para prajurit itu sendiri.
Walla menulis, tidak jelas apakah operasi militer Zionis di
Gaza yang bernama “tebing cadas” akan berakhir. Namun bagi para tentara
Zionis yang terluka, pertempuran lain telah dimulai, yaitu perang
rehabilitasi dari
Para Tentara Zionis Alami Shock dan Trauma Parah Akibat Perang di Gaza
GAZA (SALAM-ONLINE):
Sumber-sumber medis Zionis mengungkapkan para tentara Yahudi yang
terluka dalam pertempuran di Jalur Gaza mengalami trauma psikologis yang
sangat berat. Mereka kerap mengalami mimpi buruk yang sangat mengganggu
berupa ketakutan dengan situasi perang. Mereka terpaksa disuntik bahan
narkotika untuk dapat tidur tanpa gangguan. Untuk mereka yang menderita
paling serius belum bisa dilakukan rehabilitasi psikologis dan sosial.
Menurut situs Zionis, Walla, seperti dikutip Infopalestina.com, Selasa
(12/8), tentara yang terluka menderita trauma psikologis yang parah—di
samping kerusakan dan cedera fisik, yang disebabkan oleh pertempuran dan
bentrokan sengit yang mereka alami saat menghadapi para pejuang
Palestina di Jalur Gaza. Demikian menurut sumber-sumber medis dan
keluarga para prajurit itu sendiri.
Walla menulis, tidak jelas apakah operasi militer Zionis di
Gaza yang bernama “tebing cadas” akan berakhir. Namun bagi para tentara
Zionis yang terluka, pertempuran lain telah dimulai, yaitu perang
rehabilitasi dari
cedera yang mungkin menyertai mereka sepanjang
hidupnya.
Para dokter yang mengawasi pengobatan para tentara mengatakan bahwa
tim medis khusus untuk rehabilitasi psikologis dan sosial mengawasi
pengobatan tentara yang mengalami trauma psikologis yang parah.
“Bersamaan dengan pengobatan luka fisik yang dialami para prajurit,
mereka menjalani rehabilitasi akibat trauma psikologis yang mereka
derita,” ungkap seorang dokter Zionis.
“Beberapa cedera fisik sebenarnya ringan, namun, trauma psikologis
yang dialami oleh para tentara ini sangat besar. Bahkan sampai mereka
merasa ada orang yang akan membunuh di sisi mereka. Tim yang terdiri
dari para peneliti dan psikiater terus bekerja secara paralel dan
terpadu dalam pengobatan tentara,” kata Dokter Ben-Ner.
Dikutip dari salah satu keluarga tentara yang terluka bahwa anak-anak
mereka (para tentara) tidak bisa tidur karena shock dan kengerian yang
dilihatnya dalam perang. Karena itu mereka disuntik obat agar bisa
tidur. Para tentara menderita ketakutan dan mimpi buruk, baik pada malam
maupun di siang hari.
“Proses psikoterapi tentara dilakukan secara bertahap, periodik dan
perlahan-lahan. Kita harus merasakan bahwa prajurit berada di tempat
yang aman jauh dari zona bahaya, tidak akan terkena apapun di rumah
sakit karena ia menderita kehilangan kontrol atas dirinya akibat trauma
yang ia derita selama perang di Gaza,” terang Profesor Dana Margalit.
Sumber
medis Zionis menyatakan bahwa para prajurit yang mengalami luka parah
belum menjalani rehabilitasi karena masih dalam perawatan di berbagai
rumah sakit. Mereka akan memulai proses rehabilitasi setelah kesehatan
(fisik) mereka pulih.
Margalit menyatakan sulitnya kejadian yang mereka alami. Kenangan
sulit dan buruk akan senantiasa menyertai mereka selama bertahun-tahun,
akibat hasil perang yang tidak bisa diukur dengan standar militer atau
politik saja. (infopalestina.com/asw). salam-online
Pagi bulan Oktober di Gaza adalah musim panas yang sepoi-sepoi. Saya menghabiskan satu lembar khubz, roti bulat tanpa rasa, bersalut hummus untuk sarapan pagi.
Ini hari terakhir kami liputan. Setelah sarapan, saya masuk kamar dan
melihat ke luar jendela hotel. Anak-anak kecil asyik bermain bola di
pinggir pantai. Berbeda dari pandangan umum, situasi di Gaza – di luar
agresi – bukanlah situasi yang serba dingin dan ngeri. Saya datang ke
Jalur Gaza, Palestina tahun 2012. Saat itu situasi konflik hangat-hangat
kuku. Sesekali ada hantaman roket Israel, tapi aktivitas berjalan
seperti biasa. Namun ada satu yang luar biasa, yaitu anak-anak Gaza.
Awalnya saya sempat berpikir akan menemukan anak-anak kecil yang kuyu
dan depresi menghadapi situasi tak menentu di Gaza, Palestina. Namun
perkiraan saya meleset total. Di Gaza City, saya dan tim sempat
mengunjungi Syaikh Adnan Arrantisi, ulama terkemuka di Palestina. Siang
begitu terik, tapi anak-anak tetangga asyik bermain tembak-tembakan di
gang depan rumah Syaikh Adnan. Saya tertarik mendokumentasikan kegiatan
itu. Tanpa disangka, anak-anak lelaki itu malah mengerubungi saya.
Mereka cerewet sekali bertanya tentang kamera saku yang saya bawa.
Usai memotret, sesekali saya tunjukkan hasilnya ke mereka. Mereka pun
berteriak gembira. Ada juga yang bandel, berusaha melihat paksa. Tapi
rekan sepermainan yang lain mengingatkan untuk tetap sopan. Melihat
keceriaan mereka, rasanya seperti bukan di Gaza.
Setelah selesai liputan, kami pun segera masuk mobil. Namun dari kaca
spion terlihat seorang anak lari-lari mengejar. Saya berpikir mungkin
ia hanya iseng saja. Tapi supir memberhentikan mobil dan membuka kaca
jendela, dan anak bernama Muhammad itu menyorongkan bolpoin milik saya.
Jatuh di tanah, katanya. Saya pun mengambil bolpoin itu dan mengucapkan
terima kasih. Teman saya berkelakar, kalau di Indonesia bolpoin yang
dipinjam saja bisa hilang. Kami pun tertawa.
Namun ada yang meresap di hati. Dari insiden itu kami mengetahui
bahwa tingkat kejahatan di Gaza sangatlah rendah. Dari kecil anak-anak
sudah dididik untuk jujur. Saya menemukan buktinya.
Di kesempatan lain saat meliput pemakaman korban roket Israel,
seorang anak perempuan berjalan sendiri. Kulitnya hitam manis. Rambut
hitamnya dikepang dua. Aisha namanya. Nampaknya ia baru pulang sekolah.
Anak perempuan di Gaza memang tidak menggunakan jilbab. Bahkan di hari
raya Idul Adha, anak-anak perempuan Gaza mematut diri dengan pakaian ala
Eropa. Harganya berkisar 500 ribu hingga 1 juta rupiah per helai. Namun
anak perempuan yang saya temui kali ini menggunakan seragam sekolah
biasa. Ia menatap saya lama sebelum memutuskan bertanya-tanya. Meski
bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi keberadaan Aisha sangat membantu.
Saya dipersilahkan mampir ke rumahnya, sembari ia pamit kepada orang tua
untuk mengantar saya ke pemakaman. Saya dan rekan saya Siska yang
terpisah dari kameraman dan penghubung, tidak bisa menolak bantuannya.
Kami sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Lewat Aisha kami bisa
memahami situasi saat itu.
Takbir bergema mengiringi dua jenazah prajurit Al-Qassam yang
meninggal. Saya bertanya kepada Aisha apakah ia takut. Ia menjawab bahwa
takdir di tangan Allah, jadi ia tidak takut. Ia malah kagum dengan
keberanian saya dan tim meliput ke Gaza, jauh dari Indonesia. Bersamaan
dengan itu, pesawat F-16 berputar-putar di atas, memamerkan keangkuhan.
Lewat Aisha kami tahu bahwa beberapa kali terjadi insiden pengeboman
oleh Israel, saat peziarah mengiring jenazah ke pemakaman. Saya sedikit
ngeri, tapi kemudian malu sendiri melihat Aisha tidak sedikitpun
menyimpan takut. Kala usai liputan, kami sepakat hendak memberi Aisha
uang atas kebaikan hatinya. Tak disangka, anak manis itu menolak tegas.
Ia mengibaskan tangannya berkali-kali sambil berkata bahwa ia membantu
karena Allah. “Wallahi, wallahi,” ucapnya. Saya terpaku.
Memori tentang Muhammad, Aisha, dan anak-anak Gaza lainnya terlintas
ulang dalam benak saya kala menatap ke luar jendela hotel. Bagaimana
bisa seorang ibu membesarkan lima hingga sepuluh anak dalam situasi
krisis sanggup menanamkan keluhuran budi di hati mereka? Lalu darimana
datangnya keteguhan iman sekaligus kepolosan kanak-kanak dalam satu
kemasan yang menggetarkan jiwa? Jawabannya saya dapat di menit-menit
terakhir meninggalkan Gaza. Saat itu kami sedang menunggu saat keluar
perbatasan Rafah, Mesir. Seorang ibu berhijab hitam berjalan menyapa
satu persatu sambil menyorongkan sesuatu.
Awalnya saya berpikir ia
sedang berjualan. Orang-orang yang ditanya pun menggelengkan kepala satu
persatu. Kelak saya mengetahui bahwa ibu tersebut menemukan sebuah
kunci, dan berkeliling untuk menemukan siapa pemilik kunci tersebut.
Terakhir, saat tak ada seorang pun yang mengaku memiliki kunci tersebut,
si ibu baru menyerahkan ke petugas imigrasi.
Budi pekerti tidak hadir atas paksaan. Ia muncul karena teladan dari
orang-orang di sekitarnya, termasuk orang tua. Dari anak-anak Gaza, saya
mendapat banyak pelajaran penting tentang itu. Seujung kuku pun hidup
saya di Indonesia tidak sebanding dengan penderitaan anak-anak Gaza.
Tapi kedewasaan mereka menyikapi hidup, melampaui apa yang berusaha saya
amalkan selama ini. Tak terasa, bulir-bulir bening menetes dari mata
saya pagi itu.
Koper telah siap, tinggal menunggu berangkat. Tapi hati
saya seperti tertinggal di Gaza, di mata anak-anak Gaza yang ceria,
meski moncong senjata Israel siap melumat mereka. Sesungguhnya
mereka-lah yang hidupnya lebih merdeka daripada kita. Merdeka dari
keinginan duniawi, merdeka dari rasa takut mati. Mereka, anak-anak Gaza.
(Ella Devianti/LiputanIslam.com)
*Penulis adalah seorang jurnalis yang meliput ke Gaza pada tahun 2012.
Mengurai Pernyataan Mantan Panglima TNI: “ISIS Pengalihan Isu”
Bahkan berbagai ormas turut menyatakan hal serupa. Di sejumlah daerah, diberitakan sejumlah ormas bekerjasama dengan aparat setempat menangkal masuknya ISIS ke wilayah mereka.
Dan, isu ini terus “digoreng” dengan sejumlah razia dan penangkapan terkait ISIS, bendera Tauhid ‘Laa ilaaha illallah’ dan stempel Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penggiringan opini yang berujung pada stigma negatif terhadap Khilafah Islamiyah sama seperti kriminalisasi yang pernah dialamatkan pada ‘Negara Islam’ melalui “NII”.
Gonjang ganjing dan waspada yang dinilai oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso sebagai pengalihan isu belaka. Sementara menurut Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustadz Bachtiar Nasir di sejumlah Negara Asean kaget mendengar isu ISIS ini hangat di Indonesia. Ustadz Bachtiar Nasir menyampaikan hal itu dalam pertemuan MIUMI dengan sejumlah ormas Islam untuk menyikap masalah ini, Ahad (10/8), di Jakarta.
Ustadz Bachtiar dengan beberapa cendekiawan dari Indonesia dan negara-negara Asean lainnya baru saja menghadiri sebuah pertemuan di Malaysia. Namun para ulama di negara-negara yang hadir dalam pertemuan tersebut merasa heran dengan informasi bahwa di Indonesia sedang hangat isu ISIS, lantaran di negara mereka masing-masing biasa-biasa saja.
Kita boleh saja waspada atas beragam hal yang jelas-jelas merusak, sesat dan menyesatkan umat dan bangsa ini. Termasuk jika proses untuk menegakkan Khilafah Islamiyah itu tak sesuai dengan syariat Islam. Tetapi kenapa terhadap hal yang sudah sejak dulu jelas berbahaya, sesat dan menyesatkan umat, pemerintah dan aparat negeri ini tak jua bergerak untuk membasminya? Beberapa aliran dan sekte sesat dan menyesatkan yang jelas-jelas tengah merasuk ke tubuh kaum Muslimin, dibiarkan! Bahkan beberapa gembong aliran dan sekte sesat menyesatkan, termasuk kader-kader baru komunis, masuk ke dalam partai, parlemen dan pemerintahan, tak dipersoalkan! Negara macam apa ini—pengelola dan aparaturnya tidak peka terhadap keadaan sekelilingnya.
Mencuatnya isu ISIS dan ajakan untuk mewaspadainya, perlu kehati-hatian agar jangan sampai sikap dan tindakan kita itu justru menolak tegaknya Khilafah Islamiyah dalam arti sebenarnya yang bahkan diikuti oleh kebencian terhadap simbol-simbol Islam seperti pelecehan atas bendera Tauhid Laa ilaaha illallah dan stempel (logo) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khat kalimat Tauhid dan tulisan Allah, Rasul dan Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu bukan kepunyaan kelompok tertentu, tetapi merupakan simbol yang pernah digunakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, bendera dan stempel Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu milik umat Islam. Membakar dan melecehkannya sama saja memproklamirkan ‘perang’ terhadap Islam dan kaum Muslimin.
Jadi, penafian terhadap Khilafah Islamiyah (Khilafah ‘ala minhajin-Nubuwwah) yang telah disampaikan lewat lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelecehan terhadap simbol-simbol Islam seperti bendera, juga adalah hal yang harus diwaspadai. Jangan salahkan jika di kalangan umat Islam menyatakan ada pihak-pihak tertentu yang membonceng isu ISIS ini untuk proyek dan agenda mereka sekaligus sebagai upaya pengalihan isu seperti dikatakan Jenderal (Purn) TNI Djoko Santoso tersebut.
Djoko Santoso menanggapi sinis terkait kekhawatiran dengan adanya ISIS di Indonesia sebagai pengalihan isu belaka.
“Apa ada orang Irak di sini. Ini kan bukan tanahnya orang Irak, itu satu pengalihan perhatian dari masalah yang dihadapi bangsa ini,” katanya kepada Okezone, Selasa (12/8/2014).
Ia pun tak meragukan kalau ISIS itu hanya sekadar pengalihan isu dari berbagai persoalan yang sedang terjadi di negeri ini, dimana negara tengah sibuk dengan urusan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemberantasan korupsi.
“Itu bagian dari bentuk pengalihan, tapi kita juga harus tetap waspada gitu ya. Bukan kita mengabaikan, tapi juga mewaspadai itu pengalihan isu juga,” tegasnya.
Penegasan mantan Panglima TNI ini tentu tak sekadar pernyataan ‘sambil lewat’. Sebagai orang yang belum lama meninggalkan posisi penting dan puncak di jajaran TNI, tentu pernyataan dan informasi yang diperoleh Djoko Santoso punya nilai dan bobot khusus. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar