Rabu, 13 Agustus 2014

.... SAYA JATUH CINTA KEPADA GAZA.. WALAUPUN SAYA BELUM PERNAH MENGINJAKKAN KAKI DITANAH GAZA...?? MENGAPA...??? SETIAP MENYEBUT NAMA GAZA... SAYA SELALU MENETESKAN AIR MATA... !!! ??? >> AIR MATA .. RESPEK.. DAN HORMAT.. KEPADA PAHLAWAN-PAHLAWAN GAZA.. DAN KEHEBATAN MEREKA.. MENGHADAPI... TENTARA ISRAEL YAG KEJI... DAN SANGAT BRUTAL...??>> NAMUN GAZA DENGAN ORANG2 PILIHAN TETAP GAGAH DI TENGAH HIRUK PIKUK... KECULASAN DAN KEJAHATAN ISRAEL-AMERIKA SERIKAT- UNITED KINGDOM- DAN RAJA2 ARAB.. DAN JUGA... KEKUASAAN JENDERAL AL SISI -MESIR... DKK... SERTA POLITISI-2 KONGRES.. YANG SELALU MENJEGAL DAN MENINDAS... RAKYAT DAN BANGSA PALESTINA DAN GAZA.. ??..>> ... Budi pekerti tidak hadir atas paksaan. Ia muncul karena teladan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk orang tua. Dari anak-anak Gaza, saya mendapat banyak pelajaran penting tentang itu. Seujung kuku pun hidup saya di Indonesia tidak sebanding dengan penderitaan anak-anak Gaza. Tapi kedewasaan mereka menyikapi hidup, melampaui apa yang berusaha saya amalkan selama ini. Tak terasa, bulir-bulir bening menetes dari mata saya pagi itu. ...>>> ....Koper telah siap, tinggal menunggu berangkat. Tapi hati saya seperti tertinggal di Gaza, di mata anak-anak Gaza yang ceria, meski moncong senjata Israel siap melumat mereka. Sesungguhnya mereka-lah yang hidupnya lebih merdeka daripada kita. Merdeka dari keinginan duniawi, merdeka dari rasa takut mati. Mereka, anak-anak Gaz...>>> ... Memori tentang Muhammad, Aisha, dan anak-anak Gaza lainnya terlintas ulang dalam benak saya kala menatap ke luar jendela hotel. Bagaimana bisa seorang ibu membesarkan lima hingga sepuluh anak dalam situasi krisis sanggup menanamkan keluhuran budi di hati mereka? Lalu darimana datangnya keteguhan iman sekaligus kepolosan kanak-kanak dalam satu kemasan yang menggetarkan jiwa? Jawabannya saya dapat di menit-menit terakhir meninggalkan Gaza. Saat itu kami sedang menunggu saat keluar perbatasan Rafah, Mesir. Seorang ibu berhijab hitam berjalan menyapa satu persatu sambil menyorongkan sesuatu. ..>>> ..Awalnya saya berpikir ia sedang berjualan. Orang-orang yang ditanya pun menggelengkan kepala satu persatu. Kelak saya mengetahui bahwa ibu tersebut menemukan sebuah kunci, dan berkeliling untuk menemukan siapa pemilik kunci tersebut. Terakhir, saat tak ada seorang pun yang mengaku memiliki kunci tersebut, si ibu baru menyerahkan ke petugas imigrasi. ...>> ...Takbir bergema mengiringi dua jenazah prajurit Al-Qassam yang meninggal. Saya bertanya kepada Aisha apakah ia takut. Ia menjawab bahwa takdir di tangan Allah, jadi ia tidak takut. Ia malah kagum dengan keberanian saya dan tim meliput ke Gaza, jauh dari Indonesia. Bersamaan dengan itu, pesawat F-16 berputar-putar di atas, memamerkan keangkuhan. Lewat Aisha kami tahu bahwa beberapa kali terjadi insiden pengeboman oleh Israel, saat peziarah mengiring jenazah ke pemakaman. Saya sedikit ngeri, tapi kemudian malu sendiri melihat Aisha tidak sedikitpun menyimpan takut. Kala usai liputan, kami sepakat hendak memberi Aisha uang atas kebaikan hatinya. Tak disangka, anak manis itu menolak tegas. Ia mengibaskan tangannya berkali-kali sambil berkata bahwa ia membantu karena Allah. “Wallahi, wallahi,” ucapnya. Saya terpaku....>>> ...Di kesempatan lain saat meliput pemakaman korban roket Israel, seorang anak perempuan berjalan sendiri. Kulitnya hitam manis. Rambut hitamnya dikepang dua. Aisha namanya. Nampaknya ia baru pulang sekolah. Anak perempuan di Gaza memang tidak menggunakan jilbab. Bahkan di hari raya Idul Adha, anak-anak perempuan Gaza mematut diri dengan pakaian ala Eropa. Harganya berkisar 500 ribu hingga 1 juta rupiah per helai. Namun anak perempuan yang saya temui kali ini menggunakan seragam sekolah biasa. Ia menatap saya lama sebelum memutuskan bertanya-tanya. Meski bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi keberadaan Aisha sangat membantu. Saya dipersilahkan mampir ke rumahnya, sembari ia pamit kepada orang tua untuk mengantar saya ke pemakaman. Saya dan rekan saya Siska yang terpisah dari kameraman dan penghubung, tidak bisa menolak bantuannya. Kami sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Lewat Aisha kami bisa memahami situasi saat itu...>.


Baghdad, LiputanIslam.com – 

Ketua Lembaga Jamaah Ulama (Sunni) Irak, Syeikh Khaled al-Mala, menegaskan bahwa krisis keamanan dan maraknya kekerasan yang melanda Irak dipicu bukan oleh sektarianisme Sunni dan Syiah Irak, melainkan semata-mata akibat adanya ulah kelompok radikal dan teroris yang mengatasnamakan Islam dan sama-sama ditolak oleh kalangan Syiah maupun Sunni di Irak.

Pakar ilmu tafsir kelahiran Basrah, Irak selatan, itu  mengingatkan bahwa para ulama terkemuka Syiah di Irak mengeluarkan fatwa angkat senjata kepada para pengikutnya bukan ketika kaum Syiah menjadi korban keganasan kawanan ekstrimis pemuja kekerasan (kelompok Negara Islam Irak dan Suriah/ISIS) hingga jatuh banyak korban di kalangan Syiah, melainkan justru ketika ada kota Sunni yang jatuh ke tangan kawanan bersenjata yang disebutnya sebagai para penjahat najis tersebut.

“Setengah juta orang Syiah dibantai secara massal, tapi ulama panutan (marji’) Syiah tidak mengeluarkan fatwa jihad, atau fatwa perlawanan, atau fatwa angkat senjata terhadap pihak manapun,” ujarnya dalam sebuah dialog TV al-Mayadeen.

Dia menambahkan, “Majelis-majelis Husainiyyah dan masjid-masjid mereka dihancurkan, makam Imam Ali Hadi dan makam Imam Hasan al-Askari dibom, dan Negara Islam Irak pimpinan Abu Musa al-Zarqawipun menyatakan bertanggungjawab atas serangan itu, kemudian orang Tunisia dan kelompoknya itu ditangkap atas pemboman makam tersebut, dan pembantaian di Irak terhadap kelompok ini terus berlangsung, tapi para ulama Syiah tidak mengeluarkan pernyataan apapun.”

Dia lantas menjelaskan bahwa ulama terkemuka Syiah (Ayatollah Ali al-Sistani) angkat bicara dan mengeluarkan fatwa jihad justru ketika kota Mosul yang mayoritas penduduknya Sunni jatuh ke tangan ekstrimis bersenjata, dan fatwa itu keluar lebih dengan semangat moral kebangsaan, bukan semangat partisan, sehingga fatwa jihad melawan ISIS itu mendapat sambutan dari semua warga dan suku Syiah maupun Sunni, termasuk di Hadithah, Qaim, Fallujah dan Baghdad.

“Sekarang,” katanya saat menyinggung keganasan ISIS, “kaum wanita Mosul diperkosa, gereja-gereja dihancurkan, para ulama yang menentang perilaku para penjahat najis dan pelaku perusakan di muka bumi itu dibunuhi.”

Rekaman video beserta subtitel bahasa Indonesianya dapat disaksikan di sini: http://www.youtube.com/watch?v=cjaql9A5-m4&feature=youtu.be
(mm)

Penyambutan tamu di DESA GUGJEH (3)
Penyambutan tamu di DESA GUGJEH, Foto: Syarief

Golestan adalah salah satu dari 30 provinsi di Republik Islam Iran. Provinsi ini terletak di bagian utara Iran. Ibu kota provinsi ini adalah kota Gorgan.  Terdapat beberapa kaum di provinsi ini, di antaranya yang terbesar adalah kaum Persia dan kaum Turkmen. Bahasa yang digunakannya pun sesuai dengan kaumnya.

Yang harus dicontoh dari provinsi ini adalah Persaudaraan dan persatuan yang sangat baik di antara dua mazhab besar dalam Islam, Sunni dan Syiah. Sekitar 34% masyarakat provinsi Golestan bermazhab Hanafi, yang kebanyakan penganutnya dari kaum Turkmen dan tersebar di kota Aqh Qhala, Bandar Tukmen, Gonbad Kavus, Marvare tape dan Gomishan. Salah satu desa yang sudah saya kunjungi adalah desa Gugjeh.

Travelling iran Penyambutan tamu di DESA GUGJEH (1)
Penyambutan tamu di DESA GUGJEH, Foto: Syarief

Setelah selesai menelusuri Dinding Besar Gorgan, selanjutnya bis terus membawa kami melewati bukit-bukit pegunungan. Sekitar pukul 3 siang, kami sampai di desa Gugjeh. Bis berhenti di dekat sebuah masjid dengan nama Masjid Hadhrat Abu Bakr as Shidiq ra. Suasana sungguh sangat ramai, warga desa ternyata telah siap menyambut kami dengan adat penyambutan ala Turkmen.

Pertama-tama, kepala desa mengucapkan do’a dan ucapan selamat datang, kemudian masyarakat yang lainnya membawa senampan roti Turkmen dengan bunga di sekitarnya dan ditemani dua gadis berbusana Turkmen. Kemudian semuanya bershalawat kepada Nabi Saw dan satu persatu mengambil roti tersebut dan memasuki masjid. Sambutan warga desa sungguh sangat hangat sekali. Perlu diketahui adalah seluruh warga desa ini adalah Sunni sedangkan para tamunya bermazhab Syiah. Keakraban dua mazhab besar ini sungguh sangat terasa.

Traveling iran DESA GUGJEH (7) 

Acara di dalam masjid adalah sambutan-sambutan, sambutan pertama dari pihak tuan rumah diwakili oleh Kepala Desa dan  dari pihak tamu oleh pejabat Walikota. Salah satu pesan sambutan yang masih saya ingat adalah ,“Provinsi Golestan harusnya bisa menjadi contoh untuk kota atau negara yang lainnya, contoh bahwa Sunni dan Syiah bisa bersatu dalam kerukunan, keakraban dan persaudaraan. Sunni dan Syiah bisa bersatu, sebagai mana bersatunya kami di sini,”demikian ucapnya.

Travelling Iran Masjid Abu Bakr Shidq ra
Masjid Abu Bakr Shidq ra, Foto: Syarief

“Perbedaan adalah rahmat dan kami di sini sekarang sedang saling berkasih sayang. Justru yang harus kita lakukan sekarang adalah bersatu melawan musuh Islam,” tambahnya. Setelah selesai sambutan-sambutan, acara diteruskan dengan shalat berjamaah dan makan siang dengan menu khas Turkmen. Yaitu nasi kuning yang ditaburi daging ayam.

Setelah itu, rombongan tamu membagi-bagikan bingkisan kepada anak-anak kecil warga desa dan akhirnya kami harus berpamitan dengan warga desa Gugjeh. Saya pun berharap, semoga persatuan Sunni-Syiah tidak hanya saya temukan di desa ini, di negeri ini, namun juga di negeri-negeri lainnya di seluruh dunia.

Travelling iran Makan Bersama di Masjid Abu Bakr Ra
Makan Bersama di Masjid Abu Bakr Ra, Foto: Syarief

Kami menaiki bis, namun ternyata di sini juga kami harus berpisah dengan rombongan yang lainnya karena acara hari ini telah selesai. Namun mas’ul dari jami’ah kami, membawa kami ke tempat bersejarah lainnya di provinsi Golestan ini. Yaitu Gonbad e Qabus.

Gonbad e Qabus
Gonbad-e Qabus adalah salah satu bangunan bersejarah di Iran yang tepatnya berada di kota Gonbad-e Kāvus, Provinsi Golestan utara Iran. Bangunan ini dibangun sekitar abad keempat hijriah. Tinggi bangunan ini adalah 70 meter dan termasuk bangunan tanah liat tertinggi di dunia. Berdasarkan penjelasan yang tertulis di prasasti Gonbad-e Qabus, bangunan ini dibangun oleh Amir Shams al-Ma’ali tahun 397 H (1006 M) dan pembangunannya memerlukan waktu selama lima tahun.

travelling iran GONBAD-E QABUS (1)

GONBAD-E QABUS, Foto:  Syarief

Ketinggian Gonbad-e Qabus hingga di bawah kerucut mencapai 37 meter dan ketinggian kubahnya mencapai 18 meter. Total ketinggian bangungan ini mencapai 55 meter. Jika kita tambahkan dengan tanah yang dijadikan landasannya maka ketinggian Gonbad-e Qabus bisa mencapai 70 meter. Di sekitar bangunan ini terdapat taman yang cukup luas yang bisa dipakai untuk berekreasi bersama keluarga, duduk-duduk menikmati pemandangan tingginya bangunan tua ini atau makan-makan bersama.

Sejumlah ornamen yang menghiasi Gonbad-e Qabus meski terlihat sederhana, namun indah dan menjadi contoh seni Islam. Seni kaligrafi berbentuk sabuk yang melingkari bangunan menggunakan tulisan Kufi. Adapun tulisannya adalah sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحیم هذ القصر العالی  الامیر شمس المعالی  الامیر ابن الامیر  قابوس بن وشمگیر   امر به نبائه فی حیاتی  سنه سبع و تسعين و ثلثماته قمریه  و سنه خمس و سبعین و ثلثماته

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Istana tinggi ini untuk Pangeran Syamsul Ma’ali, al-Amir bin al-Amir Qabus bin Wushmgir, memerintahkan untuk membangun itu selama hidupnya. Tahun 397 Hiriah dan tahun 375 Masehi”

GONBAD-E QABUS, Foto: Syarief

GONBAD-E QABUS, Foto: Syarief

Adapun bahan utama bangunan Gonbad-e Qabus adalah tanah liat dan akibat faktor iklim warna kapur serta tanah liat yang semula merah menjadi perunggu. Saat proses pembangunan karena tidak adanya teknologi modern, digunakanlah tanah liat yang dibangun seperti tangga melingkar dan ketika selesai proses pembangunan masih tersisa jelas tanah di sekitar bangunan yang menyerupai bukit.

Gonbad-e Qabus dibangun untuk dijadikan kuburan dan hal ini dijelaskan oleh prasasti yang ada. Arthur Pope dalam hal ini mengatakan,”Di sisi timur jajaran gunung al-Borz dan di samping hamparan padang pasir luas di Asia terdapat peninggalan bersejarah yang menunjukkan keagungan arsitektur Iran. Bangunan tersebut adalah Gonbad-e Qabus yang menjadi makam Qabus bin Voshmgir. Sebuah makam yang indah meski tidak memiliki hiasan dan ornamen.

Setelah selesai melihat-lihat, kami akhirnya pulang sekitar pukul 7 sore. Karena pertengahan musim semi, pukul 7 saat itu masih terang. Hari yang melelahkan, namun indah. (Syarief Hiedayat/LiputanIslam.com)
_______
Penulis adalah Mahasiswa Al-Musthafa International University, Branch Gorgan. Wawancara dengannya tentang kehidupan di Iran bisa dibaca di sini.

Para Tentara Zionis Alami Shock dan Trauma Parah Akibat Perang di Gaza

Redaksi Salam-Online –

Zionis-tentara zionis trauma perang-1-jpeg.image 


GAZA (SALAM-ONLINE): Sumber-sumber medis Zionis mengungkapkan para tentara Yahudi yang terluka dalam pertempuran di Jalur Gaza mengalami trauma psikologis yang sangat berat. Mereka kerap mengalami mimpi buruk yang sangat mengganggu berupa ketakutan dengan situasi perang. Mereka terpaksa disuntik bahan narkotika untuk dapat tidur tanpa gangguan. Untuk mereka yang menderita paling serius belum bisa dilakukan rehabilitasi psikologis dan sosial.

Menurut situs Zionis, Walla, seperti dikutip Infopalestina.com, Selasa (12/8), tentara yang terluka menderita trauma psikologis yang parah—di samping kerusakan dan cedera fisik, yang disebabkan oleh pertempuran dan bentrokan sengit yang mereka alami saat menghadapi para pejuang Palestina di Jalur Gaza. Demikian menurut sumber-sumber medis dan keluarga para prajurit itu sendiri.

Walla menulis, tidak jelas apakah operasi militer Zionis di Gaza yang bernama “tebing cadas” akan berakhir. Namun bagi para tentara Zionis yang terluka, pertempuran lain telah dimulai, yaitu perang rehabilitasi dari

Para Tentara Zionis Alami Shock dan Trauma Parah Akibat Perang di Gaza


Zionis-tentara zionis trauma perang-1-jpeg.image 


GAZA (SALAM-ONLINE): Sumber-sumber medis Zionis mengungkapkan para tentara Yahudi yang terluka dalam pertempuran di Jalur Gaza mengalami trauma psikologis yang sangat berat. Mereka kerap mengalami mimpi buruk yang sangat mengganggu berupa ketakutan dengan situasi perang. Mereka terpaksa disuntik bahan narkotika untuk dapat tidur tanpa gangguan. Untuk mereka yang menderita paling serius belum bisa dilakukan rehabilitasi psikologis dan sosial.

Menurut situs Zionis, Walla, seperti dikutip Infopalestina.com, Selasa (12/8), tentara yang terluka menderita trauma psikologis yang parah—di samping kerusakan dan cedera fisik, yang disebabkan oleh pertempuran dan bentrokan sengit yang mereka alami saat menghadapi para pejuang Palestina di Jalur Gaza. Demikian menurut sumber-sumber medis dan keluarga para prajurit itu sendiri.

Walla menulis, tidak jelas apakah operasi militer Zionis di Gaza yang bernama “tebing cadas” akan berakhir. Namun bagi para tentara Zionis yang terluka, pertempuran lain telah dimulai, yaitu perang rehabilitasi dari





Zionis-tentara zionis trauma perang-2-jpeg.image


cedera yang mungkin menyertai mereka sepanjang hidupnya.
Para dokter yang mengawasi pengobatan para tentara mengatakan bahwa tim medis khusus untuk rehabilitasi psikologis dan sosial mengawasi pengobatan tentara yang mengalami trauma psikologis yang parah. “Bersamaan dengan pengobatan luka fisik yang dialami para prajurit, mereka menjalani rehabilitasi akibat trauma psikologis yang mereka derita,” ungkap seorang dokter Zionis.

“Beberapa cedera fisik sebenarnya ringan, namun, trauma psikologis yang dialami oleh para tentara ini sangat besar. Bahkan sampai mereka merasa ada orang yang akan membunuh di sisi mereka. Tim yang terdiri dari para peneliti dan psikiater terus bekerja secara paralel dan terpadu dalam pengobatan tentara,” kata Dokter Ben-Ner.

Dikutip dari salah satu keluarga tentara yang terluka bahwa anak-anak mereka (para tentara) tidak bisa tidur karena shock dan kengerian yang dilihatnya dalam perang. Karena itu mereka disuntik obat agar bisa tidur. Para tentara menderita ketakutan dan mimpi buruk, baik pada malam maupun di siang hari.

“Proses psikoterapi tentara dilakukan secara bertahap, periodik dan perlahan-lahan. Kita harus merasakan bahwa prajurit berada di tempat yang aman jauh dari zona bahaya, tidak akan terkena apapun di rumah sakit karena ia menderita kehilangan kontrol atas dirinya akibat trauma yang ia derita selama perang di Gaza,” terang Profesor Dana Margalit.

Zionis-tentara zionis trauma perang-3-jpeg.image

Sumber medis Zionis menyatakan bahwa para prajurit yang mengalami luka parah belum menjalani rehabilitasi karena masih dalam perawatan di berbagai rumah sakit. Mereka akan memulai proses rehabilitasi setelah kesehatan (fisik) mereka pulih.

Margalit menyatakan sulitnya kejadian yang mereka alami. Kenangan sulit dan buruk akan senantiasa menyertai mereka selama bertahun-tahun, akibat hasil perang yang tidak bisa diukur dengan standar militer atau politik saja. (infopalestina.com/asw). salam-online


Foto: Ella

Foto: Ella

Pagi bulan Oktober di Gaza adalah musim panas yang sepoi-sepoi. Saya menghabiskan satu lembar khubz, roti bulat tanpa rasa, bersalut hummus untuk sarapan pagi.

Ini hari terakhir kami liputan. Setelah sarapan, saya masuk kamar dan melihat ke luar jendela hotel. Anak-anak kecil asyik bermain bola di pinggir pantai. Berbeda dari pandangan umum, situasi di Gaza – di luar agresi – bukanlah situasi yang serba dingin dan ngeri. Saya datang ke Jalur Gaza, Palestina tahun 2012. Saat itu situasi konflik hangat-hangat kuku. Sesekali ada hantaman roket Israel, tapi aktivitas berjalan seperti biasa. Namun ada satu yang luar biasa, yaitu anak-anak Gaza.

Awalnya saya sempat berpikir akan menemukan anak-anak kecil yang kuyu dan depresi menghadapi situasi tak menentu di Gaza, Palestina. Namun perkiraan saya meleset total. Di Gaza City, saya dan tim sempat mengunjungi Syaikh Adnan Arrantisi, ulama terkemuka di Palestina. Siang begitu terik, tapi anak-anak tetangga asyik bermain tembak-tembakan di gang depan rumah Syaikh Adnan. Saya tertarik mendokumentasikan kegiatan itu. Tanpa disangka, anak-anak lelaki itu malah mengerubungi saya. Mereka cerewet sekali bertanya tentang kamera saku yang saya bawa.

Anak-anak GAza penasaran dengan kamera, foto: Ella
Anak-anak Gaza penasaran dengan kamera (foto: Ella)

Usai memotret, sesekali saya tunjukkan hasilnya ke mereka. Mereka pun berteriak gembira. Ada juga yang bandel, berusaha melihat paksa. Tapi rekan sepermainan yang lain mengingatkan untuk tetap sopan. Melihat keceriaan mereka, rasanya seperti bukan di Gaza.

Setelah selesai liputan, kami pun segera masuk mobil. Namun dari kaca spion terlihat seorang anak lari-lari mengejar. Saya berpikir mungkin ia hanya iseng saja. Tapi supir memberhentikan mobil dan membuka kaca jendela, dan anak bernama Muhammad itu menyorongkan bolpoin milik saya. Jatuh di tanah, katanya. Saya pun mengambil bolpoin itu dan mengucapkan terima kasih. Teman saya berkelakar, kalau di Indonesia bolpoin yang dipinjam saja bisa hilang. Kami pun tertawa.

Namun ada yang meresap di hati. Dari insiden itu kami mengetahui bahwa tingkat kejahatan di Gaza sangatlah rendah. Dari kecil anak-anak sudah dididik untuk jujur. Saya menemukan buktinya.

Anak-anak perempuan di GAza, foto: Ella
Anak-anak perempuan di Gaza (foto: Ella)

Di kesempatan lain saat  meliput pemakaman korban roket Israel, seorang anak perempuan berjalan sendiri. Kulitnya hitam manis. Rambut hitamnya dikepang dua. Aisha namanya. Nampaknya ia baru pulang sekolah. Anak perempuan di Gaza memang tidak menggunakan jilbab. Bahkan di hari raya Idul Adha, anak-anak perempuan Gaza mematut diri dengan pakaian ala Eropa. Harganya berkisar 500 ribu hingga 1 juta rupiah per helai. Namun anak perempuan yang saya temui kali ini menggunakan seragam sekolah biasa. Ia menatap saya lama sebelum memutuskan bertanya-tanya. Meski bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi keberadaan Aisha sangat membantu. Saya dipersilahkan mampir ke rumahnya, sembari ia pamit kepada orang tua untuk mengantar saya ke pemakaman. Saya dan rekan saya Siska yang terpisah dari kameraman dan penghubung, tidak bisa menolak bantuannya. Kami sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Lewat Aisha kami bisa memahami situasi saat itu.


Anak-anak Gaza riang bermain-main, foto: Ella
Anak-anak Gaza riang bermain-main (foto: Ella)

Takbir bergema mengiringi dua jenazah prajurit Al-Qassam yang meninggal. Saya bertanya kepada Aisha apakah ia takut. Ia menjawab bahwa takdir di tangan Allah, jadi ia tidak takut. Ia malah kagum dengan keberanian saya dan tim meliput ke Gaza, jauh dari Indonesia. Bersamaan dengan itu, pesawat F-16 berputar-putar di atas, memamerkan keangkuhan. Lewat Aisha kami tahu bahwa beberapa kali terjadi insiden pengeboman oleh Israel, saat peziarah mengiring jenazah ke pemakaman. Saya sedikit ngeri, tapi kemudian malu sendiri melihat Aisha tidak sedikitpun menyimpan takut. Kala usai liputan, kami sepakat hendak memberi Aisha uang atas kebaikan hatinya. Tak disangka, anak manis itu menolak tegas. Ia mengibaskan tangannya berkali-kali sambil berkata bahwa ia membantu karena Allah. “Wallahi, wallahi,” ucapnya. Saya terpaku.

Memori tentang Muhammad, Aisha, dan anak-anak Gaza lainnya terlintas ulang dalam benak saya kala menatap ke luar jendela hotel. Bagaimana bisa seorang ibu membesarkan lima hingga sepuluh anak dalam situasi krisis sanggup menanamkan keluhuran budi di hati mereka? Lalu darimana datangnya keteguhan iman sekaligus kepolosan kanak-kanak dalam satu kemasan yang menggetarkan jiwa? Jawabannya saya dapat di menit-menit terakhir meninggalkan Gaza. Saat itu kami sedang menunggu saat keluar perbatasan Rafah, Mesir. Seorang ibu berhijab hitam berjalan menyapa satu persatu sambil menyorongkan sesuatu. 

Awalnya saya berpikir ia sedang berjualan. Orang-orang yang ditanya pun menggelengkan kepala satu persatu. Kelak saya mengetahui bahwa ibu tersebut menemukan sebuah kunci, dan berkeliling untuk menemukan siapa pemilik kunci tersebut. Terakhir, saat tak ada seorang pun yang mengaku memiliki kunci tersebut, si ibu baru menyerahkan ke petugas imigrasi.

Pantai di Gaza, foto: Ella
Pantai di Gaza (foto: Ella)

Budi pekerti tidak hadir atas paksaan. Ia muncul karena teladan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk orang tua. Dari anak-anak Gaza, saya mendapat banyak pelajaran penting tentang itu. Seujung kuku pun hidup saya di Indonesia tidak sebanding dengan penderitaan anak-anak Gaza. Tapi kedewasaan mereka menyikapi hidup, melampaui apa yang berusaha saya amalkan selama ini. Tak terasa, bulir-bulir bening menetes dari mata saya pagi itu. 

Koper telah siap, tinggal menunggu berangkat. Tapi hati saya seperti tertinggal di Gaza, di mata anak-anak Gaza yang ceria, meski moncong senjata Israel siap melumat mereka. Sesungguhnya mereka-lah yang hidupnya lebih merdeka daripada kita. Merdeka dari keinginan duniawi, merdeka dari rasa takut mati. Mereka, anak-anak Gaza. (Ella Devianti/LiputanIslam.com)
  *Penulis adalah seorang jurnalis yang meliput ke Gaza pada tahun 2012.

Mengurai Pernyataan Mantan Panglima TNI: “ISIS Pengalihan Isu”


Mantan Panglima TNI Djoko Santoso-1-jpeg.image
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mendadak, seperti kor paduan suara…mulai di Jakarta hingga ke berbagai daerah mencuat isu ISIS–yang sekarang bermetamorfosa sebagai Islamic State (IS) atau daulah “khilafah”nya Abu Bakar Al-Baghdadi. Tiba-tiba saja dari jajaran pemerintah pusat hingga daerah minta waspadai ISIS.
Bahkan berbagai ormas turut menyatakan hal serupa. Di sejumlah daerah, diberitakan sejumlah ormas bekerjasama dengan aparat setempat menangkal masuknya ISIS ke wilayah mereka.
Dan, isu ini terus “digoreng” dengan sejumlah razia dan penangkapan terkait ISIS, bendera Tauhid ‘Laa ilaaha illallah’ dan stempel Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penggiringan opini yang berujung pada stigma negatif terhadap Khilafah Islamiyah sama seperti kriminalisasi yang pernah dialamatkan pada ‘Negara Islam’ melalui “NII”.
Gonjang ganjing dan waspada yang dinilai oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso sebagai pengalihan isu belaka. Sementara menurut Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustadz Bachtiar Nasir di sejumlah Negara Asean kaget mendengar isu ISIS ini hangat di Indonesia. Ustadz Bachtiar Nasir menyampaikan hal itu dalam pertemuan MIUMI dengan sejumlah ormas Islam untuk menyikap masalah ini, Ahad (10/8), di Jakarta.
Ustadz Bachtiar dengan beberapa cendekiawan dari Indonesia dan negara-negara Asean lainnya baru saja menghadiri sebuah pertemuan di Malaysia. Namun para ulama di negara-negara yang hadir dalam pertemuan tersebut merasa heran dengan informasi bahwa di Indonesia sedang hangat isu ISIS, lantaran di negara mereka masing-masing biasa-biasa saja.
Kita boleh saja waspada atas beragam hal yang jelas-jelas merusak, sesat dan menyesatkan umat dan bangsa ini. Termasuk jika proses untuk menegakkan Khilafah Islamiyah itu tak sesuai dengan syariat Islam.  Tetapi kenapa terhadap hal yang sudah sejak dulu jelas berbahaya, sesat dan menyesatkan umat, pemerintah dan aparat negeri ini tak jua bergerak untuk membasminya? Beberapa aliran dan sekte sesat dan menyesatkan yang jelas-jelas tengah merasuk ke tubuh kaum Muslimin, dibiarkan! Bahkan beberapa gembong aliran dan sekte sesat menyesatkan, termasuk kader-kader baru komunis, masuk ke dalam partai, parlemen dan pemerintahan, tak dipersoalkan! Negara macam apa ini—pengelola dan aparaturnya tidak peka terhadap keadaan sekelilingnya.
Mencuatnya isu ISIS dan ajakan untuk mewaspadainya, perlu kehati-hatian agar jangan sampai sikap dan tindakan kita itu justru menolak tegaknya Khilafah Islamiyah dalam arti sebenarnya yang bahkan diikuti oleh kebencian terhadap simbol-simbol Islam seperti pelecehan atas bendera Tauhid Laa ilaaha illallah dan stempel (logo) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khat kalimat Tauhid dan tulisan Allah, Rasul dan Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu bukan kepunyaan kelompok tertentu, tetapi merupakan simbol yang pernah digunakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, bendera dan stempel Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu milik umat Islam. Membakar dan melecehkannya sama saja memproklamirkan ‘perang’ terhadap Islam dan kaum Muslimin.
Jadi, penafian terhadap Khilafah Islamiyah (Khilafah ‘ala minhajin-Nubuwwah) yang  telah disampaikan lewat lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelecehan terhadap simbol-simbol Islam seperti bendera, juga adalah hal yang harus diwaspadai. Jangan salahkan jika di kalangan umat Islam menyatakan ada pihak-pihak tertentu yang membonceng isu ISIS ini untuk proyek dan agenda mereka sekaligus sebagai upaya pengalihan isu seperti dikatakan Jenderal (Purn) TNI Djoko Santoso tersebut.
Djoko Santoso menanggapi sinis terkait kekhawatiran dengan adanya ISIS di Indonesia sebagai pengalihan isu belaka.
“Apa ada orang Irak di sini. Ini kan bukan tanahnya orang Irak, itu satu pengalihan perhatian dari masalah yang dihadapi bangsa ini,” katanya kepada Okezone, Selasa (12/8/2014).
Ia pun tak meragukan kalau ISIS itu hanya sekadar pengalihan isu dari berbagai persoalan yang sedang terjadi di negeri ini, dimana negara tengah sibuk dengan urusan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemberantasan korupsi.
“Itu bagian dari bentuk pengalihan, tapi kita juga harus tetap waspada gitu ya. Bukan kita mengabaikan, tapi juga mewaspadai itu pengalihan isu juga,” tegasnya.
Penegasan mantan Panglima TNI ini tentu tak sekadar pernyataan ‘sambil lewat’. Sebagai orang yang belum lama meninggalkan posisi penting dan puncak di jajaran TNI, tentu pernyataan dan informasi yang diperoleh Djoko Santoso punya nilai dan bobot khusus. ***
- See more at: http://salam-online.com/2014/08/mengurai-pernyataan-mantan-panglima-tni-isis-pengalihan-isu.html#sthash.PP4bJbrY.gAywjAaD.dpuf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar