Utang Luar Negeri RI Capai Rp3.000++ Triliun di Awal Tahun
JAKARTA – http://economy.okezone.com/read/2014/03/19/20/957589/utang-luar-negeri-ri-capai-rp3-000-triliun-di-awal-tahun
Bank Indonesia (BI) mencatat total utang
luar negeri Indonesia per Januari 2014 mencapai USD269,27 miliar atau
Rp3.042,751 triliun jika mengacu kurs Rupiah sebesar Rp11.300 per USD.
Besaran utang tersebut naik sekira USD5,21 miliar atau 1,97 persen dari
jumlah utang bulan sebelumnya yang tercatat berada pada USD264,06
miliar.
Dikutip dari situs BI, Rabu (19/3/2014), utang luar negeri Indonesia terbesar masih berasal dari sektor swasta yang mencapai USD141,35 miliar, yang terdiri dari utang pihak perbankan sebesar USD23,96 miliar dan nonbank mencapai USD117,39 miliar.
Untuk utang luar negeri sektor swasta, pinjaman masih didominasi sektor swasta nonbank yang sebesar USD117,39 miliar. Kurang lebih 77 persen dari total utang luar negeri sektor swasta.
Meski demikian, besaran utang luar negeri dari sektor swasta tercatat mengalami penurunan tipis yakni sebesar 0,59 persen dari jumlah utang bulan sebelumnya yang tercatat mencapai USD140,51 miliar.
Sementara itu, utang luar negeri pemerintah dan Bank Sentral tercatat membengkak sekira USD4,38 miliar atau sekira 3,5 persen hingga mencapai USD127,92 miliar. Besaran tersebut masih didominasi utang pemerintah yang mencapai kurang lebih 92 persen atau sekira USD118,87 miliar.
Utang luar negeri BI sendiri pada Januari 2014 tercatat mencapai USD9,045 miliar atau turun sekira USD205 juta dari besaran utang bulan sebelumnya yang mencapai USD9,225 miliar.
(mrt)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/03/06/utang-luar-negeri-indonesia-naik-rp-82-triliun-per-februari-2014
Jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia, melonjak cukup tinggi, dalam dua bulan pertama tahun 2014.
Berdasarkan data Bloomberg, data ULN dalam bulan Januari dan Februari 2014 bertambah 7,2 miliar Dolar AS atau sekitar Rp 82 triliun.
Rinciannya, pemerintah 4 miliar Dolar AS yang berasal dari penerbitan global bond pada awal tahun dan utang swasta 3,2 miliar Dolar AS.
Utang swasta terbesar datang dari perusahaan taipan milik Chairul Tanjung atau yang dikenal dengan panggilan CT. Pemilik CT Corporate ini tercatat memiliki utang mencapai 2,9 miliar Dolar AS dari sindikasi perbankan.
Jika ditarik ke belakang, ULN sektor swasta terus meningkat porsinya. Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia (BI), porsi utang swasta di 2013 mencapai 53,21 persen atau naik menjadi 140,51 miliar Dolar AS.
Sebelumnya di 2012, porsi utang swasta 126,25 miliar Dolar AS atau sebesar 50 persen dari total utang.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, kenaikan pada utang sektor swasta merupakan hal yang sah-sah saja.
Namun, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah harus waspada kalau ada perusahaan yang pendapatannya dalam rupiah lalu berutang dalam dolar.
Lana menyatakan, kalau perusahaan yang pendapatan dan utangnya sama-sama dalam Dolar AS tidak jadi masalah, karena sudah terjadi hedging alias lindung nilai secara alamiah. Swasta harus punya hedging untuk mengamankan risiko dari nilai tukar.
Di sisi lain, harus ada batasan seberapa besar perusahaan swasta bisa berutang. "Tiga kali dari modal yang dia punya. Tidak bisa lewat," ujar Lana, Rabu (5/3/2014).
Kalau batasan itu terlewati, dikhawatirkan utang tadi akan berada di luar kontrol perusahaan. Sebab, utang di luar bank tidak ada yang mengatur.
Menurut Lana, seharusnya swasta mempunyai deposit valuta asing (valas) dalam negeri sebesar tiga kali lipat dari bunga dan cicilan pokok.
Kalau ada kondisi krisis di dalam negeri maka deposit tersebut bisa digunakan. (Margareta Engge Kharismawati)
Dikutip dari situs BI, Rabu (19/3/2014), utang luar negeri Indonesia terbesar masih berasal dari sektor swasta yang mencapai USD141,35 miliar, yang terdiri dari utang pihak perbankan sebesar USD23,96 miliar dan nonbank mencapai USD117,39 miliar.
Untuk utang luar negeri sektor swasta, pinjaman masih didominasi sektor swasta nonbank yang sebesar USD117,39 miliar. Kurang lebih 77 persen dari total utang luar negeri sektor swasta.
Meski demikian, besaran utang luar negeri dari sektor swasta tercatat mengalami penurunan tipis yakni sebesar 0,59 persen dari jumlah utang bulan sebelumnya yang tercatat mencapai USD140,51 miliar.
Sementara itu, utang luar negeri pemerintah dan Bank Sentral tercatat membengkak sekira USD4,38 miliar atau sekira 3,5 persen hingga mencapai USD127,92 miliar. Besaran tersebut masih didominasi utang pemerintah yang mencapai kurang lebih 92 persen atau sekira USD118,87 miliar.
Utang luar negeri BI sendiri pada Januari 2014 tercatat mencapai USD9,045 miliar atau turun sekira USD205 juta dari besaran utang bulan sebelumnya yang mencapai USD9,225 miliar.
(mrt)
Utang Luar Negeri Indonesia Naik Rp 82 Triliun Per Februari 2014
Kamis, 6 Maret 2014 03:50 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/03/06/utang-luar-negeri-indonesia-naik-rp-82-triliun-per-februari-2014
Jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia, melonjak cukup tinggi, dalam dua bulan pertama tahun 2014.
Berdasarkan data Bloomberg, data ULN dalam bulan Januari dan Februari 2014 bertambah 7,2 miliar Dolar AS atau sekitar Rp 82 triliun.
Rinciannya, pemerintah 4 miliar Dolar AS yang berasal dari penerbitan global bond pada awal tahun dan utang swasta 3,2 miliar Dolar AS.
Utang swasta terbesar datang dari perusahaan taipan milik Chairul Tanjung atau yang dikenal dengan panggilan CT. Pemilik CT Corporate ini tercatat memiliki utang mencapai 2,9 miliar Dolar AS dari sindikasi perbankan.
Jika ditarik ke belakang, ULN sektor swasta terus meningkat porsinya. Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia (BI), porsi utang swasta di 2013 mencapai 53,21 persen atau naik menjadi 140,51 miliar Dolar AS.
Sebelumnya di 2012, porsi utang swasta 126,25 miliar Dolar AS atau sebesar 50 persen dari total utang.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, kenaikan pada utang sektor swasta merupakan hal yang sah-sah saja.
Namun, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah harus waspada kalau ada perusahaan yang pendapatannya dalam rupiah lalu berutang dalam dolar.
Lana menyatakan, kalau perusahaan yang pendapatan dan utangnya sama-sama dalam Dolar AS tidak jadi masalah, karena sudah terjadi hedging alias lindung nilai secara alamiah. Swasta harus punya hedging untuk mengamankan risiko dari nilai tukar.
Di sisi lain, harus ada batasan seberapa besar perusahaan swasta bisa berutang. "Tiga kali dari modal yang dia punya. Tidak bisa lewat," ujar Lana, Rabu (5/3/2014).
Kalau batasan itu terlewati, dikhawatirkan utang tadi akan berada di luar kontrol perusahaan. Sebab, utang di luar bank tidak ada yang mengatur.
Menurut Lana, seharusnya swasta mempunyai deposit valuta asing (valas) dalam negeri sebesar tiga kali lipat dari bunga dan cicilan pokok.
Kalau ada kondisi krisis di dalam negeri maka deposit tersebut bisa digunakan. (Margareta Engge Kharismawati)
Menimbang Politik Intervensi
21 April 2014
DALAM
ruang politik demokrasi Indonesia yang tersandera oleh kuasa oligarkhi,
menawarkan tesis intervensi politik dengan memihak salah satu kekuatan
politik yang tengah berkontestasi dalam proses elektoral memang
mengundang kontroversi. Setidaknya ada dua catatan kritis atas pilihan
politik intervensi tadi yakni:
pertama, melakukan intervensi
politik atas salah satu kubu dari kekuasaan yang sedang bertarung di
tengah penuhnya ruang politik oleh kontestasi dan negosiasi di antara
kekuatan oligarkhi adalah tindakan sembrono. Sekali kita masuk ke dalam
salah satu pihak kekuatan oligarkhi, dengan mudah kita terserap menjadi
sekrup dan instrumen yang akan memperkuat faksi oligarkhi yang tengah
kita dukung.
Kedua, alih-alih mendorong pada perubahan politik
progresif, inisiatif melakukan intervensi politik tidak memberikan
dampak riil terhadap basis sosial dari kaum progresif: kaum marhaen,
rakyat pekerja, petani, dan rakyat miskin. Sehingga dalam pandangan
kritis ini, hanya individu-individu yang melakukan intervensi itu saja
yang syukur-syukur dapat jatah kekuasaan, dan lagi-lagi itu sama
saja dengan terserapnya mereka dalam arus besar logika oligarkhi,
kasarnya: menjadi pengkhianat gerakan!
Tulisan
ini bermaksud mempertahankan pilihan untuk melakukan politik intervensi
dalam Pemilihan Presiden 2014 dan proses politik paska elektoral,
sekaligus memberikan catatan kritis prakondisi apa sajakah yang harus
dikemukakan agar suatu pilihan politik intervensi menjadi tidak delusif
(dalam artian memiliki angan-angan tinggi yang berharap akan diraih
semalam), sekaligus mengantisipasi avonturisme politik (mencari
kesempatan menjadi elite dalam arus utama oligarkhis dan meninggalkan
agenda gerakan).
Inisiatif
politik intervensi dalam momen elektoral Pilpres 2014 dan proses
politik yang menyertainya ini setidaknya memiliki tiga tujuan:
Pertama, membendung fasisme berkuasa.
Kedua, mempengaruhi kekuasaan populis untuk menoleh pada agenda program politik progresif. Ketiga,
menyiapkan jalan untuk membangun blok politik progresif dalam arena
politik demokrasi di Indonesia. Ketiga tujuan ini tentu tidak akan dapat
dipenuhi dalam semalam dan membutuhkan kerja-kerja serius dengan
mempertimbangkan keterbatasan maupun peluang dalam kondisi obyektif yang
ada sehingga inisiatif politik intervensi tidak mengalami disorientasi.
Membendung Fasisme
Sekarang
kita akan mendiskusikan tujuan pertama politik intervensi terlebih
dahulu yakni membendung fasisme. Benarkah ancaman fasisme itu ada dalam
proses pelembagaan politik demokrasi di Indonesia sekarang? Mereka yang
menyangsikan bahwa ancaman fasisme dalam perjalanan demokrasi di
Indonesia itu mengada-ada melihat bahwa tidak mungkin arah demokrasi
Indonesia akan dibalikkan kembali menuju tatanan politik otoritarian
bahkan totalitarian dengan kemenangan satu kekuatan politik tertentu.
Mereka melupakan bahwa kondisi fasisme dapat terbangun dalam konteks
pelembagaan politik demokrasi. Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut
tentang kemungkinan fasisme dalam instalasi politik pelembagaan
demokrasi, mari kita menelusuri terlebih dahulu apakah itu fasisme.
Pertama-tama fasisme tidaklah dapat dikategorisasikan semata-mata
sebagai sebuah rezime totalitarianisme, namun sebagai instrumen
ideologis (hegemoni) dari faksi-faksi borjuasi tertentu di saat krisis
untuk melawan faksi kelas dominan dengan cara mentralisir
dimensi-dimensi pertarungan ekonomi-politik yang sesungguhnya dalam
sistem, membelokkannya sebagai konflik bercorak kultural dengan
menjadikan identitas kultur tertentu sebagai musuh bersama, misalnya
dalam manifestasi anti-China/Yahudi, anti non-muslim/anti-muslim untuk
membangun persatuan nasional dengan menolak kesetaraan dan
menumbuhkembangkan tatanan sosial berbasis hierarkhi (Jodi Dean 2006).
Kaum
yang mengklaim diri sebagai kaum demokrat dan tidak risau akan ancaman
fasisme melupakan bahwa kekuatan politik fasisme dapat hidup,
beradaptasi dan kemudian merusak tatanan politik demokrasi. Tampilnya
kekuatan politik Front Nasional Fascis di Prancis, di bawah pimpinan
Jean Marie Le Pen (yang kemudian kepemimpinan Front Nasional dilanjutkan
oleh anaknya Marine Le-Pen sejak tahun 2011) yang hampir saja
memenangkan Pemilihan Presiden Prancis tahun 2002, menjadi salah satu
contoh dari ancaman fasisme dalam tatanan demokrasi liberal yang mapan.
Front Nasional Prancis ditopang oleh kekuatan-kekuatan borjuasi
domestik, borjuasi kecil dan kalangan masyarakat akar rumput yang
meyakini bahwa krisis ekonomi di Eropa bukanlah krisis dalam sistem
kapitalisme namun akibat banyaknya kaum imigran non-Eropa seperti kaum
Muslim Timur Tengah yang menetap di Prancis sebagai sumber dari segala
masalah.
Tendensi
karakter politik anti orang asing/imigran sebagai rujukan dari dorongan
kebijakan anti-imigrasi mereka merupakan manifestasi dari fasisme
kelompok Front Nasional di Prancis. Di Negara demokrasi liberal lainnya
seperti Amerika Serikat, seperti dikemukakan Noam Chomsky, gerakan Tea Party
yang mempersatukan kekuatan-kekuatan konservatif juga dapat dikatakan
sebagai anasir fasisme. Salah satu bukti dari tendensi fasisme di
gerakan Tea Party, dapat dilihat dari beberapa isu tentang Muslim atau
tidak Muslimnya Presiden Obama dalam situs mereka (Judson Phillips 2012
di www.teapartynations). Meskipun belum menjadi gerakan massa yang dominan, namun gerakan tea party saat ini berhasil menjadi bagian dari kekuatan sosial pendukung partai Republik.
Apabila
gejala fasisme ternyata secara faktual dapat tumbuh di negara demokrasi
liberal seperti di Prancis dan Amerika Serikat, lalu bagaimanakah
kemungkinan hadirnya fasisme di Indonesia? Apakah itu hanya propaganda
politik murahan dan pepesan kosong? Mari kita analisis secara seksama.
Salah satu karakter dari pelembagaan politik demokrasi di Indonesia
adalah perhatian yang begitu kuat atas pelembagaan demokrasi dalam
konteks bagaimana cara memilih elite dan pemimpin politik melalui
mekanisme demokrasi dan tidak adanya perhatian terhadap jaminan dan
pembelaan hak-hak sipil dari warga negara.
Dalam konteks demikian, kita
menyaksikan bagaimana kelompok-kelompok beridentitas tertentu seperti
warga Syiah, Ahmadiyah, maupun etnis tertentu seperti kaum Tionghoa
semenjak era kerusuhan Mei 1998 sampai pada pengusiran warga Syiah di
Sampang, Madura, kerapkali berada pada posisi sebagai warganegara kelas
dua. Dalam karakter demokrasi oligarkhis di level nasional maupun
demokrasi predatoris di tingkat politik lokal, fenomena ini bukan
semata-mata terjadi karena pembiaran negara atas pelanggaran hak-hak
sipil.
Tendensi
hancurnya ruang hidup bersama dan hilangnya penghormatan terhadap
hak-hak sipil warga negara ini berlangsung karena pertautan kepentingan
ekonomi-politik antara elite dan kekuatan-kekuatan sosial
anti-keberagaman di Indonesia. Sebagai contoh, berlarut-larutnya
persoalan pengusiran yang dihadapi oleh warga Syiah dari kampung
halamannya karena pihak penguasa elite politik nasional dan lokal
memiliki pertemuan kepentingan dengan kekuatan-kekuatan konservatif
dalam politik elektoral.
Kepentingan tersebut berhubungan dengan upaya
untuk mempertahankan kekuasaan dan menjaga keberlangsungan kemakmuran di
lingkaran-lingkaran politik yang mereka kelola. Kondisi demikian
semestinya menyadarkan kita bahwa jaminan dan perlindungan terhadap
hak-hak sipil masih rentan menjadi permainan politik kepentingan dari
elite-elite politik, sementara jaminan kebebasan sipil inilah yang
kerapkali menjadi sasaran empuk dari serangan politik fasisme.
Apabila
kalangan elite predator dan oligarkhis yang saat ini berkuasa di
Indonesia menjadikan rasa aman, kebebasan dan hak berkeyakinan dan
berbicara sebagai permainan politik mereka dalam melakukan transaksi
politik, maka hadirnya kekuatan fasisme yang saat ini mulai mendapatkan
dukungan politik di Indonesia akan berpotensi memberikan pembenaran
ideologis dari tindakan-tindakan yang lebih mengerikan bagi hak-hak
setiap warganegara.
Apabila kekuatan-kekuatan fanatik dan fasis bersatu
dan memenangkan momen elektoral 2014, maka terbuka kemungkinan atas nama
pemurnian agama, semangat anti-asing, promosi identitas ‘asli’
Indonesia maupun pandangan-pandangan chauvinistic semakin menyebar di
kalangan masyarakat. Dengan berkuasanya kaum fasis, maka mereka akan
berjuang untuk menginkorporasikannya sebagai instrumen hegemonik mereka
di dalam negara. Dan jika ini terjadi, tentu saja ini merupakan pukulan
fatal bagi perjalanan demokrasi di Indonesia, dan ancaman itu nyata
tidak mengada-ada.
Dalam
kondisi politik demikian, bagaimana kita mendudukkan pilihan politik
untuk tidak memilih salah satu kekuatan politik yang tengah berlaga
dalam momen politik elektoral? Mari kita melakukan analisis perbandingan
politik dengan melihat suasana politik di Mesir sebagai pertimbangan
dan posisi kaum kelas menengah progresif serta kalangan gerakan kiri
pada momen-momen politik yang menentukan. Secara singkat, rontoknya
eksperimentasi demokrasi liberal sebelum sempat tumbuh kuncup menjadi
mekar terjadi karena dua hal.
Pertama aliansi borjuasi nasional
dan kekuatan-kekuatan kelas menengah, masyarakat akar rumput yang
memegang kekuasaan d iera transisi lebih cenderung memilih membangun
kesepakatan dengan kekuatan lama, militer, di momen-momen politik
perubahan daripada mengembangkan basis politik yang lebih luas untuk
mendukung tatanan demokrasi dengan melibatkan kekuatan kaum Muslim
moderat, kelompok nasionalis-sekuler dan kekuatan sosialis di sana.
Kedua,
kekuatan-kekuatan sosialis, progresif dan kelas menengah sekuler lebih
memilih untuk berdiam atau melawan kelompok Ikhwanul Muslimin yang nasib
politiknya lebih ditentukan oleh keberlangsungan rezim demokrasi yang
baru tumbuh. Kekuatan aliansi politik progresif sekuler ini tidak
memilih jalan politik strategis untuk memberikan dukungan kritis
terhadap Ikhwanul Muslimin dan melakukan tekanan politik untuk membuka
lebar-lebar kebebasan sipil-politik dan ekonomi-sosial budaya. Pada
akhirnya, alih-alih membangun ruang politik baru seperti yang diharapkan
oleh kalangan kekuatan progresif dan sekuler pro-demokratik, posisi
kekuatan progresif sekuler ini justru menguntungkan kekuatan aliansi
lama pro-militer Mubarak yang kemudian berakibat pada kehancuran proses
demokrasi.
Pelajaran
politik yang dapat kita tarik dari kisah tragis di Mesir ini bahwa
dalam situasi-situasi politik yang menentukan, inisiatif untuk membangun
intervensi politik dengan melakukan kerjasama dan tekanan politik
terhadap salah satu kelompok, meski tidak memiliki orientasi politik
yang sama dengan kaum progresif, bermanfaat untuk mencegah kehancuran
politik yang lebih besar serta mempertahankan dan mempengaruhi
agenda-agenda arus utama politik agar dapat berjalan seiring dengan
agenda-agenda politik kerakyatan. Dalam konstelasi politik Indonesia,
yang masih tersandera oleh kekuatan politik oligarkhi, maka inisiatif
intervensi politik menjadi sebuah kebutuhan untuk menjaga tatanan
demokrasi dari pukulan telak terhadapnya, sekaligus berjuang untuk
mengangkat isu-isu politik kerakyatan dalam proses politik ke depan.
Menolak Delusi Politik
Pada
bagian ini kita akan membahas kemungkinan untuk memajukan agenda-agenda
politik progresif dalam strategi politik intervensi dalam konstruksi
demokrasi yang masih dikuasai oleh rezim oligarkhi dan praktik-praktik
predatorisme di tingkat lokal. Di sini kita akan berbicara pada
tingkatan strategi dan taktik dari gerakan politik progresif di
Indonesia. Sebelum kita melakukan analisis strategi dan taktik gerakan,
maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat bagaimana kaum progresif
memahami tentang apa itu strategi dan taktik. Aktivis partai politik
sekaligus akademisi sosialis awal abad ke-20 asal Hungaria, Georg Lukacs
(1919; 3-5) dalam karyanya Tactics and Ethics menjelaskan bahwa
dalam perspektif sosialisme, strategi-taktik adalah segenap cara dan
inisiatif politik yang dilakukan oleh kekuatan historis progresif untuk
mencapai tujuan-tujuannya, sebagai penghubung antara tujuan obyektif
dari gerakan progresif dengan realitas yang dihadapi saat ini.
Dalam
konteks demikian taktik tidak selalu ditentukan semata-mata oleh
keuntungan-keuntungan jangka pendek yang didapatkan oleh gerakan, ketika
hal itu akan menghambat pencapaian dari tujuan obyektif dari perjuangan
politik kaum progresif. Ketika tujuan politik progresif memiliki watak
utopia, dalam arti berusaha mentransendensikan keadaan ekonomi, politik,
hukum dan kebudayaan dari masyarakat saat ini sebagai kenyataan konkret
melalui perjuangan dan alat-alat strategi dan taktiknya, maka
pilihan-pilihan taktis yang hanya akan memberikan keuntungan politik
jangka pendek dan merugikan tujuan utama dari gerakan akan dengan
sendirinya tertolak (hal ini akan kita diskusikan selanjutnya terkait
dengan taktik politik dari kekuatan politik pseudo-progresif yang
mengatasnamakan taktik dan strategi dengan membangun koalisi dengan kaum
konservatif-fasis).
Sementara
ketika strategi dan taktik politik progresif itu sejak awal
diperuntukkan pada tujuan politik yang lebih radikal, yaitu
mentransformasikan susunan masyarakat secara lebih demokratik secara
ekonomi-sosial dan politik, maka taktik politik kaum progresif tidaklah
memaksakan idealita ke dalam realita. Melampaui pemahaman idealistik,
taktik politik progresif memiliki dimensi praksis untuk memanfaatkan
segenap pengetahuan tentang kondisi sosial yang ada, konstelasi
pertarungan antara kekuatan sosial yang berlangsung, serta pengenalan
atas kekuatan maupun daya jangkau politik dari kekuatan blok progresif
berhadapan dengan rival-rival politiknya dan diterjemahkan dalam aksi
konkret untuk mengubah sejarah.
Di sini strategi-taktik politik
progresif memiliki dimensi revolusioner, karena berusaha menampilkan
kondisi sosial yang terutama dalam konstruksi hegemonik neoliberal
sebagai tidak mungkin, yaitu alternatif politik sosialistik dengan
melampaui tatanan kapitalisme neoliberal saat ini. Dengan demikian,
harapan dalam pengertian politik progresif memiliki makna radikal untuk
membentangkan horison politik alternatif di luar kapitalisme neoliberal
dan tatanan politik oligarkhis. Selanjutnya strategi politik progresif
juga memiliki dimensi realis, dalam artian berangkat dari pengenalan
atas pemahaman sosiologis dan kondisi material yang terhampar sebagai
pengetahuan untuk membangun aksi politik konkret dengan kalkulasi
politik yang terjangkau.
Dari
pemahaman teoritik atas pengertian taktik dan strategi dalam pandangan
politik progresif maka kita akan mendiskusikan pengetahuan tentang
relasi kuasa oligarkhis dan kemungkinan-kemungkinan politik intervensi
yang dapat memajukan agenda-agenda politik kerakyatan. Tulisan ini
selanjutnya mencoba mendiskusikan bagaimana kita memahami kondisi
ekonomi-politik yang dihadapi oleh kekuatan politik progresif Indonesia,
dengan melucuti terlebih dahulu delusi politik yang selama ini
cenderung membuat kaum progresif berfikir secara idealistik daripada
berpijak pada kenyataan material historis.
Salah
satu delusi politik itu antara lain adalah pembacaan atas teori marxis
tentang neo-imperialisme yang tidak seksama atas kondisi politik
Indonesia, sehingga meyakini bahwa beraliansi dengan kekuatan borjuis
domestik yang membangun kekuatannya dari warisan sistem oligarkhi Orde
Baru adalah cara mujarab untuk memajukan agenda politik progresif
melawan neoliberalisme.
Posisi
anti-neoimperialisme ini di kalangan kekuatan politik kiri di
Indonesia, tampak pada kelompok seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD)
dengan corong propagandanya berdikarionline,
maupun kelompok-kelompok lainnya yang bermaksud melakukan intervensi
politik dengan logika serupa. Dalam pandangan mereka, akar dari problema
ekonomi-politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi
historis neoimperialisme yang tidak pernah berhasil dilawan semenjak
kejatuhan pemerintahan rezime Soekarno sampai pada era reformasi.
Dalam
logika neoimperialisme yang kemudian mereka terjemahkan secara otomatis
dalam era sekarang sebagai problem neoliberalisme, tatanan kapitalisme
otoritarian era Orde Baru sampai dengan era reformasi adalah tatanan
politik yang secara penuh menghamba pada diktum penjajahan
ekonomi-politik kontemporer neokolonialisme, dimana setiap produk
regulasi dan inisiatif-inisiatif kebijakan yang dibangun adalah
manifestasi ketundukan sekaligus ketergantungan terhadap cara kerja
borjuasi transnasional untuk melakukan penghisapan kekayaan alam dan
menjadikan Indonesia sebagai pasar dari produk-produk kapitalisme asing.
Dalam pandangan mereka, berbagai bentuk kebijakan paska Orde Baru,
mulai dari privatisasi BUMN, air, liberalisasi migas, pasar bebas tenaga
kerja sampai eksploitasi SDA adalah manifestasi konkret dari logika
imperialisme di era modern. Terkait dengan posisi politik kelompok ini
dalam kontestasi politik elektoral 2014, mereka melakukan pemilahan
antara kekuatan-kekuatan liberal reformis yang mendapatkan keuntungan
dari proses neokolonialisme baru di era kapitalisme neoliberal dan
kalangan politisi-bisnis yang eksis sejak era Orde Baru dan terancam
oleh kebijakan-kebijakan neoliberal pasca-otoritarianisme Indonesia.
Dalam
pembelahan politik yang mereka kedepankan antara kaum reformis-liberal
dan kaum pengusaha-politisi Orba, kalangan anti-neoimperialisme ini
memilih untuk melawan terlebih dahulu kelompok pertama dan cenderung
tidak memiliki posisi yang jelas secara publik terhadap kelompok kedua,
kalau tidak dapat dikatakan mendukung kelompok kedua. Mengingat landasan
teoritik dari kalangan anti neoimperialisme ini adalah mengikuti thesis
dari Martha Harnecker tentang koalisi besar anti-neoimperialisme
(dengan adaptasi yang agak gegabah terhadap tesis tersebut). Apabila
mengikuti pandangan dari kelompok ini, maka ada keterputusan logika
ekonomi-politik antara era Orde Baru dan era Orde Reformasi, dimana
praktik-praktik penghisapan di era neoliberalisme menguntungkan
kekuatan-kekuatan yang mereka kategorisasikan sebagai kalangan kaum
neoliberal reformis dan merugikan kekuatan ekonomi politik pro-Orde
Baru. Di sinilah letak kesalahan fatal dari kelompok ini dalam melihat
konstelasi ekonomi politik era Indonesia post-otoritarianisme, ketika
tidak jeli melihat bagaiman relasi kuasa dan konfigurasi elite oligarkhi
yang tercipta pada era sekarang.
Terkait
hubungan antara proses neoliberalisasi dan konfigurasi relasi
kekuatan-kekuatan sosial dominan, persoalan ini tidak bisa sekedar
disederhanakan sebagai problem ketundukan utuh aparatus-aparatus negara
dan kekuatan ekonomi politik terhadap rezim global neoliberal.
Penjelasan seperti ini terlalu menyederhanakan terjadinya kesinambungan
dan pembiakan konfigurasi kekuasaan yang ditandai oleh pola-pola
akumulasi primitif yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik yang
dapat kita telusuri koneksitasnya dengan rezim Orde Baru, dimana mereka
berhasil eksis bertahan dan mampu beradaptasi untuk melakukan okupasi
terhadap proses demokratisasi dengan membangun sistem kuasa oligarkhi
dan relasi predatorisme dalam arena desentralisasi.
Dari
kondisi di atas maka problem utama demokrasi di Indonesia, ditilik dari
kacamata tarikan proses neoliberalisasi yang melayani kepentingan
kapitalis transnasional dan konstelasi relasi kuasa domestik adalah
terjadinya proses transmutasi praktik neoliberalisme di lingkungan
politik yang koruptif di Indonesia. Dalam konteks neoliberalisme, proses
transmutasi praktik neoliberalisme terjadi bukan disebabkan oleh
benturan dialektik antara kekuatan pro-pasar dan kekuatan populis
anti-pasar. Namun yang terjadi adalah eksis dan mapannya relasi sistemik
elite oligarkhis yang memiliki kemampuan untuk membangun konsentrasi
kemakmuran dan kekuasaan sekaligus mekanisme pertahanan bagi kepentingan
jejaring ekonomi-politik mereka sendiri. Pendeknya, di bawah arahan
jejaring sistem oligarkhi yang korup, maka praktik neoliberalisme di
Indonesia telah bertransmutasi menjadi tata kelola pemerintahan
predatoris yang memangsa sumber-sumber ekonomi dan aset-aset publik.
Pertanyaannya adalah bagaimana predatory state capitalism di Indonesia ini tercipta di atas keruntuhan rezime Soeharto?.
Dalam menjelaskan kondisi ini maka karya Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004) Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age Markets
menemukan relevansinya. Dalam karya mereka diuraikan bahwa kebangkitan
rezim Soeharto berhasil membentuk tatanan politik ‘patrimonial
administrative state; yang berhasil menundukkan para oposan politiknya.
Dalam kondisi demikian, kehidupan ekonomi ditentukan oleh framework
arahan negara otoritarian sentralistik dan otoritas publik diakuisisi
oleh kepentingan privat dan institusional yang sejalan dengan kehendak
politik penguasa maupun mereka yang menjadi bagian dari jejaring
patronase yang mengambil keuntungan di dalamnya. Di bawah perlindungan
rezim tangan besi Soeharto, terbentuk politico business complex
yang menjadi kekuatan oligarkhi ekonomi-politik yang berpusat pada
Soeharto dan keluarganya. Setelah melewati fase inkubasi di bawah elite
oligarkhi inilah, maka pada era pasca otoritarianisme Soeharto kalangan
oligarkhi ini beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru dan mereorganisasi
kekuasaannya. Upaya kaum teknokrat neo-institusionalis menginjeksikan
paket good governance untuk menciptakan tatanan masyarakat pasar
secara damai di Indonesia membawa efek yang tak terduga, yakni tampilnya
kekuatan-kekuatan predatoris yang korup warisan Orde Baru yang
bersanding dengan proses neoliberalisasi di tingkat nasional maupun
lokal.
Pola-pola
pembelahan antara pihak musuh kaum reformis liberal yang harus dilawan
dan pihak kekuatan ekonomi-politik warisan Orde Baru yang mesti
dinetralisir atau bahkan menjadi mitra taktis dalam perjuangan melawan
neoliberalisme, menjadi tidak relevan dalam analisis yang lebih mendasar
terkait hadirnya formasi sosial dan tampilnya relasi sistem oligarkhi
yang berlangsung di era pasca-Orde Baru. Tidak relevannya strategi ini
karena dalam peta ekonomi-politik yang hadir di Indonesia
pasca-otoritarianisme, kita menyaksikan dua hal:
Pertama,
alih-alih perputusan era reformasi ternyata memfasilitasi proses
adaptasi dan bertahannya kekuatan-kekuatan oligarkhi yang sudah
terlindungi semenjak era Orde Baru untuk membangun sistem oligarkhi
dengan relasi-relasi politik baru yang bekerja di seluruh partai politik
di Indonesia. Artinya, peta ekonomi-politik Indonesia tidak menunjukkan
pemisahan yang nyata antara kekuatan reformis liberal yang melayani
agenda neoliberal dan kekuatan pewaris Orde Baru yang terdesak oleh
agenda neoliberal.
Bagaimana
kita mendefinisikan, misalnya, Partai Golkar dan aliansi
bisnis-politiknya yang merupakan kekuatan yang mengusung Orde Baru namun
tetap eksis sebagai kekuatan dominan pada era reformasi? Atau Partai
Demokrat yang dianggap sebagai partai liberal namun saat ini dikuasai
oleh kekuatan-kekuatan yang sudah eksis sejak era Soeharto? Dalam
relasi oligarkhi kita dapat menyaksikan bagaimana Partai Gerindra yang
dianggap sebagai representasi dari kekuatan Orde Baru yang dipandang
mengumpulkan kekuatan sosial yang dirugikan oleh proses neoliberalisme
di Indonesia, pada kenyataannya ditopang oleh kekuatan taipan besar
Hashim Djojohadikusumo yang menguasai konglomerasi bisnis di bawah
Arsari Group dengan kekayaan sebesar Rp 8,5 Trilyun, yang bergerak di
bidang tambang dan perkebunan. Group ini diperkirakan menguasai konsesi
lahan hutan seluas 97 hektare di Aceh Tengah dan memiliki 3 juta hektar
perkebunan, konsesi hutan, tambang batubara, dan ladang migas di Aceh
hingga ke Papua (Industri.kontan.co.id, 23 Februari 2014).
Kedua,
konstelasi politik yang tergelar paska-otoritarianisme antara
aliansi-aliansi bisnis-politik oligarkhi berlangsung melalui pola
negosiasi dan kontestasi politik untuk mempertahankan dominasi kekuasaan
mereka, bukan berada dalam ketegangan yang berlangsung secara terus
menerus. Di sini kita dapat membaca mengapa partai yang dianggap sebagai
kekuatan reformasi seperti PDIP dapat bertemu dalam konteks politik
lokal dengan kekuatan pro-Orde Baru seperti Partai Gerindra dalam
Pilkada Jakarta, dan pada momen Pilpres 2014 ada kecenderungan mereka
berpisah dan di sisi lain terjalin pola komunikasi antara Partai
Demokrat dan Partai Gerindra, di mana kedua partai ini secara riil
dikuasai oleh dua jenderal papan atas di era Soeharto. Sementara relasi
antara Partai Golkar (yang dianggap sebagai manifestasi Orde Baru) yang
dikuasi oleh jejaring oligarkhi Aburizal Bakrie memiliki hubungan
rindu-rindu-benci dengan Partai Demokrat yang dikuasai oleh Presiden SBY
dan kekuatan konglomerasinya. Hal ini bisa kita lihat pada kasus-kasus
predatorisme kekuatan oligarkhi baik dalam kasus Lumpur Lapindo maupun
kasua Bank Century. Pola-pola relasi elite ini tidak dapat dijelaskan
dari pembelahan pro-neoliberal dan anti-neoliberal, namun semata-mata
sebagai manuver politik untuk mempertahankan sistem oligarkhi dan
kekuatan ekonomi politik dari setiap kubu-kubu oligarkhi.
Pemahaman
yang keliru atas arsitektur kekuasaan yang berlangsung dalam proses
neoliberalisasi seperti yang dilakukan oleh kubu yang mendaku sebagai
kekuatan anti-neokolonialisme di Indonesia, justru akan membawa pada
pukulan telak terhadap kekuatan gerakan kerakyatan di Indonesia.
Kesalahan pembacaan peta ekonomi-politik dan kesalahan melakukan
intervensi politik menyeret mereka semakin jauh, bukan semakin dekat
terhadap tujuan obyektif dari pembebasan kelompok-kelompok marjinal dan
tertindas di Indonesia. Resiko yang dapat terprediksi dari langkah
politik mereka adalah, alih-alih melawan kekuatan neoliberalisme, sangat
besar potensi mereka terserap menjadi bagian dan instrumen dari
kekuatan jejaring oligarkhi yang mewarisi artikulasi politik Orde Baru.
Menyodorkan Taktik Politik Progresif
Dalam
konfigurasi politik demokrasi yang tersandera oleh relasi kuasa
oligarkhis, inisiatif untuk membangun politik intervensi bukanlah hal
yang mudah. Insiatif-inisiatif tersebut harus didasari oleh pengetahuan
sosial yang memadai. Di sini pengetahuan yang dimaksud bukanlah konsepsi
ideal yang mesti diperjuangkan, namun pengetahuan atas kondisi
sosiologis tentang relasi konkret antara kekuatan sosial yang tengah
berkontestasi dalam arena politik beserta gerak dinamika material serta
kondisi-kondisi sosial yang menyertainya.
Berbekal keinsyafan atas
kondisi demokrasi Indonesia yang tengah tersandera oleh kontestasi dan
negosiasi antara jejaring kuasa oligarkhi maka sebuah intervensi politik
harus dilakukan dengan inisiatif tidak saja untuk memberikan dukungan
kritis, namun lebih dari itu adalah tekanan kritis terhadap salah satu
faksi kekuatan ekonomi-politik dominan di Indonesia. Satu hal yang patut
digarisbawahi bahwa meskipun arena politik demokrasi ditandai oleh
dominasi sistem oligarkhi, namun proses politik juga bergerak secara
dinamis.
Perjalanan
politik demokrasi di Indonesia memperlihatkan sedang berjalannya proses
delegitimasi politik yang didasarkan atas tingkat ketidaksetaraan
ekonomi dalam distribusi pendapatan yang cukup tinggi, ditandai oleh
naiknya koefisien Gini ratio dari 0,37 pada tahun 2012 menjadi 0,41 pada
tahun 2013. Kondisi ekonomi ini juga diikuti oleh delegitimasi politik
yang cukup massif terhadap performa politisi, terbongkarnya kasus-kasus
korupsi dan pembajakan institusi hukum yang melibatkan pusat-pusat
oligarkhis, seperti dalam kasus Lapindo, Bank Century maupun kasus
Hambalang. Kenyataan akan berlangsungnya delegitimasi publik terhadap
kinerja politisi di Indonesia dan kondisi ketidaksetaraan ekonomi ini
memang tidak serta merta mengarah pada krisis politik oligarkhi.
Kekuatan oligarkhi di Indonesia melakukan respons atas kondisi
delegitimasi politik tersebut melalui berbagai cara, baik melalui cara
instan penyebaran money politics maupun melalui rekayasa politik
yang lebih canggih dengan menghadirkan imaji tentang kehadiran rakyat
dalam politik melalui representasi pemimpin-pemimpin populis, baik dari
tingkat lokal bahkan kemudian ada yang diunggulkan sebagai kandidat
Presiden 2014.
Inilah yang kita lihat dari tampilnya figur pemimpin
populis seperti Joko Widodo, dari Walikota Solo kemudian menjadi
Gubernur DKI Jakarta sebelum diproyeksikan menjadi Calon Presiden RI
oleh PDI Perjuangan. Hal yang serupa, misalnya, tampak dari terangkatnya
sosok birokrat teknokratik seperti Tri Rismaharini sebagai walikota
Surabaya, maupun sosok legislator populis seperti Rieke Diah Pitaloka
maupun Budiman Sudjatmiko.
Dalam
konteks pembacaan atas strategi oligarkhi, tentu saja hal ini tidak
bisa kita lihat semata-mata sebagai itikad baik dari pusat-pusat
oligarkhi untuk melayani rakyat. Strategi menghadirkan
pemimpin-pemimpin populis yang diproyeksikan tidak saja tampil di
tingkat daerah tapi juga berlaga di tingkat rekruitmen kepemimpinan
nasional, mesti kita baca sebagai respons adaptif dari elite-elite
oligarkhis untuk menjaga kekuasaan dan kemakmuran sekaligus sebagai
bagian dari strategi pertahanan kekuasaan dan kepentingan kolektif
mereka sendiri. Dari kemunculan politisi-politisi populis tadi dalam
panggung politik Indonesia, meskipun mereka masih bisa teruji sebagai
elite politik yang tidak terindikasi korup dan mendapat dukungan popular
di masyarakat, namun masih belum memberikan pengaruh signifikan bagi
perubahan relasi kuasa di Indonesia sebagai lintasan yang penting
diperjuangkan oleh proyeksi politik progresif.
Pembacaan
kritis atas fenomena populisme di atas memang ditampilkan oleh elite
oligarkhis di tengah belum terbangunnya proyeksi politik ideologis dalam
partai politik Indonesia. Namun desakan kondisi politik yang membuat
pusat oligarkhi merekrut agensi politik populis merupakan celah politik
strategis bagi gerakan politik progresif untuk memberikan tekanan
politik signifikan untuk mengubah karakter politik populis menjadi
karakter politik progresif. Kondisi ini memungkinkan, mengingat salah
satu figur pemimpin populis, misalnya, Joko Widodo yang saat ini
diproyeksikan menjadi calon presiden Indonesia bukanlah bagian lingkaran
terdalam dari pusat oligarkhi politik yang menguasai PDI Perjuangan.
Secara bangunan arsitektur kekuasaan dapat dikatakan bahwa sebagai calon
presiden, Joko Widodo merupakan rantai elite terlemah dalam relasi
oligarkhi yang ditampilkan oleh elite politik.
Dalam kondisi demikian
maka proses intervensi politik yang dapat dilakukan adalah melakukan
tekanan politik kepada kekuatan elite politik Joko Widodo berdasarkan
formulasi program-program politik kerakyatan yang disepakati oleh
basis-basis gerakan sosial dengan kesepakatan politik bahwa ke depan
program-program kebijakan negara responsif terhadap kepentingan gerakan
rakyat maupun membuka kanal-kanal politik kepada basis-basis sosial
rakyat untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan. Problem dari beberapa
gerakan pendukung kandidat populis Joko Widodo saat ini adalah
tersitanya konsentrasi pada pola-pola penggalangan dukungan dengan
perhatian yang minim pada agenda-agenda politik apa yang akan
dikemukakan sebagai tekanan politik agar performa kekuatan politik ini
tidak hanya berkarakter populis tanpa fondasi ideologis yang kuat, namun
dapat bertransformasi menjadi kekuatan politik progresif paska
elektoral.
Ilustrasi
program-program politik ideologis yang dapat dikemukakan sebagai
prakondisi bagi dukungan kritis terhadap figur ini, misalnya, sempat
penulis diskusikan dengan beberapa rekan mahasiswa di Murdoch University
seperti Muhammad Ridha dan Irwansyah Jemi seperti:
Pertama,
strategi desain negara berbasis industrialisasi pertanian yang dikontrol
oleh warga melalui pembentukan Dewan Pangan Nasional, yang melibatkan
rakyat melalui kehadiran serikat-serikat petani sebagai kekuatan kontrol
agar proses produksi sampai distribusi dan kebijakan-kebijakan terkait
dengan arahan pertanian nasional melibatkan para petani dan tidak
mengalienasikan mereka. Pelibatan serikat-serikat petani tersebut
penting untuk membangun akuntabilitas demokratik dan meminimalisasi
pola-pola predatorisme elite yang biasa dilakukan melalui
program-program yang terkesan populis. Arahan menuju industrialisasi
pertanian yang memperhatikan kebutuhan para petani dan mempertimbangkan
kondisi ekologis ini, misalnya, diarahkan untuk membedakan program
kepemimpinan ke depan dengan desain MP3EI dari rezim neoliberal predator
saat ini yang bertendensi untuk membuka investasi dari luar
seluas-luasnya sekaligus melegitimasi pola-pola penghisapan dari bidang
ekonomi ekstraktif melalui perampasan tanah-tanah rakyat.
Kedua, perluasan jaminan sosial bagi kelas pekerja yang melampaui desain agenda neoliberal dan lebih mengarah pada desain welfarism state
dengan mengalokasikan APBN dan APBD bagi anggaran jaminan sosial yang
diimbangi oleh penerapan pajak progresif. Kebijakan ini penting untuk
memberikan perlindungan kondisi sosial yang lebih massif dan mendasar
bagi kaum pekerja dengan melibatkan serikat-serikat pekerja sebagai
kekuatan kontrol terhadap pelaksanaan program tersebut.
Ketiga,
sebagai inisiasi awal untuk membendung tendensi fasisme dalam arus
dinamika politik kita, maka kepemimpinan mendatang perlu didesak untuk
membuka persoalan pelanggaran HAM di masa lalu dengan inisiasi awal
terkait keberanian untuk menyatakan, misalnya, negara bersalah atas
kerusuhan, terror dan pemerkosaan yang berlangsung pada Mei 1998 maupun
membuka sejarah tentang nasib orang hilang yang diculik menjelang
jatuhnya Soeharto. Dengan keberanian untuk membuka kasus ini, selain
untuk memenuhi rasa keadilan juga penting untuk bersikap jujur bahwa
fasisme dalam ideologi dan manifestasinya paling vulgar pernah
terinkorporasi sebagai bagian inheren dari negara. Pengakuan atas hal
itu menjadi langkah awal untuk memutus warisan kultural Ore Baru dari
perjalanan bangsa kita ke depan.
Setelah
melakukan pembacaan atas celah intervensi dalam konstelasi politik
oligarkhis maupun kemungkinan program-program progresif yang dapat
didesakkan untuk mengikat dan melakukan tekanan politik kepada elite,
maka penting kiranya untuk memahami kondisi basis sosial kita sebagai
landasan untuk melakukan intervensi.
Ketika melakukan pemahaman atas
basis sosial kita, satu hal yang perlu disadari selama ini kita selalu
melakukan rujukan dan mengidentikkan kondisi Indonesia dengan Amerika
Latin, misalnya.
Kondisi demikian membuat kita kerapkali tidak realistik
dalam menentukan kondisi sosial yang kita hadapi dan kemungkinan
intervensi-intervensi politik yang bisa kita lakukan. Perbedaan kondisi
basis sosial antara Indonesia dengan Amerika Latin adalah meskipun
berbagai negara Amerika Latin pernah mengalami kondisi di bawah tirani
rezim otoritarianisme maupun neoliberalisme, namun sektor politik akar
rumput seperti serikat buruh maupun kaum petani dan masyarakat adat
telah menjadi bagian penting dalam konfigurasi politik di sana. Sehingga
kita bisa menyaksikan meskipun mereka pada masa lalu berada di bawah
tirani rezim neoliberal, namun tuntutan politik dan desakan politik
signifikan tetap mereka lakukan sebelum mereka membangun kekuatan
politik signifikan yang saat ini menguasai banyak negara di Amerika
Latin.
Di Venezuela, misalnya, semenjak era 1970-an telah eksis partai
berbasis kelas pekerja yaitu Causa R, yang membantu pembentukan
komunitas aktif kewargaan sebagai tulang punggung gerakan Lingkaran
Bolivarian di bawah Hugo Chavez. Di Argentina, kekuatan serikat dan
politik buruh telah terinkorporasi dalam elemen negara sejak era rezim
Peron, sehingga meskipun telah dilibas oleh Junta Militer tetap hadir
menjadi kekuatan politik signifikan yang mendukung rezim Peronis
Cristina Kirchner saat ini. Fenomena serupa juga berlangsung di Ekuador,
gerakan akar rumput berbasis masyarakat adat eksis menjadi penopang
dari tampilnya pemimpin progresif Rafael Correa.
Sementara
kondisi basis sosial yang kita hadapi saat ini memperlihatkan fakta
politik yang berbeda. Kondisi basis sosial gerakan kerakyatan di
Indonesia masih menunjukkan tidak terkonsolidasi dan berseraknya
basis-basis gerakan progresif kerakyatan. Kondisi berseraknya kekuatan
progresif tersebut terjadi karena mudah terserapnya basis-basis
strategis dari kekuatan potensial pendorong perubahan, seperti agensi di
kampus, aktor strategis gerakan ke dalam poros politik oligarkhi tanpa
adanya tekanan politik signifikan yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada rakyat.
Kesadaran akan perbedaan kualitas basis gerakan antara
negara-negara di Amerika Latin dengan di Indonesia ini penting untuk
menyadarkan kita berfikir realistik dalam memproyeksikan capaian politik
intervensi. Sehingga ketika kita membangun inisiatif-inisiatif politik
intervensi, sejak awal disadari bahwa langkah awal kita untuk masuk
dalam kubangan politik tidak serta merta membawa hasil runtuhnya tatanan
oligarkhi dalam satu malam. Dalam kondisi demikian, maka proses politik
intervensi semestinya dijalankan, sekali lagi, tidak hanya terfokus
pada penggalangan dukungan elite namun melampaui itu sebagai sebuah
inisiatif untuk membangun blok politik progresif melalui perumusan
program-program politik dan tekanan politik signifikan terhadap kekuatan
politik strategis dalam arus utama politik di Indonesia.
Dalam
kesadaran akan batas-batas kekuatan sosial yang menjadi modal kita saat
ini, misalnya, para aktivis kiri bersedia untuk ikut kerja bakti bersama
warga atau melakukan kerja edukasi politik untuk mengajak kaum Marhaen
yang dalam hidup mereka mencintai Soekarno untuk membuka buku Di bawah Bendera Revolusi
yang selama ini tersimpan berdebu di dalam lemari rumah mereka untuk
didiskusikan bersama berdasarkan kenyataan-kenyataan hidup yang mereka
alami dan pemahaman akan horizon Sosialisme Indonesia Abad ke-21
Penulis adalah
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, saat ini
adalah Kandidat PhD Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.
“POLITIK OLIGARKI; PENGALAMAN INDONESIA”
http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=1207
Review Buku: Jeffrey A. Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, New York, 2011
[ Sumbangan tulisan dari Ade Reza Haryadi, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik UI ]
A. Pendahuluan
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada
tahun 1998 harus diakui memberikan sejumlah dampak perubahan penting,
terutama dalam konteks demokratisasi politik. Kekebasan politik, sistem
kepartaian multipartai dan desentralisasi pemerintahan merupakan
kemajuan besar dalam demokrasi yang telah dicapai. Demokratisasi ini
diharapkan juga menghadirkan situasi kesejahteraan ekonomi yang lebih
adil dan pelibatan rakyat sebagai subjek dalam pembangunan yang
sebelumnya termarginalisasi secara sistematis akibat cengkeraman politik
para oligark yang hanya memperkaya diri dan mementingkan urusannya
sendiri.
Namun, perkembangan politik justru
menunjukan fakta bahwa rakyat tetap termarginalisasi secara politik,
bahkan secara ekonomi dalam pembangunan. Demokrasi memang membuka
kebebasan dan menghadirkan berbagai kekuatan politik yang tersebar. Akan
tetapi, rakyat tetap menjadi objek mobilisasi dan alat legitimasi bagi
politik para oligark dalam kendali atas kekuasaan dan politik pemupukan
serta pertahanan kekayaan. Perubahan politik atas nama demokratisasi
justru membuat sistem politik kita menjadi plutokrasi dan kleptokrasi.
Orang kaya dan para perampok negara/koruptor menjadi pemegang kekuasaan
dan secara liar membagi berbagai konsensi dan privelege pada
kroninya dalam skala masif dan sistemik, dari pusat hingga daerah dan
meliputi berbagai sektor strategis. Para oligark ini berbagi akses
dengan oligark yang lain ketika monopoli kekuasaan secara tunggal tidak
dapat dicapai. Kepentingan pemupukan dan pertahanan kekayaan menjadi
dasar utama terbentuknya koalisi atau lebih tepat kartel politik di
antara mereka. Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui tipologi
oligarki yang dijelaskan secara dalam oleh Jeffrey A. Winters dengan
mengkaji sejarah dan berbagai pola hubungan antara kekayaan dan
kekuasaan.
B. Dasar Material dan Teori Oligarki
Oligarki telah menjadi tema yang dikaji
sejak jaman Yunani kuno. Aristoteles, murid Plato, membagi kekuasaan
dalam tiga bentuk, yakni Monarkhi-dengan varian Tirani,
Aristokrasi-dengan varian Oligarki, dan Polity atau pemerintahan
konstitusional.[1]
Demokrasi menurutnya merupakan bentuk menyimpang dari polity, suatu
kekuasaan yang dikendalikan oleh kelas bawah yang bertindak atas
kepentingan kelas bawah. Aristoteles juga menambahkan adanya faktor
ekonomi dalam kontroversi mengenai demokrasi. Menurutnya, status sosial
dan kesejahteraan ekonomi mempengaruhi institusi dan pengelolaan
kekuasaan dari bentuk-bentuk kekuasaan yang ada[2].
Sebagai contoh adalah demokrasi yang merupakan pemerintahan mayoritas
kelas bawah. Jumlahnya yang banyak merupakan kekuatan utama untuk
memerintah. Hal ini berbeda dengan oligarki dimana pemerintah
dikendalikan oleh segelintir orang kaya[3].
Menurut International Encyclopedia of the Social Sciences,
oligarki adalah sebuah bentuk pemerintahan yang kekuatan politiknya
berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota masyarakat.[4] Sedangkan oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni oligarkia yang terdiri dari oligoi yang berarti sekelompok kecil dan arkhein atau memerintah. Sedangkan Robert Michels dalam Iron Law Oligarchies,
meletakan pengertian oligarki lebih pada aspek sejumlah kecil yang
memerintah atau dominasi elite atas organisasi yang kompleks.
Menurutnya, organisasi partai merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau
politik untuk membuat kemauan kolektif. Setiap organisasi, terutama
kepartaian mewakili kekuatan oligarkis yang didasarkan atas basis
demokratis. Oligarki muncul sebagai kebutuhan teknis yang mendesak akan
kepemimpinan. Fenomena oligarki juga sebagai dampak dari transformasi
psikis yang dialami oleh pemimpin-pemimpin partai sepanjang hidup
mereka. Oligarki juga tergantung kepada apa yang dikatakan sebagai
“psikologi organisasi itu sendiri”, yakni pada kebutuhan-kebutuhan
taktis dan teknis yang berasal dari konsolidasi setiap kesatuan politik
yang berdisiplin. Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan
terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas
pengutus.[5]
Sedangkan Mills dalam power elit yang menjelaskan minoritas kecil dalam
masyarakat yang berpengaruh karena memegang posisi penting dalam
organisasi, atau bahkan Pareto maupun Mosca dalam elit dan sirkulasi
elit.
Meski para ilmuan sebelumnya telah
banyak menjelaskan mengenai oligarki, namun adalah penjelasan Winters
yang memberikan analisis lebih memadai dan menempatkan sumberdaya
kekayaan sebagai faktor yang penting dalam hubungan oligarki dan
kekuasaan. Oligark tidak hanya sekedar elit minoritas yang berkuasa
ataupun bentuk pemerintahan, melainkan para pelaku yang menguasai dan
mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan
untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi
sosial eksklusifnya.[6]
Premis dasar dari oligarki menurutnya adalah konsentrasi kekayaan di
tangan individu-individu dan telah memperkuat mereka dalam berbagai cara
sehingga menghasilkan berbagai perbedaan jenis oligarki politik yang
tidak akan dapat dijelaskan dalam kerangka kerja pluralis yang umum.[7]
Teori oligarki berkembang dengan argumentasi bahwa apapun format maupun
kekuasaan yang ada dalam masyarakat, kekayaan yang ekstrim telah
memberikan pengaruh yang besar atas kapasitas para oligark dalam
melindungi dan mengembangkan kepentingan utama mereka dalam berbagai
realitas politik yang ada, terutama kebijakan politik dan ekonomi.
Melalui bukunya yang berjudul Oligarki,
Winters mencoba melacak faktor-faktor yang sama dari para oligarki dalam
berbagai masa, selain itu juga bagaimana para oligarki ini berkembang
dalam perubahan lingkungan yang penuh konflik antar para oligark. Banyak
kasus penting dari zaman kuno hingga kontemporer yang mana dapat
digunakan untuk menjelaskan perpolitikan dari kekuasaan minoritas dan
pengaruhnya terhadap mayoritas baik tidak persuasif atau miskin secara
teoritik. Secara gamblang Winters mengeksplorasi sejarah dan berbagai
kasus yang terjadi dibanyak negara untuk menunjukan berbagai model dan
praktek oligarki yang berlangsung di dunia. Winters dalam “Oligarki”
secara mendalam juga menjelaskan mengenai aspek yang menjadi dasar
oligarki, pembentukan teori, sumber daya, perlindungan kekayaan,
oligarki dan sirkulasi elite, dan tipe-tipe oligarki (oligarki militer/ warring oligarchies, oligarki pemerintahan/ruling oligarchies, oligarki kesultanan/sultanic oligarchies, dan oligarki sipil/civil oligarchies).
Lanjutnya, menjelaskan oligark dan oligarki setidaknya ada dua masalah yang perlu untuk dicermati.
Pertama, basis dari kekuasaan minoritas oligarkis. Semua bentuk dari pengaruh kekuasaan minoritas terjadi karena konsentrasi yang ekstrim dari kekuasaan sehingga memiliki eksklusifitas atau privellege atas kontrol kekuasaan. Oligark berbeda dengan semua bentuk kekuasaan minoritas karena basis persoalan dari kekuasaan yang mereka miliki, yakni kekayaan materi. Kekayaan personal yang demikian masif adalah bentuk ekstrim dari ketidakseimbangan sosial dan politik.
Kedua, adalah mengenai ruang lingkup dari kekuasaan minoritas oligark. Kekuasaan para oligark berkembang luas melampaui ruang lingkup atau wilayah dari komunitas. Kekuasaan oligarkis musti berdasar atas format kekuasaan dimana tidak biasanya resisten terhadap penyebaran, dan lingkupnya musti sistemik.
Pertama, basis dari kekuasaan minoritas oligarkis. Semua bentuk dari pengaruh kekuasaan minoritas terjadi karena konsentrasi yang ekstrim dari kekuasaan sehingga memiliki eksklusifitas atau privellege atas kontrol kekuasaan. Oligark berbeda dengan semua bentuk kekuasaan minoritas karena basis persoalan dari kekuasaan yang mereka miliki, yakni kekayaan materi. Kekayaan personal yang demikian masif adalah bentuk ekstrim dari ketidakseimbangan sosial dan politik.
Kedua, adalah mengenai ruang lingkup dari kekuasaan minoritas oligark. Kekuasaan para oligark berkembang luas melampaui ruang lingkup atau wilayah dari komunitas. Kekuasaan oligarkis musti berdasar atas format kekuasaan dimana tidak biasanya resisten terhadap penyebaran, dan lingkupnya musti sistemik.
Dalam memahami oligark dan oligarki
diawali dengan observasi bahwa ketidaksetaraan material secara ekstrim
telah menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrim, melampaui dictactorship,
demokrasi, monarkhi, masyarakat biasa dan paska industri.
Ketidaksetaraan material di antara masyarakat secara garis besar
dikenali sebagai isu politik yang penting, namun bukan sebab utama dari
ketidaksetaraan kekuasaan politik. Namun demikian, faktanya, kekayaan
yang masif di tangan sekelompok kecil minoritas telah menyebabkan
keuntungan politik yang signifikan, bahkan termasuk dalam demokrasi yang
mensyaratkan adanya kesetaraan politik[8].
Penjelasan serupa juga disebutkan oleh Dahl merujuk pada kekayaan yang
dimiliki para Baron di Amerika Serikat pada paruh kedua abad sembilan
belas dimana perbedaan sumberdaya dapat pula memasuki kehidupan politik.
Winters mengembangkan teori oligarki
dengan mengadaptasi teori sumber daya. Oligark menurutnya adalah
aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol konsentrasi secara masif
sumberdaya material yang dapat digunakan untuk melindungi atau
mengembangkan kekayaan pribadinya dan posisi sosial yang eksklusif.[9]
Perlindungan kekayaan para oligark memiliki dua komponen; perlindungan
properti (mengamankan klaim mendasar atas kekayaan dan properti), dan
perlindungan pendapatan (menjaga sebanyak mungkin aliran pendapatan dan
keuntungan dari satu kekayaan sebisa mungkin di bawah kondisi keamanan
hak kepemilikan).[10]
Sedangkan oligarki merujuk pada politik untuk melindungi kekayaan
dengan material yang memberkahi para pelakunya. Perlindungan terhadap Si
kaya oleh para oligark melibatkan tantangan dan kapasitas, tidak dibagi
dengan berbagai bentuk dominasi minoritas lainnya.
Oligarki sebagai kekuasaan minoritas
yang berpengaruh juga termasuk elit, hanya berbeda dengan bentuk elit
lainnya memiliki perbedaan secara natur. Jika dalam pendekatan marxis,
teori kapitalis borjuis fokus pada aktor yang menyebar sumberdaya
material secara ekonomi yang berdampak penting pada sosial dan politik,
maka dalam teori oligarki fokus pada aktor yang menyebar sumberdaya
material secara politik dengan dampak penting pada ekonomi.[11]
Dalam demokrasi, secara formal kekuasaan politik menyebar berdasarkan
hak, prosedur, dan level dari partisipasi populer. Hal ini kontras
dengan oligarki dimana konsentrasi kekuasaan material berdasarkan atas
kekuatan klaim atau hak atas properti dan kekayaan.
Winters juga menjelaskan tentang
sumberdaya kekuasaan yang menurutnya ada lima bentuk kekuasaan
individual yang penting yakni; kekuasaan berdasarkan atas hak politik
formal, jabatan resmi dalam pemerintahan atau organisasi, kekuasaan
pemaksaan/koersif, kekuasaan mobilisasi, dan terakhir kekuasaan
material.[12]
Melalui kekayaan material, para oligark dapat membiayai para
profesional dengan berbagai kapasitas yang berbeda untuk melindungi
kekayaan dan sumberdaya yang berharga dari kemungkinan pengambilalihan.
Kecuali ketika mereka lemah, mereka dapat terlibat secara langsung
sebagai pribadi dalam kekuatan koersif yang diperlukan untuk mengalahkan
ancaman atas keberuntungan mereka. Oligarki memiliki berbagai karakter
yang berbeda tergantung kondisi dimana kekayaan tidak hanya benar-benar
aman, tetapi dilindungi secara institusional oleh negara yang memelihara
secara permanen aparat terorganisir untuk kekerasan dan mempertahankan
monopoli dalam arti melalui kekerasan.
Winters dalam studinya juga membagi oligarki dalam berbagai tipe. Menurutnya, ada empat bentuk oligarki, yakni:[13]
a. Oligarki Panglima (Warring Oligarchy)
Bentuk oligarki yang sangat ekstrim dan
penuh konflik sesama kaum oligarkis. Persekutuan sesama oligarkis dalam
bentuk ini tidak stabil. Kompetisi berlangsung penuh dengan kekerasan
dan terus menerus karena fragmentasi yang tajam. Pengumpulan kekayaan
dengan cepat paling banyak terjadi melalui penaklukan, walau para
oligark juga mengambil surplus dari produsen primer. Kapasitas pemaksa
ada untuk pertahanan kekayaan, dan kekayaan digunakan untuk memelihara
kapasitas pemaksa.
Untuk memahami bagaimana oligarki
panglima (warring oligarchy) berkembang, dapat dilacak dari hubungan
antara kepala suku (chiefs), panglima perang (warlords) hingga
terbentuknya warring oligarki. Pada mulanya para chiefs muncul melalui
teknologi sosial yang superior bagi pertahanan properti komunal, tetapi
kemudian secara cepat berkembang menjadi instrumen bagi individu untuk
memupuk kekayaan. Para kepala suku atau panglima perang ini merupakan
bentuk awal dari oligarki panglima di mana kekuasaan koersif kemudian
meningkat akibat sumber daya material yang dimiliki. Kuncinya terletak
pada kemampuan koersif mereka yang digunakan untuk mempertahankan klaim
komunal atas tanah atau sumberdaya berharga lainnya, dapat digunakan
untuk konsentrasi kekayaan yang mana akan memperkaya dan memperkuat
pimpinan mereka, yang melindungi dan pertama kali mengawasi kelompok
mereka sendiri dan sesungguhnya juga meliputi seputar mereka. Kesuksesan
dalam melindungi properti dalam komunitasnya akan mendorong para warlords ini untuk melakukan ekspansi penaklukan tetangganya dan memperluas klaim properti untuk meningkatkan kekayaannya.[14]
Oligarki panglima (di beberapa negara
Afrika) mengutamakan penggunaan kekuatan fisik/paksa, Oligarki
pemerintahan (mafia di Italia) lebih mengandalkan jaringan sosial dan
institusi negara. Oligarki kesultanan menggabungkan kekuatan paksa dan
kekuatan ekonomi untuk mengendalikan oligarki-oligarki lain di bawahnya
agar tunduk pada oligarki utama (pemerintahan Ferdinand Marcos di
Filipina dan Soeharto di Indonesia). Oligarki sipil berkembang di
negara-negara maju (AS, Singapura) di mana kekuatan keuangan dan
kepemilikan aset jadi andalan untuk menguasai perangkat hukum untuk
menjaga keabsahan hak miliknya. Dalam menelaah ketimpangan kaya miskin
di seluruh dunia, Winters mengajukan gagasan perbedaan antara hak milik
properti dan klaim atas properti. Karena jumlah dan jenis properti
(tanah, bangunan, aset) selalu lebih kecil dari jumlah penduduk maka di
mana-mana muncul apa yang disebutnya “industri pertahanan pendapatan”.
Industri ini terdiri atas lembaga yang bertugas di lobi hukum maupun
secara politis melindungi properti milik oligarki sipil. Industri ini
berupa konsultan hukum, konsultan manajemen, akuntan, pengacara,
otoritas sipil penegak hukum, badan legislasi, bahkan anggota partai
politik di pemerintah dan parlemen.
Bagaimanapun juga, oligarki panglima
berbeda dengan dengan bentuk oligarki lainnya. Aspek yang membedakan
adalah oligarki panglima (warring oligarchy) secara langsung terlibat
dengan mempersenjatai dirinya dan penggunaan kekerasan dan koersif dalam
melindungi kekayaanya, mereka memiliki tingkat keterlibatan yang sangat
luar biasa dalam mengatur seluruh komunitas (pengalaman di Appalachia
para oligark ini terlibat jauh dalam mengendalikan pemerintahan ketika
para anggota keluarga tidak berada di kantor pemerintahan), dan mereka
mengejar tujuan dari perlindungan kekayaannya melalui sikap yang
terfragmentasi secara berlawanan untuk kolektif dan institusionalisasi.
b. Oligarki Penguasa Kolektif (Ruling Oligarchy)
Para oligark masih berperan besar secara
pribadi dalam pelaksanaan kekerasan, namun berkuasa secara kolektif dan
melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main, hasilnya adalah
para oligark kolektif. Para oligark menggunakan pengaruhnya untuk
melakukan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi demi keuntungan kaum
oligarkis, yaitu mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan.
Dalam oligarki penguasa kolektif,
oligark masih memainkan peranan langsung dalam melindungi kekayaan dan
memerintah komunitas atau masyarakat. oligarki tipe ini bisa
mengembangkan kerjasama dengan oligark lainnya untuk menciptakan
stabilitas melalui seperangkat aturan bersama yang dirumuskan dan
dijalankan oleh komite bersama. Mereka juga bisa mempersenjatai atau
melalui kekayaannya menggunakan kapasitas koersif secara personal untuk
kepentingannya, atau melalui institusi kolektifnya, atau bahkan cara
keduanya. Sebagai contoh adalah Komisi Mafia yang dibentuk oleh
organisasi-organisasi mafia di Amerika Serikat Tahun 1930-an untuk
mengatur hubungan diantara mereka merupakan gambaran yang ekstrim dari rulling oligarchy.
Para Don yang berada dipuncak organisasi mafia yang sebelumnya menikmati kekayaan dan memainkan peranan personal seperti halnya para warlord, kemudian harus berbagi peranan dengan Don yang lain melalui suatu aturan bersama yang dinyatakan untuk mengatur hubungan dengan Don yang lain hingga terhindar dari konflik dan saling memangsa dalam memainkan peranan peningkatan kekayaan diantara mereka. Aturan kolektif ini digagas oleh Joseph Bonanno, salah satu keluarga Mafia di New York untuk melindungi pasar, zona ekonomi eksklusif dan meminimalisir ancaman diantara para oligark mafia.[15] Dengan kemampuan ekonomi, dan aturan yang sangat disiplin diantara mereka, para mafia ini merupakan kekuatan ekonomi nyata yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan politik yang bekerja untuk mengamankan kepentingan mereka. Menurut Flynn dan Cinelli, 2009, diperkirakan kekayaan mafia di Amerika Serikat mencapai US$ 322 billion pada tahun 2005.[16]
Para Don yang berada dipuncak organisasi mafia yang sebelumnya menikmati kekayaan dan memainkan peranan personal seperti halnya para warlord, kemudian harus berbagi peranan dengan Don yang lain melalui suatu aturan bersama yang dinyatakan untuk mengatur hubungan dengan Don yang lain hingga terhindar dari konflik dan saling memangsa dalam memainkan peranan peningkatan kekayaan diantara mereka. Aturan kolektif ini digagas oleh Joseph Bonanno, salah satu keluarga Mafia di New York untuk melindungi pasar, zona ekonomi eksklusif dan meminimalisir ancaman diantara para oligark mafia.[15] Dengan kemampuan ekonomi, dan aturan yang sangat disiplin diantara mereka, para mafia ini merupakan kekuatan ekonomi nyata yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan politik yang bekerja untuk mengamankan kepentingan mereka. Menurut Flynn dan Cinelli, 2009, diperkirakan kekayaan mafia di Amerika Serikat mencapai US$ 322 billion pada tahun 2005.[16]
c. Oligarki Sultanistik (Sultanistic Oligarchy)
Ciri utama adanya seorang oligarkis yang
sangat dominan mengatur banyak aspek atau memonopoli sarana pemaksaan,
bukan lembaga negara yang dibatasi oleh hukum. Pengalaman di Indonesia
menunjukan bahwa bentuk ini pernah terjadi di masa pemerintahan Soeharto
yang merupakan pusat dari para oligark yang mengendalikan kekuasaan
ekonomi dan politik.
Jika dalam oligarki panglima maka
perlindungan kekayaan dilakukan secara langsung dengan mempersenjatai
oligark dimana secara terpisah menguasai wilayah mereka sendiri.
Oligarki penguasa kolektif, ada perjanjian atau aturan bersama dan
setidaknya membutuhkan perlucutan senjata secara parsial agar sistem
menjadi lebih stabil. Sedangkan oligarki kesultanan, selain secara penuh
dilucuti atau kewalahan dengan kemampuan koersif, tidak berminat untuk
mengatur secara langsung, tetapi justru menikmati perlindungan dari
kekuasaan yang tunggal dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk
ancaman vertikal.
Kekuasaan utama dari perangkat koersif
melindungi seluruh kekayaan dari para oligark, tetapi tidak melalui
perangkat hukum yang terinstitusionalisasi dalam negara birokrasi yang
impersonal. Perangkat aturan perlindungan justru berada di tangan sang
oligark utama, satu oligark yang mengangkangi aturan secara langsung dan
sangat personalistik. Dalam oligarki kesultanan, tidak ada hak
kepemilikan yang absolut, yang ada hanyalah klaim properti, dimana rejim
kesultanan secara sistematis semakin kuat, tetapi juga dengan perubahan
yang menyertai personalisasi kekuasaan. Stabilitas dari oligarki
kesultanan sangat tergantung sejauh mana pemimpin dari oligarki dalam
mengelola perlindungan kekayaan untuk para oligark anggotanya secara
umum.[17]
Konsep kesultanan sendiri berkembang
dari Max Weber mengenai kekuasaan patrimonial. Tiga elemen penting dalam
mendefinisikan rezim kesultanan itu sendiri meliputi bahwa kesultanan
memerintah secara personal dan mempraktekan berbagai diskresi atas
persoalan ekonomi-politik secara signifikan. Hal ini dilakukan dengan
menempatkan hukum dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam subordinasi hak
prerogatif sang penguasa. Kedua, kekuasaan kesultanan memelihara
kontrol strategis atas seluruh akses kekayaan dan menyebar sumberdaya
sebagai bagian penting dari dasar kekuasaanya. Hubungan di antara para
oligarki selain bersifat simbiosis, tetapi juga sesungguhnya sarat
dengan ketegangan. Ketiga, kekuasaan kesultanan berupaya untuk
menetapkan dan memelihara diskresi pengawasan atas kekuasaan koersif
dalam negara atau pemerintahan. Hal ini termasuk kontrol atas angkatan
bersenjata, intelejen, polisi, aparat pengadilan, dan kadangkala
memperkuat paramiliter yang mereka biayai.[18]
d. Oligarki Sipil (Civil Oligarchy)
Kebersamaan kaum oligarkis yang saling
berbagi dengan sesamanya tanpa ada monopoli oleh satu pihak. Dalam
bentuk ini dimungkinkan tunduknya kaum oligarkis kepada satu sistem
hukum yang mengatur mereka. Para oligark menyerahkan sebagian
kekuasaanya kepada pemerintah tak-pribadi dan terlembaga dimana hukum
lebih kuat daripada semua individu. Masing-masing jenis oligarki
mempertahankan keunggulan materi: tanah, uang, bangunan, atau aset-aset
properti.
Dalam oligarki sipil, seluruh oligark
dilucuti secara penuh, perangkat koersif yang melindungi kekayaan
oligark disediakan secara eksklusif oleh negara. Oligarki sipil hanya
sebuah tipe dimana tidak ada kekuasaan oligark (jika mereka memegang
jabatan publik, ini tidak akan pernah sebagai atau untuk oligark), dan
perangkat keorsif negara yang melindungi properti oligark diperintah
secara impersonal melalui institusi birokrasi. Substansi penting dari
oligarki sipil adalah adanya dominasi yang kuat dan impersonal sistem
hukum terhadap para oligark, dibandingkan hubungan yang bersifat
sebaliknya.
Oligarki sipil tidak dapat bertahan
tanpa adanya sistem hukum yang kuat. Persoalan mendasar saat ini adalah
adanya persoalan mendasar dalam sistem hukum dimana tidak dapat
menjangkau para oligark dan elite. Hukum begitu mudah menjangkau
masyarakat biasa yang tidak memiliki sumberdaya untuk melindungi dirinya
ketika berhadapan dengan hukum. Infrastruktur hukum justru menghasilkan
ketidakadilan dan inkonsistensi sebagai akibat organisasi hukum yang
tidak sempurna, inefesiensi, personel yang tidak terlatih, atau bahkan
hukum yang tercantum dalam buku memang jelek untuk berbagai alasan.
Persoalan lemahnya hukum inilah yang kini menurut Winters menjadi
masalah serius bagi Indonesia, maupun Philipina pasca Soeharto maupun
rezim Marcos.
Pengalaman di Amerika Serikat dan
Singapura menunjukan bahwa oligarki sipil telah sedemikian kuatnya
sehingga mereka menguasai perangkat-perangkat hukum negara untuk
mempertahankan kekayaan oligarki keuangan dan perbankan. Kasus dana
talangan Pemerintah AS menyelamatkan perusahaan dan bank-bank investasi
pascakrisis 2007-2008 membuktikan bahwa hukum yang berlaku telah menjaga
kepentingan 10 bank terbesar dari gugatan hukum. Tak satu pun pemimpin
perusahaan perbankan keuangan di AS itu tersentuh gugatan hukum karena
ketentuan hukum tentang itu dianggap belum cukup memadai. Oligarki
perbankan telah membuat dirinya terlalu besar untuk gagal.
C. Politik Oligarki; Pengalaman Indonesia
Praktek politik oligarki sesungguhnya
terjadi di banyak negara. Amerika Serikat pada era 1930-an mengalami
pemusatan kekayaan pada kelompok kecil korporasi besar yang mencoba
mengendalikan pemerintahan. Kebangkrutan laissez faire diawali
dengan runtuhnya Wall Street pada 1929 dan mencapai puncaknya pada 1932.
Untuk mengakhiri resesi ekonomi ini pemerintah Amerika mengeluarkan
program New Deal tahun 1933 sebagai respon mendesak dimana pemerintah
terlibat jauh dalam program recovery ekonomi dan community planning. Roosevelt mengecam terjadinya monopoli industri dan kekuatan ekonomi Amerika yang terpusat di tangan segelintir orang.[19]
Peristiwa itu merupakan salah satu bukti adanya kekuatan oligarki di
Amerika Serikat, selain munculnya kelompok-kelompok mafia yang merupakan
kekuatan ekonomi dengan pengaruh politik yang nyata.
Di Indonesia sendiri menurut Vedi R.
Hadiz, bibit-bibit oligarki telah berkembang sejak era tahun 1950-an
sebagai perpaduan antara nasionalisme ekonomi yang bersifat
negara-sentris dan oligarki predatoris yang mengumpul di sekitar negara
beserta para korps birokrat politisnya.[20]
Para panglima militer dan para menteri baik era Soekarno maupun
tahun-tahun awal kekuasaan Soeharto semuanya beroperasi melalui klien
bisnis dengan memanfaatkan kontrol atas lembaga-lembaga “pemegang kunci
gerbang”-antara lain Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Badan
Urusan Logistik, BUMN (terutama Pertamina)-para birokrat itu membagikan
lisensi perdagangan, kredit, konsensi lahan, kontrak pasokan.[21]
Oligarki Soeharto dibangun sejak Orde
Baru berdiri diakhir tahun 1960-an melalui aktor-aktor yang disebut
dengan kapitalis baru, konglomerat, kapitalis kroni, politik-bisnis
keluarga. Penguasaan Soeharto atas alat paksa dalam program
“pembersihan” kekuatan PKI dan pendukungnya menunjukan konsolidasi atas
dukungan militer yang kuat, terutama Angkatan Darat atas kekuasaan
pemerintah yang dipimpinya. Hal ini kemudian diikuti dengan politik
patronase dan bagi-bagi kepada pendukungnya sepanjang mereka menyediakan
dan loyal atas penggunaan kekuatan brutal untuk menjaga kekuasaan.[22]
Sebagai kompensasi adalah akses terhadap kekuasaan politik yang menurut Ali Moertopo, kendali militer atas pos-pos strategis pemerintahan dimaksudkan untuk stabilisasi dan karenanya tidak mungkin untuk dikembalikan pada kelompok sipil dan hanya akan mempertaruhkan eksistensi negara akibat ketidakcakapan sipil dalam menjalankan pemerintahan yang stabil.[23] Pos pemerintahan strategis ini penting bagi pemupukan kekayaan secara pribadi yang tersedia dalam skala besar. Kedudukan Soeharto sebagai pusat oligarki inilah yang disebut oleh Winters sebagai model oligarki kesultanan di mana personifikasi Soeharto menjadi unsur utama dalam relasi patronase baik secara politik maupun ekonomi.[24]
Sebagai kompensasi adalah akses terhadap kekuasaan politik yang menurut Ali Moertopo, kendali militer atas pos-pos strategis pemerintahan dimaksudkan untuk stabilisasi dan karenanya tidak mungkin untuk dikembalikan pada kelompok sipil dan hanya akan mempertaruhkan eksistensi negara akibat ketidakcakapan sipil dalam menjalankan pemerintahan yang stabil.[23] Pos pemerintahan strategis ini penting bagi pemupukan kekayaan secara pribadi yang tersedia dalam skala besar. Kedudukan Soeharto sebagai pusat oligarki inilah yang disebut oleh Winters sebagai model oligarki kesultanan di mana personifikasi Soeharto menjadi unsur utama dalam relasi patronase baik secara politik maupun ekonomi.[24]
Pada awal Orde Baru kemajuan pembangunan
menunjukan perkembangan signifikan dan seolah mengkonfirmasi kesuksesan
siombiosa antara para panglima dengan Soeharto sebagai pusat kekuasaan
oligark. Sulit dibantah bahwa pembangunan Orde Baru telah berhasil
menggerakan transformasi struktural di bidang ekonomi dan politik.
Sebagaimana diikhtisarkan oleh Sjahrir, berbagai bentuk transformasi
struktural dibidang ekonomi telah berhasil dilakukan sepanjang dua dasa
warsa pembangunan Orde Baru[25]. Soemitro Djojohadikusumo juga menunjukan bahwa selama lima Pelita, angka pertumbuhan PDB berkisar antara 4,4 - 8,6% [26].
Angka tertinggi dicapai dalam Pelita I (8,6%) dan angka terendah pada
Pelita IV (4,4%). Laju pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai selama
lebih dari dua dasa warsa Orde Baru merupakan angka yang relatif
menggembirakan; rata-rata 6,02% dalam lima Pelita yang sudah dan sedang
berjalan. Hampir semua kalangan sepakat bahwa -dengan memperhitungkan
kapabilitas pengambil kebijakan ekonomi Orde Baru yang didukung
kenyataan-kenyataan objektif perkembangan perekonomian -laju pertumbuhan
yang relatif tinggi tersebut akan dapat dipertahankan secara konsisten
ke depan.
Proyeksi data pendapatan perkapita
penduduk adalah sama menggembirakannya. Dalam rentang waktu 24
tahun-dari 1967-1991-pendapatan perkapita penduduk beranjak dari US $ 7
menjadi US $ 570,[27] maka menurut proyeksi Bank Dunia angka itu akan makin beranjak di tahun 2000 hingga menjadi US $ 1000.[28]
Perkembangan progresif dalam kualitas perekonomian masyarakat juga
terlihat melalui pengurangan penduduk miskin dari waktu ke waktu. Pada
tahun 1976 masih terdapat 40,09% penduduk miskin dari total sekitar 135
juta penduduk; pada tahun 1987 jumlahnya berkurang hingga menjadi 17,44%
dari total sekitar 172 juta penduduk; dan menurut proyeksi BPS angka
ini akan menurun lagi menjadi 15,08% dari total 180 juta penduduk
ditahun 1990.
Transformasi struktural di bidang
ekonomi dan politik ini digerakan oleh kebijakan strategis berupa
maksimalisasi produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik politik.
Dengan kalimat lain, pembangunan Orde Baru secara umum dapat digambarkan
sebagai: memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan berpagarkan
stabilitas politik. Dalam kerangka ini yang menjadi pusat perhatian
negara adalah mesin-mesin pertumbuhan yang efektif dan sebaliknya sektor
dan pelaku ekonomi yang tidak potensial untuk memacu pertumbuhan
ekonomi menjadi prioritas belakangan. Secara politik yang diprioritaskan
adalah tersedianya lembaga-lembaga yang dituntut oleh konstitusi sambil
mempolakan lembaga-lembaga itu untuk menciptakan perilaku politik yang
pro stabilitas dan menjauhi konflik politik.
Rancang bangun pembangunan seperti itu
dapat tegak berdiri ditopang oleh dua pilar yakni kebijakan ekonomi
pragmatis dan stabilitas politik otokratis. Kebijakan ekonomi pragmatis
dijalankan melalui berbagai regulasi ekonomi yang mewujudkan peran
negara yang amat besar terhadap ekonomi dan pasar. Negara mewujud
sebagai kekuatan yang mensubordinasi kekuatan pasar. Negara menjadi
pusat dari kebijakan pembangunan yang otonom dari variabel eksternal
sebagaimana dijelaskan oleh Caporaso. Menurutnya, otonomi negara merujuk
pada kemampuan negara dalam mendefinisikan dan mengejar agenda
semata-mata terpisah dari kepentingan privat masyarakat.[29]
Pendekatan negara terpusat mendefinisikan politik sebagai negara atau
agenda negara dan ekonomi dengan sector privat. Namun sesungguhnya
realitas yang terjadi memang negara otonom dari pengaruh publik
eksternal, tetapi negara dikendalikan oleh oligarki, karena negara Orde
Baru adalah oligarki itu sendiri.
Sekalipun negara Orde Baru cenderung
mencontoh model pembangunan yang kapitalistik, tetapi model ini
dipraktekan dengan besarnya peran negara dan tidak adanya dasar
perkembangan tehnologi yang memadai. Model inilah yang oleh Kunio
disebut sebagai kapitalisme semu atau ersatz capitalism[30].
Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan pentingnya
keberadaan modal asing, besarnya peranan negara, tingkat tehnologi yang
rendah, dan dominasi modal domestik non pribumi.
Persoalan kemudian muncul ketika model
pembangunan ekonomi seperti ini, keuntungan banyak diperoleh oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi menengah-besar yang menyandarkan diri pada
patronase politik kepada negara. Sementara itu kekuatan ekonomi kecil,
terutama modal domestik pribumi hanya menikmati sebagian kecil remahan
kue pembangunan. Praktek oligarki telah berkontribusi terhadap munculnya
kesenjangan akses terhadap ekonomi dan ketidakmerataan distribusi kue
pembangunan yang kelak pada penghujung akhir kekuasaan Soeharto menjadi
faktor yang mengekskalasi gerakan menjatuhkan kekuasaanya. Selain itu,
model pembangunan Orde Baru telah menyebabkan terjadinya keterasingan
masyarakat dari lingkaran kekuasaan dan pusat pembuatan kebijakan,
masyarakat lebih sebagai korban aktivitas pembangunan daripada subjek
pembangunan.[31]
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, dalam studinya Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in An Age of Markets (2004),
menjelaskan tentang kemunculan model pemerintahan oligarkis di
Indonesia periode 1965 hingga 1997. Menurut Robison dan Vedi Hadiz
memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan semua kekuasaan
politik berada di tangan sekelompok kecil orang-orang kaya yang membuat
kebijakan publik lebih untuk keuntungan finansial mereka sendiri,
melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan-perusahaan
pertanian milik mereka atau usaha-usaha bisnis lainnya, kontrak karya
pemerintah yang bernilai besar, juga tindakan proteksionis bisnis mereka
dengan tujuan untuk menghancurkan saingan bisnis. Definisi tersebut
dirujuk Robison dan Hadiz pada definisi yang dibuat Paul M. Johnson, dan
dengan itu mereka mendefiniskan model oligarki rezim Soeharto dan Orde
Baru-nya. Soeharto sebagai inti dari oligarki telah melahirkan negara
predator (predatory state), dengan berbagai
kebijakan dan barang publik dinikmati dan diperjualbelikan oleh para
pejabat dan politisi untuk mendapatkan dukungan politik.
Soeharto telah melahirkan kapitalis baru meski mereka tidak memiliki naluri enterpreuner dan bisnis. Para kapitalis ini bergantung pada kekuasaan privellege yang
diberikan oleh Soeharto dalam kegiatan bisnisnya dan lebih tepat jika
disebut sebagai proto capitalis. Distribusi kekayaan melalui politik
“bagi-bagi” dalam kerangka menjaga stabilitas dukungan politik yang juga
paralel dengan pemupukan properti dan kekayaan telah membuat bangunan
oligarki Soeharto bertahan kuat meski sarat dengan kontradiksi di
dalamnya. Secara reguler rezim oligark terlibat dalam berbagai prosesi
politik demokrasi seperti pemilu sebagai instrumen sharing
kekuasaan, dan memenangkannya dengan menggunakan intimidasi, kekayaan
yang secara legal dapat dialokasikan dalam proses politik. Praktek
politik yang dikangkangi oleh rezim oligarki ini membuat demokrasi hanya
memberi keuntungan dan semakin menguntungkan oligark kaya, demokrasi
inilah yang disebut oleh Winters sebagai demokrasi kriminal.[32]
Oligarki Soeharto ini berkembang dalam
tiga tahap yakni, fase aliansi antara militer-etnis China. Fase ini
merupakan simbiosis antara keamanan dan bisnis yang semuanya di bawah
kendali Soeharto. Kedua, fase pribumi yang diawali dengan booming minyak
pada paruh 1970-an. Era ini Soeharto banyak memberikan kesempatan pada
oligark pribumi, tidak hanya dalam jabatan politik, tetapi juga akses
pada sumberdaya penting bagi pemupukan kekayaan. Ketiga, fase keluarga,
dimana era 1980-an keluarga Cendana terutama anak-anak Soeharto telah
semakin matang dan didorong untuk mengambil peranan lebih besar dalam
kegiatan bisnis melalui berbagai privellege dan memasuki ranah politik kekuasaan.[33]
Setelah kekuasaan Soeharto berakhir pada
tahun 1998, oligarki tidak lantas berakhir, bahkan semakin meluas dan
bersinergi dengan sistem politik demokrasi. Para oligark yang sebelumnya
merupakan kroni Soeharto menyebar dan bermetamorfosa dalam wajah
demokrasi melalui partai-partai politik yang merupakan sarana kendali
atas kekuasaan yang dengan demikian juga akses pertahanan dan pemupukan
kekayaan. Para oligark mengendalikan partai dan berbagai kekuatan
politik baik secara langsung maupun tidak langsung pada level pusat
maupun daerah, sebagai contoh adalah Wiranto mengendalikan partai
Hanura, Prabowo dengan partai Gerindra, Susilo Bambang Yudhoyono dengan
Partai Demokrat, Golkar sebagai aliansi birokrat-pebisnis-militer yang
dibesarkan oleh Soeharto, serta aliansi pebisnis media yang sebagian
berisi para taipan yang mengendalikan kekuatan politik baru, partai
Nasional Demokrat. Struktur politik yang ada pasca Soeharto menurut
Hadiz merupakan aliansi dari orang-orang yang dibesarkan oleh Orde Baru
tanpa mengikutsertakan elemen-elemen lain (misalnya buruh dan petani)
yang secara sistematis telah termarjinalkan.[34]
Soeharto menurut Winters telah
mewariskan sistem oligarki pada para oligark yang kini menyebar dan
mengambil peran menentukan dalam berbagai institusi politik demokrasi.
Uang telah memainkan peranan yang sangat nyata dalam berbagai aspek
sebagai sumber daya material. Para oligark etnis china masih memainkan
peranan besar dari penguasaan sumberdaya yang diwariskan oleh Orde Baru
dan afiliasi politik dengan para oligark pribumi yang menurut Winters
tidak cukup kaya dibandingkan etnis china. Bahkan, para oligark pribumi
ini memanfaatkan kekuasaan politiknya untuk mencuri kekayaan dari negara
secara langsung seperti yang terjadi dengan beberapa skandal,
Bruneigate, Bulogate, BLBI, dan terakhir diduga kuat modus yang sama
yakni Centurygate.[35]
Secara sosiologis, historis maupun
politis, sirkulasi politik memang lebih memberikan kesempatan pada aktor
politik pribumi untuk dapat terlibat dalam kontestasi kekuasaan. Hal
inilah yang membuat para kandidat dalam berbagai jabatan politik lebih
didominasi wajah politisi pribumi dibanding keturunan, meskipun tidak
ada aturan yang membatasi mereka. Namun demikian, para oligark pribumi
ini harus berhadapan dengan kenyataan yang mereka buat sendiri bahwa
untuk dapat menduduki posisi-posisi penting dalam partai politik dan
jabatan pemerintahan berbanding lurus dengan sumberdaya yang harus
dialokasikan. Hal ini membuka peluang bagi praktek afiliasi dengan
oligark lainnya serta membuat terjadinya perburuan rente atau munculnya
para broker atau makelar kasus yang memperantarai kebutuhan sumberdaya
bagi interest politik para oligark dalam demokrasi kriminal.[36]
Para oligark inilah yang banyak memetik
keuntungan melalui pola hubungan transaksional dalam mekanisme demokrasi
yang oleh kaum pluralis dikenal adanya tiga mekanisme besar dalam
penyaluran ekspresi tersebut yakni opini publik, voting dalam pemilu dan
melembagakan mekanisme dari protes dan tuntutan.[37]
Setiap proses politik kemudian menjadi momentum yang tidak hanya
membutuhkan sumber daya ekonomi, tetapi juga sekaligus memiliki nilai
ekonomi tersendiri.
Menurut Robert A. Dahl, suatu masyarakat
demokratis membutuhkan organisasi- organisasi yang bebas dan otonom
untuk menjamin akan adanya ruang publik yang cukup bagi artikulasi
politik individu maupun kelompok secara bebas dan otonom, lepas dari
situasi represif.[38]
Sebuah negara disebut demokrasi pluralis, jika; pertama, ia merupakan
demokrasi dalam arti poliarki dan kedua, organisasi-organisasi penting
lainnya relatif bersifat otonom, sehingga semua negara demokratis
merupakan demokrasi pluralis.[39]
Melalui pemilu yang paralel dengan sistem pasar, para oligark sipil
meregenerasikan kepentingannya dalam mekanisme politik yang tersedia.
Joseph Schumpeter yang menyatakan bahwa
demokrasi muncul dengan sistem ekonomi kapitalis dan secara kausal
berhubungan erat menjadi memiliki relevansi.[40]
Lanjutnya, peran rakyat dalam suatu masyarakat demokratis adalah tidak
untuk memerintah, atau bahkan untuk menjalankan keputusan-keputusan umum
atas kebanyakan masalah politik. Sedangkan perananan pemilihan umum
adalah untuk menghasilkan suatu pemerintah atau suatu badan penengah
lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional atau
pemerintah. Bagi Schumpeter, demokrasi secara sederhana merupakan
mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan
suatu jenis masyarakat dan bukan seperangkat tujuan moral-suatu
mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih
kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan
dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk
memerintah sampai pemilihan berikutnya.[41]
Demokrasi menurutnya dapat dimaknai sebagai suatu mekanisme pasar; para
pemilih adalah konsumen; para politisi adalah wiraswastawannya.[42] Lanjutnya, proses politik bukanlah sesuatu yang berupa kemauan yang asli (genuine will), melainkan suatu kemauan yang dibuat (manufactured will), dibuat dengan cara-cara yang tepat sama dengan cara-cara periklanan komersial.
Pendapat serupa dengan Schumpeter
dijelaskan oleh Anthony Down mengenai teori ekonomi tentang demokrasi.
Menurutnya, partai-partai politik dalam kehidupan politik demokratis
sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba.
Sepertihalnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang
mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti pedagang yang
berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakini akan memberikan
keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama.[43]
Demokrasi yang demikian menyuburkan praktek politik uang (money
politik) dan membebani ekonomi. Dalam demokrasi seperti ini maka hanya
mereka yang memiliki kekayaan atau setidaknya didukung oleh pemilik
kekayaan-lah yang dapat ikut serta dalam kontestasi politik.
Bagi para oligark, maka siapapun yang berkuasa akan bekerja untuk
memupuk dan melindungi kekayaan mereka.
Rakyat bagi para oligark tak lebih
sebagai objek mobilisasi dan legitimasi belaka. Oligark ini dalam
manifestnya tampil sebagai elit politik maupun elit ekonomi yang
mengambil keuntungan dari rentannya stabilitas sosial maupun politik
akibat kekuasaan yang terlalu divergen. Sebagai contoh dapat kita lihat
dari fenomena munculnya kartel politik maupun kartel ekonomi yang
sama-sama memanfaatkan kendali terhadap pusat-pusat kekuasaan untuk
mengambil keuntungan ekonomi dari kegiatan ekonomi negara. Oligark pasca
Orde Baru juga telah menghasilkan kekuatan yang berbentuk kartel
ekonomi dan afiliasinya dalam kartel politik yang paralel dengan sistem
kepartaian yang tergantung pada sumber daya negara. [44] praktek ini menyuburkan perburuan rente atau rent seeking[45] dalam demokrasi kriminal.
Setelah Orde Baru berakhir maka format
kekuasaan yang dihasilkan melalui reformasi tidak lagi memberikan
kekuasaan yang tersentralisasi di tangan presiden. Partai-partai politik
menempati kekuasaan yang jauh lebih besar dari masa sebelumnya dan
menjadi rumah bagi para politisi pun menjadi tempat untuk meraih
kekayaan atau menyelamatkan kekayaannya. Di sanalah, selain birokrasi,
menjadi tempat bersandar baru bagi para pengusaha pemburu rente (rent seekers). Praktek rent seeking
saat ini menjadi fenomena yang massif, baik dalam intensitas, kuantitas
maupun jangkauannya. Bahkan, desentralisasi kekuasaan yang berlebihan
dalam otonomi daerah turut mendorong praktek perburuan rente hingga
menjangkau daerah. Sebagai contoh adalah transaksi alokasi keuangan
daerah yang melibatkan para oligark (elite partai, birokrat, swasta)
yang sekaligus rent seekers baik pada level pusat maupun daerah, mengatur alokasi proyek, ijin usaha, perda, dan sebagainya.
Bagi para birokrat, modus rent seeking
dilakukan melalui kecenderungan birokrasi untuk memperbesar anggaran.
Birokrasi memperbesar anggaran dengan dua cara yaitu melakukan ekspansi
birokrasi dan memaksimumkan pemborosan. Ekspansi birokrasi dilakukan
dengan cara memperbesar organisasi, memperbanyak prosedur, dan
memasukkan kegiatan yang dapat disediakan pasar menjadi kegiatan yang
dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan pemborosan dilakukan dengan cara
memperbesar biaya per-unit pelayanan, memperbanyak perjalanan, dan
menambah jumlah pegawai untuk menjalankan fungsi pelayanan umum.
Realitas tersebut menunjukan bahwa
sistem hukum tidak berjalan secara efektif dalam praktek demokrasi di
Indonesia. Bahkan reformasi dan jatuhnya kekuasaan Soeharto tidak lantas
paralel dengan penguatan sistem hukum dan berakhirnya kekuasaan para
oligark. Dalam oligarki sipil yang seharusnya ditopang oleh sistem hukum
yang kuat ternyata justru tidak terjadi di Indonesia, dan menjadi
momentum bagi para oligark untuk memanfaatkan kelemahan ini dalam upaya
melindungi dan mengembangkan kekayaannya.
Tepatnya terlalu menguasai hukum sehingga kebal hukum. Jasa terbesar Jeffrey Winters ialah dalam mengungkap betapa luas dan besarnya jaringan peran berbagai profesi yang terlibat dalam industri pertahanan pendapatan ini. Ahli hukum, pengacara, mafia pajak, mafia lingkungan, makelar kasus, konsultan manajemen, akuntan, aparat negara, lembaga-lembaga hukum semuanya bertugas bukan untuk menegakkan hukum. Mereka malah membengkokkan hukum agar berpihak dan melindungi kepentingan oligarki keuangan dan properti itu. Begitu pula demokrasi elektoral di Indonesia maupun Philipina yang saat ini berjalan beriringan dengan sistem hukum yang lemah yang terus diinjak-injak sehingga justru menjadi peluang bagi para oligark untuk semakin menancapkan kekuasaanya.
Tepatnya terlalu menguasai hukum sehingga kebal hukum. Jasa terbesar Jeffrey Winters ialah dalam mengungkap betapa luas dan besarnya jaringan peran berbagai profesi yang terlibat dalam industri pertahanan pendapatan ini. Ahli hukum, pengacara, mafia pajak, mafia lingkungan, makelar kasus, konsultan manajemen, akuntan, aparat negara, lembaga-lembaga hukum semuanya bertugas bukan untuk menegakkan hukum. Mereka malah membengkokkan hukum agar berpihak dan melindungi kepentingan oligarki keuangan dan properti itu. Begitu pula demokrasi elektoral di Indonesia maupun Philipina yang saat ini berjalan beriringan dengan sistem hukum yang lemah yang terus diinjak-injak sehingga justru menjadi peluang bagi para oligark untuk semakin menancapkan kekuasaanya.
Jika merujuk pada teori yang dikemukakan
oleh Winters maka kita dapat melihat bahwa perkembangan oligarki dari
Orde Baru, oligarki kesultanan telah bermetamorfosa setelah reformasi
menjadi oligarki yang terdesentralisasi dan tersebar dalam sistem
politik demokrasi. Para oligark tidak lagi terpusat seperti dalam
oligarki kesultanan tetapi telah menjadi oligark sipil yang menguasai
hukum dan kekuasaan secara bersama-sama dengan oligark lainnnya melalui
model-model aliansi atau yang disebut Katz dan Mair sebagai kartel
politik.[46]
D. Penutup
Hal mendasar terkait hubungan antara
oligark dan sistem politik terutama antara masa Orde Baru dan pasca Orde
Baru adalah pada konteks bagaimana format politik itu dikonstruksi.
Jika pada masa Orde Baru, kekuasaan oligark yang demikian besar dan
terpusat pada patron politik yang didukung oleh para panglima militer
telah menjadikan sistem politik sebagai subordinasi sepenuhnya dari para
oligark.
Namun, setelah Orde Baru berakhir, para oligark harus berkompromi dengan tuntutan rakyat mengenai demokratisasi politik, kekuasaan tidak lagi tunggal, tetapi tersebar dan terdesentralisasi. Meski demikian, para oligark secara faktual telah berhasil memanipulasi dan memanfaatkan tuntutan demokratisasi untuk tetap mengendalikan proses politik dan kekuasaan dengan didorong motif utama, pemupukan dan pertahanan kekayaan.
Hal ini menunjukan kemampuan para oligark karena penguasaan sumberdaya kekuasaan yang masif, terutama kekayaan untuk tetap berkuasa dan kaya, apapun format politik yang berlangsung. Dengan demikian, teori yang dikemukakan oleh Winters memiliki signifikansi yang kuat untuk menjelaskan bagaimana model-model oligarki berkembang di Indonesia berdasarkan perubahan-perubahan politik yang berlangsung.
Namun, setelah Orde Baru berakhir, para oligark harus berkompromi dengan tuntutan rakyat mengenai demokratisasi politik, kekuasaan tidak lagi tunggal, tetapi tersebar dan terdesentralisasi. Meski demikian, para oligark secara faktual telah berhasil memanipulasi dan memanfaatkan tuntutan demokratisasi untuk tetap mengendalikan proses politik dan kekuasaan dengan didorong motif utama, pemupukan dan pertahanan kekayaan.
Hal ini menunjukan kemampuan para oligark karena penguasaan sumberdaya kekuasaan yang masif, terutama kekayaan untuk tetap berkuasa dan kaya, apapun format politik yang berlangsung. Dengan demikian, teori yang dikemukakan oleh Winters memiliki signifikansi yang kuat untuk menjelaskan bagaimana model-model oligarki berkembang di Indonesia berdasarkan perubahan-perubahan politik yang berlangsung.
Daftar Pustaka
Buku-Buku :
Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974
Anthony Down, An Economic Theory of Democracy, Harper & Row, Publishers, 1957
Bahrin, Dampak Korupsi Terhadap Negara dan Penanggulangannya, Bogor, IPB Press, 2004
David R. Henderson. “Rent Seeking.” The Concise Encyclopedia of Economics. David R. Henderson, ed. Liberty Fund, Inc. 2008
Herman Hidayat, Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran, dalam Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Penyunting Muhammad Hisyam, Yayasan Obor, Jakarta, 2003
Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1988
James A. Caporaso & David P. Levine, Theories Of Political Economy, Cambridge university, New York, 1992
Jeffrey A. Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, New York, 2011
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Gramedia, Jakarta, 2009
Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York; Oxford University Press, 1964
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terj. Sahat Simamora, Rajawali Pers, Jakarta, 1985
Robert R. Alford dan Roger Friedland, Power of Theory, Cambridge University Press, New Port Chester, 1985
Sjahrir, Refleksi Pembangunan Orde Baru: Ekonomi Indonesia 1968 - 1992, Gramedia, Jakarta, 1992
SP.Varma, Teori Politik Modern, Rajawali Pers, Jakarta, 2003
Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES, Jakarta, 2005
Willliam Ebenstein, Great Political Thinkers; Plato to The Present, Third Edition, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1960
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, 1990
Jurnal, Paper, Majalah:
Ross, Michael Lewin, The Political Economy of the Resource Curse, World Politics - Volume 51, Number 2, January 1999
Soemitro Djojohadikusumo, “Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Empat Tahap Pelita, 1969/1970 - 1988/1989,” Prasaran Untuk Sidang Pleno ISEI. Bukit Tinggi, 29 Juni 1989.
Swa Sembada, No. 9/VII, Desember 1992, “Bonus Proyeksi Bisnis 1993″`
Vedi R Hadiz, ‘Retrieving the Past for the Future? “Indonesia and the New Order Legacy”, Southeast Asian Journal of Social Science, 28, 2, 2000
[1] Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York; Oxford University Press, 1964, hal 14-16
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid, hal 1
[5] Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1988, hal 36
[6] Jeffrey A. Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, New York, 2011, hal 6
[7] Ibid
[8] Ibid, hal 5
[9] Ibid
[10] Ibid, hal 7
[11] Ibid, hal 9
[12] Ibid, hal 12
[13] Ibid, hal 35
[14] Ibid, hal 44
[15] Ibid, hal 69
[16] Ibid
[17] Ibid, hal 135
[18] Ibid, hal 136
[19] Lihat Willliam Ebenstein, Great Political Thinkers; Plato to The Present, Third Edition, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1960, hal 809
[20] Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES, Jakarta, 2005, hal 115
[21] Ibid
[22] Winters, Op.Cit, hal 157
[23] Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974, hal 47
[24] Winters, Op.Cit, hal 157
[25] Sjahrir, Refleksi Pembangunan Orde Baru: Ekonomi Indonesia 1968 - 1992, Gramedia, Jakarta, 1992, hal 140
[26] Lihat Soemitro Djojohadikusumo, “Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Empat Tahap Pelita, 1969/1970 - 1988/1989,” Prasaran Untuk Sidang Pleno ISEI. Bukit Tinggi, 29 Juni 1989.
[27] Ibid, hal 66
[28] Lihat Swa Sembada, No. 9/VII, Desember 1992, “Bonus Proyeksi Bisnis 1993″, hal 4
[29] James A. Caporaso & David P. Levine, Theories Of Political Economy, Cambridge university, New York, 1992, hal 181
[30] Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, 1990, hal 49
[31] Herman Hidayat, Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran, dalam Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Penyunting Muhammad Hisyam, Yayasan Obor, Jakarta, 2003, hal 192-193
[32] Winters, Op.Cit, hal 142
[33] Ibid, hal 158
[34] Vedi R Hadiz, ‘Retrieving the Past for the Future? “Indonesia and the New Order Legacy”, Southeast Asian Journal of Social Science, 28, 2, 2000, hal 11-34
[35] Winters, Op.,Cit, hal 182
[36] Ibid, hal 186
[37] Robert R. Alford dan Roger Friedland, Power of Theory, Cambridge University Press, New Port Chester,, Melbourne Sydney, hal., 95
[38] Lihat Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terj. Sahat Simamora, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hal 10 - 11.
[39] Ibid
[40] SP.Varma, Teori Politik Modern, Rajawali Pers, Jakarta, 2003, hal 211
[41] Ibid
[42] Ibid, 212
[43] Ibid, hal 213
[44] Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Gramedia, Jakarta2009, hal 31
[45] Menurut
Michael Ross, rent seeking dapat dibagi menjadi dua tipe : a. Rent
Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang dibuat oleh
Negara dengan menyogok politisi dan birokrat (in which firms seek rents
created by the state, by bribing politicians and bureaucrats); b. Rent
Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari
perusahaan dengan mengancam perusahaan dengan peraturan-peraturan (in
which politicians and bureaucrats seek rents held by firms, by
threatening fims with costly regulations); c. Rent Seizing, dimana
terjadi ketika aktor-aktor negara atau birokrat berusaha untuk
mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari
institusi-institusi Negara untuk kepentingan individunya atau
kelompoknya. (rent seizing: as efforts by state actors to gain the right
to allocate rents).
[46] Ambardi, Op.,Cit, Kartel Politik…hal 31
One Response to ““POLITIK OLIGARKI; PENGALAMAN INDONESIA””
1
masyarakat pemantau kecamatan kemalang Says:
Itulah demokrasi borjuasi, semua partai tidak beridiologi, karena
mereka berpartai hanya untuk menjadi legeslator, mereka mempunyai masa
yang mengambang bukan masa yang kongkrit, partai politik sebagai ladang
dan sawah saja
JAKARTA -
PT Freeport Indonesia (PTFI) menyebut penjualan emas dan tembaganya turun sehingga pihaknya belum membayar dividen kepada negara. Tapi, kenyataannya, volume maupun nilai total penjualan emas dan tembaganya mengalami kenaikan.
Menanggapi hal tersebut, Vice President Corporate Communications Freeport Daisy Primayanti enggan berkomentar mengenai munculnya laporan keuangan yang menyatakan total penjualan emas dan tembaga mengalami kenaikan.
"Saya belum bisa berikan jawaban. Tapi kami tidak berikan dividen karena memang itu sudah keputusan bersama dari pemegang saham," ucap Daisy kepada Okezone, di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Dirinya menjelaskan, perusahaan memang sedang mengalami penurunan kinerja keuangan selama dua tahun berturut-turut. Menurutnya, penurunan ini dikarenakan kadar bijih hasil tambang rendah sehingga mengalami penurunan pencapaian target dan ditambah dua bulan berhenti operasi karena adanya kecelakan tambang beberapa bulan lalu.
"Kan sudah kami kasih penjelasan, turun mengapa," imbuhnya.
Sementara itu, desakan dari banyak pihak maupun dari pemerintah untuk Freeport harus membayar kewajiban dividen, dirinya pun enggan berkomentar. "Saya itu juga belum bisa berkomentar," pungkasnya. (rzk)
JAKARTA -
Kontribusi PT Freeport Indonesia tampaknya semakin minim untuk Indonesia. Pasalnya, sejak 2012, perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) ini sudah tidak menyetor dividen kepada pemerintah, sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Penelusuran Okezone, Kamis (16/4/2014), pada tahun 2012 dan 2013, perusahaan ini sudah tidak menyetor dividen kepada pemerintah. Sementara, pada periode 2009-2011, dividen yang disetor perusahaan ini juga naik-turun.
Untuk buku tahun 2009, perusahaan ini menyetor dividen Rp2,09 triliun. Sementara pada tahun 2010 yang disetorkan turun 27,75 persen menjadi Rp1,51 triliun. Lalu pada tahun 2011, Freeport menyetor Rp1,76 triliun.
Alhasil, pada tahun 2012, Freeport Indonesia cuma membayar pajak dan royalti kepada pemerintah senilai USD955,6 juta. Setoran itu anjlok 60,2 persen dibandingkan 2011 yang mencapai USD2,4 miliar.
Sementara itu, total setoran Freeport ke Indonesia turun lagi sampai 47,68 persen untuk tahun buku 2013. Di mana Freeport telah melakukan pembayaran kepada Pemerintah RI dalam bentuk pajak dan royalti sebesar sekitar USD500 juta. (rzk)
SEBARKAN !
Biarkan Rakyat Indonesia Tahu & Berubah Ke Arah Lebih Baik ! Tunjukan pada Dunia & Guncangkan...! 1234
Negara Terkaya di Dunia Itu Ternyata adalah Indonesia. Banyak sebenarnya yang tidak tahu di manakah negara terkaya di planet bumi ini, ada yang mengatakan Amerika, ada juga yang mengatakan negera-negara di timur tengah. tidak salah sebenarnya, contohnya Amerika. negara super power itu memiliki tingkat kemajuan teknologi yang hanya bisa disaingi segelintir negara, contoh lain lagi adalah negara-negara di timur Tengah.
Rata-rata negara yang tertutup gurun pasir dan cuaca yang menyengat itu mengandung jutaan barrel minyak yang siap untuk diolah. tapi itu semua belum cukup untuk menyamai negara yang satu ini. bahkan Amerika, Negara-negara timur tengah serta Uni Eropa-pun tak mampu menyamainya.
Dan inilah negara terkaya di planet bumi yang luput dari perhatian warga bumi lainya. warga negara ini pastilah bangga jika mereka tahu. tapi sayangnya mereka tidak sadar "berdiri di atas berlian" langsung saja kita lihat profil negaranya.
Wooww… Apa yang terjadi? apakah penulis (saya) salah? tapi dengan tegas saya nyatakan bahwa negara itulah sebagai negara terkaya di dunia. tapi bukankah negara itu sedang dalam kondisi terpuruk? hutang dimana-mana, kemiskinan, korupsi yang meraja lela, kondisi moral bangsa yang kian menurun serta masalah-masalah lain yang sedang menyelimuti negara itu.
baiklah mari kita urai semuanya satu persatu sehingga kita bisa melihat kekayaan negara ini sesungguhnya.
1. Negara ini punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia. namanya PT Freeport.
Apa saja kandungan yang di tambang di Freeport? ketika pertambangan ini dibuka hingga sekarang, pertambangan ini telah mengasilkan 7,3 JUTA ton tembaga dan 724,7 JUTA ton emas. saya (penulis= suranegara) mencoba meng-Uangkan jumlah tersebut dengan harga per gram emas sekarang, saya anggap Rp. 300.000. dikali 724,7 JUTA ton emas/ 724.700.000.000.000 Gram dikali Rp 300.000. = Rp.217.410.000.000.000.000.000 Rupiah!!!!! ada yang bisa bantu saya cara baca nilai tersebut? itu hanya emas belum lagi tembaga serta bahan mineral lain-nya. Seharusnya nama kota di sana itu bukan Tembagapura tapi Emaspura.
Lalu siapa yang mengelola pertambangan ini? bukan negara ini tapi AMERIKA! prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah dan 99% untuk amerika sebagai negara yang memiliki teknologi untuk melakukan pertambangan disana. bahkan ketika emas dan tembaga disana mulai menipis ternyata dibawah lapisan emas dan tembaga tepatnya di kedalaman 400 meter ditemukan kandungan mineral yang harganya 100 kali lebih mahal dari pada emas, ya.. dialah URANIUM! bahan baku pembuatan bahan bakar nuklir itu ditemukan disana. belum jelas jumlah kandungan uranium yang ditemukan disana, tapi kabar terakhir yang beredar menurut para ahli kandungan uranium disana cukup untuk membuat pembangkit listrik Nuklir dengan tenaga yang dapat menerangi seluruh bumi hanya dengan kandungan uranium disana. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri ini, para jenderal dan juga para politisi busuk, yang bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini.
2. Negara ini punya cadangan gas alam TERBESAR DI DUNIA! tepatnya di Blok Natuna.
Berapa kandungan gas di blok natuna? Blok Natuna D Alpha memiliki cadangan gas hingga 202 TRILIUN kaki kubik!! dan masih banyak Blok-Blok penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu dll. DIKELOLA SIAPA? EXXON MOBIL! dibantu sama Pertamina.
3. Negara ini punya Hutan Tropis terbesar di dunia. hutan tropis ini memiliki luas 39.549.447 Hektar, dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia.
Letaknya di pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi dan. sebenarnya jika negara ini menginginkan kiamat sangat mudah saja buat mereka. tebang saja semua pohon di hutan itu makan bumi pasti kiamat. karena bumi ini sangat tergantung sekali dengan hutan tropis ini untuk menjaga keseimbangan iklim karena hutan hujan Amazon tak cukup kuat untuk menyeimbangkan iklim bumi. dan sekarang mereka sedikit demi sediki telah mengkancurkanya hanya untuk segelintir orang yang punya uang untuk perkebunan dan lapangan Golf. sungguh sangat ironis sekali.
4. Negara ini punya Lautan terluas di dunia. dikelilingi dua samudra, yaitu Pasific dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain.
Saking kaya-nya laut negara ini sampai-sampai negara lain pun ikut memanen ikan di lautan negara ini.
5. Negara ini punya jumlah penduduk terbesar ke 4 didunia. dengan jumlah penduduk segitu harusnya banyak orang-orang pintar yang telah dihasilkan negara ini, tapi pemerintah menelantarkan mereka-mereka. sebagai sifat manusia yang ingin bertahan hidup tentu saja mereka ingin di hargai. jalan lainya adalah keluar dari negara ini dan memilih membela negara lain yang bisa menganggap mereka dengan nilai yang pantas.
6. Negara ini memiliki tanah yang sangat subur. karena memiliki banyak gunung berapi yang aktif menjadikan tanah di negara ini sangat subur terlebih lagi negara ini dilintasi garis katulistiwa yang banyak terdapat sinar matahari dan hujan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara timur tengah yang memiliki minyak yang sangat melimpah negara ini tentu saja jauh lebih kaya. coba kita semua bayangkan karena hasil mineral itu tak bisa diperbaharui dengan cepat. dan ketika seluruh minyak mereka telah habis maka mereka akan menjadi negara yang miskin karena mereka tidak memiliki tanah sesubur negara ini yang bisa ditanami apapun juga. bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
7. Negara ini punya pemandangan yang sangat eksotis dan lagi-lagi tak ada negara yang bisa menyamainya. dari puncak gunung hingga ke dasar laut bisa kita temui di negara ini.
Negara ini sangat amat kaya sekali, tak ada bangsa atau negara lain sekaya INDONESIA! tapi apa yang terjadi ? Kekayaan Alam Indonesia tdk seirama dgn kehidupan Rakyatnya yang miskin,terpuruk,melarat tak berdaya...
Oleh Sebab itu, Untuk EXXON MOBIL OIL, FREEPORT, SHELL, PETRONAS dan semua PEJABAT NEGARA yang menjual kekayaan Bangsa untuk keuntungan negara asing, diucapkan TERIMA KASIH.
Dan rasa terima kasih KAMI untuk Kemerdekaan Indonesia yang ke 67 tahun, kami pemuda-pemudi Indonesia memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada pejuang yang telah mengorbankan darah dan air mata mereka untuk bangsa ini..Pengorbanan kalian telah di sia-siakan oleh para Pemimpin yang hanya mementingkan keluarga,perut,& Partainya sendiri,Rakyat baru di tengok ketika PEMILU tinggal hitung Hari dengan mengharap suara & dukungan mereka...namun Ketika PEMILU usai,maka Rakyat kembali dicampakkan & kembali terjadi kesenjangan antara si kaya & si miskin,si kaya makin kaya & si miskin makin miskin...Para pejabat pemerintah makin kaya & rakyat makin miskin dibuatnya...kekayaan Alam Indonesia akhirnya kembali dinikmati oleh segelintir orang khusunya para pejabat,aparatur negara & Pihak Asing..Namun Rakyat hanya mendapatkan janji kosong berbuah dusta & kebohongan berbalut penderitaan ...
Sri Edi Swasono :
http://indiependen.com/neolib-itu-penjajahan-model-baru/
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Dr Sri Edi Swasono dengan tegas menuding neoliberalisme merupakan penjajahan model baru. “Itulah arti neolib yang paling mudah dipahami.” Ungkapan itu sekaligus merupakan bentuk keprihatinannya atas perampokan kekayaan alam indonesia yang hingga saat ini masih berlangsung. Ironisnya, perampokan itu justru dilakukan oleh pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab untuk memakmurkan bangsa di negeri yang kaya raya ini.
“Jika sebuah negara mengalami kevakuman kepemimpinan yang kredibel, maka yang muncul adalah preman-preman,” jelas Sri Edi, “termasuk di dalamnya pemerintah dan DPR.” Dia menjabar, bagaimana mungkin sebuah lembaga wakil rakyat bisa menggolkan 8 undang-undang yang isinya menjual kekayaan negara. “Yang kita lihat selama ini hanya pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia,” ucap aktivis yang masih aktif mengajar di Universitas Indonesia ini.
Itu artinya, pembangunan yang terlihat gemerlap tak lebih dari pembangunan properti milik asing yang numpang di Indonesia. Dengan kata lain, masih menurut Sri Edi, Indonesia tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sementara Dr. Iman Sugema, pengamat ekonomi, menambahkan betapa kekayaan alam negeri ini dikuras habis oleh kapitalis asing. Ia mencontohkan, dalam satu tahun, 250 juta ton batubara digali dari perut bumi Indonesia. Hanya 65 juta ton saja yang diperuntukkan dalam negeri, sisanya dijual ke asing.
“Anehnya dari sekian banyak kekayaan alam yang dikeruk, pemerintah Indonesia akan menurunkan royalti dari 13,5 persen menjadi hanya 9 persen dengan alasan memberikan daya tarik untuk datangnya investor baru,” jelas Sugema.
Masih menurut Iman Sugema, dari tahun ke tahun kebijakan pemerintah tidak pernah berubah dan selalu anti domestik. “Bagaimana mungkin Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara bisa dikalahkan dengan Exxon di blok cepu,” tutur Sugema geram.
Dr. M. Fadhil Hasan, pengamat ekonomi lainnya meningkahi, “Semua perampokan kekayaan alam ini dilakukan dengan disain yang rapi.” Publik tidak bisa tahu, siapa di balik perampokan-perampokan ini?. Tapi kebijakannya begitu terasa, mulai dari undang-undang yang pro investor, dan peraturan pemerintah pada tingkat implementasi.
“Kita heran, bagaimana mungkin penjualan gas di blok Tangguh ke China dengan harga yang begitu murah,” ucap Fadhil. Kemudian Sri Edi menandaskan, pemerintahan yang neolib tidak akan pernah berpihak pada rakyat. Mereka lebih peduli dengan kekuatan asing.
Dimulai tahun 1967 hingga saat ini Freeport telah berlangsung selama 42 tahun. Selama itu kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing itu. Sayangnya penambangan itu belum member manfaat bagi Negara maupun masyarakat Papua sekitar pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus menangguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan kontrak karya pertambangan antara pemerintah indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, kontrak kerja ini juga menjadi dasar penyusunan UUPertambangan nomor 11/1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, dan masih berlangsung sampai sekarang. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 Ha dengan kedalaman 800 meter. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
PEMALSUAN DATA
freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan miliaran dolar Amerika keuntungan yang diperoleh freeport.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994 Feeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi data atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan departemen keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika yang penghasilannya hanya sekitar $132 per tahun pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis meningkat dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. di wilayah operasi freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah freeport. selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran ham.
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia. Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya sepanjang 700 km.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat papua, bahkan pembangunan di papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di kabupaten Mimika di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk papua dalam kondisi miskin. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan berada di kawasan konsesi pertambangan freeport.
Situs tambang Freeport di puncak gunung pada ketinggian 4.270 meter. Suhu terendah mencapai 2 derajat celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m. Dengan kondisi alam seperti itu, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. • CAHYO SUDARSO
Neoliberal telah menjadi komoditas politik Indonesia sejak pemerintahan Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono,. mereka melakukan kebijakan privatisasi BUMN. Sistem neoliberal dianggap baik karena mengurangi peran negara dan memaksimalkan privatisasi tetapi bagaimana akibatnya sekarang?. Prof. Sri Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia angkat bicara , neoliberalisme menjadi penyebab menurunnya kesejahteraan Indonesia.
“Neolib justru membuat daulat pasar, bukan daulat rakyat. Karena neolib, pembangunan hanya menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Oleh sebab itu neolib tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat padahal sistem ekonomi harus bisa memberikan rakyat kesejahteraan. Maka bisa dikatakan bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia telah melanggar konstitusi,” tutur Sri Edi.
Kemudian dia menandaskan lagi, “Perundangan yang terkait dengan pengaturan ekonomi di Indonesia telah melanggar konstitusi. Pemimpin negara telah menjual rakyat dan bangsanya sendiri karena terbelit neoliberalisme asing. Legislatif pun diminta untuk berperan aktif memperbaiki amandemen undang-undang yang manipulatif.”
TERANCAM GAGAL
Pencitraan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY terhadap perkembangan negara dan kenyataan yang dirasakan rakyat nyatanya masih jauh panggang dari api. Dan, sebuah kenyataan terungkap lagi, menjelang akhir Juni lalu sebuah lembaga Fund for Peace yang berpusat di Washington DC, AS, mengeluarkan Indeks Negara Gagal.
Sedangkan para pejabat tinggi pemerintah menolak jika Indonesia sekarang berada di tubir negara gagal. Perbedaan pandangan ini bisa dipahami karena jika Indonesia dikatakan mengarah menjadi negara gagal, berarti pemerintah tidak berhasil dalam berbagai programnya. Hasil survei mana pun selalu bisa dipersoalkan, baik dari segi metodologi maupun hasilnya. Apalagi, jika sebagian masyarakat kita sendiri tidak merasa Indonesia sedang terjerumus menjadi negara gagal, kehidupan mereka sehari-hari berjalan biasa biasa saja.
Tetapi, agaknya perlu mempertimbangkan 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace untuk mengukur Indeks Negara Gagal tersebut. Kita kemudian dapat melihat dan merasakan apakah Indonesia mengarah menjadi negara gagal. Ada empat indikator dalam bidang sosial dan enam indikator bidang politik.
Di bidang sosial, pertama, memuncaknya tekanan demografis. Kedua, semakin banyak jumlah pengungsi dan pelarian warga masyarakat tertentu dari kediaman mereka, sehingga menciptakan situasi kemanusiaan darurat. Ketiga, meluasnya tindakan kekerasan balas dendam antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lain, dan keempat, meningkatnya lingkungan kumuh di wilayah-wilayah miskin. Lihat saja lingkungan kumuh di Jakarta, di bawah jalan layang tol atau tanah kosong tertentu seolah tidak bisa diatasi pemerintah.
Meski kesenjangan ekonomi terlihat kian jelas dalam masyarakat kita tetapi ekonomi Indonesia secara keseluruhan jauh dari merosot. Sebaliknya, kelas menengah terus bertumbuh. Akan tetapi jika indikator-indikator yang tidak menggembirakan itu tidak diperbaiki secara serius, bukan tidak mungkin Indonesia betul-betul terjerumus jadi negara gagal.
Di hadapan publik, pemerintah dengan bangga merilis angka-angka yang fantastis dan menggembirakan dalam kacamata ekonomi makro. Rilis angka itu entah ditujukan kepada siapa?. Faktanya, rakyat semakin sengsara, setiap hari ada saja anak bangsa yang berteriak kelaparan. Di tengah fatamorgana, rakyat tetap menuntut adanya keadilan dan arah pembangunan ekonomi yang jelas bagi kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan kaum kapitalis.
Toto Rahardjo, pekerja bebas kebudayaan dan pengembangan masyarakat pedesaan di Jawa Tengah menuturkan, “Ya bagaimana lagi orang-orang besar yang kita saksikan sekarang hanya cari makan sendiri-sendiri, tidak punya visi yang jelas tentang apa yang harus mereka perjuangkan.”
Dulu, tutur Toto lebih lanjut, para pejuang Indonesia merasa memiliki musuh bersama yaitu penjajah. Namun ketika beralih ke Orde Baru pimpinan Soeharto segalanya menjadi rusak karena dia disetting oleh negara Barat dengan dalih pembangunan, kemudian diarahkan untuk mengikuti pasar bebas. “Lha kalau pasar ya prinsipnya tentu dagang, dan yang petimbangannya untung rugi. Maka yang disebut rakyat adalah konsumen dan di pihak lain, negara-negara Barat adalah menjajah Indonesia.
Apabila pemerintah tidak mau dianggap gagal mengelola bangsa ini, momentum 17 Agustus ini hendaknya dijadikan pijakan untuk memperbaiki arah kebijakannya. Namun dengan pemimpin yang peragu seperti SBY maka tuntutan rakyat agar dia berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu ibarat mengharap bulan jatuh di pangkuan. Mana mungkin. □ rd
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*
Dalam ruang politik demokrasi Indonesia yang tersandera oleh kuasa oligarkhi, menawarkan tesis intervensi politik dengan memihak salah satu kekuatan politik yang tengah berkontestasi dalam proses elektoral memang mengundang kontroversi. Setidaknya ada dua catatan kritis atas pilihan politik intervensi tadi yakni: pertama, melakukan intervensi politik atas salah satu kubu dari kekuasaan yang sedang bertarung di tengah penuhnya ruang politik oleh kontestasi dan negosiasi di antara kekuatan oligarkhi adalah tindakan sembrono.
Sekali kita masuk ke dalam salah satu pihak kekuatan oligarkhi, dengan mudah kita terserap menjadi sekrup dan instrumen yang akan memperkuat faksi oligarkhi yang tengah kita dukung. Kedua, alih-alih mendorong pada perubahan politik progresif, inisiatif melakukan intervensi politik tidak memberikan dampak riil terhadap basis sosial dari kaum progresif: kaum marhaen, rakyat pekerja, petani, dan rakyat miskin. Sehingga dalam pandangan kritis ini, hanya individu-individu yang melakukan intervensi itu saja yang syukur-syukur dapat jatah kekuasaan, dan lagi-lagi itu sama saja dengan terserapnya mereka dalam arus besar logika oligarkhi, kasarnya: menjadi pengkhianat gerakan!
Tulisan ini bermaksud mempertahankan pilihan untuk melakukan politik intervensi dalam Pemilihan Presiden 2014 dan proses politik paska elektoral, sekaligus memberikan catatan kritis prakondisi apa sajakah yang harus dikemukakan agar suatu pilihan politik intervensi menjadi tidak delusif (dalam artian memiliki angan-angan tinggi yang berharap akan diraih semalam), sekaligus mengantisipasi avonturisme politik (mencari kesempatan menjadi elite dalam arus utama oligarkhis dan meninggalkan agenda gerakan).
Inisiatif politik intervensi dalam momen elektoral Pilpres 2014 dan proses politik yang menyertainya ini setidaknya memiliki tiga tujuan: Pertama, membendung fasisme berkuasa. Kedua, mempengaruhi kekuasaan populis untuk menoleh pada agenda program politik progresif. Ketiga, menyiapkan jalan untuk membangun blok politik progresif dalam arena politik demokrasi di Indonesia. Ketiga tujuan ini tentu tidak akan dapat dipenuhi dalam semalam dan membutuhkan kerja-kerja serius dengan mempertimbangkan keterbatasan maupun peluang dalam kondisi obyektif yang ada sehingga inisiatif politik intervensi tidak mengalami disorientasi.
Membendung Fasisme
Sekarang kita akan mendiskusikan tujuan pertama politik intervensi terlebih dahulu yakni membendung fasisme. Benarkah ancaman fasisme itu ada dalam proses pelembagaan politik demokrasi di Indonesia sekarang? Mereka yang menyangsikan bahwa ancaman fasisme dalam perjalanan demokrasi di Indonesia itu mengada-ada melihat bahwa tidak mungkin arah demokrasi Indonesia akan dibalikkan kembali menuju tatanan politik otoritarian bahkan totalitarian dengan kemenangan satu kekuatan politik tertentu. Mereka melupakan bahwa kondisi fasisme dapat terbangun dalam konteks pelembagaan politik demokrasi.
Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut tentang kemungkinan fasisme dalam instalasi politik pelembagaan demokrasi, mari kita menelusuri terlebih dahulu apakah itu fasisme. Pertama-tama fasisme tidaklah dapat dikategorisasikan semata-mata sebagai sebuah rezime totalitarianisme, namun sebagai instrumen ideologis (hegemoni) dari faksi-faksi borjuasi tertentu di saat krisis untuk melawan faksi kelas dominan dengan cara mentralisir dimensi-dimensi pertarungan ekonomi-politik yang sesungguhnya dalam sistem, membelokkannya sebagai konflik bercorak kultural dengan menjadikan identitas kultur tertentu sebagai musuh bersama, misalnya dalam manifestasi anti-China/Yahudi, anti non-muslim/anti-muslim untuk membangun persatuan nasional dengan menolak kesetaraan dan menumbuhkembangkan tatanan sosial berbasis hierarkhi (Jodi Dean 2006).
Kaum yang mengklaim diri sebagai kaum demokrat dan tidak risau akan ancaman fasisme melupakan bahwa kekuatan politik fasisme dapat hidup, beradaptasi dan kemudian merusak tatanan politik demokrasi. Tampilnya kekuatan politik Front Nasional Fascis di Prancis, di bawah pimpinan Jean Marie Le Pen (yang kemudian kepemimpinan Front Nasional dilanjutkan oleh anaknya Marine Le-Pen sejak tahun 2011) yang hampir saja memenangkan Pemilihan Presiden Prancis tahun 2002, menjadi salah satu contoh dari ancaman fasisme dalam tatanan demokrasi liberal yang mapan.
Front Nasional Prancis ditopang oleh kekuatan-kekuatan borjuasi domestik, borjuasi kecil dan kalangan masyarakat akar rumput yang meyakini bahwa krisis ekonomi di Eropa bukanlah krisis dalam sistem kapitalisme namun akibat banyaknya kaum imigran non-Eropa seperti kaum Muslim Timur Tengah yang menetap di Prancis sebagai sumber dari segala masalah.
Tendensi karakter politik anti orang asing/imigran sebagai rujukan dari dorongan kebijakan anti-imigrasi mereka merupakan manifestasi dari fasisme kelompok Front Nasional di Prancis. Di Negara demokrasi liberal lainnya seperti Amerika Serikat, seperti dikemukakan Noam Chomsky, gerakan Tea Party yang mempersatukan kekuatan-kekuatan konservatif juga dapat dikatakan sebagai anasir fasisme. Salah satu bukti dari tendensi fasisme di gerakan Tea Party, dapat dilihat dari beberapa isu tentang Muslim atau tidak Muslimnya Presiden Obama dalam situs mereka (Judson Phillips 2012 di www.teapartynations). Meskipun belum menjadi gerakan massa yang dominan, namun gerakan tea party saat ini berhasil menjadi bagian dari kekuatan sosial pendukung partai Republik.
Apabila gejala fasisme ternyata secara faktual dapat tumbuh di negara demokrasi liberal seperti di Prancis dan Amerika Serikat, lalu bagaimanakah kemungkinan hadirnya fasisme di Indonesia? Apakah itu hanya propaganda politik murahan dan pepesan kosong? Mari kita analisis secara seksama. Salah satu karakter dari pelembagaan politik demokrasi di Indonesia adalah perhatian yang begitu kuat atas pelembagaan demokrasi dalam konteks bagaimana cara memilih elite dan pemimpin politik melalui mekanisme demokrasi dan tidak adanya perhatian terhadap jaminan dan pembelaan hak-hak sipil dari warga negara.
Dalam konteks demikian, kita menyaksikan bagaimana kelompok-kelompok beridentitas tertentu seperti warga Syiah, Ahmadiyah, maupun etnis tertentu seperti kaum Tionghoa semenjak era kerusuhan Mei 1998 sampai pada pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, kerapkali berada pada posisi sebagai warganegara kelas dua. Dalam karakter demokrasi oligarkhis di level nasional maupun demokrasi predatoris di tingkat politik lokal, fenomena ini bukan semata-mata terjadi karena pembiaran negara atas pelanggaran hak-hak sipil.
Tendensi hancurnya ruang hidup bersama dan hilangnya penghormatan terhadap hak-hak sipil warga negara ini berlangsung karena pertautan kepentingan ekonomi-politik antara elite dan kekuatan-kekuatan sosial anti-keberagaman di Indonesia. Sebagai contoh, berlarut-larutnya persoalan pengusiran yang dihadapi oleh warga Syiah dari kampung halamannya karena pihak penguasa elite politik nasional dan lokal memiliki pertemuan kepentingan dengan kekuatan-kekuatan konservatif dalam politik elektoral.
Kepentingan tersebut berhubungan dengan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan menjaga keberlangsungan kemakmuran di lingkaran-lingkaran politik yang mereka kelola.
Kondisi demikian semestinya menyadarkan kita bahwa jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil masih rentan menjadi permainan politik kepentingan dari elite-elite politik, sementara jaminan kebebasan sipil inilah yang kerapkali menjadi sasaran empuk dari serangan politik fasisme. Apabila kalangan elite predator dan oligarkhis yang saat ini berkuasa di Indonesia menjadikan rasa aman, kebebasan dan hak berkeyakinan dan berbicara sebagai permainan politik mereka dalam melakukan transaksi politik, maka hadirnya kekuatan fasisme yang saat ini mulai mendapatkan dukungan politik di Indonesia akan berpotensi memberikan pembenaran ideologis dari tindakan-tindakan yang lebih mengerikan bagi hak-hak setiap warganegara.
Apabila kekuatan-kekuatan fanatik dan fasis bersatu dan memenangkan momen elektoral 2014, maka terbuka kemungkinan atas nama pemurnian agama, semangat anti-asing, promosi identitas ‘asli' Indonesia maupun pandangan-pandangan chauvinistic semakin menyebar di kalangan masyarakat. Dengan berkuasanya kaum fasis, maka mereka akan berjuang untuk menginkorporasikannya sebagai instrumen hegemonik mereka di dalam negara. Dan jika ini terjadi, tentu saja ini merupakan pukulan fatal bagi perjalanan demokrasi di Indonesia, dan ancaman itu nyata tidak mengada-ada.
[Para pendahulu Republik ini tidak setuju dengan demokrasi oligarki ataupun fascist.... Kenapa harus demikian.. padahal panduan UUD 1945 asli.. dan konsep kemerdekaan NKRI dengan cita2 Proklamasi 1945... harusnya memberikan arahan akan terciptanya masyarakat adil makmur... yang bukan dalam konsep oligarki ataupun demokrasi dalam kacamata barat...??..
Penguasaan negara atas aset2 negara dan membangun BUMN-BUMD-Koperasi- dan unit2 kegiatan ekonomi masyarakat yang menyatu... untuk menjadikan arus dan aliran bisnis dan hak2 rakyat secara menyeluruh relatif merata.... secara optimal dan kalau bisa se-besar2 bagi rakyat semesta...
Bukan seperti pada kekuasaan fascist dan atau oligarki- politokrasi.. yang secara faktual sumber2 ekonomi dikuasai oleh para mafioso dan kekuasaan para amtenar.. yang memainkan politik-kekuasaan dan biznis.. dengan segala cara.. dan hanya dlam kelompok dan grup2 mereka dan jaringan mereka... sehingga rakyat semesta.. dijadikan sapi perahan.. dan aset2 negara.. dipermainkan dikuasai.. korporasi2... asing atau kelompok oligarki jaringan kekuasaan... dengan mengebiri uud -uu- peraturan daerah..dll ... inilah penindasan oleh manusia atas manusia dengan dalih uu dan peraturan2 yang diperpolitisir.. oleh para oligarki.. dan politisi oportunis...-->pen. ]
Dalam kondisi politik demikian, bagaimana kita mendudukkan pilihan politik untuk tidak memilih salah satu kekuatan politik yang tengah berlaga dalam momen politik elektoral? Mari kita melakukan analisis perbandingan politik dengan melihat suasana politik di Mesir sebagai pertimbangan dan posisi kaum kelas menengah progresif serta kalangan gerakan kiri pada momen-momen politik yang menentukan.(IRIB Indonesia/Indoprogres)
*Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, saat ini adalah Kandidat PhD Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*
Rontoknya eksperimentasi demokrasi liberal sebelum sempat tumbuh kuncup menjadi mekar terjadi karena dua hal.
Pertama aliansi borjuasi nasional dan kekuatan-kekuatan kelas menengah, masyarakat akar rumput yang memegang kekuasaan di era transisi lebih cenderung memilih membangun kesepakatan dengan kekuatan lama, militer, di momen-momen politik perubahan daripada mengembangkan basis politik yang lebih luas untuk mendukung tatanan demokrasi dengan melibatkan kekuatan kaum Muslim moderat, kelompok nasionalis-sekuler dan kekuatan sosialis di sana.
Kedua, kekuatan-kekuatan sosialis, progresif dan kelas menengah sekuler lebih memilih untuk berdiam atau melawan kelompok Ikhwanul Muslimin yang nasib politiknya lebih ditentukan oleh keberlangsungan rezim demokrasi yang baru tumbuh.
Kekuatan aliansi politik progresif sekuler ini tidak memilih jalan politik strategis untuk memberikan dukungan kritis terhadap Ikhwanul Muslimin dan melakukan tekanan politik untuk membuka lebar-lebar kebebasan sipil-politik dan ekonomi-sosial budaya. Pada akhirnya, alih-alih membangun ruang politik baru seperti yang diharapkan oleh kalangan kekuatan progresif dan sekuler pro-demokratik, posisi kekuatan progresif sekuler ini justru menguntungkan kekuatan aliansi lama pro-militer Mubarak yang kemudian berakibat pada kehancuran proses demokrasi.
Pelajaran politik yang dapat kita tarik dari kisah tragis di Mesir ini bahwa dalam situasi-situasi politik yang menentukan, inisiatif untuk membangun intervensi politik dengan melakukan kerjasama dan tekanan politik terhadap salah satu kelompok, meski tidak memiliki orientasi politik yang sama dengan kaum progresif, bermanfaat untuk mencegah kehancuran politik yang lebih besar serta mempertahankan dan mempengaruhi agenda-agenda arus utama politik agar dapat berjalan seiring dengan agenda-agenda politik kerakyatan. Dalam konstelasi politik Indonesia, yang masih tersandera oleh kekuatan politik oligarkhi, maka inisiatif intervensi politik menjadi sebuah kebutuhan untuk menjaga tatanan demokrasi dari pukulan telak terhadapnya, sekaligus berjuang untuk mengangkat isu-isu politik kerakyatan dalam proses politik ke depan.
Menolak Delusi Politik
Pada bagian ini kita akan membahas kemungkinan untuk memajukan agenda-agenda politik progresif dalam strategi politik intervensi dalam konstruksi demokrasi yang masih dikuasai oleh rezim oligarkhi dan praktik-praktik predatorisme di tingkat lokal. Di sini kita akan berbicara pada tingkatan strategi dan taktik dari gerakan politik progresif di Indonesia.
Sebelum kita melakukan analisis strategi dan taktik gerakan, maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat bagaimana kaum progresif memahami tentang apa itu strategi dan taktik. Aktivis partai politik sekaligus akademisi sosialis awal abad ke-20 asal Hungaria, Georg Lukacs (1919; 3-5) dalam karyanya Tactics and Ethics menjelaskan bahwa dalam perspektif sosialisme, strategi-taktik adalah segenap cara dan inisiatif politik yang dilakukan oleh kekuatan historis progresif untuk mencapai tujuan-tujuannya, sebagai penghubung antara tujuan obyektif dari gerakan progresif dengan realitas yang dihadapi saat ini.
Dalam konteks demikian taktik tidak selalu ditentukan semata-mata oleh keuntungan-keuntungan jangka pendek yang didapatkan oleh gerakan, ketika hal itu akan menghambat pencapaian dari tujuan obyektif dari perjuangan politik kaum progresif. Ketika tujuan politik progresif memiliki watak utopia, dalam arti berusaha mentransendensikan keadaan ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan dari masyarakat saat ini sebagai kenyataan konkret melalui perjuangan dan alat-alat strategi dan taktiknya, maka pilihan-pilihan taktis yang hanya akan memberikan keuntungan politik jangka pendek dan merugikan tujuan utama dari gerakan akan dengan sendirinya tertolak (hal ini akan kita diskusikan selanjutnya terkait dengan taktik politik dari kekuatan politik pseudo-progresif yang mengatasnamakan taktik dan strategi dengan membangun koalisi dengan kaum konservatif-fasis).
Sementara ketika strategi dan taktik politik progresif itu sejak awal diperuntukkan pada tujuan politik yang lebih radikal, yaitu mentransformasikan susunan masyarakat secara lebih demokratik secara ekonomi-sosial dan politik, maka taktik politik kaum progresif tidaklah memaksakan idealita ke dalam realita. Melampaui pemahaman idealistik, taktik politik progresif memiliki dimensi praksis untuk memanfaatkan segenap pengetahuan tentang kondisi sosial yang ada, konstelasi pertarungan antara kekuatan sosial yang berlangsung, serta pengenalan atas kekuatan maupun daya jangkau politik dari kekuatan blok progresif berhadapan dengan rival-rival politiknya dan diterjemahkan dalam aksi konkret untuk mengubah sejarah.
Di sini strategi-taktik politik progresif memiliki dimensi revolusioner, karena berusaha menampilkan kondisi sosial yang terutama dalam konstruksi hegemonik neoliberal sebagai tidak mungkin, yaitu alternatif politik sosialistik dengan melampaui tatanan kapitalisme neoliberal saat ini.
Dengan demikian, harapan dalam pengertian politik progresif memiliki makna radikal untuk membentangkan horison politik alternatif di luar kapitalisme neoliberal dan tatanan politik oligarkhis. Selanjutnya strategi politik progresif juga memiliki dimensi realis, dalam artian berangkat dari pengenalan atas pemahaman sosiologis dan kondisi material yang terhampar sebagai pengetahuan untuk membangun aksi politik konkret dengan kalkulasi politik yang terjangkau.
Dari pemahaman teoritik atas pengertian taktik dan strategi dalam pandangan politik progresif maka kita akan mendiskusikan pengetahuan tentang relasi kuasa oligarkhis dan kemungkinan-kemungkinan politik intervensi yang dapat memajukan agenda-agenda politik kerakyatan. Tulisan ini selanjutnya mencoba mendiskusikan bagaimana kita memahami kondisi ekonomi-politik yang dihadapi oleh kekuatan politik progresif Indonesia, dengan melucuti terlebih dahulu delusi politik yang selama ini cenderung membuat kaum progresif berfikir secara idealistik daripada berpijak pada kenyataan material historis.
Salah satu delusi politik itu antara lain adalah pembacaan atas teori marxis tentang neo-imperialisme yang tidak seksama atas kondisi politik Indonesia, sehingga meyakini bahwa beraliansi dengan kekuatan borjuis domestik yang membangun kekuatannya dari warisan sistem oligarkhi Orde Baru adalah cara mujarab untuk memajukan agenda politik progresif melawan neoliberalisme.
Posisi anti-neoimperialisme ini di kalangan kekuatan politik kiri di Indonesia, tampak pada kelompok seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) dengan corong propagandanya berdikarionline, maupun kelompok-kelompok lainnya yang bermaksud melakukan intervensi politik dengan logika serupa. Dalam pandangan mereka, akar dari problema ekonomi-politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi historis neoimperialisme yang tidak pernah berhasil dilawan semenjak kejatuhan pemerintahan rezime Soekarno sampai pada era reformasi.
Dalam logika neoimperialisme yang kemudian mereka terjemahkan secara otomatis dalam era sekarang sebagai problem neoliberalisme, tatanan kapitalisme otoritarian era Orde Baru sampai dengan era reformasi adalah tatanan politik yang secara penuh menghamba pada diktum penjajahan ekonomi-politik kontemporer neokolonialisme, dimana setiap produk regulasi dan inisiatif-inisiatif kebijakan yang dibangun adalah manifestasi ketundukan sekaligus ketergantungan terhadap cara kerja borjuasi transnasional untuk melakukan penghisapan kekayaan alam dan menjadikan Indonesia sebagai pasar dari produk-produk kapitalisme asing.
Dalam pandangan mereka, berbagai bentuk kebijakan paska Orde Baru, mulai dari privatisasi BUMN, air, liberalisasi migas, pasar bebas tenaga kerja sampai eksploitasi SDA adalah manifestasi konkret dari logika imperialisme di era modern. Terkait dengan posisi politik kelompok ini dalam kontestasi politik elektoral 2014, mereka melakukan pemilahan antara kekuatan-kekuatan liberal reformis yang mendapatkan keuntungan dari proses neokolonialisme baru di era kapitalisme neoliberal dan kalangan politisi-bisnis yang eksis sejak era Orde Baru dan terancam oleh kebijakan-kebijakan neoliberal pasca-otoritarianisme Indonesia.
Dalam pembelahan politik yang mereka kedepankan antara kaum reformis-liberal dan kaum pengusaha-politisi Orba, kalangan anti-neoimperialisme ini memilih untuk melawan terlebih dahulu kelompok pertama dan cenderung tidak memiliki posisi yang jelas secara publik terhadap kelompok kedua, kalau tidak dapat dikatakan mendukung kelompok kedua. Mengingat landasan teoritik dari kalangan anti neoimperialisme ini adalah mengikuti thesis dari Martha Harnecker tentang koalisi besar anti-neoimperialisme (dengan adaptasi yang agak gegabah terhadap tesis tersebut).
Apabila mengikuti pandangan dari kelompok ini, maka ada keterputusan logika ekonomi-politik antara era Orde Baru dan era Orde Reformasi, dimana praktik-praktik penghisapan di era neoliberalisme menguntungkan kekuatan-kekuatan yang mereka kategorisasikan sebagai kalangan kaum neoliberal reformis dan merugikan kekuatan ekonomi politik pro-Orde Baru. Di sinilah letak kesalahan fatal dari kelompok ini dalam melihat konstelasi ekonomi politik era Indonesia post-otoritarianisme, ketika tidak jeli melihat bagaiman relasi kuasa dan konfigurasi elite oligarkhi yang tercipta pada era sekarang.(IRIB Indonesia/Indoprogres)
*Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, saat ini adalah Kandidat PhD Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.
Freeport Belum Berikan Jawaban atas Kenaikan Penjualannya
PT Freeport Indonesia (PTFI) menyebut penjualan emas dan tembaganya turun sehingga pihaknya belum membayar dividen kepada negara. Tapi, kenyataannya, volume maupun nilai total penjualan emas dan tembaganya mengalami kenaikan.
Menanggapi hal tersebut, Vice President Corporate Communications Freeport Daisy Primayanti enggan berkomentar mengenai munculnya laporan keuangan yang menyatakan total penjualan emas dan tembaga mengalami kenaikan.
"Saya belum bisa berikan jawaban. Tapi kami tidak berikan dividen karena memang itu sudah keputusan bersama dari pemegang saham," ucap Daisy kepada Okezone, di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Dirinya menjelaskan, perusahaan memang sedang mengalami penurunan kinerja keuangan selama dua tahun berturut-turut. Menurutnya, penurunan ini dikarenakan kadar bijih hasil tambang rendah sehingga mengalami penurunan pencapaian target dan ditambah dua bulan berhenti operasi karena adanya kecelakan tambang beberapa bulan lalu.
"Kan sudah kami kasih penjelasan, turun mengapa," imbuhnya.
Sementara itu, desakan dari banyak pihak maupun dari pemerintah untuk Freeport harus membayar kewajiban dividen, dirinya pun enggan berkomentar. "Saya itu juga belum bisa berkomentar," pungkasnya. (rzk)
Duh, Setoran Freeport Kian Turun Tiap Tahun
JAKARTA -
Kontribusi PT Freeport Indonesia tampaknya semakin minim untuk Indonesia. Pasalnya, sejak 2012, perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) ini sudah tidak menyetor dividen kepada pemerintah, sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Penelusuran Okezone, Kamis (16/4/2014), pada tahun 2012 dan 2013, perusahaan ini sudah tidak menyetor dividen kepada pemerintah. Sementara, pada periode 2009-2011, dividen yang disetor perusahaan ini juga naik-turun.
Untuk buku tahun 2009, perusahaan ini menyetor dividen Rp2,09 triliun. Sementara pada tahun 2010 yang disetorkan turun 27,75 persen menjadi Rp1,51 triliun. Lalu pada tahun 2011, Freeport menyetor Rp1,76 triliun.
Alhasil, pada tahun 2012, Freeport Indonesia cuma membayar pajak dan royalti kepada pemerintah senilai USD955,6 juta. Setoran itu anjlok 60,2 persen dibandingkan 2011 yang mencapai USD2,4 miliar.
Sementara itu, total setoran Freeport ke Indonesia turun lagi sampai 47,68 persen untuk tahun buku 2013. Di mana Freeport telah melakukan pembayaran kepada Pemerintah RI dalam bentuk pajak dan royalti sebesar sekitar USD500 juta. (rzk)
Ahmad Amin and Aziz Laparuki shared
SEBARKAN !Biarkan Rakyat Indonesia Tahu & Berubah Ke Arah Lebih Baik ! Tunjukan pada Dunia & Guncangkan...! 1234
TAHUKAH ANDA JIKA EMAS DI IRIAN
DIBAGI RATA RAKYAT INDONESIA ,
AKAN KEBAGIAN
TIGA TON SETIAP JIWA ???
Negara Terkaya di Dunia Itu Ternyata adalah Indonesia. Banyak sebenarnya yang tidak tahu di manakah negara terkaya di planet bumi ini, ada yang mengatakan Amerika, ada juga yang mengatakan negera-negara di timur tengah. tidak salah sebenarnya, contohnya Amerika. negara super power itu memiliki tingkat kemajuan teknologi yang hanya bisa disaingi segelintir negara, contoh lain lagi adalah negara-negara di timur Tengah.
Rata-rata negara yang tertutup gurun pasir dan cuaca yang menyengat itu mengandung jutaan barrel minyak yang siap untuk diolah. tapi itu semua belum cukup untuk menyamai negara yang satu ini. bahkan Amerika, Negara-negara timur tengah serta Uni Eropa-pun tak mampu menyamainya.
Dan inilah negara terkaya di planet bumi yang luput dari perhatian warga bumi lainya. warga negara ini pastilah bangga jika mereka tahu. tapi sayangnya mereka tidak sadar "berdiri di atas berlian" langsung saja kita lihat profil negaranya.
Wooww… Apa yang terjadi? apakah penulis (saya) salah? tapi dengan tegas saya nyatakan bahwa negara itulah sebagai negara terkaya di dunia. tapi bukankah negara itu sedang dalam kondisi terpuruk? hutang dimana-mana, kemiskinan, korupsi yang meraja lela, kondisi moral bangsa yang kian menurun serta masalah-masalah lain yang sedang menyelimuti negara itu.
baiklah mari kita urai semuanya satu persatu sehingga kita bisa melihat kekayaan negara ini sesungguhnya.
1. Negara ini punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia. namanya PT Freeport.
Apa saja kandungan yang di tambang di Freeport? ketika pertambangan ini dibuka hingga sekarang, pertambangan ini telah mengasilkan 7,3 JUTA ton tembaga dan 724,7 JUTA ton emas. saya (penulis= suranegara) mencoba meng-Uangkan jumlah tersebut dengan harga per gram emas sekarang, saya anggap Rp. 300.000. dikali 724,7 JUTA ton emas/ 724.700.000.000.000 Gram dikali Rp 300.000. = Rp.217.410.000.000.000.000.000 Rupiah!!!!! ada yang bisa bantu saya cara baca nilai tersebut? itu hanya emas belum lagi tembaga serta bahan mineral lain-nya. Seharusnya nama kota di sana itu bukan Tembagapura tapi Emaspura.
Lalu siapa yang mengelola pertambangan ini? bukan negara ini tapi AMERIKA! prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah dan 99% untuk amerika sebagai negara yang memiliki teknologi untuk melakukan pertambangan disana. bahkan ketika emas dan tembaga disana mulai menipis ternyata dibawah lapisan emas dan tembaga tepatnya di kedalaman 400 meter ditemukan kandungan mineral yang harganya 100 kali lebih mahal dari pada emas, ya.. dialah URANIUM! bahan baku pembuatan bahan bakar nuklir itu ditemukan disana. belum jelas jumlah kandungan uranium yang ditemukan disana, tapi kabar terakhir yang beredar menurut para ahli kandungan uranium disana cukup untuk membuat pembangkit listrik Nuklir dengan tenaga yang dapat menerangi seluruh bumi hanya dengan kandungan uranium disana. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri ini, para jenderal dan juga para politisi busuk, yang bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini.
2. Negara ini punya cadangan gas alam TERBESAR DI DUNIA! tepatnya di Blok Natuna.
Berapa kandungan gas di blok natuna? Blok Natuna D Alpha memiliki cadangan gas hingga 202 TRILIUN kaki kubik!! dan masih banyak Blok-Blok penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu dll. DIKELOLA SIAPA? EXXON MOBIL! dibantu sama Pertamina.
3. Negara ini punya Hutan Tropis terbesar di dunia. hutan tropis ini memiliki luas 39.549.447 Hektar, dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia.
Letaknya di pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi dan. sebenarnya jika negara ini menginginkan kiamat sangat mudah saja buat mereka. tebang saja semua pohon di hutan itu makan bumi pasti kiamat. karena bumi ini sangat tergantung sekali dengan hutan tropis ini untuk menjaga keseimbangan iklim karena hutan hujan Amazon tak cukup kuat untuk menyeimbangkan iklim bumi. dan sekarang mereka sedikit demi sediki telah mengkancurkanya hanya untuk segelintir orang yang punya uang untuk perkebunan dan lapangan Golf. sungguh sangat ironis sekali.
4. Negara ini punya Lautan terluas di dunia. dikelilingi dua samudra, yaitu Pasific dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain.
Saking kaya-nya laut negara ini sampai-sampai negara lain pun ikut memanen ikan di lautan negara ini.
5. Negara ini punya jumlah penduduk terbesar ke 4 didunia. dengan jumlah penduduk segitu harusnya banyak orang-orang pintar yang telah dihasilkan negara ini, tapi pemerintah menelantarkan mereka-mereka. sebagai sifat manusia yang ingin bertahan hidup tentu saja mereka ingin di hargai. jalan lainya adalah keluar dari negara ini dan memilih membela negara lain yang bisa menganggap mereka dengan nilai yang pantas.
6. Negara ini memiliki tanah yang sangat subur. karena memiliki banyak gunung berapi yang aktif menjadikan tanah di negara ini sangat subur terlebih lagi negara ini dilintasi garis katulistiwa yang banyak terdapat sinar matahari dan hujan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara timur tengah yang memiliki minyak yang sangat melimpah negara ini tentu saja jauh lebih kaya. coba kita semua bayangkan karena hasil mineral itu tak bisa diperbaharui dengan cepat. dan ketika seluruh minyak mereka telah habis maka mereka akan menjadi negara yang miskin karena mereka tidak memiliki tanah sesubur negara ini yang bisa ditanami apapun juga. bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
7. Negara ini punya pemandangan yang sangat eksotis dan lagi-lagi tak ada negara yang bisa menyamainya. dari puncak gunung hingga ke dasar laut bisa kita temui di negara ini.
Negara ini sangat amat kaya sekali, tak ada bangsa atau negara lain sekaya INDONESIA! tapi apa yang terjadi ? Kekayaan Alam Indonesia tdk seirama dgn kehidupan Rakyatnya yang miskin,terpuruk,melarat tak berdaya...
Oleh Sebab itu, Untuk EXXON MOBIL OIL, FREEPORT, SHELL, PETRONAS dan semua PEJABAT NEGARA yang menjual kekayaan Bangsa untuk keuntungan negara asing, diucapkan TERIMA KASIH.
Dan rasa terima kasih KAMI untuk Kemerdekaan Indonesia yang ke 67 tahun, kami pemuda-pemudi Indonesia memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada pejuang yang telah mengorbankan darah dan air mata mereka untuk bangsa ini..Pengorbanan kalian telah di sia-siakan oleh para Pemimpin yang hanya mementingkan keluarga,perut,& Partainya sendiri,Rakyat baru di tengok ketika PEMILU tinggal hitung Hari dengan mengharap suara & dukungan mereka...namun Ketika PEMILU usai,maka Rakyat kembali dicampakkan & kembali terjadi kesenjangan antara si kaya & si miskin,si kaya makin kaya & si miskin makin miskin...Para pejabat pemerintah makin kaya & rakyat makin miskin dibuatnya...kekayaan Alam Indonesia akhirnya kembali dinikmati oleh segelintir orang khusunya para pejabat,aparatur negara & Pihak Asing..Namun Rakyat hanya mendapatkan janji kosong berbuah dusta & kebohongan berbalut penderitaan ...
AKANKAH DISERAHKAN KEPADA PEMIMPIN DARI RAS
KORUPTOR DAN PARTAI KORUPTOR ?...
bisa-bisa NEGARA DAN PEMERINTAHANYA
DIPRIVATISASI !!!!
NUSANTARA MILIK KITA SEMUA ! Let's Go 1234
<https://www.facebook.com/>
Sri Edi Swasono :
http://indiependen.com/neolib-itu-penjajahan-model-baru/
Neolib Itu Penjajahan Model Baru
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Dr Sri Edi Swasono dengan tegas menuding neoliberalisme merupakan penjajahan model baru. “Itulah arti neolib yang paling mudah dipahami.” Ungkapan itu sekaligus merupakan bentuk keprihatinannya atas perampokan kekayaan alam indonesia yang hingga saat ini masih berlangsung. Ironisnya, perampokan itu justru dilakukan oleh pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab untuk memakmurkan bangsa di negeri yang kaya raya ini.
“Jika sebuah negara mengalami kevakuman kepemimpinan yang kredibel, maka yang muncul adalah preman-preman,” jelas Sri Edi, “termasuk di dalamnya pemerintah dan DPR.” Dia menjabar, bagaimana mungkin sebuah lembaga wakil rakyat bisa menggolkan 8 undang-undang yang isinya menjual kekayaan negara. “Yang kita lihat selama ini hanya pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia,” ucap aktivis yang masih aktif mengajar di Universitas Indonesia ini.
Itu artinya, pembangunan yang terlihat gemerlap tak lebih dari pembangunan properti milik asing yang numpang di Indonesia. Dengan kata lain, masih menurut Sri Edi, Indonesia tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sementara Dr. Iman Sugema, pengamat ekonomi, menambahkan betapa kekayaan alam negeri ini dikuras habis oleh kapitalis asing. Ia mencontohkan, dalam satu tahun, 250 juta ton batubara digali dari perut bumi Indonesia. Hanya 65 juta ton saja yang diperuntukkan dalam negeri, sisanya dijual ke asing.
“Anehnya dari sekian banyak kekayaan alam yang dikeruk, pemerintah Indonesia akan menurunkan royalti dari 13,5 persen menjadi hanya 9 persen dengan alasan memberikan daya tarik untuk datangnya investor baru,” jelas Sugema.
Masih menurut Iman Sugema, dari tahun ke tahun kebijakan pemerintah tidak pernah berubah dan selalu anti domestik. “Bagaimana mungkin Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara bisa dikalahkan dengan Exxon di blok cepu,” tutur Sugema geram.
Dr. M. Fadhil Hasan, pengamat ekonomi lainnya meningkahi, “Semua perampokan kekayaan alam ini dilakukan dengan disain yang rapi.” Publik tidak bisa tahu, siapa di balik perampokan-perampokan ini?. Tapi kebijakannya begitu terasa, mulai dari undang-undang yang pro investor, dan peraturan pemerintah pada tingkat implementasi.
“Kita heran, bagaimana mungkin penjualan gas di blok Tangguh ke China dengan harga yang begitu murah,” ucap Fadhil. Kemudian Sri Edi menandaskan, pemerintahan yang neolib tidak akan pernah berpihak pada rakyat. Mereka lebih peduli dengan kekuatan asing.
MENGGUGAT NEOLIB
Dr. Marwan Batubara dalam bukunya “Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat” mengulas aktivitas pertambangan PT Freeport Mcmoran Indonesia (Freeport) di Papua mendapat perhatian luas.Dimulai tahun 1967 hingga saat ini Freeport telah berlangsung selama 42 tahun. Selama itu kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing itu. Sayangnya penambangan itu belum member manfaat bagi Negara maupun masyarakat Papua sekitar pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus menangguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan kontrak karya pertambangan antara pemerintah indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, kontrak kerja ini juga menjadi dasar penyusunan UUPertambangan nomor 11/1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, dan masih berlangsung sampai sekarang. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 Ha dengan kedalaman 800 meter. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
PEMALSUAN DATA
freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan miliaran dolar Amerika keuntungan yang diperoleh freeport.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994 Feeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi data atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan departemen keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika yang penghasilannya hanya sekitar $132 per tahun pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis meningkat dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. di wilayah operasi freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah freeport. selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran ham.
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia. Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya sepanjang 700 km.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat papua, bahkan pembangunan di papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di kabupaten Mimika di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk papua dalam kondisi miskin. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan berada di kawasan konsesi pertambangan freeport.
Situs tambang Freeport di puncak gunung pada ketinggian 4.270 meter. Suhu terendah mencapai 2 derajat celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m. Dengan kondisi alam seperti itu, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. • CAHYO SUDARSO
Neolib Menggusur Orang Miskin, Bukan Menggusur Kemiskinan
http://indiependen.com/neolib-menggusur-orang-miskin-bukan-menggusur-kemiskinan/
Neoliberal telah menjadi komoditas politik Indonesia sejak pemerintahan Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono,. mereka melakukan kebijakan privatisasi BUMN. Sistem neoliberal dianggap baik karena mengurangi peran negara dan memaksimalkan privatisasi tetapi bagaimana akibatnya sekarang?. Prof. Sri Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia angkat bicara , neoliberalisme menjadi penyebab menurunnya kesejahteraan Indonesia.
“Neolib justru membuat daulat pasar, bukan daulat rakyat. Karena neolib, pembangunan hanya menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Oleh sebab itu neolib tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat padahal sistem ekonomi harus bisa memberikan rakyat kesejahteraan. Maka bisa dikatakan bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia telah melanggar konstitusi,” tutur Sri Edi.
Kemudian dia menandaskan lagi, “Perundangan yang terkait dengan pengaturan ekonomi di Indonesia telah melanggar konstitusi. Pemimpin negara telah menjual rakyat dan bangsanya sendiri karena terbelit neoliberalisme asing. Legislatif pun diminta untuk berperan aktif memperbaiki amandemen undang-undang yang manipulatif.”
TERANCAM GAGAL
Pencitraan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY terhadap perkembangan negara dan kenyataan yang dirasakan rakyat nyatanya masih jauh panggang dari api. Dan, sebuah kenyataan terungkap lagi, menjelang akhir Juni lalu sebuah lembaga Fund for Peace yang berpusat di Washington DC, AS, mengeluarkan Indeks Negara Gagal.
Ternyata Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 178 negara di
seluruh dunia. Dengan peringkat itu Indonesia berada dalam kategori
warning, negara-negara yang perlu ‘awas’ karena sudah berada di tubir
negara gagal. Kalangan nonpemerintah umumnya berpendapat Indonesia
memang memperlihatkan sejumlah indikator menjadi negara gagal
.
Sedangkan para pejabat tinggi pemerintah menolak jika Indonesia sekarang berada di tubir negara gagal. Perbedaan pandangan ini bisa dipahami karena jika Indonesia dikatakan mengarah menjadi negara gagal, berarti pemerintah tidak berhasil dalam berbagai programnya. Hasil survei mana pun selalu bisa dipersoalkan, baik dari segi metodologi maupun hasilnya. Apalagi, jika sebagian masyarakat kita sendiri tidak merasa Indonesia sedang terjerumus menjadi negara gagal, kehidupan mereka sehari-hari berjalan biasa biasa saja.
Tetapi, agaknya perlu mempertimbangkan 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace untuk mengukur Indeks Negara Gagal tersebut. Kita kemudian dapat melihat dan merasakan apakah Indonesia mengarah menjadi negara gagal. Ada empat indikator dalam bidang sosial dan enam indikator bidang politik.
Di bidang sosial, pertama, memuncaknya tekanan demografis. Kedua, semakin banyak jumlah pengungsi dan pelarian warga masyarakat tertentu dari kediaman mereka, sehingga menciptakan situasi kemanusiaan darurat. Ketiga, meluasnya tindakan kekerasan balas dendam antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lain, dan keempat, meningkatnya lingkungan kumuh di wilayah-wilayah miskin. Lihat saja lingkungan kumuh di Jakarta, di bawah jalan layang tol atau tanah kosong tertentu seolah tidak bisa diatasi pemerintah.
Meski kesenjangan ekonomi terlihat kian jelas dalam masyarakat kita tetapi ekonomi Indonesia secara keseluruhan jauh dari merosot. Sebaliknya, kelas menengah terus bertumbuh. Akan tetapi jika indikator-indikator yang tidak menggembirakan itu tidak diperbaiki secara serius, bukan tidak mungkin Indonesia betul-betul terjerumus jadi negara gagal.
Memasuki usianya yang sudah tak muda lagi, Indonesia sepertinya tak
berdaya menghadapi kelompok-kelompok borjuis yang mengeruk kekayaan alam
negeri ini. Di usianya yang tak muda lagi, Indonesia sepertinya sudah
menjauh dari cita-cita mulia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945. Negara ini semakin lemah dan mengkhawatirkan. Setiap hari kita
disuguhi menurunnya kualitas kehidupan rakyat.
Di hadapan publik, pemerintah dengan bangga merilis angka-angka yang fantastis dan menggembirakan dalam kacamata ekonomi makro. Rilis angka itu entah ditujukan kepada siapa?. Faktanya, rakyat semakin sengsara, setiap hari ada saja anak bangsa yang berteriak kelaparan. Di tengah fatamorgana, rakyat tetap menuntut adanya keadilan dan arah pembangunan ekonomi yang jelas bagi kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan kaum kapitalis.
Toto Rahardjo, pekerja bebas kebudayaan dan pengembangan masyarakat pedesaan di Jawa Tengah menuturkan, “Ya bagaimana lagi orang-orang besar yang kita saksikan sekarang hanya cari makan sendiri-sendiri, tidak punya visi yang jelas tentang apa yang harus mereka perjuangkan.”
Dulu, tutur Toto lebih lanjut, para pejuang Indonesia merasa memiliki musuh bersama yaitu penjajah. Namun ketika beralih ke Orde Baru pimpinan Soeharto segalanya menjadi rusak karena dia disetting oleh negara Barat dengan dalih pembangunan, kemudian diarahkan untuk mengikuti pasar bebas. “Lha kalau pasar ya prinsipnya tentu dagang, dan yang petimbangannya untung rugi. Maka yang disebut rakyat adalah konsumen dan di pihak lain, negara-negara Barat adalah menjajah Indonesia.
Apabila pemerintah tidak mau dianggap gagal mengelola bangsa ini, momentum 17 Agustus ini hendaknya dijadikan pijakan untuk memperbaiki arah kebijakannya. Namun dengan pemimpin yang peragu seperti SBY maka tuntutan rakyat agar dia berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu ibarat mengharap bulan jatuh di pangkuan. Mana mungkin. □ rd
Menimbang Politik Intervensi (I)
http://indonesian.irib.ir/headline/-/asset_publisher/eKa6/content/menimbang-politik-intervensi-i
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*
Dalam ruang politik demokrasi Indonesia yang tersandera oleh kuasa oligarkhi, menawarkan tesis intervensi politik dengan memihak salah satu kekuatan politik yang tengah berkontestasi dalam proses elektoral memang mengundang kontroversi. Setidaknya ada dua catatan kritis atas pilihan politik intervensi tadi yakni: pertama, melakukan intervensi politik atas salah satu kubu dari kekuasaan yang sedang bertarung di tengah penuhnya ruang politik oleh kontestasi dan negosiasi di antara kekuatan oligarkhi adalah tindakan sembrono.
Sekali kita masuk ke dalam salah satu pihak kekuatan oligarkhi, dengan mudah kita terserap menjadi sekrup dan instrumen yang akan memperkuat faksi oligarkhi yang tengah kita dukung. Kedua, alih-alih mendorong pada perubahan politik progresif, inisiatif melakukan intervensi politik tidak memberikan dampak riil terhadap basis sosial dari kaum progresif: kaum marhaen, rakyat pekerja, petani, dan rakyat miskin. Sehingga dalam pandangan kritis ini, hanya individu-individu yang melakukan intervensi itu saja yang syukur-syukur dapat jatah kekuasaan, dan lagi-lagi itu sama saja dengan terserapnya mereka dalam arus besar logika oligarkhi, kasarnya: menjadi pengkhianat gerakan!
Tulisan ini bermaksud mempertahankan pilihan untuk melakukan politik intervensi dalam Pemilihan Presiden 2014 dan proses politik paska elektoral, sekaligus memberikan catatan kritis prakondisi apa sajakah yang harus dikemukakan agar suatu pilihan politik intervensi menjadi tidak delusif (dalam artian memiliki angan-angan tinggi yang berharap akan diraih semalam), sekaligus mengantisipasi avonturisme politik (mencari kesempatan menjadi elite dalam arus utama oligarkhis dan meninggalkan agenda gerakan).
Inisiatif politik intervensi dalam momen elektoral Pilpres 2014 dan proses politik yang menyertainya ini setidaknya memiliki tiga tujuan: Pertama, membendung fasisme berkuasa. Kedua, mempengaruhi kekuasaan populis untuk menoleh pada agenda program politik progresif. Ketiga, menyiapkan jalan untuk membangun blok politik progresif dalam arena politik demokrasi di Indonesia. Ketiga tujuan ini tentu tidak akan dapat dipenuhi dalam semalam dan membutuhkan kerja-kerja serius dengan mempertimbangkan keterbatasan maupun peluang dalam kondisi obyektif yang ada sehingga inisiatif politik intervensi tidak mengalami disorientasi.
Membendung Fasisme
Sekarang kita akan mendiskusikan tujuan pertama politik intervensi terlebih dahulu yakni membendung fasisme. Benarkah ancaman fasisme itu ada dalam proses pelembagaan politik demokrasi di Indonesia sekarang? Mereka yang menyangsikan bahwa ancaman fasisme dalam perjalanan demokrasi di Indonesia itu mengada-ada melihat bahwa tidak mungkin arah demokrasi Indonesia akan dibalikkan kembali menuju tatanan politik otoritarian bahkan totalitarian dengan kemenangan satu kekuatan politik tertentu. Mereka melupakan bahwa kondisi fasisme dapat terbangun dalam konteks pelembagaan politik demokrasi.
Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut tentang kemungkinan fasisme dalam instalasi politik pelembagaan demokrasi, mari kita menelusuri terlebih dahulu apakah itu fasisme. Pertama-tama fasisme tidaklah dapat dikategorisasikan semata-mata sebagai sebuah rezime totalitarianisme, namun sebagai instrumen ideologis (hegemoni) dari faksi-faksi borjuasi tertentu di saat krisis untuk melawan faksi kelas dominan dengan cara mentralisir dimensi-dimensi pertarungan ekonomi-politik yang sesungguhnya dalam sistem, membelokkannya sebagai konflik bercorak kultural dengan menjadikan identitas kultur tertentu sebagai musuh bersama, misalnya dalam manifestasi anti-China/Yahudi, anti non-muslim/anti-muslim untuk membangun persatuan nasional dengan menolak kesetaraan dan menumbuhkembangkan tatanan sosial berbasis hierarkhi (Jodi Dean 2006).
Kaum yang mengklaim diri sebagai kaum demokrat dan tidak risau akan ancaman fasisme melupakan bahwa kekuatan politik fasisme dapat hidup, beradaptasi dan kemudian merusak tatanan politik demokrasi. Tampilnya kekuatan politik Front Nasional Fascis di Prancis, di bawah pimpinan Jean Marie Le Pen (yang kemudian kepemimpinan Front Nasional dilanjutkan oleh anaknya Marine Le-Pen sejak tahun 2011) yang hampir saja memenangkan Pemilihan Presiden Prancis tahun 2002, menjadi salah satu contoh dari ancaman fasisme dalam tatanan demokrasi liberal yang mapan.
Front Nasional Prancis ditopang oleh kekuatan-kekuatan borjuasi domestik, borjuasi kecil dan kalangan masyarakat akar rumput yang meyakini bahwa krisis ekonomi di Eropa bukanlah krisis dalam sistem kapitalisme namun akibat banyaknya kaum imigran non-Eropa seperti kaum Muslim Timur Tengah yang menetap di Prancis sebagai sumber dari segala masalah.
Tendensi karakter politik anti orang asing/imigran sebagai rujukan dari dorongan kebijakan anti-imigrasi mereka merupakan manifestasi dari fasisme kelompok Front Nasional di Prancis. Di Negara demokrasi liberal lainnya seperti Amerika Serikat, seperti dikemukakan Noam Chomsky, gerakan Tea Party yang mempersatukan kekuatan-kekuatan konservatif juga dapat dikatakan sebagai anasir fasisme. Salah satu bukti dari tendensi fasisme di gerakan Tea Party, dapat dilihat dari beberapa isu tentang Muslim atau tidak Muslimnya Presiden Obama dalam situs mereka (Judson Phillips 2012 di www.teapartynations). Meskipun belum menjadi gerakan massa yang dominan, namun gerakan tea party saat ini berhasil menjadi bagian dari kekuatan sosial pendukung partai Republik.
Apabila gejala fasisme ternyata secara faktual dapat tumbuh di negara demokrasi liberal seperti di Prancis dan Amerika Serikat, lalu bagaimanakah kemungkinan hadirnya fasisme di Indonesia? Apakah itu hanya propaganda politik murahan dan pepesan kosong? Mari kita analisis secara seksama. Salah satu karakter dari pelembagaan politik demokrasi di Indonesia adalah perhatian yang begitu kuat atas pelembagaan demokrasi dalam konteks bagaimana cara memilih elite dan pemimpin politik melalui mekanisme demokrasi dan tidak adanya perhatian terhadap jaminan dan pembelaan hak-hak sipil dari warga negara.
Dalam konteks demikian, kita menyaksikan bagaimana kelompok-kelompok beridentitas tertentu seperti warga Syiah, Ahmadiyah, maupun etnis tertentu seperti kaum Tionghoa semenjak era kerusuhan Mei 1998 sampai pada pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, kerapkali berada pada posisi sebagai warganegara kelas dua. Dalam karakter demokrasi oligarkhis di level nasional maupun demokrasi predatoris di tingkat politik lokal, fenomena ini bukan semata-mata terjadi karena pembiaran negara atas pelanggaran hak-hak sipil.
Tendensi hancurnya ruang hidup bersama dan hilangnya penghormatan terhadap hak-hak sipil warga negara ini berlangsung karena pertautan kepentingan ekonomi-politik antara elite dan kekuatan-kekuatan sosial anti-keberagaman di Indonesia. Sebagai contoh, berlarut-larutnya persoalan pengusiran yang dihadapi oleh warga Syiah dari kampung halamannya karena pihak penguasa elite politik nasional dan lokal memiliki pertemuan kepentingan dengan kekuatan-kekuatan konservatif dalam politik elektoral.
Kepentingan tersebut berhubungan dengan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan menjaga keberlangsungan kemakmuran di lingkaran-lingkaran politik yang mereka kelola.
Kondisi demikian semestinya menyadarkan kita bahwa jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil masih rentan menjadi permainan politik kepentingan dari elite-elite politik, sementara jaminan kebebasan sipil inilah yang kerapkali menjadi sasaran empuk dari serangan politik fasisme. Apabila kalangan elite predator dan oligarkhis yang saat ini berkuasa di Indonesia menjadikan rasa aman, kebebasan dan hak berkeyakinan dan berbicara sebagai permainan politik mereka dalam melakukan transaksi politik, maka hadirnya kekuatan fasisme yang saat ini mulai mendapatkan dukungan politik di Indonesia akan berpotensi memberikan pembenaran ideologis dari tindakan-tindakan yang lebih mengerikan bagi hak-hak setiap warganegara.
Apabila kekuatan-kekuatan fanatik dan fasis bersatu dan memenangkan momen elektoral 2014, maka terbuka kemungkinan atas nama pemurnian agama, semangat anti-asing, promosi identitas ‘asli' Indonesia maupun pandangan-pandangan chauvinistic semakin menyebar di kalangan masyarakat. Dengan berkuasanya kaum fasis, maka mereka akan berjuang untuk menginkorporasikannya sebagai instrumen hegemonik mereka di dalam negara. Dan jika ini terjadi, tentu saja ini merupakan pukulan fatal bagi perjalanan demokrasi di Indonesia, dan ancaman itu nyata tidak mengada-ada.
[Para pendahulu Republik ini tidak setuju dengan demokrasi oligarki ataupun fascist.... Kenapa harus demikian.. padahal panduan UUD 1945 asli.. dan konsep kemerdekaan NKRI dengan cita2 Proklamasi 1945... harusnya memberikan arahan akan terciptanya masyarakat adil makmur... yang bukan dalam konsep oligarki ataupun demokrasi dalam kacamata barat...??..
Penguasaan negara atas aset2 negara dan membangun BUMN-BUMD-Koperasi- dan unit2 kegiatan ekonomi masyarakat yang menyatu... untuk menjadikan arus dan aliran bisnis dan hak2 rakyat secara menyeluruh relatif merata.... secara optimal dan kalau bisa se-besar2 bagi rakyat semesta...
Bukan seperti pada kekuasaan fascist dan atau oligarki- politokrasi.. yang secara faktual sumber2 ekonomi dikuasai oleh para mafioso dan kekuasaan para amtenar.. yang memainkan politik-kekuasaan dan biznis.. dengan segala cara.. dan hanya dlam kelompok dan grup2 mereka dan jaringan mereka... sehingga rakyat semesta.. dijadikan sapi perahan.. dan aset2 negara.. dipermainkan dikuasai.. korporasi2... asing atau kelompok oligarki jaringan kekuasaan... dengan mengebiri uud -uu- peraturan daerah..dll ... inilah penindasan oleh manusia atas manusia dengan dalih uu dan peraturan2 yang diperpolitisir.. oleh para oligarki.. dan politisi oportunis...-->pen. ]
Dalam kondisi politik demikian, bagaimana kita mendudukkan pilihan politik untuk tidak memilih salah satu kekuatan politik yang tengah berlaga dalam momen politik elektoral? Mari kita melakukan analisis perbandingan politik dengan melihat suasana politik di Mesir sebagai pertimbangan dan posisi kaum kelas menengah progresif serta kalangan gerakan kiri pada momen-momen politik yang menentukan.(IRIB Indonesia/Indoprogres)
*Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, saat ini adalah Kandidat PhD Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.
Menimbang Politik Intervensi (2)
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*
Rontoknya eksperimentasi demokrasi liberal sebelum sempat tumbuh kuncup menjadi mekar terjadi karena dua hal.
Pertama aliansi borjuasi nasional dan kekuatan-kekuatan kelas menengah, masyarakat akar rumput yang memegang kekuasaan di era transisi lebih cenderung memilih membangun kesepakatan dengan kekuatan lama, militer, di momen-momen politik perubahan daripada mengembangkan basis politik yang lebih luas untuk mendukung tatanan demokrasi dengan melibatkan kekuatan kaum Muslim moderat, kelompok nasionalis-sekuler dan kekuatan sosialis di sana.
Kedua, kekuatan-kekuatan sosialis, progresif dan kelas menengah sekuler lebih memilih untuk berdiam atau melawan kelompok Ikhwanul Muslimin yang nasib politiknya lebih ditentukan oleh keberlangsungan rezim demokrasi yang baru tumbuh.
Kekuatan aliansi politik progresif sekuler ini tidak memilih jalan politik strategis untuk memberikan dukungan kritis terhadap Ikhwanul Muslimin dan melakukan tekanan politik untuk membuka lebar-lebar kebebasan sipil-politik dan ekonomi-sosial budaya. Pada akhirnya, alih-alih membangun ruang politik baru seperti yang diharapkan oleh kalangan kekuatan progresif dan sekuler pro-demokratik, posisi kekuatan progresif sekuler ini justru menguntungkan kekuatan aliansi lama pro-militer Mubarak yang kemudian berakibat pada kehancuran proses demokrasi.
Pelajaran politik yang dapat kita tarik dari kisah tragis di Mesir ini bahwa dalam situasi-situasi politik yang menentukan, inisiatif untuk membangun intervensi politik dengan melakukan kerjasama dan tekanan politik terhadap salah satu kelompok, meski tidak memiliki orientasi politik yang sama dengan kaum progresif, bermanfaat untuk mencegah kehancuran politik yang lebih besar serta mempertahankan dan mempengaruhi agenda-agenda arus utama politik agar dapat berjalan seiring dengan agenda-agenda politik kerakyatan. Dalam konstelasi politik Indonesia, yang masih tersandera oleh kekuatan politik oligarkhi, maka inisiatif intervensi politik menjadi sebuah kebutuhan untuk menjaga tatanan demokrasi dari pukulan telak terhadapnya, sekaligus berjuang untuk mengangkat isu-isu politik kerakyatan dalam proses politik ke depan.
Menolak Delusi Politik
Pada bagian ini kita akan membahas kemungkinan untuk memajukan agenda-agenda politik progresif dalam strategi politik intervensi dalam konstruksi demokrasi yang masih dikuasai oleh rezim oligarkhi dan praktik-praktik predatorisme di tingkat lokal. Di sini kita akan berbicara pada tingkatan strategi dan taktik dari gerakan politik progresif di Indonesia.
Sebelum kita melakukan analisis strategi dan taktik gerakan, maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat bagaimana kaum progresif memahami tentang apa itu strategi dan taktik. Aktivis partai politik sekaligus akademisi sosialis awal abad ke-20 asal Hungaria, Georg Lukacs (1919; 3-5) dalam karyanya Tactics and Ethics menjelaskan bahwa dalam perspektif sosialisme, strategi-taktik adalah segenap cara dan inisiatif politik yang dilakukan oleh kekuatan historis progresif untuk mencapai tujuan-tujuannya, sebagai penghubung antara tujuan obyektif dari gerakan progresif dengan realitas yang dihadapi saat ini.
Dalam konteks demikian taktik tidak selalu ditentukan semata-mata oleh keuntungan-keuntungan jangka pendek yang didapatkan oleh gerakan, ketika hal itu akan menghambat pencapaian dari tujuan obyektif dari perjuangan politik kaum progresif. Ketika tujuan politik progresif memiliki watak utopia, dalam arti berusaha mentransendensikan keadaan ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan dari masyarakat saat ini sebagai kenyataan konkret melalui perjuangan dan alat-alat strategi dan taktiknya, maka pilihan-pilihan taktis yang hanya akan memberikan keuntungan politik jangka pendek dan merugikan tujuan utama dari gerakan akan dengan sendirinya tertolak (hal ini akan kita diskusikan selanjutnya terkait dengan taktik politik dari kekuatan politik pseudo-progresif yang mengatasnamakan taktik dan strategi dengan membangun koalisi dengan kaum konservatif-fasis).
Sementara ketika strategi dan taktik politik progresif itu sejak awal diperuntukkan pada tujuan politik yang lebih radikal, yaitu mentransformasikan susunan masyarakat secara lebih demokratik secara ekonomi-sosial dan politik, maka taktik politik kaum progresif tidaklah memaksakan idealita ke dalam realita. Melampaui pemahaman idealistik, taktik politik progresif memiliki dimensi praksis untuk memanfaatkan segenap pengetahuan tentang kondisi sosial yang ada, konstelasi pertarungan antara kekuatan sosial yang berlangsung, serta pengenalan atas kekuatan maupun daya jangkau politik dari kekuatan blok progresif berhadapan dengan rival-rival politiknya dan diterjemahkan dalam aksi konkret untuk mengubah sejarah.
Di sini strategi-taktik politik progresif memiliki dimensi revolusioner, karena berusaha menampilkan kondisi sosial yang terutama dalam konstruksi hegemonik neoliberal sebagai tidak mungkin, yaitu alternatif politik sosialistik dengan melampaui tatanan kapitalisme neoliberal saat ini.
Dengan demikian, harapan dalam pengertian politik progresif memiliki makna radikal untuk membentangkan horison politik alternatif di luar kapitalisme neoliberal dan tatanan politik oligarkhis. Selanjutnya strategi politik progresif juga memiliki dimensi realis, dalam artian berangkat dari pengenalan atas pemahaman sosiologis dan kondisi material yang terhampar sebagai pengetahuan untuk membangun aksi politik konkret dengan kalkulasi politik yang terjangkau.
Dari pemahaman teoritik atas pengertian taktik dan strategi dalam pandangan politik progresif maka kita akan mendiskusikan pengetahuan tentang relasi kuasa oligarkhis dan kemungkinan-kemungkinan politik intervensi yang dapat memajukan agenda-agenda politik kerakyatan. Tulisan ini selanjutnya mencoba mendiskusikan bagaimana kita memahami kondisi ekonomi-politik yang dihadapi oleh kekuatan politik progresif Indonesia, dengan melucuti terlebih dahulu delusi politik yang selama ini cenderung membuat kaum progresif berfikir secara idealistik daripada berpijak pada kenyataan material historis.
Salah satu delusi politik itu antara lain adalah pembacaan atas teori marxis tentang neo-imperialisme yang tidak seksama atas kondisi politik Indonesia, sehingga meyakini bahwa beraliansi dengan kekuatan borjuis domestik yang membangun kekuatannya dari warisan sistem oligarkhi Orde Baru adalah cara mujarab untuk memajukan agenda politik progresif melawan neoliberalisme.
Posisi anti-neoimperialisme ini di kalangan kekuatan politik kiri di Indonesia, tampak pada kelompok seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) dengan corong propagandanya berdikarionline, maupun kelompok-kelompok lainnya yang bermaksud melakukan intervensi politik dengan logika serupa. Dalam pandangan mereka, akar dari problema ekonomi-politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi historis neoimperialisme yang tidak pernah berhasil dilawan semenjak kejatuhan pemerintahan rezime Soekarno sampai pada era reformasi.
Dalam logika neoimperialisme yang kemudian mereka terjemahkan secara otomatis dalam era sekarang sebagai problem neoliberalisme, tatanan kapitalisme otoritarian era Orde Baru sampai dengan era reformasi adalah tatanan politik yang secara penuh menghamba pada diktum penjajahan ekonomi-politik kontemporer neokolonialisme, dimana setiap produk regulasi dan inisiatif-inisiatif kebijakan yang dibangun adalah manifestasi ketundukan sekaligus ketergantungan terhadap cara kerja borjuasi transnasional untuk melakukan penghisapan kekayaan alam dan menjadikan Indonesia sebagai pasar dari produk-produk kapitalisme asing.
Dalam pandangan mereka, berbagai bentuk kebijakan paska Orde Baru, mulai dari privatisasi BUMN, air, liberalisasi migas, pasar bebas tenaga kerja sampai eksploitasi SDA adalah manifestasi konkret dari logika imperialisme di era modern. Terkait dengan posisi politik kelompok ini dalam kontestasi politik elektoral 2014, mereka melakukan pemilahan antara kekuatan-kekuatan liberal reformis yang mendapatkan keuntungan dari proses neokolonialisme baru di era kapitalisme neoliberal dan kalangan politisi-bisnis yang eksis sejak era Orde Baru dan terancam oleh kebijakan-kebijakan neoliberal pasca-otoritarianisme Indonesia.
Dalam pembelahan politik yang mereka kedepankan antara kaum reformis-liberal dan kaum pengusaha-politisi Orba, kalangan anti-neoimperialisme ini memilih untuk melawan terlebih dahulu kelompok pertama dan cenderung tidak memiliki posisi yang jelas secara publik terhadap kelompok kedua, kalau tidak dapat dikatakan mendukung kelompok kedua. Mengingat landasan teoritik dari kalangan anti neoimperialisme ini adalah mengikuti thesis dari Martha Harnecker tentang koalisi besar anti-neoimperialisme (dengan adaptasi yang agak gegabah terhadap tesis tersebut).
Apabila mengikuti pandangan dari kelompok ini, maka ada keterputusan logika ekonomi-politik antara era Orde Baru dan era Orde Reformasi, dimana praktik-praktik penghisapan di era neoliberalisme menguntungkan kekuatan-kekuatan yang mereka kategorisasikan sebagai kalangan kaum neoliberal reformis dan merugikan kekuatan ekonomi politik pro-Orde Baru. Di sinilah letak kesalahan fatal dari kelompok ini dalam melihat konstelasi ekonomi politik era Indonesia post-otoritarianisme, ketika tidak jeli melihat bagaiman relasi kuasa dan konfigurasi elite oligarkhi yang tercipta pada era sekarang.(IRIB Indonesia/Indoprogres)
*Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, saat ini adalah Kandidat PhD Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.
Menimbang Politik Intervensi (3)
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*
Terkait hubungan antara proses neoliberalisasi dan konfigurasi relasi
kekuatan-kekuatan sosial dominan, persoalan ini tidak bisa sekedar
disederhanakan sebagai problem ketundukan utuh aparatus-aparatus negara
dan kekuatan ekonomi politik terhadap rezim global neoliberal.
Penjelasan seperti ini terlalu menyederhanakan terjadinya kesinambungan
dan pembiakan konfigurasi kekuasaan yang ditandai oleh pola-pola
akumulasi primitif yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik yang
dapat kita telusuri koneksitasnya dengan rezim Orde Baru, dimana mereka
berhasil eksis bertahan dan mampu beradaptasi untuk melakukan okupasi
terhadap proses demokratisasi dengan membangun sistem kuasa oligarkhi
dan relasi predatorisme dalam arena desentralisasi.
Dari kondisi di atas maka problem utama demokrasi di Indonesia, ditilik
dari kacamata tarikan proses neoliberalisasi yang melayani kepentingan
kapitalis transnasional dan konstelasi relasi kuasa domestik adalah
terjadinya proses transmutasi praktik neoliberalisme di lingkungan
politik yang koruptif di Indonesia. Dalam konteks neoliberalisme, proses
transmutasi praktik neoliberalisme terjadi bukan disebabkan oleh
benturan dialektik antara kekuatan pro-pasar dan kekuatan populis
anti-pasar.
Namun yang terjadi
adalah eksis dan mapannya relasi sistemik elite oligarkhis yang memiliki
kemampuan untuk membangun konsentrasi kemakmuran dan kekuasaan
sekaligus mekanisme pertahanan bagi kepentingan jejaring ekonomi-politik
mereka sendiri. Pendeknya, di bawah arahan jejaring sistem oligarkhi
yang korup, maka praktik neoliberalisme di Indonesia telah
bertransmutasi menjadi tata kelola pemerintahan predatoris yang memangsa
sumber-sumber ekonomi dan aset-aset publik. Pertanyaannya adalah
bagaimana predatory state capitalism di Indonesia ini tercipta di atas
keruntuhan rezime Soeharto?.
Dalam
menjelaskan kondisi ini maka karya Richard Robison dan Vedi R Hadiz
(2004) Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an
Age Markets menemukan relevansinya. Dalam karya mereka diuraikan bahwa
kebangkitan rezim Soeharto berhasil membentuk tatanan politik
‘patrimonial administrative state; yang berhasil menundukkan para oposan
politiknya.
Dalam kondisi demikian, kehidupan ekonomi
ditentukan oleh framework arahan negara otoritarian sentralistik dan
otoritas publik diakuisisi oleh kepentingan privat dan institusional
yang sejalan dengan kehendak politik penguasa maupun mereka yang menjadi
bagian dari jejaring patronase yang mengambil keuntungan di dalamnya.
Di bawah perlindungan rezim tangan besi Soeharto, terbentuk politico
business complex yang menjadi kekuatan oligarkhi ekonomi-politik yang
berpusat pada Soeharto dan keluarganya. Setelah melewati fase inkubasi
di bawah elite oligarkhi inilah, maka pada era pasca otoritarianisme
Soeharto kalangan oligarkhi ini beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru
dan mereorganisasi kekuasaannya. Upaya kaum teknokrat
neo-institusionalis menginjeksikan paket good governance untuk
menciptakan tatanan masyarakat pasar secara damai di Indonesia membawa
efek yang tak terduga, yakni tampilnya kekuatan-kekuatan predatoris yang
korup warisan Orde Baru yang bersanding dengan proses neoliberalisasi
di tingkat nasional maupun lokal.
Pola-pola pembelahan antara pihak musuh kaum reformis liberal yang harus
dilawan dan pihak kekuatan ekonomi-politik warisan Orde Baru yang mesti
dinetralisir atau bahkan menjadi mitra taktis dalam perjuangan melawan
neoliberalisme, menjadi tidak relevan dalam analisis yang lebih mendasar
terkait hadirnya formasi sosial dan tampilnya relasi sistem oligarkhi
yang berlangsung di era pasca-Orde Baru.
Tidak relevannya strategi ini karena dalam peta ekonomi-politik yang
hadir di Indonesia pasca-otoritarianisme, kita menyaksikan dua hal:
Pertama, alih-alih perputusan era reformasi ternyata memfasilitasi
proses adaptasi dan bertahannya kekuatan-kekuatan oligarkhi yang sudah
terlindungi semenjak era Orde Baru untuk membangun sistem oligarkhi
dengan relasi-relasi politik baru yang bekerja di seluruh partai politik
di Indonesia. Artinya, peta ekonomi-politik Indonesia tidak menunjukkan
pemisahan yang nyata antara kekuatan reformis liberal yang melayani
agenda neoliberal dan kekuatan pewaris Orde Baru yang terdesak oleh
agenda neoliberal.
Bagaimana kita
mendefinisikan, misalnya, Partai Golkar dan aliansi bisnis-politiknya
yang merupakan kekuatan yang mengusung Orde Baru namun tetap eksis
sebagai kekuatan dominan pada era reformasi? Atau Partai Demokrat yang
dianggap sebagai partai liberal namun saat ini dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan yang sudah eksis sejak era Soeharto? Dalam relasi
oligarkhi kita dapat menyaksikan bagaimana Partai Gerindra yang dianggap
sebagai representasi dari kekuatan Orde Baru yang dipandang
mengumpulkan kekuatan sosial yang dirugikan oleh proses neoliberalisme
di Indonesia, pada kenyataannya ditopang oleh kekuatan taipan besar
Hashim Djojohadikusumo yang menguasai konglomerasi bisnis di bawah
Arsari Group dengan kekayaan sebesar Rp 8,5 Trilyun, yang bergerak di
bidang tambang dan perkebunan. Group ini diperkirakan menguasai konsesi
lahan hutan seluas 97 hektare di Aceh Tengah dan memiliki 3 juta hektar
perkebunan, konsesi hutan, tambang batubara, dan ladang migas di Aceh
hingga ke Papua (Industri.kontan.co.id, 23 Februari 2014).
Kedua, konstelasi politik yang tergelar paska-otoritarianisme antara
aliansi-aliansi bisnis-politik oligarkhi berlangsung melalui pola
negosiasi dan kontestasi politik untuk mempertahankan dominasi kekuasaan
mereka, bukan berada dalam ketegangan yang berlangsung secara terus
menerus.
Di sini kita dapat
membaca mengapa partai yang dianggap sebagai kekuatan reformasi seperti
PDIP dapat bertemu dalam konteks politik lokal dengan kekuatan pro-Orde
Baru seperti Partai Gerindra dalam Pilkada Jakarta, dan pada momen
Pilpres 2014 ada kecenderungan mereka berpisah dan di sisi lain terjalin
pola komunikasi antara Partai Demokrat dan Partai Gerindra, di mana
kedua partai ini secara riil dikuasai oleh dua jenderal papan atas di
era Soeharto. Sementara relasi antara Partai Golkar (yang dianggap
sebagai manifestasi Orde Baru) yang dikuasi oleh jejaring oligarkhi
Aburizal Bakrie memiliki hubungan rindu-rindu-benci dengan Partai
Demokrat yang dikuasai oleh Presiden SBY dan kekuatan konglomerasinya.
Hal ini bisa kita lihat pada kasus-kasus predatorisme kekuatan oligarkhi
baik dalam kasus Lumpur Lapindo maupun kasua Bank Century. Pola-pola
relasi elite ini tidak dapat dijelaskan dari pembelahan pro-neoliberal
dan anti-neoliberal, namun semata-mata sebagai manuver politik untuk
mempertahankan sistem oligarkhi dan kekuatan ekonomi politik dari setiap
kubu-kubu oligarkhi.
Pemahaman
yang keliru atas arsitektur kekuasaan yang berlangsung dalam proses
neoliberalisasi seperti yang dilakukan oleh kubu yang mendaku sebagai
kekuatan anti-neokolonialisme di Indonesia, justru akan membawa pada
pukulan telak terhadap kekuatan gerakan kerakyatan di Indonesia.
Kesalahan pembacaan peta ekonomi-politik dan kesalahan melakukan
intervensi politik menyeret mereka semakin jauh, bukan semakin dekat
terhadap tujuan obyektif dari pembebasan kelompok-kelompok marjinal dan
tertindas di Indonesia. Resiko yang dapat terprediksi dari langkah
politik mereka adalah, alih-alih melawan kekuatan neoliberalisme, sangat
besar potensi mereka terserap menjadi bagian dan instrumen dari
kekuatan jejaring oligarkhi yang mewarisi artikulasi politik Orde Baru.
Menyodorkan Taktik Politik Progresif
Dalam konfigurasi politik demokrasi yang tersandera oleh relasi kuasa
oligarkhis, inisiatif untuk membangun politik intervensi bukanlah hal
yang mudah. Insiatif-inisiatif tersebut harus didasari oleh pengetahuan
sosial yang memadai. Di sini pengetahuan yang dimaksud bukanlah konsepsi
ideal yang mesti diperjuangkan, namun pengetahuan atas kondisi
sosiologis tentang relasi konkret antara kekuatan sosial yang tengah
berkontestasi dalam arena politik beserta gerak dinamika material serta
kondisi-kondisi sosial yang menyertainya.
Berbekal keinsyafan atas kondisi demokrasi Indonesia yang tengah
tersandera oleh kontestasi dan negosiasi antara jejaring kuasa oligarkhi
maka sebuah intervensi politik harus dilakukan dengan inisiatif tidak
saja untuk memberikan dukungan kritis, namun lebih dari itu adalah
tekanan kritis terhadap salah satu faksi kekuatan ekonomi-politik
dominan di Indonesia. Satu hal yang patut digarisbawahi bahwa meskipun
arena politik demokrasi ditandai oleh dominasi sistem oligarkhi, namun
proses politik juga bergerak secara dinamis.
Perjalanan politik demokrasi di Indonesia memperlihatkan sedang
berjalannya proses delegitimasi politik yang didasarkan atas tingkat
ketidaksetaraan ekonomi dalam distribusi pendapatan yang cukup tinggi,
ditandai oleh naiknya koefisien Gini ratio dari 0,37 pada tahun 2012
menjadi 0,41 pada tahun 2013. Kondisi ekonomi ini juga diikuti oleh
delegitimasi politik yang cukup massif terhadap performa politisi,
terbongkarnya kasus-kasus korupsi dan pembajakan institusi hukum yang
melibatkan pusat-pusat oligarkhis, seperti dalam kasus Lapindo, Bank
Century maupun kasus Hambalang.
Kenyataan akan berlangsungnya delegitimasi publik terhadap kinerja
politisi di Indonesia dan kondisi ketidaksetaraan ekonomi ini memang
tidak serta merta mengarah pada krisis politik oligarkhi. Kekuatan
oligarkhi di Indonesia melakukan respons atas kondisi delegitimasi
politik tersebut melalui berbagai cara, baik melalui cara instan
penyebaran money politics maupun melalui rekayasa politik yang lebih
canggih dengan menghadirkan imaji tentang kehadiran rakyat dalam politik
melalui representasi pemimpin-pemimpin populis, baik dari tingkat lokal
bahkan kemudian ada yang diunggulkan sebagai kandidat Presiden 2014.
Inilah yang kita lihat dari tampilnya figur pemimpin populis seperti
Joko Widodo, dari Walikota Solo kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta
sebelum diproyeksikan menjadi Calon Presiden RI oleh PDI Perjuangan. Hal
yang serupa, misalnya, tampak dari terangkatnya sosok birokrat
teknokratik seperti Tri Rismaharini sebagai walikota Surabaya, maupun
sosok legislator populis seperti Rieke Diah Pitaloka maupun Budiman
Sudjatmiko.
Dalam konteks
pembacaan atas strategi oligarkhi, tentu saja hal ini tidak bisa kita
lihat semata-mata sebagai itikad baik dari pusat-pusat oligarkhi untuk
melayani rakyat. Strategi menghadirkan pemimpin-pemimpin populis yang
diproyeksikan tidak saja tampil di tingkat daerah tapi juga berlaga di
tingkat rekruitmen kepemimpinan nasional, mesti kita baca sebagai
respons adaptif dari elite-elite oligarkhis untuk menjaga kekuasaan dan
kemakmuran sekaligus sebagai bagian dari strategi pertahanan kekuasaan
dan kepentingan kolektif mereka sendiri. Dari kemunculan
politisi-politisi populis tadi dalam panggung politik Indonesia,
meskipun mereka masih bisa teruji sebagai elite politik yang tidak
terindikasi korup dan mendapat dukungan popular di masyarakat, namun
masih belum memberikan pengaruh signifikan bagi perubahan relasi kuasa
di Indonesia sebagai lintasan yang penting diperjuangkan oleh proyeksi
politik progresif.
Pembacaan
kritis atas fenomena populisme di atas memang ditampilkan oleh elite
oligarkhis di tengah belum terbangunnya proyeksi politik ideologis dalam
partai politik Indonesia. Namun desakan kondisi politik yang membuat
pusat oligarkhi merekrut agensi politik populis merupakan celah politik
strategis bagi gerakan politik progresif untuk memberikan tekanan
politik signifikan untuk mengubah karakter politik populis menjadi
karakter politik progresif.
Kondisi ini memungkinkan, mengingat salah satu figur pemimpin populis,
misalnya, Joko Widodo yang saat ini diproyeksikan menjadi calon presiden
Indonesia bukanlah bagian lingkaran terdalam dari pusat oligarkhi
politik yang menguasai PDI Perjuangan. Secara bangunan arsitektur
kekuasaan dapat dikatakan bahwa sebagai calon presiden, Joko Widodo
merupakan rantai elite terlemah dalam relasi oligarkhi yang ditampilkan
oleh elite politik.
Dalam kondisi
demikian maka proses intervensi politik yang dapat dilakukan adalah
melakukan tekanan politik kepada kekuatan elite politik Joko Widodo
berdasarkan formulasi program-program politik kerakyatan yang disepakati
oleh basis-basis gerakan sosial dengan kesepakatan politik bahwa ke
depan program-program kebijakan negara responsif terhadap kepentingan
gerakan rakyat maupun membuka kanal-kanal politik kepada basis-basis
sosial rakyat untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan.
Problem dari beberapa gerakan pendukung kandidat populis Joko Widodo
saat ini adalah tersitanya konsentrasi pada pola-pola penggalangan
dukungan dengan perhatian yang minim pada agenda-agenda politik apa yang
akan dikemukakan sebagai tekanan politik agar performa kekuatan politik
ini tidak hanya berkarakter populis tanpa fondasi ideologis yang kuat,
namun dapat bertransformasi menjadi kekuatan politik progresif paska
elektoral.
Ilustrasi
program-program politik ideologis yang dapat dikemukakan sebagai
prakondisi bagi dukungan kritis terhadap figur ini, misalnya, sempat
penulis diskusikan dengan beberapa rekan mahasiswa di Murdoch University
seperti Muhammad Ridha dan Irwansyah Jemi seperti:
Pertama, strategi
desain negara berbasis industrialisasi pertanian yang dikontrol oleh
warga melalui pembentukan Dewan Pangan Nasional, yang melibatkan rakyat
melalui kehadiran serikat-serikat petani sebagai kekuatan kontrol agar
proses produksi sampai distribusi dan kebijakan-kebijakan terkait dengan
arahan pertanian nasional melibatkan para petani dan tidak
mengalienasikan mereka.
Pelibatan
serikat-serikat petani tersebut penting untuk membangun akuntabilitas
demokratik dan meminimalisasi pola-pola predatorisme elite yang biasa
dilakukan melalui program-program yang terkesan populis. Arahan menuju
industrialisasi pertanian yang memperhatikan kebutuhan para petani dan
mempertimbangkan kondisi ekologis ini, misalnya, diarahkan untuk
membedakan program kepemimpinan ke depan dengan desain MP3EI dari rezim
neoliberal predator saat ini yang bertendensi untuk membuka investasi
dari luar seluas-luasnya sekaligus melegitimasi pola-pola penghisapan
dari bidang ekonomi ekstraktif melalui perampasan tanah-tanah rakyat.
Kedua, perluasan jaminan sosial bagi kelas pekerja yang melampaui
desain agenda neoliberal dan lebih mengarah pada desain welfarism state
dengan mengalokasikan APBN dan APBD bagi anggaran jaminan sosial yang
diimbangi oleh penerapan pajak progresif. Kebijakan ini penting untuk
memberikan perlindungan kondisi sosial yang lebih massif dan mendasar
bagi kaum pekerja dengan melibatkan serikat-serikat pekerja sebagai
kekuatan kontrol terhadap pelaksanaan program tersebut.
Ketiga, sebagai inisiasi awal untuk membendung tendensi fasisme dalam
arus dinamika politik kita, maka kepemimpinan mendatang perlu didesak
untuk membuka persoalan pelanggaran HAM di masa lalu dengan inisiasi
awal terkait keberanian untuk menyatakan, misalnya, negara bersalah atas
kerusuhan, terror dan pemerkosaan yang berlangsung pada Mei 1998 maupun
membuka sejarah tentang nasib orang hilang yang diculik menjelang
jatuhnya Soeharto. Dengan keberanian untuk membuka kasus ini, selain
untuk memenuhi rasa keadilan juga penting untuk bersikap jujur bahwa
fasisme dalam ideologi dan manifestasinya paling vulgar pernah
terinkorporasi sebagai bagian inheren dari negara. Pengakuan atas hal
itu menjadi langkah awal untuk memutus warisan kultural Ore Baru dari
perjalanan bangsa kita ke depan.
Setelah melakukan pembacaan atas celah intervensi dalam konstelasi
politik oligarkhis maupun kemungkinan program-program progresif yang
dapat didesakkan untuk mengikat dan melakukan tekanan politik kepada
elite, maka penting kiranya untuk memahami kondisi basis sosial kita
sebagai landasan untuk melakukan intervensi. Ketika melakukan pemahaman
atas basis sosial kita, satu hal yang perlu disadari selama ini kita
selalu melakukan rujukan dan mengidentikkan kondisi Indonesia dengan
Amerika Latin, misalnya.
Kondisi
demikian membuat kita kerapkali tidak realistik dalam menentukan kondisi
sosial yang kita hadapi dan kemungkinan intervensi-intervensi politik
yang bisa kita lakukan. Perbedaan kondisi basis sosial antara Indonesia
dengan Amerika Latin adalah meskipun berbagai negara Amerika Latin
pernah mengalami kondisi di bawah tirani rezim otoritarianisme maupun
neoliberalisme, namun sektor politik akar rumput seperti serikat buruh
maupun kaum petani dan masyarakat adat telah menjadi bagian penting
dalam konfigurasi politik di sana. Sehingga kita bisa menyaksikan
meskipun mereka pada masa lalu berada di bawah tirani rezim neoliberal,
namun tuntutan politik dan desakan politik signifikan tetap mereka
lakukan sebelum mereka membangun kekuatan politik signifikan yang saat
ini menguasai banyak negara di Amerika Latin.
Di Venezuela, misalnya, semenjak era 1970-an telah eksis partai
berbasis kelas pekerja yaitu Causa R, yang membantu pembentukan
komunitas aktif kewargaan sebagai tulang punggung gerakan Lingkaran
Bolivarian di bawah Hugo Chavez. Di Argentina, kekuatan serikat dan
politik buruh telah terinkorporasi dalam elemen negara sejak era rezim
Peron, sehingga meskipun telah dilibas oleh Junta Militer tetap hadir
menjadi kekuatan politik signifikan yang mendukung rezim Peronis
Cristina Kirchner saat ini. Fenomena serupa juga berlangsung di Ekuador,
gerakan akar rumput berbasis masyarakat adat eksis menjadi penopang
dari tampilnya pemimpin progresif Rafael Correa.
Sementara kondisi basis sosial yang kita hadapi saat ini memperlihatkan
fakta politik yang berbeda. Kondisi basis sosial gerakan kerakyatan di
Indonesia masih menunjukkan tidak terkonsolidasi dan berseraknya
basis-basis gerakan progresif kerakyatan. Kondisi berseraknya kekuatan
progresif tersebut terjadi karena mudah terserapnya basis-basis
strategis dari kekuatan potensial pendorong perubahan, seperti agensi di
kampus, aktor strategis gerakan ke dalam poros politik oligarkhi tanpa
adanya tekanan politik signifikan yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada rakyat.
Kesadaran akan
perbedaan kualitas basis gerakan antara negara-negara di Amerika Latin
dengan di Indonesia ini penting untuk menyadarkan kita berfikir
realistik dalam memproyeksikan capaian politik intervensi. Sehingga
ketika kita membangun inisiatif-inisiatif politik intervensi, sejak awal
disadari bahwa langkah awal kita untuk masuk dalam kubangan politik
tidak serta merta membawa hasil runtuhnya tatanan oligarkhi dalam satu
malam.
Dalam kondisi demikian,
maka proses politik intervensi semestinya dijalankan, sekali lagi, tidak
hanya terfokus pada penggalangan dukungan elite namun melampaui itu
sebagai sebuah inisiatif untuk membangun blok politik progresif melalui
perumusan program-program politik dan tekanan politik signifikan
terhadap kekuatan politik strategis dalam arus utama politik di
Indonesia.
Dalam kesadaran akan
batas-batas kekuatan sosial yang menjadi modal kita saat ini, misalnya,
para aktivis kiri bersedia untuk ikut kerja bakti bersama warga atau
melakukan kerja edukasi politik untuk mengajak kaum Marhaen yang dalam
hidup mereka mencintai Soekarno untuk membuka buku Di bawah Bendera
Revolusi yang selama ini tersimpan berdebu di dalam lemari rumah mereka
untuk didiskusikan bersama berdasarkan kenyataan-kenyataan hidup yang
mereka alami dan pemahaman akan horizon Sosialisme Indonesia Abad
ke-21.(IRIB Indonesia/Indoprogress)
* Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, saat ini
adalah Kandidat PhD Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.
HUBUNGAN ANTARA PANCASILA, UUD 1945 DAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945
http://media-transformasi-awi.blogspot.com/p/hubungan-antara-pancasila-uud-1945-dan.html
A. Proses lahirnya konsep-konsep Pancasila dan UUD 1945
Beberapa
bangsa di Asia yang tadinya dijajah Jepang memperoleh kemerdekaan,
seperti Birma dan Philipina sedangkan Indonesia baru diberi janji
kemerdekaan di kelak kemudian hari.
Dalam
hugungan janji “Kemerdekaan” tersebut maka pemimpin-pemimpin pergerakan
Nasional Indonesia diberikan keluasan bergerak yang bermuara kepada
lahirnya Badan Penyidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritdu Jumbi Cosakai) pada tanggal 28 Mei 1945.
Pada
tanggal 29 Mei 1945 panitia tersebut membuka sidangnya yang pertama.
Pada sidang pertama itulah Mr. Moh. Yamin mengemukakan pokok-pokok
pikiran sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yanag merdeka dikelak
kemudian hari sebagai berikut :
1) Peri Kebangsaan
2) Peri Kemanusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyatan
5) Kesejahteraan Rakyat
Perlu
dikemukakan bahwa lima asas Dasar Negara yang dikemukakan oleh Mr. Moh.
Yamin terdapat perbedaan dengan yang dimukakan secara lisan dan yang
tertulis, baik perumusan kata-katanya maupun sistematikanya. Di dalam
pembukaan dari Rancangan UUD itu tercantum perumusan lima asas dasar
Negara sebagai berikut :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia
3) Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan
fakta secara lisan/pidato dan tertulis dari beliau itu meyakinkan
kepada kita, bahwa Pancasila tidaklah lahir pada tanggal 1 Juni 1945,
karena pada tanggal 29 Mei 1945 itu Mr. Moh. Yamin telah mengucapkan
pidato dan menyampaikan usulan Rancangan UUD Negara Republik Indonesia
yang berisi lima asas dasar negara.
Selanjutnya pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Mr. Soepomo dalam sidang itu berpendapat sebagai berikut :
a. Negara
Indonesia Merdeka yang hendak didirikan itu hendaknya merupakan Negara
Nasional yang bersatu dalam arti totalitas. Maksudnya ialah Negara
Indonesia Merdeka itu nanti tidak akan mempersatukan diri dengan
golonaan yang terbesar, tetapi yang akan mengatasi segala golongan, baik
golongan yang besar maupun golongan yang kecil.
b. Setiap
warganegara dianjurkan takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu
ingat kepada Tuhan. Sehubungan dengan pokok pikiran itu beliau
mengusulkan bahwa di dalam negara Nasional yang bersatu, urusan agama
akan terpisah dengan urusan negara, yang dengan sendirinya urusan agama
akan diserahkan kepada golongan-golongan agarna yang bersangkutan.
c. Mengenai
kerakyatan, beliau mengusulkan dibentuknya sist_em Badan
Permusyawaratan dalam susunan Pemerintahan Negara Indonesia. Oleh karena
itu Kepala Negara haruslah selalu berhubungan erat dengan Badan
Permusyawaratan tersebut untuk senantiasa mengetahui dan merasakan
keadilan dan cita-cita rakyat.
d. Dalam
lapangan ekonomi beliau mengusulkan agar sistem perekonornian negara
berdasarkan asas kekeluargaan, yaitu sistem tolong menolong dan sistem
koperasi. Asas ini merupakan sifat dari masyarakat Timur termasuk
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu haruslah dipelihara
sebaik-baiknya.
e. Dalam
hubungan antar bangsa beliau mengusulkan supaya Negara Indonesia
bersifat Negara Asia Timur Raya sebagai anggota daripada kekeluargaan
Asia Timur Raya.
Dengan
pokok pokok pikiran Prof. DR. Soepomo itu, kita dapat merasakan adanya
satu jiwa 5 hal untuk dasar negara Indonesia Merdeka, meskipun tidak
diuraikan secara terperinci sebagaimana yang diucapkan oleh Mr. Moh.
Yammin.
Pada
tanggal 1 Juni 1945, hari terakhir masa sidang pertama BPUPKI, Soekarno
menyampaikan pidato tentang dasar negara. Pidato ini kemudian amat
terkenal dengan sebutan “Pidato Lahirnya Pancasila”. Di dalam pidato
ini, Soekarno menawarkan agar Indonesia Merdeka bukan negara agama dan
bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.
Pancasila seperti yang diusulkan oleh Soekarno dirumuskan menurut urutan
sebagai berikut :
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Jika
perumusan dan sistematika yang dikemukakan/diusulkan oleh Ir. Soekarno
itu kita bandingkan dengan Pancasila yang sekarang, nyata sekali bahwa
perumusan dan sistimatika Ir. Soekarno itu lain dari perumusan dan
sistematika Pancasila yang sekarang[1].
Sesudah
sidang I BPUPKI, berlangsung pertemuan di luar sidang. Pertemuan itu
dilakukan oleh para anggota BPUPKI yang tinggal di Jakarta pada tanggal
22 Juni 1945. Pertermuan itu dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan
antara golongan nasionalis dan Islam. Dalam pertemuan itu, diupayakan
kompromi antara kedua belah pihak mengenai rumusan dasar negara bagi
negara Indonesia merdeka.
Pada
kesempatan itu sebuah panitia, yang kemudian dikenal dengan sebutan
Panitia Sembilan, dibentuk untuk merumuskan kesepakatan antara kedua
belah pihak. Panitia itu beranggotakan sembilan tokoh nasional yang juga
tokoh-tokoh BPUPKI, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin,
Subardjo, A.A. Maramis, Abdul Kahar Moezakhir, Wachid Hasyim, Abikusno
Tjokrosujoso, dan K.H. Agus Salim.
Setelah
mengadakan pembahasan, panitia ini berhasil menetapkan Rancangan
Pembukaan UUD yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Di dalam
rancangan itu termuat rumusan kompromi antara pihak Islam dengan pihak
kebangsaan tentang hubungan antara negara dan agama. Rumusan itu
berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Karena itu, Pancasila dalam Piagam Jakarta
dirumuskan demikian:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Ketika
BPUPKI memasuki sidang kedua pada tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945,
Soekarno selaku ketua Panitia Sembilan melaporkan isi Piagam Jakarta
sebagai usul Pembukaan UUD kepada sidang BPUPKI.
Ketua
BPUPKI kemudian membentuk Panitia Perancang UUD, diketuai oleh
Soekarno. Pada 11 Juli 1945, Panitia membicarakan rancangan Pembukaan
UUD. Lalu, Ketua membentuk Panitia Kecil beranggotakan 7 orang diketuai
oleh Soepomo untuk membentuk rancangan UUD. Hasil kerja Panitia Kecil
ini dibicarakan pada 13 Juli 1945 dan diterima oleh Panitia Perancang
UUD.
Pada
14 Juli 1945 sidang pleno BPUPKI membicarakan rancangan Pembukaan UUD
itu dan menerimanya dengan sedikit perubahan. Pada 15 Juli 1945,
dibicarakan rancangan UUD. Setelah Soekarno dan Soepomo memberikan
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal, masing-masing anggota
memberikan tanggapan.
Pada
7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
terdiri atas 21 orang. Tugas PPKI adalah melaksanakan kemerdekaan
Indonesia dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk membentuk suatu
negara. Soekarno ditunjuk sebagai Ketua dan Muhammad Hatta sebagai
Wakil Ketua.
Pada 18 Agustus 1945, PPKI bersidang dan mengambil beberapa keputusan penting, yaitu:
· Mengesahkan Pembukaan UUD;
· Mengesahkan UUD;
· Memilih Presiden dan Wakil Presiden;
· Menetapkan bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Di
antara kesepakatan mengenai perubahan-perubahan yang dilakukan,
terdapat satu, perubahan penting, yaitu mengenai rumusan sila yang
pertama Piagam Jakarta. Anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati untuk dihilangkan. Karena itu, sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
itu disetujui oleh semua anggota PPKI. Itu dilakukan berdasarkan
pertimbangan bahwa di dalam suatu pernyataan pokok mengenai seluruh
bangsa sebaiknya tidak ditempatkan suatu hal yang hanya mengenai
sebagian rakyat Indonesia, sekalipun bagian yang terbesar. Pencoretan
anak kalimat itu adalah untuk menjaga persatuan ban~sa clan keutuhan
seluruh wilayah Indonesia.
Lalu, Pancasila ditetapkan dalam Pembukaan UUD sebagai dasar negara Republik Indonesia, seperti berikut:
“...
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan
negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil clan beradab,
persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945
pada hakikatnya adalah pencetusan daripada segala perasaan-perasaan yang
sedalam-dalamnya yang terpendam dalam kalbu sanubari rakyat Indonesia
sejak berabad-abad lamanya. Dengan Proklamasi kemerdekaan itu melukiskan
prihal Falsafah hidup / pandangan hidup, rahasia hidup dan tujuan hidup
kita sebagai bangsa.
Proklamasi kemerdekaan itu adalah pernyataan kemerdekaan (Proclamation of independence)
dan sebagai pemberitahuan kepada kita dan dunia, bahwa status /
eksistensi kita telah berubah dari eksistensi dijajah menjadi suatu
bangsa yang merdeka. Dan juga sebagai sumber kekuatan dan tekat
perjuangan kita dalam melahirkan serta membangkitkan kembali kepribadian
bangsa Indonesia. Dengan demikian Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
merupakan titk puncak daripada perjuangan bangsa Indonesia yang didorong
oleh amanat penderitaan rakyat dan di jiwai Pancasila pada taraf
tertinggi, yang selama berabad-abad dijajah, telah berhasil melepaskan
dirinya dari ikatan belenggu penjajahan, sekaligus membangun suatu
perubahan yaitu Negara Republik Indonesia yang bebas merdeka, untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Demikianlah
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan dan penjelmaan dari
nilai-nilai Pancasila yang dapat dibaca dengan jelas pada pembukaan UUD
1945 disamping tercantum rumusan Pancasila secara lengkap, juga
tercermin isi nilai-nilai Pancasila. Isi itu dapa dilihat pada tiap-tiap
alinea dan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan
UUD 1945 adalah uraian terperinci dari Proklamasi 17 Agustus 1945.[2]
B. Hubungan antara Panacasila, UUD 1945 dan Proklamasi 17 Agustus 1945
Adapun hubungan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, meliputi hubungan secara formal dan secara material.
a. Hubungan Secara Formal, bahwa
rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945; bahwa Pembukaan UUD 1945
berkedudukan dan berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD 1945 juga
sebagai suatu yang bereksistensi sendiri karena Pembukaan UUD 1945 yang
intinya Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD 1945, bahkan
sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945
dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat diubah
dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI.
b. Hubungan Secara Material,
yaitu proses perumusan Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar filsafat
Pancasila, baru kemudian membahas Pembukaan UUD 1945; sidang berikutnya
tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD
1945.
Merujuk
kepada sejarah tentang urut-urutan penyusunan antara Pancasila dengan
Pembukaan UUD 1945, penyusun melihat bahwa para pendiri Negara
menganggap penting perumusan dasar Negara untuk dibahas karena memang
suatu Negara yang akan dibentuk harus memiliki dulu dasar ideologi
Negara. Pada saat itu sudah ada ideologi komunis dan liberal. Dan bangsa
Indonesia menginginkan dasar Negara sesuai pandangan hidup bangsa
Indonesia sendiri. Dasar Negara tersebut mendapatkan suatu legalitasnya
dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945. Dengan
masuknya rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD, maka Pancasila menjadi
inti dari Pembukaan UUD 1945 dan kedudukan Pembukaan UUD 1945 menjadi
kuat, apalagi dari Penjelasan UUD 1945 dikatakan kalau Pembukaan itu
memiliki empat pokok pikiran dan ternyata keempat pokok pikiran dalam
Pembukaan UUD 1945 itu tiada lain adalah Pancasila.
Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa
Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh
struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau
cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita
hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok
pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut
terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah
dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam
banyak peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan
MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya. Jadi
selain tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, Pancasila terangkum
dalam empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945.
Jika
mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula
cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem
berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan
bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan
karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia
kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan
penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia
ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa
Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan
dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan
cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai
bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam
rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia
keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.
Keseluruhan
Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan
hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran
sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno
disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas
bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi
Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut
sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Seperti
telah disinggung di muka bahwa di samping Undang-Undang dasar, masih
ada hukum dasar yang tidak tertulis yang juga merupakan sumber hukum,
yang menurut penjelasan UUD 1945 merupakan ‘aturan-auran dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelengaraan negara, meskipun
tidak tertulis’. Inilah yang dimaksudkan dengan konvensi atau kebiasaan
ketatanegaraan sebagai pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul
dari praktek kenegaraan, karena aturan tersebut tidak terdapat dalam
Undang-Undang dasar.
UUD
1945 yang hanya terdiri dari 37 pasal ditambah dengan Empat pasal
Aturan Peralihan dan dua ayat aturan Tambahan, maka UUD 1945 termasuk
singkat dan bersifat supel atau fleksibal. Sebelum dilakukan Perubahan,
UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat
(16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49
ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah
dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 73 pasal, 194
ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Aturan Peralihan
Pasal I
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.
Pasal II
Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III
Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV
Sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional.
Aturan Tambahan
- Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
- Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Hubungan Proclamation of independence dengan Declaration of independence digambarkannya bahwa Proklamasi
kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia,
bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Sedangkan
Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia
kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia
apa prinsip-prinsip kita itu. Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945,
memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional
kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam
memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang
hidup dalam kalbu rakyat kita.
Bila
kita hubungkan antara inti isi pengertian Pembukaan dengan Proklamasi
17 Agustus 1945 maka kedua-duanya memiliki hubungan azasi (prinsip) yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Proklamasi 17 Agustus 1945 memuat dua hal pokok :
1. Pernyataan pertama proklamasi dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan pada alinea pertama, kedua, dan ketiga.
2. Pernyataan kedua proklamasi
dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan pada alinea keempat. Selain itu
pernyataan “pemindahan kekuasaan” kemudian diatur dalam Aturan Peralihan
UUD 1945. [3]
Oleh
karena itu, wajar kalau Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat pada proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material. Adapun kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
1. Pembukaaan Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci.
2. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia.
3. Pembukaan UUD 1945 mengandung adanya pengakuan terhadap hukum kodrat, hukum Tuhan dan adanya hukum etis atau hukum moral.
C. Proses Proklamasi dan Pengesahan UUD 1945
a. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Secara kronologis detik-detik Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut :
1. 15
Agustus 1945 : Pemerintah Jepang menyerah tanpa syarat (unconditional
surender) kepada sekutu. Hal ini diumumkan Tenno Heika melalui radio.
Kejadian ini mengakibatkan Pemerintah Jepang tidak dapat meneruskan
usahanya mengenai kemerdekaan Indonesia. Soal terus atau tidaknya
diserahkan kepada para pemimpin Bangsa Indonesia.
2. 16 Agustus 1945
1). Jam 06.00 (Tokyo) atau 04.30 waktu Jawa Jepang atau 04.00 WIB
a. Pengamanan Ir Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok.
b. Maksud
pengamanan yang dilakukan oleh golongan Pemuda yang terdiri dari
Sukarni dibantu Winoto Danu Asmoro, Abdurrahman dan Yusuf Kunto adalah
untuk menjauhkan In Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dari segala pengaruh
dan siasat Jepang.
2). Jam 19.30 (Tokyo) atau 18.00 waktu Jawa Jepang atau 17.30 WIB.
a. Rombongan terdiri dari Mr. A. Subarjo, Sudiro (Mbah) dan Yusuf Kunto tiba di Rengasdengklok.
b. Maksud kedatangan mereka adalah untuk menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. hatta kembali-ke Jakarta.
3). Jam 01.00 (Tokyo) keesokan hari atau 23.30 waktu Jawa Zaman Jepang atau 23. WIB.
a. Rombongan
yang membawa In Soekarno dan Drs. Moh Hatta tiba di Jakarta. Drs. Moh.
Hatta singgah di rumahnya sebentar di Jl. Diponegoro 57. Kemudian menuju
rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jl. Imam Bonjol 1.
b. Di tempat ini pemuka-pemuka Indonesia berkumpul untuk menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
c. Teks versi terakhir Proklamasi yang telah diketik ditanda tangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta.
3. 17
Agustus 1945 (jam 12.00 Tokyo atau 10.30 waktu Jawa zaman Jepang atau
10.00 WIB : Pembacaan Teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno di Pegangsaan
Timur 56, Jalannya upacara:
a. Ir. Soekarno tampil kemuka micropon satu-satunya untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan.
c. Pengibaran
bendera merah putih dilakukan oleh Cudanco Latief Hendraningrat dengan
diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh para
hadirin.[4]
Untuk
mewujudkan tujuan Proklamasi Kemerdekaan maka pada tanggal 18 Agustus
1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersidang untuk mengesahkan
:
a. Pembukaan UUD 1945; dan
b. UUD 1945; serta
c. Memilih Presiden dam Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Dengan
kata lain, cita-cita dan inti isi jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 (Pancasila) dituangkan ke dalam Pembuakaan dan UUD 1945.[5]
b. Pengesahan UUD 1945
Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara
Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara
sebagaimana lazimnya suatu negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang.
Dalam
sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, PPKI yang telah
disempurnakan antara lain tekah mengesahkan Undang-undang dasar negara
yang kini terkenal dengan sebutan UUD 1945.[6]
Tanggal
18 Agustus 1945 sidang PPKI dimulai jam 11.30. Acara dari sidang pleno
ini ialah “Untuk membahas naskah rancangan Hukum Dasar dan mengesahkan
Undang-undang Dasar atas Kemerdekaan yang telah diucapkan dalam
Proklamasi sehari sebelumnya.
Hasil yang dicapai :
a. Mengesahkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan jalan :
(1) Meneatapkan Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan sebagai pembukaan dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
(2) Menetapkan
Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima BPUPK pada tanggal 17 Juli
1945 setelah mengalami beberapa perubahan sebagai Undang-undang Dasar
Republik Indonesia.
b. Memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
c. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan Musyawarah Darurat.[7]
Pengesahan
UUD Negara Republik Indonesia didahului dengan pengesahan Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia. Pengesahan Pembukan UUD Negara Republik
Indonesia ini dipimpin oleh Ketua PPKI dan sidang Pleno Ir. Soekarno.
D. Terjadinya Proklamasi dan UUD 1945
Dengan
hubungan erat golongan tua dari kaum pergerakan Indonesia dengan pihak
pemerintah pendudukan Jepang oleh pemuda yang tidak disukai, dan ingin
agar segera kemerdekaan Indonesia segera di Proklamasikan. Seperti yang
kita ketahui bahwa dua orang pemimin pergerakan Indonesia yang paling
terkemuka pada zaman jepang adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
Karena itulah semua golongan sepakat bahwa kemerdekaan Indonesia yang
telah dirancang sejak lama itu, oleh berbagai golongan dalam kalangan
pergerakan Nasional tidak dapat diumumkan tanpa mengikut sertakan mereka
berdua.
Karena
sifat radikal dan pandangan Politik dari golongan pemuda menemui
kesulitan dalam mengajak bung Karno dan Bung Hatta mengikuti garis
politik mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Untuk keluar dari kesulitan tersebut maka politisi muda demham bekerja
sama pihak PETA (Pembela Tanah Air) menugaskan Shodanco “ Singgih ” Umar
Bachsan Suheryana, Affan (Letnan I), Subeno dan Sucipto sudah
dipersiapkan rapih jauh sebelumnya. Bahkan Bendera Sang Saka Merah Putih
telah dikibarkan pada tanggal 16 Agustus 1945 di markas PETA di
Rengasdengklok atas perintah Shodanco Affan, Pada hari itu tercapailah
kata sepakat antara Mr. Achmad Soebardjo sebagai salah seorang tokoh
golongan tua dengan wakil-wakil golongan pemuda untuk mengembalikan
Soekarno-Hatta ke Jakarta.
Persetujuan
para pemuda itu diberikan atas dasar jaminan yang diberikan oleh Achmad
Soebardjo, bahwa keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945
proklamasi sudah akan disiarkan ke seluruh dunia. Berdasarkan
persetujuan itulah menjelang tengah malam tanggal 1 6 Agustus 1945 itu
juga Soekarno-Hatta dikembalikan ke Jakarta dengan perantaraan Mr.
Soebardjo langsung menuju ke rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Rumah
Laksamana Jepang itu dianggap tempat yang aman dari penindakan Angkatan
Darat Jepang yang menjadi penguasa di daerah Jawa (Dada Zaman pendudukan
Jepang Sumatera dan Jawa diperintah oleh pernerintah militer Angkatan
Darat atau Rikugun, sedang wilayah Indonesia selebihnya diperintah oleh
Angkatan Laut atau Kaigun).
Laksamana Maeda adalah kepala kantor Penghubung Angkatan Laut di daerah kekuasaan Angkatan Darat.
Mr.
Achmad Soebardjo dan sejumlah pemuda Indonesia bekerja pada kantornya
dan karena itu mempunyai hubungan baik dengan Laksamana tersebut.
Berdasarkan hubungan baik itu, rumah Maeda yang terletak di Jalan Imam
Bonjol 1 dan kini menjadi tempat kediaman Duta Besar (nggris dijadikan
tempat pertemuan antar pelbagai golongan pergerakan nasional yang tua
dan yang muda.
Di
rumah itulah naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga orang pimpinan
golongan tua, yaitu Soekarno, Hatta dan Soebardjo dengan disaksikan oleh
tiga orang eksponen pemuda yakni Sukarni, BM Diah dan Mbah Diro serta
beberapa orang Jepang. Mereka duduk menyendiri di kamar makan itu,
sedangkan yang lain menunggu di serambi muka. Yang menuliskan ‘kladnya’
adalah Ir. Soekarno sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr. Soebardjo
menyumbangkan pikiran secara lisan. Sebagai hasil perbincangan mereka
bertiga itulah diperoleh rumusan tulisan tangan Ir. Soekarno yang
berbunyi sebagai berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal
yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan
cara seksama clan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, 17 - 8 - 05,
Wakil-wakil Bangsa Indonesia.
Rombongan
yang menyendiri di ruang makan itu kemudian menuju ke serambi muka
untuk menemui mereka yang telah hadir. Di sana Ir. Soekarno membacakan
draft (naskah) rumusan yang telah mereka hasilkan itu dan menyarankan
agar segenap mereka yang hadir itu bersama sama menandatangani naskah
Proklamasi itu selaku wakil-wakil bangsa Indonesia.
Saran
itu ditolak oleh pemuda yang menyatakan tidak rela bahwa budak-budak
Jepang ikut menandatangani Naskah Proklamasi (Budak-budak Jepang adalah
tokoh golongan tua yaang dinilainya bukan orang pergerakan nasional,
melainkan hanya oportunis-oportunis yang memperoleh kursi, karena
pengabdialnnya kepada pemerintah pendudukan Dai Nippon).
Pernyataan itu menimbulkan kehebohan dari pihak yang dituduh budak-budak Jepang.
Kemudian
Sukarni selaku salah seorang pemimpin pemuda mengusulkan agar yang
menandatangani naskah proklamasi itu hanyalah Soekarno - Hatta atas nama
bangsa Indonesia.
Usul
itu diterima baik segenap hadirin dan Ir. Soekarno memimta kepada
Sayuti Melik untuk mengetik naskah bersih berdasarkan draft rumusan
dengan perubahan-perubahan yang disetujui yakni:
- Kata tempoh diganti dengan tempo.
- Wakil-wakil bangsa Indonesia diganti dengan atas nama bangsa Indonesia.
- Cara menulis tanggal diubah sedikit menjadi:
‘Djakarta hari 17 boelan 8 tahoen 05’.
Naskah
yang diketik oleh Sayuti Melik itu kemudian ditandatangani oleh
Soekarno dan Hatta di rumah itu juga. Bunyi naskah itu selengkapnya
adalah sebagai berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia
Hal-hal
jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 45
Atas nama bangsa Indonesia,
SOEKARNO/HA TTA.
Naskah
yang diketik itulah yang beberapa jam kemudian setelah hari terang pada
tanggal 17 Agustus 1945 dibacakan oleh Ir. Soekarno di Gedung
Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Adalah ironis sekali, bahwa
Orde Lama di bawah apimpinan Ir. Soekarno telah menghancurkan Gedung
Proklamasi yang bersejarah itu). Sampai sekrang belum jelas bagaimana
urutan kejadian, sehingga naskah otentik proklamasi itu dapat menghilang
selama kurang lebih dua puluh tahun dan baru muncul pada tahun 1965.
Selama naskah otentik itu hilang maka yang dikenal seluas-luasnya adalah
konsep atau ‘Klad’ tutisan tangan Ir. Soekarno. Menurut Sayuti Melik
naskah otentik proklamasi itu dibawa pulang dari rumah Laksamana Maeda
oleh B.M. Diah, yang kemudian rnenyimpannya setelah mencetaknya di dalam
surat Kabar Merdeka yang diterbitkannya dalam Bulan Oktober 1945.
Oleh
karena itulah foto copy dari naskah otentik Proklamasi itu pada tahun
1969 oleh Presiden Soeharto sudah dibagi-bagikan kepada para
Gubernur/Kepala Daerah dan telah dimuat dalam berbagai surat kabar.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami tulis diatas, kami dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Dengan
pokok-pokok pikiran Prof. DR. Soepomo itu, kita dapat merasakan adanya
satu jiwa 5 hal untuk dasar negara Indonesia Merdeka, meskipun tidak
diuraikan secara terperinci sebagaimana yang diucapkan oleh Mr. Moh.
Yammin.
b. Adapun hubungan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, meliputi hubungan secara formal dan secara material.
c. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
15 Agustus 1945 : Pemerintah Jepang menyerah tanpa syarat (unconditional surender) kepada sekutu.
16 Agustus 1945 : Pengamanan Ir Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok.
17 Agustus 1945 : Pembacaan Teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno di Pegangsaan Timur 56.
d. Sifat
radikal dan pandangan Politik dari golongan pemuda menemui kesulitan
dalam mengajak bung Karno dan Bung Hatta mengikuti garis politik mereka
untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Untuk keluar dari
kesulitan tersebut maka politisi muda demham bekerja sama pihak PETA
(Pembela Tanah Air) menugaskan Shodanco “ Singgih ” Umar Bachsan
Suheryana, Affan (Letnan I), Subeno dan Sucipto sudah dipersiapkan rapih
jauh sebelumnya. Bahkan Bendera Sang Saka Merah Putih telah dikibarkan
pada tanggal 16 Agustus 1945 di markas PETA di Rengasdengklok atas
perintah Shodanco Affan, Pada hari itu tercapailah kata sepakat antara
Mr. Achmad Soebardjo sebagai salah seorang tokoh golongan tua dengan
wakil-wakil golongan pemuda untuk mengembalikan Soekarno-Hatta ke
Jakarta.
[ Note: Saya tidak melihat peran Sukarni-Chaerul Saleh.. padahal konon mereka bersama Subeno dkk... Sebenarnya ada Kelompok pemuda Pimpinan Chaerul Saleh- Sukarni yang mendesak dan melakukan penculikan Suhakrno - Hatta agar segera dilakukan Proklamasi.. Dan konon Sukarni dkk diberi kesempatan untuk ikut melakukan tanda tangan pada naskan proklamasi, namun mereka menolak dan meyerahkannya kepada para pimpinan senior..
Saya heran tidak melihat peran tokoh Tan Malaka... padahal sering disebut-sebut bahu membahu dengan Bung Karno..? pen]
Saran-saran
Harapan
kami adalah saran serta kritik yang bisa membangun juga menambah
tentang ilmu pengetahuan kami. Semoga dengan saran dan kritik dari dosen
pada khususnya dan pemabaca pada umumnya bisa membantu kami dalam
menambah wawasan terutama dalam penulisan atau penyusunan karya tulis
untuk menjadi menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Drs., Pancasila (Ditinjau dari Segi Historis), Reneka Cipta, Jakarta, 1992.
Darmodiharjo Darji, Prof. SH., J.W. Sulandra, SH., Santiaji Pancasila. Kurnia Esa, Jakarta, 1983.
Burhanuddin Salam, Drs., Filsafat Pansilaisme. PT. Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Tim Penulis PPKn. Mahir PPKn SMU Kelas 3 Semester II. PT. REMAJA ROSDAKARYA, Bandung, 2004.
Internet : http://sertifikasiprofesi.blogspot.com/2008/05/analisis-hubungan-pancasila- proklamasi.html
http://asnic.utexas.edu/asnic/countries/indonesia/ConstIndonesia.html Constitution of Indonesia
Yang ter Lupakan
BalasHapusApril 18
### 79 CABANG IMAN ###
Sampai saat ini masih banyak umat Islam yang beriman baru sampai pada tahap pengenalan. Sebatas percaya pada Rukun Iman yang enam. Hanya mengikrarkan dengan lisan dan meyakini dalam hati, tanpa disertai pengamalan. Padahal iman yang mutlak adalah meliputi ikrar secara lisan, keyakinan dalam hati, dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah barang tentu iman yang dimikian itu menuntut konsekuensi, peripangan, dan pengorbanan.
Jelaslah bahwa tebal-tipisnya kadar iman seseorang bisa dilihat dari sepak terjangnya dalam kehidupan sehari-hari. Yakni sejauh mana orang tersebut mematuhi segenap perintah Allah SWT. Dan meninggalkan segala larangan-Nya. Sepak terjang seseorang yang mencerminkan kesempurnaan imannya adalah apabila ia mampu mempraktekkan seluruh cabang iman dalam kehidupannya sehari-hari.
Berapakah jumlah cabang iman seluruhnya? Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Iman memiliki 60 atau 70 cabang lebih. Cabangnya yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha illallaah (Tiada tuhan selain Allah), sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan yang terdapat di jalan. Sifat malu itu juga bagian dari cabang iman." (H.R. Bukhori dan Muslim).
79 cabang iman tersebut, selengkapnya adalah;
1. beriman kepada Allah SWT.
2. beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya.
3. beriman kepada Kitab-kitab-Nya
4. beriman kepada Rosul-rosul-Nya
5. beriman adanya Hari Kemudian
6. beriman adanya takdir yang di gariskan-Nya
7. beriman adanya Hari Kebangkitan. "Wahai manusia, jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang Kami wafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai umur sangat tua (pikun) sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah." (QS. 22/Al-Hajj: 5)
8. beriman adanya hari dikumpulkan manusia di Padang Mahsyar setelah dibangkitkan dari kubur. "Tidaklah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan semesta alam." (QS. 83/ Al-Muthoffifin: 4-6).
9. beriman bahwa tempat kembalinya orang-orang yang beriman adalah surga, dan tempat kembalinya orang-orang kafir adalah neraka. "Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya." (QS. 2/Al- Baqoroh: 82). Sungguh orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk." (QS. 98/Al-Bayyinah: 6).
10. beriman bahwa mencintai Allah SWT itu wajib. "Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah." (QS. 2/ Al-Baqoroh:165)
Cabangnya yang paling tinggi adalah ucapan LAA ILAAHA ILLALLAAH (tiada tuhan selain Allah) sedangkan cabangna yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan yang terdapat dijalan. Sifat malu itu juga bagian dari cabang iman." (HR. Bukhori dan Muslim). — with Yahya Kurniawan and 11 others.
Sambungan
BalasHapus11. beriman bahwa takut kepada Allah SWT itu wajib. "Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku." (QS. 5/Al-Maidah: 44).
12. beriman bahwa mengharap rahmat Allah itu wajib. "Mereka mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan azab-Nya. Sungguh azab Tuhanmu itu sesuatu yang harus ditakuti." (QS. 17/Al-Isro': 57)
13. beriman bahwa kita wajib bertawakkal kepada Allah setelah berusaha. "Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal." (QS. 3/Ali Imron: 122).
14. beriman bahwa mencintai Nabi Muhammad itu wajib. "Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sebelum dia mencintai aku lebih dari mencintai anak-anaknya dan semua manusia." (HR. Bukhori dan Muslim).
15. beriman bahwa kita wajib mengagungkan dan menghormati Nabi Muhammad saw. "Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orangorang yang beruntung." (QS. 7/Al-'Arof: 157).
16. setia terhadap agama yang dianutnya. Orang yang demikian jika disuruh memilih antara mati dan menjadi kafir, akan memilih yang pertama. Anas bin Malik ra. menceritakan, pernah ada seorang lelaki meminta kambing kepada Nabi saw. sebanyak di antara dua lembah. Lalu Nabi memberinya. Setelah itu orang tersebut kembali kepada kaumnya, dan berkata: "Islamlah kalian semuanya. Sungguh, Muhammad telah memberikan sesuatu yang banyak sekali kepadaku tanpa takut menjadi miskin." Anas berkata: "Jika seseorang masuk Islam hanya karena menginginkan dunia, maka itu bukan Islam namanya. Islam harus lebih dicintai daripada dunia dengan segala isinya." (HR. Muslim).
17. mencari ilmu. "Dan Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (sunnah ) kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Sungguh karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu amat besar." (QS. 4/An-Nisa': 113).
18. menyebarkan ilmu pengetahuan. "Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak tinggal untuk memperdalam ilmu agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. 9/At-Taubah: 122). Maksudnya dengan ilmu yang diajarkan itu ketakwaan dan kehidupan kaum muslimin tetap terpelihara.
19. memuliakan Al-Qur'an. "Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu dalam ummul Kitab (lauh Mahfuz) di sisi Kami, benar-benar bernilai tinggi dan penuh hikmah" (QS. 43/Az-Zukhruf: 4).
20. bersuci (wudhu, mandi atau tayammum). Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Allah tidak menerima sholat (seseorang) tanpa bersuci, dan tidak menerima sedekah dari hasil kejahatan, yakni hasil mencuri, pungli, korupsi, dan sebagainya." (HR. Muslim)
21. mendirikan sholat. "Sungguh sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. 4/AnNisa': 103)
sambungan
BalasHapus22. mengeluarkan zakat. "Jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa (kikir) itu lebih baik bagi mereka. Padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat." (QS. 3/Ali Imron: 180)
23. berpuasa Romadhon. "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. 2/Al-Baqoroh:183).
24. ber'itikaf (berdiam diri di masjid berniat ibadah) walau sejenak. 'Aisyah ra. menuturkan, "Rosulullah saw. biasa ber'itikaf sepuluh (ma'am) yang terakhir bulan Romadhon sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau ber'itikaf juga sepeninggal beliau. (HR. Bukhori dan Muslim).
25. menunaikan haji. "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. 3/Ali Imron: 97).
26. berjuang/berjihad di jalan Allah. "Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya." (QS. 22/Al-Hajj: 78).
27. siap berjuang di jalan Allah. "Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan teguhkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. 3/Ali Imron: 200).
28. pantang mundur menghadapi musuh dalam pertempuran. "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah, dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berdzikir dan berdoa) agar kamu beruntung." (QS. 8/Al-Anfal: 45).
29. membagi harta rampasan perang kepada yang berhak. "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa berkhianat (korupsi), niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang clikhianatkannya itu" (QS. 3/Ali Imron: 161).
30. memerdekakan budak karena Allah. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barangsiapa memerdekakan hamba sahaya, maka Allah akan melepaskan semua anggota badannya dari api neraka. Sama halnya dengan semua anggota badan budak itu lepas dari belenggu perbudakan hingga kemaluannya." (HR. Bukhori).
31. membayar denda adalah bagian dari iman.
32. menepati janji. "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji." (QS. 5/Al Maidah: 1). Yang dimaksud janji dalam ayat itu adalah janji setia seorang hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesamanya.
sambungan
BalasHapus33. menghitung nikmat karunia Allah sambil mensyukurinya. "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)." (QS. 93/Adh-Dhuha: 11).
34. memelihara lidah dari ucapan yang sia-sia. "Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sebab pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawaban." (QS. 17/Al- Isro': 36).
35. menyampaikan amanah kepada yang berhak. "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rosul, juga janganlah mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS. 8/Al-Anfal: 27). Yang dimaksud amanat di sini adalah ketentuan-ketentuan Allah yang harus ditaati.
36. tidak melakukan kejahatan dan tidak membunuh orang. Sabda Nabi Muhammad Rosulullah saw. "Seorang muslim selalu dalam kelapangan agamanya, selama tidak terlibat dalam perkara hukum pertumpahan darah yang haram." (HR. Bukhori dan Muslim).
37. tidak melakukan zina dan menjaga kehormatan. "Dan janganlah kamu mendekati zina, sungguh (zina) itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. 17/Al-Isro': 32).
38. memelihara diri dari harta yang diperoleh dengan jalan haram. "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. 2/ Al-Baqoroh: 188).
39. memelihara diri dari makanan dan minuman yang di haramkan. "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu, agar kamu beruntung." (QS. 5/ Al-Maidah: 90).
40. tidak memakai segala sesuatu yang diharamkan — antara lain pakaian sutera dan bejana emas. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu memakai kain sutera, janganlah minum di bejana perak dan emas, dan janganlah kamu makan di piring emas. Karena perak dan emas itu untuk orang-orang kafir di dunia, tapi untuk kamu di akhirat nanti." (HR. Bukhori).
41. menjauhi permainan dan hiburan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sebab permainan dan hiburan semacam itu hukumnya haram. Sabda Nabi Muhammad Rosulullah saw. "Barangsiapa bermain dadu, maka dia seolah-olah mencelupkan tangannya ke dalam daging babi dan darahnya." (HR. Muslim).
42. sederhana dalam membelanjakan harta, dan mengharamkan memakan harta dengan batil. "Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (juga) kikir, (melainkan) di antara keduanya secara wajar." (QS. 25/Al-Furgon: 67). Maksudnya kehidupan seorang muslim itu tidak ada yang mubadzir dan tidak pelit.
43. meninggalkan sifat dengki dan sejenisnya. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk) yang Dia ciptakan, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita, dan dari kejahatan (perempuan-perempuan)penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya), dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki." (QS. 113/ Al-Falaq: 1-5).
sambungan
BalasHapus44. tidak menodai kehormatan orang lain dan menjauhi perbuatan menggunjing. "Dan orang-orang yang menyakiti orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. 33/ Al Ahzab: 58).
45. beramal dengan ikhlas. "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama." (QS. 98/ Al-Bayyinah: 5).
46. gembira berbuat baik dan sedih berbuat jahat. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barangsiapa gembira karena amal kebaikannya, dan sedih karena amal kejelekannya, maka dia orang yang beriman." (H.R. Abu Dawud, Thobroni Nasai, dan Ahmad).
47. apabila menyadari melakukan dosa segera bertobat. "Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (QS. 24/An Nur: 31).
48. mengadakan kurban (termasuk juga aqiqah). "Sungguh Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)." (QS. 108/ Al-Kautsar 1-2).
49. taat kepada pemerintah. "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rosul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan pemerintahan) di antara kamu." (QS. 4/An-Nisa': 59).
50. memegang teguh pendapat jama'ah -menurut sebagian ulama, jama'ah ialah mereka yang di atas kebenaran, walau ia seorang diri.[jama'ah dalam arti faham kebenaran-berdasarkan fatwa ijma ulama walaw seorang diri menghadapi ditengah para munkarot]
51. mengadili orang lain dengan adil. "Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. 4/ An-Nisa': 58).
52. menyeru kepada kebajikan (amar ma'ruf) dan mencegah kemungkaran. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS. 3/ Ali Imron: 104). Ma'ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan mungkar adalah perbuatan yang dapat menjauhkan diri dari Allah.
53. tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan." (QS. 5/Al-Maidah: 2).
54. memelihara sifat malu. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya malu itu hanya membawa kepada kebaikan." (HR. Bukhori dan Muslim).
55. berbakti kepada ibu-bapak. "... dan berbuat baiklah kepada kedua orang-tua (ibu-bapak)." (QS. 2/Al-Baqoroh: 83).
56. bersilaturrahmi untuk memelihara hubungan baik dengan sanak saudara. "Apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk oleh Allah, lalu dibuat tuli (pendengarannya), dan dibutakan penglihatannya." (QS. 47/ Muhammad: 22-23).
57. berbudi luhur, menahan amarah, dan rendah hati dalam pergaulan. "Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, ialah orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. 3/ Ali Imron: 133-134).
sambungan
BalasHapus58. memperlakukan pembantu dengan baik adalah bagian dari iman. "Sembahlah Allah dan janganlah kamu memperekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan jauh, teman sejawat, ibnu sabil (musafir) dan hamba sahayamu." (QS. 4/An-Nisa': 36) Yang dimaksud dengan "tetangga yang dekat dan jauh" dalam ayat itu ada yang mengartikan dekat tempatnya, bisa juga karena ada hubungan kekeluargaan, dan ada yang mengartikan antara yang muslim dan bukan muslim. Sedangkan ibnu sabil itu adalah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak terlantar yang tidak diketahui ibu bapaknya.
59. melaksanakan perintah majikan (selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam) .
60. memenuhi hak keluarga. "Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah." (QS. 66/ At-Tahrim: 6).
61. memperkokoh rasa cinta kepada sesama umat Islam. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla di hari kiamat nanti bertanya: Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku? Akan Aku naungi mereka dengan naunganKu, pada hari tiada naungan, kecuali naungan-Ku." (HR Muslim).
62. menjawab salam. "Apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, ataubalaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya." (QS. 4/An- Nisa': 86).
63. menjenguk orang sakit, (dalilnya pada nomor 64) 64. mensholati mayat. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Hak seorang muslim ada lima, yaitu menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mendoakan orang bersin, mengantarkan jenazah, dan memenuhi undangan." (HR. Muslim).
65. mendoakan orang bersin. (dalilnya ada pada hadis No. 64)
66. menjauhi orang kafir, orang yang membuat kerusakan serta bersikap keras dan tegas kepada mereka. "Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikaplah keras terhadap mereka." (QS. 9/ At-Taubah: 73).
67. menghormati tetangga adalah bagian dari iman. "Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga yang dekat dan jauh, teman sejawat, ibnu sabil (musafir), dan hamba sahayamu." (QS. 4/An-Nisa': 36).
68. menyimpan aib dan dosa orang lain. "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat." (QS. 24/An-Nur: 19).
69. memuliakan tamu adalah bagian dari iman.
sambungan
BalasHapus70. sabar menghadapi segala musibah adalah bagian dari iman. "Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas." (QS. 39/Az-Zumar: 10).
71. menahan diri dari mencintai dunia (zuhud) dan tidak suka berkhayal. Muhammad Rosulullah sew. bersabda, "Dua nikmat yang bisa memperdaya orang banyak yaitu kesehatan dan kesempatan." (HR. Bukhori dan Muslim).
72. cemburu dan tidak membiarkan lelaki bergaul bebas dengan wanita. "Cemburu itu adalah bagian dari iman, sedangkan pergaulan bebas antara pria dan wanita yang bukan muhrim adalah sebagian dari kemunafikan." (Al Hadits).
73. menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baginya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
74. dermawan. "Dan barang siapa kikir/pelit, maka sesungguhnya dia kikir/pelit terhadap dirinya sendiri." (QS. 47/Muhammad: 38).
75. Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih mudah. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barangsiapa tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kamu, maka ia bukan dari golongan Kami." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
76. menciptakan perdamaian antar sesama manusia. "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. 49/ Al-Hujurot: 10).
77. mencintai sesama muslim sebagaimana mencintai diri sendiri. Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhori dan Muslim).
78. memelihara kebersihan diri dan lingkungan.
79. menyingkirkan duri dari jalan. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Iman memiliki 60 atau 70 cabang lebih. Cabangnya yang paling tinggi adalah ucapan LAA ILAAHA ILLALLAAH (tiada tuhan selain Allah) sedangkan cabangna yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan yang terdapat dijalan. Sifat malu itu juga bagian dari cabang iman." (HR. Bukhori dan Muslim). — with Yahya Kurniawan and 11 others.