Selasa, 17 Juni 2014.
Rentetean keluhan terucap dari pengusaha kripik tempe di Jalan Sanan
Raya, Kecamatan Belimbing, Malang, Jawa Timur. Mendengar itu, Jusuf
Kalla dengan sigap mengeluarkan iPhone 5-nya dari balik saku bajunya. Ia
segera mencari nama Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina di
ponsel pintarnya. “Tunggu, ya, Ibu,” kata Kalla sambil menekan tombol
speaker ponsel.
Sesuatu yang sama sekali tak diduga JK terjadi. Telepon Karen dijawab
operator. “Maaf, nomor telepon yang Anda hubungi tidak bisa dijawab.
Mungkin sedang disadap,” jawab operator.
Mimik JK seketika berubah. Ia tersenyum kecut mendengar kalimat
operator. Ibu-ibu pengusaha hanya melongok ke telepon seluler JK.
“Mungkin beliau sibuk,” kata JK berusaha mengalihkan perhatian. Ia
mencoba menghubungi Karen lagi, tapi tidak bisa tersambung. “Nanti saya
akan bicarakan dengan Pertamina.”
Yuddy Chrisnandi, anggota Tim Pemenangan Jokowi-JK yang berdiri di
samping kanan mantan wakil presiden itu, membenarkan kalimat yang
dilontarkan operator. Ia menyatakan JK masih berstatus sebagai pejabat
negara, sehingga kemungkinan ponselnya dipasangi alat pengaman negara.
“Mungkin telepon Bapak (JK) disadap atau yang ditelepon yang disadap,”
tuturnya berseloroh.
Hari itu, JK sedang berkampanye sebagai calon wakil presiden. Dan para
pengusaha kripik tempe merasa mendapat momentum yang tepat untuk
mengeluhkan gas elpiji 3 kilogram yang dinilai tidak diisi dengan penuh.
Akibatnya, pengusaha merugi karena cepat kehabisan gas elpiji.
“Buktinya, dulu kami masih bisa pakai gas elpiji ini selama enam jam,
sekarang tinggal 4,5 jam saja,” ucap Tini Karim, salah satu pengusaha
kripik.
Penggalan kisah yang dimuat di “JK Telepon Dirut Pertamina, Operator:
Disadap” ini tiba-tiba saja menyeruak saat Karen agustiawan secara resmi
mengundurkan diri sebagai orang nomor satu di Pertamina per 1 Oktober
2014. Bantahan adanya tekanan dilontarkan banyak pihak, termasuk Menko
Perekonomian Chairul Tanjung.
“Saya sebagai Menko tahu persis tidak ada tekanan apapun terkait
Pertamina, apalagi yang berbau politik atau kebijakan ekonomi,” imbuh
Chairul.
Chairul mengatakan, pernyataannya tersebut sebagai penegasan lantaran
banyak pemberitaan di luar yang tidak sesuai kontekstual. Dia bilang,
banyak pemberitaan yang membelokkan alasan pengunduran diri Karen
disebabkan tekanan politik dan tekanan pemerintah.
Tapi nada berbeda disampaikan Bekas Sekretaris Kementerian Badan Usaha
Milik Negara Said Didu menduga pengunduran diri Direktur Utama PT
Pertamina Karen Agustiawan cukup mengejutkan. Ia memperkirakan
pengunduran diri Karen lantaran perempuan itu tak kuat menghadapi
tekanan.
“Saya tahu beliau sangat profesional, mungkin hanya tidak kuat menahan
tekanan dan ketidaktegasan pemerintah,” kata Said saat dihubungi, Senin,
18 Agustus 2014.
Lalu apa kelindan antara kisah JK yang menelepon Karen? Saya tentu saja
tak berani menyimpulkan bahwa tekanan itu berasal dari JK. Tapi sangat
menarik dicermati, JK yang hanya seorang cawapres dengan cekatannya
menelepon Karen. Bisa dibayangkan seberapa dahsyat tekanan yang diterima
Karen. Seorang cawapres saja bisa meneleponnya, apalagi capres, atau
presiden, atau wapres, atau….. (Erwyn Kurniawan @Erwyn2002)
Kisah di balik terhapusnya
piagam Jakarta
-
See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/06/23/21168-kisah-di-balik-terhapusnya-piagam-jakarta.html#sthash.tC96EGj0.dpuf
Arrahmah.com) – Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat,
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam
Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh
Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana
ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di
antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh
Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan
Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar
dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati
yang tak bisa ditawar lagi.
Untuk
meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku
Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya
tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu.
Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk
melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk
melunakkan sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam
memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa
ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo
inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai,
kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus
cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan
masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan
perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama
pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai,
sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan
yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah
balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan
modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke
Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu
dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Ki
Bagus Hadikusumo
Kiai,
di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini
tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang
sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang
Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan
semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai,
tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini
sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan
cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang
berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman
juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata
”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A Wahid Hasyim
dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah AllahSubhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman
menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.
”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman
juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam
bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang
yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan
gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan
ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti
kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu
akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
KH
A Wahid Hasyim
”Hanya
dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan
dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk
menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain
soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi
terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan
yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang
disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen
psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi
memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh
Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu
begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya
mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat
ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik
yang memaksakan kehendak mereka.
Namun
sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati. Kasman sendiri akhirnya
menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah
itu menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil
melobi Ki Bagus, sebagaimana diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan
tidak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia
menceritakan dalam memoirnya,
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco
Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang, pen)
telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada
di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis
seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau
diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya
telah meminta maaf terlebih dahulu.
Teuku
Muhammad Hassan
Ya
apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalahan pada
diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran
Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan
berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….Malamnya
tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu.
Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya pun lelah, letih sekali hari
itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman
mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu.
Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik
tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman
menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang
Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa
enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat
memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk
melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman
telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik,
ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah
yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa
saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti diceritakan tokoh
Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18
Agustus itu.
Bung
Hatta
Dengan
lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua, satu-satunya tempat yang
tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan
dasar negara yang tentu-tentu itu ialah Dewan Konstituante ini! Justru itulah
yang menjadi way out daripada
pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah
pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara
ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua
Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam
muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga
Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni
Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan
bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka
bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara
ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita
untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rahmatullah. Beliau telah
menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan
kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…
Bung
Karno
Gentlement
agreement itu sama sekali tidak bisa
dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia
tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil
Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih
hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara
ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini,
saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi
itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr Soehardi mau memaksa kita
mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr Soehardi menjawab
pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Sidang
Konstituante
Pidato
Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat dan mengusulkan Islam
sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar
biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya
mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain
untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi
Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada
habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini
dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak
lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata
air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.
Kasman
mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si penggali’ air
dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti
Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam
tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai
air yang keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar
biasa, pen) yang tidak dapat dibahas dengan akal
manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya
Allah!”
Begitulah
sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam naskah Piagam Jakarta.
Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi janji-janji muluk kepada
tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya yang jelas dan tegas untuk
memarjinalkan Islam. Menggunting dalam lipatan, menelikung di tengah jalan,
adalah politik yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini
berlandaskan pada syariat Islam.
Inilah
pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita terhadap kelompok
minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan dusta. Umat Islam harus
menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus kembali diberlakukan!
Oleh:
Artawijaya – salam-online.com
——————————-
Keterangan
foto dari atas ke bawah:
Mr Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, KH A Wahid Hasyim, Teuku Mohammad
Hassan, Mohammad Hatta, Soekarno saat pemilu 1955, Sidang Pembahasan
Piagam Jakarta dan Rapat BPUPKI
- See more at:
http://www.arrahmah.com/read/2012/06/23/21168-kisah-di-balik-terhapusnya-piagam-jakarta.html#sthash.yMoWfM6q.dpuf
Islam, Piagam Jakarta dan UUD 1945, Satu Kesatuan Tak Terpisahkan
REP
| 01 June 2012 | 15:27
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/01/islam-piagam-jakarta-dan-uud-1945-satu-kesatuan-tak-terpisahkan-466674.html
Akhir ini banyak sekali yang mencoba membenturkan Islam sebagai
jalan hidup umat Muslim dengan Lima Dasar yang menjadi Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dengan “emosinya” Lima Dasar Negara
NKRI hendak dijadikan “agama” Nusantara.
Jas Merah, kata Bung Karno, Sang Bapak Bangsa…
Maka mari kita coba baca-baca kembali sejarah Bangsa Dan Negara yang mendiami Nusantara ini.
Manusia yang mendiami Nusantara
Pada masa-masa perjuangan membebaskan Nusantara dari penjajahan, yakni
dari abad 17 pasca VOC hingga pertengahan abad 20, kita dapat
mengelompokkan gerakan-gerakan anti-kolonialisme VOC dan Belanda.
- Kelompok pemimpin Kerajaan Islam, seperti: Sultan Babullah (Maluku),
Sultan Hasanuddin (Sulawesi), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Sultan
Trenggono (Demak), Sultan Agung (Mataram Islam), Sisingamangaraja XII
(Tapanuli), Pangeran Antasari (Banjar), I Gusti Ketut Jelantik
(Buleleng, Bali) dll.
- Kelompok pemimpin/tokoh gerakan perlawanan Rakyat, seperti:
Tuanku Imam Bonjol dari Gerakan Paderi, Pangeran Diponegoro, Kapitan
Pattimura, Teuku Umar - Tjut Nya’ Dien, dll.
- Gerakan perlawanan Modern, seperti: Budi Utomo, Syarikat Islam, PNI, PKI, PSII dll.
Kalau di-inventaris semua gerakan perlawanan anti-kolonial, kita akan
mendapati peran umat Islam yang sangat besar dalam gerakan menuju
kemerdekaan. Maka sungguh lupa diri, bila ada orang/kelompok yang hendak
membenturkan Islam dengan Lima Dasar NKRI.
Sejarah Lima Dasar NKRI
Dalam sidang-sidang BPUPKI-PPKI-Panitia Sembilan, kita akan mendapati
beberapa model/macam rumusan Lima Dasar yang diajukan sebagai Dasar
Negara NKRI:
Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin dalam pidato singkatnya mengemukakan lima asas yaitu:
- peri kebangsaan
- peri kemanusiaan
- peri ke Tuhanan
- peri kerakyatan
- kesejahteraan rakyat
Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Mr. Soepomo mengusulkan lima asas yaitu
persatuan
keseimbangan lahir dan batin
kekeluargaan
keadilan rakyat
musyawarah
Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan lima asas pula yang disebut Pancasila yaitu:[2]
- nasionalisme dan kebangsaan Indonesia
- internasionalisme dan peri kemanusiaan
- mufakat atau demokrasi
- kesejahteraan sosial
- Ketuhanan yang Maha Esa
Bisa kita lihat, ada 3 macam usulan Lima Dasar Negara, yang secara
substansi cukup mirip… Dan satu-satunya peran besar Bung Karno, adalah
menamakan Lima Dasar tersebut sebagai Pancasila.
Kelima asas dari Soekarno disebut Pancasila yang menurut
beliau bilamana diperlukan dapat diperas menjadi Trisila atau Tiga Sila
yaitu:
- Sosionasionalisme
- Sosiodemokrasi
- Ketuhanan yang berkebudayaan
Ternyata, Bung Karno sendiri tidak alergi untuk meninggalkan istilah Pancasila. Ingat JAS MERAH.
Lalu lewat persidangan BPUPKI dengan Panitia Sembilan, dirumuskanlah Piagam Jakarta:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Konstitusi Pasca Kemerdekaan
Lewat persidangan PPKI pada 18 Agustus 1945, Umat Islam diwakili oleh
beberapa wakilnya dalam PPKI, menerima dengan lapang hati keputusan
mengubah isi Piagam Jakarta menjadi
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yang kemudian menjadi bagian UUD 1945, yang
disebut Pembukaan UUD 1945, yang selama NKRI berdiri tidak boleh
dirubah. Pembukaan UUD 1945 ini merupakan bentuk kelapangan hati dan
kebesaran jiwa Umat Islam. Sungguh tidak tahu diri, bila ada pihak yang
mencoba mendikotomi UUD 1945 dengan Islam.
Perhatikan juga kalimat
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan …
NKRI merdeka adalah atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…. sungguh
sombong bila kemudian ada yang mempertentangkan hukum yang ditetapkan
oleh Allah dengan “kearifan lokal”…
Lagipula penduduk Lokal Nusantara sejak abad 15 adalah Mayoritas Muslim
yang mengaku Umat Allah, kok bisa-bisanya ada anggapan Kearifan Lokal
Hamba Allah akan bertentangan dengan Hukum Allah?
Ketakutan akan kembalinya berlaku Piagam Jakarta
Hanya Umat Islam yang kurang kerjaan, bila masih ngotot memperjuangkan
Piagam Jakarta, dan hanya orang-orang Paranoid sekaligus lupa sejarah,
bila takut akan kembali berlakunya Piagam Jakarta.
Bung Karno pernah menyatakan:
DEKRET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa :
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG,
Dengan ini menyatakan dengan khidtmat :
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang
Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan
Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan
dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar
Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota
Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstutuante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan
oleh rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh
keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan negara proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undangt-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari
tanggal penetapan dekret ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang
Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama rakyat Indonesia :
Presiden Republik Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Jadi Piagam Jakarta, dengan anak kalimat “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak hanya masih
berlaku, tetapi menjiwai dan menjadi satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari UUD 1945.
Jadi ingat pesan BUNG KARNO, Sang Bapak Bangsa… JANGAN SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH.
3 July 2012 05:18:40
loe belajar lagi teori-teori ketatanegaraan sebelum ngomong ngawur ngga jelas
loe baca tulisan berikut:
Dengan jalan dan cara ini, maka kata Prawoto Mangkusasmito “Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 telah menjadi sumber hukum bagi berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945 “. “Dekrit mengantar berlakunya kembali
Undang-undang dasar 1945, adalah suatu bentuk hukum yang penting”, kata
Mohammad Roem, ”tentu tidak ada satu perkataan pun yang dapat dipandang
tidak berarti.”
Dekrit Presiden dan Kaitannya dengan Konstitusi.
Undang-undang dasar 1945 “yang dijiwai oleh Piagam Jakarta yang
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut” itu telah
diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan
umum 1955, dimana di dalamnya duduk lebih kurang 44% anggota yang
mewakili seluruh Nasionalis Islami tanggal 22 Juli 1959. “Dekrit ini ….
dengan demikian “, komentar Prawoto, ketua umum partai islam Masyumi,
”menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan
golongan warga negara Indonesia, yang harus ditegakkan bersama-sama
dengan saling menghormati identitas masing-masing.” Di dalam nota nya
kepada Presiden Republik Indonesia, 28 Juli 1959, Masyumi menyampaikan
pernyataan dan peringatan sebagai berikut:
Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi
tunduk kepada Undang-Undang Dasar yang berlaku dan oleh karena nya,
merasa berhak pula untuk meminta, dimana perlu untuk menuntut, kepada
siapapun, juga sampai kepada pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula
kepada Undang-Undang Dasar sebagai landasan bersama hidup bernegara.
Tujuh tahun kemudian, memorandum Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong
tertanggal 9 Juni 1966 juga memberi justifikasi atas dekrit presiden
tersebut antara lain sebagai berikut:
Meskipun dekrit 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun
kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia,
terbukti dari persetujuan DPR hasil pemilihan umum (1955) secara
aklamasi pada 22 Juli 1959.
Memorandum DPR – GR termaksud diatas kemudian juga menggaris bawahi
kedudukan piagam Jakarta persis seperti yang direkam di dalam Dekrit
Presiden itu. “dengan demikian, maka berdasarkan dekrit presiden 5 Juli
1959 itu, berlaku kembalilah bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
Undang- Undang Dasar 1945.” Memorandum DPR tersebut kemudian pada
tanggal 5 Juli 1966 di terima baik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
sementara di dalam ketetapannya No.XX/MPRS/1966. Dengan demikian putusan
DPR yang dituangkan di dalam memorandum tersebut ditingkatkan menjadi
ketetapan MPRS.
Untuk memahami lebih baik kandungan makna Dekrit Presiden tersebut dalam
hubungannya dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945 pada satu segi
dan pelbagai formulasi resmi Pancasila pada segi lainnya ,maka teramat
pentinglah kandungan isi dan makna penjelasan resmi Undang-Undang Dasar
1945, pasal “umum”, angka I, yang berbunyi sebagai berikut :
Undang-undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis. Di dalam
bukunya Demokrasi Pancasila Profesor Hazairin menulis bahwa ada 4 Negara
Republik Indonesia dikenal dalam sejarah: pertama dari 18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949; kedua dari 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus
1950; ketiga dari 15 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959; dan yang keempat
dari 5 juli 1959 sampai sekarang.
…Maka dengan Dekrit (Presiden 5 Juli 1959 ) itu menjelmalah
NRI/IV(Negara Republik Indonesia/IV), yang menggantikan NRI/III dan sama
sekali bukan menggantikan NRI/I yang telah berakhir semenjak 27
Desember 1949.
Keabsahan pernyataan ini tidak dapat dibantah, sebagaimana juga
pernyataan bahwa dengan Dekrit Presiden tersebut berarti kembali kepada
Undang-undang Dasar 1945, yang bagi banyak orang mengandung pengertian
hidupnya kembali Piagam Jakarta. Doktor Roeslan Abdul Gani, seorang
tokoh utama PNI dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung selaku ketua pembina jiwa Revolusi, menulis :
Tegas-tegas di dalam dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara
historis-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam
hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita, yakni: Jakarta
Charter sebagai menjiwai UUD 1945 dan Jakarta charter sebagai merupakan
rangkaian kesatuan dengan UUD 1945 A. (cetak miring oleh Roeslan Abdul
Gani –ESA ).
Profesor A.Sanusi, ketika membahas eratnya kaitan antara Piagam Jakarta
dengan Dekrit, menerangkan bahwa Piagam Jakarta setelah 5 Juli 1959
disenafaskan dengan konstitusi 1945 .”dengan demikian”, katanya,
“dilegalisir dalam tingkatan konstitusi. Sebagaimana Sanusi, Hazairin
menganggap perujukan dekrit pada Piagam Jakarta “adalah maha penting
bagi penjelasan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang tanpa perangkaian tersebut
akan menjadi kabur dan dapat menimbulkan pelbagai macam tafsir yang
bersimpang siur dan absurd.”
Dalam dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menentukan berlakunya
Undang-undang dasar 1945 bagi seluruh Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terdapat pula pernyataan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Maksud
dekrit Presiden itu ialah untuk menyelamatkan Republik Proklamasi dan
diantara pertimbangan-pertimbangan untuk mengadakan Dekrit itu ialah
disebut “hubungannya Piagam Jakarta dengan Undang-undang dasar 1945”.
Ahmad Syafi’i Ma’arif yang menulis disertasi tentang percaturan pemikiran di Konstituante, menulis:
“Tercantumnya konsiderasi sangat penting ini (bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut) jelas merupakan suatu
kompromi politik lagi antara pendukung dasar Pancasila dan Dasar Islam.
Menurut pertimbangan kita, bilamana konsiderasi itu mempunyai makna
Konstitusional, dan memang seharusnya demikian, maka, sekalipun hanya
secara implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syariat bagi pemeluk
agama Islam tidaklah dimatikan”.
Dekrit presiden 5 juli 1959 adalah suatu jalan yang unik. Selama 14
tahun, dari tanggal 22 Juni 1945 waktu ditandatanganinya gentlemen
agreement antara pimpinan-pimpinan Nasionalis sekuler dan Nasionalis
Islami sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI
diundangkan, kedudukan ketentuan “kewajiban menjalankan syari’at islam
bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasive-source. Sebagaimana hasil
sidang-sidang BPUPKI adalah persuasive-source bagi
grondwet-interpretatie dari UUD 1945, maka Panglima Jakarta sebagai
salah satu hasil dari sidang, BPUPKI adalah juga merupakan
persuasive-source dari UUD 1945.
Barulah dari ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum islam menjadi
authoritative-source, sumber otoritatif dalam hukum tatanegara
Indonesia, bukan sekedar persuasive-soucer atau sumber persuasif.
Piagam Jakarta
Menjiwai Proklamasi
Oleh
M. Fuad Nasar
Tanggal
22 Juni mempunyai arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal itu dalam
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar
negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromi antara
pihak yang menganjurkan negara Islam dan pihak yang menginginkan negara
persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dengan urusan keagamaan.
Konsensus
nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu
dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr. Muhammad Yamin disebut Piagam
Jakarta atau Jakarta Charter. Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam
kalimat; negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar
kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, yang merupakan rumusan lima prinsip falsafah negara yang
pertama yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan Pancasila.
Dokumen
politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditanda-tangani oleh panitia kecil
yang dibentuk oleh BPUPKI, terdiri oleh 9 orang pemimpin bangsa yang mewakili
golongan kebangsaan (nasionalis sekuler), golongan Islam (nasionalis Islam),
termasuk wakil dari golongan nasionalis Kristen yaitu: Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar
Moezakir, A. Salim, Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mohammad Yamin. Pada
waktu itu Ir. Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya
mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.
Diungkapkan
oleh Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar
Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), pada waktu Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan menutup sidangnya yang kedua dan terakhir pada tanggal 17
Juli 1945, selesailah diterima dengan sebulat-bulatnya oleh Badan itu
rancangan-rancangan Pernyataan, Pembukaan dan Undang-Undang Dasar (UUD)
Republik Indonesia.
Pemimpin
Masyumi dan mantan Wakil Perdana Menteri itu lebih jauh menulis, timbul
sekarang satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab rumus
“Piagam Jakarta” yang didapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan
tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di
dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam
beberapa menit saja dapat diubah?
Dalam
buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Jakarta: Tintamas, 1969
hlm. 67- 68), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari
tanggal 17 Agustus 1945 yang dampaknya sangat menentukan bagi sejarah Republik
Indonesia di kemudian hari.
“Pada
sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda
menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena
ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang.”
“Opsir
itu yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan
dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam
daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat
terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.”
“Mereka
mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat
yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu
dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi
terhadap golongan minoritas. Jika ‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka
lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”
Setelah
menerima ‘kabar penting’ itu, Hatta masih punya waktu semalam untuk berpikir.
Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia
Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini
didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh’, perkataannya
itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan
saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk
mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi.
Karena
begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang
panitia Persiapan dimulai, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim,
Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat
pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai
bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum
Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Pagi
hari tanggal 18 Agustus, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dimulai, Hatta mengundang para anggota Panitia yang dianggap termasuk
kalangan Islam untuk meninjau kembali perumusan tentang kewajiban menjalankan
syariat Islam itu. Dalam pertemuan dengan wakil-wakil Islam tadi, Hatta
menjelaskan apa yang ia dengar dari perwira Jepang itu.
Tidak
ada suatu protes atau pernyataan keberatan yang dilayangkan oleh para pemimpin
Islam dalam sidang itu. Hatta tidak mengutamakan perumusan, baginya yang
penting ialah agar masyarakat menjalankan ajaran agamanya. Mereka melihat Hatta
sebagai pribadi yang bermoral tinggi, seseorang yang tidak akan mengelabui
mereka. Mereka juga tidak mengingatkan sikap Maramis sebagai wakil golongan
Kristen, yang telah menyetujui perumusan semula tentang syariat Islam itu.
Perubahan
teks Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal Batang Tubuh UUD berlangsung tanpa
ganjalan disebabkan keberhasilan lobbi yang dilakukan oleh Hatta. Sedangkan
Soekarno pada waktu itu tidak mau melibatkan diri bahkan menjauhkan diri dalam
detik-detik yang menentukan itu dan dia hanya mengirim putera Aceh Mr. T.M.
Hasan ke gelanggang lobbying.
Bung
Hatta menyatakan dalam bukunya, “Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat
Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang
berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR
untuk diatur dalam bentuk undang-undang.
Salah
seorang pelaku sejarah, yakni Mr. Kasman Singodimedjo menuturkan dalam buku
Hidup itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, “Saya pun di dalam lobbying
itu ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tanpa
pencoretan atau penghapusan dari tujuh kata-kata termaksud, karena Piagam
Jakarta itu adalah wajar dan logis sekali bagi bangsa dan rakyat Indonesia
secara keseluruhan. Tetapi saya pun tidak dapat memungkiri apalagi
menghilangkan, adanya situasi darurat dan terjepit saat itu. Kita bangsa
Indonesia pada waktu itu sungguh terjepit antara Sekutu yang telah
tingil-tingil hendak mendarat dan menjajah kembali di bawah penjajah Belanda
(anggota Sekutu) dan pihak Jepang yang tongol-tongol masih berada di bumi kita,
yakni Jepang yang berkewajiban menyerahkan segala sesuatunya (termasuk
Indonesia) kepada Sekutu (termasuk Belanda). Jepitan itulah yang membikin kami
golongan Islam dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tidak dapat
tetap ngotot prinsipil, dan akhirnya kami menerima baik janji Bung Karno, yakni
nanti 6 (enam) bulan lagi wakil-wakil bangsa Indonesia berkumpul di dalam forum
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang
sempurna, sesempurna-sempurnanya, seperti (janji tersebut) dapat juga dibaca di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagian terakhir.”
Dalam
susunan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hanya empat orang
penandatangan rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang oleh Muhammad
Yamin disebut ‘Piagam Jakarta’ atau ‘Jakarta Charter’ itu yang ditunjuk menjadi
anggota Panitia Persiapan, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, dan
A. Wahid Hasjim. Sedangkan Kasman Singodimedjo, yang menjadi anggota baru
sebagai tambahan, menerima undangan baru pada pagi hari itu dan ia bukan
anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Menurut
Prawoto Mangkusasmito dalam tulisannya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, “Seluruh tekanan psikologis tentang hasil atau tidaknya
penentuan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo,
sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada saat itu.”
Teuku
Mohammad Hasan dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah mengenang peristiwa yang
dialami ketika itu, “Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sudah
dikumandangkan, tapi persiapan untuk berdirinya suatu negara yang merdeka terus
dilakukan…..Bung Hatta menjelaskan kepada saya tentang kekukuhan Ki Bagus
Hadikusumo untuk mempertahankan tujuh kata di atas baik dalam Pembukaan maupun
Pasal 29 ayat 1. Kemudian saya diajak membicarakan hal ini dengan Bung Karno
selama lima menit …...”
“Saya
menyangggupi permintaan mereka untuk meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo agar
sedikit lunak, mau menghilangkan tujuh kata itu. Lalu saya mengajak Pak
Hadikusumo bicara sekitar sepuluh menit. Saya katakan kepada beliau, kita perlu
kemerdekaan. Kalau lama terus begini, bisa-bisa orang Kristen dipersenjatai
oleh Belanda. Padahal, kita kan maunya merdeka, bukan berperang. Kalau itu
dicantumkan, bisa-bisa nanti yang lain juga minta. Lebih baik kita cepat
merdeka, kata saya. Ini semua kan masih bersifat sementara. UUD ini pun masih
bersifat sementara. Coba lihat pasal peralihan yang antara lain mengatakan,
dalam tempo sepuluh tahun akan ditinjau kembali. Itulah alasan saya untuk bisa
meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Orang Islam, kata saya menjelaskan, tidak perlu
takut. Jumlah kita kan 90 persen dari seluruh penduduk. Kalau kita banyak, kita
tidak perlu takut. Yang penting merdeka dulu. Setelah itu, terserah kita mau
dibawa ke mana negara ini.”
“Saya
segera melaporkan hasil pembicaraan itu kepada pimpinan, dan rapat pun segera
dimulai. Ternyata, dalam pertemuan, semuanya bisa berjalan dengan lancar.
Pemimpin Islam dan tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo yang meski semula
tidak puas sama sekali dengan saran Hatta, tetapi akhirnya dapat menerima
perubahan rumusan konstitusi itu dengan mengusulkan kata-kata Yang Maha Esa di
belakang perkataan Ketuhanan.”
“Prawoto
Mangkusasmito pernah menanyakan arti istilah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu
kepada Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan. Kedua pelaku sejarah
tersebut memberi jawaban yang sama bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang mereka
usulkan dalam sidang PPKI itu sebagai pengganti tujuh kata yang didrop
(dihapuskan) bermakna ‘tauhid’.”
“Ki
Bagus Hadikusumo juga mengusulkan penyempurnaan rumusan kalimat: ‘Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’, diubah menjadi
‘Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab’.”
Perubahan
lainnya dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar, presiden ialah orang Indonesia
asli dan beragama Islam (pasal 6 ayat 1), kata-kata ‘beragama Islam’ dicoret,
serta penggantian kata ‘muqaddimah’ menjadi ‘pembukaan. Tujuh kata yang menjadi
‘crusial-point’ itu sebelumnya telah diterima sebagai gentlemen agreement
dan kalimat kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam, yang dicapai dengan
susah payah dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI).
Semula
golongan Islam menuntut agar negara Indonesia berdasarkan Islam, namun kemudian
ada kompromi hingga menemukan bentuk negara berdasarkan Ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diterima dengan
nama Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta itu menjadikan Indonesia merdeka
bukan sebagai ‘negara sekuler’ dan bukan pula ‘negara Islam’.
Rumusan
‘Piagam Jakarta’ itu ditanda-tangani oleh Panitia yang terdiri dari 9 orang
pemimpin yang representatif mewakili bangsa Indonesia, baik dari segi aliran
politik yang dianut mereka maupun dari segi agama.
Ki
Bagus Hadikusumo setibanya dari Jakarta beberapa hari setelah proklamasi,
mengundang rapat khusus PP Muhammadiyah di Yogyakarta untuk membahas perumusan
konstitusi itu. Sambil mengungkapkan situasi serba darurat dan keadaan yang
serba memaksa yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ki Bagus
mengingatkan bahwa perjuangan umat Islam mencapai cita-citanya belum selesai,
dan masih harus diperjuangkan terus di masa-masa datang.
Menurut
Mohammad Natsir, “Sampai sekarang, kita semua tidak tahu siapa orang Kristen
itu, apakah benar ada atau tidak. Sejarah belum berhasil mengungkapkan hal itu.
Andaikata tadinya umat Islam berkata: Kalau begini caranya, mudahnya
membatalkan hasil perundingan yang begitu payah diselesaikan, maka biarlah kami
tidak ikut serta dalam Republik Indonesia. Nah, kalau demikian apa yang akan
terjadi?
Untunglah
hal itu tidak kejadian. Tetapi, begitulah umat Islam menahan perasaannya,
dengan segala akibatnya di belakang hari.”Mengapa kelompok Islam menerima
hasil-hasil pertemuan tanggal 18 Agustus 1945, menarik disimak tesis Harun
Nasution yang membahas tentang masalah ini.
“Masa
revolusi bukanlah saat yang tepat (bagi nasionalis Islami) untuk mendesak terlaksananya
cita-cita Islami mereka. Bagi mereka mempertahankan kemerdekaan Indonesia harus
didahulukan. Pandangan seperti ini antara lain tersimpul dalam pidato Kasman
Singodimedjo dalam Konstituante yang mengutarakan mengapa kelompok Islami tidak
mengajukan protes ketika ketentuan Islami dihilangkan dari Piagam Jakarta pada
tanggal 18 Agustus 1945. Ia mengatakan, pada saat seperti itu, mengingat
kalahnya Jepang dan mendaratnya tentara Sekutu, tidaklah tepat membicarakan
materi tersebut secara mendalam.”
Dalam
sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu, Soekarno seperti dicatat oleh Prof.
Mr. H. Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid I,
menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar ini adalah undang-undang dasar sementara,
undang-udang dasar kilat, suatu revolutiegrondwet. Nanti kalau kita
telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
Di pihak
Islam, ketika itu dan umumnya sampai tahun 1955, yakin bahwa mereka akan keluar
sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Oleh sebab optimisme inilah, maka Kasman
berhasil mendesak Ki Bagus agar menerima saran Hatta.
Perkembangan
sejarah di kemudian hari menunjukkan bahwa sifat sementara undang-undang dasar,
sebagaimana secara historis harus diartikan demikian, dengan sendirinya
berakhir dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Pendapat di atas dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra
dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Hukum Tata Negara di Universitas
Indonesia tahun 1998 dengan judul Politik dan Perubahan Tafsir Atas Konstitusi.
Menarik
direnungkan ulasan Mr. Mohamad Roem dalam pengantar buku Piagam Jakarta 22 Juni
1945 karya Endang Saifuddin Anshari, “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan
oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya.
Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan
Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat
Islam bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama,
Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, mengatakan Pancasila hadiah terbesar yang
diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.
”Perjanjian
luhur antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang
telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang selanjutnya pada
tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, setelah kata
ke-Tuhanan, merupakan cerminan sikap kenegarawanan (statemenship) dan
komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik
Indonesia. Dalam perkembangan di kemudian hari sehubungan Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam
konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan,
kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi
tersebut.”
Pertanyaan
yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi)
dan H. A. Sjaichu (NU) kepada Pemerintah yang diwakili oleh Perdana Menteri
Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan
Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban resmi Pemerintah yang
disampaikan oleh Perdana Menteri Juanda, bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut
tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945,
dengan demikian perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan
arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya
sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk
agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syariat Islam.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan
dokumen historis terpatri dalam Konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali
amandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan
amandemen ke-5, namun diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati
sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang majemuk ini. Menggaris
bawahi statement Bung Hatta, semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Selanjutnya
dalam rangka menjamin kepentingan agama dan umat beragama di Indonesia, pada
tanggal 3 Januari 1946 didirikan Kementerian Agama dengan Menteri Agama pertama
almarhum H.M. Rasjidi. Pembentukan Kementerian Agama adalah inisiatif dan
perjuangan para pemimpin Islam melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang menjalankan fungsi sebagai parlemen pertama Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar