Konsep Ekonomi Muqawama Iran
http://indonesian.irib.ir/hidden-11/-/asset_publisher/3oYE/content/konsep-ekonomi-muqawama-iran
P emanfaatan ekonomi yang dinamis dan aktif merupakan salah
satu indikator pertumbuhan dan kemajuan di sebuah masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa kekuatan ekonomi memainkan peran penentu dalam ketahanan
dan stabilitas sebuah bangsa. Oleh karena itu, kekuatan-kekuatan arogan
senantiasa menggunakan sanksi ekonomi sebagai instrumen untuk menekan
negara lain. Sanksi adalah sebuah bentuk hukuman yang digunakan dalam
kebijakan luar negeri sebuah negara. Tujuan dari tindakan ini adalah
untuk menekan negara lain agar mengubah perilakunya. Perubahan sikap ini
bisa jadi perubahan perilaku politik atau perubahan kebijakan ekonomi.
Sebuah sistem baru pemerintahan di dunia muncul seiring dengan
kemenangan Revolusi Islam Iran dan pembentukan sistem pemerintahan
Islam. Sistem baru itu tidak memiliki kecocokan dengan sistem hegemoni
dan bangkit menentang arogansi dunia untuk memutus ketergantungan
budaya, politik, dan ekonomi. Terbentuknya Republik Islam di wilayah
strategis Timur Tengah – yang memiliki posisi penting dari segi ekonomi
dan geopolitik – telah mendorong kubu hegemoni global untuk memeranginya
dengan berbagai cara termasuk, memprovokasi rezim Saddam Hussein untuk
menyerang Iran. Dengan berakhirnya perang dan gagalnya misi musuh di
medan tempur, serangan terhadap Republik Islam beralih ke sektor-sektor
lain.
Salah satu sektor yang
menjadi target serangan dalam beberapa tahun terakhir adalah bidang
ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa tekanan ekonomi dan sanksi merupakan
sebuah masalah yang dihadapi tidak hanya oleh Iran, tapi juga
negara-negara yang menuntut independensi dan menentang Barat. Kondisi
itu menuntut masyarakat Islam untuk menciptakan inovasi dan menelurkan
ide-ide baru di bidang ekonomi. Mereka juga perlu menetapkan panduan
kebijakan politik, budaya, dan ekonomi yang berlandaskan pada
ajaran-ajaran Islam.
Selama
beberapa tahun terakhir, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar,
Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menaruh perhatian serius pada
masalah tersebut. Beliau mencetuskan konsep ekonomi muqawama untuk
meningkatkan kekuatan perekonomian Iran. Komponen dan unsur-unsur
ekonomi muqawama dapat menjadi solusi bagi semua masyarakat yang
berpikir untuk kemandirian ekonomi.
Menurut beberapa pakar ekonomi, ekonomi muqawama adalah sebuah konsep
untuk melawan ketergantungan ekonomi dan konsumerisme. Ekonomi muqawama
adalah bukan ekonomi pasif dan fokus untuk melawan tujuan-tujuan ekonomi
sistem hegemoni. Di dunia modern, ekonomi muqawama berfungsi untuk
melawan tekanan negara-negara asing dan sanksi ekonomi dengan memperkuat
dan mendukung pondasi-pondasi ekonomi. Terwujudnya tujuan-tujuan
ekonomi muqawama di tengah masyarakat akan memiliki dampak positif bagi
perekonomian negara dan pada akhirnya, negara itu dapat memacu
pertumbuhan produksi dalam negeri dan memutus ketergantungan pada asing.
Oleh karena itu, konsep ekonomi ini berhubungan langsung dengan
swasembada dan kemandirian ekonomi.
Resistensi terhadap sanksi negara lain akan mendorong masyarakat untuk
mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber lokal serta memanfaatkan
kapasitasnya secara maksimal. Jika masalah ini dibarengi dengan program
terarah pemerintah dan tekad nasional, maka dapat dipastikan negara
tersebut akan mencapai target-target ekonominya. Di antara dampak-dampak
positif ekonomi muqawama adalah meningkatkan produksi dalam negeri,
mengembangkan ekonomi masyarakat, memperoleh kemandirian ekonomi,
menciptakan lapangan kerja, mengatasi masalah pengangguran, memperluas
pembangunan infrastruktur negara, dan memberantas kemiskinan.
Di antara karakteristik ekonomi muqawama adalah keadilan. Salah satu
media untuk menerapkan keadilan adalah sektor ekonomi dan hubungan
ekonomi. Menurut perspektif Islam, keadilan ekonomi adalah upaya untuk
menciptakan kesejahteraan publik dan menghapus kesenjangan sosial.
Sejalan dengan itu, pemerintahan Islam berkewajiban untuk melawan para
perampok kekayaan negara, mengatasi kemiskinan, mendistribusi kekayaan
secara adil di tengah masyarakat, mencegah inflasi dan penimbunan
barang, dan menghapus ketimpangan untuk mewujudkan keadilan. Jelas bahwa
perang melawan korupsi dan juga mengentaskan kemiskinan akan
menyebabkan kestabilan di masyarakat dan terjaganya agama.
Ayatullah Khamenei menolak penggairahan ekonomi yang tidak disertai
dengan pemenuhan keadilan sosial. Beliau berkata, "Ada banyak negara
yang memiliki indikator ekonomi yang bagus, memuaskan, dan indeks
pertumbuhan ekonomi mereka juga sangat tinggi. Akan tetapi,
diskriminasi, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan sangat kentara di
negara-negara itu. Kita menganggap hal itu sama sekali tidak sesuai
dengan keinginan Islam dan tujuan Republik Islam. Oleh karena itu, salah
satu indikator terpenting kita adalah keadilan sosial. Golongan miskin
harus bisa menikmati kemajuan ekonomi negara dengan makna yang
sesungguhnya."
Salah satu
indikator lain ekonomi muqawama adalah mencapai pertumbuhan ekonomi dan
produksi serta melindungi produk dalam negeri. Konsekuensi ekonomi
muqawama adalah menghindari produk tunggal dan mengembangkan serta
memperluas berbagai jenis produksi dalam negeri dan meningkatkan
produksi komoditas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ekonomi muqawama
menekankan produksi dalam negeri dan penggunaan produk-produk nasional.
Tentu saja untuk memproteksi produk-produk dalam negeri, pemerintah
perlu menetapkan bea cukai yang sesuai untuk mengontrol impor
barang-barang dari negara lain sehingga dalam sebuah kompetisi yang
adil, produk-produk dalam negeri dapat bersaing dengan barang-barang
impor.
Ekonomi muqawama adalah
sebuah ekonomi yang berorientasi pada kemampuan nasional dan
mengandalkan kapasitas dalam negeri serta memanfaatkan para ilmuwan dan
pakar dalam negeri. Dengan kata lain, negara harus memanfaatkan keahlian
para pakar untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi di tengah
masyarakat. Dari sisi lain, masyarakat umum juga harus menghindari
konsumsi barang-barang impor dan memprioritaskan produk-produk dalam
negeri yang terjangkau dari segi harga dan kualitas. Ayatullah Khamenei
sangat menekankan pemanfaatan potensi nasional dan menurut beliau, di
antara urgensitas ekonomi muqawama adalah menaruh perhatian pada potensi
nasional di semua bidang ilmiah, kemanusiaan, alam, finansial, dan
geografi.
Sebuah ekonomi resisten
akan mengidentifikasi potensi-potensi internal dan modal yang
dimilikinya di semua bidang. Ekonomi muqawama juga perlu mempersiapkan
diri untuk sampai pada fase tertentu sehingga tahan terhadap pukulan
dari luar. Selain itu, ekonomi muqawama juga dapat membangun interaksi
positif dengan ekonomi negara-negara lain. Untuk mewujudkan ekonomi
muqawama, masyarakat perlu meninggalkan tradisi-tradisi keliru seperti,
hidup bermewah-mewahan atau konsumerisme. Ayatullah Khamenei menekankan
masalah reformasi pola konsumsi dalam ekonomi muqawama dan mendorong
masyarakat untuk berhemat dan tidak berlebih-lebihan.
Ayatullah Khamenei berkata, "Reformasi pola konsumsi merupakan langkah
utama dalam proses perjalanan ke arah kemajuan dan keadilan. Sebab,
sikap boros adalah penyakit yang dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya
menimbulkan beragam masalah dan mengancam masa depan negara ini. Hemat
adalah memanfaatkan sarana yang ada dengan baik dan benar. Harus diakui
bahwa kebiasaan, adat istiadat dan berbagai cara yang salah telah
menimbulkan pemborosan dalam mengkonsumsi, sehingga jika dibandingkan
antara produksi dan konsumsi akan terlihat ketidakmampuan sektor
produksi dalam memenuhi kebutuhan konsumsi."
Salah satu indikator lain ekonomi muqawama adalah berorientasi pada
sains dan teknologi. Dengan kata lain, jenis ekonomi ini harus
memanfaatkan kemajuan-kemajuan ilmiah dan menjadikan sains dan teknologi
sebagai kiblatnya. Pemerintah harus membuka peluang kepada para ilmuwan
untuk mengaplikasikan keahlian mereka di berbagai bidang. Pemerintah
harus merangkul semua kelompok masyarakat dengan berbagai keahlian untuk
membangun ekonomi negara.
Salah
satu poros penting kebijakan umum ekonomi muqawama menurut Ayatullah
Khamenei adalah partisipasi rakyat dan model ekonomi merakyat.
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam ekonomi dan produksi nasional
merupakan salah satu kunci keberhasilan ekonomi muqawama, di mana beliau
juga menekankan pentingnya memanfaatkan kapasitas ekonomi masyarakat.
(IRIB Indonesia)
Ekonomi Muqawama, Investasi untuk Masa Depan
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam pertemuan dengan kepala lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Tehran, Senin (24/2), menjelaskan mekanisme pelaksanaan kebijakan umum ekonomi muqawama. Rahbar menilai ekonomi muqawama sebagai salah satu instrumen penting dalam melawan dan mengalahkan sanksi ekonomi yang dipaksakan oleh Barat terhadap Iran. Selain itu, lanjut Rahbar, ekonomi muqawama juga dapat menjadi model ekonomi Islam di tengah meningkatnya krisis ekonomi global dan kesempatan positif untuk memberikan peran kepada masyarakat dan para pelaku ekonomi dalam mewujudkan heroisme ekonomi.
Republik Islam Iran telah menetapkan dua tujuan utama dalam Program Perencanaan Pembangunan 20 tahun. Pertama, Iran harus menduduki peringkat pertama dalam produksi ilmu dan teknologi di wilayah Timur Tengah dan kedua, Iran harus mencapai posisi pertama ekonomi di wilayah Asia Barat. Di bidang produksi ilmu dan teknologi, Iran melaju dengan cepat dan beberapa pengamat mengatakan bahwa Republik Islam bahkan melangkah lebih maju dari target Program Perencanaan Pembangunan 20 tahun. Sebagai contoh di bidang itu, Iran menduduki peringkat ke-13 dunia dan posisi pertama di kawasan.
Di ranah ekonomi, Iran meskipun telah memperluas sektor pembangunan nasional, tapi sampai sekarang belum berhasil mencapai target yang ditetapkan dalam program kemajuan dan keadilan ekonomi secara menyeluruh. Fakta ini merupakan sebuah berita buruk bagi masa depan ekonomi Iran dan Barat juga merusak perekonomian Republik Islam dengan menerapkan sejumlah sanksi ilegal. Mengingat pendapatan minyak memainkan peran kunci dalam perekonomian Iran, maka Barat fokus untuk mencegah penjualan minyak Iran dan menurut mereka, cara ini akan menghancurkan perekonomian negara itu. Akan tetapi, sanksi-sanksi itu tidak bekerja seperti yang diharapkan Barat.
Beberapa analis percaya bahwa dampak sanksi terhadap ekonomi Iran maksimal 30 persen dan 70 persen sisanya berhubungan dengan kelemahan dalam memanfaatkan secara tepat kapasitas ekonomi di dalam negeri. Masalah ini menjadi sebuah tantangan serius bagi Iran dan harus diatasi dengan mengandalkan kapasitas ekonomi dengan benar. Oleh karena itu, Ayatullah Khamenei sejak enam tahun lalu melakukan analisa strategis terhadap infrastruktur ekonomi Iran untuk menghadapi konspirasi Barat terhadap Revolusi Islam. Rahbar menekankan bahwa untuk mencapai target-target ekonomi negara, maka Iran perlu mengadopsi program dan kebijakan yang terperinci dan terarah.
Iran menikmati potensi besar di bidang spiritualitas, cadangan energi berlimpah, dan sumber daya manusia yang berkualitas serta memiliki tekad yang kuat untuk maju. Akan tetapi, apakah semua potensi besar itu dengan sendirinya mampu menciptakan ekonomi yang dinamis dan resisten terhadap tekanan dan sanksi musuh jika tidak disertai dengan perencanaan yang matang? Apakah Iran akan mampu mengatasi semua masalah ekonomi jika tidak ada perencanaan? Jawabannya, tentu saja tidak, sebab untuk merealisasikan tujuan tersebut, Iran memerlukan strategi khusus untuk jangka menengah dan jangka panjang seperti yang dijabarkan dalam kebijakan umum ekonomi muqawama.
Dalam kerangka itu, kebijakan umum ekonomi muqawama – dengan pendekatan jihadis, fleksibel, dan pencipta peluang – mengejar tiga tujuan penting. Tujuan itu mencakup ekonomi berbasis produksi dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada impor, dan menggerakkan roda investasi dan lapangan kerja. Untuk mencapai target makro tersebut, maka telah ditetapkan program, panduan kerja, dan prioritas-prioritasnya.
Kebijakan umum ekonomi muqawama memperhatikan masalah penguatan infrastruktur ekonomi Iran, seperti mengaktifkan semua sarana, sumber-sumber investasi, dan sumber daya manusia untuk memperluas kegiatan ekonomi. Namun untuk merealisasikan kebijakan itu, Iran harus mengoptimalkan semua kapasitas produksi, meningkatkan produksi dalam negeri, memprioritaskan produksi produk-produk strategis, dan melindungi sektor produksi dalam negeri dari serangan produk asing.
Ayatullah Khamenei mencatat ada banyak harapan bahwa ekonomi akan berkembang dalam jangka menengah dan mengurangi kekhawatiran masyarakat jika kebijakan umum ekonomi muqawama dilaksanakan dengan serius. Beliau menekankan bahwa kebijakan umum ekonomi muqawama merupakan sebuah kebijakan yang komprehensif dan dalam implementasinya, komprehensitas tersebut harus tetap dijaga. Rahbar menilai urusan ekonomi dan masalah-masalah yang bersumber dari itu sebagai isu utama Iran dan masyarakat.
Kebijakan umum ekonomi muqawama menekankan reformasi pola konsumsi masyarakat dan mengkampanyekan budaya konsumsi produk-produk nasional. Program itu juga menekankan pengurangan pada penjualan bahan baku dan mempromosikan industri teknologi tinggi berbasis pengetahuan. Iran saat ini menjalin hubungan perdagangan dan ekonomi dengan lebih dari 170 negara dunia. Tehran juga ingin memperluas lingkaran transaksi ekonominya di tingkat dunia dengan memanfaatkan sarana diplomasi.
Sanksi merupakan sebuah kesempatan dan tantangan bagi ekonomi Iran. Tehran telah menghadapinya dengan mengadopsi langkah-langkah serius seperti, mengurangi ketergantungan kepada industri minyak dan mencari alternatif lain sebagai sumber pendapatan negara. Ayatullah Khamenei mengatakan, "… ketergantungan itu merupakan warisan ratusan tahun ekonomi kita. Dan sanksi dari sisi ini harus dijadikan peluang. Kita mencari pengganti minyak untuk aktivitas yang ekonomis..." Tujuan utama ekonomi muqawama adalah mencapai sebuah ekonomi resistensi yang aktif dan modern, bukan sebuah ekonomi yang pasif dan tertutup.
Kebijakan umum ekonomi muqawama secara detail menganalisa pentingnya industri minyak dan menekankan beberapa hal antara lain, menciptakan variasi dalam metode penjualan, menambah cadangan strategis, memperluas kapasitas produksi minyak dan gas, dan meningkatkan pertambahan nilai menyangkut produk-produk petrokimia dan produk olahan minyak.
Para pakar ekonomi dalam mendefinisikan ekonomi muqawama mengatakan, ekonomi muqawama merupakan bentuk perlawanan terhadap ketergantungan dan ekonomi konsumtif. Oleh karena itu, ekonomi muqawama selain tidak pasif, juga bertujuan untuk melawan kepentingan-kepentingan ekonomi kapitalis.
Salah satu poros penting kebijakan umum ekonomi muqawama menurut Ayatullah Khamenei adalah partisipasi rakyat dan model ekonomi merakyat. Beliau mengatakan, "Iran selama 35 tahun lalu khususnya saat kemenangan Revolusi Islam dan Perang Pertahanan Suci selama delapan tahun berhasil menggapai banyak prestasi gemilang berkat partisipasi luas rakyat. Dengan memanfaatkan kapasitas rakyat, kita bisa melaksanakan tugas-tugas yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh beberapa kementerian."
Ayatullah Khamenei menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah ekonomi negara adalah perhatian terhadap kapasitas dalam negeri dan bukan melihat keluar dan dicabutnya sanksi. Beliau menambahkan, "Untuk menyelesaikan masalah tersebut kita tidak bisa berharap dari musuh." Rahbar menilai bersandar pada kekuatan internal sebagai penyelamat negara dan landasan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, dan budaya. (IRIB Indonesia)
Kaleidoskop Iran: Tahun Ekonomi Muqawama
Sanksi ekonomi merupakan senjata yang dipakai untuk menekan Republik Islam Iran sejak awal kemenangan Revolusi Islam. Sanksi ekonomi termasuk bagian dari sejumlah langkah permusuhan Amerika dan Uni Eropa dalam paket ekonomi yang diterapkan kepada Iran dan tekanan ini berlanjut hingga tahun lalu. Tapi bangsa Iran dengan tegar menghadapi segala bentuk kesulitan yang muncul akibat tekanan ekonomi dan tidak pernah bersikap putus asa. Bahkan yang terjadi adalah bangsa Iran bangkit menciptakan pelbagai kreasi untuk tetap berjalan di jalur kemajuan dan pembangunan.
Tekanan ekonomi Barat terhadap Iran pada tahun lalu punya tujuan strategis, tapi bangsa Iran menunjukkan dengan usaha keras untuk berswasembada di sektor infrastruktur, mereka mampu meningkatkan resistensinya terhadap tekanan ekonomi itu. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar dalam pidatonya senantiasa menekankan bahwa satu dari keharusan yang dimiliki dalam melakukan perjuangan besar adalah keteguhan, usaha dan bergerak demi kemajuan negara di bidang sains dan pembangunan yang menjadi sarana bagi kemenangan dan keberhasilan.
Tahun lalu buat bangsa Iran merupakan tahun yang disertai dengan muqawama dan resistensi dalam menghadapi segala tekanan, konspirasi dan sanksi. Tapi pada saat yang sama, kemajuan sains di Iran tetap berlanjut yang menunjukkan kemajuan Iran tidak dapat dibendung. Iran saat ini berada pada posisi puncak produksi ilmu di Timur Tengah dan termasuk sepuluh besar di dunia dari sisi pertumbuhan parameter keilmuwan. Sementara di bidang teknologi nano di kawasan dan di antara negara-negara Islam, Iran berada di urutan teratas dan nomor 14 di antara negara-negara di dunia.
Dalam kondisi disanksi oleh Amerika, negara Iran ternyata telah mengambil langkah besar terkait siklus teknologi nuklir yang dapat dimanfaatkan dalam riset ilmiah, pertanian dan medis. Tahun lalu Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meminta Iran menularkan pengalamannya kepada negara-negara di kawasan terkait pemanfaatan teknologi nuklir untuk meningkatkan produksi pertanian. Surat kabar The Christian Science Monitor beberapa waktu lalu menyinggung tentang sanksi dan pengaruhnya terhadap ekonomi Iran dan menulis, sanksi justru membuat Iran mengambil langkah jauh untuk meraih kemajuan yang lebih besar.
Hassan Rohani, Presiden Iran tahun lalu dalam lawatannya ke Davos, Swiss melakukan pertemuan dengan para ahli ekonomi dunia dan menyinggung soal investasi di Iran. Presiden Rohani membeberkan program ekonomi Iran seperti investasi 110 milyar dolar di bidang minyak dan energi, 75 milyar dolar di sektor petrokimia dan 33 milyar dolar untuk perluasan jalan kereta api. Rohani mengatakan, "Iran siap melakukan kerjasama ekonomi dengan seluruh negara di dunia demi kemajuan dan pembangunan berdasarkan prinsip saling menghormati."
Saat ini Iran termasuk 10 negara pemilik teknologi antariksa. Peluncuran satelit Omid dan Tolou dan produksi roket peluncur satelit Safir dan Simourgh merupakan hasil dari pertumbuhan teknologi baru ini di Iran. Di bidang industri rudal, saat ini Republik Islam di kawasan termasuk negara unggul. Produksi rudal Shahab dan Sijjil, Saqib, Sayyad, Fateh, Zelzal, Misaq, Raad, Toufan (Storm) dan Safar (Journey) bukti dari prestasi gemilang Tehran. Di bidang kemampuan bawah laut, Iran termasuk sejumlah kecil negara dunia yang memiliki prestasi besar dalam rancangan dan produksi kapal selam kelas menengah.
Sementara itu, di bidang perangkat canggih elektronik dan komunikasi industri pertahanan, Iran memiliki kemampuan besar dalam bidang ini termasuk kemampuannya mengontrol serta mensabotase drone Amerika Serikat di zona udara timur Iran. Kemampuan Iran menurunkan drone ini tanpa cacad dalam pandangan para pengamat disebut sebagai pentas paling penting pertunjukan kemampuan Iran di bidang pertahanan udara.
Saat ini, Iran tengah melakukan riset untuk menghadapi berbagai ancaman. Di antaranya adalah produksi drone jarak jauh dan sistem pertahanan menengah Mirsad yang menyerupai sistem anti udara Hawk. Sistem pertahanan udara jarak menengah ini mampu menembak jatuh pesawat dengan penerbangan rendah atau menengah. Hal ini menunjukkan kemampuan tinggi Iran untuk menjawab setiap ancaman musuh dan mengindikasikan kesiapan penuh militer Republik Islam dalam menghadapi setiap agresi dan pelanggaran kedaulatannya.
Saat ini prestasi dan kekuatan pertahanan Iran merupakan manifestasi dari kekuatan nasional. Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei saat menjelaskan peta jalan menggapai kemajuan di industri pertahanan modern menekankan kreasi dan kebijakan menengah. Beliau dalam suratnya kepada Departemen Pertahanan mengatakan, "Kalian harus mengiringi langkah dengan kreasi dan terus berusaha menggali langkah baru sehingga kita mampu menggapai kemajuan baru."
Asas doktrin pertahanan Republik Islam dalam koridor pandangan makro dan strategi berdasarkan pada dua asas utama. Pertama produksi alat-alat yang mendukung kekuatan bagi pertahanan yang aktif dan kedua pertahanan kokoh. Meski demikian, masih ada satu pendukung lainnya yakni peningkatan kekuatan diplomasi pertahanan. Republik Islam Iran meski senantiasa mendapat ancaman dari kekuatan regional dan trans-regional, namun berulang kali menekankan bahwa kerjasama untuk menciptakan stabilitas dan keamanan oleh negara kawasan tidak membutuhkan kehadiran pasukan asing dan hal ini dijadikan sebagai prioritas utama kebijakan regional Tehran.
Sektor pertanian memiliki tempat khusus dalam bidang ekonomi dan keamanan pangan. Menurut kebijakan pengembangan ekonomi, sektor pertanian dalam proses pertumbuhan dan perkembangan negara memikul tugas penting dan mendasar. Data terbaru yang dirilis oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) menunjukkan bahwa Iran termasuk salah satu produsen terbesar hasil pertanian di dunia. Iran tercatat sebagai produsen utama kacang pistachio dan produsen kedua kurma di dunia.
Sanksi minyak merupakan sebuah peluang – daripada menjual minyak mentah – untuk mengubahnya menjadi aneka produk petrokimia, bensin, dan produk-produk penting lainnya. Selain menciptakan nilai tambah dan memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga dapat mengekspor produk-produk tersebut dengan mudah ke pasar dunia. Ayatullah Khamenei menilai produksi kekayaan melalui sumber-sumber yang energi tak terbarukan seperti minyak adalah penipuan terhadap diri sendiri. Rahbar menegaskan, "Menjual produk mentah adalah warisan tahun-tahun sebelum kemenangan Revolusi Islam dan sangat disayangkan negara saat ini masih tetap terlena dan melakukannya. Harus ada upaya untuk menyelamatkan bangsa Iran dari jebakan ini."
Dengan memperhatikan pada teknologi canggih dan modern dunia, setiap barel minyak mentah diperdagangkan di pasar dunia minimal 220 dolar dan maksimal 1370 dolar. Republik Islam Iran jika memandang dari perspektif ekonomi muqawama, penjualan minyak mentah dapat dikurangi atau diputus sama sekali untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar. Landasan produksi kekayaan di dunia berhubungan dengan produksi sains dan teknologi serta pemanfaatannya untuk kemajuan, di mana Iran juga telah memperoleh kemajuan besar di kedua bidang tersebut.
Menurut statistik dan indeks dunia, Iran mampu memperoleh peringkat pertama produksi ilmu pengetahuan di kawasan Timur Tengah dan peringkat pertama perkembangan ilmu di dunia. Di tahun 2010 Iran, berhasil menorehkan rekor produksi ilmu pengetahuan dengan jumlah 18.319 bila dibandingkan dengan tahun 1990 dan 2000. Dalam tahun tersebut, jumlah makalah ilmiah di Iran tercatat 186 dan 1387 buah. Maraknya makalah ilmiah di pusat-pusat riset dibanding dengan tahun pertama kemenangan Revolusi Islam menunjukkan pesat lajunya sains di Iran.
Dalam ekonomi muqawama, langkah pertama adalah mengidentifikasi ancaman-ancaman ekonomi musuh dan titik-titik kelemahannya, dan kemudian mencari solusinya dan mencegah dampak-dampak sanksi terhadap masyarakat. Jika tujuan-tujuan ekonomi muqawama terealisasi, maka AS dan sekutunya akan memahami kesalahan besar mereka dalam menghukum Iran. Sebab, sanksi-sanksi itu akan berubah menjadi sebuah peluang berharga untuk kemajuan Republik Islam.(IRIB Indonesia)
Perang Suriah
Panglima Staf Tentara Iran Peringatkan Israel
Islam
Times-http://www.islamtimes.org/vdcd5j0xzyt0nk6.lp2y.htm
"Jika Rusia tidak mendeteksi rudal dan asal mulanya, pembohong
Zionis pasti akan menuduh Suriah menembakkan rudal itu sebagai upaya
membuka jalan larangan pelanggaran perang di wilayah tersebut",
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran Jenderal Hassan Firouzabadi
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran Jenderal Hassan Firouzabadi
memperingatkan Israel dan menyebut, setelah menerapkan kebijakan gila
perang di Timur Tengah, rezim itu melakukan tes rudal balistik terbaru
di tengah ketegangan yang terus meningkat dan retorika perang AS di
Suriah.
"Insiden ini sangat provokatif, dan tanda lain yang menunjukkan fakta bahwa rezim penjajah al-Quds adalah penghasut perang di kawasan itu," kata Jenderal Firouzabadi.
Dikatakannya, ketika Israel melihat AS dan negara Barat lainnya mengundurkan diri untuk menyerang Suriah, Israel justru menembakkan dua rudal di Laut Mediterania.
"Jika Rusia tidak mendeteksi rudal dan asal mulanya, pembohong Zionis pasti akan menuduh Suriah menembakkan rudal itu sebagai upaya membuka jalan larangan pelanggaran perang di wilayah tersebut", kata Jenderal Firouzabadi.
Ketegangan atas Suriah terus ditingkatkan sampai pada Selasa kemarin, Menteri Pertahanan Rusia mengatakan pihaknya mendeteksi jejak rudal balistik yang diluncurkan dari sebuah daerah di pusat Mediterania bergerak dalam arah timur wilayah itu.
Setelah mendapat kecaman dan kebingungan siapa yang bertanggung jawab, militer Israel akhirnya mengaku bertanggung jawab dan mengatakan peluncuran itu adalah uji coba rudal bersama dengan Amerika Serikat, demikian laporan dari BBC dan Reuters.
Kementerian Pertahanan Israel kepada Associated Press (AP) mengatakan, rudal itu diluncurkan, tapi tidak memberikan rincian detil lainnya.
Namun menurut, Rusia rudal itu jatuh ke laut, USA Today melaporkan.
Sebelumnya, kedutaan Rusia di Suriah mengatakan tidak ada tanda-tanda serangan rudal atau ledakan di Damaskus.
Menambah kebingungan, tweeted CBS News Selasa pagi melaporkan, seorang pejabat AS menegaskan, kapal atau pesawat AS tidak melucnurkan rudal.
Sementara itu, secara terpisah, juru bicara Pentagon Komandan Angkatan Laut William Speaks mengatakan,"Saya tidak bisa mengkonformasi mengenai laporan-laporan apa pun." AP melaporkan.
Namun, Menteri Pertahanan Rusia menolak berkomentar.
Moskow mengatakan peluncuran itu terdeteksi pada 10:16 waktu setempat (02:16 ET). [IT/Onh/Ass]
"Insiden ini sangat provokatif, dan tanda lain yang menunjukkan fakta bahwa rezim penjajah al-Quds adalah penghasut perang di kawasan itu," kata Jenderal Firouzabadi.
Dikatakannya, ketika Israel melihat AS dan negara Barat lainnya mengundurkan diri untuk menyerang Suriah, Israel justru menembakkan dua rudal di Laut Mediterania.
"Jika Rusia tidak mendeteksi rudal dan asal mulanya, pembohong Zionis pasti akan menuduh Suriah menembakkan rudal itu sebagai upaya membuka jalan larangan pelanggaran perang di wilayah tersebut", kata Jenderal Firouzabadi.
Ketegangan atas Suriah terus ditingkatkan sampai pada Selasa kemarin, Menteri Pertahanan Rusia mengatakan pihaknya mendeteksi jejak rudal balistik yang diluncurkan dari sebuah daerah di pusat Mediterania bergerak dalam arah timur wilayah itu.
Setelah mendapat kecaman dan kebingungan siapa yang bertanggung jawab, militer Israel akhirnya mengaku bertanggung jawab dan mengatakan peluncuran itu adalah uji coba rudal bersama dengan Amerika Serikat, demikian laporan dari BBC dan Reuters.
Kementerian Pertahanan Israel kepada Associated Press (AP) mengatakan, rudal itu diluncurkan, tapi tidak memberikan rincian detil lainnya.
Namun menurut, Rusia rudal itu jatuh ke laut, USA Today melaporkan.
Sebelumnya, kedutaan Rusia di Suriah mengatakan tidak ada tanda-tanda serangan rudal atau ledakan di Damaskus.
Menambah kebingungan, tweeted CBS News Selasa pagi melaporkan, seorang pejabat AS menegaskan, kapal atau pesawat AS tidak melucnurkan rudal.
Sementara itu, secara terpisah, juru bicara Pentagon Komandan Angkatan Laut William Speaks mengatakan,"Saya tidak bisa mengkonformasi mengenai laporan-laporan apa pun." AP melaporkan.
Namun, Menteri Pertahanan Rusia menolak berkomentar.
Moskow mengatakan peluncuran itu terdeteksi pada 10:16 waktu setempat (02:16 ET). [IT/Onh/Ass]
Teknologi Militer Iran
Republik Islam Iran pada hari Selasa (3/9/13) meluncurkan sistem telekomunikasi pertahanan udara jarak jauh buatan dalam negeri dalam upacara peresmian yang dihadiri oleh beberapa komandan Angkatan Bersenjata Iran.
Sistem ini mengirimkan informasi ke atmosfer dan menerima refleksi dan menggunakannya sebagai salah satu lapisan komunikasi pertahanan udara. Sistem buatan dalam negeri ini dimaksudkan untuk meng-kode-kan data dan informasi penting.
Sejumlah komandan yang hadir dalam upacara peresmian itu termasuk Komandan Pangkalan Pertahanan Udara Khatam ol-Anbia Brigadir Jenderal Farzad Esmayeeli.
Dalam jumpa pers, Jenderal Esmayeeli mengatakan, Iran sekarang berdiri di antara 5 sampai 10 negara di dunia yang memiliki sistem seperti ini. Dan saat ini, Angkatan Bersenjata Iran menggunakan sistem penting buatan dalam negeri untuk membela negaranya.
Dalam pernyataannya pada Minggu, Esmayeeli mengumumkan, Iran sedang mempertimbangkan rencana untuk mengembangkan sistem pertahanan udaranya berdasarkan ancaman yang mungkin terhadap negara Iran dalam lima tahun ke depan.
"Hari ini, pertahanan udara bergerak maju bersamaan dengan ancaman, dan apa yang terjadi di sekitar kita menunjukkan bahwa kita harus membuat pertahanan udara yang siap menghadapi ancaman itu, tidak hanya saat ini tapi lima tahun ke depan," kata Esmayeeli di Tehran.
Dia juga mengecilkan dampak dari sanksi Barat terhadap kemajuan industri pertahanan Iran, dan menyebut, pertahanan udara Iran saat ini sedang melaksanakan 15 proyek operasional penting.
Juga pada hari yang sama, komandan senior Iran lain menyebut, sistem pertahanan udara negara itu membuat kemajuan pesat sesuai dengan kemajuan yang dibuat dalam jet tempur hit-tech musuh.
"Jet tempur musuh tumbuh lebih maju, Iran juga memajukan dan membuat lebih canggih pertahanan udaranya," jelas Komandan Pertahanan Udara Zona Timur Iran Malek Ali Asadifar di kota Timur Birjand pada hari Minggu (1/9).[IT/r]
Mantan anggota Kongres AS Ron Paul mengatakan rencana Amerika Serikat menyerang Suriah karena Damaskus merupakan pintu masuk intervensi militer ke Iran.
"Seluruh teori kita tentang Suriah kerana alasan untuk interveni dan masuk ke Iran, " kata Paul dalam sebuah wawancara dengan CNN , Selasa 03/09/13.
"Pada saat yang sama, kita telah mempersulik kondisi. Bahkan kita mempersulit bagi orang-orang yang ingin hidup damai, dan sekarang kita hanya mengaduk di Suriah, tegasnya.
Presiden AS Barack Obama, yang sedang menunggu otorisasi kongres untuk menyerang Suriah, memenangkan dukungan penting dari para pemimpin kongres pada hari Selasa 04/09/13, untuk melancarkan serangan militer terhadap Suriah.
Ron Paul juga mengkritik pemerintahan Obama atas campur tangan dalam urusan internal Suriah.
"Ini adalah perang sipil, dan tidak ada cara bagi Anda untuk mengetahuinya. Saya mencium bau Irak dalam hal ini. Saya ingat jaminan yang telah diberikan kepada kita 10 tahun yang lalu dan anggota Kongres mempercayainya.
"Tapi biarkan, saya memberitahu Anda, situasi saat ini jauh berbeda. Rakyat Amerika berpihak pada saya tentang masalah ini, dan hari ini dan ada lebih banyak orang di Kongres yang mengatakan perang Suriah tidak masuk akal, tambahnya.
"Para komandan militer mengatakan, kita bahkan tidak punya uang untuk ini, dan jika perang terjadi berarti lebih banyak uang akan terkuras dari perekonomian kita, " tegas Paul.
Sementara itu, jajak pendapat terbaru menunjukkan rakyat Amerika menentang perang Suriah.(IT/TGM)
Ekonomi China bangkit setelah negara berpenduduk 1,2 milyar jiwa itu berhasil menumpas ratusan koruptor yang telah menggerogoti keuangan negara hanya dalam beberapa tahun.
Untuk menakut-nakuti abdi negara-nya agar tidak melakukan korupsi, pemerintah China setiap kali melakukan eksekusi hukuman tembak mati para koruptor selalu dilaksanakan di hadapan ribuan publik dan diperintahkan untuk ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi setempat secara berulang-ulang dalam beberapa bulan.
Bukan hanya itu, selain menyita hartanya, pemerintah China juga mengambil alih beberapa organ tubuh penting para Koruptor yang dihukum mati seperti, mata, hati, jantung, liver dan ginjal untuk di donasikan kepada warga negaranya yang membutuhkan.
Jenazah setiap koruptor yang telah di eksekusi disana diserahkan kepada keluarganya sudah tanpa ke 5 organ tubuh tersebut. Dampaknya, kini China berhasil bangkit memperkuat ekonomi rakyatnya dan menjadi macan ekonomi di kawasan Asia dan Eropa.
Kekuatan ekonomi baru China yang disertai kecanggihan alat pertahanan militernya telah dianggap sebagai ancaman serius bagi AS dan Israel serta negara-negara Eropa. Menurut sahabat muslim sekalian... Indonesia perlu tidak meniru apa yang dilakukan oleh China dalam menumpas para koruptornya? Oia, sebelum jawab, mohon di"Like" dan di "Share" ya. Supaya banyak warga negara kita yang banyak tahu dan mungkin saja mulai diaplikasikan dari mulai daerah-daerah kecil. Dan bertahap dijalankan dicakupan yang lebih luas. Aaaamiin.
LKS4Presiden RI siap melakukan percontohan diatas kelak jika dipercayakan menjadi Presiden RI pada 2014 demi perwujudan UUD 1945 dan Pancasila yaitu: mewujudkan Keadilan, Kesejahteraan dan kemakmukmuran bagi Rakyat NKRI
Republik Rakyat China kini semakin mengkhawatirkan posisi Amerika
Serikat (AS) dalam persaingan ekonomi global dan juga kekuatan
militernya. Ekonomi China bangkit setelah negara berpenduduk 1,2 milyar
jiwa itu berhasil menumpas ratusan koruptor yang telah menggerogoti
keuangan negara hanya dalam beberapa tahun.
Untuk menakut-nakuti abdi negara-nya agar tidak melakukan korupsi, pemerintah China setiap kali melakukan eksekusi hukuman tembak mati para koruptor selalu dilaksanakan di hadapan ribuan publik dan diperintahkan untuk ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi setempat secara berulang-ulang dalam beberapa bulan.
Bukan hanya itu, selain menyita hartanya, pemerintah China juga mengambil alih beberapa organ tubuh penting para Koruptor yang dihukum mati seperti, mata, hati, jantung, liver dan ginjal untuk di donasikan kepada warga negaranya yang membutuhkan. Jenazah setiap koruptor yang telah di eksekusi disana diserahkan kepada keluarganya sudah tanpa ke 5 organ tubuh tersebut.
Dampaknya, kini China berhasil bangkit memperkuat ekonomi rakyatnya dan menjadi macan ekonomi di kawasan Asia dan Eropa. Kekuatan ekonomi baru China yang disertai kecanggihan alat pertahanan militernya telah dianggap sebagai ancaman serius bagi AS dan Israel serta negara-negara Eropa.
Menurut sahabat muslim sekalian... Indonesia perlu tidak meniru apa yang dilakukan oleh China dalam menumpas para koruptornya?
Oia, sebelum jawab, mohon di"Like" dan di "Share" ya. Supaya banyak warga negara kita yang banyak tahu dan mungkin saja mulai diaplikasikan dari mulai daerah-daerah kecil. Dan bertahap dijalankan dicakupan yang lebih luas. Aaaamiin.
Al Furqan – Senin, 6 Rabiul Akhir 1431 H / 22 Maret 2010 09:53 WIB
http://www3.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/arief-b-iskandar-alumnus-unpad-menakar-kekuatan-ekonomi-cina.htm#.U1qQgKL3tkg
Banyak pengamat menilai, sebentar lagi Cina akan menjadi salah satu
negara adidaya dunia, yang bahkan bisa mengancam AS, baik dari segi
militer dan terutama dari segi ekonomi. Secara militer, menurut Robyn
Meredith dalam The Elephant and the Dragon (Quacana, 2008) hingga 2025,
Cina akan memiliki sumberdaya pertahanan sebanding dengan yang digunakan
militer AS kini.
Hal itu bisa dilihat dari anggaran pertahanan yang dikeluarkan Pemerintah Cina. Pada awal 2006, misalnya, Cina telah mengeluarkan anggaran sebesar 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 560 triliun yang dialokasikan untuk membangun angkatan bersenjatanya. Pada tahun 2008 Cina menganggarkan 121,9 miliar dolar AS (Rp 1219 triliun; 8,28% APBN) (Bandingkan dengan Indonesia yang hanya menganggarkan 3,6 miliar dolar AS [Rp 36 triliun; 0,24% APBN] pada tahun yang sama.
Adapun secara ekonomi, dengan pertumbuhan ekonomi selalu di atas 10 persen (sebelum krisis global), Pemerintah Cina berhasil mengentaskan kemiskinan sekitar 200 juta penduduknya. Pada 2004, pendapatan perkapita penduduk Cina adalah 1290 dolar AS.
IMF memperkirakan Cina akan menyumbang sekitar dua pertiga pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2008-2010, sementara perekonomian AS justru menyusut 2.6% pada tahun yang sama dengan angka pengangguran yang merangkak naik menjadi 9.5%—angka tertinggi sejak 1983. Banyak pihak menilai kesejahteraan ekonomi Cina akan mengungguli Amerika.
Belum lagi besarnya produk domestik bruto (GDP) yang menunjukkan bahwa Cina menjadi negara terbesar ketiga setelah AS dan Jepang, serta tidak menutup kemungkinan untuk menggeser posisi Jepang menjadi nomor dua setelah AS.
Naiknya Deng Xiaoping ke tampuk kepemimpinan Cina pada 1978 membawa sejumlah perubahan besar di dalam negeri Cina. Langkah pertama yang dilakukan Deng Xiaoping adalah persiapan kerangka kekuasaan agar dapat menjalankan Empat Modernisasi:
Modernisasi ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan pertahanan-keamanan. Langkah-langkah berani yang sudah dimulai sejak 1976 tersebut diresmikan dalam Sidang Komite Pusat Partai Komunis Cina (PKC) ke-11 pada Desember 1978. Sidang tersebut dianggap sebagai turning point yang mengawali suatu proses demistifikasi Mao (Soebagio, 1990).
Titik penting lainnya dalam melihat “perubahan” Cina ini adalah naiknya Hu Jintao menggantikan Jiang Zemin, yang berkuasa di Cina pasca Deng, pada Kongres PKC ke-16.
Secara formal, Kongres PKC ke-16 menggarisbawahi kesadaran akan Marxisme serta ide-ide Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Pada waktu yang sama juga dibuat kebijakan xiaokang, yaitu konsep pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi.
PKC kemudian hadir dengan slogan politik yang baru, yang berusaha untuk menyediakan basis ideologi bagi perannya dan memberikan harapan kepada sejumlah kalangan yang menginginkan pertumbuhan ekonomi pasar, dukungan integrasi terhadap ekonomi dunia serta menikmati akses terhadap jaringan komunikasi global.
Pilihan pragmatis Cina ini ternyata membuahkan hasil. Hasil pembangunan ekonomi Cina terus menunjukkan angka yang mengesankan. Cina juga berhasil menunjukkan daya tahan ekonomi negaranya ketika seluruh negara terguncang akibat krisis keuangan global tahun 2008.
Selama sembilan bulan pertama tahun 2009, perekonomian Cina tumbuh sebesar 7,7%. Cina juga sukses menjalankan program stimulus ekonomi. Bahkan Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, mengungkapkan bahwa krisis global saat ini hanya dapat diselesaikan oleh G-2, yaitu AS dan Cina.
Sebelum dilanda krisis global, Cina telah membukukan pertumbuhan tahunan dua digit selama 2003-2007. Setelah pertumbuhannya merosot menjadi 6,1 persen pada kuartal pertama tahun 2009 (laju paling lambat dalam 20 tahun), Cina pulih pada kuartal kedua dengan tumbuh 7,9 persen dan diharapkan melebihi delapan persen untuk keseluruhan 2009. Pembalikan Cina diperkuat oleh paket stimulus senilai empat triliun yuan (586 miliar dolar AS) dan pinjaman bank dalam paruh pertama mencapai 7,4 triliun yuan (Berita2.com, 19/10/2009).
Sekarang, Cina merupakan kekuatan ekonomi yang luar biasa; pusat industri manufaktur di dunia, penyedia dana paling terkemuka, investor utama di seantero dunia dari Afrika sampai Amerika Latin, serta sumber riset dan pengembangan utama yang semakin luas.
Pemerintah Cina berada di puncak cadangan devisa yang mencengangkan—lebih dari US$ 2 triliun. Tidak ada satu bisnis di mana pun di dunia yang tidak merasakan dampak pengaruh Cina, baik sebagai pemasok barang-barang yang murah maupun, yang lebih mengancam lagi, sebagai pesaing yang mahatangguh.
Semua ini menimbulkan pertanyaan, akankah Cina pada akhirnya bakal menggantikan Amerika Serikat sebagai hegemon dunia, peletak dan penentu arah ekonomi global?
Faktanya, kemajuan ekonomi Cina yang pesat bukan tanpa dampak. Kesenjangan terjadi di Cina antara kaya dan miskin serta antara kota dan desa yang semakin lebar.
Kesenjangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, penanganan buruh migran yang buruk, tindakan kekerasan dan kebrutalan serta fitnah terhadap kaum minoritas kini menjadi isu nasional di Cina.
Pertumbuhan ekonomi Cina memang selalu di atas 10 persen sejak akhir 2005. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina turun menjadi 9,0 persen pada kuartal ketiga 2008 akibat krisis keuangan global yang mulai terasa dampaknya di negara itu. Sejak itu, penurunan pertumbuhan ekonomi merupakan yang pertama kali terjadi.
Hal itu merupakan indikasi paling kuat bahwa ekonomi Cina juga ikut terpengaruh memburuknya ekonomi internasional saat ini. ”Di Cina, setiap pertumbuhan di bawah 10 persen merupakan sebuah sinyal bahwa ekonomi menjadi melempem,” kata Ren Xianfang, ekonom di firma konsultan Global Insight yang berbasis di Beijing.
Sampai bulan November 2008 sekitar 4,85 juta tenaga kerja dari kota-kota wilayah industri di negara Tirai Bambu itu harus kembali ke kampung halamannya. Di tempat asal para pekerja itupun tidak tersedia pekerjaan yang dapat menampung mereka. Secara keseluruhan 6,7 juta orang telah kehilangan pekerjaan. Selain itu 670 usaha kecil telah gulung tikar menjelang akhir tahun ini.
Menurut banyak kalangan di Cina, angka PHK itu jauh lebih besar karena yang tercatat hanya dari daerah perkotaan. Yang paling terkena dampak adalah tenaga kerja baru tamatan perguruan tinggi. Tingkat pengangguran sarjana sudah mencapai 12 persen. Sebanyak 1,5 juta orang tidak punya pekerjaan, ditambah 6,1 juta yang akan memasuki pasar kerja tahun depan (Antara, 21/12/2008).
Cina adalah satu-satunya negara di dunia yang jika pertumbuhannya kurang dari 8 persen dari tahun ke tahun dianggap berbahaya, karena ia bakal memicu keresahan sosial yang menunjukkan dengan gamblang kerapuhan mendasar sistem yang berlaku di Cina. Padahal sebagian besar negara lainnya di dunia cuma bisa bermimpi mengalami pertumbuhan sebesar itu. Sifat rezim politik otoriter itulah yang merupakan titik kerapuhan sistem yang berlaku di Cina.
Tentu semakin sulit bagi Cina mempertahankan laju pertumbuhan yang sudah terbiasa dialaminya pada tahun-tahun terakhir ini. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Cina saat ini terutama bersandar pada surplus perdagangan yang besar. Semua ini tidak bisa dipertahankan. Cepat atau lambat ia akan memicu konfrontasi yang serius dengan Amerika (dan Eropa). Tidak ada jalan keluar dari dilema ini. Cina harus menerima laju pertumbuhan yang lebih lamban (Dani Rodrik, Koran Tempo, 18/1/2010).
Ancaman Kebangkrutan
Akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih detail. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001). Buku ini menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi Cina saat ini, yang semua ini akan mendorong keruntuhan Cina.
Yang pertama diangkat Chang adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina, petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantor-kantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina.
Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalamipemutusan hubungan kerja di kota. Memang, privatisasi perusahaan milik negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani.
Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina.
Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di kota. Karena itu, munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat ini sungguh mudah dipahami. Meski demikian, Chang tidak hanya bersandar pada satu data ini saja untuk menunjukkan kerapuhan Cina.
Data kedua yang jauh lebih mendasar adalah fakta bahwa bank-bank Cina saat ini dalam keadaan insolvent. Ini yang amat berbahaya bagi ekonomi Cina secara keseluruhan. Ramalan Chang, entah bagaimana, entah kapan, seandainya rakyat Cina tahu keadaan ini, lalu mengadakan rush terhadap bank-bank, maka tamatlah ekonomi Cina, sekaligus politik Cina.
Persoalan dengan bank-bank di Cina (semua milik negara) adalah, bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita perusahaan-perusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di seluruh Cina. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen perusahaan milik negara itu ada dalam keadaan bangkrut.
Mengingat begitu besar dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebangkrutan perusahaan milik negara, Pemerintah Cina tidak mempunyai pilihan lebih baik selain menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta. Pemerintah lebih memilih "stabilitas politik" ketimbang membiarkan perusahaan itu bangkrut atau diprivatisasi.
Karena itu, pertanyaan kritis yang sering dilemparkan oleh Gordon Chang dan kawan-kawannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini dapat dipertahankan dengan situasi perbankan yang amburadul seperti itu. Sulit untuk tetap memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan terustumbuh dengan angka tujuh persen pertahun.
Pendapat Chang itu sejajar dengan yang dikemukakan oleh laporan WorldBank yang ditulis tahun 1997, berjudul, China 2020. Laporan yang sarat dengan angka statistik ini mula-mula menggambarkan prestasi ekonomi Cina yang luar biasa.
Misalnya, untuk melipatduakan income percapita, Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara Inggris membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun.
Namun, World Bank cepat memberi peringatan adanya enam masalah besar yang menghadang Cina saat ini, yaitu transisi yang tidak lengkap, lingkungan yang rusak, tak ada sumber pendapatan yang tetap, melebarnya jurang kaya dan miskin, tidak cukup persediaan makan, dan sengketa perdagangan dengan negara-negara lain.
Enam masalah itu sebenarnya tidak khas Cina, banyak negara sedang berkembang juga menghadapi masalah-masalah itu. Ada masalah lain yang sifatnya jangka panjang, dan ini menyangkut hal-hal yang sifatnya mendasar. Dikatakan, tahun 2020 Cina akan mengalami kekurangan tanah, modal maupun buruh terdidik. Belum lagi masalah-masalah berat yang muncul bila nanti Cina benar-benar telah terintegrasi dengan sistem perdagangan internasional di bawah WTO.
Dari bahasan yang amat singkat ini tampak, bahwa yang terjadi saat ini di Cina sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang tampak dari luar. World Bank condong mengambil pelajaran dari pengalaman Brasil dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi antara tahun 1950-1980, lalu jatuh pada dekade berikutnya. Bila tidak hati-hati, Cina akan mengalami hal serupa, dan hal ini tidak akan ditolerir oleh rakyat yang selama ini selalu diberi mimpi-mimpi akan masa depan gemilang (I Wibowo, 2009).
Tak Akan Pernah Menjadi Adidaya
Menurut Adnan Khan dalam tulisannya di Khilafah.com, model pembangunan Cina menunjukkan bahwa negara manapun akan mampu untuk berkembang ke arah manapun.
Namun, suatu pembangunan pada hakikatnya adalah kemampuan untuk memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas yang berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luar negeri, energi, integrasi, pemerintahan dan relasi pria dan wanita.
Dengan pandangan hidup yang khas, suatu negeri akan menyelesaikan semua isu secara konsisten, terarah dan menciptakan kemajuan. Tanpa ideologi, suatu negeri mungkin akan maju, tetapi akan mendapatkan dirinya dalam suatu dilema yang tidak bisa ia selesaikan.
Dalam 5000 tahun sejarahnya, Cina tidak pernah menjadi kekuatan adidaya dan tidak pernah mempengaruhi politik internasional. Bahkan ketika Cina mengadopsi Komunisme, ia tidak mampu mengembannya lebih jauh dari batas negerinya sendiri apalagi mempengaruhi negara lain. Selama 5000 tahun, Cina lebih sering berperang dengan dirinya sendiri dan sibuk untuk menyatukan wilayah.
Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.
Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS.
Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS, tetapi sekadar usaha mendapatkan akses pada energi minyak, karena Cina akan semakin bergantung padanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.
Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi. Tanpa ideologi yang jelas, Cina tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya secara konsisten.
Secara domestik Cina memang diperintah oleh ideologi Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai (PKC).
Akan tetapi, Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Pada saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dan AS dalam hal ini berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten terhadap wilayah-wilayah tersebut.
Walhasil, sampai pada satu titik Cina memutuskan apa ideologi sekaligus jatidirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda. Pada akhirnya, Cina tidak akan pernah mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun! []
Arief B. Iskandar, Alumnus UNPAD, Redaktur Pelaksana Media Politik dan Dakwah AL-WAIE, tinggal di Bogor.
Apendiks:
Susutnya Kekayaan Orang-orang Terkaya di Cina Saat Krisis
Krisis keuangan global yang ditandai dengan amburadulnya bursa saham ikut menyeret lunturnya kekayaan para konglomerat. Kekayaan konglomerat di Cina pun susut seiring kejatuhan bursa saham.
Berdasarkan survei yang dipublikasi Forbes, Kamis (30/10/2008), disebutkan kekayaan 400 konglomerat Negeri Tirai Bambu, Cina, anjlok menjadi USD173 miliar dari USD288 miliar. Bahkan 40 konglomerat papan atas harus mengalami penyusutan kekayaan hingga 57 persen atau USD68 miliar.
Data Forbes juga menyatakan akibat krisis, jumlah miliader di negeri itu jumlah turun dari 66 orang pada tahun lalu, kini tinggal 24 miliader.
Konglomerat real estate Yang Huiyan yang tahun lalu disebut sebagai orang terkaya, pada tahun ini harus mengalami kerugian paling besar. Kekayaannya susut USD14 miliar menjadi USD2,2 miliar dan dia harus puas di rangking tiga daftar orang kaya di Cina.
Bos Nine Dragons Paper Yan Cheung, yang pada Maret 2007 lalu masuk daftar orang terkaya di Cina, kini juga mengalami nasib kurang bagus. Jika pada tahun lalu dia sempat masuk daftar 10 wanita miliader di dunia, kini kekayaannya tinggal USD265 juta.
Konglomerat lainnya yang alami kemerosotan kekayaan antara lain Larry Yung yang harus menanggung kerugian dari Citic Pacific hingga USD2 miliar. Cheung Chung Kiu, bos C.C, harus kehilangan kekayaan hingga 98 persen. Jika tahun lalu Cheung masuk rangking 26, tahun ini dia harus rela terdepak dari daftar orang terkaya di Cina.
Kemerosotan para konglomerat Cina itu memang bagian dari imbas lesunya perekonomian dunia. Negeri itu juga tidak luput dari himpitan krisis global. "Ekspor kelihatannya masih akan memburuk. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi 4-5 persen sudah sangat bagus," ujar Horst Geicke, yang mengelola dana investasi USD6 miliar melalui Vina Capital Hong Kong.
Stimulus ekonomi yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Wen Jiabao tidak akan cukup untuk mengompensasi penurunan ekspor. Tak heran jika Merrill Lynch menurunkan proyeksi target pertumbuhan ekonomi Cina pada 2009 di kisaran 8,5-9 persen. (Okezone.com, 30/10/2008).
http://muqowama.wordpress.com/maalim-fit-thoriq-petunjuk-jalan/
Saat ini umat manusia sedang berada di tepi jurang kehancuran. Bukan karena faktor ancaman kepunahan yang ada di atas kepala mereka. Tapi karena kebangkrutannya dalam dunia “nilai” tempat kehidupan manusia dapat berkembang dengan sehat dan meningkat dengan baik. Hal ini amat jelas tampak di dunia Barat, yang tidak lagi dapat memberikan “nilai” bagi umat manusia. Bahkan ia tidak lagi memiliki alasan yang membuat dirinya merasa berhak untuk tampil di dunia. Hal itu setelah Demokrasi di sana berakhir pada keadaan yang menyerupai kebangkrutan, karena ia mulai meminjam –secara perlahan– dan mengadopsi sistem yang dianut oleh blok Timur, terutama dalam sistem ekonomi! Di bawah nama Sosialisme!
Demikian juga halnya dengan blok Timur sendiri. Teori-teori sosial, terutama Marxisme, yang pada awalnya telah menarik banyak orang di Timur –juga di Barat– karena melihatnya sebagai aliran pemikiran yang mengandung unsur ideologi yang menjanjikan, kini telah mengalami kemunduran dari segi ‘pemikiran’ dengan jelas. Sehingga, saat ini teori-teori tersebut hampir terbatas pada aspek ‘negara’ dan perangkat pendukungnya saja. Ia sudah amat jauh dari dasar-dasar aliran pemikirannya. Sebab, secara umum ia bertentangan dengan fithrah manusia dan kebutuhan-kebutuhannya. Ia pun hanya dapat hidup di lingkungan sosial yang kacau dan hancur! Atau di lingkungan yang sebelumnya dikuasai oleh sistem diktator dalam waktu yang lama! Bahkan dalam lingkungan sosial seperti itu pun, Marxisme telah mempertontonkan kegagalan material-ekonominya. Seperti yang diperlihatkan oleh Prusia –sebuah contoh masyarakat yang mengaplikasikan sistem komunisme– yang mengalami kekurangan bahan pangan, padahal sebelumnya produk pangannya selalu surplus, hingga pada masa kekaisaran sekalipun. Akibanya mereka harus mengimpor gandum dan bahan-bahan pangan dari negara lain. Mereka menjual simpanan emasnya untuk membeli bahan pangan yang mereka butuhkan. Hal tersebut terjadi karena kegagalan perkebunan komunis yang mereka laksanakan, dan gagalnya sistem yang bertentangan dengan fithrah dasar manusia tersebut.
Oleh karena itu, umat manusia memerlukan kepemimpinan yang baru!
Kepemimpinan orang Barat terhadap umat manusia hampir punah. Bukan karena peradaban Barat telah bangkrut secara material, atau melemah dari segi kekuatan ekonomi dan militer. Tapi karena sistem barat telah berakhir perannya, sebab ia tidak lagi memiliki kekayaan ‘nilai’ yang membuatnya layak untuk memimpin.
Harus ada kepemimpinan yang tidak hanya mampu mempertahankan dan mengembangkan peradaban material yang telah dicapai oleh umat manusia saat ini, melalui kejeniusan Eropa dalam menciptakan kreasi material, tapi juga mampu memberikan umat manusia nilai-nilai baru yang serius dan sempurna –dibandingkan dengan apa yang dikenal sebelumnya oleh umat manusia– dan dengan metode yang genuine, positif dan realistis sekaligus…
Demikian juga dengan “nasionalisme” yang timbul pada masa itu, dan juga perkumpulan masyarakat lokal, telah menjalankan perannya selama masa itu. Namun dia juga tidak lagi memiliki kekayaan ‘nilai’ yang baru..
Kemudian sistem individualisme dan komunisme juga gagal.
Maka datanglah masanya bagi Islam dan umat Islam untuk berperan, pada saat umat manusia sedang amat membutuhkan, kebingungan dan mengalami kekacauan. Datanglah masa peran kepemimpinan Islam, yang tidak mengingkari kreatifitas material di bumi, karena ia melihatnya sebagai tugas manusia, semenjak Allah SWT memberikan amanah kekhalifahan di atas muka bumi kepadanya. Islam menilainya –dengan syarat-syarat khusus– sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, dan realisasi tujuan keberadaan manusia.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Al Baqarah: 30
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Adz Dzaariyaat: 56
Datanglah masa berperannya “umat Islam” untuk mewujudkan kehendak Allah SWT dalam pengutusan mereka kepada manusia:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ali Imran: 110
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Al Baqarah: 143.
* * *
Tetapi Islam tidak dapat menjalankan perannya kecuali jika ia tercermin dalam suatu masyarakat atau umat. Karena manusia –khususnya di zaman ini- tidak mau mendengarkan suatu aqidah semata, yang tidak mempunyai bukti realistis dalam kehidupan nyata. Sementara keberadaan “Umat Islam” bisa dikatakan telah terputus semenjak beberapa abad yang lalu. Umat Islam bukanlah ‘tanah’ yang pernah menjadi tempat hidupnya Islam. Ia juga bukan ‘bangsa’ yang nenek-moyang mereka hidup dengan sistem Islam pada beberapa abad yang lalu dalam sejarah. Namun “umat Islam” adalah sekelompok manusia yang kehidupan mereka, konsepsi, sistem, nilai dan ukuran-ukuran mereka seluruhnya bersumber dari manhaj –metode- Islam. Umat ini, dengan karakteristik seperti ini, telah punah semenjak terputusnya penegakan hukum dengan syari’at Allah dari seluruh muka bumi.
Kita harus mewujudkan kembali keberadaan ‘umat’ ini, sehingga Islam dapat menjalankan perannya yang ditunggu-tunggu dalam memimpin manusia..
Kita harus ‘membangkitkan’ umat itu, yang telah terkubur oleh tumpukan berbagai generasi, tumpukan konsepsi-konsepsi, kondisi yang selalu berubah, dan sistem-sistem yang beragam, yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Islam, tidak pula dengan manhaj Islam. Meskipun tetap ada mengklaim bahwa ia masih berdiri dalam apa yang dinamakan dengan ‘Dunia Islam’!
Aku mengetahui bahwa jarak antara usaha untuk ‘membangkitkan’ tersebut dengan masa menerima ‘tampuk kepemimpinan’ itu masih jauh sekali. Karena umat Islam telah punah dari ‘wujud’nya dan dari ‘pandangan mata’ semenjak lama. Sementara kepemimpinan manusia telah dipegang oleh pemikiran lain, bangsa lain, pandangan hidup yang lain, dan dengan bentuk yang lain, dalam masa yang lama. Kreatifitas Eropa pada masa itu telah menciptakan kekayaan yang besar dalam bentuk ‘ilmu pengetahuan’, ‘budaya’, ‘sistem’ dan ‘produk material’. Ini adalah capaian yang besar, yang membawa manusia ke puncaknya. Sehingga untuk menggantikan peran tersebut tentulah tidak mudah. Apalagi apa yang dinamakan dengan ‘dunia Islam’ hampir bisa dikatakan masih kosong dari capaian-capaian seperti itu!
Namun demikian, meskipun kondisinya demikian, kita tetap harus mengusahakan ‘kebangkitan Islam’, sejauh apapun jarak yang merentang antara usaha pembangkitan dengan masa penyerahan tampuk kekuasaan kepemimpinan manusia itu. Usaha untuk membangkitan Islam kembali adalah langkah pertama yang tidak mungkin diabaikan!
* * *
Agar usaha kita ini menjadi jelas, kita harus mengetahui –secara terbatas—syarat-syarat pada umat ini untuk bisa memimpin manusia. Sehingga kita tidak salah dalam memilih unsur-unsur kelengkapan syarat-syarat tersebut sebagai langkah awal usaha pembangkitan ini..
Sekarang umat ini tidak mampu –dan ia memang tidak dituntut demikian– untuk menunjukkan kepada manusia suatu kemajuan luar biasa dalam bidang kreasi material, yang menjadikan orang lain tunduk kepadanya, serta mampu membuatnya memegang kepemimpinan internasional. Sebab, kejeniusan Eropa telah mendahului banyak sekali kemajuan dalam bidang ini. Sehingga, dalam beberapa abad mendatang, tidak dapat diharapkan adanya kemajuan material lain yang dapat menandinginya!.
Oleh karena itu, kita harus menengok sisi lainnya! Yaitu sisi yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat ini!
Ini tidak berarti bahwa kita menafikan kreatifitas material. Kita tetap wajib untuk mengusahakan capaian dalam bidang itu. Bukan karena ia adalah syarat agar kita bisa maju menjadi pemimpin umat manusia pada era kontemporer ini. Tapi karena ia adalah hal yang mendesak sebagai kebutuhan untuk keberadaan kita, serta merupakan kewajiban yang diharuskan oleh ‘weltanschauung Islam”, yang memberikan amanah kekhalifahan di atas muka bumi kepada manusia. Islam pun menilai kreatifias material tersebut –dengan syarat tertentu– sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, serta sebagai realisasi tujuan keberadaan manusia.
Dengan demikian, harus ada sisi lain tersebut –selain kreatifitas material—sebagai syarat untuk bisa memimpin manusia. Syarat ini tidak lain adalah “‘aqidah” dan “manhaj” Islam yang memberikan kemungkinan bagi manusia untuk mempertahankan capaian kejeniusan materialnya, di bawah pengawasan konsep yang memenuhi kebutuhan fithrah manusia sebagaimana kreatifitas material. Aqidah serta manhaj itu juga dapat tercermin dalam kelompok manusia, atau dengan kata lain dalam masyarakat Islam.
* * *
Dunia saat ini, seluruhnya hidup dalam “kejahiliyyahan”, dari segi dasar yang menjadi landasan pokok unsur-unsur kehidupan dan sistem-sistemnya. Kejahiliyyahan yang sama sekali tidak terkurangi oleh kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh capaian-capaian material dan produk kreatifitas yang mengagumkan ini!
Kejahiliahan ini berpijak pada pelanggaran terhadap kekuasaan Allah SWT di atas muka bumi, dan pelanggaran terhadap hak ketuhanan Allah yang paling khusus, yaitu al-Hakimiah (otoritas kekuasaan legislatif). Mereka menyandarkan otoritas ini kepada manusia. Sehingga sebagian dari mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan. Bukan dalam bentuk primitif yang sederhana, yang dikenal pada zaman kejahiliyyahan zaman lampau, namun dalam bentuk klaim kepemilikan hak membuat pandangan hidup, nilai-nilai, hukum, undang-undang, sistem dan institusi yang lepas dari manhaj Allah SWT bagi kehidupan ini, serta dalam hal yang tidak diizinkan oleh Allah SWT..
Pelanggaran terhadap kekuasaan Allah ini menyebabkan pelanggaran terhadap hak hamba-hamba-Nya. Penistaan “umat manusia” secara umum yang terjadi pada sistem Komunisme, serta kezaliman yang menimpa “individu” dan bangsa yang dilakukan oleh kekuasaan kapital dan kolonial dalam sistem “Kapitalisme”, semua itu adalah hasil dari pelanggaran terhadap kekuasaan Allah SWT, dan pengingkaran terhadap kemuliaan manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia!
Di sini, manhaj Islam mempunyai konsep yang khas. Dalam sistem selain sistem Islam, manusia saling menyembah satu sama lain –dalam berbagai bentuk– . Hanya dalam manhaj Islamlah seluruh manusia terbebaskan dari penyembahan satu sama lain, dan hanya menyembah Allah SWT semata, menerima perintah dari Allah SWT semata, dan tunduk kepada Allah SWT. semata.
Di sinilah perbedaan mendasar antara Islam dengan konsep lainnya. Manhaj Islam inilah –dengan segala hasilnya yang mengakar kuat pada kehidupan riil manusia— merupakan pandangan hidup baru yang dapat kita berikan kepada umat manusia. Manhaj Islam inilah kekayaan yang tidak dimiliki oleh umat manusia. Karena ia bukan “produk” peradaban Barat, juga bukan hasil kejeniusan Eropa! Baik Barat atau Timur.
* * *
Kita –tanpa diragukan lagi– memiliki sesuatu baru, serius dan sempurna. Sesuatu yang tidak diketahui oleh umat manusia. Dan tidak bisa pula mereka “memproduksinya”!
Namun, sesuatu yang baru ini harus terwujudkan –seperti telah kami katakan sebelumnya– dalam realitas praktis. Umat Islam harus mewujudkan hal itu dalam kehidupan. Dan ini berarti membutuhkan usaha “pembangkitan” dalam masyarakat Islam. Pembangkitan yang kemudian akan diikuti –baik dalam waktu dekat maupun jauh– penerimaan tampuk kepemimpinan umat manusia.
Bagaimanakah upaya pembangkitan Islam ini dimulai?
Harus ada pionir-pionir yang bertekad menggerakkan proyek ini, serta terus berlalu di jalan ini. Mereka terus berlalu meski kejahiliyyahan sedang mencengkeram di seluruh penjuru bumi. Mereka memisahkan diri dari kejahiliyyahan, meski di sisi lain mereka tidak bisa melepaskan kontak tertentu dengan kejahiliyyahan yang berkuasa tersebut.
Harus ada “Petunjuk Jalan” bagi pionir-pionir yang bertekad menjalankan proyek ini. “Petunjuk Jalan” yang mendedahkan peran yang harus mereka jalankan, hakekat tugas dan tujuan pokok mereka, serta starting point pergerakan mereka dalam perjalanan yang panjang ini. Dari “Petunjuk Jalan” ini, mereka akan mengetahui sikap yang harus diambilnya terhadap kejahiliyyahan yang merajalela di seluruh penjuru bumi, serta dalam hal apa ia bertemu dengan manusia yang lain, dan dalam hal apa pula harus berpisah? apa karakteristik dirinya? dan apa karakteristik kejahiliahan yang berada di sekitarnya? Bagaimana ia berkomunikasi dengan orang-orang jahiliyyah tersebut dengan bahasa Islam? Dan apa yang harus ia komunikasikan kepada mereka? Selanjutnya, mereka akan tahu dari mana ia mendapatkan semua karakteristik tersebut, dan bagaimana mendapatkanya?
Petunjuk Jalan ini harus disusun dari sumber pertama aqidah ini, yaitu Al Quran, serta dari petunjuk-petunjuk utamanya, dan dari konsepsi yang berhasil ia tumbuhkan pada diri tokoh-tokoh generasi pertama yang terpilih, di mana lewat merekalah Allah SWT menciptakan apa yang dikehendaki-Nya terwujud di bumi ini, sehingga merubah perjalanan sejarah kembali kepada jalan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
* * *
Bagi pionir yang diharapkan dan ditunggu-tunggu itulah, aku tulis buku “Petunjuk Jalan” ini. Isi buku ini terdiri dari empat pasal yang aku sarikan dari kitab “Fi Zhilal al Quran” [Yaitu pasal: "sifat Manhaj Qurani", "Konsep Islam dan Budaya", "Jihad di Jalan Allah", serta "Berdirinya Masyarakat Islam dan Karakteristiknya."], sambil memberikan revisi, dan penambahan yang diperlukan untuk topik buku ini. Serta delapan pasal lain, selain pendahuluan ini, yang aku tulis secara bertahap, sesuai dengan ilham yang aku dapatkan dari manhaj Rabbani dalam Al Quran al Karim. Seluruh pasal tersebut terikat, meskipun terpisah-terpisah, oleh benang merah sebagai Petunjuk Jalan. Seperti halnya petunjuk-petunjuk atau rambu-rambu di jalan! Dan secara global, buku ini merupakan semacam seri pertama dari seri “Petunjuk Jalan” ini, yang aku harapkan bisa diikuti oleh seri berikutnya. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT untuk menulis tentang Petunjuk Jalan ini.
Al-Qur’an berbicara tentang persoalan besar dan asasi, dalam dien (tatanan kehidupan) yang baru ini. Ia berbicara tentang persoalan akidah, yang direfleksikan dalam pondasi utamanya, yaitu Uluhiyyah dan Ubudiyyah, serta korelasi antara keduanya.
Al-Qur’an fase Makkah tersebut berbicara kepada manusia. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara manusia Arab di zaman tersebut dengan manusia Arab di setiap zaman, sebagaimana tidak ada perbedaan antara manusia Arab dengan setiap manusia lainnya, di zaman tersebut dan di setiap zaman..
Permasalahan yang dibicarakan Al-Qur’an tersebut adalah persoalan manusia yang tidak berubah-ubah. Sebab, permasalahan tersebut berkaitan dengan keberadaannya di alam semesta ini dan ke manakah ia nantinya, hubungannya dengan alam semesta ini dan makhluk hidup lainnya, serta hubungannya dengan Pencipta alam semesta ini dan seluruh makhluk hidup. Permasalahan ini tidak berubah-ubah, karena ia permasalahan alam semesta dan manusia.
Al-Qur’an fase Makkah menerangkan kepada manusia rahasia eksistensinya dan eksistensi alam semesta sekitarnya. Ia memberitahu kepadanya tentang siapakah dirinya? Dari mana ia berasal? Dan kenapa ia ada? Ke manakah ia pergi dalam perjalanan hidupnya? Siapa yang membuatnya ada setelah tidak ada? Dan siapa yang kelak membuatnya pergi dari dunia ini, dan di manakah ia setelah itu?
Al-Qur’an juga berbicara kepadanya tentang apa sebenarnya alam semesta yang ia rasakan dengan panca indranya ini? Alam semesta yang ia rasakan bahwa di baliknya ada Dzat ghoib yang mengaturnya, namun tidak kelihatan olehnya. Siapakah yang menciptakan alam semesta yang penuh dengan rahasia ini? Siapa yang mengaturnya? Dan siapa yang menggerakkannya? Siapa yang memperbaharui dan merubah-ubah benda-benda di dalamnya, sesuai dengan apa yang ia lihat?
Al-Qur’an pun juga berbicara kepadanya juga tentang bagaimana ia berinteraksi dengan Pencipta alam semesta ini, dan bagaimana ia berinteraksi dengan alam semesta itu sendiri? Sebagaimana Al-Qur’an juga menerangkan bagaimana manusia berinteraksi dengan manusia lainnya?
Persoalan tersebut adalah perkara besar yang menjadi pondasi eksistensi manusia, dan akan selalu menjadi pondasi eksistensinya di setiap zaman..
Al Qur’an membutuhkan tiga belas tahun penuh untuk menjelaskan persoalan besar ini. Persoalan yang tidak ada yang penting selainnya dalam kehidupan manusia, kecuali cabang-cabang yang berpijak di atasnya.
Al-Qur’an fase Makkah tidak beranjak dari persoalan asasi ini untuk membahas persoalan-persoalan lain yang bersifat cabang, yang berkenaan dengan tatanan kehidupan, kecuali setelah Allah memastikan bahwa persoalan akidah ini sudah mendapatkan kadar penjelasan yang cukup, serta benar-benar tertancap kuat di hati sekelompok manusia pilihan, manusia yang dengan taqdir Allah berhasil menegakkan dien Islam ini, serta sistem kehidupan yang merefleksikan dien tersebut.
* * *
Para pengemban dakwah yang menyeru kepada dien Allah, dan kepada sistem yang merefleksikan dien tersebut dalam realitas kehidupan, perlu merenungkan lama-lama metode Al-Qur’an fase Makkah di atas dalam membumikan akidah. Selama tiga belas tahun, Al-Qur’an fase Makkah tidak beranjak dari persoalan akidah untuk menuju kepada pembahasan tentang perincian-perincian hukum yang berpijak di atas akidah tersebut, atau tentang aturan-aturan syari’at yang diberlakukan pada masyarakat muslim yang memeluk akidah tersebut.
Sungguh merupakan tuntutan kebijaksanaan Allah, apabila persoalan akidah adalah persoalan yang pertama kali diprioritaskan dalam dakwah sejak hari pertama dimulainya risalah. Rasulullah Saw. memulai langkah pertama dakwahnya dengan menyeru manusia kepada syahadah ‘Laa ilaaha illallah’ (tidak ada sesembahan kecuali Allah). Beliau terus berlalu menjalankan dakwahnya, mengenalkan kepada manusia akan Pemelihara mereka yang sebenarnya, serta menyeru mereka untuk menjadi hamba-Nya saja, tanpa ada dzat lain yang mereka abdi.
Menurut akal manusia yang terbatas, dakwah seperti di atas nampak bukan jalan termudah untuk merasuk ke hati orang-orang Arab. Mereka tahu dari bahasa mereka sendiri makna ‘ilaah’ dan makna ‘Laa ilaaha illallah’. Mereka tahu bahwa ‘Uluhiyyah’ –yang merupakan kandungan dari syahadah ‘Laa ilaaha illallah’- maknanya adalah kepenguasaan tertinggi. Mereka pun tahu bahwa mengesakan Allah dengan ‘Uluhiyyah’ (sifat ketuhanan) berarti melucuti kekuasaan yang disandang para dukun, sesepuh kabilah, para pemimpin dan penguasa, lalu mengembalikan itu semua kepada Allah. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang mendominasi hati, perasaan, realitas kehidupan, harta, peradilan, nyawa dan badan.
Orang-orang Arab tahu bahwa ‘Laa ilaaha illallah’ adalah revolusi terhadap kekuasaan makhluk bumi yang merampas ciri terpenting ketuhanan, serta revolusi terhadap keadaan yang dihasilkan dari perampasan hak tuhan ini. ‘Laa ilaaha illah’ berarti pemberontakan terhadap seluruh kekuasaan yang menerapkan undang-undang yang dibuatnya sendiri tanpa izin dari Allah.
Orang-orang Arab memahami dengan baik bahasa mereka, dan tahu makna hakiki dari dakwah ‘Laa ilaaha illallah’. Mereka sangat mengerti ancaman apa yang dibawa dakwah tersebut terhadap posisi, jabatan dan kekuasaan mereka. Karena itu, mereka menyambut dakwah yang tidak lain adalah revolusi terhadap kekuasaan mereka tersebut, dengan kekejaman serta peperangan, sebagaimana yang diketahui banyak orang.
Lantas, kenapa dakwah harus dimulai dari titik ini? Kenapa dakwah harus diawali dengan kesulitan seperti ini? Hikmah apa di balik itu semua?
* * *
Saat Rasulullah Saw. diutus dengan membawa dien, tanah-tanah Arab yang paling subur dan banyak menyimpan kekayaan alam tidak dikuasai orang-orang Arab sendiri, tapi dikuasai bangsa-bangsa lain..
Seluruh tanah Syam di bagian utara dikuasai bangsa Romawi. Wilayah-wilayah tersebut diperintah para pemimpin Arab yang dikendalikan Romawi. Seluruh wilayah Yaman di bagian selatan tunduk di bawah kekuasaan Persia. Daerah tersebut diperintah para pemimpin Arab di bawah kendali Persia. Orang-orang Arab sendiri hanya menguasai daerah Hijaz, Tihamah dan Nejed, serta beberapa padang sahara, yang di beberapa titiknya terdapat daerah-daerah subur.
Dalam kondisi di atas, bisa saja Muhammad Saw. menggelorakan semangat nasionalisme Arab untuk menyatukan kabilah-kabilah Arab yang selama ini terlibat permusuhan dan desintegrasi, dengan tujuan membebaskan negeri mereka dari cengkraman kekaisaran Romawi di bagian utara dan Persia di bagian selatan, lalu mengangkat panji-panji Arab , serta menciptakan persatuan nasional di seluruh penjuru Jazirah Arab.
Muhammad Saw. bisa saja melakukan hal tersebut. Sejak lima belas tahun sebelum diutus sebagai rasul, Muhammad Saw. sudah dianggap sebagai sosok yang jujur dan terpercaya; para pembesar Quraisy pun pernah mengangkatnya sebagai penengah dalam sengketa peletakan Hajar Aswad; beliau pun memberi kebijakan yang diterima mereka semua. Muhammad Saw. juga termasuk kalangan bangsawan dari Bani Hasyim yang merupakan nasab tertinggi di kalangan suku Quraisy.
Mungkin ada yang berpendapat, seandainya Muhammad Saw. melakukan hal tersebut, niscaya akan diikuti seluruh bangsa Arab, sehingga beliau tidak perlu mengalami penderitaan selama tiga belas tahun dalam berpegang pada prinsip yang bertentangan dengan hawa nafsu para penguasa di Jazirah. Nah, ketika sudah diikuti bangsa Arab, diangkat sebagai pemimpin dan kekuasaan pun ada di tangannya, Muhammad Saw. bisa menggunakannya untuk membumikan akidah Tauhid yang diembannya, menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaan Allah, setelah mereka sebelumnya tunduk kepada kekuasaannya pribadi!
Namun, Allah Yang Maha Tahu dan Bijaksana tidak mengarahkan Rasul-Nya, Muhammad Saw. untuk melakukan cara tersebut. Allah hanya mengarahkan beliau untuk melaksanakan dakwah ‘Laa ilaaha illallah’ dengan segala penderitaan yang dipikul beliau beserta sedikit orang yang mau menyambutnya.
Kenapa? Bukan karena Allah ingin membuat Rasulullah Saw. dan orang-orang beriman yang menyertainya menderita. Akan tetapi, hanya karena Allah tahu bahwa jalan di atas bukanlah cara yang benar…
Bukanlah jalan yang benar, jika bumi dibebaskan dari thoghut Romawi atau thoghut Persia, untuk kemudian dicengkram thoghut Arab. Thoghut tetaplah thoghut! Bumi ini milik Allah, dan harus dibebaskan untuk Allah saja. Pembebasan bumi hanya untuk Allah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan berkibarnya bendera ‘Laa ilaaha illallah’..
Bukanlah jalan yang benar, jika manusia di muka bumi ini dimerdekakan dari thoghut Romawi atau Persia, untuk kemudian diperbudak thoghut Arab. Thoghut tetaplah thoghut! Manusia harus menjadi hamba Allah saja, dan mereka tidak akan menjadi hamba Allah kecuali jika tegak ‘Laa ilaaha illallah’, dengan makna sebagaimana yang dipahami orang-orang Arab yang mengerti kandungan-kandungan bahasa mereka sendiri.
‘Laa ilaaha illallah’, sebagaimana yang dipahami orang-orang Arab, bermakna tidak ada otoritas tertinggi kecuali Allah, tidak ada undang-undang kecuali yang berasal dari Allah, dan tidak berhak seseorang memperhamba orang lain. Sebab, kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah dan manusia harus berkewarga negaraan yang berlandaskan akidah –sebagaimana yang dituntut Islam- yang tidak membedakan antara Arab, Romawi, Persia, dan seluruh bangsa dan ras, di bawah panji Allah..
* * *
Saat Rasulullah Saw. diutus untuk mengemban dien ini, buruknya pemerataan kekayaan dan ketidak adilan pada masyarakat Arab sudah mencapai puncaknya. Hanya sedikit sekali yang menguasai harta dan perdagangan, dan mereka melakukan praktik riba sehingga berlipat ganda kekayaan dan harta perniagaanya. Sementara, mayoritas masyarakat bergelimang dalam kerasnya hidup dan kelaparan. Golongan yang memiliki kekayaanlah yang dapat memiliki kedudukan dan kemuliaan, sementara masyarakat kebanyakan hidup tanpa harta dan kemuliaan sekaligus.
Mungkin ada yang berpendapat, bahwa Muhammad Saw. sebenarnya dapat mengusung bendera sosialisme serta mengobarkan peperangan melawan kaum borjuis. Beliau pun dapat menjadikannya sebagai seruan agar keadilan sosial tercapai dan harta orang-orang kaya dikembalikan kepada orang-orang fakir..
Kemudian, -menurut pendapat tersebut- seruan Rasulullah Saw. tersebut menjadikan masyarakat Arab terpecah menjadi dua bagian: yang pertama adalah mayoritas yang bergabung dengan seruan ini dalam rangka melawan kesewenang-wenangan kaum konglomerat, dan yang kedua adalah minoritas yang bergelimang dengan kekayaan. Hal ini alih-alih dari pada masyarakat bergabung dalam satu barisan membela ‘Laa ilaaha illallah’ yang saat itu belum dikibarkan benderanya kecuali oleh segelintir manusia.-
Setelah seruannya direspon baik mayoritas masyarakat, yang kemudian mengalahkan kaum konglomerat, dan beliau mendapatkan kekuasaan, – menurut pendapat tersebut- Muhammad bisa menggunakan kedudukannya tersebut untuk membumikan Tauhid yang beliau emban, yakni Tauhid yang bertujuan menjadikan manusia mengabdi hanya kepada Pemelihara mereka..
Namun, Allah yang Maha Tahu dan Bijaksana tidak mengarahkan Rasul-Nya kepada cara ini…
Sungguh Allah tahu bahwa cara di atas bukanlah jalan yang benar. Dia tahu bahwa keadilan sosial pada masyarakat harus terpancar dari konsepsi akidah yang menyeluruh (komprehensif). Konsepsi itu berpangkal dari sikap mengembalikan semua keputusan kepada Allah, menerima dengan rela dan senang semua yang Allah tentukan berkenaan dengan pembagian kekayaan dan kesejahteraan pada seluruh lapisan masyarakat. Konsepsi seperti ini akan menimbulkan keyakinan pada hati semua lapisan masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin, bahwa mereka semua melaksanakan sistem yang sudah Allah tentukan. Muncullah harapan mendapatkan kebaikan dunia dan akherat dengan menerima ketentuan Allah tersebut. Hasilnya, tidak ada rasa tamak dan dengki dalam hati; dan tidak semua permasalahan sosial diselesaikan dengan pedang dan tongkat, atau intimidasi dan teror. Hati tidak rusak dan nyawa tidak melayang. Pemandangan seperti ini tidak terdapat pada masyarakat yang berdiri di atas landasan selain ‘Laa ilaaha illallah’.
* * *
Saat Rasulullah Saw. diutus sebagai nabi, dekadensi moral di Jazirah Arab sudah mencapai titik terendah dari berbagai dimensinya, meski masih ada tabiat-tabiat mulia yang berasal dari pedesaan pada masyarakat Arab.
Kedhaliman satu sama lain merajalela di masyarakat Arab. Hal ini diungkapkan seorang penyair bernama Zuhair bin Abu Salma:
Barang siapa yang tidak mempertahankan telaganya dengan pedangnya, pasti dihancurkan
Dan barang siapa yang tidak berbuat dholim kepada orang, pasti didholimi
Hal ini juga diungkapkan dalam kalimat yang populer di masa jahiliyyah:
Tolonglah saudaramu, yang dholim maupun yang didholimi
Khomer dan judi adalah tradisi masyarakat yang sudah merebak, bahkan termasuk hal-hal yang dibanggakan. Hal ini tergambar dalam sekelumit sya’ir jahiliyyah, seperti yang dikatakan Thorfah bin Al-Abd:
Seandainya bukan karena kecintaanku kepada tiga hal yang merupakan kesenangan remaja..
Aku tidak peduli kapan datang penjengukku (saat tiba kematian).. [1]
Di antaranya adalah khomer hitam yang kuminum sebelum para wanita terbangun
Jika dituangkan air ke khomer itu, niscaya berbuih..
Tidak henti-hentinya aku minum khomer, bergelimang kenikmatan, foya-foya dan menghamburkan harta sebagai jalanku..
Sampai akhirnya keluargaku semua meninggalkanku..
Dan aku diasingkan seperti onta yang diperbudak..
Pelacuran dalam berbagai bentuk merupakan ciri masyarakat ini. Tidak ada bedanya dengan masyarakat jahiliyyah lainnya, baik yang kuno maupan modern. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah ra:
“Sesungguhnya pernikahan di zaman Jahiliyyah itu ada empat bentuk:
Mungkin ada yang berpendapat, bahwa Muhammad Saw. bisa saja mengusung dakwah perbaikan diri, dengan tujuan meluruskan moralitas, membersihkan masyarakat dan mensucikan jiwa. Sehingga –menurut pendapat ini- , akan ada orang-orang yang masih baik, bersih akhlaknya dan suci jiwanya, yang menerima dakwah beliau. Mereka diharapkan lebih dekat untuk menerima akidah ‘Laa ilaaha illallah’ serta mengembannya.
Namun, Allah SWT tahu bahwa cara di atas bukanlah jalan yang benar! Allah tahu bahwa akhlak tidak bisa ditegakkan kecuali di atas landasan akidah. Sebab, akidahlah yang menetapkan konsiderans dan nilai-nilai moralitas, sebagaimana juga menuntut adanya kekuasaan yang menjadi landasan konsiderans dan nilai-nilai moralitas tersebut. Akidah juga memformulasi konsep penghargaan bagi orang-orang yang berpegang teguh pada konsiderans dan nilai-nilai tersebut, dan hukuman bagi orang yang melanggarnya. Jika sebelumnya tidak ditetapkan akidah, dan tidak pula kekuasaan di atas, nilai-nilai moralitas akan menjadi goyah. Akibatnya, akhlak yang berdiri di atas nilai-nilai tersebut juga goyah, tanpa adanya kontrol, kekuasaan dan tanpa tidak ada balasannya.
Ketika akidah sudah tertanam sebagai hasil dari usaha keras , dan kekuasaan yang berlandaskan akidah tersebut berdiri; ketika manusia sudah mengenal Pemelihara mereka serta menyembah-Nya saja, lepas dari kekuasaan hamba dan syahwat, dan ‘Laa ilaaha illallah’ sudah merasuk dalam hati mereka, Allah pun melakukan semua yang dikatakan pendapat-pendapat di atas: bumi bersih dari kekuasaan Romawi dan Persia, bukan bersih untuk kemudian didirikan kekuasaan Arab, tapi untuk didirikan kekuasaan Allah; bumi betul-betul bersih dari kekuasaan seluruh thoghut, baik Romawi, Persia, maupun Arab..
Masyarakat pun bersih dari ketidak adilan sosial. Tegaklah tatanan Islam, yang mengadili dengan keadilan Allah, dan menimbang dengan barometer Allah. Diangkatlah panji keadilan sosial dengan nama Allah saja. Panji itu disebut sebagai panji Islam. Tidak ada nama selain nama Islam. Panji Islam itu bertuliskan ‘Laa ilaaha illallah’.
Bersih pula pribadi dan moralitas manusia, sucilah hati dan jiwa mereka. Tanpa perlu diperintah terlebih dahulu untuk itu. Bahkan, tanpa perlu diberi hudud dan hukuman yang Allah syari’atkan –kecuali dalam kondisi yang sangat jarang-. Sebab, mereka terkontrol oleh hati mereka sendiri. Selain itu, keinginan besar untuk mendapat ridho dan pahala Allah, serta rasa malu serta takut dari murka dan siksa Allah, telah mengganti peran pengawas dan hukuman.
Manusiapun terangkat martabatnya, dalam tatanan kehidupannya, moralitasnya, serta seluruh aspek kehidupannya, pada puncak yang tinggi, yang tidak dicapai sebelumnya dan sesudahnya kecuali di bawah naungan Islam.
Semua ini dapat terjadi karena orang-orang yang menegakkan Islam dalam bentuk negara dan pemerintahan, perundang-undangan dan hukum, sebelumnya sudah menegakan dien tersebut pada hati nurani dan kehidupan mereka, dalam bentuk akidah (keyakinan), akhlak, ibadah, dan tingkah laku. Dalam menegakkan dien tersebut, mereka dijanjikan satu hal saja. Satu hal yang tidak termasuk kemenangan atau kekuasaan, dan tidak pula tegaknya dien ini di tangan mereka. Mereka dijanjikan satu hal yang tidak ada kaitannya dengan dunia ini. Satu janji itu adalah surga. Hanya inilah yang dijanjikan kepada mereka atas usaha yang mereka lakukan: berjihad, menghadapi ujian berat, konsisten di jalan dakwah, serta menghadapi jahiliyyah dengan hal yang dibenci para penguasa di setiap zaman dan tempat, yakni ‘Laa ilaaha illallah’!
Saat mereka bersabar dengan ujian yang Allah berikan; saat jiwa mereka kosong dari ambisi pribadi; saat Allah tahu bahwa mereka tidak menunggu balasan di dunia ini –dalam bentuk apapun, termasuk kemenangan dakwah di tangan mereka, serta berdirinya Islam dengan jerih payah mereka- ; saat jiwa mereka tidak lagi memiliki perasaan bangga dengan nenek moyang atau suatu kaum, tidak pula tanah air dan negeri, serta tidak juga golongan dan keluarga; saat Allah tahu itu semua dari mereka, terbuktilah bahwa mereka sudah bisa dipercaya untuk memikul amanah berat ini, mereka sudah bisa dipercaya untuk memikul akidah, yakni keyakinan bahwa hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas terhadap hati dan nurani manusia, tingkah laku dan perasaan mereka, nyawa dan harta mereka, serta kondisi dan keadaan mereka..
Mereka sudah dapat dipercaya untuk memegang kekuasaan, untuk digunakan menegakkan syari’at Allah, serta keadilan menurut konsep Allah. Tanpa ada ambisi pribadi dalam kekuasaan itu, tidak pula kepentingan golongan, kaum, ataupun ras. Kekuasaan yang ada pada tangan mereka hanya untuk Allah, demi kepentingan dien dan syari’at-Nya. Karena mereka tahu, bahwa kekuasaan itu berasal dari Allah. Allah lah yang memberikannya kepada mereka.
Manhaj penuh berkah ini tidak akan bisa mencapai tingkatan tinggi seperti di atas, kecuali jika dakwah dimulai dari titik yang telah disebutkan; yakni dari pengangkatan panji ‘Laa ilaaha illallah’ saja dan tidak boleh ada panji yang dikibarkan selainnya; jalan dakwah ini nampak berat untuk dijalani, namun pada hakekatnya mudah dan diberkati.
Manhaj penuh berkah ini juga tidak akan murni untuk Allah, seandainya dakwah dimulai pada langkah-langkah pertamanya dengan ajakan kepada nasionalisme, sosial atau moral; atau jika dikibarkan panji-panji di samping panji ‘Laa ilaaha illallah’.
* * *
Itulah cara Al-Qur’an fase Makkah dalam menanamkan ‘Laa ilaaha illallah’ di hati dan akal, serta bagaimana ia memilih jalan di atas yang nampak sulit, konsisten di atas jalan tersebut dan tidak memilih jalan-jalan sampingan lainnya.
Adapun tentang pembahasan Al-Qur’an fase Makkah yang terbatas pada persoalan akidah tanpa menyinggung perincian-perincian sistem yang akan berdiri di atas landasannya, dan tanpa membicarakan perundang-undangan yang mengatur interaksi-interaksi di dalamnya, maka perlulah hal ini untuk menjadi bahan renungan bagi para pengusung dakwah Islamiyyah..
Sesungguhnya pembatasan tema Al-Qur’an fase Makkah pada persoalan akidah di atas merupakan tuntutan tabiat dien ini –Islam-. Islam adalah dien (tatanan kehidupan) yang seluruhnya tegak di atas pondasi Uluhiyyah (peng-Esaan Allah). Seluruh peraturan dan undang-undangnya berpangkal dari pondasi besar ini. Seperti halnya pohon besar nan tinggi, berdaun rindang, berdahan rimbun, serta melambai-lambai di udara, haruslah akar-akarnya menghunjam dalam ke tanah, dan memakan ruang yang luas, sesuai dengan kebesaran dan kerindangannya. Demikian juga dengan dien Islam ini; sistem hukumnya mencakup seluruh aspek kehidupan, mengurusi seluruh permasalahan manusia, baik yang besar maupun yang kecil, mengatur kehidupan manusia, tidak hanya di dalam kehidupan dunia saja, tapi juga dalam kehidupan akherat, tidak hanya di alam yang dapat dirasakan panca indera, tapi juga di alam ghoib yang tidak terjangkau panca indera, dan tidak hanya dalam persoalan interaksi dhohir saja, tapi juga dalam nurani yang dalam, di dalam hati dan perasaan. Dengan kata lain, dien ini adalah bangunan raksasa, karena itu harus ada pondasi yang dalam dan besar sesuai ukuran bangunannya..
Inilah satu sisi rahasia dan tabiat dien ini. Ia menetapkan sendiri metode dalam mendirikan bangunannya; menjadikan tegaknya akidah yang komprehensif dan melandasi seluruh bagian Islam sebagai keharusan demi terbentuknya bangunan dien tersebut dengan benar, serta sebagai jaminan dari segala kemungkinan buruk yang menimpanya, dan jaminan agar terbentuk kesesuaian antara bangunan fisik yang menjulang di udara dengan pondasi-pondasi yang tertanam di kedalaman tanah.
Saat akidah ‘Laa ilaaha illallah’ terpatri dalam hati yang dalam, seketika itu juga terbangun tatanan kehidupan yang merefleksikan ‘Laa ilaaha illallah’. Jelaslah saat itu, bahwa tatanan kehidupan tersebut adalah satu-satunya sistem yang diinginkan jiwa-jiwa yang sudah tertanam ‘Laa ilaaha illallah’. Jiwa-jiwa tersebut tunduk sepenuhnya kepada tatanan itu, bahkan sebelum mereka tahu rincian-rincian hukumnya.
Berserah diri sepenuhnya kepada tatanan Islam adalah konsekwensi dari iman. Dengan perasaan berserah diri itulah, orang-orang yang sudah tertanam ‘Laa ilaaha illallah’ dalam hatinya menerima tatanan dan hukum-hukum Islam dengan senang hati, mereka tidak mengkritik satu pun dari peraturan tersebut saat Allah turunkan, dan tidak menunda-nunda untuk mengamalkannya, meski baru saja mengenalnya. Begitulah sikap mereka saat khomer, riba, dan judi diharamkan. Demikian juga saat kebiasaan-kebiasaan jahiliyyah dihapus oleh ayat-ayat Al-Qur’an, atau sabda-sabda Nabi Saw.
Hal tersebut berbeda dengan metode pemerintahan-pemerintahan di bumi dalam menjauhkan masyarakat dari hal-hal terlarang. Untuk tujuan tersebut, mereka menerapkan undang-undang dan peraturan, dilengkapi dengan tentara beserta senjatanya, serta sosialisasi lewat propaganda dan publikasi. Namun, tidak ada hasil yang dicapai selain penanganan pelanggaran yang tampak di permukaan, sementara masyarakat sendiri sebenarnya masih berkecimpung dalam hal-hal terlarang dan kemungkaran. [2]
* * *
Ada sisi lain dari tabiat dien ini yang kelihatan dari metodenya yang lurus. Yaitu, Islam adalah sistem kehidupan yang aplikatif dan dinamis. Dien tersebut datang untuk memberi hukum pada realitas kehidupan. Ia mengarahkan realitas kehidupan tersebut agar sesuai dengan ketentuannya. Dari sini, Islam tidak memberikan hukum kecuali untuk kondisi yang riil, yakni pada masyarakat yang sudah mengakui Allah sebagai satu-satu-Nya pemilik otoritas tertinggi..
Tatanan kehidupan Islam bukanlah teori yang berhubungan dengan hipotesis. Islam adalah manhaj –metode kehidupan- yang berhubungan dengan realita. Karena itu, sebelum turun hukum-hukum Islam, harus ada masyarakat muslim yang memeluk akidah ‘Laa ilaaha illallah’, menyakini bahwa otoritas tertinggi hanya di tangan Allah, menolak adanya kekuasaan tertinggi selain Allah, dan menolak legalitas apapun yang tidak berlandaskan ‘Laa ilaaha illallah’..
Ketika berdiri masyarakat muslim tersebut secara nyata, barulah ia memiliki kehidupan riil yang membutuhkan peraturan dan hukum. Hanya pada saat itulah, Islam menetapkan undang-undang dan peraturan, untuk kaum yang sudah tunduk sama sekali kepada undang-undang dan peraturan Islam, serta sama sekali enggan dengan undang-undang dan peraturan yang berasal dari selainnya..
Selain itu, orang-orang yang sudah beriman dengan akidah ‘Laa ilaaha illallah’ tersebut harus memiliki kekuasaan atas diri dan masyarakat mereka, sehingga bisa menjamin terlaksananya undang-undang dan peraturan Islam pada masyarakat tersebut. Dengan demikian, undang-undang itu pun memiliki kewibawaan dan keagungan, lebih dari sekedar kebutuhan saja..
Kaum muslimin saat di Makkah tidak memiliki kekuasaan, baik atas diri maupun masyarakat mereka. Mereka tidak memiliki kehidupan mandiri yang bisa diterapkan syari’at Allah. Karena itu, pada masa ini Allah tidak menurunkan undang-undang dan peraturan. Allah hanya menurunkan akidah, serta akhlak yang berpangkal pada akidah yang telah tertanam dalam hati sanubari yang dalam..
Saat mereka memiliki negara di Madinah yang berdaulat, turunlah peraturan-peraturan, dan ditetapkanlah undang-undang sebagai jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat muslim. Pelaksanaan undang-undang ini dijamin negara dengan kekuasaannya yang kuat.
Pada fase Makkah Allah tidak berkehendak menurunkan undang-undang dan peraturan-peraturan sebagai hal yang dipersiapkan untuk diberlakukan langsung ketika tegak negara di Madinah nantinya. Hal ini bukan tabiat dein ini. Islam lebih realistis dari hal tersebut. Islam tidak menerka-nerka persoalan-persoalan yang akan terjadi, lalu menetapkan solusinya. Islam menjawab permasalahan yang terjadi saat menjadi kenyataan masyarakat muslim yang tunduk kepada syari’at Allah dan menolak syari’at selain-Nya..
Pada saat ini, ada orang-orang yang menginginkan agar Islam merumuskan teori-teori atau rancangan undang-undang untuk kehidupan masyarakat, padahal tidak ada di atas permukaan bumi masyarakat berdaulat yang tunduk kepada syari’at Allah saja dengan kemampuan menerapkannya, dan menolak semua syari’at selainnya. Orang-orang tersebut tidak mengerti tabiat Islam, dan tidak mengerti bagaimana dien tersebut berbuat pada kehidupan manusia seperti yang dikehendaki Allah..
Orang-orang tersebut ingin mengubah tabiat, manhaj dan sejarah dien ini, agar menyerupai teori-teori dan manhaj buatan manusia; mereka berusaha agar dien ini tergesa-gesa melangkah melebihi dari jalan yang semestinya. Hal tersebut mereka lakukan untuk memenuhi keinginan temporer pada diri mereka, keinginan yang timbul dari perasaan minder pada jiwa mereka saat melihat tatanan kehidupan buatan manusia yang remeh. Mereka ingin agar Islam memiliki teori-teori dan hipotesa, untuk menghadapi masa depan yang belum ada..
Padahal Allah berkehendak agar dien ini seperti yang Ia kehendaki, yakni berupa akidah yang memenuhi hati dan menguasai sanubari, serta menimbulkan konsekwensi tunduknya manusia kepada Allah saja, dan tidak menerima undang-undang kecuali dari-Nya saja. Setelah terdapat orang-orang yang memeluk akidah ini, dan mereka memiliki kekuasaan atas masyarakat mereka secara de facto, mulailah turun undang-undang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil mereka, serta mengatur kehidupan nyata mereka…
Inilah yang Allah kehendaki terhadap Islam, dan Islam tidak akan menjadi apapun kecuali sebagaimana yang Allah kehendaki, meski tidak sesuai dengan keinginan manusia!
Itulah yang harus dipahami para pengemban dakwah saat mereka menyeru manusia untuk membangun kembali dien Islam. Mereka harus menyeru manusia untuk memeluk akidah terlebih dahulu, meski ia sudah mengaku sebagai orang muslim,atau lahir sebagai orang muslim. Para da’i harus mengenalkan kepada manusia bahwa Islam adalah mengakui akidah ‘Laa ilaaha illallah’ dengan maknanya yang sebenarnya, yakni mengembalikan otoritas tertinggi kepada Allah dalam segala aspek kehidupan, serta melucuti kekuasaan para penyerobot yang merampas hak otoritas tersebut; Islam adalah menanamkan akidah tersebut di hati dan perasaan mereka, serta kondisi dan realitas kehidupan mereka..
Persoalan akidah ini hendaknya menjadi pondasi dakwah untuk menyeru manusia kepada Islam. Sebab, itulah pondasi pertama dakwah Islam yang diemban Al-Qur’an fase Makkah selama tiga belas tahun penuh. Jika terdapat sekelompok manusia yang memeluk dien tersebut –dengan paham yang fundamental ini-, maka kelompok itulah yang disebut sebagai ‘masyarakat muslim’. Merekalah masyarakat yang pantas menyandang sistem Islam dalam kehidupan sosialnya, sebab mereka telah memegang prinsip untuk membangun seluruh kehidupannya di atas pondasi akidah, dan tidak ada yang memegang otoritas terhadap kehidupan mereka kecuali Allah..
Ketika masyarakat seperti di atas telah berdiri dengan nyata, barulah diberikan dasar-dasar sistem Islam kepada mereka, sebagaimana masyarakat itu sendiri diberi peraturan-peraturan yang langsung berhubungan dengan kehidupan riil mereka, dengan berlandaskan dasar-dasar sistem Islam tersebut. Inilah urutan langkah-langkah dakwah menurut manhaj Islam yang realistis dan apliatif.
Ada beberapa orang yang ikhlas namun tergesa-gesa; mereka tidak bisa memahami tabiat dien Islam ini, dan tidak bisa memahami tabiat manhajnya yang lurus, yang berpondasikan kebijaksanaan Dzat Yang Maha Tahu dan Bijaksana, serta ilmu-Nya tentang karakter manusia dan kebutuhan hidup. Dalam angan-angan mereka, memaparkan dasar-dasar sistem Islam, dan juga undang-undang Islam kepada masyarakat, dapat memudahkan jalan dakwah bagi mereka, serta membuat masyarakat mencintai dien Islam ini..
Ini adalah persangkaan salah yang bersumber dari ketergesaan! Seperti halnya dengan apa yang diusulkan pendapat-pendapat yang disebutkan di atas: yakni yang menyatakan bahwa dakwah Rasulullah Saw. hendaklah dibangun di bawah bendera nasionalisme, bendera sosial, atau bendera akhlak, untuk mempermudah dakwah!
Sesungguhnya sejak awal hati manusia harus murni untuk Allah, serta memproklamasikan pengabdian kepada-Nya semata dengan jalan menerima syari’at-Nya saja serta menolak syariat selain-Nya. Hal ini harus menjadi prinsip terlebih dahulu sebelum diberi rincian apapun tentang syari’at tersebut…
Kecintaan kepada syari’at harus berangkat dari pengabdian kepada Allah semata serta lepas dari kekuasaan selain-Nya, bukan dari pandangan bahwa rincian sistem syari’at tersebut secara dzatnya lebih baik daripada undang-undang selainnya..
Sesungguhnya dzat syari’at Islam memang merupakan undang-undang terbaik, karena ia buatan Allah dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan undang-undang buatan makhluk. Namun, pandangan seperti ini bukanlah asas dakwah. Hal yang mendasar untuk didakwahkan adalah bahwa menerima syari’at Allah saja bagaimanapun bentuknya, serta menolak setiap syari’at selainnya bagaimanapun bentuknya, itulah dzat Islam. Tidak ada makna lain untuk Islam selain itu. Barang siapa yang sudah mencintai Islam tersebut secara prinsip, berarti sudah memberi keputusan menerima dakwah, dan ia tidak perlu lagi diperlihatkan keindahan dan keutamaan sistem Islam. Kecintaan kepada Islam secara prinsip ini termasuk aksioma dari iman..
* * *
Perlu dibicarakan bagaimana Al-Qur’an fase Makkah membangun akidah di sela-sela tiga belas tahun lamanya. Al-Qur’an fase Makkah tidak memaparkan akidah dalam bentuk ‘teori’, tidak pula dalam bentuk teologis, dan tidak juga dalam bentuk perdebatan ilmu kalam yang ada pada ilmu yang disebut sebagai ‘ilmu Tauhid’.
Al-Qur’an berbicara kepada fitrah manusia tentang bukti-bukti yang berkenaan dengan eksistensi dirinya dan alam semesta sekitarnya. Al-Qur’an membersihkan fitrahnya dari tumpukan noda, serta membebaskan indera-indera pada fitrah tersebut yang berfungsi merespon kebenaran dari hal-hal yang menutupi dan mendisfungsikannya. Al-Qur’an membuka jendela-jendela fitrah agar dapat menerima dan menyambut pengaruh bukti-bukti di atas..
Secara spesifik, Al-Qur’an terjun dengan membawa akidah ini di medan yang hidup dan riil. Di medan tersebut, ia menghadapi tumpukan-tumpukan noda yang mendisfungsikan fitrah pada jiwa-jiwa manusia yang nyata dan riil. Karena itu, ‘teori’ bukanlah bentuk yang relevan dalam menghadapi hal yang nyata ini. Bentuk yang relevan adalah perlawanan yang hidup terhadap noda-noda yang merupakan penghalang kejiwaan riil tersebut…
Perdebatan logika seperti yang terdapat pada ‘ilmu Tauhid’ di masa-masa akhir sekarang ini, juga bukan bentuk yang relevan. Sebab, Al-Qur’an menghadapi kenyataan manusia yang lengkap dengan segala pernak-perniknya yang hidup, dan ia berbicara kepada eksistensi dirinya yang ada pada realita ini..
Demikian juga, ‘teologi’ juga bukan bentuk yang cocok. Sebab akidah Islam, meski berupa keyakinan, namun ia mencerminkan metode kehidupan riil untuk diterapkan dalam tingkah laku yang nyata. Akidah Islam tidak terjebak pada sudut sempit yang berisi pembahasan-pembahasan teologi teoritis.
Saat membangun akidah di sanubari jama’ah muslimin, Al-Qur’an juga membawa jama’ah ini di medan besar dalam rangka menghadapi jahiliyyah di sekitarnya; ia membawa jama’ah muslimin di medan besar untuk melawan pengaruh-pengaruh jahiliyyah yang terdapat pada hati, akhlak, dan realitas masyarakat. Karena hal itu, pembangunan akidah tersebut tidak mungkin dalam bentuk ‘teori’, tidak pula dalam bentuk ‘teologi’, dan tidak pula dalam bentuk perdebatan ilmu kalam, tetapi dalam wujud perkumpulan struktural yang hidup dan pembentukan organisasi yang langsung berhubungan dengan kehidupan, yang tercermin pada jama’ah muslimin itu sendiri. Perkembangan jama’ah tersebut, dalam konsepsi keyakinan dan sepak terjang nyatanya, sesuai dengan akidah di atas, dan sesuai dengan arahannya dalam menghadapi jahiliyyah. Jama’ah muslimin ini tak lain adalah organisasi yang memerangi jahiliyyah. Perkembangan jama’ah ini mencerminkan perkembangan bangunan akidah. Sepak terjang mereka adalah terjemahan hidup dari bangunan akidah tersebut…Inilah metode Islam yang mencerminkan tabiatnya…
Merupakan hal yang mendesak, apabila para pengusung dakwah Islamiyyah harus mengetahui tabiat dan metode dien Islam dalam pergerakan seperti yang telah kami terangkan di atas. Hal tersebut bertujuan agar mereka tahu bahwa fase pembangunan akidah yang memakan waktu lama di Makkah, tidaklah terpisah dari fase pembentukan nyata gerakan Islam serta realitas jama’ah muslimin. Fase pembangunan akidah bukanlah fase menerima ‘teori’ dan mengkajinya, tetapi fase pembentukan secara fundamental akidah, jama’ah, pergerakan, dan eksistensi nyata sekaligus. Seperti itulah yang semestinya dilakukan jika ingin kembali membangun akidah itu di waktu lain..
Demikian juga, pembangunan akidah itu sepantasnya dilaksanakan dalam waktu yang lama, dan dilakukan secara pelan-pelan, mendalam dan kokoh dalam setiap langkahnya. Fase pembangunan tersebut bukanlah fase pengkajian teoritis terhadap akidah, tapi fase penterjemahan akidah dalam wujud yang hidup, tercermin pada hati yang sudah beradaptasi dengan akidah tersebut, serta pada bangunan jama’ah dan himpunan pergerakan yang perkembangannya, baik secara internal maupun eksternal, merupakan gambaran dari perkembangan akidah itu sendiri. Akidah tersebut harus tercermin pada gerakan nyata menghadapi jahiliyyah, melawannya baik dalam hati maupun realita, sehingga jadilah akidah itu hidup dan mengadakan pertumbuhan yang hidup di medan perjuangan tersebut…
Menurut kaca mata Islam, merupakan hal yang sama sekali salah apabila akidah hanya mengambil bentuk sebagai ‘teori’ untuk sekedar dijadikan bahan kajian intelektual atau pengetahuan budaya. Bahkan, hal ini sama sekali berbahaya..
Al-Qur’an menghabiskan tiga belas tahun penuh untuk membangun akidah bukan karena tema-tema tentangnya harus diturunkan beberapa kali –karena berlainan satu sama lain dan selalu baru–. Sama sekali bukan karena itu. Seandainya Allah berkehendak, Ia bisa menurunkan Al-Qur’an sekaligus, lalu membiarkan para shahabat mempelajarinya sekitar tiga belas tahun, sehingga mereka menguasai sepenuhnya ‘teori Islam’.
Akan tetapi, Allah SWT menginginkan hal lain. Ia menghendaki metode tertentu yang unik. Ia menginginkan membangun jama’ah, membangun gerakan, dan membangun akidah sekaligus. Ia ingin membangun jama’ah dan harakah (gerakan) dengan akidah, dan membangun akidah dengan jama’ah dan harakah. Allah menghendaki agar akidahlah yang menjadi realitas jama’ah pergerakan yang riil, dan agar realitas jama’ah pergerakan tersebut adalah gambaran konkrit untuk akidah. Allah SWT tahu bahwa membangun individu dan jama’ah tidak bisa dilakukan dalam sehari semalam. Karena itu, membangun akidah pun juga harus memakan waktu yang sama dengan yang digunakan untuk membangun individu dan jama’ah. Sehingga, apabila pembentukan akidah tersebut sudah matang, maka jama’ahlah penampakan riil untuk akidah yang sudah matang ini.
* * *
Inilah tabiat dien Islam ini –sebagaimana diringkaskan dari metode Al-Qur’an fase Makkah-. Kita harus mengetahui tabiatnya tersebut, dan jangan berusaha mengubahnya hanya karena memenuhi keinginan tergesa-gesa untuk melawan teori perundangan-undangan manusia yang bermacam-macam bentuknya. Islam dengan tabiatnya yang diterangkan di atas telah memunculkan umat Islam untuk yang pertama kalinya, dan hanya dengan tabiat itulah ia bisa melahirkan umat Islam di setiap saat yang dikehendaki munculnya kembali eksistensi umat Islam sebagaimana generasi awal mereka..
Akidah Islamiyyah adalah akidah yang hidup, yang wajib tercermin pada realita yang berkembang, hidup dan dinamis, serta pada organisasi pergerakan. Karena itu, kita harus mengetahui sekaligus kesalahan dan bahaya dari usaha mengubah akidah yang hidup itu menjadi ‘teori’ untuk sekedar dijadikan bahan kajian dan pengetahuan budaya, yang itu dilakukan karena semata-mata ingin menghadapi teori-teori buatan manusia yang kerdil dengan ‘teori Islam’.
Akidah Islamiyyah wajib tercermin pada jiwa-jiwa yang hidup, pada organisasi nyata, pada perkumpulan struktural, dan pada gerakan yang memberikan reaksi perlawanan terhadap jahiliyyah yang ada di sekitarnya. Demikian juga, akidah Islamiyyah pun juga harus memberikan reaksi serupa terhadap noda-noda jahiliyyah yang masih melekat pada jiwa-jiwa pemeluknya –karena mereka dulu adalah orang-orang jahiliyyah sebelum akidah Islam merasuk ke jiwa mereka dan menarik mereka dari lingkungan jahiliyyah–..
Akidah Islamiyyah dalam bentuk yang hidup di atas, akan mengambil ruang lingkup yang lebih besar, lebih luas dan lebih komprehensif untuk hati serta akal dan juga kehidupan, dari pada ruang lingkup ‘teori’. Bahkan, ruang lingkup ‘teori’ tersebut dengan segala perangkatnya termasuk dalam cakupan ruang lingkup akidah Islamiyyah…
Sesungguhnya konsepsi Islam tentang ketuhanan, alam semesta, kehidupan, dan manusia, adalah konsepsi yang komprehensif dan lengkap. Namun, ia juga konsepsi yang realistis dan positif. Ia benci –sesuai tabiatnya- untuk menjelma menjadi sekedar teori akal, karena ini menyelisihi tabiat dan tujuannya. Konsepsi Islam harus tercermin pada sosok-sosok manusia, pada organisasi hidup, dan pada gerakan nyata. Cara ia terbentuk pun adalah dengan tumbuh melalui sosok-sosok, organisasi yang hidup dan gerakan nyata itu. Sehingga, saat konsepsi itu sempurna secara teori, saat itu pula ia sempurna secara realita. Ia pun kemudian tidak memisahkan diri pada bentuk ‘teori’, tapi tetap tercermin pada kenyataan pergerakan..
Setiap pertumbuhan teori yang mendahului pertumbuhan pergerakan nyata, dan tidak berkembang di sela-sela pergerakan itu, adalah salah dan berbahaya, jika dianalogikan dengan tabiat dien Islam dan tujuannya, serta cara pembentukannya..
Allah SWT berfirman:
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (secara bertahap). (QS. Al Isra’ (17) : 106)
Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah hal yang direncanakan. Begitu juga dengan dibacakannya secara perlahan-lahan. Tujuannya agar sempurna bangunan struktural yang tersusun dari akidah dalam bentuk ‘organisasi hidup’, bukan dalam bentuk ‘teori’..
Para pemeluk dien Islam wajib memahami dengan baik, bahwa –sebagaimana dien ini berasal dari Allah- metodenya dalam bertindak pun juga metode yang berasal dari Allah juga, sesuai dengan tabiatnya. Tidak mungkin dipisahkan antara hakekat dien Islam dengan metodenya dalam bertindak.
Mereka juga harus tahu, bahwa dien Islam ini –sebagaimana datang untuk mengubah konsepsi keyakinan, yang dari sini mengubah realitas kehidupan- datang pula untuk mengubah metode yang seharusnya digunakan untuk membangun konsepsi keyakinan dan realitas kehidupan tersebut. Islam datang untuk membangun akidah sekaligus membangun umat, lalu menciptakan metode berpikir khusus untuk itu, yang nilainya sama dengan yang digunakan untuk menciptakan konsepsi keyakinan dan realitas kehidupan. Tidak dapat dipisahkan antara metode berpikir khas yang dimiliki Islam dengan konsepsi keyakinannya yang khas pula, serta bangunan dinamisnya yang khas juga. Semuanya satu paket.
Jika kita sudah mengetahui metode Islam dalam berbuat seperti yang kami terangkan di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa metode ini merupakan hal yang prinsip, bukan metode untuk fase tertentu, lingkungan atau daerah tertentu tempat munculnya jama’ah muslimin yang pertama. Metode ini adalah syarat berdirinya bangunan dien Islam di setiap waktu..
Tugas Islam tidak hanya mengubah akidah dan realitas masyarakat, tapi juga mengubah metode berpikir mereka serta metode dalam menerima konsepsi dan realitas. Sebab, Islam adalah metode yang berasal dari Allah, berbeda dalam seluruh tabiatnya dengan metode-metode manusia yang kerdil dan terbatas..
Kitapun tidak bisa sampai kepada konsepsi yang bersumber dari Allah, dan kepada kehidupan yang dikehendaki Allah, kecuali melalui metode berpikir yang berasal dari Allah pula, itulah metode yang diinginkan Allah agar menjadi pondasi cara berpikir yang digunakan manusia, sehingga benar konsepsi keyakinan dan pembentukan riil mereka..
* * *
Jika kita menginginkan agar Islam menjadikan dirinya sebagai ‘teori’ untuk dijadikan bahan kajian semata, berarti kita melepaskan dien itu dari tabiat metode pembentukan dan berpikir yang bersumber dari Allah, lalu membuatnya tunduk kepada metode-metode berpikir buatan manusia! Seakan-akan metode ciptaan Allah lebih rendah dari pada metode-metode ciptaan manusia, lalu menghendaki metode Allah itu ditingkatkan sehingga menyamai metode-metode manusia dalam hal konsepsi dan pergerakan..!
Dari sisi ini, hal tersebut berbahaya, dan merupakan kekalahan mental yang fatal..
Sesungguhnya tugas metode yang bersumber dari Allah adalah memberi kita –yakni para pengusung dakwah Islamiyyah- cara berpikir khas. Kita harus membersihkannya dari noda-noda metode berpikir produk jahiliyyah yang sedang mencengkram bumi ini, yang membuat akal kita tertekan dan kebudayaan kita terkotori…Jika kita menginginkan menerima dien Islam ini dengan metode berpikir yang asing dari tabiatnya, yakni metode berpikir jahiliyyah yang sedang berkuasa, berarti kita mendisfungsikannya dari tugas yang semestinya ia tunaikan demi kepentingan manusia, dan kita menghalangi diri-diri kita sendiri untuk lepas dari tekanan metode jahiliyyah yang sedang berkuasa di zaman kita, serta menghalangi diri-diri kita untuk lepas dari noda-noda jahiliyyah pada akal-akal serta pembentukan karakter kita..
Saya ulangi lagi, bahwa konsepsi keyakinan wajib tercermin langsung pada jama’ah pergerakan, dan di saat yang sama jama’ah pergerakan itu harus menjadi cerminan yang valid dan terjemahan yang sebenarnya dari konsepsi keyakinan tersebut.
Saya ulangi lagi juga, bahwa hal ini adalah metode yang merupakan tabiat Islam yang datang dari Allah, dan inilah metode yang lebih agung dan lurus, lebih efektif dan lebih sesuai dengan fitrah manusia, dari pada metode yang mendahulukan pemaparan teori secara lengkap dalam bentuk logika dingin kepada manusia sebelum mereka terjun langsung dalam pergerakan nyata, menjadi terjemahan hidup, yang tumbuh selangkah demi selangkah untuk mencerminkan teori tersebut..
* * *
Sesungguhnya jahiliyyah di sekitar kita, di samping berhasil membuat urat syaraf para pengusung dakwah Islamiyyah yang ikhlas tertekan, sehingga membuat mereka tergesa-gesa dalam meniti langkah-langkah metode Islamy, ia kadang-kadang juga berhasil membuat mereka terdesak dengan pertanyaan-pertanyaan: “Mana rincian-rincian sistem hukum yang kalian dakwahkan? Mana pembahasan, kajian, dan fiqih yang berdasarkan prinsip-prinsip modern yang kalian siapkan untuk melaksanakan hukum Islam?”. Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu, seakan-akan yang kurang pada masyarakat sekarang di bumi ini dalam hal penegakan syari’at hanya hukum-hukum fiqih dan pembahasan-pembahasan fiqih Islamy; seakan-akan masyarakat sekarang sudah berserah diri kepada kekuasaan Allah dan senang dihukumi dengan syari’at Allah namun tidak mempunyai fiqih modern dari para ‘mujtahid’!
Sikap jahiliyyah tersebut merupakan ejekan rendahan yang tidak perlu diperhatikan oleh setiap orang yang masih merasakan kehormatan untuk dien Islam ini!
Dengan tekanan pertanyaan-pertanyaan di atas, jahiliyyah semata-mata menginginkan justifikasi untuk menyingkirkan syari’at Allah dan melanggengkan perbudakan manusia terhadap manusia lain. Jika tidak diabaikan, jahiliyyah bisa memalingkan kelompok muslimin dari manhaj (metode) rabbani yang seharusnya mereka tempuh. Akibatnya, mereka melompati fase pembangunan akidah dalam bentuk pergerakan, dan para pengusung dakwah Islamy pun tidak menempuh metode rabbani. Yakni metode yang mana teori terkristal dari sela-sela pergerakan, pembentukan hukum terbatas dari sela-sela pengalaman, dan peraturan-peraturan untuk kehidupan Islamy yang riil disampaikan sesuai dengan problematika yang nyata..
Wajib bagi para pengusung dakwah Islamiyyah untuk tidak menanggapi manuver jahiliyyah di atas! Mereka harus menolak pendiktean metode asing pada gerakan dan dien mereka ! Jangan sampai orang-orang yang tidak beriman membodohi mereka!
Wajib bagi mereka untuk mengerti manuver marginalisai tersebut. Mereka harus merasa terlalu mulia untuk menanggapinya. Mereka harus menolak ejekan rendahan pada apa yang disebut ‘perkembangan fikih Islamy’ pada masyarakat yang tidak memproklamasikan ketertundukannya kepada syari’at Allah dan menolak setiap syari’at selainnya. Wajib bagi mereka pula untuk menolak perbuatan sia-sia yang bisa memalingkan mereka dari tindakan yang berguna. Perbuatan sia-sia yang tidak lain adalah ibarat menanam benih di udara. Mereka harus menepis tipu muslihat yang busuk ini!
Wajib bagi mereka untuk bergerak sesuai dengan metode dien Islam dalam pergerakan ini. Karena inilah rahasia kekuatannya, dan inilah sumber kekuatan mereka juga..
Dalam pandangan Islam, ‘manhaj’ (metode) nilainya sama dengan hakekat. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Setiap metode yang asing pada akhirnya tidak mungkin mewujudkan Islam. Metode-metode asing bisa mewujudkan tatanan-tatanan kehidupan produk manusia, tapi tidak bisa mewujudkan tatanan kehidupan kita (Islam). Karena itu, berpegang teguh pada manhaj kita dalam pergerakan Islamiyyah adalah keharusan yang mendesak, sebagaimana berpegang teguh pada akidah dan syari’at.
((Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjuki kepada yang paling lurus))
Iran Luncurkan Sistem Komunikasi Pertahanan Udara Canggih
Islam
Times-http://www.islamtimes.org/vdcjaoe8auqehxz.bnfu.html
Sistem ini mengirimkan informasi ke atmosfer dan menerima
refleksi dan menggunakannya sebagai salah satu lapisan komunikasi
pertahanan udara. Sistem buatan dalam negeri ini dimaksudkan untuk
meng-kode-kan data dan informasi penting.
Sistim Telekomunikasi Tentara Iran
Republik Islam Iran pada hari Selasa (3/9/13) meluncurkan sistem telekomunikasi pertahanan udara jarak jauh buatan dalam negeri dalam upacara peresmian yang dihadiri oleh beberapa komandan Angkatan Bersenjata Iran.
Sistem ini mengirimkan informasi ke atmosfer dan menerima refleksi dan menggunakannya sebagai salah satu lapisan komunikasi pertahanan udara. Sistem buatan dalam negeri ini dimaksudkan untuk meng-kode-kan data dan informasi penting.
Sejumlah komandan yang hadir dalam upacara peresmian itu termasuk Komandan Pangkalan Pertahanan Udara Khatam ol-Anbia Brigadir Jenderal Farzad Esmayeeli.
Dalam jumpa pers, Jenderal Esmayeeli mengatakan, Iran sekarang berdiri di antara 5 sampai 10 negara di dunia yang memiliki sistem seperti ini. Dan saat ini, Angkatan Bersenjata Iran menggunakan sistem penting buatan dalam negeri untuk membela negaranya.
Dalam pernyataannya pada Minggu, Esmayeeli mengumumkan, Iran sedang mempertimbangkan rencana untuk mengembangkan sistem pertahanan udaranya berdasarkan ancaman yang mungkin terhadap negara Iran dalam lima tahun ke depan.
"Hari ini, pertahanan udara bergerak maju bersamaan dengan ancaman, dan apa yang terjadi di sekitar kita menunjukkan bahwa kita harus membuat pertahanan udara yang siap menghadapi ancaman itu, tidak hanya saat ini tapi lima tahun ke depan," kata Esmayeeli di Tehran.
Dia juga mengecilkan dampak dari sanksi Barat terhadap kemajuan industri pertahanan Iran, dan menyebut, pertahanan udara Iran saat ini sedang melaksanakan 15 proyek operasional penting.
Juga pada hari yang sama, komandan senior Iran lain menyebut, sistem pertahanan udara negara itu membuat kemajuan pesat sesuai dengan kemajuan yang dibuat dalam jet tempur hit-tech musuh.
"Jet tempur musuh tumbuh lebih maju, Iran juga memajukan dan membuat lebih canggih pertahanan udaranya," jelas Komandan Pertahanan Udara Zona Timur Iran Malek Ali Asadifar di kota Timur Birjand pada hari Minggu (1/9).[IT/r]
Ron Paul: Suriah Pintu Masuk Intervensi Militer AS ke Iran
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdcj8oe8yuqehmz.bnfu.html
"Ini adalah perang sipil, dan tidak ada cara bagi Anda untuk
mengetahuinya. Saya mencium bau Irak dalam hal ini. Saya ingat jaminan
yang telah diberikan kepada kita 10 tahun yang lalu dan anggota Kongres
mempercayainya.
Mantan anggota Kongres AS Ron Paul mengatakan rencana Amerika Serikat menyerang Suriah karena Damaskus merupakan pintu masuk intervensi militer ke Iran.
"Seluruh teori kita tentang Suriah kerana alasan untuk interveni dan masuk ke Iran, " kata Paul dalam sebuah wawancara dengan CNN , Selasa 03/09/13.
"Pada saat yang sama, kita telah mempersulik kondisi. Bahkan kita mempersulit bagi orang-orang yang ingin hidup damai, dan sekarang kita hanya mengaduk di Suriah, tegasnya.
Presiden AS Barack Obama, yang sedang menunggu otorisasi kongres untuk menyerang Suriah, memenangkan dukungan penting dari para pemimpin kongres pada hari Selasa 04/09/13, untuk melancarkan serangan militer terhadap Suriah.
Ron Paul juga mengkritik pemerintahan Obama atas campur tangan dalam urusan internal Suriah.
"Ini adalah perang sipil, dan tidak ada cara bagi Anda untuk mengetahuinya. Saya mencium bau Irak dalam hal ini. Saya ingat jaminan yang telah diberikan kepada kita 10 tahun yang lalu dan anggota Kongres mempercayainya.
"Tapi biarkan, saya memberitahu Anda, situasi saat ini jauh berbeda. Rakyat Amerika berpihak pada saya tentang masalah ini, dan hari ini dan ada lebih banyak orang di Kongres yang mengatakan perang Suriah tidak masuk akal, tambahnya.
"Para komandan militer mengatakan, kita bahkan tidak punya uang untuk ini, dan jika perang terjadi berarti lebih banyak uang akan terkuras dari perekonomian kita, " tegas Paul.
Sementara itu, jajak pendapat terbaru menunjukkan rakyat Amerika menentang perang Suriah.(IT/TGM)
MENUJU PRESIDEN R.I 2014 berbagi foto Setia Band.
U.S. military aid to Egypt: An economic dependency trap
http://english.al-akhbar.com/content/us-military-aid-egypt-economic-dependency-trap
Cairo – U.S. aid to Egypt continues to be a headache for the
White House. Views are divided in the U.S. administration between those
who are in favor of and those who are against the resumption of aid to
the government in Cairo, which has turned a cold shoulder to the Obama
administration.
The
U.S. president had suspended military aid to Egypt following the ouster
of the Muslim Brotherhood-affiliated President Mohammed Mursi. Ahead of
the 2014 budget, the U.S. State Department said that U.S. Secretary of
State John Kerry would certify whether the Egyptian government had made
real and concrete steps to support the democratic transition, before the
funds could flow again.
Perhaps this explains the large number of U.S. delegations that have
visited Egypt, to probe the situation there following the protests of
June 30, 2013.
Dr. Atiya Ibrahim, a political science professor at the University of
California, said that recently, Michele Dunne, a senior associate at
the Carnegie Middle East Program, had opined that Kerry was confused and
unable to make a decision regarding the resumption of U.S. aid, until
he could certify that the Egyptian administration would do as the U.S.
dictates, as was happening in the past.
Ibrahim explained the real reason for the crisis between Egypt and
the United States, which is bearing heavily on the question of military
aid. He said, “The U.S. administration suspended the scheduled delivery
of four F-16 jets to the Egyptian armed forces, to protest the army’s
move to depose the elected president on July 24, 2013.” “Later, on
August 14 of the same year, Obama cancelled the Bright Star military
exercise with Egypt, in response to the violence against pro-Mursi
protesters. Three days later, Washington announced it would suspend $250
million in annual aid, as Congress members John McCain and Lindsey
Graham called on the United States to halt military aid to Egypt because
of the unrest there,” he added.
Ibrahim then pointed out that the Saudi foreign minister pledged that
the kingdom would offset any funds that the U.S. withholds, and also
drew attention to the UAE’s move to provide financial assistance to
Egypt as well as investment in joint projects, as a way to compensate
for the suspended aid.
Dr. Salwa al-Samra, a professor of economics at the University of
Alexandria, said that the legal justification for the suspension of U.S.
aid to Egypt is that the latter had overthrown an elected president,
something that the Americans oppose and want the army in Egypt to
reconsider its position. What also makes matters worse, according to
Samra, is that the Egyptian administration has ignored these pressures,
and sought to forge alliances with countries that are at odds with the
U.S., led by the Russian Federation.
Economic war is something that major powers are increasingly
resorting to, Samra continued, citing a decision by China and Russia to
limit the use of the U.S. currency in their transactions, and U.S.
covert actions in these two countries’ vicinity. She said, “Perhaps
Egypt stands to benefit at present from the continuation of the crisis
between the major world powers.”
The University of Alexandria professor continued, “Egypt made a
mistake in 1998 when it agreed to the U.S. request to reduce economic
aid over ten years from $815 million to $415 million by 2008. The two
sides planned to reach a new agreement for the next ten years, but
negotiations continued for two years without reaching a comprehensive
deal.”
Regarding the size of the aid Egypt receives from the United States,
Abdul-Khaliq Ibrahim, financial expert, said, “The aid contributes to a
small percentage to the Egyptian economy. In 1979 – the year the U.S.
began to give aid to Egypt – aid accounted for 0.5 percent of the GDP.
Now, aid accounts for less than 0.25 percent in recent years.”
He continued, “Members of the U.S. Congress lobbied to link military
aid to Egypt to specific measures and policies that the regime in Egypt
must implement; it was then agreed that this aid would be conditional
upon political reform and the closure of tunnels along the
Egyptian-Israeli border, through which arms are smuggled to Gaza.”
Ibrahim then added, “Data shows that USAID allocated $557 million in
2003 for Egypt alone, including $200 million in cash transfers to
provide hard currency for new projects. But 70 percent of this
conditional aid is routed back to the U.S., to Egypt’s detriment.”
In the 1970s, according to the financial expert, U.S. aid went to
rehabilitating the Suez Canal, and infrastructure in the energy, water,
and communication sectors, as well as the construction of grain silos.
In the 1980s, he continued, aid was diverted to improving the quality of
life for Egyptians, especially in rural areas, and for sectors like
agriculture, health care, education, economic reform, and administrative
development, with a view to give the private sector a bigger role in
all sectors of the economy, encourage privatization, and adopt a free
market model, in addition to creating jobs and providing loans for small
businesses.
In
the 1990s, also according to Abdul-Khaliq Ibrahim, aid gave more
attention to the government’s efforts to stimulate economic growth, sell
public sector assets, and increase exports, in addition to improving
water-use efficiency, healthcare and educational services, curbing
pollution, and supporting NGOs in order for them to play a more active
role in development.
Ibrahim, citing USAID figures, gives a breakdown of the aid in the
outgoing period as follows: $5.3 billion to support infrastructure
(water, power, communications, etc.); $4.5 billion for basic services
(healthcare, family planning, education, agriculture); $6.2 billion for
imports of equipment; $2.8 billion for the implementation of
administrative, financial, and economic reform; and $3.9 billion in food
aid (i.e. grain imports until 1990). In addition, Egypt receives $1.3
billion annually in military aid.
Direct cash assistance during the same period did not exceed $1.815
billion, while the remainder of aid ($21.185 billion) went to finance
imports from the United States, bearing in mind the high cost of U.S.
goods, and the cost of transporting and insuring them, compared to
European or Japanese goods.
On March 4, 2014, Obama submitted a draft for the 2015 federal
budget, which comes into force in October 2014, with total expenditures
of $3.9 trillion. The budget maintained the same level of aid for Egypt
as previous years.
Obama allocated $200 million for economic aid, and $1.3 billion in
military aid to Egypt, in addition to $28 million for the U.S.
peacekeeping force in Sinai. Part of the economic aid was allocated for
supporting a peaceful democratic transition in Egypt.
A large proportion of military aid to Egypt remains suspended,
however. The 2014 federal budget unveiled in mid-December 2013 had
contained conditions for the U.S. State Department and the White House
to certify, at least in a pro forma manner, the adherence of the interim
government in Egypt to restoring democracy in the country through a
referendum on the constitution, and free and fair parliamentary and
presidential elections.
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
U.S. military aid to Egypt: An economic dependency trap
http://english.al-akhbar.com/content/us-military-aid-egypt-economic-dependency-trap
Cairo – U.S. aid to Egypt continues to be a headache for the
White House. Views are divided in the U.S. administration between those
who are in favor of and those who are against the resumption of aid to
the government in Cairo, which has turned a cold shoulder to the Obama
administration.
The U.S. president had suspended military aid to Egypt following the ouster of the Muslim Brotherhood-affiliated President Mohammed Mursi. Ahead of the 2014 budget, the U.S. State Department said that U.S. Secretary of State John Kerry would certify whether the Egyptian government had made real and concrete steps to support the democratic transition, before the funds could flow again.
The U.S. president had suspended military aid to Egypt following the ouster of the Muslim Brotherhood-affiliated President Mohammed Mursi. Ahead of the 2014 budget, the U.S. State Department said that U.S. Secretary of State John Kerry would certify whether the Egyptian government had made real and concrete steps to support the democratic transition, before the funds could flow again.
Perhaps this explains the large number of U.S. delegations that have
visited Egypt, to probe the situation there following the protests of
June 30, 2013.
Dr. Atiya Ibrahim, a political science professor at the University of California, said that recently, Michele Dunne, a senior associate at the Carnegie Middle East Program, had opined that Kerry was confused and unable to make a decision regarding the resumption of U.S. aid, until he could certify that the Egyptian administration would do as the U.S. dictates, as was happening in the past.
Ibrahim explained the real reason for the crisis between Egypt and the United States, which is bearing heavily on the question of military aid. He said, “The U.S. administration suspended the scheduled delivery of four F-16 jets to the Egyptian armed forces, to protest the army’s move to depose the elected president on July 24, 2013.” “Later, on August 14 of the same year, Obama cancelled the Bright Star military exercise with Egypt, in response to the violence against pro-Mursi protesters. Three days later, Washington announced it would suspend $250 million in annual aid, as Congress members John McCain and Lindsey Graham called on the United States to halt military aid to Egypt because of the unrest there,” he added.
Ibrahim then pointed out that the Saudi foreign minister pledged that the kingdom would offset any funds that the U.S. withholds, and also drew attention to the UAE’s move to provide financial assistance to Egypt as well as investment in joint projects, as a way to compensate for the suspended aid.
Dr. Salwa al-Samra, a professor of economics at the University of Alexandria, said that the legal justification for the suspension of U.S. aid to Egypt is that the latter had overthrown an elected president, something that the Americans oppose and want the army in Egypt to reconsider its position. What also makes matters worse, according to Samra, is that the Egyptian administration has ignored these pressures, and sought to forge alliances with countries that are at odds with the U.S., led by the Russian Federation.
Economic war is something that major powers are increasingly resorting to, Samra continued, citing a decision by China and Russia to limit the use of the U.S. currency in their transactions, and U.S. covert actions in these two countries’ vicinity. She said, “Perhaps Egypt stands to benefit at present from the continuation of the crisis between the major world powers.”
The University of Alexandria professor continued, “Egypt made a mistake in 1998 when it agreed to the U.S. request to reduce economic aid over ten years from $815 million to $415 million by 2008. The two sides planned to reach a new agreement for the next ten years, but negotiations continued for two years without reaching a comprehensive deal.”
Regarding the size of the aid Egypt receives from the United States, Abdul-Khaliq Ibrahim, financial expert, said, “The aid contributes to a small percentage to the Egyptian economy. In 1979 – the year the U.S. began to give aid to Egypt – aid accounted for 0.5 percent of the GDP. Now, aid accounts for less than 0.25 percent in recent years.”
He continued, “Members of the U.S. Congress lobbied to link military aid to Egypt to specific measures and policies that the regime in Egypt must implement; it was then agreed that this aid would be conditional upon political reform and the closure of tunnels along the Egyptian-Israeli border, through which arms are smuggled to Gaza.”
Ibrahim then added, “Data shows that USAID allocated $557 million in 2003 for Egypt alone, including $200 million in cash transfers to provide hard currency for new projects. But 70 percent of this conditional aid is routed back to the U.S., to Egypt’s detriment.”
In the 1970s, according to the financial expert, U.S. aid went to rehabilitating the Suez Canal, and infrastructure in the energy, water, and communication sectors, as well as the construction of grain silos. In the 1980s, he continued, aid was diverted to improving the quality of life for Egyptians, especially in rural areas, and for sectors like agriculture, health care, education, economic reform, and administrative development, with a view to give the private sector a bigger role in all sectors of the economy, encourage privatization, and adopt a free market model, in addition to creating jobs and providing loans for small businesses.
In the 1990s, also according to Abdul-Khaliq Ibrahim, aid gave more attention to the government’s efforts to stimulate economic growth, sell public sector assets, and increase exports, in addition to improving water-use efficiency, healthcare and educational services, curbing pollution, and supporting NGOs in order for them to play a more active role in development.
Dr. Atiya Ibrahim, a political science professor at the University of California, said that recently, Michele Dunne, a senior associate at the Carnegie Middle East Program, had opined that Kerry was confused and unable to make a decision regarding the resumption of U.S. aid, until he could certify that the Egyptian administration would do as the U.S. dictates, as was happening in the past.
Ibrahim explained the real reason for the crisis between Egypt and the United States, which is bearing heavily on the question of military aid. He said, “The U.S. administration suspended the scheduled delivery of four F-16 jets to the Egyptian armed forces, to protest the army’s move to depose the elected president on July 24, 2013.” “Later, on August 14 of the same year, Obama cancelled the Bright Star military exercise with Egypt, in response to the violence against pro-Mursi protesters. Three days later, Washington announced it would suspend $250 million in annual aid, as Congress members John McCain and Lindsey Graham called on the United States to halt military aid to Egypt because of the unrest there,” he added.
Ibrahim then pointed out that the Saudi foreign minister pledged that the kingdom would offset any funds that the U.S. withholds, and also drew attention to the UAE’s move to provide financial assistance to Egypt as well as investment in joint projects, as a way to compensate for the suspended aid.
Dr. Salwa al-Samra, a professor of economics at the University of Alexandria, said that the legal justification for the suspension of U.S. aid to Egypt is that the latter had overthrown an elected president, something that the Americans oppose and want the army in Egypt to reconsider its position. What also makes matters worse, according to Samra, is that the Egyptian administration has ignored these pressures, and sought to forge alliances with countries that are at odds with the U.S., led by the Russian Federation.
Economic war is something that major powers are increasingly resorting to, Samra continued, citing a decision by China and Russia to limit the use of the U.S. currency in their transactions, and U.S. covert actions in these two countries’ vicinity. She said, “Perhaps Egypt stands to benefit at present from the continuation of the crisis between the major world powers.”
The University of Alexandria professor continued, “Egypt made a mistake in 1998 when it agreed to the U.S. request to reduce economic aid over ten years from $815 million to $415 million by 2008. The two sides planned to reach a new agreement for the next ten years, but negotiations continued for two years without reaching a comprehensive deal.”
Regarding the size of the aid Egypt receives from the United States, Abdul-Khaliq Ibrahim, financial expert, said, “The aid contributes to a small percentage to the Egyptian economy. In 1979 – the year the U.S. began to give aid to Egypt – aid accounted for 0.5 percent of the GDP. Now, aid accounts for less than 0.25 percent in recent years.”
He continued, “Members of the U.S. Congress lobbied to link military aid to Egypt to specific measures and policies that the regime in Egypt must implement; it was then agreed that this aid would be conditional upon political reform and the closure of tunnels along the Egyptian-Israeli border, through which arms are smuggled to Gaza.”
Ibrahim then added, “Data shows that USAID allocated $557 million in 2003 for Egypt alone, including $200 million in cash transfers to provide hard currency for new projects. But 70 percent of this conditional aid is routed back to the U.S., to Egypt’s detriment.”
In the 1970s, according to the financial expert, U.S. aid went to rehabilitating the Suez Canal, and infrastructure in the energy, water, and communication sectors, as well as the construction of grain silos. In the 1980s, he continued, aid was diverted to improving the quality of life for Egyptians, especially in rural areas, and for sectors like agriculture, health care, education, economic reform, and administrative development, with a view to give the private sector a bigger role in all sectors of the economy, encourage privatization, and adopt a free market model, in addition to creating jobs and providing loans for small businesses.
In the 1990s, also according to Abdul-Khaliq Ibrahim, aid gave more attention to the government’s efforts to stimulate economic growth, sell public sector assets, and increase exports, in addition to improving water-use efficiency, healthcare and educational services, curbing pollution, and supporting NGOs in order for them to play a more active role in development.
Ibrahim, citing USAID figures, gives a breakdown of the aid in the
outgoing period as follows: $5.3 billion to support infrastructure
(water, power, communications, etc.); $4.5 billion for basic services
(healthcare, family planning, education, agriculture); $6.2 billion for
imports of equipment; $2.8 billion for the implementation of
administrative, financial, and economic reform; and $3.9 billion in food
aid (i.e. grain imports until 1990). In addition, Egypt receives $1.3
billion annually in military aid.
Direct cash assistance during the same period did not exceed $1.815 billion, while the remainder of aid ($21.185 billion) went to finance imports from the United States, bearing in mind the high cost of U.S. goods, and the cost of transporting and insuring them, compared to European or Japanese goods.
On March 4, 2014, Obama submitted a draft for the 2015 federal budget, which comes into force in October 2014, with total expenditures of $3.9 trillion. The budget maintained the same level of aid for Egypt as previous years.
Obama allocated $200 million for economic aid, and $1.3 billion in military aid to Egypt, in addition to $28 million for the U.S. peacekeeping force in Sinai. Part of the economic aid was allocated for supporting a peaceful democratic transition in Egypt.
A large proportion of military aid to Egypt remains suspended, however. The 2014 federal budget unveiled in mid-December 2013 had contained conditions for the U.S. State Department and the White House to certify, at least in a pro forma manner, the adherence of the interim government in Egypt to restoring democracy in the country through a referendum on the constitution, and free and fair parliamentary and presidential elections.
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
Direct cash assistance during the same period did not exceed $1.815 billion, while the remainder of aid ($21.185 billion) went to finance imports from the United States, bearing in mind the high cost of U.S. goods, and the cost of transporting and insuring them, compared to European or Japanese goods.
On March 4, 2014, Obama submitted a draft for the 2015 federal budget, which comes into force in October 2014, with total expenditures of $3.9 trillion. The budget maintained the same level of aid for Egypt as previous years.
Obama allocated $200 million for economic aid, and $1.3 billion in military aid to Egypt, in addition to $28 million for the U.S. peacekeeping force in Sinai. Part of the economic aid was allocated for supporting a peaceful democratic transition in Egypt.
A large proportion of military aid to Egypt remains suspended, however. The 2014 federal budget unveiled in mid-December 2013 had contained conditions for the U.S. State Department and the White House to certify, at least in a pro forma manner, the adherence of the interim government in Egypt to restoring democracy in the country through a referendum on the constitution, and free and fair parliamentary and presidential elections.
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
KEKUATAN EKONOMI CHINA BANGKIT SETELAH TUMPAS RATUSAN KORUPTOR
https://id-id.facebook.com/MrPresidenRI/posts/701285976578022
Republik Rakyat China kini semakin mengkhawatirkan posisi Amerika
Serikat (AS) dalam persaingan ekonomi global dan juga kekuatan
militernya. Ekonomi China bangkit setelah negara berpenduduk 1,2 milyar jiwa itu berhasil menumpas ratusan koruptor yang telah menggerogoti keuangan negara hanya dalam beberapa tahun.
Untuk menakut-nakuti abdi negara-nya agar tidak melakukan korupsi, pemerintah China setiap kali melakukan eksekusi hukuman tembak mati para koruptor selalu dilaksanakan di hadapan ribuan publik dan diperintahkan untuk ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi setempat secara berulang-ulang dalam beberapa bulan.
Bukan hanya itu, selain menyita hartanya, pemerintah China juga mengambil alih beberapa organ tubuh penting para Koruptor yang dihukum mati seperti, mata, hati, jantung, liver dan ginjal untuk di donasikan kepada warga negaranya yang membutuhkan.
Jenazah setiap koruptor yang telah di eksekusi disana diserahkan kepada keluarganya sudah tanpa ke 5 organ tubuh tersebut. Dampaknya, kini China berhasil bangkit memperkuat ekonomi rakyatnya dan menjadi macan ekonomi di kawasan Asia dan Eropa.
Kekuatan ekonomi baru China yang disertai kecanggihan alat pertahanan militernya telah dianggap sebagai ancaman serius bagi AS dan Israel serta negara-negara Eropa. Menurut sahabat muslim sekalian... Indonesia perlu tidak meniru apa yang dilakukan oleh China dalam menumpas para koruptornya? Oia, sebelum jawab, mohon di"Like" dan di "Share" ya. Supaya banyak warga negara kita yang banyak tahu dan mungkin saja mulai diaplikasikan dari mulai daerah-daerah kecil. Dan bertahap dijalankan dicakupan yang lebih luas. Aaaamiin.
LKS4Presiden RI siap melakukan percontohan diatas kelak jika dipercayakan menjadi Presiden RI pada 2014 demi perwujudan UUD 1945 dan Pancasila yaitu: mewujudkan Keadilan, Kesejahteraan dan kemakmukmuran bagi Rakyat NKRI
KEKUATAN EKONOMI CHINA BANGKIT SETELAH TUMPAS RATUSAN KORUPTOR
Untuk menakut-nakuti abdi negara-nya agar tidak melakukan korupsi, pemerintah China setiap kali melakukan eksekusi hukuman tembak mati para koruptor selalu dilaksanakan di hadapan ribuan publik dan diperintahkan untuk ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi setempat secara berulang-ulang dalam beberapa bulan.
Bukan hanya itu, selain menyita hartanya, pemerintah China juga mengambil alih beberapa organ tubuh penting para Koruptor yang dihukum mati seperti, mata, hati, jantung, liver dan ginjal untuk di donasikan kepada warga negaranya yang membutuhkan. Jenazah setiap koruptor yang telah di eksekusi disana diserahkan kepada keluarganya sudah tanpa ke 5 organ tubuh tersebut.
Dampaknya, kini China berhasil bangkit memperkuat ekonomi rakyatnya dan menjadi macan ekonomi di kawasan Asia dan Eropa. Kekuatan ekonomi baru China yang disertai kecanggihan alat pertahanan militernya telah dianggap sebagai ancaman serius bagi AS dan Israel serta negara-negara Eropa.
Menurut sahabat muslim sekalian... Indonesia perlu tidak meniru apa yang dilakukan oleh China dalam menumpas para koruptornya?
Oia, sebelum jawab, mohon di"Like" dan di "Share" ya. Supaya banyak warga negara kita yang banyak tahu dan mungkin saja mulai diaplikasikan dari mulai daerah-daerah kecil. Dan bertahap dijalankan dicakupan yang lebih luas. Aaaamiin.
Menakar Kekuatan Ekonomi Cina
http://www3.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/arief-b-iskandar-alumnus-unpad-menakar-kekuatan-ekonomi-cina.htm#.U1qQgKL3tkg
Hal itu bisa dilihat dari anggaran pertahanan yang dikeluarkan Pemerintah Cina. Pada awal 2006, misalnya, Cina telah mengeluarkan anggaran sebesar 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 560 triliun yang dialokasikan untuk membangun angkatan bersenjatanya. Pada tahun 2008 Cina menganggarkan 121,9 miliar dolar AS (Rp 1219 triliun; 8,28% APBN) (Bandingkan dengan Indonesia yang hanya menganggarkan 3,6 miliar dolar AS [Rp 36 triliun; 0,24% APBN] pada tahun yang sama.
Adapun secara ekonomi, dengan pertumbuhan ekonomi selalu di atas 10 persen (sebelum krisis global), Pemerintah Cina berhasil mengentaskan kemiskinan sekitar 200 juta penduduknya. Pada 2004, pendapatan perkapita penduduk Cina adalah 1290 dolar AS.
IMF memperkirakan Cina akan menyumbang sekitar dua pertiga pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2008-2010, sementara perekonomian AS justru menyusut 2.6% pada tahun yang sama dengan angka pengangguran yang merangkak naik menjadi 9.5%—angka tertinggi sejak 1983. Banyak pihak menilai kesejahteraan ekonomi Cina akan mengungguli Amerika.
Awal Kebangkitan Cina
Republika Rakyat Cina (RRC) dideklarasikan tanggal 1 Oktober 1949 oleh tokoh komunis Cina terkemuka saat itu, Mao Zedong. Kemudian, sejak Deng Xiaoping naik ke tampuk kekuasaan Cina, dilakukanlah reformasi ekonomi pada tahun 1978. Sejak itu Cina terus menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, rata-rata sebesar 10%.Belum lagi besarnya produk domestik bruto (GDP) yang menunjukkan bahwa Cina menjadi negara terbesar ketiga setelah AS dan Jepang, serta tidak menutup kemungkinan untuk menggeser posisi Jepang menjadi nomor dua setelah AS.
Naiknya Deng Xiaoping ke tampuk kepemimpinan Cina pada 1978 membawa sejumlah perubahan besar di dalam negeri Cina. Langkah pertama yang dilakukan Deng Xiaoping adalah persiapan kerangka kekuasaan agar dapat menjalankan Empat Modernisasi:
Modernisasi ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan pertahanan-keamanan. Langkah-langkah berani yang sudah dimulai sejak 1976 tersebut diresmikan dalam Sidang Komite Pusat Partai Komunis Cina (PKC) ke-11 pada Desember 1978. Sidang tersebut dianggap sebagai turning point yang mengawali suatu proses demistifikasi Mao (Soebagio, 1990).
Cina Pasca Reformasi 1978
Apa yang dirintis Deng sejak 1978 ternyata merupakan titik balik Cina menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang patut diperhitungkan. Meskipun sempat menimbulkan pertentangan di dalam negeri mengenai arah reformasi, berkat kepemimpinan Deng yang mampu mengatasi pertentangan ideologis yang terjadi, reformasi ekonomi Cina yang berkaitan dengan lima proses—yaitu desentralisasi, marketisasi, diversifikasi kepemilikan, liberalisasi dan internasionalisasi—dapat dijalankan.Titik penting lainnya dalam melihat “perubahan” Cina ini adalah naiknya Hu Jintao menggantikan Jiang Zemin, yang berkuasa di Cina pasca Deng, pada Kongres PKC ke-16.
Secara formal, Kongres PKC ke-16 menggarisbawahi kesadaran akan Marxisme serta ide-ide Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Pada waktu yang sama juga dibuat kebijakan xiaokang, yaitu konsep pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi.
PKC kemudian hadir dengan slogan politik yang baru, yang berusaha untuk menyediakan basis ideologi bagi perannya dan memberikan harapan kepada sejumlah kalangan yang menginginkan pertumbuhan ekonomi pasar, dukungan integrasi terhadap ekonomi dunia serta menikmati akses terhadap jaringan komunikasi global.
Pilihan pragmatis Cina ini ternyata membuahkan hasil. Hasil pembangunan ekonomi Cina terus menunjukkan angka yang mengesankan. Cina juga berhasil menunjukkan daya tahan ekonomi negaranya ketika seluruh negara terguncang akibat krisis keuangan global tahun 2008.
Selama sembilan bulan pertama tahun 2009, perekonomian Cina tumbuh sebesar 7,7%. Cina juga sukses menjalankan program stimulus ekonomi. Bahkan Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, mengungkapkan bahwa krisis global saat ini hanya dapat diselesaikan oleh G-2, yaitu AS dan Cina.
Sebelum dilanda krisis global, Cina telah membukukan pertumbuhan tahunan dua digit selama 2003-2007. Setelah pertumbuhannya merosot menjadi 6,1 persen pada kuartal pertama tahun 2009 (laju paling lambat dalam 20 tahun), Cina pulih pada kuartal kedua dengan tumbuh 7,9 persen dan diharapkan melebihi delapan persen untuk keseluruhan 2009. Pembalikan Cina diperkuat oleh paket stimulus senilai empat triliun yuan (586 miliar dolar AS) dan pinjaman bank dalam paruh pertama mencapai 7,4 triliun yuan (Berita2.com, 19/10/2009).
Kekuatan Semu Ekonomi Cina
Tiga puluh tahun yang lalu, Cina punya jejak kaki yang kecil sekali dalam ekonomi global dan pengaruh yang sama kecilnya di luar batas negeri itu, kecuali di beberapa negara yang mempunyai hubungan politik dan militer yang dekat dengannya.Sekarang, Cina merupakan kekuatan ekonomi yang luar biasa; pusat industri manufaktur di dunia, penyedia dana paling terkemuka, investor utama di seantero dunia dari Afrika sampai Amerika Latin, serta sumber riset dan pengembangan utama yang semakin luas.
Pemerintah Cina berada di puncak cadangan devisa yang mencengangkan—lebih dari US$ 2 triliun. Tidak ada satu bisnis di mana pun di dunia yang tidak merasakan dampak pengaruh Cina, baik sebagai pemasok barang-barang yang murah maupun, yang lebih mengancam lagi, sebagai pesaing yang mahatangguh.
Semua ini menimbulkan pertanyaan, akankah Cina pada akhirnya bakal menggantikan Amerika Serikat sebagai hegemon dunia, peletak dan penentu arah ekonomi global?
Faktanya, kemajuan ekonomi Cina yang pesat bukan tanpa dampak. Kesenjangan terjadi di Cina antara kaya dan miskin serta antara kota dan desa yang semakin lebar.
Kesenjangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, penanganan buruh migran yang buruk, tindakan kekerasan dan kebrutalan serta fitnah terhadap kaum minoritas kini menjadi isu nasional di Cina.
Pertumbuhan ekonomi Cina memang selalu di atas 10 persen sejak akhir 2005. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina turun menjadi 9,0 persen pada kuartal ketiga 2008 akibat krisis keuangan global yang mulai terasa dampaknya di negara itu. Sejak itu, penurunan pertumbuhan ekonomi merupakan yang pertama kali terjadi.
Hal itu merupakan indikasi paling kuat bahwa ekonomi Cina juga ikut terpengaruh memburuknya ekonomi internasional saat ini. ”Di Cina, setiap pertumbuhan di bawah 10 persen merupakan sebuah sinyal bahwa ekonomi menjadi melempem,” kata Ren Xianfang, ekonom di firma konsultan Global Insight yang berbasis di Beijing.
Sampai bulan November 2008 sekitar 4,85 juta tenaga kerja dari kota-kota wilayah industri di negara Tirai Bambu itu harus kembali ke kampung halamannya. Di tempat asal para pekerja itupun tidak tersedia pekerjaan yang dapat menampung mereka. Secara keseluruhan 6,7 juta orang telah kehilangan pekerjaan. Selain itu 670 usaha kecil telah gulung tikar menjelang akhir tahun ini.
Menurut banyak kalangan di Cina, angka PHK itu jauh lebih besar karena yang tercatat hanya dari daerah perkotaan. Yang paling terkena dampak adalah tenaga kerja baru tamatan perguruan tinggi. Tingkat pengangguran sarjana sudah mencapai 12 persen. Sebanyak 1,5 juta orang tidak punya pekerjaan, ditambah 6,1 juta yang akan memasuki pasar kerja tahun depan (Antara, 21/12/2008).
Cina adalah satu-satunya negara di dunia yang jika pertumbuhannya kurang dari 8 persen dari tahun ke tahun dianggap berbahaya, karena ia bakal memicu keresahan sosial yang menunjukkan dengan gamblang kerapuhan mendasar sistem yang berlaku di Cina. Padahal sebagian besar negara lainnya di dunia cuma bisa bermimpi mengalami pertumbuhan sebesar itu. Sifat rezim politik otoriter itulah yang merupakan titik kerapuhan sistem yang berlaku di Cina.
Tentu semakin sulit bagi Cina mempertahankan laju pertumbuhan yang sudah terbiasa dialaminya pada tahun-tahun terakhir ini. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Cina saat ini terutama bersandar pada surplus perdagangan yang besar. Semua ini tidak bisa dipertahankan. Cepat atau lambat ia akan memicu konfrontasi yang serius dengan Amerika (dan Eropa). Tidak ada jalan keluar dari dilema ini. Cina harus menerima laju pertumbuhan yang lebih lamban (Dani Rodrik, Koran Tempo, 18/1/2010).
Ancaman Kebangkrutan
Akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih detail. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001). Buku ini menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi Cina saat ini, yang semua ini akan mendorong keruntuhan Cina.
Yang pertama diangkat Chang adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina, petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantor-kantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina.
Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalamipemutusan hubungan kerja di kota. Memang, privatisasi perusahaan milik negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani.
Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina.
Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di kota. Karena itu, munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat ini sungguh mudah dipahami. Meski demikian, Chang tidak hanya bersandar pada satu data ini saja untuk menunjukkan kerapuhan Cina.
Data kedua yang jauh lebih mendasar adalah fakta bahwa bank-bank Cina saat ini dalam keadaan insolvent. Ini yang amat berbahaya bagi ekonomi Cina secara keseluruhan. Ramalan Chang, entah bagaimana, entah kapan, seandainya rakyat Cina tahu keadaan ini, lalu mengadakan rush terhadap bank-bank, maka tamatlah ekonomi Cina, sekaligus politik Cina.
Persoalan dengan bank-bank di Cina (semua milik negara) adalah, bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita perusahaan-perusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di seluruh Cina. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen perusahaan milik negara itu ada dalam keadaan bangkrut.
Mengingat begitu besar dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebangkrutan perusahaan milik negara, Pemerintah Cina tidak mempunyai pilihan lebih baik selain menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta. Pemerintah lebih memilih "stabilitas politik" ketimbang membiarkan perusahaan itu bangkrut atau diprivatisasi.
Karena itu, pertanyaan kritis yang sering dilemparkan oleh Gordon Chang dan kawan-kawannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini dapat dipertahankan dengan situasi perbankan yang amburadul seperti itu. Sulit untuk tetap memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan terustumbuh dengan angka tujuh persen pertahun.
Pendapat Chang itu sejajar dengan yang dikemukakan oleh laporan WorldBank yang ditulis tahun 1997, berjudul, China 2020. Laporan yang sarat dengan angka statistik ini mula-mula menggambarkan prestasi ekonomi Cina yang luar biasa.
Misalnya, untuk melipatduakan income percapita, Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara Inggris membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun.
Namun, World Bank cepat memberi peringatan adanya enam masalah besar yang menghadang Cina saat ini, yaitu transisi yang tidak lengkap, lingkungan yang rusak, tak ada sumber pendapatan yang tetap, melebarnya jurang kaya dan miskin, tidak cukup persediaan makan, dan sengketa perdagangan dengan negara-negara lain.
Enam masalah itu sebenarnya tidak khas Cina, banyak negara sedang berkembang juga menghadapi masalah-masalah itu. Ada masalah lain yang sifatnya jangka panjang, dan ini menyangkut hal-hal yang sifatnya mendasar. Dikatakan, tahun 2020 Cina akan mengalami kekurangan tanah, modal maupun buruh terdidik. Belum lagi masalah-masalah berat yang muncul bila nanti Cina benar-benar telah terintegrasi dengan sistem perdagangan internasional di bawah WTO.
Dari bahasan yang amat singkat ini tampak, bahwa yang terjadi saat ini di Cina sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang tampak dari luar. World Bank condong mengambil pelajaran dari pengalaman Brasil dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi antara tahun 1950-1980, lalu jatuh pada dekade berikutnya. Bila tidak hati-hati, Cina akan mengalami hal serupa, dan hal ini tidak akan ditolerir oleh rakyat yang selama ini selalu diberi mimpi-mimpi akan masa depan gemilang (I Wibowo, 2009).
Tak Akan Pernah Menjadi Adidaya
Menurut Adnan Khan dalam tulisannya di Khilafah.com, model pembangunan Cina menunjukkan bahwa negara manapun akan mampu untuk berkembang ke arah manapun.
Namun, suatu pembangunan pada hakikatnya adalah kemampuan untuk memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas yang berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luar negeri, energi, integrasi, pemerintahan dan relasi pria dan wanita.
Dengan pandangan hidup yang khas, suatu negeri akan menyelesaikan semua isu secara konsisten, terarah dan menciptakan kemajuan. Tanpa ideologi, suatu negeri mungkin akan maju, tetapi akan mendapatkan dirinya dalam suatu dilema yang tidak bisa ia selesaikan.
Dalam 5000 tahun sejarahnya, Cina tidak pernah menjadi kekuatan adidaya dan tidak pernah mempengaruhi politik internasional. Bahkan ketika Cina mengadopsi Komunisme, ia tidak mampu mengembannya lebih jauh dari batas negerinya sendiri apalagi mempengaruhi negara lain. Selama 5000 tahun, Cina lebih sering berperang dengan dirinya sendiri dan sibuk untuk menyatukan wilayah.
Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.
Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS.
Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS, tetapi sekadar usaha mendapatkan akses pada energi minyak, karena Cina akan semakin bergantung padanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.
Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi. Tanpa ideologi yang jelas, Cina tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya secara konsisten.
Secara domestik Cina memang diperintah oleh ideologi Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai (PKC).
Akan tetapi, Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Pada saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dan AS dalam hal ini berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten terhadap wilayah-wilayah tersebut.
Walhasil, sampai pada satu titik Cina memutuskan apa ideologi sekaligus jatidirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda. Pada akhirnya, Cina tidak akan pernah mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun! []
Arief B. Iskandar, Alumnus UNPAD, Redaktur Pelaksana Media Politik dan Dakwah AL-WAIE, tinggal di Bogor.
Apendiks:
Susutnya Kekayaan Orang-orang Terkaya di Cina Saat Krisis
Krisis keuangan global yang ditandai dengan amburadulnya bursa saham ikut menyeret lunturnya kekayaan para konglomerat. Kekayaan konglomerat di Cina pun susut seiring kejatuhan bursa saham.
Berdasarkan survei yang dipublikasi Forbes, Kamis (30/10/2008), disebutkan kekayaan 400 konglomerat Negeri Tirai Bambu, Cina, anjlok menjadi USD173 miliar dari USD288 miliar. Bahkan 40 konglomerat papan atas harus mengalami penyusutan kekayaan hingga 57 persen atau USD68 miliar.
Data Forbes juga menyatakan akibat krisis, jumlah miliader di negeri itu jumlah turun dari 66 orang pada tahun lalu, kini tinggal 24 miliader.
Konglomerat real estate Yang Huiyan yang tahun lalu disebut sebagai orang terkaya, pada tahun ini harus mengalami kerugian paling besar. Kekayaannya susut USD14 miliar menjadi USD2,2 miliar dan dia harus puas di rangking tiga daftar orang kaya di Cina.
Bos Nine Dragons Paper Yan Cheung, yang pada Maret 2007 lalu masuk daftar orang terkaya di Cina, kini juga mengalami nasib kurang bagus. Jika pada tahun lalu dia sempat masuk daftar 10 wanita miliader di dunia, kini kekayaannya tinggal USD265 juta.
Konglomerat lainnya yang alami kemerosotan kekayaan antara lain Larry Yung yang harus menanggung kerugian dari Citic Pacific hingga USD2 miliar. Cheung Chung Kiu, bos C.C, harus kehilangan kekayaan hingga 98 persen. Jika tahun lalu Cheung masuk rangking 26, tahun ini dia harus rela terdepak dari daftar orang terkaya di Cina.
Kemerosotan para konglomerat Cina itu memang bagian dari imbas lesunya perekonomian dunia. Negeri itu juga tidak luput dari himpitan krisis global. "Ekspor kelihatannya masih akan memburuk. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi 4-5 persen sudah sangat bagus," ujar Horst Geicke, yang mengelola dana investasi USD6 miliar melalui Vina Capital Hong Kong.
Stimulus ekonomi yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Wen Jiabao tidak akan cukup untuk mengompensasi penurunan ekspor. Tak heran jika Merrill Lynch menurunkan proyeksi target pertumbuhan ekonomi Cina pada 2009 di kisaran 8,5-9 persen. (Okezone.com, 30/10/2008).
Ma’alim fit Thoriq (Petunjuk Jalan)
Mukaddimahhttp://muqowama.wordpress.com/maalim-fit-thoriq-petunjuk-jalan/
Saat ini umat manusia sedang berada di tepi jurang kehancuran. Bukan karena faktor ancaman kepunahan yang ada di atas kepala mereka. Tapi karena kebangkrutannya dalam dunia “nilai” tempat kehidupan manusia dapat berkembang dengan sehat dan meningkat dengan baik. Hal ini amat jelas tampak di dunia Barat, yang tidak lagi dapat memberikan “nilai” bagi umat manusia. Bahkan ia tidak lagi memiliki alasan yang membuat dirinya merasa berhak untuk tampil di dunia. Hal itu setelah Demokrasi di sana berakhir pada keadaan yang menyerupai kebangkrutan, karena ia mulai meminjam –secara perlahan– dan mengadopsi sistem yang dianut oleh blok Timur, terutama dalam sistem ekonomi! Di bawah nama Sosialisme!
Demikian juga halnya dengan blok Timur sendiri. Teori-teori sosial, terutama Marxisme, yang pada awalnya telah menarik banyak orang di Timur –juga di Barat– karena melihatnya sebagai aliran pemikiran yang mengandung unsur ideologi yang menjanjikan, kini telah mengalami kemunduran dari segi ‘pemikiran’ dengan jelas. Sehingga, saat ini teori-teori tersebut hampir terbatas pada aspek ‘negara’ dan perangkat pendukungnya saja. Ia sudah amat jauh dari dasar-dasar aliran pemikirannya. Sebab, secara umum ia bertentangan dengan fithrah manusia dan kebutuhan-kebutuhannya. Ia pun hanya dapat hidup di lingkungan sosial yang kacau dan hancur! Atau di lingkungan yang sebelumnya dikuasai oleh sistem diktator dalam waktu yang lama! Bahkan dalam lingkungan sosial seperti itu pun, Marxisme telah mempertontonkan kegagalan material-ekonominya. Seperti yang diperlihatkan oleh Prusia –sebuah contoh masyarakat yang mengaplikasikan sistem komunisme– yang mengalami kekurangan bahan pangan, padahal sebelumnya produk pangannya selalu surplus, hingga pada masa kekaisaran sekalipun. Akibanya mereka harus mengimpor gandum dan bahan-bahan pangan dari negara lain. Mereka menjual simpanan emasnya untuk membeli bahan pangan yang mereka butuhkan. Hal tersebut terjadi karena kegagalan perkebunan komunis yang mereka laksanakan, dan gagalnya sistem yang bertentangan dengan fithrah dasar manusia tersebut.
Oleh karena itu, umat manusia memerlukan kepemimpinan yang baru!
Kepemimpinan orang Barat terhadap umat manusia hampir punah. Bukan karena peradaban Barat telah bangkrut secara material, atau melemah dari segi kekuatan ekonomi dan militer. Tapi karena sistem barat telah berakhir perannya, sebab ia tidak lagi memiliki kekayaan ‘nilai’ yang membuatnya layak untuk memimpin.
Harus ada kepemimpinan yang tidak hanya mampu mempertahankan dan mengembangkan peradaban material yang telah dicapai oleh umat manusia saat ini, melalui kejeniusan Eropa dalam menciptakan kreasi material, tapi juga mampu memberikan umat manusia nilai-nilai baru yang serius dan sempurna –dibandingkan dengan apa yang dikenal sebelumnya oleh umat manusia– dan dengan metode yang genuine, positif dan realistis sekaligus…
Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai dan metode tersebut.
Kebangkitan ilmu pengetahuan telah menjalankan perannya. Kebangkitan ini dimulai bersamaan dengan era renaissance pada abad ke enam belas, dan mencapai puncaknya pada masa abad delapan belas dan sembilan belas. Namun ia tidak lagi memiliki kekayaan ‘nilai’ lagi..Demikian juga dengan “nasionalisme” yang timbul pada masa itu, dan juga perkumpulan masyarakat lokal, telah menjalankan perannya selama masa itu. Namun dia juga tidak lagi memiliki kekayaan ‘nilai’ yang baru..
Kemudian sistem individualisme dan komunisme juga gagal.
Maka datanglah masanya bagi Islam dan umat Islam untuk berperan, pada saat umat manusia sedang amat membutuhkan, kebingungan dan mengalami kekacauan. Datanglah masa peran kepemimpinan Islam, yang tidak mengingkari kreatifitas material di bumi, karena ia melihatnya sebagai tugas manusia, semenjak Allah SWT memberikan amanah kekhalifahan di atas muka bumi kepadanya. Islam menilainya –dengan syarat-syarat khusus– sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, dan realisasi tujuan keberadaan manusia.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Al Baqarah: 30
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Adz Dzaariyaat: 56
Datanglah masa berperannya “umat Islam” untuk mewujudkan kehendak Allah SWT dalam pengutusan mereka kepada manusia:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ali Imran: 110
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Al Baqarah: 143.
* * *
Tetapi Islam tidak dapat menjalankan perannya kecuali jika ia tercermin dalam suatu masyarakat atau umat. Karena manusia –khususnya di zaman ini- tidak mau mendengarkan suatu aqidah semata, yang tidak mempunyai bukti realistis dalam kehidupan nyata. Sementara keberadaan “Umat Islam” bisa dikatakan telah terputus semenjak beberapa abad yang lalu. Umat Islam bukanlah ‘tanah’ yang pernah menjadi tempat hidupnya Islam. Ia juga bukan ‘bangsa’ yang nenek-moyang mereka hidup dengan sistem Islam pada beberapa abad yang lalu dalam sejarah. Namun “umat Islam” adalah sekelompok manusia yang kehidupan mereka, konsepsi, sistem, nilai dan ukuran-ukuran mereka seluruhnya bersumber dari manhaj –metode- Islam. Umat ini, dengan karakteristik seperti ini, telah punah semenjak terputusnya penegakan hukum dengan syari’at Allah dari seluruh muka bumi.
Kita harus mewujudkan kembali keberadaan ‘umat’ ini, sehingga Islam dapat menjalankan perannya yang ditunggu-tunggu dalam memimpin manusia..
Kita harus ‘membangkitkan’ umat itu, yang telah terkubur oleh tumpukan berbagai generasi, tumpukan konsepsi-konsepsi, kondisi yang selalu berubah, dan sistem-sistem yang beragam, yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Islam, tidak pula dengan manhaj Islam. Meskipun tetap ada mengklaim bahwa ia masih berdiri dalam apa yang dinamakan dengan ‘Dunia Islam’!
Aku mengetahui bahwa jarak antara usaha untuk ‘membangkitkan’ tersebut dengan masa menerima ‘tampuk kepemimpinan’ itu masih jauh sekali. Karena umat Islam telah punah dari ‘wujud’nya dan dari ‘pandangan mata’ semenjak lama. Sementara kepemimpinan manusia telah dipegang oleh pemikiran lain, bangsa lain, pandangan hidup yang lain, dan dengan bentuk yang lain, dalam masa yang lama. Kreatifitas Eropa pada masa itu telah menciptakan kekayaan yang besar dalam bentuk ‘ilmu pengetahuan’, ‘budaya’, ‘sistem’ dan ‘produk material’. Ini adalah capaian yang besar, yang membawa manusia ke puncaknya. Sehingga untuk menggantikan peran tersebut tentulah tidak mudah. Apalagi apa yang dinamakan dengan ‘dunia Islam’ hampir bisa dikatakan masih kosong dari capaian-capaian seperti itu!
Namun demikian, meskipun kondisinya demikian, kita tetap harus mengusahakan ‘kebangkitan Islam’, sejauh apapun jarak yang merentang antara usaha pembangkitan dengan masa penyerahan tampuk kekuasaan kepemimpinan manusia itu. Usaha untuk membangkitan Islam kembali adalah langkah pertama yang tidak mungkin diabaikan!
* * *
Agar usaha kita ini menjadi jelas, kita harus mengetahui –secara terbatas—syarat-syarat pada umat ini untuk bisa memimpin manusia. Sehingga kita tidak salah dalam memilih unsur-unsur kelengkapan syarat-syarat tersebut sebagai langkah awal usaha pembangkitan ini..
Sekarang umat ini tidak mampu –dan ia memang tidak dituntut demikian– untuk menunjukkan kepada manusia suatu kemajuan luar biasa dalam bidang kreasi material, yang menjadikan orang lain tunduk kepadanya, serta mampu membuatnya memegang kepemimpinan internasional. Sebab, kejeniusan Eropa telah mendahului banyak sekali kemajuan dalam bidang ini. Sehingga, dalam beberapa abad mendatang, tidak dapat diharapkan adanya kemajuan material lain yang dapat menandinginya!.
Oleh karena itu, kita harus menengok sisi lainnya! Yaitu sisi yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat ini!
Ini tidak berarti bahwa kita menafikan kreatifitas material. Kita tetap wajib untuk mengusahakan capaian dalam bidang itu. Bukan karena ia adalah syarat agar kita bisa maju menjadi pemimpin umat manusia pada era kontemporer ini. Tapi karena ia adalah hal yang mendesak sebagai kebutuhan untuk keberadaan kita, serta merupakan kewajiban yang diharuskan oleh ‘weltanschauung Islam”, yang memberikan amanah kekhalifahan di atas muka bumi kepada manusia. Islam pun menilai kreatifias material tersebut –dengan syarat tertentu– sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, serta sebagai realisasi tujuan keberadaan manusia.
Dengan demikian, harus ada sisi lain tersebut –selain kreatifitas material—sebagai syarat untuk bisa memimpin manusia. Syarat ini tidak lain adalah “‘aqidah” dan “manhaj” Islam yang memberikan kemungkinan bagi manusia untuk mempertahankan capaian kejeniusan materialnya, di bawah pengawasan konsep yang memenuhi kebutuhan fithrah manusia sebagaimana kreatifitas material. Aqidah serta manhaj itu juga dapat tercermin dalam kelompok manusia, atau dengan kata lain dalam masyarakat Islam.
* * *
Dunia saat ini, seluruhnya hidup dalam “kejahiliyyahan”, dari segi dasar yang menjadi landasan pokok unsur-unsur kehidupan dan sistem-sistemnya. Kejahiliyyahan yang sama sekali tidak terkurangi oleh kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh capaian-capaian material dan produk kreatifitas yang mengagumkan ini!
Kejahiliahan ini berpijak pada pelanggaran terhadap kekuasaan Allah SWT di atas muka bumi, dan pelanggaran terhadap hak ketuhanan Allah yang paling khusus, yaitu al-Hakimiah (otoritas kekuasaan legislatif). Mereka menyandarkan otoritas ini kepada manusia. Sehingga sebagian dari mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan. Bukan dalam bentuk primitif yang sederhana, yang dikenal pada zaman kejahiliyyahan zaman lampau, namun dalam bentuk klaim kepemilikan hak membuat pandangan hidup, nilai-nilai, hukum, undang-undang, sistem dan institusi yang lepas dari manhaj Allah SWT bagi kehidupan ini, serta dalam hal yang tidak diizinkan oleh Allah SWT..
Pelanggaran terhadap kekuasaan Allah ini menyebabkan pelanggaran terhadap hak hamba-hamba-Nya. Penistaan “umat manusia” secara umum yang terjadi pada sistem Komunisme, serta kezaliman yang menimpa “individu” dan bangsa yang dilakukan oleh kekuasaan kapital dan kolonial dalam sistem “Kapitalisme”, semua itu adalah hasil dari pelanggaran terhadap kekuasaan Allah SWT, dan pengingkaran terhadap kemuliaan manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia!
Di sini, manhaj Islam mempunyai konsep yang khas. Dalam sistem selain sistem Islam, manusia saling menyembah satu sama lain –dalam berbagai bentuk– . Hanya dalam manhaj Islamlah seluruh manusia terbebaskan dari penyembahan satu sama lain, dan hanya menyembah Allah SWT semata, menerima perintah dari Allah SWT semata, dan tunduk kepada Allah SWT. semata.
Di sinilah perbedaan mendasar antara Islam dengan konsep lainnya. Manhaj Islam inilah –dengan segala hasilnya yang mengakar kuat pada kehidupan riil manusia— merupakan pandangan hidup baru yang dapat kita berikan kepada umat manusia. Manhaj Islam inilah kekayaan yang tidak dimiliki oleh umat manusia. Karena ia bukan “produk” peradaban Barat, juga bukan hasil kejeniusan Eropa! Baik Barat atau Timur.
* * *
Kita –tanpa diragukan lagi– memiliki sesuatu baru, serius dan sempurna. Sesuatu yang tidak diketahui oleh umat manusia. Dan tidak bisa pula mereka “memproduksinya”!
Namun, sesuatu yang baru ini harus terwujudkan –seperti telah kami katakan sebelumnya– dalam realitas praktis. Umat Islam harus mewujudkan hal itu dalam kehidupan. Dan ini berarti membutuhkan usaha “pembangkitan” dalam masyarakat Islam. Pembangkitan yang kemudian akan diikuti –baik dalam waktu dekat maupun jauh– penerimaan tampuk kepemimpinan umat manusia.
Bagaimanakah upaya pembangkitan Islam ini dimulai?
Harus ada pionir-pionir yang bertekad menggerakkan proyek ini, serta terus berlalu di jalan ini. Mereka terus berlalu meski kejahiliyyahan sedang mencengkeram di seluruh penjuru bumi. Mereka memisahkan diri dari kejahiliyyahan, meski di sisi lain mereka tidak bisa melepaskan kontak tertentu dengan kejahiliyyahan yang berkuasa tersebut.
Harus ada “Petunjuk Jalan” bagi pionir-pionir yang bertekad menjalankan proyek ini. “Petunjuk Jalan” yang mendedahkan peran yang harus mereka jalankan, hakekat tugas dan tujuan pokok mereka, serta starting point pergerakan mereka dalam perjalanan yang panjang ini. Dari “Petunjuk Jalan” ini, mereka akan mengetahui sikap yang harus diambilnya terhadap kejahiliyyahan yang merajalela di seluruh penjuru bumi, serta dalam hal apa ia bertemu dengan manusia yang lain, dan dalam hal apa pula harus berpisah? apa karakteristik dirinya? dan apa karakteristik kejahiliahan yang berada di sekitarnya? Bagaimana ia berkomunikasi dengan orang-orang jahiliyyah tersebut dengan bahasa Islam? Dan apa yang harus ia komunikasikan kepada mereka? Selanjutnya, mereka akan tahu dari mana ia mendapatkan semua karakteristik tersebut, dan bagaimana mendapatkanya?
Petunjuk Jalan ini harus disusun dari sumber pertama aqidah ini, yaitu Al Quran, serta dari petunjuk-petunjuk utamanya, dan dari konsepsi yang berhasil ia tumbuhkan pada diri tokoh-tokoh generasi pertama yang terpilih, di mana lewat merekalah Allah SWT menciptakan apa yang dikehendaki-Nya terwujud di bumi ini, sehingga merubah perjalanan sejarah kembali kepada jalan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
* * *
Bagi pionir yang diharapkan dan ditunggu-tunggu itulah, aku tulis buku “Petunjuk Jalan” ini. Isi buku ini terdiri dari empat pasal yang aku sarikan dari kitab “Fi Zhilal al Quran” [Yaitu pasal: "sifat Manhaj Qurani", "Konsep Islam dan Budaya", "Jihad di Jalan Allah", serta "Berdirinya Masyarakat Islam dan Karakteristiknya."], sambil memberikan revisi, dan penambahan yang diperlukan untuk topik buku ini. Serta delapan pasal lain, selain pendahuluan ini, yang aku tulis secara bertahap, sesuai dengan ilham yang aku dapatkan dari manhaj Rabbani dalam Al Quran al Karim. Seluruh pasal tersebut terikat, meskipun terpisah-terpisah, oleh benang merah sebagai Petunjuk Jalan. Seperti halnya petunjuk-petunjuk atau rambu-rambu di jalan! Dan secara global, buku ini merupakan semacam seri pertama dari seri “Petunjuk Jalan” ini, yang aku harapkan bisa diikuti oleh seri berikutnya. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT untuk menulis tentang Petunjuk Jalan ini.
GENERASI YANG UNIK
Terdapat fakta sejarah sebagai renungan panjang untuk para
pengemban dakwah Islam di setiap tempat dan waktu. Fakta itu berpengaruh
besar dalam menentukan manhaj dakwah dan arahan-arahannya..
Dakwah Islam telah memunculkan sebuah generasi manusia.
Yaitu generasi shahabat –semoga Allah meridhoi mereka-. Mereka adalah
generasi istimewa di sepanjang sejarah Islam, bahkan sejarah manusia
seluruhnya. Namun, di kemudian hari dakwah Islam tidak melahirkan
generasi semacam ini untuk kedua kalinya, meski terdapat
individu-individu seperti mereka di sepanjang sejarah. Individu-individu
itu memang ada, tapi belum pernah terjadi perkumpulan individu-individu
tersebut dalam jumlah besar di dalam satu tempat, sebagaimana yang
terjadi pada zaman shahabat, pada fase awal kehidupan dakwah ini.
Inilah fakta realita yang jelas. Patutlah hal itu menjadi
sebuah renungan. Barangkali kita bisa menyingkap rahasia di balik itu
semua..
Sesungguhnya Al-Qur’an yang menjadi landasan dakwah Islam
ada di tangan kita. Hadits Rasulullah Saw., petunjuk aplikatif, serta
perjalanan hidup beliau tersaji di hadapan kita, sebagaimana tersaji
pula di hadapan generasi para shahabat di atas. Itu semua tidak hilang.
Yang hilang hanyalah sosok Rasulullah Saw. Namun, apakah keberadaan
sosok beliau merupakan rahasia di balik munculnya generasi istimewa
tersebut? Generasi yang tidak lagi terulang dalam sejarah
manusia..Inikah rahasianya?
Jika keberadaan sosok Rasulullah Saw. memang rahasia di
balik itu, Allah tidak akan menjadikan dakwah ini untuk manusia
seluruhnya, tidak pula menjadikannya risalah terakhir untuk mereka
sampai akhir zaman. Dakwah Islam tidak akan bersifat universal bila
eksistensinya serta munculnya generasi istimewa di atas – yang
merupakan buah dari dakwah itu- hanya bergantung pada keberadaan sosok
Rasulullah Saw…
Karena itu, hilangnya sosok Rasulullah Saw. bukanlah sebab tidak terulangnya fakta sejarah di atas..
Allah SWT menjamin terpeliharanya Al-Qur’an. Dia tahu,
bahwa dakwah Islam tetap bisa tegak sepeninggal Rasulullah Saw. dan
dapat membuahkan hasil. Setelah dua puluh tiga tahun menyampaikan
risalah, Rasulullah Saw. dipanggil Allah di sisi-Nya. Namun, dien ini
tetap kekal sampai akhir zaman..
* * *
Karena itu, marilah kita cari sebab lain. Marilah kita
memperhatikan sumber yang menjadi pedoman genarasi awal di atas.
Barangkali sumber itu sudah berubah. Kita perhatikan pula manhaj
(metode) mereka dalam berinteraksi dengan sumber tersebut. Barangkali
ada yang berubah pula pada manhaj tersebut.
Sumber yang menjadi pedoman generasi shahabat adalah
Al-Qur’an. Al-Qur’an saja. Hadits Rasulullah Saw. dan petunjuk beliau
hanyalah efek yang dihasilkan Al-Qur’an. Saat Aisyah ditanya tentang
akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab, “Akhlak beliau adalah
Al-Qur’an”. (HR. An-Nasa’ie)
Hanya Al-Qur’an yang menjadi referensi pedoman mereka. Para
shahabat tersebut menyesuaikan kehidupan mereka dengan Al-Qur’an, dan
dari sumber itulah mereka mengambil pelajaran. Hal itu bukan karena
tidak ada peradapan lain. Bukan pula karena tidak ada tsaqofah, ilmu,
karya tulis, atau pelajaran lain. Sama sekali bukan. Sebab, peradapan
Ramawi sudah ada. Kebudayaan, kitab-kitab dan undang-undang mereka sudah
ada dan sampai saat ini masih dipakai sebagai pedoman oleh Eropa. Ada
juga peninggalan peradapan Yunani, ilmu logika, ilmu filsafat dan seni
mereka yang sampai sekarang masih menjadi sumber pemikiran Bangsa
Barat.
Ada juga peradapan Persia berikut kesenian, kesusastraan,
mitologi, kepercayaan-kepercayaan, dan sistem pemerintahannya. Peradapan
lain, baik yang jauh dari tanah Arab maupun yang dekat juga sudah ada,
seperti peradapan India, Cina, dan lain sebagainya.
Pada saat itu, peradapan Romawi dan Persia mengepung
Jazirah Arab di sebelah utara dan selatannya. Judaiesme dan ajaran agama
Nasrani juga hidup di tengah-tengah Jazirah Arab. Karena itu, saat para
shahabat mengambil Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pedoman, hal
itu bukan karena kurangnya peradapan dan tsaqofah di dunia ini.
Tapi, hal itu semata-mata demi rencana yang sudah digariskan dan tujuan
yang sudah ditentukan. Salah satu indikasinya adalah sikap marah
Rasulullah Saw., saat melihat Umar bin Khattab –semoga Allah
meridhoinya- membawa sebuah lembaran Taurot; beliau mengatakan, “Demi
Allah, seandainya Musa masih hidup di antara kalian, ia tidak halal
kecuali mengikutiku” [1]
Dengan demikian, ada tujuan tertentu ketika Rasulullah Saw.
menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pedoman para shahabat
saat mereka berada pada fase pembentukan. Tujuan tersebut adalah agar
jiwa mereka murni menerima sumber itu saja, serta istiqomah di atas
manhaj yang digariskannya. Rasulullah Saw. pun marah saat melihat Umar
bin Khattab –semoga Allah meridhoinya- mengambil referensi dari sumber
lain.
Rasulullah Saw. ingin membentuk generasi yang hati, akal,
pemahaman, perasaan dan pembentukannya bersih dari pengaruh selain
manhaj ilahi, yang terkandung dalam Al-Qur’anul Karim..
Generasi tersebut mengambil pedoman dari sumber itu saja. Karenanya, mereka menjadi generasi agung yang unik.
Lalu, apa yang terjadi setelah itu?
Al-Qur’an bercampur dengan sumber-sumber lain!
Generasi-generasi setelah shahabat tidak lagi menjadikan Al-Qur’an
sebagai satu-satunya sumber pedoman. Tapi mengambil sumber lain berupa
filsafat dan ilmu logika Yunani, mitos dan pandangan Persia, isro’iliyat
Yahudi dan teologi Kristen, serta peradapan dan tsaqofah rendahan
lainnya. Semua ini bercampur dengan tafsir, ilmu kalam, sebagaimana
bercampur dengan ilmu fiqih dan ushul fiqih. Inilah yang dipelajari
generasi-generasi setelah generasi shahabat. Karena itu, tidak terulang
lagi generasi seperti para shahabat.
Tidak diragukan lagi, bercampurnya pedoman Al-Qur’an dengan
pedoman lainnya itulah faktor utama di antara faktor-faktor yang
membedakan dengan jelas, antara generasi-generasi yang ada, dengan
generasi shahabat yang unik dan istemewa..
* * *
Ada faktor mendasar lain selain bercampurnya sumber pedoman
di atas, yaitu perbedaan manhaj dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an..
Para shahabat membaca Al-Qur’an bukan untuk sekedar menambah tsaqofah atau
wawasan. Bukan pula untuk menikmati bacaannya semata. Tidak ada seorang
pun di kalangan shahabat yang menjadikan Al-Qur’an hanya untuk
memperkaya pengetahuannya. Tidak pula untuk sekedar memperbanyak
pembahasan yang dia hasilkan dari persoalan-persoalan fiqih dan keilmuan
lain. Mereka membaca Al-Qur’an untuk menerima perintah Allah dalam
urusan pribadi dan masyarakat, serta dalam urusan kehidupan yang
dijalaninya beserta masyarakatnya.
Para shahabat menerima perintah dari Al-Qur’an untuk
dikerjakan langsung setelah mendengarnya, sebagaimana seorang tentara
menerima tugas hariannya untuk dikerjakan saat itu juga. Karena itu,
tidak ada seorang pun di kalangan para shahabat yang belajar banyak ayat
dalam satu pertemuan, sebab hal itu sama saja memperbanyak kewajiban
dan tugas yang ia pikul. Cukup sepuluh ayat dalam satu pertemuan yang
dihafalkan lalu diamalkan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ibnu
Mas’ud..
Kesadaran mempelajari Al-Qur’an untuk diamalkan itulah,
yang telah membukakan bagi mereka pintu-pintu kekayaan dan cakrawala
pengetahuan dari Al-Qur’an itu. Semua ini tidak akan terbuka bagi mereka
seandainya sejak semula orientasi mereka dalam mempelajari Al Qur’an
adalah untuk penelitian dan pengkajian semata. Orientasi yang terbatas
pada penelitian dan pengkajian semata tersebut sudah tentu tidak akan
membuat mereka merasa terbebani dengan pengamalan Al-Qur’an. Akibatnya,
Al-Qur’an terhalang untuk hidup dalam realita jiwa dan kehidupan mereka,
dalam gerakan nyata, bukan sekedar menjadi teori dalam otak, atau dalam
lembaran-lembaran kitab.
Sesungguhnya Al-Qur’an tidak akan memberikan
kekayaan-kekayaannya kecuali kepada orang yang menerima Al-Qur’an dengan
mentalitas di atas, yakni mempelajarinya untuk diamalkan. Al-Qur’an
bukanlah kitab hiburan, bukan pula kitab kesastraan dan kesenian, bukan
pula kitab cerita dan sejarah, meski semua ini ada dalam kandungan
Al-Qur’an. Kehadiran Al-Qur’an hanyalah untuk dijadikan sebagai jalan
kehidupan, yang murni bersumber dari Allah. Allah SWT menggariskan jalan
hidup ini untuk mereka secara berangsur-angsur:
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkannya bagian demi bagian dengan sebenar-benarnya. (QS. Al isra’ (17) : 106)
Al Qur’an tidak turun sekaligus dalam satu waktu. Al-Qur’an
turun sesuai kebutuhan-kebutuhan yang selalu baru saat itu; sesuai
dengan perkembangan pemikiran dan penalaran yang sedang berlangsung;
seiring dengan dinamika masyarakat dan kehidupan mereka; untuk menjawab
problematika-problematika yang dihadapi komunitas umat Islam dalam
realitas kehidupan mereka.
Ayat Al-Qur’an turun dalam soal kasus atau kejadian
tertentu; menjelaskan kepada manusia duduk perkara yang mereka hadapi,
memberikan cara penyelesaian masalah mereka, mengoreksi kekeliruan
keyakinan dan langkah mereka, lalu mempertautkan mereka kepada Allah,
Tuhan mereka, dalam semua ini. Al-Qur’an pun mengenalkan Allah – kepada
mereka – melalui sifat-sifat-Nya yang memengaruhi alam semesta. Dengan
demikian mereka pun menyadari bahwa mereka hidup berdampingan dengan
alam metafisik, di bawah pengawasan Allah, berada dalam kekuasaan-Nya.
Dari sini, mereka akhirnya menyesuaikan diri, dalam kehidupan mereka,
dengan manhaj ilahi yang lurus tersebut.
Menerima Al-Qur’an untuk diamalkan itulah metode yang telah
membuahkan generasi shahabat, generasi awal umat ini. Sedang menerima
Al-Qur’an hanya untuk menjadi bahan kajian dan dinikmati adalah metode
yang melahirkan generasi-generasi berikutnya. Tidak diragukan lagi,
perbedaan metode inilah termasuk penyebab utama perbedaan antara
generasi awal dengan generasi-generasi berikutnya.
* * *
Ada lagi faktor ketiga yang patut kita perhatikan dan catat..
Saat masuk Islam, seorang shahabat melepaskan seluruh masa
lalunya di zaman jahiliyyah. Ia memulai kehidupan baru, yang sama sekali
terlepas dari kehidupan yang ia jalani di masa jahiliyyah. Sikapnya
terhadap apa yang berlaku di masa jahiliyyah pun layaknya sikap orang
yang bimbang, berhati-hati, takut dan waspada. Ia merasa semua itu
adalah kotor dan tidak baik untuk Islam. Dengan perasaan seperti ini, ia
menerima cahaya Islam yang baru. Jika sesekali ia kalah dengan hawa
nafsunya, atau jatuh dalam kebiasaannya di masa jahiliyyah, atau lemah
dalam menjalankan kewajiban Islam, ia langsung merasa salah dan berdosa.
Dalam relung hatinya, ia menyadari perlu menyucikan dirinya dari dosa
yang dilakukannya, lalu kembali berusaha untuk berjalan sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an.
Setelah keislamannya, orang muslim betul-betul merasa
terpisah dari masa lalunya di zaman jahiliyyah. Berangkat dari perasaan
itu, ia pun memutuskan sama sekali hubungannya dengan masyarakat
jahiliyyah sekitarnya, dan memutuskan ikatan-ikatan sosial dengan
mereka. Ia sama sekali terpisah dari lingkungan jahiliyyahnya dan
bergabung dalam lingkungan Islami. Meski barangkali ia masih
berinteraksi dengan sebagian orang-orang musyrik dalam bidang jual beli
dan dalam aktifitas keseharian lainnya. Tidak ada hubungan antara
memutuskan masa lalu di zaman jahiliyyah dengan berinteraksi dengan
orang-orang musyrik dalam aktifitas keseharian.
Seorang muslim harus memisahan diri dari pengaruh
lingkungan, tradisi, konsepsi, adat-istiadat dan ikatan-ikatan
jahiliyah. Hal ini merupakan konsekuensi dari transformasi akidah dari
syirik (politeisme) menuju tauhid; dan transformasi ideologi dari
jahiliyah menuju Islam dalam soal konsep kehidupan dan alam semesta.
Berangkat dari sikap ini, ia kemudian bergabung bersama komunitas baru
yang Islami, dengan pimpinan yang baru pula. Ia lalu menghadirkan secara
totalitas, loyalitas dan ketaatan kepada komunitas dan pimpinan ini,
dengan segala konsekwensinya..
Sikap pemisahan diri ini menjadi titik kontras. Ia menjadi
titik permulaan sejarah kehidupan yang baru, jalan kehidupan yang bebas
dari segala himpitan tradisi-tradisi yang diciptakan oleh masyarakat
jahiliyah dan dari semua paham dan nilai yang berlaku di dalamnya. Dalam
menjalani kehidupan seperti ini, seorang muslim akan menjumpai
penderitaan dan ujian. Akan tetapi, dalam hatinya ia merasa sukses
menyempurnakan tekadnya, dan tidak akan goyah oleh himpitan ideologi
jahiliyyah, tidak juga oleh tradisi-tradisi masyarakat jahiliyyah.
Saat ini, kita berada dalam kejahiliyyahan sebagaimana
kejahiliyyahan saat Islam datang, atau malah lebih dahsyat. Semua yang
ada di sekeliling kita adalah jahiliyyah. Konsepsi dan akidah manusia,
adat-istiadat dan tradisi mereka, sumber-sumber kebudayaan mereka,
kesenian dan kesusastraan mereka, hukum dan undang-undang mereka, bahkan
banyak hal yang kita anggap sebagai budaya Islam, referensi Islam,
filsafat dan pemikiran Islam, semuanya juga merupakan produk jahiliyyah
tersebut!
Itulah penyebab nilai-nilai Islam tidak bisa tertanam
dengan sempurna dalam sanubari kita; konsepsi Islam tidak bisa
terjabarkan dengan jelas dalam alam pikiran kita; dan karenanya, di
lingkungan kita, tidak bisa berkembang generasi – dalam jumlah besar –
seperti halnya generasi shahabat yang dilahirkan Islam pertama kali.
Dengan demikian, -dalam manhaj gerakan Islam- pada fase
pembentukan, kita harus lepas dari setiap pengaruh jahiliyyah yang kita
hidup di eranya dan berpijak di atas landasannya. Kita harus kembali
dari awal kepada pedoman murni yang menjadi pijakan para shahabat,
pedoman yang terjamin tidak akan tercampur dan terkontaminasi dengan
noda sedikit pun. Kita harus menjadikannya sebagai referensi dalam
membangun konsepsi tentang hakekat alam semesta dan hakekat eksistensi
manusia, hubungan antara keduanya dan juga antara eksistensi Allah
SWT…Dari sana pula, kita membangun konsepsi kita tentang kehidupan,
nilai-nilai dan akhlaq kita, serta manhaj dalam bidang hukum, politik,
ekonomi dan seluruh aspek kehidupan.
Saat kita kembali kepada pedoman yang murni tersebut, kita
harus kembali dengan kesadaran mempelajarinya untuk dilaksanakan dan
diamalkan, bukan sekedar mengkaji dan menikmatinya. Kita kembali kepada
Al-Qur’an untuk tahu apa dan untuk jadi apa yang Al-Qur’an tuntut dari
kita. Saat mempelajari kitab suci itulah, kita akan menemukan keindahan
artistik, kisah-kisah menarik, adegan-adegan Hari Kiamat, retorika yang
impresif, dan seluruh yang dikehendaki orang-orang yang mengkaji dan
menikmatinya. Namun, semua ini kita dapatkan tanpa menjadikannya sebagai
tujuan awal. Tujuan awal kita adalah mengetahui apa yang dikehendaki
Al-Qur’an untuk kita kerjakan? Konsepsi apa yang harus kita bangun
sebagaimana yang diinginkan Al-Qur’an? Harus bagaimanakah perasaan kita
kepada Allah? Dan seperti apa etika dan realitas masyarakat dan tatanan
kehidupan kita sebagaimana dikehendaki Al-Qur’an?
Kita harus melepaskan jiwa kita dari tekanan masyarakat
jahiliyyah serta konsepsi, tradisi, dan tatanan sosial jahiliyyah.
Bukanlah hal yang penting jika kita bergandengan tangan dengan realita
masyarakat jahiliyyah ini, dan bukan pula hal yang penting apabila kita
memberikan loyalitas kepadanya. Sebab, sifat kejahiliyyahan yang ada
padanya tersebut memang tidak bisa menerima kerjasama kita. Yang penting
bagi kita adalah melakukan perubahan pada diri kita dulu, untuk
kemudian merubah masyarakat kita.
Sesungguhnya hal pertama yang menjadi prioritas kita adalah
merubah realita masyarakat ini. Kita harus merubahnya mulai dari
pangkalnya. Realitas inilah yang senantiasa berbenturan secara
fundamental dengan manhaj dan konsepsi Islam, serta menghalangi kita
dengan tekanan dan paksaan dari kehidupan semestinya seperti yang
dikehendaki manhaj ilahi.
Langkah awal dalam meniti jalan kita ini adalah memandang
rendah masyarakat jahiliyah berikut nilai-nilai dan
konsepsi-konsepsinya. Jangan sampai kita menyelaraskan nilai-nilai dan
konsepsi-konsepsi kita, sedikit atau banyak, untuk sejalan dengan
mereka. Sekali-kali tidak! Karena sejatinya kita dan mereka berada di
jalan yang berbeda. Maka, apabila kita menyertai mereka selangkah saja,
berarti kita telah kehilangan seluruh manhaj kita dan juga kehilangan
jalan kita.
Dalam perjuangan ini, kita akan menemukan rintangan dan
hambatan. Kita akan dituntut memberikan pengorbanan besar. Namun, kita
tak mempunyai pilihan lain ketika kita bertekad menapaki jalan generasi
utama ini, generasi yang di tangan mereka manhaj ilahi tegak dengan izin
Allah, mengalahkan manhaj jahiliyah.
Sudah semestinya kita memahami selalu tabiat manhaj kita,
sikap dan jalan yang harus kita lalui untuk keluar dari jahiliyyah,
sebagaimana yang dilalui generasi shahabat yang istimewa dan unik..
[1] Diriwayatkan oleh al Hafidh Abu Ya’la dari Hammad bin Asy Sya’bi, dari Jabir.
Tabiat Metode Qur’ani
Al-Qur’an fase Makkah turun kepada Rasulullah Saw selama tiga belas tahun penuh. Selama periode itulah, Al-Qur’an membahas satu persoalan yang sama, meski cara penyampaiannya hampir selalu berubah-ubah. Itulah metode pemaparan Al-Qur’an yang selalu tampil baru, sehingga makna yang dikandungnya seakan-akan baru pertama kali disampaikan.Al-Qur’an berbicara tentang persoalan besar dan asasi, dalam dien (tatanan kehidupan) yang baru ini. Ia berbicara tentang persoalan akidah, yang direfleksikan dalam pondasi utamanya, yaitu Uluhiyyah dan Ubudiyyah, serta korelasi antara keduanya.
Al-Qur’an fase Makkah tersebut berbicara kepada manusia. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara manusia Arab di zaman tersebut dengan manusia Arab di setiap zaman, sebagaimana tidak ada perbedaan antara manusia Arab dengan setiap manusia lainnya, di zaman tersebut dan di setiap zaman..
Permasalahan yang dibicarakan Al-Qur’an tersebut adalah persoalan manusia yang tidak berubah-ubah. Sebab, permasalahan tersebut berkaitan dengan keberadaannya di alam semesta ini dan ke manakah ia nantinya, hubungannya dengan alam semesta ini dan makhluk hidup lainnya, serta hubungannya dengan Pencipta alam semesta ini dan seluruh makhluk hidup. Permasalahan ini tidak berubah-ubah, karena ia permasalahan alam semesta dan manusia.
Al-Qur’an fase Makkah menerangkan kepada manusia rahasia eksistensinya dan eksistensi alam semesta sekitarnya. Ia memberitahu kepadanya tentang siapakah dirinya? Dari mana ia berasal? Dan kenapa ia ada? Ke manakah ia pergi dalam perjalanan hidupnya? Siapa yang membuatnya ada setelah tidak ada? Dan siapa yang kelak membuatnya pergi dari dunia ini, dan di manakah ia setelah itu?
Al-Qur’an juga berbicara kepadanya tentang apa sebenarnya alam semesta yang ia rasakan dengan panca indranya ini? Alam semesta yang ia rasakan bahwa di baliknya ada Dzat ghoib yang mengaturnya, namun tidak kelihatan olehnya. Siapakah yang menciptakan alam semesta yang penuh dengan rahasia ini? Siapa yang mengaturnya? Dan siapa yang menggerakkannya? Siapa yang memperbaharui dan merubah-ubah benda-benda di dalamnya, sesuai dengan apa yang ia lihat?
Al-Qur’an pun juga berbicara kepadanya juga tentang bagaimana ia berinteraksi dengan Pencipta alam semesta ini, dan bagaimana ia berinteraksi dengan alam semesta itu sendiri? Sebagaimana Al-Qur’an juga menerangkan bagaimana manusia berinteraksi dengan manusia lainnya?
Persoalan tersebut adalah perkara besar yang menjadi pondasi eksistensi manusia, dan akan selalu menjadi pondasi eksistensinya di setiap zaman..
Al Qur’an membutuhkan tiga belas tahun penuh untuk menjelaskan persoalan besar ini. Persoalan yang tidak ada yang penting selainnya dalam kehidupan manusia, kecuali cabang-cabang yang berpijak di atasnya.
Al-Qur’an fase Makkah tidak beranjak dari persoalan asasi ini untuk membahas persoalan-persoalan lain yang bersifat cabang, yang berkenaan dengan tatanan kehidupan, kecuali setelah Allah memastikan bahwa persoalan akidah ini sudah mendapatkan kadar penjelasan yang cukup, serta benar-benar tertancap kuat di hati sekelompok manusia pilihan, manusia yang dengan taqdir Allah berhasil menegakkan dien Islam ini, serta sistem kehidupan yang merefleksikan dien tersebut.
* * *
Para pengemban dakwah yang menyeru kepada dien Allah, dan kepada sistem yang merefleksikan dien tersebut dalam realitas kehidupan, perlu merenungkan lama-lama metode Al-Qur’an fase Makkah di atas dalam membumikan akidah. Selama tiga belas tahun, Al-Qur’an fase Makkah tidak beranjak dari persoalan akidah untuk menuju kepada pembahasan tentang perincian-perincian hukum yang berpijak di atas akidah tersebut, atau tentang aturan-aturan syari’at yang diberlakukan pada masyarakat muslim yang memeluk akidah tersebut.
Sungguh merupakan tuntutan kebijaksanaan Allah, apabila persoalan akidah adalah persoalan yang pertama kali diprioritaskan dalam dakwah sejak hari pertama dimulainya risalah. Rasulullah Saw. memulai langkah pertama dakwahnya dengan menyeru manusia kepada syahadah ‘Laa ilaaha illallah’ (tidak ada sesembahan kecuali Allah). Beliau terus berlalu menjalankan dakwahnya, mengenalkan kepada manusia akan Pemelihara mereka yang sebenarnya, serta menyeru mereka untuk menjadi hamba-Nya saja, tanpa ada dzat lain yang mereka abdi.
Menurut akal manusia yang terbatas, dakwah seperti di atas nampak bukan jalan termudah untuk merasuk ke hati orang-orang Arab. Mereka tahu dari bahasa mereka sendiri makna ‘ilaah’ dan makna ‘Laa ilaaha illallah’. Mereka tahu bahwa ‘Uluhiyyah’ –yang merupakan kandungan dari syahadah ‘Laa ilaaha illallah’- maknanya adalah kepenguasaan tertinggi. Mereka pun tahu bahwa mengesakan Allah dengan ‘Uluhiyyah’ (sifat ketuhanan) berarti melucuti kekuasaan yang disandang para dukun, sesepuh kabilah, para pemimpin dan penguasa, lalu mengembalikan itu semua kepada Allah. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang mendominasi hati, perasaan, realitas kehidupan, harta, peradilan, nyawa dan badan.
Orang-orang Arab tahu bahwa ‘Laa ilaaha illallah’ adalah revolusi terhadap kekuasaan makhluk bumi yang merampas ciri terpenting ketuhanan, serta revolusi terhadap keadaan yang dihasilkan dari perampasan hak tuhan ini. ‘Laa ilaaha illah’ berarti pemberontakan terhadap seluruh kekuasaan yang menerapkan undang-undang yang dibuatnya sendiri tanpa izin dari Allah.
Orang-orang Arab memahami dengan baik bahasa mereka, dan tahu makna hakiki dari dakwah ‘Laa ilaaha illallah’. Mereka sangat mengerti ancaman apa yang dibawa dakwah tersebut terhadap posisi, jabatan dan kekuasaan mereka. Karena itu, mereka menyambut dakwah yang tidak lain adalah revolusi terhadap kekuasaan mereka tersebut, dengan kekejaman serta peperangan, sebagaimana yang diketahui banyak orang.
Lantas, kenapa dakwah harus dimulai dari titik ini? Kenapa dakwah harus diawali dengan kesulitan seperti ini? Hikmah apa di balik itu semua?
* * *
Saat Rasulullah Saw. diutus dengan membawa dien, tanah-tanah Arab yang paling subur dan banyak menyimpan kekayaan alam tidak dikuasai orang-orang Arab sendiri, tapi dikuasai bangsa-bangsa lain..
Seluruh tanah Syam di bagian utara dikuasai bangsa Romawi. Wilayah-wilayah tersebut diperintah para pemimpin Arab yang dikendalikan Romawi. Seluruh wilayah Yaman di bagian selatan tunduk di bawah kekuasaan Persia. Daerah tersebut diperintah para pemimpin Arab di bawah kendali Persia. Orang-orang Arab sendiri hanya menguasai daerah Hijaz, Tihamah dan Nejed, serta beberapa padang sahara, yang di beberapa titiknya terdapat daerah-daerah subur.
Dalam kondisi di atas, bisa saja Muhammad Saw. menggelorakan semangat nasionalisme Arab untuk menyatukan kabilah-kabilah Arab yang selama ini terlibat permusuhan dan desintegrasi, dengan tujuan membebaskan negeri mereka dari cengkraman kekaisaran Romawi di bagian utara dan Persia di bagian selatan, lalu mengangkat panji-panji Arab , serta menciptakan persatuan nasional di seluruh penjuru Jazirah Arab.
Muhammad Saw. bisa saja melakukan hal tersebut. Sejak lima belas tahun sebelum diutus sebagai rasul, Muhammad Saw. sudah dianggap sebagai sosok yang jujur dan terpercaya; para pembesar Quraisy pun pernah mengangkatnya sebagai penengah dalam sengketa peletakan Hajar Aswad; beliau pun memberi kebijakan yang diterima mereka semua. Muhammad Saw. juga termasuk kalangan bangsawan dari Bani Hasyim yang merupakan nasab tertinggi di kalangan suku Quraisy.
Mungkin ada yang berpendapat, seandainya Muhammad Saw. melakukan hal tersebut, niscaya akan diikuti seluruh bangsa Arab, sehingga beliau tidak perlu mengalami penderitaan selama tiga belas tahun dalam berpegang pada prinsip yang bertentangan dengan hawa nafsu para penguasa di Jazirah. Nah, ketika sudah diikuti bangsa Arab, diangkat sebagai pemimpin dan kekuasaan pun ada di tangannya, Muhammad Saw. bisa menggunakannya untuk membumikan akidah Tauhid yang diembannya, menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaan Allah, setelah mereka sebelumnya tunduk kepada kekuasaannya pribadi!
Namun, Allah Yang Maha Tahu dan Bijaksana tidak mengarahkan Rasul-Nya, Muhammad Saw. untuk melakukan cara tersebut. Allah hanya mengarahkan beliau untuk melaksanakan dakwah ‘Laa ilaaha illallah’ dengan segala penderitaan yang dipikul beliau beserta sedikit orang yang mau menyambutnya.
Kenapa? Bukan karena Allah ingin membuat Rasulullah Saw. dan orang-orang beriman yang menyertainya menderita. Akan tetapi, hanya karena Allah tahu bahwa jalan di atas bukanlah cara yang benar…
Bukanlah jalan yang benar, jika bumi dibebaskan dari thoghut Romawi atau thoghut Persia, untuk kemudian dicengkram thoghut Arab. Thoghut tetaplah thoghut! Bumi ini milik Allah, dan harus dibebaskan untuk Allah saja. Pembebasan bumi hanya untuk Allah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan berkibarnya bendera ‘Laa ilaaha illallah’..
Bukanlah jalan yang benar, jika manusia di muka bumi ini dimerdekakan dari thoghut Romawi atau Persia, untuk kemudian diperbudak thoghut Arab. Thoghut tetaplah thoghut! Manusia harus menjadi hamba Allah saja, dan mereka tidak akan menjadi hamba Allah kecuali jika tegak ‘Laa ilaaha illallah’, dengan makna sebagaimana yang dipahami orang-orang Arab yang mengerti kandungan-kandungan bahasa mereka sendiri.
‘Laa ilaaha illallah’, sebagaimana yang dipahami orang-orang Arab, bermakna tidak ada otoritas tertinggi kecuali Allah, tidak ada undang-undang kecuali yang berasal dari Allah, dan tidak berhak seseorang memperhamba orang lain. Sebab, kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah dan manusia harus berkewarga negaraan yang berlandaskan akidah –sebagaimana yang dituntut Islam- yang tidak membedakan antara Arab, Romawi, Persia, dan seluruh bangsa dan ras, di bawah panji Allah..
* * *
Saat Rasulullah Saw. diutus untuk mengemban dien ini, buruknya pemerataan kekayaan dan ketidak adilan pada masyarakat Arab sudah mencapai puncaknya. Hanya sedikit sekali yang menguasai harta dan perdagangan, dan mereka melakukan praktik riba sehingga berlipat ganda kekayaan dan harta perniagaanya. Sementara, mayoritas masyarakat bergelimang dalam kerasnya hidup dan kelaparan. Golongan yang memiliki kekayaanlah yang dapat memiliki kedudukan dan kemuliaan, sementara masyarakat kebanyakan hidup tanpa harta dan kemuliaan sekaligus.
Mungkin ada yang berpendapat, bahwa Muhammad Saw. sebenarnya dapat mengusung bendera sosialisme serta mengobarkan peperangan melawan kaum borjuis. Beliau pun dapat menjadikannya sebagai seruan agar keadilan sosial tercapai dan harta orang-orang kaya dikembalikan kepada orang-orang fakir..
Kemudian, -menurut pendapat tersebut- seruan Rasulullah Saw. tersebut menjadikan masyarakat Arab terpecah menjadi dua bagian: yang pertama adalah mayoritas yang bergabung dengan seruan ini dalam rangka melawan kesewenang-wenangan kaum konglomerat, dan yang kedua adalah minoritas yang bergelimang dengan kekayaan. Hal ini alih-alih dari pada masyarakat bergabung dalam satu barisan membela ‘Laa ilaaha illallah’ yang saat itu belum dikibarkan benderanya kecuali oleh segelintir manusia.-
Setelah seruannya direspon baik mayoritas masyarakat, yang kemudian mengalahkan kaum konglomerat, dan beliau mendapatkan kekuasaan, – menurut pendapat tersebut- Muhammad bisa menggunakan kedudukannya tersebut untuk membumikan Tauhid yang beliau emban, yakni Tauhid yang bertujuan menjadikan manusia mengabdi hanya kepada Pemelihara mereka..
Namun, Allah yang Maha Tahu dan Bijaksana tidak mengarahkan Rasul-Nya kepada cara ini…
Sungguh Allah tahu bahwa cara di atas bukanlah jalan yang benar. Dia tahu bahwa keadilan sosial pada masyarakat harus terpancar dari konsepsi akidah yang menyeluruh (komprehensif). Konsepsi itu berpangkal dari sikap mengembalikan semua keputusan kepada Allah, menerima dengan rela dan senang semua yang Allah tentukan berkenaan dengan pembagian kekayaan dan kesejahteraan pada seluruh lapisan masyarakat. Konsepsi seperti ini akan menimbulkan keyakinan pada hati semua lapisan masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin, bahwa mereka semua melaksanakan sistem yang sudah Allah tentukan. Muncullah harapan mendapatkan kebaikan dunia dan akherat dengan menerima ketentuan Allah tersebut. Hasilnya, tidak ada rasa tamak dan dengki dalam hati; dan tidak semua permasalahan sosial diselesaikan dengan pedang dan tongkat, atau intimidasi dan teror. Hati tidak rusak dan nyawa tidak melayang. Pemandangan seperti ini tidak terdapat pada masyarakat yang berdiri di atas landasan selain ‘Laa ilaaha illallah’.
* * *
Saat Rasulullah Saw. diutus sebagai nabi, dekadensi moral di Jazirah Arab sudah mencapai titik terendah dari berbagai dimensinya, meski masih ada tabiat-tabiat mulia yang berasal dari pedesaan pada masyarakat Arab.
Kedhaliman satu sama lain merajalela di masyarakat Arab. Hal ini diungkapkan seorang penyair bernama Zuhair bin Abu Salma:
Barang siapa yang tidak mempertahankan telaganya dengan pedangnya, pasti dihancurkan
Dan barang siapa yang tidak berbuat dholim kepada orang, pasti didholimi
Hal ini juga diungkapkan dalam kalimat yang populer di masa jahiliyyah:
Tolonglah saudaramu, yang dholim maupun yang didholimi
Khomer dan judi adalah tradisi masyarakat yang sudah merebak, bahkan termasuk hal-hal yang dibanggakan. Hal ini tergambar dalam sekelumit sya’ir jahiliyyah, seperti yang dikatakan Thorfah bin Al-Abd:
Seandainya bukan karena kecintaanku kepada tiga hal yang merupakan kesenangan remaja..
Aku tidak peduli kapan datang penjengukku (saat tiba kematian).. [1]
Di antaranya adalah khomer hitam yang kuminum sebelum para wanita terbangun
Jika dituangkan air ke khomer itu, niscaya berbuih..
Tidak henti-hentinya aku minum khomer, bergelimang kenikmatan, foya-foya dan menghamburkan harta sebagai jalanku..
Sampai akhirnya keluargaku semua meninggalkanku..
Dan aku diasingkan seperti onta yang diperbudak..
Pelacuran dalam berbagai bentuk merupakan ciri masyarakat ini. Tidak ada bedanya dengan masyarakat jahiliyyah lainnya, baik yang kuno maupan modern. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah ra:
“Sesungguhnya pernikahan di zaman Jahiliyyah itu ada empat bentuk:
- Pernikahan seperti pernikahan orang-orang sekarang, yakni seseorang melamar wanita lewat wali atau bapaknya, ia memberinya mahar dan menikahinya
- Pola pernikahan lainnya adalah seorang laki-laki berkata kepada isterinya – setelah ia suci dari haid – : “Pergilah kepada si fulan (seorang tokoh) dan mintalah kepadanya untuk disetubuhi!” Sang suami kemudian menjauhi sang istri dan tidak menyentuhnya selamanya sampai sang istri benar-benar hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki tersebut. Setelah kehamilannya benar-benar jelas, maka sang suami menggaulinya jika memang menghendaki hal itu. Dia melakukan hal ini hanya karena ingin agar anak yang dikandung istrinya cerdas dan menjadi tokoh. Pernikahan ini disebut dengan pernikahan istibdha’.
- Pernikahan yang lain adalah, sekelompok laki-laki yang berjumlah kurang dari sepuluh berkumpul dan masuk ke tempat seorang wanita; semuanya menyenggamainya. Jika sudah hamil dan melahirkan, lalu melewati beberapa malam setelah melahirkan, wanita tersebut mengundang mereka dan tak seorang pun bisa menolaknya, hingga mereka pun berkumpul di tempatnya. Wanita itu berkata kepada mereka, “Kalian semua telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan. Kini, aku telah mempunyai anak. Ini adalah anakmu, wahai fulan!” Wanita itu menyebut nama yang ia kehendaki dan anak itu menjadi miliknya, dan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.
- Pernikahan yang keempat yaitu, banyak laki-laki berkumpul kemudian mereka menyenggamai wanita, si wanita itu tidak menolak siapa pun yang datang. Wanita-wanita seperti itu adalah para pelacur. Mereka memasang bendera di pintu-pintu mereka sebagai tanda. Siapa saja yang menghendaki, bisa bersenggama dengan mereka. Jika salah satu wanita itu hamil dan melahirkan anak, orang-orang memanggil beberapa orang pintar. Orang-orang pintar ini kemudian menunjuk seseorang sebagai bapaknya (karena ada tanda-tanda kesesuaian fisik). Anak itu dianggap sebagai putranya, dan laki-laki tersebut tidak bisa mengelak.” (HR. Bukhori pada kitab Nikah)
Mungkin ada yang berpendapat, bahwa Muhammad Saw. bisa saja mengusung dakwah perbaikan diri, dengan tujuan meluruskan moralitas, membersihkan masyarakat dan mensucikan jiwa. Sehingga –menurut pendapat ini- , akan ada orang-orang yang masih baik, bersih akhlaknya dan suci jiwanya, yang menerima dakwah beliau. Mereka diharapkan lebih dekat untuk menerima akidah ‘Laa ilaaha illallah’ serta mengembannya.
Namun, Allah SWT tahu bahwa cara di atas bukanlah jalan yang benar! Allah tahu bahwa akhlak tidak bisa ditegakkan kecuali di atas landasan akidah. Sebab, akidahlah yang menetapkan konsiderans dan nilai-nilai moralitas, sebagaimana juga menuntut adanya kekuasaan yang menjadi landasan konsiderans dan nilai-nilai moralitas tersebut. Akidah juga memformulasi konsep penghargaan bagi orang-orang yang berpegang teguh pada konsiderans dan nilai-nilai tersebut, dan hukuman bagi orang yang melanggarnya. Jika sebelumnya tidak ditetapkan akidah, dan tidak pula kekuasaan di atas, nilai-nilai moralitas akan menjadi goyah. Akibatnya, akhlak yang berdiri di atas nilai-nilai tersebut juga goyah, tanpa adanya kontrol, kekuasaan dan tanpa tidak ada balasannya.
Ketika akidah sudah tertanam sebagai hasil dari usaha keras , dan kekuasaan yang berlandaskan akidah tersebut berdiri; ketika manusia sudah mengenal Pemelihara mereka serta menyembah-Nya saja, lepas dari kekuasaan hamba dan syahwat, dan ‘Laa ilaaha illallah’ sudah merasuk dalam hati mereka, Allah pun melakukan semua yang dikatakan pendapat-pendapat di atas: bumi bersih dari kekuasaan Romawi dan Persia, bukan bersih untuk kemudian didirikan kekuasaan Arab, tapi untuk didirikan kekuasaan Allah; bumi betul-betul bersih dari kekuasaan seluruh thoghut, baik Romawi, Persia, maupun Arab..
Masyarakat pun bersih dari ketidak adilan sosial. Tegaklah tatanan Islam, yang mengadili dengan keadilan Allah, dan menimbang dengan barometer Allah. Diangkatlah panji keadilan sosial dengan nama Allah saja. Panji itu disebut sebagai panji Islam. Tidak ada nama selain nama Islam. Panji Islam itu bertuliskan ‘Laa ilaaha illallah’.
Bersih pula pribadi dan moralitas manusia, sucilah hati dan jiwa mereka. Tanpa perlu diperintah terlebih dahulu untuk itu. Bahkan, tanpa perlu diberi hudud dan hukuman yang Allah syari’atkan –kecuali dalam kondisi yang sangat jarang-. Sebab, mereka terkontrol oleh hati mereka sendiri. Selain itu, keinginan besar untuk mendapat ridho dan pahala Allah, serta rasa malu serta takut dari murka dan siksa Allah, telah mengganti peran pengawas dan hukuman.
Manusiapun terangkat martabatnya, dalam tatanan kehidupannya, moralitasnya, serta seluruh aspek kehidupannya, pada puncak yang tinggi, yang tidak dicapai sebelumnya dan sesudahnya kecuali di bawah naungan Islam.
Semua ini dapat terjadi karena orang-orang yang menegakkan Islam dalam bentuk negara dan pemerintahan, perundang-undangan dan hukum, sebelumnya sudah menegakan dien tersebut pada hati nurani dan kehidupan mereka, dalam bentuk akidah (keyakinan), akhlak, ibadah, dan tingkah laku. Dalam menegakkan dien tersebut, mereka dijanjikan satu hal saja. Satu hal yang tidak termasuk kemenangan atau kekuasaan, dan tidak pula tegaknya dien ini di tangan mereka. Mereka dijanjikan satu hal yang tidak ada kaitannya dengan dunia ini. Satu janji itu adalah surga. Hanya inilah yang dijanjikan kepada mereka atas usaha yang mereka lakukan: berjihad, menghadapi ujian berat, konsisten di jalan dakwah, serta menghadapi jahiliyyah dengan hal yang dibenci para penguasa di setiap zaman dan tempat, yakni ‘Laa ilaaha illallah’!
Saat mereka bersabar dengan ujian yang Allah berikan; saat jiwa mereka kosong dari ambisi pribadi; saat Allah tahu bahwa mereka tidak menunggu balasan di dunia ini –dalam bentuk apapun, termasuk kemenangan dakwah di tangan mereka, serta berdirinya Islam dengan jerih payah mereka- ; saat jiwa mereka tidak lagi memiliki perasaan bangga dengan nenek moyang atau suatu kaum, tidak pula tanah air dan negeri, serta tidak juga golongan dan keluarga; saat Allah tahu itu semua dari mereka, terbuktilah bahwa mereka sudah bisa dipercaya untuk memikul amanah berat ini, mereka sudah bisa dipercaya untuk memikul akidah, yakni keyakinan bahwa hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas terhadap hati dan nurani manusia, tingkah laku dan perasaan mereka, nyawa dan harta mereka, serta kondisi dan keadaan mereka..
Mereka sudah dapat dipercaya untuk memegang kekuasaan, untuk digunakan menegakkan syari’at Allah, serta keadilan menurut konsep Allah. Tanpa ada ambisi pribadi dalam kekuasaan itu, tidak pula kepentingan golongan, kaum, ataupun ras. Kekuasaan yang ada pada tangan mereka hanya untuk Allah, demi kepentingan dien dan syari’at-Nya. Karena mereka tahu, bahwa kekuasaan itu berasal dari Allah. Allah lah yang memberikannya kepada mereka.
Manhaj penuh berkah ini tidak akan bisa mencapai tingkatan tinggi seperti di atas, kecuali jika dakwah dimulai dari titik yang telah disebutkan; yakni dari pengangkatan panji ‘Laa ilaaha illallah’ saja dan tidak boleh ada panji yang dikibarkan selainnya; jalan dakwah ini nampak berat untuk dijalani, namun pada hakekatnya mudah dan diberkati.
Manhaj penuh berkah ini juga tidak akan murni untuk Allah, seandainya dakwah dimulai pada langkah-langkah pertamanya dengan ajakan kepada nasionalisme, sosial atau moral; atau jika dikibarkan panji-panji di samping panji ‘Laa ilaaha illallah’.
* * *
Itulah cara Al-Qur’an fase Makkah dalam menanamkan ‘Laa ilaaha illallah’ di hati dan akal, serta bagaimana ia memilih jalan di atas yang nampak sulit, konsisten di atas jalan tersebut dan tidak memilih jalan-jalan sampingan lainnya.
Adapun tentang pembahasan Al-Qur’an fase Makkah yang terbatas pada persoalan akidah tanpa menyinggung perincian-perincian sistem yang akan berdiri di atas landasannya, dan tanpa membicarakan perundang-undangan yang mengatur interaksi-interaksi di dalamnya, maka perlulah hal ini untuk menjadi bahan renungan bagi para pengusung dakwah Islamiyyah..
Sesungguhnya pembatasan tema Al-Qur’an fase Makkah pada persoalan akidah di atas merupakan tuntutan tabiat dien ini –Islam-. Islam adalah dien (tatanan kehidupan) yang seluruhnya tegak di atas pondasi Uluhiyyah (peng-Esaan Allah). Seluruh peraturan dan undang-undangnya berpangkal dari pondasi besar ini. Seperti halnya pohon besar nan tinggi, berdaun rindang, berdahan rimbun, serta melambai-lambai di udara, haruslah akar-akarnya menghunjam dalam ke tanah, dan memakan ruang yang luas, sesuai dengan kebesaran dan kerindangannya. Demikian juga dengan dien Islam ini; sistem hukumnya mencakup seluruh aspek kehidupan, mengurusi seluruh permasalahan manusia, baik yang besar maupun yang kecil, mengatur kehidupan manusia, tidak hanya di dalam kehidupan dunia saja, tapi juga dalam kehidupan akherat, tidak hanya di alam yang dapat dirasakan panca indera, tapi juga di alam ghoib yang tidak terjangkau panca indera, dan tidak hanya dalam persoalan interaksi dhohir saja, tapi juga dalam nurani yang dalam, di dalam hati dan perasaan. Dengan kata lain, dien ini adalah bangunan raksasa, karena itu harus ada pondasi yang dalam dan besar sesuai ukuran bangunannya..
Inilah satu sisi rahasia dan tabiat dien ini. Ia menetapkan sendiri metode dalam mendirikan bangunannya; menjadikan tegaknya akidah yang komprehensif dan melandasi seluruh bagian Islam sebagai keharusan demi terbentuknya bangunan dien tersebut dengan benar, serta sebagai jaminan dari segala kemungkinan buruk yang menimpanya, dan jaminan agar terbentuk kesesuaian antara bangunan fisik yang menjulang di udara dengan pondasi-pondasi yang tertanam di kedalaman tanah.
Saat akidah ‘Laa ilaaha illallah’ terpatri dalam hati yang dalam, seketika itu juga terbangun tatanan kehidupan yang merefleksikan ‘Laa ilaaha illallah’. Jelaslah saat itu, bahwa tatanan kehidupan tersebut adalah satu-satunya sistem yang diinginkan jiwa-jiwa yang sudah tertanam ‘Laa ilaaha illallah’. Jiwa-jiwa tersebut tunduk sepenuhnya kepada tatanan itu, bahkan sebelum mereka tahu rincian-rincian hukumnya.
Berserah diri sepenuhnya kepada tatanan Islam adalah konsekwensi dari iman. Dengan perasaan berserah diri itulah, orang-orang yang sudah tertanam ‘Laa ilaaha illallah’ dalam hatinya menerima tatanan dan hukum-hukum Islam dengan senang hati, mereka tidak mengkritik satu pun dari peraturan tersebut saat Allah turunkan, dan tidak menunda-nunda untuk mengamalkannya, meski baru saja mengenalnya. Begitulah sikap mereka saat khomer, riba, dan judi diharamkan. Demikian juga saat kebiasaan-kebiasaan jahiliyyah dihapus oleh ayat-ayat Al-Qur’an, atau sabda-sabda Nabi Saw.
Hal tersebut berbeda dengan metode pemerintahan-pemerintahan di bumi dalam menjauhkan masyarakat dari hal-hal terlarang. Untuk tujuan tersebut, mereka menerapkan undang-undang dan peraturan, dilengkapi dengan tentara beserta senjatanya, serta sosialisasi lewat propaganda dan publikasi. Namun, tidak ada hasil yang dicapai selain penanganan pelanggaran yang tampak di permukaan, sementara masyarakat sendiri sebenarnya masih berkecimpung dalam hal-hal terlarang dan kemungkaran. [2]
* * *
Ada sisi lain dari tabiat dien ini yang kelihatan dari metodenya yang lurus. Yaitu, Islam adalah sistem kehidupan yang aplikatif dan dinamis. Dien tersebut datang untuk memberi hukum pada realitas kehidupan. Ia mengarahkan realitas kehidupan tersebut agar sesuai dengan ketentuannya. Dari sini, Islam tidak memberikan hukum kecuali untuk kondisi yang riil, yakni pada masyarakat yang sudah mengakui Allah sebagai satu-satu-Nya pemilik otoritas tertinggi..
Tatanan kehidupan Islam bukanlah teori yang berhubungan dengan hipotesis. Islam adalah manhaj –metode kehidupan- yang berhubungan dengan realita. Karena itu, sebelum turun hukum-hukum Islam, harus ada masyarakat muslim yang memeluk akidah ‘Laa ilaaha illallah’, menyakini bahwa otoritas tertinggi hanya di tangan Allah, menolak adanya kekuasaan tertinggi selain Allah, dan menolak legalitas apapun yang tidak berlandaskan ‘Laa ilaaha illallah’..
Ketika berdiri masyarakat muslim tersebut secara nyata, barulah ia memiliki kehidupan riil yang membutuhkan peraturan dan hukum. Hanya pada saat itulah, Islam menetapkan undang-undang dan peraturan, untuk kaum yang sudah tunduk sama sekali kepada undang-undang dan peraturan Islam, serta sama sekali enggan dengan undang-undang dan peraturan yang berasal dari selainnya..
Selain itu, orang-orang yang sudah beriman dengan akidah ‘Laa ilaaha illallah’ tersebut harus memiliki kekuasaan atas diri dan masyarakat mereka, sehingga bisa menjamin terlaksananya undang-undang dan peraturan Islam pada masyarakat tersebut. Dengan demikian, undang-undang itu pun memiliki kewibawaan dan keagungan, lebih dari sekedar kebutuhan saja..
Kaum muslimin saat di Makkah tidak memiliki kekuasaan, baik atas diri maupun masyarakat mereka. Mereka tidak memiliki kehidupan mandiri yang bisa diterapkan syari’at Allah. Karena itu, pada masa ini Allah tidak menurunkan undang-undang dan peraturan. Allah hanya menurunkan akidah, serta akhlak yang berpangkal pada akidah yang telah tertanam dalam hati sanubari yang dalam..
Saat mereka memiliki negara di Madinah yang berdaulat, turunlah peraturan-peraturan, dan ditetapkanlah undang-undang sebagai jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat muslim. Pelaksanaan undang-undang ini dijamin negara dengan kekuasaannya yang kuat.
Pada fase Makkah Allah tidak berkehendak menurunkan undang-undang dan peraturan-peraturan sebagai hal yang dipersiapkan untuk diberlakukan langsung ketika tegak negara di Madinah nantinya. Hal ini bukan tabiat dein ini. Islam lebih realistis dari hal tersebut. Islam tidak menerka-nerka persoalan-persoalan yang akan terjadi, lalu menetapkan solusinya. Islam menjawab permasalahan yang terjadi saat menjadi kenyataan masyarakat muslim yang tunduk kepada syari’at Allah dan menolak syari’at selain-Nya..
Pada saat ini, ada orang-orang yang menginginkan agar Islam merumuskan teori-teori atau rancangan undang-undang untuk kehidupan masyarakat, padahal tidak ada di atas permukaan bumi masyarakat berdaulat yang tunduk kepada syari’at Allah saja dengan kemampuan menerapkannya, dan menolak semua syari’at selainnya. Orang-orang tersebut tidak mengerti tabiat Islam, dan tidak mengerti bagaimana dien tersebut berbuat pada kehidupan manusia seperti yang dikehendaki Allah..
Orang-orang tersebut ingin mengubah tabiat, manhaj dan sejarah dien ini, agar menyerupai teori-teori dan manhaj buatan manusia; mereka berusaha agar dien ini tergesa-gesa melangkah melebihi dari jalan yang semestinya. Hal tersebut mereka lakukan untuk memenuhi keinginan temporer pada diri mereka, keinginan yang timbul dari perasaan minder pada jiwa mereka saat melihat tatanan kehidupan buatan manusia yang remeh. Mereka ingin agar Islam memiliki teori-teori dan hipotesa, untuk menghadapi masa depan yang belum ada..
Padahal Allah berkehendak agar dien ini seperti yang Ia kehendaki, yakni berupa akidah yang memenuhi hati dan menguasai sanubari, serta menimbulkan konsekwensi tunduknya manusia kepada Allah saja, dan tidak menerima undang-undang kecuali dari-Nya saja. Setelah terdapat orang-orang yang memeluk akidah ini, dan mereka memiliki kekuasaan atas masyarakat mereka secara de facto, mulailah turun undang-undang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil mereka, serta mengatur kehidupan nyata mereka…
Inilah yang Allah kehendaki terhadap Islam, dan Islam tidak akan menjadi apapun kecuali sebagaimana yang Allah kehendaki, meski tidak sesuai dengan keinginan manusia!
Itulah yang harus dipahami para pengemban dakwah saat mereka menyeru manusia untuk membangun kembali dien Islam. Mereka harus menyeru manusia untuk memeluk akidah terlebih dahulu, meski ia sudah mengaku sebagai orang muslim,atau lahir sebagai orang muslim. Para da’i harus mengenalkan kepada manusia bahwa Islam adalah mengakui akidah ‘Laa ilaaha illallah’ dengan maknanya yang sebenarnya, yakni mengembalikan otoritas tertinggi kepada Allah dalam segala aspek kehidupan, serta melucuti kekuasaan para penyerobot yang merampas hak otoritas tersebut; Islam adalah menanamkan akidah tersebut di hati dan perasaan mereka, serta kondisi dan realitas kehidupan mereka..
Persoalan akidah ini hendaknya menjadi pondasi dakwah untuk menyeru manusia kepada Islam. Sebab, itulah pondasi pertama dakwah Islam yang diemban Al-Qur’an fase Makkah selama tiga belas tahun penuh. Jika terdapat sekelompok manusia yang memeluk dien tersebut –dengan paham yang fundamental ini-, maka kelompok itulah yang disebut sebagai ‘masyarakat muslim’. Merekalah masyarakat yang pantas menyandang sistem Islam dalam kehidupan sosialnya, sebab mereka telah memegang prinsip untuk membangun seluruh kehidupannya di atas pondasi akidah, dan tidak ada yang memegang otoritas terhadap kehidupan mereka kecuali Allah..
Ketika masyarakat seperti di atas telah berdiri dengan nyata, barulah diberikan dasar-dasar sistem Islam kepada mereka, sebagaimana masyarakat itu sendiri diberi peraturan-peraturan yang langsung berhubungan dengan kehidupan riil mereka, dengan berlandaskan dasar-dasar sistem Islam tersebut. Inilah urutan langkah-langkah dakwah menurut manhaj Islam yang realistis dan apliatif.
Ada beberapa orang yang ikhlas namun tergesa-gesa; mereka tidak bisa memahami tabiat dien Islam ini, dan tidak bisa memahami tabiat manhajnya yang lurus, yang berpondasikan kebijaksanaan Dzat Yang Maha Tahu dan Bijaksana, serta ilmu-Nya tentang karakter manusia dan kebutuhan hidup. Dalam angan-angan mereka, memaparkan dasar-dasar sistem Islam, dan juga undang-undang Islam kepada masyarakat, dapat memudahkan jalan dakwah bagi mereka, serta membuat masyarakat mencintai dien Islam ini..
Ini adalah persangkaan salah yang bersumber dari ketergesaan! Seperti halnya dengan apa yang diusulkan pendapat-pendapat yang disebutkan di atas: yakni yang menyatakan bahwa dakwah Rasulullah Saw. hendaklah dibangun di bawah bendera nasionalisme, bendera sosial, atau bendera akhlak, untuk mempermudah dakwah!
Sesungguhnya sejak awal hati manusia harus murni untuk Allah, serta memproklamasikan pengabdian kepada-Nya semata dengan jalan menerima syari’at-Nya saja serta menolak syariat selain-Nya. Hal ini harus menjadi prinsip terlebih dahulu sebelum diberi rincian apapun tentang syari’at tersebut…
Kecintaan kepada syari’at harus berangkat dari pengabdian kepada Allah semata serta lepas dari kekuasaan selain-Nya, bukan dari pandangan bahwa rincian sistem syari’at tersebut secara dzatnya lebih baik daripada undang-undang selainnya..
Sesungguhnya dzat syari’at Islam memang merupakan undang-undang terbaik, karena ia buatan Allah dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan undang-undang buatan makhluk. Namun, pandangan seperti ini bukanlah asas dakwah. Hal yang mendasar untuk didakwahkan adalah bahwa menerima syari’at Allah saja bagaimanapun bentuknya, serta menolak setiap syari’at selainnya bagaimanapun bentuknya, itulah dzat Islam. Tidak ada makna lain untuk Islam selain itu. Barang siapa yang sudah mencintai Islam tersebut secara prinsip, berarti sudah memberi keputusan menerima dakwah, dan ia tidak perlu lagi diperlihatkan keindahan dan keutamaan sistem Islam. Kecintaan kepada Islam secara prinsip ini termasuk aksioma dari iman..
* * *
Perlu dibicarakan bagaimana Al-Qur’an fase Makkah membangun akidah di sela-sela tiga belas tahun lamanya. Al-Qur’an fase Makkah tidak memaparkan akidah dalam bentuk ‘teori’, tidak pula dalam bentuk teologis, dan tidak juga dalam bentuk perdebatan ilmu kalam yang ada pada ilmu yang disebut sebagai ‘ilmu Tauhid’.
Al-Qur’an berbicara kepada fitrah manusia tentang bukti-bukti yang berkenaan dengan eksistensi dirinya dan alam semesta sekitarnya. Al-Qur’an membersihkan fitrahnya dari tumpukan noda, serta membebaskan indera-indera pada fitrah tersebut yang berfungsi merespon kebenaran dari hal-hal yang menutupi dan mendisfungsikannya. Al-Qur’an membuka jendela-jendela fitrah agar dapat menerima dan menyambut pengaruh bukti-bukti di atas..
Secara spesifik, Al-Qur’an terjun dengan membawa akidah ini di medan yang hidup dan riil. Di medan tersebut, ia menghadapi tumpukan-tumpukan noda yang mendisfungsikan fitrah pada jiwa-jiwa manusia yang nyata dan riil. Karena itu, ‘teori’ bukanlah bentuk yang relevan dalam menghadapi hal yang nyata ini. Bentuk yang relevan adalah perlawanan yang hidup terhadap noda-noda yang merupakan penghalang kejiwaan riil tersebut…
Perdebatan logika seperti yang terdapat pada ‘ilmu Tauhid’ di masa-masa akhir sekarang ini, juga bukan bentuk yang relevan. Sebab, Al-Qur’an menghadapi kenyataan manusia yang lengkap dengan segala pernak-perniknya yang hidup, dan ia berbicara kepada eksistensi dirinya yang ada pada realita ini..
Demikian juga, ‘teologi’ juga bukan bentuk yang cocok. Sebab akidah Islam, meski berupa keyakinan, namun ia mencerminkan metode kehidupan riil untuk diterapkan dalam tingkah laku yang nyata. Akidah Islam tidak terjebak pada sudut sempit yang berisi pembahasan-pembahasan teologi teoritis.
Saat membangun akidah di sanubari jama’ah muslimin, Al-Qur’an juga membawa jama’ah ini di medan besar dalam rangka menghadapi jahiliyyah di sekitarnya; ia membawa jama’ah muslimin di medan besar untuk melawan pengaruh-pengaruh jahiliyyah yang terdapat pada hati, akhlak, dan realitas masyarakat. Karena hal itu, pembangunan akidah tersebut tidak mungkin dalam bentuk ‘teori’, tidak pula dalam bentuk ‘teologi’, dan tidak pula dalam bentuk perdebatan ilmu kalam, tetapi dalam wujud perkumpulan struktural yang hidup dan pembentukan organisasi yang langsung berhubungan dengan kehidupan, yang tercermin pada jama’ah muslimin itu sendiri. Perkembangan jama’ah tersebut, dalam konsepsi keyakinan dan sepak terjang nyatanya, sesuai dengan akidah di atas, dan sesuai dengan arahannya dalam menghadapi jahiliyyah. Jama’ah muslimin ini tak lain adalah organisasi yang memerangi jahiliyyah. Perkembangan jama’ah ini mencerminkan perkembangan bangunan akidah. Sepak terjang mereka adalah terjemahan hidup dari bangunan akidah tersebut…Inilah metode Islam yang mencerminkan tabiatnya…
Merupakan hal yang mendesak, apabila para pengusung dakwah Islamiyyah harus mengetahui tabiat dan metode dien Islam dalam pergerakan seperti yang telah kami terangkan di atas. Hal tersebut bertujuan agar mereka tahu bahwa fase pembangunan akidah yang memakan waktu lama di Makkah, tidaklah terpisah dari fase pembentukan nyata gerakan Islam serta realitas jama’ah muslimin. Fase pembangunan akidah bukanlah fase menerima ‘teori’ dan mengkajinya, tetapi fase pembentukan secara fundamental akidah, jama’ah, pergerakan, dan eksistensi nyata sekaligus. Seperti itulah yang semestinya dilakukan jika ingin kembali membangun akidah itu di waktu lain..
Demikian juga, pembangunan akidah itu sepantasnya dilaksanakan dalam waktu yang lama, dan dilakukan secara pelan-pelan, mendalam dan kokoh dalam setiap langkahnya. Fase pembangunan tersebut bukanlah fase pengkajian teoritis terhadap akidah, tapi fase penterjemahan akidah dalam wujud yang hidup, tercermin pada hati yang sudah beradaptasi dengan akidah tersebut, serta pada bangunan jama’ah dan himpunan pergerakan yang perkembangannya, baik secara internal maupun eksternal, merupakan gambaran dari perkembangan akidah itu sendiri. Akidah tersebut harus tercermin pada gerakan nyata menghadapi jahiliyyah, melawannya baik dalam hati maupun realita, sehingga jadilah akidah itu hidup dan mengadakan pertumbuhan yang hidup di medan perjuangan tersebut…
Menurut kaca mata Islam, merupakan hal yang sama sekali salah apabila akidah hanya mengambil bentuk sebagai ‘teori’ untuk sekedar dijadikan bahan kajian intelektual atau pengetahuan budaya. Bahkan, hal ini sama sekali berbahaya..
Al-Qur’an menghabiskan tiga belas tahun penuh untuk membangun akidah bukan karena tema-tema tentangnya harus diturunkan beberapa kali –karena berlainan satu sama lain dan selalu baru–. Sama sekali bukan karena itu. Seandainya Allah berkehendak, Ia bisa menurunkan Al-Qur’an sekaligus, lalu membiarkan para shahabat mempelajarinya sekitar tiga belas tahun, sehingga mereka menguasai sepenuhnya ‘teori Islam’.
Akan tetapi, Allah SWT menginginkan hal lain. Ia menghendaki metode tertentu yang unik. Ia menginginkan membangun jama’ah, membangun gerakan, dan membangun akidah sekaligus. Ia ingin membangun jama’ah dan harakah (gerakan) dengan akidah, dan membangun akidah dengan jama’ah dan harakah. Allah menghendaki agar akidahlah yang menjadi realitas jama’ah pergerakan yang riil, dan agar realitas jama’ah pergerakan tersebut adalah gambaran konkrit untuk akidah. Allah SWT tahu bahwa membangun individu dan jama’ah tidak bisa dilakukan dalam sehari semalam. Karena itu, membangun akidah pun juga harus memakan waktu yang sama dengan yang digunakan untuk membangun individu dan jama’ah. Sehingga, apabila pembentukan akidah tersebut sudah matang, maka jama’ahlah penampakan riil untuk akidah yang sudah matang ini.
* * *
Inilah tabiat dien Islam ini –sebagaimana diringkaskan dari metode Al-Qur’an fase Makkah-. Kita harus mengetahui tabiatnya tersebut, dan jangan berusaha mengubahnya hanya karena memenuhi keinginan tergesa-gesa untuk melawan teori perundangan-undangan manusia yang bermacam-macam bentuknya. Islam dengan tabiatnya yang diterangkan di atas telah memunculkan umat Islam untuk yang pertama kalinya, dan hanya dengan tabiat itulah ia bisa melahirkan umat Islam di setiap saat yang dikehendaki munculnya kembali eksistensi umat Islam sebagaimana generasi awal mereka..
Akidah Islamiyyah adalah akidah yang hidup, yang wajib tercermin pada realita yang berkembang, hidup dan dinamis, serta pada organisasi pergerakan. Karena itu, kita harus mengetahui sekaligus kesalahan dan bahaya dari usaha mengubah akidah yang hidup itu menjadi ‘teori’ untuk sekedar dijadikan bahan kajian dan pengetahuan budaya, yang itu dilakukan karena semata-mata ingin menghadapi teori-teori buatan manusia yang kerdil dengan ‘teori Islam’.
Akidah Islamiyyah wajib tercermin pada jiwa-jiwa yang hidup, pada organisasi nyata, pada perkumpulan struktural, dan pada gerakan yang memberikan reaksi perlawanan terhadap jahiliyyah yang ada di sekitarnya. Demikian juga, akidah Islamiyyah pun juga harus memberikan reaksi serupa terhadap noda-noda jahiliyyah yang masih melekat pada jiwa-jiwa pemeluknya –karena mereka dulu adalah orang-orang jahiliyyah sebelum akidah Islam merasuk ke jiwa mereka dan menarik mereka dari lingkungan jahiliyyah–..
Akidah Islamiyyah dalam bentuk yang hidup di atas, akan mengambil ruang lingkup yang lebih besar, lebih luas dan lebih komprehensif untuk hati serta akal dan juga kehidupan, dari pada ruang lingkup ‘teori’. Bahkan, ruang lingkup ‘teori’ tersebut dengan segala perangkatnya termasuk dalam cakupan ruang lingkup akidah Islamiyyah…
Sesungguhnya konsepsi Islam tentang ketuhanan, alam semesta, kehidupan, dan manusia, adalah konsepsi yang komprehensif dan lengkap. Namun, ia juga konsepsi yang realistis dan positif. Ia benci –sesuai tabiatnya- untuk menjelma menjadi sekedar teori akal, karena ini menyelisihi tabiat dan tujuannya. Konsepsi Islam harus tercermin pada sosok-sosok manusia, pada organisasi hidup, dan pada gerakan nyata. Cara ia terbentuk pun adalah dengan tumbuh melalui sosok-sosok, organisasi yang hidup dan gerakan nyata itu. Sehingga, saat konsepsi itu sempurna secara teori, saat itu pula ia sempurna secara realita. Ia pun kemudian tidak memisahkan diri pada bentuk ‘teori’, tapi tetap tercermin pada kenyataan pergerakan..
Setiap pertumbuhan teori yang mendahului pertumbuhan pergerakan nyata, dan tidak berkembang di sela-sela pergerakan itu, adalah salah dan berbahaya, jika dianalogikan dengan tabiat dien Islam dan tujuannya, serta cara pembentukannya..
Allah SWT berfirman:
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (secara bertahap). (QS. Al Isra’ (17) : 106)
Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah hal yang direncanakan. Begitu juga dengan dibacakannya secara perlahan-lahan. Tujuannya agar sempurna bangunan struktural yang tersusun dari akidah dalam bentuk ‘organisasi hidup’, bukan dalam bentuk ‘teori’..
Para pemeluk dien Islam wajib memahami dengan baik, bahwa –sebagaimana dien ini berasal dari Allah- metodenya dalam bertindak pun juga metode yang berasal dari Allah juga, sesuai dengan tabiatnya. Tidak mungkin dipisahkan antara hakekat dien Islam dengan metodenya dalam bertindak.
Mereka juga harus tahu, bahwa dien Islam ini –sebagaimana datang untuk mengubah konsepsi keyakinan, yang dari sini mengubah realitas kehidupan- datang pula untuk mengubah metode yang seharusnya digunakan untuk membangun konsepsi keyakinan dan realitas kehidupan tersebut. Islam datang untuk membangun akidah sekaligus membangun umat, lalu menciptakan metode berpikir khusus untuk itu, yang nilainya sama dengan yang digunakan untuk menciptakan konsepsi keyakinan dan realitas kehidupan. Tidak dapat dipisahkan antara metode berpikir khas yang dimiliki Islam dengan konsepsi keyakinannya yang khas pula, serta bangunan dinamisnya yang khas juga. Semuanya satu paket.
Jika kita sudah mengetahui metode Islam dalam berbuat seperti yang kami terangkan di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa metode ini merupakan hal yang prinsip, bukan metode untuk fase tertentu, lingkungan atau daerah tertentu tempat munculnya jama’ah muslimin yang pertama. Metode ini adalah syarat berdirinya bangunan dien Islam di setiap waktu..
Tugas Islam tidak hanya mengubah akidah dan realitas masyarakat, tapi juga mengubah metode berpikir mereka serta metode dalam menerima konsepsi dan realitas. Sebab, Islam adalah metode yang berasal dari Allah, berbeda dalam seluruh tabiatnya dengan metode-metode manusia yang kerdil dan terbatas..
Kitapun tidak bisa sampai kepada konsepsi yang bersumber dari Allah, dan kepada kehidupan yang dikehendaki Allah, kecuali melalui metode berpikir yang berasal dari Allah pula, itulah metode yang diinginkan Allah agar menjadi pondasi cara berpikir yang digunakan manusia, sehingga benar konsepsi keyakinan dan pembentukan riil mereka..
* * *
Jika kita menginginkan agar Islam menjadikan dirinya sebagai ‘teori’ untuk dijadikan bahan kajian semata, berarti kita melepaskan dien itu dari tabiat metode pembentukan dan berpikir yang bersumber dari Allah, lalu membuatnya tunduk kepada metode-metode berpikir buatan manusia! Seakan-akan metode ciptaan Allah lebih rendah dari pada metode-metode ciptaan manusia, lalu menghendaki metode Allah itu ditingkatkan sehingga menyamai metode-metode manusia dalam hal konsepsi dan pergerakan..!
Dari sisi ini, hal tersebut berbahaya, dan merupakan kekalahan mental yang fatal..
Sesungguhnya tugas metode yang bersumber dari Allah adalah memberi kita –yakni para pengusung dakwah Islamiyyah- cara berpikir khas. Kita harus membersihkannya dari noda-noda metode berpikir produk jahiliyyah yang sedang mencengkram bumi ini, yang membuat akal kita tertekan dan kebudayaan kita terkotori…Jika kita menginginkan menerima dien Islam ini dengan metode berpikir yang asing dari tabiatnya, yakni metode berpikir jahiliyyah yang sedang berkuasa, berarti kita mendisfungsikannya dari tugas yang semestinya ia tunaikan demi kepentingan manusia, dan kita menghalangi diri-diri kita sendiri untuk lepas dari tekanan metode jahiliyyah yang sedang berkuasa di zaman kita, serta menghalangi diri-diri kita untuk lepas dari noda-noda jahiliyyah pada akal-akal serta pembentukan karakter kita..
Dari sisi ini,hal itu juga berbahaya, dan merupakan kerugian fatal..
Sesungguhnya metode berpikir dan metode pergerakan dalam membangun Islam, nilainya dan urgensinya tidak lebih kecil dari pada konsepsi keyakinan dan tatanan kehidupan. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Kadang terbesit dalam hati kita untuk memaparkan konsepsi dan tatanan kehidupan itu dalam bentuk keterangan lisan, namun kita tetap harus menyadari bahwa hal ini tidak akan memunculkan Islam di bumi ini dalam wujud pergerakan nyata. Kita pun harus menyadari bahwa pemaparan Islam dalam bentuk tersebut tidak akan bermanfaat kecuali jika dilakukan orang-orang yang langsung terjun dalam pergerakan Islam yang riil. Kita harus sadar, bahwa paling tidak mereka menyampaikan Islam dalam bentuk tersebut harus sesuai dengan capaian mereka di dunia pergerakan.Saya ulangi lagi, bahwa konsepsi keyakinan wajib tercermin langsung pada jama’ah pergerakan, dan di saat yang sama jama’ah pergerakan itu harus menjadi cerminan yang valid dan terjemahan yang sebenarnya dari konsepsi keyakinan tersebut.
Saya ulangi lagi juga, bahwa hal ini adalah metode yang merupakan tabiat Islam yang datang dari Allah, dan inilah metode yang lebih agung dan lurus, lebih efektif dan lebih sesuai dengan fitrah manusia, dari pada metode yang mendahulukan pemaparan teori secara lengkap dalam bentuk logika dingin kepada manusia sebelum mereka terjun langsung dalam pergerakan nyata, menjadi terjemahan hidup, yang tumbuh selangkah demi selangkah untuk mencerminkan teori tersebut..
* * *
Sesungguhnya jahiliyyah di sekitar kita, di samping berhasil membuat urat syaraf para pengusung dakwah Islamiyyah yang ikhlas tertekan, sehingga membuat mereka tergesa-gesa dalam meniti langkah-langkah metode Islamy, ia kadang-kadang juga berhasil membuat mereka terdesak dengan pertanyaan-pertanyaan: “Mana rincian-rincian sistem hukum yang kalian dakwahkan? Mana pembahasan, kajian, dan fiqih yang berdasarkan prinsip-prinsip modern yang kalian siapkan untuk melaksanakan hukum Islam?”. Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu, seakan-akan yang kurang pada masyarakat sekarang di bumi ini dalam hal penegakan syari’at hanya hukum-hukum fiqih dan pembahasan-pembahasan fiqih Islamy; seakan-akan masyarakat sekarang sudah berserah diri kepada kekuasaan Allah dan senang dihukumi dengan syari’at Allah namun tidak mempunyai fiqih modern dari para ‘mujtahid’!
Sikap jahiliyyah tersebut merupakan ejekan rendahan yang tidak perlu diperhatikan oleh setiap orang yang masih merasakan kehormatan untuk dien Islam ini!
Dengan tekanan pertanyaan-pertanyaan di atas, jahiliyyah semata-mata menginginkan justifikasi untuk menyingkirkan syari’at Allah dan melanggengkan perbudakan manusia terhadap manusia lain. Jika tidak diabaikan, jahiliyyah bisa memalingkan kelompok muslimin dari manhaj (metode) rabbani yang seharusnya mereka tempuh. Akibatnya, mereka melompati fase pembangunan akidah dalam bentuk pergerakan, dan para pengusung dakwah Islamy pun tidak menempuh metode rabbani. Yakni metode yang mana teori terkristal dari sela-sela pergerakan, pembentukan hukum terbatas dari sela-sela pengalaman, dan peraturan-peraturan untuk kehidupan Islamy yang riil disampaikan sesuai dengan problematika yang nyata..
Wajib bagi para pengusung dakwah Islamiyyah untuk tidak menanggapi manuver jahiliyyah di atas! Mereka harus menolak pendiktean metode asing pada gerakan dan dien mereka ! Jangan sampai orang-orang yang tidak beriman membodohi mereka!
Wajib bagi mereka untuk mengerti manuver marginalisai tersebut. Mereka harus merasa terlalu mulia untuk menanggapinya. Mereka harus menolak ejekan rendahan pada apa yang disebut ‘perkembangan fikih Islamy’ pada masyarakat yang tidak memproklamasikan ketertundukannya kepada syari’at Allah dan menolak setiap syari’at selainnya. Wajib bagi mereka pula untuk menolak perbuatan sia-sia yang bisa memalingkan mereka dari tindakan yang berguna. Perbuatan sia-sia yang tidak lain adalah ibarat menanam benih di udara. Mereka harus menepis tipu muslihat yang busuk ini!
Wajib bagi mereka untuk bergerak sesuai dengan metode dien Islam dalam pergerakan ini. Karena inilah rahasia kekuatannya, dan inilah sumber kekuatan mereka juga..
Dalam pandangan Islam, ‘manhaj’ (metode) nilainya sama dengan hakekat. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Setiap metode yang asing pada akhirnya tidak mungkin mewujudkan Islam. Metode-metode asing bisa mewujudkan tatanan-tatanan kehidupan produk manusia, tapi tidak bisa mewujudkan tatanan kehidupan kita (Islam). Karena itu, berpegang teguh pada manhaj kita dalam pergerakan Islamiyyah adalah keharusan yang mendesak, sebagaimana berpegang teguh pada akidah dan syari’at.
((Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjuki kepada yang paling lurus))
[2]
Lihatlah bagaimana Allah mengharamkan khamr pada juz V, Fi Dzilalil
Qur’an, hlm. 78-85; juga, bagaimana ketidakmampuan Amerika Serikat
melakukan hal itu dalam kitab Dza Khasira al-‘Alam bi Inkhithat al
Muslimin, karya Sayyid Abu al Hasan an-Nadawi yang menukil kitab
Tanqihat karya Sayyid Abul A’la al Maududi.
Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan keberadaan Allah sama sekali. Namun, mereka salah dalam mengenali hakikat Pemelihara mereka yang Maha Benar, atau menyekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan yang lain, baik dalam bentuk ibadah (ritual) dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan dan ketertundukan. Menyekutukan Allah dalam kedua bentuk itu adalah syirik yang bisa menyebabkan manusia keluar dari dien Allah (Islam).
Manusia sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. sudah mengenal dien Allah tersebut lewat para rasul. Tapi, mereka mengingkarinya setelah berlalu beberapa masa. Mereka pun kembali ke alam jahiliyyah, serta kembali menyekutukan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadah (ritual), atau pun dalam bentuk ketaatan dan ketertundukan, mau pun dalam dua bentuk itu sekaligus.
Inilah tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan yang satu, yaitu Islam, dalam pengertian penyerahan diri secara total yang dilakukan para hamba kepada Allah, serta lepas dari pengabdian kepada sesama hamba Allah untuk menuju kepada pengabdian kepada Allah semata. Untuk itu, ia membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada manusia dalam urusan peraturan hidup, nilai-nilai dan tradisi, untuk menuju ketundukan kepada otoritas dan peraturan Allah saja di dalam semua aspek kehidupan.
Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad SAW sebagaimana ia datang melalui para rasul sebelum beliau. Ia datang untuk mengembalikan umat manusia agar patuh kepada otoritas Allah, sebagaimana seluruh alam ini berjalan sesuai peraturan Allah (hukum kauny).
Wajib bagi manusia agar otoritas yang memberikan peraturan hidup mereka adalah otoritas yang mengendalikan eksistensinya. Mereka tidak boleh tunduk kepada manhaj, otoritas dan pengaturan selain manhaj, otoritas dan pengaturan yang mengendalikan alam semesta ini, bahkan juga mengatur kehidupan manusia dalam hal fithry yang mereka tidak bisa menggunakan kehendaknya sendiri. Manusia, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sehat dan sakitnya, serta hidup dan matinya, diatur oleh hukum alam (hukum kauny) yang Allah ciptakan. Mereka juga diatur oleh hukum itu dalam urusan sosial mereka serta akibat-akibat yang mereka terima dari amal perbuatan yang terjadi atas pilihan mereka sendiri. Mereka tidak mampu mengubah hukum Allah yang mengatur dan mengendalikan alam semesta ini.
Oleh karena, mereka harus tunduk kepada Islam dalam aspek irody[1] dari kehidupan mereka, dengan jalan menjadikan syariat Allah SWT sebagai aturan dalam seluruh lini kehidupan. Hal ini harus dilakukan sebagai bentuk penyelarasan antara aspek kehidupan yang bersifat irody dan aspek kehidupan yang bersifat fithry, serta penyelarasan antara kehidupan mereka.dalam dua aspek tersebut dengan kehidupan alam semesta ini.
Jahiliyah tegak berdasarkan pengabdian manusia satu sama lain serta pertentangan antara aspek kehidupan manusia yang bersifat irody dengan yang bersifat fithry.[2] Jahiliyah yang telah dihadapi oleh setiap rasul serta Muhammad SAW. dengan dakwah kepada Islam –dalam pengertian penyerahan diri kepada Allah semata– tersebut, tidak hanya mengambil bentuk teori saja, bahkan kadang-kadang sama sekali tidak dalam bentuk teori. Namun, ia selalu terwujud dalam bentuk perkumpulan yang dinamis, dalam bentuk masyarakat yang tunduk kepada pimpinannya dalam hal konsepsi kehidupan, nilai, paham, perasaan, tradisi dan kebiasaan. Ia adalah masyarakat yang terstruktur; serta terdapat interakasi, ikatan saling menyempurnakan, kesesuaian, kesetiaan, dan kerjasama antara individu-individunya. Hal tersebut menyebabkan masyarakat itu bergerak, secara sadar atau tak sadar, untuk menjaga dan mempertahankan eksistensinya, serta menghancurkan semua unsur yang membahayakan eksistensinya dalam bentuk ancaman apa pun.
Karena jahiliyah itu tidak berupa “teori” saja, tapi juga berupa perkumpulan dinamis seperti ini, maka usaha menghapus jahiliyah itu dan membawa manusia ke jalan Allah tidak bisa dan tidak menghasilkan apapun, jika wujudnya hanya “teori” saja. Sebab, cara yang demikian itu tidak sepadan dengan jahiliyah yang telah berdiri secara riil dan terwujud dalam perkumpulan yang dinamis dan terstruktur. Penggunaan “teori” saja tersebut tidak akan sepadan dengan jahiliyyah yang sudah terbentuk sedemikian rupa itu, apalagi melebihinya.
Untuk menghilangkan sesuatu, haruslah dengan sesuatu yang menyelisihinya secara mendasar, baik pada tabiat, jalan hidup, pokok-pokok dan rinciannya. Karena itu, usaha menghilangkan jahiliyyah di atas harus terwujud dalam bentuk perkumpulan terstruktur dan dinamis yang lebih kuat, baik pada kaedah-kaedah teoritis dan keorganisasiannya, maupun pada interelasi, interkoneksi, dan jaringannya, daripada masyarakat jahiliyyah yang berdiri secara riil tersebut.
Dasar teoritis yang menjadi asas Islam, di sepanjang sejarah umat manusia, ialah dasar “Laa ilaaha illallah”, yakni pengakuan bahwa hanya Allah lah Dzat yang pantas diabdi, dan Dialah Penguasa, Pengendali, serta Pemilik hak kekuasaan dan wewenang pembuatan undang-undang. Pengakuan tersebut harus terwujud dalam bentuk keyakinan dalam hati, pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, dan penegakan syariat-Nya dalam realitas kehidupan. Syahadat “Laa ilaaha illallah” tidak ada secara riil dan tidak dianggap ada secara syar’ie, kecuali dalam bentuk yang saling menyempurnakan ini. Bentuk seperti inilah yang dapat membuat syahadat “Laa ilaaha illallah” memiliki suatu eksistensi yang hakiki. Islam tidaknya orang yang mengucapkan syahadat itu tergantung pada pengamalan “Laa ilaaha illallah” dalam bentuk tersebut.
Secara teoritis, makna asas Islam di atas ialah bahwa seluruh hidup manusia harus dikembalikan kepada Allah SWT saja. Mereka tidak boleh memutuskan suatu urusan pun mengenai kehidupan ini dalam segala aspeknya, berdasarkan kemauan diri mereka sendiri. Tapi mereka harus kembali kepada hukum Allah dalam urusan-urusan tersebut untuk mereka ikuti. Hukum Allah tersebut harus diambil dari sumber yang satu, yaitu sumber yang berhak menyampaikannya kepada mereka. Dialah Rasulullah SAW. Menerima hukum Allah dari Rasulullah SAW ini merupakan cerminan dari rangkaian kedua syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama, yakni “Muhammadur Rasulullah” (Muhammad ialah utusan Allah).
Itulah dasar teoritis yang menjadi wujud dan dasar pijakan Islam. Dasar ini menciptakan sistem kehidupan yang sempurna saat diterapkan di seluruh aspek kehidupan dan digunakan orang muslim untuk menghadapi semua lini kehidupan “individu” dan “sosial”, baik di dalam maupun di luar negara Islam, dalam hubungannya dengan sesama anggota masyarakat Islam dan juga dengan masyarakat yang lain.
Namun Islam, –sebagaimana yang kami katakan- tidak dapat terwujud dalam bentuk “teori” saja. Islam tidak dapat menjelma sebagai teori semata yang dianut para pemeluknya dalam bentuk kepercayaan dan pengamalan ibadat ritual namun masih menjadi individu-individu anggota masyarakat jahiliyyah yang masih bergerak dinamis secara nyata. Eksistensi mereka dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin memunculkan Islam dengan riil, walau jumlah mereka banyak. Sebab, individu-individu muslim yang masih berada di dalam susunan keanggotaan masyarakat jahiliyyah, dipastikan tidak bisa lepas dari ketundukan kepada tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut; mereka akan bergerak dengan suka rela atau terpaksa, baik secara sadar atau tidak, untuk berperan dalam menyokong kebutuhan dasar demi kehidupan masyarakat ini; mereka pun ikut berperan dalam mempertahankan eksistensinya serta memerangi semua unsur yang bisa mengancamnya. Sebab, peran-peran tersebut sudah pasti dilakukan masyarakat itu dengan segenap anggotanya, baik mereka kehendaki atau tidak.
Artinya, dalam kenyataan, individu-individu muslim tersebut ikut memperkuat masyarakat jahiliyyah yang secara teori ingin mereka hancurkan; mereka tetap menjadi sel-sel hidup di tubuh masyarakat itu sehingga membuatnya tetap langgeng. Alih-alih melakukan gerakan yang berlawanan dengan masyarakat jahiliyyah ini demi tegaknya masyarakat Islam, mereka malah memberikan sumbangan kemampuan, pengorbanan terbaik serta aktivitas mereka untuk kehidupan masyarakat ini serta memperkuatnya.
Karena itu, dasar teoritis Islam (yakni akidah) harus menjelma dalam perkumpulan yang terorganisir dan dinamis sejak langkah pertama. Harus muncul perkumpulan yang terorganisir dan dinamis selain perkumpulan jahiliyyah di atas. Perkumpulan baru tersebut harus berdiri di atas kaki sendiri dan terpisah dari perkumpulan jahiliyyah yang ingin dihapus oleh Islam. Komando perkumpulan baru itu harus pimpinan baru pula seperti yang tercermin pada Rasulullah SAW serta para pimpinan Islam setelahnya yang bertujuan mengembalikan manusia kepada pengabdian kepada Allah, kepada rububiyyah, otoritas, kekuasaan dan peraturan-Nya; para pimpinan itu harus melepaskan setiap orang yang bersaksi “la ilaaha illallah” dan “Muhammadur Rasulullah” dari loyalitasnya kepada perkumpulan jahiliyyah serta pimpinannya dalam bentuk apa pun, baik pimpinan spritual, seperti dukun, pendeta, tukang sihir dan ahli nujum serta semisalnya, maupun pimpinan politik, sosial dan ekonomi seperti yang ada pada kaum Quraisy, sehingga loyalitasnya terbatas pada perkumpulan Islam yang baru itu serta pimpinannya.
Semua ini mesti dilaksanakan mulai saat pertama seorang Muslim menganut Islam, saat dia mulai mengucapkan syahadat “laa ilaaha illallah” dan “Muhammadur Rasulullah”. Sebab, eksistensi masyarakat Islam tidak akan terwujud melainkan dengan syarat ini, tidak cukup dengan semata-mata menganut akidah di dalam hati para individu, walaupun jumlahnya banyak. Eksistensi masyarakat Islam tidak akan terwujud, sampai mereka mewujudkan diri dalam perkumpulan struktural, yang memilliki wujud yang mandiri, di mana anggota-anggotanya mengerjakan tugas sebagai anggota perkumpulan itu; mereka bekerja untuk mengukuhkannya, memperkuat dan melebarkan kekuasaannya, serta mempertahankan hidupnya dari unsur-unsur yang berpotensi mengancam eksistensinya; mereka pun bekerja di bawah pimpinan yang terpisah dari pimpinan masyarakat jahiliyyah; pimpinan itu mengatur gerakan mereka serta menyelaraskannya, dan mengarahkan mereka untuk memperkokoh, memperkuat dan memperluas eksistensi Islami mereka, serta menghadapi dan menghilangkan eksistensi jahiliyah. Mereka layaknya sel-sel makhluk hidup yang bekerja untuk menjaga eksistensi makhluk hidup tersebut.
Seperti itulah wujud Islam. Ia terwujud dalam bentuk akidah sebagai dasar teoritis global –namun komprehensif- yang dalam waktu yang sama menjadi pijakan masyarakat yang terstuktur dan dinamis, mandiri dan terpisah dari masyarakat jahiliyyah. Islam sama sekali tidak pernah ditemukan tampil dalam bentuk teori yang lepas dari eksistensi nyata ini. Begitulah caranya jika Islam ingin ditampilkan lagi. Tidak ada jalan untuk kembali memunculkan Islam di tengah-tengah masyarakat jahiliyyah di waktu kapanpun dan di tempat manapun tanpa pemahaman yang mendesak terhadap karakter pertumbuhannya yang terorganisir dan dinamis.
Islam membangun Umat Islam di atas pondasi akidah sesuai dengan metode di atas. Ia menegakkan eksistensi akidah tersebut melalui perkumpulan yang terstruktur dan dinamis, serta menjadikan akidah itu sebagai pengikat perkumpulan ini. Tujuannya tidak lain adalah menampakkan ‘kemanusiaan manusia’, memperkuat dan mengokohkannya, serta meninggikannya di atas seluruh dimensi lain pada wujud manusia. Islam tetap berjalan menggapai tujuan ini berlandaskan metode yang sudah baku tersebut dalam setiap kaedah, pengajaran, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya.
Sesungguhnya manusia mempunyai persamaan dengan hewan, bahkan dengan benda-benda material dalam beberapa sifat. Hal itu membuat para pengusung ‘kebodohan sainstistik’ menyangka bahwa manusia adalah hewan seperti hewan-hewan yang lain. Kadang kala mereka menyangka bahwa manusia itu adalah material sebagaimana benda-benda material yang lain. Padahal, walaupun ada persamaan dengan hewan dan benda material dalam sifat-sifat tersebut, manusia punya ciri-ciri khusus yang membuatnya berbeda. Ciri-ciri itu membuat manusia menjadi makhluk yang unik. Mereka pun akhirnya terpaksa mengakui kenyataan itu dengan tidak ikhlas dan terus terang. [3]
Saat manhaj Islamy di atas ditegakkan, saat masyarakat Islam didirikan dalam ikatan akidah saja tanpa ada ikatan kesukuan, tanah air, warna kulit, bahasa, dan kepentingan duniawi yang terbatas pada sekat-sekat teritorial yang sempit, saat karakteristik atau ciri-ciri khusus manusia ditonjolkan, dikembangkan, dan ditinggikan tanpa melihat ciri-cirinya yang sama dengan hewan, maka hal itu sungguh telah membuahkan hasil riil yang luar biasa. Di antaranya, masyarakat Islam itu menjadi sebuah masyarakat yang terbuka untuk semua bangsa dan golongan, dengan semua warna kulit dan bahasa tanpa terkendala oleh sekat-sekat perbedaan yang sempit ini. Semua perbedaan itu pun disatukan, dan dalam waktu yang pendek membuahkan komunitas terstruktur yang hebat. Komunitas yang menakjubkan, homogen dan integratif ini membuahkan peradaban agung yang mengagumkan, meliputi semua potensi manusia yang hidup di zaman itu, walaupun dengan jarak yang berjauhan dan lambatnya sarana komunikasi pada zaman tersebut.
Di dalam masyarakat Islam yang tiada tolok bandingnya itu, telah berkumpul bangsa Arab, Persia, Syam, Mesir, Maroko, Turki, China, India, Romawi, Yunani, Indonesia, Afrika, dan berbagai bangsa dan ras lain. Semua potensi khusus mereka terintegrasi untuk membangun koordinasi dan kerja sama demi terwujudnya masyarakat Islam dan peradaban Islam. Peradaban yang besar ini sama sekali bukanlah peradaban Arab, akan tetapi selalu Islam; juga bukan peradaban yang didasarkan atas paham kebangsaan, akan tetapi selalu paham akidah.
Mereka semua bersatu dengan mengedepankan persamaan, atas dasar cinta dan kesadaran menghadap ke satu tujuan. Segala keahlian, potensi ras, serta pengalaman pribadi, bangsa dan sejarah, mereka curahkan semuanya demi membangun masyarakat Islam tempat mereka berafiliasi dengan mengedepankan persamaan ini. Di sini, mereka disatukan oleh ikatan yang berhubungan dengan Tuhan yang Esa, dan kemanusiaan mereka pun dikembangkan tanpa adanya rintangan. Masyarakat seperti ini tidak ada yang menandinginya sepanjang sejarah.
Sebagai contoh, masyarakat yang paling terkenal di zaman kuno adalah kekaisaran Romawi. Di dalam masyarakat ini, terkumpul bermacam-macam suku, bahasa, warna kulit, dan perbedaan-perbedaan yang lain. Akan tetapi, semua ini tidak bersatu atas dasar “ikatan kemanusiaan” dan tidak pula mencerminkan nilai tertinggi seperti akidah. Di sana, terdapat perkumpulan berdasarkan tingkatan sosial di satu sisi, yaitu golongan bangsawan dan kaum budak di kekaisaran seluruhnya, dan di sisi lain berdasarkan perbudakan bangsa Romawi -secara umum- terhadap bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itulah, mereka tidak akan bisa mengungguli masyarakat Islam dan tidak akan mendapatkan hasil seperti yang dicapai oleh masyarakat Islam.
Di sejarah modern ini pun terdapat masyarakat-masyarakat lain. Kekaisaran Inggris, misalnya. Namun, masyarakat ini sebagaimana masyarakat Romawi yang notabene adalah bapak warisnya, adalah masyarakat nasionalis imperialis. Mereka tegak berdasarkan pengangkatan Bangsa Inggris sebagai tuan dan penindasan terhadap bangsa-bangsa jajahan mereka. Kekaisaran-kekaisaran lain di Eropa, seperti Spanyol, Portugis dan Perancis, juga sama. Semuanya ada pada level rendah, buruk dan hina..
Komunisme pun hendak membentuk masyarakat lain yang mampu menampung perbedaan kesukuan, kebangsaan, tanah air, bahasa dan warna kulit. Namun, komunisme tidak membangun masyarakat itu berlandaskan dasar “kemanusiaan” yang umum, tetapi berlandaskan prinsip “tingkatan sosial”. Masyarakat ini adalah wajah lain dari masyarakat Romawi kuno, yang membedakan perkumpulan kelas proletar dan kelas borjuis. Perasaan yang terbangun di dalamnya adalah perasaan dendam terhadap kelas-kelas yang lain. Komunitas kecil yang dibenci ini hanya akan menghasilkan dampak terburuk bagi eksistensi manusia.
Komunisme berdiri di atas dasar yang menonjolkan dan mengembangkan sifat-sifat kebinatangan saja, serta memberikan tempat untuknya, dengan anggapan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah “makanan, tempat tinggal dan seks” –yang merupakan tuntutan utama binatang-, serta anggapan bahwa sejarah manusia adalah sejarah mencari makanan.
Sungguh, hanya Islam yang mempunyai manhaj rabbani dalam menonjolkan, menumbuhkan dan meninggikan hal terkhusus yang dimiliki manusia pada bangunan masyarakat. Dan hanya Islam yang tidak henti-hentinya memilikinya. Orang-orang yang menyimpang dari manhaj ini dan menggunakan manhaj-manhaj lain yang berpijak pada asas kebangsaan, kewarganegaraan, tanah air, kelas sosial, dan asas-asas busuk dan rapuh lainnya, adalah musuh nyata manusia! Mereka adalah orang-orang yang tidak ingin manusia menyandang karakteristik luhur di alam semesta ini, sebagaimana yang Allah ciptakan. Mereka juga tidak ingin masyarakat mengambil manfaat secara maksimal dari keahlian, potensi khusus, serta pengalaman-pengalaman bangsa-bangsanya dalam kerja sama dan keselarasan. Merekalah orang-orang yang difirmankan oleh Allah :
Katakanlah (Muhammad): “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al Kahfi (18) : 103-106)
benarlah Allah Yang Maha Agung..
Pertumbuhan Masyarakat Islam dan Karakteristiknya
Sesungguhnya dakwah Islamiyah yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para rasul yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah manusia mempunyai satu tujuan; yaitu membimbing manusia untuk mengenal Tuhan dan Pemelihara mereka yang Maha Esa dan Benar, serta menjadikan mereka mengabdi kepada-Nya semata dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan keberadaan Allah sama sekali. Namun, mereka salah dalam mengenali hakikat Pemelihara mereka yang Maha Benar, atau menyekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan yang lain, baik dalam bentuk ibadah (ritual) dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan dan ketertundukan. Menyekutukan Allah dalam kedua bentuk itu adalah syirik yang bisa menyebabkan manusia keluar dari dien Allah (Islam).
Manusia sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. sudah mengenal dien Allah tersebut lewat para rasul. Tapi, mereka mengingkarinya setelah berlalu beberapa masa. Mereka pun kembali ke alam jahiliyyah, serta kembali menyekutukan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadah (ritual), atau pun dalam bentuk ketaatan dan ketertundukan, mau pun dalam dua bentuk itu sekaligus.
Inilah tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan yang satu, yaitu Islam, dalam pengertian penyerahan diri secara total yang dilakukan para hamba kepada Allah, serta lepas dari pengabdian kepada sesama hamba Allah untuk menuju kepada pengabdian kepada Allah semata. Untuk itu, ia membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada manusia dalam urusan peraturan hidup, nilai-nilai dan tradisi, untuk menuju ketundukan kepada otoritas dan peraturan Allah saja di dalam semua aspek kehidupan.
Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad SAW sebagaimana ia datang melalui para rasul sebelum beliau. Ia datang untuk mengembalikan umat manusia agar patuh kepada otoritas Allah, sebagaimana seluruh alam ini berjalan sesuai peraturan Allah (hukum kauny).
Wajib bagi manusia agar otoritas yang memberikan peraturan hidup mereka adalah otoritas yang mengendalikan eksistensinya. Mereka tidak boleh tunduk kepada manhaj, otoritas dan pengaturan selain manhaj, otoritas dan pengaturan yang mengendalikan alam semesta ini, bahkan juga mengatur kehidupan manusia dalam hal fithry yang mereka tidak bisa menggunakan kehendaknya sendiri. Manusia, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sehat dan sakitnya, serta hidup dan matinya, diatur oleh hukum alam (hukum kauny) yang Allah ciptakan. Mereka juga diatur oleh hukum itu dalam urusan sosial mereka serta akibat-akibat yang mereka terima dari amal perbuatan yang terjadi atas pilihan mereka sendiri. Mereka tidak mampu mengubah hukum Allah yang mengatur dan mengendalikan alam semesta ini.
Oleh karena, mereka harus tunduk kepada Islam dalam aspek irody[1] dari kehidupan mereka, dengan jalan menjadikan syariat Allah SWT sebagai aturan dalam seluruh lini kehidupan. Hal ini harus dilakukan sebagai bentuk penyelarasan antara aspek kehidupan yang bersifat irody dan aspek kehidupan yang bersifat fithry, serta penyelarasan antara kehidupan mereka.dalam dua aspek tersebut dengan kehidupan alam semesta ini.
Jahiliyah tegak berdasarkan pengabdian manusia satu sama lain serta pertentangan antara aspek kehidupan manusia yang bersifat irody dengan yang bersifat fithry.[2] Jahiliyah yang telah dihadapi oleh setiap rasul serta Muhammad SAW. dengan dakwah kepada Islam –dalam pengertian penyerahan diri kepada Allah semata– tersebut, tidak hanya mengambil bentuk teori saja, bahkan kadang-kadang sama sekali tidak dalam bentuk teori. Namun, ia selalu terwujud dalam bentuk perkumpulan yang dinamis, dalam bentuk masyarakat yang tunduk kepada pimpinannya dalam hal konsepsi kehidupan, nilai, paham, perasaan, tradisi dan kebiasaan. Ia adalah masyarakat yang terstruktur; serta terdapat interakasi, ikatan saling menyempurnakan, kesesuaian, kesetiaan, dan kerjasama antara individu-individunya. Hal tersebut menyebabkan masyarakat itu bergerak, secara sadar atau tak sadar, untuk menjaga dan mempertahankan eksistensinya, serta menghancurkan semua unsur yang membahayakan eksistensinya dalam bentuk ancaman apa pun.
Karena jahiliyah itu tidak berupa “teori” saja, tapi juga berupa perkumpulan dinamis seperti ini, maka usaha menghapus jahiliyah itu dan membawa manusia ke jalan Allah tidak bisa dan tidak menghasilkan apapun, jika wujudnya hanya “teori” saja. Sebab, cara yang demikian itu tidak sepadan dengan jahiliyah yang telah berdiri secara riil dan terwujud dalam perkumpulan yang dinamis dan terstruktur. Penggunaan “teori” saja tersebut tidak akan sepadan dengan jahiliyyah yang sudah terbentuk sedemikian rupa itu, apalagi melebihinya.
Untuk menghilangkan sesuatu, haruslah dengan sesuatu yang menyelisihinya secara mendasar, baik pada tabiat, jalan hidup, pokok-pokok dan rinciannya. Karena itu, usaha menghilangkan jahiliyyah di atas harus terwujud dalam bentuk perkumpulan terstruktur dan dinamis yang lebih kuat, baik pada kaedah-kaedah teoritis dan keorganisasiannya, maupun pada interelasi, interkoneksi, dan jaringannya, daripada masyarakat jahiliyyah yang berdiri secara riil tersebut.
Dasar teoritis yang menjadi asas Islam, di sepanjang sejarah umat manusia, ialah dasar “Laa ilaaha illallah”, yakni pengakuan bahwa hanya Allah lah Dzat yang pantas diabdi, dan Dialah Penguasa, Pengendali, serta Pemilik hak kekuasaan dan wewenang pembuatan undang-undang. Pengakuan tersebut harus terwujud dalam bentuk keyakinan dalam hati, pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, dan penegakan syariat-Nya dalam realitas kehidupan. Syahadat “Laa ilaaha illallah” tidak ada secara riil dan tidak dianggap ada secara syar’ie, kecuali dalam bentuk yang saling menyempurnakan ini. Bentuk seperti inilah yang dapat membuat syahadat “Laa ilaaha illallah” memiliki suatu eksistensi yang hakiki. Islam tidaknya orang yang mengucapkan syahadat itu tergantung pada pengamalan “Laa ilaaha illallah” dalam bentuk tersebut.
Secara teoritis, makna asas Islam di atas ialah bahwa seluruh hidup manusia harus dikembalikan kepada Allah SWT saja. Mereka tidak boleh memutuskan suatu urusan pun mengenai kehidupan ini dalam segala aspeknya, berdasarkan kemauan diri mereka sendiri. Tapi mereka harus kembali kepada hukum Allah dalam urusan-urusan tersebut untuk mereka ikuti. Hukum Allah tersebut harus diambil dari sumber yang satu, yaitu sumber yang berhak menyampaikannya kepada mereka. Dialah Rasulullah SAW. Menerima hukum Allah dari Rasulullah SAW ini merupakan cerminan dari rangkaian kedua syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama, yakni “Muhammadur Rasulullah” (Muhammad ialah utusan Allah).
Itulah dasar teoritis yang menjadi wujud dan dasar pijakan Islam. Dasar ini menciptakan sistem kehidupan yang sempurna saat diterapkan di seluruh aspek kehidupan dan digunakan orang muslim untuk menghadapi semua lini kehidupan “individu” dan “sosial”, baik di dalam maupun di luar negara Islam, dalam hubungannya dengan sesama anggota masyarakat Islam dan juga dengan masyarakat yang lain.
Namun Islam, –sebagaimana yang kami katakan- tidak dapat terwujud dalam bentuk “teori” saja. Islam tidak dapat menjelma sebagai teori semata yang dianut para pemeluknya dalam bentuk kepercayaan dan pengamalan ibadat ritual namun masih menjadi individu-individu anggota masyarakat jahiliyyah yang masih bergerak dinamis secara nyata. Eksistensi mereka dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin memunculkan Islam dengan riil, walau jumlah mereka banyak. Sebab, individu-individu muslim yang masih berada di dalam susunan keanggotaan masyarakat jahiliyyah, dipastikan tidak bisa lepas dari ketundukan kepada tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut; mereka akan bergerak dengan suka rela atau terpaksa, baik secara sadar atau tidak, untuk berperan dalam menyokong kebutuhan dasar demi kehidupan masyarakat ini; mereka pun ikut berperan dalam mempertahankan eksistensinya serta memerangi semua unsur yang bisa mengancamnya. Sebab, peran-peran tersebut sudah pasti dilakukan masyarakat itu dengan segenap anggotanya, baik mereka kehendaki atau tidak.
Artinya, dalam kenyataan, individu-individu muslim tersebut ikut memperkuat masyarakat jahiliyyah yang secara teori ingin mereka hancurkan; mereka tetap menjadi sel-sel hidup di tubuh masyarakat itu sehingga membuatnya tetap langgeng. Alih-alih melakukan gerakan yang berlawanan dengan masyarakat jahiliyyah ini demi tegaknya masyarakat Islam, mereka malah memberikan sumbangan kemampuan, pengorbanan terbaik serta aktivitas mereka untuk kehidupan masyarakat ini serta memperkuatnya.
Karena itu, dasar teoritis Islam (yakni akidah) harus menjelma dalam perkumpulan yang terorganisir dan dinamis sejak langkah pertama. Harus muncul perkumpulan yang terorganisir dan dinamis selain perkumpulan jahiliyyah di atas. Perkumpulan baru tersebut harus berdiri di atas kaki sendiri dan terpisah dari perkumpulan jahiliyyah yang ingin dihapus oleh Islam. Komando perkumpulan baru itu harus pimpinan baru pula seperti yang tercermin pada Rasulullah SAW serta para pimpinan Islam setelahnya yang bertujuan mengembalikan manusia kepada pengabdian kepada Allah, kepada rububiyyah, otoritas, kekuasaan dan peraturan-Nya; para pimpinan itu harus melepaskan setiap orang yang bersaksi “la ilaaha illallah” dan “Muhammadur Rasulullah” dari loyalitasnya kepada perkumpulan jahiliyyah serta pimpinannya dalam bentuk apa pun, baik pimpinan spritual, seperti dukun, pendeta, tukang sihir dan ahli nujum serta semisalnya, maupun pimpinan politik, sosial dan ekonomi seperti yang ada pada kaum Quraisy, sehingga loyalitasnya terbatas pada perkumpulan Islam yang baru itu serta pimpinannya.
Semua ini mesti dilaksanakan mulai saat pertama seorang Muslim menganut Islam, saat dia mulai mengucapkan syahadat “laa ilaaha illallah” dan “Muhammadur Rasulullah”. Sebab, eksistensi masyarakat Islam tidak akan terwujud melainkan dengan syarat ini, tidak cukup dengan semata-mata menganut akidah di dalam hati para individu, walaupun jumlahnya banyak. Eksistensi masyarakat Islam tidak akan terwujud, sampai mereka mewujudkan diri dalam perkumpulan struktural, yang memilliki wujud yang mandiri, di mana anggota-anggotanya mengerjakan tugas sebagai anggota perkumpulan itu; mereka bekerja untuk mengukuhkannya, memperkuat dan melebarkan kekuasaannya, serta mempertahankan hidupnya dari unsur-unsur yang berpotensi mengancam eksistensinya; mereka pun bekerja di bawah pimpinan yang terpisah dari pimpinan masyarakat jahiliyyah; pimpinan itu mengatur gerakan mereka serta menyelaraskannya, dan mengarahkan mereka untuk memperkokoh, memperkuat dan memperluas eksistensi Islami mereka, serta menghadapi dan menghilangkan eksistensi jahiliyah. Mereka layaknya sel-sel makhluk hidup yang bekerja untuk menjaga eksistensi makhluk hidup tersebut.
Seperti itulah wujud Islam. Ia terwujud dalam bentuk akidah sebagai dasar teoritis global –namun komprehensif- yang dalam waktu yang sama menjadi pijakan masyarakat yang terstuktur dan dinamis, mandiri dan terpisah dari masyarakat jahiliyyah. Islam sama sekali tidak pernah ditemukan tampil dalam bentuk teori yang lepas dari eksistensi nyata ini. Begitulah caranya jika Islam ingin ditampilkan lagi. Tidak ada jalan untuk kembali memunculkan Islam di tengah-tengah masyarakat jahiliyyah di waktu kapanpun dan di tempat manapun tanpa pemahaman yang mendesak terhadap karakter pertumbuhannya yang terorganisir dan dinamis.
Islam membangun Umat Islam di atas pondasi akidah sesuai dengan metode di atas. Ia menegakkan eksistensi akidah tersebut melalui perkumpulan yang terstruktur dan dinamis, serta menjadikan akidah itu sebagai pengikat perkumpulan ini. Tujuannya tidak lain adalah menampakkan ‘kemanusiaan manusia’, memperkuat dan mengokohkannya, serta meninggikannya di atas seluruh dimensi lain pada wujud manusia. Islam tetap berjalan menggapai tujuan ini berlandaskan metode yang sudah baku tersebut dalam setiap kaedah, pengajaran, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya.
Sesungguhnya manusia mempunyai persamaan dengan hewan, bahkan dengan benda-benda material dalam beberapa sifat. Hal itu membuat para pengusung ‘kebodohan sainstistik’ menyangka bahwa manusia adalah hewan seperti hewan-hewan yang lain. Kadang kala mereka menyangka bahwa manusia itu adalah material sebagaimana benda-benda material yang lain. Padahal, walaupun ada persamaan dengan hewan dan benda material dalam sifat-sifat tersebut, manusia punya ciri-ciri khusus yang membuatnya berbeda. Ciri-ciri itu membuat manusia menjadi makhluk yang unik. Mereka pun akhirnya terpaksa mengakui kenyataan itu dengan tidak ikhlas dan terus terang. [3]
Saat manhaj Islamy di atas ditegakkan, saat masyarakat Islam didirikan dalam ikatan akidah saja tanpa ada ikatan kesukuan, tanah air, warna kulit, bahasa, dan kepentingan duniawi yang terbatas pada sekat-sekat teritorial yang sempit, saat karakteristik atau ciri-ciri khusus manusia ditonjolkan, dikembangkan, dan ditinggikan tanpa melihat ciri-cirinya yang sama dengan hewan, maka hal itu sungguh telah membuahkan hasil riil yang luar biasa. Di antaranya, masyarakat Islam itu menjadi sebuah masyarakat yang terbuka untuk semua bangsa dan golongan, dengan semua warna kulit dan bahasa tanpa terkendala oleh sekat-sekat perbedaan yang sempit ini. Semua perbedaan itu pun disatukan, dan dalam waktu yang pendek membuahkan komunitas terstruktur yang hebat. Komunitas yang menakjubkan, homogen dan integratif ini membuahkan peradaban agung yang mengagumkan, meliputi semua potensi manusia yang hidup di zaman itu, walaupun dengan jarak yang berjauhan dan lambatnya sarana komunikasi pada zaman tersebut.
Di dalam masyarakat Islam yang tiada tolok bandingnya itu, telah berkumpul bangsa Arab, Persia, Syam, Mesir, Maroko, Turki, China, India, Romawi, Yunani, Indonesia, Afrika, dan berbagai bangsa dan ras lain. Semua potensi khusus mereka terintegrasi untuk membangun koordinasi dan kerja sama demi terwujudnya masyarakat Islam dan peradaban Islam. Peradaban yang besar ini sama sekali bukanlah peradaban Arab, akan tetapi selalu Islam; juga bukan peradaban yang didasarkan atas paham kebangsaan, akan tetapi selalu paham akidah.
Mereka semua bersatu dengan mengedepankan persamaan, atas dasar cinta dan kesadaran menghadap ke satu tujuan. Segala keahlian, potensi ras, serta pengalaman pribadi, bangsa dan sejarah, mereka curahkan semuanya demi membangun masyarakat Islam tempat mereka berafiliasi dengan mengedepankan persamaan ini. Di sini, mereka disatukan oleh ikatan yang berhubungan dengan Tuhan yang Esa, dan kemanusiaan mereka pun dikembangkan tanpa adanya rintangan. Masyarakat seperti ini tidak ada yang menandinginya sepanjang sejarah.
Sebagai contoh, masyarakat yang paling terkenal di zaman kuno adalah kekaisaran Romawi. Di dalam masyarakat ini, terkumpul bermacam-macam suku, bahasa, warna kulit, dan perbedaan-perbedaan yang lain. Akan tetapi, semua ini tidak bersatu atas dasar “ikatan kemanusiaan” dan tidak pula mencerminkan nilai tertinggi seperti akidah. Di sana, terdapat perkumpulan berdasarkan tingkatan sosial di satu sisi, yaitu golongan bangsawan dan kaum budak di kekaisaran seluruhnya, dan di sisi lain berdasarkan perbudakan bangsa Romawi -secara umum- terhadap bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itulah, mereka tidak akan bisa mengungguli masyarakat Islam dan tidak akan mendapatkan hasil seperti yang dicapai oleh masyarakat Islam.
Di sejarah modern ini pun terdapat masyarakat-masyarakat lain. Kekaisaran Inggris, misalnya. Namun, masyarakat ini sebagaimana masyarakat Romawi yang notabene adalah bapak warisnya, adalah masyarakat nasionalis imperialis. Mereka tegak berdasarkan pengangkatan Bangsa Inggris sebagai tuan dan penindasan terhadap bangsa-bangsa jajahan mereka. Kekaisaran-kekaisaran lain di Eropa, seperti Spanyol, Portugis dan Perancis, juga sama. Semuanya ada pada level rendah, buruk dan hina..
Komunisme pun hendak membentuk masyarakat lain yang mampu menampung perbedaan kesukuan, kebangsaan, tanah air, bahasa dan warna kulit. Namun, komunisme tidak membangun masyarakat itu berlandaskan dasar “kemanusiaan” yang umum, tetapi berlandaskan prinsip “tingkatan sosial”. Masyarakat ini adalah wajah lain dari masyarakat Romawi kuno, yang membedakan perkumpulan kelas proletar dan kelas borjuis. Perasaan yang terbangun di dalamnya adalah perasaan dendam terhadap kelas-kelas yang lain. Komunitas kecil yang dibenci ini hanya akan menghasilkan dampak terburuk bagi eksistensi manusia.
Komunisme berdiri di atas dasar yang menonjolkan dan mengembangkan sifat-sifat kebinatangan saja, serta memberikan tempat untuknya, dengan anggapan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah “makanan, tempat tinggal dan seks” –yang merupakan tuntutan utama binatang-, serta anggapan bahwa sejarah manusia adalah sejarah mencari makanan.
Sungguh, hanya Islam yang mempunyai manhaj rabbani dalam menonjolkan, menumbuhkan dan meninggikan hal terkhusus yang dimiliki manusia pada bangunan masyarakat. Dan hanya Islam yang tidak henti-hentinya memilikinya. Orang-orang yang menyimpang dari manhaj ini dan menggunakan manhaj-manhaj lain yang berpijak pada asas kebangsaan, kewarganegaraan, tanah air, kelas sosial, dan asas-asas busuk dan rapuh lainnya, adalah musuh nyata manusia! Mereka adalah orang-orang yang tidak ingin manusia menyandang karakteristik luhur di alam semesta ini, sebagaimana yang Allah ciptakan. Mereka juga tidak ingin masyarakat mengambil manfaat secara maksimal dari keahlian, potensi khusus, serta pengalaman-pengalaman bangsa-bangsanya dalam kerja sama dan keselarasan. Merekalah orang-orang yang difirmankan oleh Allah :
Katakanlah (Muhammad): “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al Kahfi (18) : 103-106)
benarlah Allah Yang Maha Agung..
[1]
Yakni aspek hukum Allah yang manusia punya kehendak untuk memilih
tunduk atau membangkang. Aspek ini meliputi syariat yang dibawa para
nabi. Aspek hukum yang lain adalah hukum kauny atau hukum fithry yang
merupakan taqdir Allah dan manusia tidak punya pilihan atau kehendak
untuk menolak; mereka hanya bisa tunduk. (penerj)
[2]
Bila manusia tunduk kepada taqdir Allah (aspek fithry), namun
membangkang hukum syari’at (aspek irody), maka timbullah pertentangan
antara dua aspek kehidupan ini pada dirinya. (penerj)
[3] Di antara tokoh yang terkemuka ialah Julian Haxley, seorang tokoh Darwinisme Modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar