Menurut
analisis militer Michael Snyder, Rusia tidak akan pernah menyerahkan
Crimea tanpa melakukan perlawanan. Basis utama armada Laut Hitam di
Sevastopol terlalu penting dan sangat strategis bagi Rusia. Apalagi 60
persen penduduk Crimea merupakan etnis Rusia, sehingga masuk akal jika
sebagian besar penduduknya bersikap pro Rusia.
“Sebenarnya
Rusia sangat siap berperang demi Crimea mengingat fakta bahwa jalur
pipa yang berada di wilayah ini amat penting bagi Rusia untuk
menyalurkan gas alam Rusia ke seluruh eropa melewati Ukraina. Karena itu
tak mungkin Rusia akan menyerahkan begitu saja lingkup pengaruhnya di
Ukraina kepada Amerika Serikat dan Uni Eropa,” begitu tutur Snyder.
Menurut
prediksi Snyder, jika Amerika dan Uni Eropa terlalu masuk ke wilayah
Ukraina, maka perang regional berskala besar besar kemungkinan akan
meletus. Harus disadari bahwa Rusia dan Ukraina memiliki ikatan sejarah
yang sangat mendalam. Sehingga Ukraina di mata Rusia punya nilai yang
cukup strategis.
Mencermati
perkembangan tersebut, Global Future Institute berpandangan bahwa
bergabungnya kembali Crimea kepada Rusia, akan menciptakan keseimbangan
kekuatan antara Washington dan Moskow. Sekaligus akan kembali memperluas
lingkup pengaruh Moskow di Ukraina. Seraya pada saat yang sama,
berpisahnya Crimea dari Ukraina, akan membatasi ekspansi Amerika dan
NATO ke “wilayah halaman belakang” Rusia.
Maka
tidak heran jika beberapa media melansir berita bahwa saat ini 100 ribu
pasukan Rusia telah berada di daerah perbatasan Ukraina, dan siap
menunggu perintah Presiden Putin untuk melancarkan serangan ke wilayah
Ukraina. Sehingga kehadiran militer Rusia tidak akan berhenti sampai di
Crimea saja. Melainkan akan merangsek masuk, ke wilayah Ukraina.
Ihwal
kehadiran 100 ribu pasukan Rusia di wilayah perbatasan Ukraina tersebut
telah diperkuat oleh pernyataan Ketua Dewan Keamanan Nasional Ukraina
Andriy Parubly kepada Voice of America 28 Maret 2014. Menurut keterangan
Parubly, Rusia telah menempatkan 100 ribu tentaranya di perbatasan
Ukraina di Utara, Selatan dan Timur.
Bahkan
Presiden Obama pun mengakui bahwa berdasarkan informasi Departemen
Pertahanan, Rusia memang terus memperkuat pasukannya di tiga wilayah
perbatasan tersebut, meskipun belum jelas maksud dari penempatan
pasukannya di tiga wilayah perbatasan tersebut.
Begitupun,
Rusia nampaknya memang tidak main-main. Seperti berita yang dilansir
Interfax 28 Maret lalu, Rusia telah menyiagakan Rudal Strategisnya yang
dikenal dengan SMF. Selain itu, pemegang otoritas pertahanan di Moskow
telah memerintahkan Kapal Selam Dolgoruki yang membawa Rudal Nuklir
Bulava, untuk meninggalkan pangkalannya di Severodvinsk di Utara Rusia.
Adanya
perintah untuk menggerakkan Kapal Selam Dolgoruki dan Rudal Nuklir
Bulava nampaknya harus dibaca sebagai bentuk kesiapan perlawanan Rusia
terhadap manuver militer AS dan NATO, menyusul sikap permusuhan
terang-terangan Amerika dan Uni Eropa menyusul perkembangan yang cukup
menguntungkan Rusia di Crimea. Ketika 98,6 persen rakyat Crimea
menyatakan setuju penggabungan kembali wilayah tersebut dengan Rusia.
Betapa
tidak. Kapal Selam Dolgoruki, selain membawa Rudal Bulava yang
merupakan jenis senjata nuklir terkuat di dunia yang dimiliki Rusia saat
ini, kapal selam Yuri Dolgoruki ini merupakan kapal selam yang paling
ditakuti Amerika dan NATO karena pergerakannya yang sulit dideteksi
radar.
Bahkan NATO menjuluki kapal selam Yuri Dolgoruki sebagai “The Silent Killer” karena
kecanggihannya untuk menghilang dari pantauan radar militer pihak
musuh. Dan mampu meluncurkan Rudal Bulava berdaya jangkau 10 ribu
kilometer dari perairan manapun di dunia. Bulava mampu membawa 6 hingga
10 hulu ledak nuklir masing-masing berkekuatan 100 hingga 150 kiloton.
Beberapa
indikasi lain yang mempertunjukkan kesiapsiagaan pasukan Rusia untuk
tidak hanya berhenti sampai Crimea saja, melainkan akan menyerbu
Ukraina, bisa dilihat melalui beberapa pertanda:
-
Banyak kendaraan militer Rusia yang bergerak ke Crimea.
-
Kendaraan militer Rusia tertangkap kamera sudah berada di alun-alun utama Sevastopol.
-
Jet Tempur Rusia terbang dekat perbatasan Ukraina dalam kondisi siaga perang.
-
Rusia telah memerintahkan latihan militer dadakan di sepanjang perbatasan Ukraina.
-
Sehubungan dengan latihan tersebut, dilaporkan bahwa Rusia telah mengerahkan 150 ribu tentara di perbatasan Ukraina.
-
Rusia telah menempatkan sekitar 26 ribu prajuritnya di pangkalan angkatan lautnya di Sevastopol.
-
Kapal
Rusia yang membawa pasukan tambahan sudah terlihat di lepas pantai
Crimea. Kapal pendaratan besar Rusia, Nikolai Filchenko, sudah berlabuh
di dekat pangkalan Armada Laut Hita Rusia di Sevastopol, yang disewa
Rusia dari Ukraina sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
-
Menteri
Pertahanan Rusia Sergei Shoigu membuat pernyataan di hadapan wartawan
Rabu 26 Februari lalu, bahwa Rusia akan mengambil langkah-langkah untuk
menjamin apa yang dia istilahkan “keamanan fasilitas kami.”
-
Seorang
pejabat Rusia yang tak mau disebut namanya berkata pada Financial Times
bahwa Rusia hendak menggunakan kekuatan militernya untuk melindungi
Crimea. Sebelumnya Moskow mengungkapkan bahwa mereka siap untuk
berperang demi wilayah Crimea guna melindungi penduduk yang jumlahnya
besar dan instalasi militer. Pejabat Rusia tersebut berkata pada
Financial Times:” Jika Ukraina tercabik, itu akan memicu perang. Mereka
pertama-tama akan kehilangan Crimea karena kami akan masuk dan
melindungi itu, seperti yang kami lakukan di Georgia.”
-
Para Pejabat Di Sevastopol telah menempatkan warga negara Rusia sebagai walikota.
-
Sekitar 120 orang bersenjata pro Rusia telah mengambil-alih gedung parlemen Crimea dan mengibarkan bendera Rusia.
-
Tersiar rumor bahwa pemerintah Rusia telah menawarkan perlindungan pada Presiden Ukraina terguling, Viktor Yanukovich.
Kantor berita Rusia bahkan melaporkan bahwa Yanukovich berada di Rusia, namun para pejabat belum memberikan konfirmasinya.
Nampaknya,
betapapun kerasnya upaya AS dan Uni Eropa untuk mempertahankan lingkup
pengaruhnya di Ukraina, Rusia akan tetap mempertahankan Crimea yang
punya akses langsung untuk menguasai Ukraina. Sebagaimana Rusia juga
gigih dalam mempertahankan Osetia Selatan dan Abkhazia di Georgia
beberapa tahun yang lalu.
Qt
tak menginginkan perang dan tak menginginkan jadi jagoan !...Tp apa
salahnya belajar dari Rusia yg superior menghadapi watak arogan AS ?
Makin "HOT", pesawat Obama dikuntit 6 jet tempur Rusia
*Kementerian Pertahanan Jepang mengkonfirmasi 6 jet tempur Rusia lalu lalang di jalur penerbangan pesawat kepresidenan AS jelang kedatangan ke Tokyo.
TOKYO, (IMD) – https://www.facebook.com/
Krisis Ukraina makin menyulut ketegangan dan saling provokasi antara Rusia dan Amerika Serikat (AS).
Kementerian Pertahanan Jepang menyebut, jelang kedatangan Presiden
Barack Obama ke Jepang, sebanyak 6 jet tempur Rusia terbang di dekat
wilayah Jepang selama seminggu berturut-turut dan tepat di jalur pesawat
kepresiden Air Force One yang akan ditumpangi Obama menuju Jepang.
Dilansir NHK News, Senin (21/04/2014), Menteri Pertahanan Jepang
Itsunori Onodera, membenarkan, pesawat-pesawat tempur Rusia itu berada
di jalur penerbangan yang akan dilalui pesawat Obama.
“Ini sangat
aneh, karena kegiatan pesawat-pesawat militer Rusia seperti itu tidak
pernah terjadi sebelumnya, bahkan selama era Perang Dingin saja tidak
pernah,” ujar Onodera.
Menteri Pertahanan Jepang menyebut
aktivitas pesawat militer Rusia itu sangat aneh dan tidak normal. Yang
mengkhawatirkan, jet-jet tempur Rusia itu terbang tepat di koordinat
yang akan dilalui Air Force One.
“Masalahnya kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pesawat-pesawat itu di luar wilayah Jepang,” tegas Onodera.
Onodera mengaku sejauh ini tidak ada penjelasan resmi apa yang melatarbelakangi tindakan Rusia itu.
----------------------------------------
Diam-diam, Rusia dan AS siapkan peperangan besar?!
*Kehadiran AS dan NATO mengepung Rusia dipastikan membuat penguasa di Moskow tak tinggal diam.
WASHINGTON DC – Sumber-sumber militer di Kementerian Pertahanan Rusia,
dengan jelas menyebut, Rusia dalam posisi siap perang dengan Amerika
Serikat, menyusul makin banyaknya kehadiran militer AS di Eropa Timur.
Militer Rusia dikabarkan mempersiapkan skenario perang skala besar dan di pihak AS juga melakukan hal serupa.
William Jones, analisis politik dan militer AS kepada CBS News, Minggu
(20/04/2014) menyebut, tak diragukan lagi Washington dan Moskow sedang
mempersiapkan perang besar dengan meningkatkan pasukan di perbatasan
Ukraina serta bersikukuh atas penumpukan militer di negara-negara
tetangga.
“Ini sandiwara besar sedang dimainkan. Di satu sisi
mereka berunding, namun persiapan perang sedang dilakukan. Itu bisa
dilihat dari peningkatan pasukan AS di perbatasan timur Eropa,
penumpukan pesawat tempur di negara-negara Baltik hingga ke Rumania, dan
bahkan di semua negara yang berbatasan dengan Rusia. Sementara, pada
saat yang sama Rusia juga mempertahankan kemampuan pertahanannya, dan
ini benar-benar dalam situasi sebelum perang, kata William Jones.
Menurutm Jones, ini adalah kekhawatiran jelang perang yang paling mengerikan dalam sejarah manusia.
“Bisa kita bayangkan, dua negara itu adalah dua kekuatan nuklir dunia, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” tambahnya.
---------------------------------
Pentagon panik! Lima rudal nuklir terbaru Rusia diarahkan ke AS !!
WASHINGTON DC – Provokasi Amerika Serikat (AS) yang menumpuk kekuatan
militer di negara-negara Baltik mengepung Rusia, direaksi keras Moskow
dengan mengarahkan moncong 5 rudal nuklirnya ke daratan AS.
Pentagon memastikan, ada 5 sinyal baterai pengaktifan rudal nuklir dari
silo bawah tanah yang koordinatnya terbaca menuju ke beberapa kota
besar di AS, diantaranya Los Angeles, Manhattan New York, Washington DC,
Las Vegas dan Chicago.
breaking-newsDilansir Dekapfile, Senin
(21/04/2014), ke-5 rudal nuklir yang diarahkan ke daratan AS itu
didominasi oleh rudal balistik antarbenua generasi terbaru Rusia R-36M2
Voyevoda atau SS-18 ICBM (versi NATO).
Pentagon hingga kini menolak memberikan pernyataan resmi atas informasi bocor yang membuat para petinggi militer AS panik.
Namun Nate Christensen, juru bicara Pentagon menyebut, kegiatan
pengaktifan 5 rudal nuklir itu terpantau melalui sistem pelacakan sinyal
oleh pesawat AWACS milik AS yang melakukan patroli di atas wilayah
negara-negara Eropa Timur.
AS pantas waspada dan panik, karena
rudal ini lebih unggul dari rudal terbaru AS “Peacekeeper MX ICBM” yang
memiliki 10 hulu ledak nuklir. Keunggulan R-36M2 selain juga memiliki 10
hulu ledak nuklir, rudal ini memiliki kecepatan hampir 8 kilometer per
detik jauh di atas kecepatan MX ICMB milik AS yang mencapai 2 kilometer
per detik.
R-36M2 ini menurut Christensen, adalah rudal terbaru Rusia yang dirancang khusus untuk menembus sistem perisai rudal milik AS.
“Dari informasi dan kajian kami, rudal tercanggih milik Rusia ini
memiliki kemampuan manuver yang sangat baik,” ujar Christensen.
Komandan Pasukan Rudal Strategis Rusia Jendral Sergei Karakayev, tidak
berkomentar atas reaksi Pentagon terhadap 5 rudal nuklir Rusia yang
sinyal pengaktifannya terpantau oleh AS itu.
Karakayev hanya mengatakan, Rusia akan melakukan tindakan apa saja jika kedaulatan negaranya terancam oleh kekuatan asing.
SOE : JURNAL3.COM
*Kementerian Pertahanan Jepang mengkonfirmasi 6 jet tempur Rusia lalu lalang di jalur penerbangan pesawat kepresidenan AS jelang kedatangan ke Tokyo.
TOKYO, (IMD) – Krisis Ukraina makin menyulut ketegangan dan saling provokasi antara Rusia dan Amerika Serikat (AS).
Kementerian Pertahanan Jepang menyebut, jelang kedatangan Presiden
Barack Obama ke Jepang, sebanyak 6 jet tempur Rusia terbang di dekat
wilayah Jepang selama seminggu berturut-turut dan tepat di jalur pesawat
kepresiden Air Force One yang akan ditumpangi Obama menuju Jepang.
Dilansir NHK News, Senin (21/04/2014), Menteri Pertahanan Jepang
Itsunori Onodera, membenarkan, pesawat-pesawat tempur Rusia itu berada
di jalur penerbangan yang akan dilalui pesawat Obama.
“Ini sangat
aneh, karena kegiatan pesawat-pesawat militer Rusia seperti itu tidak
pernah terjadi sebelumnya, bahkan selama era Perang Dingin saja tidak
pernah,” ujar Onodera.
Menteri Pertahanan Jepang menyebut
aktivitas pesawat militer Rusia itu sangat aneh dan tidak normal. Yang
mengkhawatirkan, jet-jet tempur Rusia itu terbang tepat di koordinat
yang akan dilalui Air Force One.
“Masalahnya kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pesawat-pesawat itu di luar wilayah Jepang,” tegas Onodera.
Onodera mengaku sejauh ini tidak ada penjelasan resmi apa yang melatarbelakangi tindakan Rusia itu.
----------------------------------------
Diam-diam, Rusia dan AS siapkan peperangan besar?!
*Kehadiran AS dan NATO mengepung Rusia dipastikan membuat penguasa di Moskow tak tinggal diam.
WASHINGTON DC – Sumber-sumber militer di Kementerian Pertahanan Rusia,
dengan jelas menyebut, Rusia dalam posisi siap perang dengan Amerika
Serikat, menyusul makin banyaknya kehadiran militer AS di Eropa Timur.
Militer Rusia dikabarkan mempersiapkan skenario perang skala besar dan di pihak AS juga melakukan hal serupa.
William Jones, analisis politik dan militer AS kepada CBS News, Minggu
(20/04/2014) menyebut, tak diragukan lagi Washington dan Moskow sedang
mempersiapkan perang besar dengan meningkatkan pasukan di perbatasan
Ukraina serta bersikukuh atas penumpukan militer di negara-negara
tetangga.
“Ini sandiwara besar sedang dimainkan. Di satu sisi
mereka berunding, namun persiapan perang sedang dilakukan. Itu bisa
dilihat dari peningkatan pasukan AS di perbatasan timur Eropa,
penumpukan pesawat tempur di negara-negara Baltik hingga ke Rumania, dan
bahkan di semua negara yang berbatasan dengan Rusia. Sementara, pada
saat yang sama Rusia juga mempertahankan kemampuan pertahanannya, dan
ini benar-benar dalam situasi sebelum perang, kata William Jones.
Menurutm Jones, ini adalah kekhawatiran jelang perang yang paling mengerikan dalam sejarah manusia.
“Bisa kita bayangkan, dua negara itu adalah dua kekuatan nuklir dunia, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” tambahnya.
---------------------------------
Pentagon panik! Lima rudal nuklir terbaru Rusia diarahkan ke AS !!
WASHINGTON DC – Provokasi Amerika Serikat (AS) yang menumpuk kekuatan
militer di negara-negara Baltik mengepung Rusia, direaksi keras Moskow
dengan mengarahkan moncong 5 rudal nuklirnya ke daratan AS.
Pentagon memastikan, ada 5 sinyal baterai pengaktifan rudal nuklir dari
silo bawah tanah yang koordinatnya terbaca menuju ke beberapa kota
besar di AS, diantaranya Los Angeles, Manhattan New York, Washington DC,
Las Vegas dan Chicago.
breaking-newsDilansir Dekapfile, Senin
(21/04/2014), ke-5 rudal nuklir yang diarahkan ke daratan AS itu
didominasi oleh rudal balistik antarbenua generasi terbaru Rusia R-36M2
Voyevoda atau SS-18 ICBM (versi NATO).
Pentagon hingga kini menolak memberikan pernyataan resmi atas informasi bocor yang membuat para petinggi militer AS panik.
Namun Nate Christensen, juru bicara Pentagon menyebut, kegiatan
pengaktifan 5 rudal nuklir itu terpantau melalui sistem pelacakan sinyal
oleh pesawat AWACS milik AS yang melakukan patroli di atas wilayah
negara-negara Eropa Timur.
AS pantas waspada dan panik, karena
rudal ini lebih unggul dari rudal terbaru AS “Peacekeeper MX ICBM” yang
memiliki 10 hulu ledak nuklir. Keunggulan R-36M2 selain juga memiliki 10
hulu ledak nuklir, rudal ini memiliki kecepatan hampir 8 kilometer per
detik jauh di atas kecepatan MX ICMB milik AS yang mencapai 2 kilometer
per detik.
R-36M2 ini menurut Christensen, adalah rudal terbaru Rusia yang dirancang khusus untuk menembus sistem perisai rudal milik AS.
“Dari informasi dan kajian kami, rudal tercanggih milik Rusia ini
memiliki kemampuan manuver yang sangat baik,” ujar Christensen.
Komandan Pasukan Rudal Strategis Rusia Jendral Sergei Karakayev, tidak
berkomentar atas reaksi Pentagon terhadap 5 rudal nuklir Rusia yang
sinyal pengaktifannya terpantau oleh AS itu.
Karakayev hanya mengatakan, Rusia akan melakukan tindakan apa saja jika kedaulatan negaranya terancam oleh kekuatan asing.
SOE : JURNAL3.COM
Kelompok Pro Rusia bentrok dengan warga Ukraina (Kyivpost)
Liputan6.com, Kiev- Beralihnya wilayah Crimea, Ukraina
ke Rusia memicu ketegangan tingkat tinggi antara kedua negara. Sejumlah
bentrokan terjadi. Yang terbaru, kantor polisi Ukraina diserang oleh
ratusan orang pendukung Rusia.
Perdana Menteri Ukraina Oleksandr
Turchynov mengatakan, negaranya saat ini sudah hampir masuk tingkat
"perang" dengan Rusia. Dia geram dengan tindakan Rusia mengirim tentara
ke Ukraina yang jelas bukan wilayah teritorialnya.
Ukraina kini
melancarkan "operasi anti-terorisme skala penuh" sebagai respons atas
penyerangan kantor polisi di Ukraina. Langkah Ukraina ini dinilai
semakin membuat suasana semakin panas.
"Masalah mirip ketika
ketegangan beberapa lalu terjadi di Crimea. Ini berjalan begitu cepat
seperti kuda berlari," ujar Menteri Luar Negeri Belanda, seperti dimuat News.com.au, Selasa (15/4/2014).
Oleh
karena itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB)
mengadakan pertemuan darurat, mengenai krisis Ukraina, setelah Kiev
melancarkan operasi militer menyusul tindakan pasukan pro-Rusia yang
merebut beberapa gedung pemerintah di wilayah timur.
Duta Besar
Nigeria, Joy Ogwu, yang negaranya mendapat giliran memimpin Dewan
tersebut, mengundang 15 anggota untuk pertemuan umum pada Senin 14 April
2014 pukul 08.00 atau pukul 01.00 GMT. Pertemuan itu semula disebut
sebagai "diskusi informal" yang akan dilakukan di tempat tertutup.
Itu
merupakan pertemuan ke 10 DK PBB mengenai krisis Ukraina sejak pemimpin
pro-Barat meningkatkan kekuasaannya di Kiev pada Februari 2014 untuk
mengatasi protes berdarah menentang keputusan rejim lama yang menolak
aliansi Uni Eropa dan berbalik ke Mowkow.
Seorang diplomat Barat
mengatakan, pertemuan itu diminta oleh Rusia untuk menangani kasus
deklarasi Ukraina dalam operasi menentang anti-terorisme karena dapat
mengancam perdamaian dan keamanan.
Tindakan presiden Ukraina
Oleksandr Turchynov mendeklarasikan "operasi anti-terorisme skala penuh"
dilakukan hanya sehari setelah kelompok orang bertopeng menyerbu kantor
polisi dan gedung-gedung layanan keamanan.
Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh Ukraina "memerangi rakyatnya sendiri" dan menghendaki agar DK PBB segera bertindak.
(Rizki Gunawan)
- See more at:
http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=%5BS%5BHotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google#sthash.IvG3Q5Cs.dpuf
Kantor Polisi Diserang, Rusia-Ukraina di Ambang
Perang
- 15 Apr 2014 06:30
- http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=[S[HotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google
Kelompok
Pro Rusia bentrok dengan warga Ukraina (Kyivpost)
Beralihnya wilayah Crimea, Ukraina ke Rusia
memicu ketegangan tingkat tinggi antara kedua negara. Sejumlah bentrokan
terjadi. Yang terbaru, kantor polisi Ukraina diserang oleh ratusan orang
pendukung Rusia.
Perdana Menteri Ukraina Oleksandr Turchynov mengatakan, negaranya saat ini
sudah hampir masuk tingkat "perang" dengan Rusia. Dia geram dengan
tindakan Rusia mengirim tentara ke Ukraina yang jelas bukan wilayah
teritorialnya.
Ukraina kini melancarkan "operasi anti-terorisme skala penuh" sebagai
respons atas penyerangan kantor polisi di Ukraina. Langkah Ukraina ini dinilai
semakin membuat suasana semakin panas.
"Masalah mirip ketika ketegangan beberapa lalu terjadi di Crimea. Ini berjalan begitu cepat seperti kuda
berlari," ujar Menteri Luar Negeri Belanda, seperti dimuat News.com.au,
Selasa (15/4/2014).
Oleh karena itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadakan
pertemuan darurat, mengenai krisis Ukraina, setelah Kiev melancarkan operasi
militer menyusul tindakan pasukan pro-Rusia yang merebut beberapa gedung
pemerintah di wilayah timur.
Duta Besar Nigeria, Joy Ogwu, yang negaranya mendapat giliran memimpin Dewan
tersebut, mengundang 15 anggota untuk pertemuan umum pada Senin 14 April 2014
pukul 08.00 atau pukul 01.00 GMT. Pertemuan itu semula disebut sebagai
"diskusi informal" yang akan dilakukan di tempat tertutup.
Itu merupakan pertemuan ke 10 DK PBB mengenai krisis Ukraina sejak pemimpin
pro-Barat meningkatkan kekuasaannya di Kiev pada Februari 2014 untuk mengatasi
protes berdarah menentang keputusan rejim lama yang menolak aliansi Uni Eropa
dan berbalik ke Mowkow.
Seorang diplomat Barat mengatakan, pertemuan itu diminta oleh Rusia untuk
menangani kasus deklarasi Ukraina dalam operasi menentang anti-terorisme karena
dapat mengancam perdamaian dan keamanan.
Tindakan presiden Ukraina Oleksandr Turchynov mendeklarasikan "operasi
anti-terorisme skala penuh" dilakukan hanya sehari setelah kelompok orang
bertopeng menyerbu kantor polisi dan gedung-gedung layanan keamanan.
Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh Ukraina "memerangi rakyatnya
sendiri" dan menghendaki agar DK PBB segera bertindak.
(Rizki Gunawan)
- See
more at:
http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=%5BS%5BHotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google#sthash.IvG3Q5Cs.dpuf
Rusia: AS Harus Bertanggung Jawab
atas Pelanggaran di Kiev
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdcjvietvuqeayz.bnfu.html
"Mengapa mereka menunggu begitu lama untuk berbicara tentang
pentingnya reformasi konstitusi? Mengapa mereka memutar prosesnya?"
tanya Lavrov di konferensi itu.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Amerika Serikat
harus bertanggung jawab atas orang-orang yang mereka masukkan ke dalam
kekuasaan di Ukraina bukannya mengeluarkan ultimatum ke Moskow.
Berbicara
pada konferensi pers pada hari Senin, 21/04/14, Lavrov mengatakan pihak
berwenang Kiev tidak ingin atau mungkin tidak dapat mengendalikan
ekstrimis yang terus menerus mengendalikan situasi di negara itu.
Komentar
Lavrov tersebut muncul setelah tiga orang pro-Rusia tewas pada Ahad
kemarin dalam sebuah baku tembak dengan penyerang tak dikenal di sebuah
pos pemeriksaan dekat kota Slovyansk.
Lavrov juga mengkritik pemerintah Kiev yang menurutnya telah melanggar perjanjian Jenewa sejak 17 April.
Lavrov menambahkan, pihak berwenang Kiev masih bingung mengenai pelaksanaan reformasi konstitusi di negara ini.
"Mengapa
mereka menunggu begitu lama untuk berbicara tentang pentingnya
reformasi konstitusi? Mengapa mereka memutar prosesnya?" tanya Lavrov di
konferensi itu.
"Mereka tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan krisis yang mendalam di negeri ini," tambahnya lagi.
Menteri Luar Negeri Rusia memperingatkan semua upaya mengisolasi Rusia yang akan mengarah jalan buntu.
Bentrokan
bersenjata hari Ahad tampaknya yang pertama sejak perjanjian
internasional dicapai pekan lalu di Jenewa untuk meredakan ketegangan di
timur Ukraina.
Kelompok separatis mengatakan, beberapa pria bersenjata dari kelompok nasionalis Sektor Kanan Ukraina menyerang mereka.
Sektor Kanan membantah peran apapun dan mengatakan pasukan khusus Rusia berada di balik bentrokan itu.
"Gencatan senjata selama Paskah telah dilanggar," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan.
"Provokasi
ini ... menjadi saksi kurangnya kemauan dari pihak berwenang Kiev untuk
mengendalikan dan melucuti gerakan nasionalis dan ekstremis", tambah
pernyataan itu. [IT/Onh/Ass]
AS Provokasi Rusia
untuk Melakukan Perang Nuklir
IslamTimes. http://www.islamtimes.org/vdcawynei49n0a1.h8k4.html
Penyebaran pasukan NATO pimpinan AS di sekitar Rusia adalah provokasi
yang bisa mempercepat konflik nuklir habis-habisan, kata seorang analis
kepada Press TV, Minggu (20/4/14).
Penyebaran pasukan NATO pimpinan AS di sekitar Rusia adalah
provokasi yang bisa mempercepat konflik nuklir habis-habisan, kata
seorang analis kepada Press TV, Minggu (20/4/14).
"Rusia dan
Amerika Serikat dan NATO adalah negara berkekuatan nuklir. Jika perang
dimulai bahkan pada konvensional atau tingkat pertempuran, ini dapat
dengan cepat meningkat untuk perang nuklir dan kemudian seluruh manusia
akan dipertaruhkan, kata William Jones, dari majalah berita Executive
Intelligence Review, dalam sebuah wawancara PressTV.
Dia
menambahkan bahwa perang nuklir tidak akan bermanfaat bagi siapa pun,
tetapi ada banyak orang, yang akan mendorong ide penggunaan senajta ini,
dan berpikir entah bagaimana mereka dapat memenangkan perang itu. "
Jones
memperingatkan konsekuensi dari rencana NATO pimpinan AS untuk
meingkatkan jumlah pasukan militernya lebih dekat ke Rusia, mengatakan,
hal itu akan memprovokasi Rusia untuk bereaksi lebih cepat.
Pernyataan
Jones datang setelah laporan mengatakan bahwa Washington berencana
untuk mengirim pasukannya ke Polandia dan Estonia untuk melakukan
latihan dengan sekutu-sekutunya.
Latihan yang direncanakan oleh
AS merupakan bagian dari rencana untuk memperluas kehadirannya di Eropa
Timur. Selama dua bulan terakhir, AS telah meningkatkan kehadiran di
Eropa Timur sebagaiman Ukraina bergulat dengan krisis spiral.
Ketegangan
antara kekuatan Barat dan Moskow meningkat setelah Crimea menyatakan
kemerdekaan dari Ukraina dan secara resmi diterapkan menjadi bagian dari
Federasi Rusia menyusul referendum pada 16 Maret.(IT/TGM)
Krisis Ukraina
Analis: NATO Berusaha Seret Rusia
Kedalam Perang Nuklir
Islam
Times- http://www.islamtimes.org/vdceze8xojh8fvi.rabj.html
"Rusia, Amerika Serikat dan NATO adalah kekuatan nuklir. Jika
perang dimulai, bahkan pada tingkat konvensional atau pertempuran, ini
dapat dengan cepat meningkat menjadi perang nuklir, dan kemudian seluruh
umat manusia dipertaruhkan,"
Penyebaran pasukan NATO di sekitar Rusia adalah provokasi yang akan meningkatkan konflik nuklir habis-habisan.
Pernyataan itu diutarakan oleh analis politik, William Jones pada Ahad, 20/04/14, dalam sebuah wawancara dengan Press TV.
"Rusia,
Amerika Serikat dan NATO adalah kekuatan nuklir. Jika perang dimulai,
bahkan pada tingkat konvensional atau pertempuran, ini dapat dengan
cepat meningkat menjadi perang nuklir, dan kemudian seluruh umat manusia
dipertaruhkan," jelas William Jones, dari Executive Intelligence
Review.
Menurutnya, perang nuklir tidak akan bermanfaat bagi
siapa pun tetapi ada banyak orang yang justru mendorong (tidak tahu)
atau bagaimana (mereka) berpikir, dan entah bagaimana mereka dapat
memenangkan perang itu," katanya.
Jones juga memperingatkan
konsekuensi "buruk" dari rencana NATO pimpinan AS yang meningkatkan
pasukan militernya dekat perbatasan Rusia dan mengatakan hal itu
memprovokasi Rusia untuk bereaksi.
Analis itu memperingatkan,
NATO terlihat "menarik garis batas Perang Dingin dengan percaya diri dan
ini mendorong mereka lebih jauh ke timur."
Namun, William meragukan niat NATO membawa stabilitas terkait krisis yang melanda Ukraina.
Dikatakannya, pemerintah Rusia takut bahwa aliansi mungkin memiliki niat lain , termasuk membawa Ukraina ke orbitnya sendiri.
"Dan
saya pikir itu adalah jalur perjalanan. Itu adalah jalur perjalanan
perang jika langkah-langkah yang diambil secara efektif bisa menarik
Ukraina dari semua hubungan, semua hubungan yang efektif dengan Rusia,
maka saya berpikir itu sangat dekat dengan ‘casus belli’ (Aksi atau
insiden yang memicu peperangan)," kata Jones.[IT/r]
Geneva cover for US warpath on Russia
Armed pro-Russia protesters on Sunday guard a police building seized by separatists in Slavyansk, Ukraine.
Sun Apr 20, 2014 2:15PM GMT
http://www.presstv.ir/detail/2014/04/20/359358/geneva-cover-for-us-warpath-on-russia/
By Finian Cunningham
The
Geneva deal signed at the end of last week by the US and Russia to
de-escalate tensions in Ukraine is being used by Washington as a cover
for inciting more conflict with Moscow.
The ostensible purpose of "de-escalating conflict" is but a cynical
misnomer. Washington intends to continue its long-term strategic
encirclement of Russia and military aggression.
In signing the document in Geneva last Thursday, Russia no doubt did
so in good faith with the objective of calming the unrest in Ukraine and
trying to engage US-led NATO forces in a constructive dialogue.
But Moscow may have made a fatal error. The Geneva summit called by
the US was attended by Russia, the European Union and a delegation from
the NATO-backed junta in Kiev, which seized power illegally from the
elected authorities back in February.
The junta in Kiev is characterized by fascist politics, with several
of its self-proclaimed ministers belonging to the neo-Nazi Svoboda
party. It has no legal mandate from the people of Ukraine - a fact that
has sparked widespread protests in the east of the country where the
population is mainly pro-Russian and opposed to the fascist coup
plotters in Kiev.
Nevertheless Western governments and media have anointed the
unelected regime in Kiev as "the government of Ukraine". Even though
there is abundant evidence that the CIA-backed regime came to power by
orchestrating mass murder of civilians during the infamous sniper
shootings in Kiev's Maidan Square on February 20. The coup plotters that
subsequently expropriated government offices in Kiev should therefore
be subject to a criminal investigation, not lauded and feted as
"ministers".
By attending the Geneva conference under the Washington-sponsored
framework, Russia has effectively conceded legitimacy to the regime in
Kiev. Previously, Moscow had insisted that the deposed President Viktor
Yanukovych and his electoral mandate from 2010 was the remaining
sovereign authority of Ukraine. Moscow now seems to have acquiesced to
the American-backed regime change.
While the Geneva document calls for disarmament of all groups across
Ukraine and the vacating of all illegally occupied public buildings, the
strictures are being applied in a unilateral manner - against the
pro-Russian, anti-Kiev protesters in the east and south of Ukraine. The
regime in Kiev and its neo-Nazi shock troops in the paramilitary Right
Sector are asserting that the disarmament obligations do not apply to
them.
Indeed, over the weekend three pro-Russian civilians were shot dead
at a checkpoint outside the city of Slavyansk after gunmen in cars
opened fire. The attack is believed to have been carried out by the
Kiev-based Right Sector paramilitaries, according to Itar-Tass reports.
More ominously, the Kiev junta is threatening to resume its
"anti-terror" crackdown on the protesters in the east with the
deployment of Ukrainian national armed forces - if the demonstrators do
not immediately disband and hand over their weapons.
While US Secretary of State John Kerry was signing the
"de-escalation" document in Geneva, Washington announced that it was to
begin sending "non-lethal" military aid to the regime in Kiev. This is
the same ruse that Washington has played in Syria where similar claims
of "non-lethal" military aid to anti-government "rebels" is belied by US
supplied anti-tank missiles and involvement of covert Special Forces.
So not only has a criminal coup in Ukraine been legitimized; it is
now being openly armed to crush civilian protesters in large swathes of
the country, which are opposed to the NATO-backed seditionists in Kiev.
Regrettably, Russia has allowed this development by participating in the Geneva forum last week.
What Moscow should have insisted on was for other groups from the
east and south of Ukraine to have been permitted to attend the Geneva
summit and to voice their grievances on equal terms. At all times, the
illegal NATO-installed Kiev regime should in no way be referred to as
the "government of Ukraine".
Moreover, what is even more problematic about the so-called Geneva
deal is that Washington and its European allies, with full amplification
from the dutiful Western media, are henceforth placing the burden for
"de-escalation" of tensions and conflict in Ukraine squarely on Moscow.
If the pro-Russian protest groups in eastern and southern cities of
Donetz, Kharkov, Lugansk, Slavyansk and Odessa, among other places, do
not disarm and disband - that is, surrender - then Russia will be blamed
for "continuing agitation".
The signs are that Washington is thus preparing a self-fulfilling
prediction. Within hours of the Geneva document being signed, US Defense
Secretary Chuck Hagel was telling his Polish counterpart that up to
10,000 American troops would be deployed in that country. That move is
an integral part of the ongoing rapid expansion of NATO air, sea and
ground forces in the Baltic countries of Lithuania, Latvia and Estonia,
as well as in Romania, Bulgaria and the Black Sea.
In other words, while Russia signs a "de-escalation" commitment,
Washington continues its strategic military encirclement of Russia in
violation of past NATO promises to Moscow that it would not do so.
Also, no sooner had the Geneva conference wrapped up, US President
Barack Obama was then casting doubts on Russian cooperation and said his
administration was drawing up new harder-hitting economic sanctions
against Moscow.
As the New York Times reported over the weekend: "Mr Obama is focused
on isolating President Vladimir V Putin's Russia by cutting off its
economic and political ties to the outside world, limiting its
expansionist ambitions in its own neighborhood and effectively making it
a pariah state."
Meanwhile, the Washington Post claimed: "Concerns have been
especially acute in the three Baltic nations that were once part of the
Soviet empire and now fear that they could be next on Russian President
Vladimir Putin's hit list."
The belligerent rhetoric and mentality in Washington - referring to
Russia as "a pariah state" and Putin's "hit list" - is not just a
travesty of the real NATO causes of regime change and upheaval in
Ukraine. It also shows that the US is set on a collision course with
Moscow.
The Geneva so-called accord is merely a cover for Washington to pursue its aggressive military agenda towards Russia.
FC/SL
Kelompok Pro Rusia bentrok dengan warga Ukraina (Kyivpost)
Liputan6.com, Kiev- Beralihnya wilayah Crimea, Ukraina
ke Rusia memicu ketegangan tingkat tinggi antara kedua negara. Sejumlah
bentrokan terjadi. Yang terbaru, kantor polisi Ukraina diserang oleh
ratusan orang pendukung Rusia.
Perdana Menteri Ukraina Oleksandr
Turchynov mengatakan, negaranya saat ini sudah hampir masuk tingkat
"perang" dengan Rusia. Dia geram dengan tindakan Rusia mengirim tentara
ke Ukraina yang jelas bukan wilayah teritorialnya.
Ukraina kini
melancarkan "operasi anti-terorisme skala penuh" sebagai respons atas
penyerangan kantor polisi di Ukraina. Langkah Ukraina ini dinilai
semakin membuat suasana semakin panas.
"Masalah mirip ketika
ketegangan beberapa lalu terjadi di Crimea. Ini berjalan begitu cepat
seperti kuda berlari," ujar Menteri Luar Negeri Belanda, seperti dimuat News.com.au, Selasa (15/4/2014).
Oleh
karena itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB)
mengadakan pertemuan darurat, mengenai krisis Ukraina, setelah Kiev
melancarkan operasi militer menyusul tindakan pasukan pro-Rusia yang
merebut beberapa gedung pemerintah di wilayah timur.
Duta Besar
Nigeria, Joy Ogwu, yang negaranya mendapat giliran memimpin Dewan
tersebut, mengundang 15 anggota untuk pertemuan umum pada Senin 14 April
2014 pukul 08.00 atau pukul 01.00 GMT. Pertemuan itu semula disebut
sebagai "diskusi informal" yang akan dilakukan di tempat tertutup.
Itu
merupakan pertemuan ke 10 DK PBB mengenai krisis Ukraina sejak pemimpin
pro-Barat meningkatkan kekuasaannya di Kiev pada Februari 2014 untuk
mengatasi protes berdarah menentang keputusan rejim lama yang menolak
aliansi Uni Eropa dan berbalik ke Mowkow.
Seorang diplomat Barat
mengatakan, pertemuan itu diminta oleh Rusia untuk menangani kasus
deklarasi Ukraina dalam operasi menentang anti-terorisme karena dapat
mengancam perdamaian dan keamanan.
Tindakan presiden Ukraina
Oleksandr Turchynov mendeklarasikan "operasi anti-terorisme skala penuh"
dilakukan hanya sehari setelah kelompok orang bertopeng menyerbu kantor
polisi dan gedung-gedung layanan keamanan.
Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh Ukraina "memerangi rakyatnya sendiri" dan menghendaki agar DK PBB segera bertindak.
(Rizki Gunawan)
- See more at:
http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=%5BS%5BHotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google#sthash.IvG3Q5Cs.dpuf
29-03-2014 |
Ukraina Dalam Perspektif Geopolitik Zbigniew Brzezinski
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=15037&type=4#.U1PlLqL3tkh |
Penulis : M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute |
|
Sebagai
salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina merupakan Poros
Geopolitik yang cukup penting dan strategis di kawasan Eurasia, dan
harus berada dalam lingkup pengaruh Amerika dan Uni Eropa. Maka,
diluncurkanlah Skenario Revolusi Warna, sebagai bagian integral dari
Perang Asimetris AS untuk menaklukkan Ukraina. Dan Membendung Pengaruh
Rusia.
|
Seperti
telah diurai pada bagian awal kajian kami, penggulingan Presiden
Ukraina Viktor Yanukovich sesungguhnya merupakan gerakan terencana dan
sistematis berkat kerjasama antara partai-partai oposisi dengan bantuan
Amerika Serikat dan Uni Eropa, khususnya Jerman. Hal tersebut terlihat
jelas ketika Presiden Yanukovich memutuskan untuk menerima bantuan dari
Rusia dan menunda kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa, lalu dengan
serta merta sebagian rakyat Kiev, Ibu Kota Ukraina, meletup dan meledak
dalam gelombang demonstrasi anti Yanukovich.
Bisakah
gelombang demonstrasi dan serangkaian kerusuhan politik di Kiev
tersebut bisa kita kategorikan sebagai gerakan revolusi? Sepertinya
tidak. Karena kalau kita cermati dengan seksama, aksi massa tersebut
tergolong brutal dan penuh kekerasan. Kejam dan tak bermoral karena
selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke banyak
orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dan lain sebagainya.
Ketika ada anggota massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban
pertama dalam dua bulan unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat
penembakan justru aksi pun semakin meluas, bahkan sudah berani merambah
ke timur Ukraina, wilayah basis dimana massa Yanukovich berada.
Masuk
akal jika Presiden Putin menggambarkan unjuk rasa tersebut seperti
penghancuran daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
aksi-aksi tersebut sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa.
Namun,
benarkah sikap Yanukovich yang lebih berpihak pada Rusia dan menolak
tawaran kerjasama dengan Uni Eropa merupakan satu-satunya penjelasan di
balik gelombang demonstrasi warga Kiev untuk menjatuhkan Yanukovich?
Ukraina dalam Desain Politik Zbigniew Brzezinski
Sebagai
salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina sebenarnya sudah
dipetakan oleh Amerika Serikat sejak 1997. Zbigniew Kazimierz
Brzezinski, mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security
Council) di era pemerintahan Jimmy Carter pada periode 1977-1981,
menerbitkan sebuah buku yang cukup menarik bertajuk The Grand Chessboard
pada 1997. Dalam buku yang cukup menarik tersebut, Brzezinski menulis,
“Ukraina, ruang baru dan penting pada papan catur Eurasia, merupakan
poros geopolitik karena sangat penting keberadaannya sebagai negara
merdeka, untuk membantu mengobah Rusia.
Tanpa
Ukraina, lanjut, Brzezinski, tidak akan mungkin lagi menjadi sebuah
imperium di kawasan Eurasia. Dan jika satu saat Moskow mendapatkan
kembali kontrol atas Ukraina, maka dengan 52 juta orang berikut
sumberdaya utama serta akses ke Laut Hitam, Rusia otomatis bakal
mendapatkan kembali kedigdayaannya untuk menjadi negara kekaisaran
(imperium) yang kuat, mencakup kawasan Eropa dan Asia.
Maka
itu, dalam bukunya The Grand Chessboard, Brzezinski secara tajam dan
rinci menguraikan makna dan hakekat dari Poros Geopolitik.
Menurut
mantan penasehat keamanan nasional Jimmy Carter yang saat ini juga
merupakan arsitek kebijakan politik luar negeri Presiden Barrack Obama,
yang dimaksudkan sebagai Poros Geopolitik adalah negara-negara yang
nilai pentingnya bukan berasal dari kekuasaan atau motivasinya,
melainkan dari lokasi geografisnya yang cukup sensitive.
Sehingga
dalam beberapa kasus, negara-negara yang masuk kategori Poros
Geopolitik tersebut, memainkan peran khusus, yang barang tentu secara
geopolitik punya nilai yang cukup strategis. Baik untuk memberikan akses
ke wilayah-wilayah penting terhadap suatu negara tertentu, atau
sebaliknya, menolak untuk dijadikan negara satelit sebuah negara adidaya
(seperti Rusia).
Dalam
perspektif geopolitik tersebut, Brzezinski memasukkan beberapa negara
pecahan Uni Soviet sebagai Poros Geopolitik seperti: Ukraina,
Azerbaijan, Korea Selatan, Turki dan Iran.
Bukan
sebuah kebetulan bahwa Ukraina dan Azerbaijan yang dulunya merupakan
bagian dari Uni Soviet, saat ini sudah negara merdeka lepas dari
kedaulatan Rusia. Krisis politik yang terjadi di Ukraina pada Februari
2014 dan berakhir dengan tumbangnya Presiden Yanukovich, nampaknya harus
dipahami dalam perspektif geopolitik Brzezinski. Bahwa Ukraina, yang
merupakan salah satu Poros Geopolitik di kawasan Eurasia, harus berada
dalam orbit pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Uni
Eropa dan NATO.
Seperti yang ditegaskan oleh Brzezinski dalam The Grand Chessboard, “Eurasia
merupakan papan catur di mana perjuangan bagi keunggulan global harus
tetap dimainkan Amerika.” Inilah aspek penting yang amat berguna untuk
menjelaskan mengapa Amerika dan Uni Eropa begitu intensif membantu
kelompok-kelompok oposisi baik di parlemen maupun luar parlemen,untuk
mendukung elit-elit kepemimpinan Ukraina yang pro Amerika dan Uni Eropa.
Zbigniew Brzezinski Arsitek Politik Luar Negeri Barrack Obama
Sekilas
tentang Brzezinski terkait peran dan pengaruhnya dalam proses pembuatan
kebijakan strategis luar negeri AS dulu dan sekarang. Saat ini
Brzezinski masih merupakan arsitek politik luar negeri Obama dari
belakang layar. Sebuah peran yang cukup strategis mengingat ruang
lingkup kewenangannya dalam memberi arah dan perumusan kebijakan
strategis Amerika dalam bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan dan
Intelijen.
Sejak
Carter tumbang dari kekuasaan karena dikalahkan oleh Ronald Reagan dari
Partai Republik pada 1980, maka Brzezinski beserta klannya pun ikut
tergusur dari Gedung Putih.
Sekarang
pada era kepresidenan Obama, Brzezinski menurut informasi dari berbagai
sumber, merupakan salah satu tokoh sentral dalam mendesain kebijakan
politik luar negeri Amerika.
Radikalisasi Terhadap Rusia
Menurut
berbagai sumber, adalah Brzezinski yang berada di balik sikap radikal
pemerintahan Obama terhadap Rusia akhir-akhir ini. Meskipun dilancarkan
secara tidak langsung dan tersamar.
Salah
satunya adalah dengan manuver militer NATO, suatu aliansi pertahanan
antara Amerika dan Eropa Barat, dengan menggelar latihan militer di
Georgia pada Mei 2009 lalu. Georgia merupakan negara pecahan Rusia yang
berbatasan langsung dengan negara beruang merah tersebut.
Memang
sulit untuk tidak dikatakan sebagai provokasi mengingat latihan militer
yang digelar sejak 6 Mei 2009 lalu itu berdekatan waktunya dengan Hari
Kemenangan Uni Soviet pada Perang Dunia II melawan NAZI Jerman pada 9
Mei 1945.
Namun Rupanya, peristiwa serbuan militer Rusia terhadap Georgia pada
Agustus 2009, oleh Presiden Dmitri Medvedev sebagai pertanda bahwa
kekuatan militer Rusia masih cukup membanggakan. Tak pelak lagi ini
merupakan bagian dari perang urat syaraf pihak Rusia merespons provokasi
Amerika dan NATO di Georgia.
Hal ini nampak jelas ketika Vladimir Putin yang kala itu menjabat
Perdana Menteri, pada 10 Mei 2009 lalu menegaskan bahwa latihan gabungan
NATO di Georgia merupakan upaya merusak hubungan Rusia-Amerika Serikat.
Sekaligus memicu ketegangan di Kaukasus.
Dari
berbagai sumber yang dihimpun oleh tim Global Future Institute,
Brzezinski nampaknya berada di balik provokasi NATO di Georgia sebagai
pemanasan untuk memulai ketegangan baru hubungan Amerika-Rusia.
Menurut Webster Griffin Tarpley, dalam bukunya Obama the Posmodern Coup,
menginformasikan bahwa Obama telah dibina secara intensif oleh
Brzezinski sejak 1981-1983, ketika Obama belajar ilmu politik dan
hubungan internasional di Universias Colombia.
Ini
jelas sebuah informasi yang cukup baru mengingat fase di Unviersitas
Colombia ini belum pernah diungkap oleh berbagai buku biografi Obama
sebelumnya. Karena menurut Tarpley, di sinilah Obama masuk dalam
pembinaan jaringan yang terdiri dari kelompok CIA berhaluan
kiri-tengah, National Endowment for Democracy (NED), the Soros Foundation, klik dari Brzezinski.
Menurut
Tarpley, seluruh rancangan Brzezinski didasari obsesi untuk menaklukkan
Rusia di semua sektor. Karena itu manuver NATO dengan menggelar latihan
militer di Georgia memang bisa dibaca sebagai bagian dari provokasi
untuk memperhadapkan Rusia dengan negara-negara bekas pecahan Soviet,
khususnya yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Selain
itu, ketegangan NATO-Rusia semakin meningkat ketika NATO mengembangkan
kekuatannya di Asia Timur dan sistem pembangunan sistem rudal Amerika di
dua bekas anggota Soviet yaitu Republik Ceko dan Polandia. Sekadar
informasi, Brzezinski itu sendiri merupakan warga Amerika kelahiran
Polandia.
Nampaknya Brzezinski memang layak untuk dicermati dalam memainkan
perannya sebagai perancang politik luar negeri Obama. Peredaan
ketegangan yang diisyaratkan oleh Obama kepada Iran bukan tidak mungkin
memang dimaksudkan untuk menahan nafas barang sejenak. Bukan benar-benar
ditujukan untuk menciptakan perdamaian dunia.
Iran
dan negara-negara Timur Tengah nampaknya untuk sementara tidak akan
jadi fokus perhatian Amerika. Brzezinski nampaknya membidik Afrika
sebagai sasaran utama.Tujuannya, adalah melumpuhkan pengaruh Cina dalam
mengakses sumber-sumber minyak di benua Afrika.
Manuver
multilateral terhadap Presiden Omar Bashir dari Sudan dengan dalih
terlibat dalam kejahatan perang, nampaknya bukan murni masalah hukum
internasional. Ini adalah manuver Amerika dari balik layar untuk
melumpuhkan pengaruh Cina di Sudan.
Dalam
perhitungan Brzezinski, dengan terbendungnya Cina di kawasan Afrika
dalam mengakses minyak, pada perkembangannya akan memaksa Cina untuk
bergerak ke laut Siberia dalam rangka mendapatkan akses minyak.
Jika skenario Brzezsinski ini berjalan mulus, maka tak pelak lagi ini
akan memicu konflik antara Rusia dan Cina. Padahal saat ini Cina dan
Rusia bekerjasama cukup erat di bidang ekonomi dan pertahanan melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Kalau ini berjalan, maka Brzezinski dalam rancanangan politik luar
negeri Amerika, memang bermaksud untuk memecah-belah Rusia dan Cina.
Bagi
para perancang kebijakan strategis di Washington, buku karya Brzezinski
tersebut pada dasarnya harus dipandang sebagai cetak biru (blueprint) politik luar negeri Amerika.
Bisa
dimengerti jika sejak 1991 Amerika dan sekutu-sekutu eropa baratnya
telah memberi bantuan keuangan sebesar 5 miliar dolar AS untuk Ukraina.
Ukraina dalam perspektif Poros Geopolitik Brzezinski, harus tetap berada
dalam lingkup pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya yang
tergabung dalam Uni Eropa.
Untuk
lebih memahami secara utuh dan lengkap, berupaya mempertahankan lingkup
pengaruhnya di Ukraina, maka marilah kita kilas balik sejenak mengenai
apa yang terjadi dalam Revolusi Oranye di Ukraina pada 2004-2006.
Memahami Hakekat Revolusi Warna Sebagai Perang Asimetris AS
Bermula
dari istilah media Barat dalam rangka menggambarkan gerakan massa di
negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an ke atas.
Revolusi Berwarna atau sering disebut “revolusi warna” kini semakin
populer, karena sesungguhnya bukanlah suatu gejolak biasa namun
merupakan setting politik praktis di berbagai belahan dunia
mengatas-namakan gerakan rakyat. Unik memang, sebutan bagi setiap
gerakan selalu mengambil nama-nama serta mengadopsi warna bunga sebagai
simbolnya.
Selain berciri tanpa kekerasan (nonviolent resistance),
penting dicatat pada awal tulisan ini bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) memiliki peranan teramat vital dalam gerakan ini. Dengan kata
lain, LSM termasuk kelompok pemuda serta mahasiswa ialah ujung tombak
bagi skenario ganti rezim di suatu negara.
Adapun
tuntutan yang diusung dalam revolusi non kekerasan ini berkisar
isue-isue global antara lain demokratisasi, hak azasi manusia (HAM),
korupsi, kemiskinan, akuntabilitas dan lainnya. Ia punya pola-pola
bersifat umum karena berpedoman buku wajib yang sama yakni “From Dictatorship To Democracy”-nya
Gene Sharp, sarjana senior di Albert Einstein Institute (AEI). Dan
seringkali lambang dan slogan gerakan massa pun sama pula.
Begitulah,
revolusi warna memang sedari awal merupakan sebuah bentuk Perang
Asimetris AS dan Uni Eropa, sebagai Perang dengan mendayagunakan
sarana-sarana non-militer, untuk menguasai wilayah geopolitik Ukraina
agar berada dalam lingkup pengaruhnya.
Kalau
kita telisik ke belakang, skenario revolusi warna memang cukup berhasil
mereka lancarkan di beberapa negara. Seperti revolusi yang menerjang
bekas negara Pakta Warsawa di Yugoslavia (2000), revolusi mawar di
Georgia (2003), revolusi oranye di Ukraina (2004), revolusi tulip di
Kyrgystan (2005), revolusi cedar di Lebanon (2005) dan lainnya, termasuk
gejolak yang kini tengah melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika
Utara) terdapat kemiripan logo “Tangan Mengepal”, dan slogan singkat
yang artinya “CUKUP” sesuai bahasa negara-negara sasaran. Misalnya di
Mesir bernama Kifaya (cukup), di Georgia disebut Kmara (cukup), di
Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan berslogan Kelkel (zaman
baru) dan seterusnya.
Agaknya
slogan dalam revolusi warna itu ibarat “ruh gerakan” guna menyatukan
semangat massa sekaligus sebagai tujuannya. Artinya kendati tidak
selamanya demikian, namun inti maknanya ingin mengakhiri rezim berkuasa
tanpa harus banyak darah mengucur.
Dan
skenario revolusi warna ini, memang disiapkan secara sistematis dan
terencana sejak awal. hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi
dari gerakan-gerakan selama ini berbasis kurikulum yang bersumber dari
bukunya Gene Sharp di atas. Dan ternyata diajarkan oleh Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan bagi pengunjuk rasa tanpa kekerasan yang logonya Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju.
Konon
CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di
antaranya Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman,
Bahrain, Suriah, Iran dan sebagainya. Adakah para demonstran Indonesia
termasuk yang dilatihnya? Kita lihat saja nanti, yang jelas seluruh
elemen bangsa di tanah air harus tetap waspada.
Ya,
melawan rezim tanpa senjata merupakan methode baku bahkan menjadi kunci
strategi untuk kesuksesan revolusi model ini. Sasarannya ialah
memanipulasi serta mencuri simpati publik melalui support media massa
dan jejaring sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lainnya.
Pertanyaannya
adalah, apakah skenario revolusi warna masih tetap dipertahankan ruhnya
oleh Amerika dan sekutu-sekutunya di Uni Eropa untuk mempertahankan
lingkup pengaruhnya di Ukraina dan negara-negara eks Uni Soviet lainnya?
Benar.
Revolusi Warna sebagai bagian dari desain kebijakan luar negeri AS dan
sekutu-sekutunya, pola dan strategi gerakannya hendak disamakan oleh AS
ketika dulu sukses melumpuhkan Pakta Warsa, yaitu dengan mengangkat
isue-isue soal HAM, korupsi, atau kediktatoran rezim sebagai materi
tuntutannya; kemudian menggunakan LSM guna menciptakan opini publik
melalui media massa agar timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah; lalu ada blow up media dan jejaring sosial secara gencar dan
seterusnya.
Sasaran
antara ialah destabilisasi dan kerusuhan sosial di suatu negara, dimana
ujung semuanya ialah meminta intervensi internasional dan hadirnya
pasukan asing!
Memang
selain terdapat pola yang sama di setiap gerakan massa di berbagai
negara, juga ada benang merah yang tidak boleh diabaikan, yakni kekuatan
asing yang berada di balik semua gerakan malah terlindungi dan
aman-aman saja — asyik meremot dari kejauhan. Kenapa justru hal ini
dilupakan oleh publik?
Melacak
revolusi warna sungguh menarik, apalagi ketika Michel Chossudovsky
berasumsi bahwa Occupy Wall Street atau “Menempati Wall Street”, yaitu
gerakan akar rumput yang kini marak di seluruh AS, bahkan telah merambah
hingga ke Australia dan beberapa negara Eropa, juga disinyalir sebagai
revolusi berwarna.
Indikasi
ini terlihat ketika banyak LSM yang terlibat gerakan justru sangat
tergantung pendanaannya dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller,
McArthur, Tides dan lainnya. CANVAS pun terlibat. Ivan Marovic, salah
seorang pimpinan CANVAS memberikan statement perihal gerakan protes di
New York bahwa tidak ada yang spontan dalam sebuah “peristiwa
revolusioner” (16 Oktober 2011, www. globalresearch.ca). Bukankah ia
adalah anak organisasi NED, LSM seribu proyek milik Pentagon?
Politik
praktis memang apa yang tersirat bukan yang tersurat, kata Pepe
Escobar. Maka merujuk judul tulisan sederhana ini bahwa revolusi warna
adalah virus ganti rezim dimanapun berada termasuk bisa menyerang AS itu
sendiri, negeri tempat kelahiran sang virus. Apa boleh buat. Itulah
yang mungkin sedang terjadi. Termasuk yang sedang dialami Ukraina saat
ini. Meski dalam perjalannya, skenario Revolusi Warna sepertinya
menghadapi banyak kendala, yang nampaknya pada akhirnya akan menemui
kegagalan.
Peta dan Kondisi Politik Ukraina
http://www.academia.edu/6337993/Peta_Politik_dan_Intervensi_Asing
Pembagian dua Kubu tersebut bermula saat Presiden Ukraina sebelumnya, yaitu Leonid Kucma dituduh melakukan-korupsi-besar-2an yang membuat rakyat Ukraina menuntut dirinya untut mundur, setelah Kuchma menyatakn untuk mundur dari kursi presidennya, terdapat dua kandidat presiden yang berbeda haluan dimana masing-masing memiliki suara yang kuat di mata rakyat Ukraina saat itu, yaitu Viktor Yuschenko yang berhaluan ‘barat’ (yang dimaksud barat disini adalah US, UE, dan NATO), dan Viktor Yanukovich dimana pada Presiden Leonid Kuchma menjabat beliau menjadi Perdana Menteri Ukraina saat itu dan juga lebih berhaluan kearah kerjasama Rusia.
Pada Pemilu 2004 Yanukovich memenangkan kursi Presiden dengan perolehan suara sekitar 49,5% sedangkan Yuschenko 46,5%, namun akibat isu-isu yang beredar didalam masyarakat Ukraina bahwa adanya indikasi pemalsuan suara serta kabar mengenai praktik pembunuhan Yuschenko oleh pihak Yanukovich membuat rakyat bergerak untuk memprotes hasil dari pemilu yang telah berlangsung, demonstrasi inilah yang selanjutnya dikenal dengan nama Revolusi Oranye mengingat tanda tangan Yuschenko pada saat kampanye yang berwarna oranye. Revolusi tersebut akhirnya membuat Mahkamah Agung Ukraina membatalkan hasil pemilu dan mengamandemen undang-undang pemilu serta diadakannya pemilu Ulang. Pada tanggal 26 Desember 2004-diputuskan bahwa Yuschenko memenangkan pemilu presiden dengan suara sebanyak 52% sedangkan Yanukovich 44,2%. Presiden Yuschenko juga mengangkat Yulia Tymoshenko, salah satu tokoh Revolusi Oranye untuk menjadi Perdana Menteri Ukraina yang sebelumnya merupakan wakil perdana menteri pada masa kepemerintahannya Leonid Kuchma.
keterangan: kuning: basis suara kubu Yuschenko biru: basis suara Kubu Yanukovich.
Namun setelah satu tahun Yuschenko menjabat sebagai Presiden, Rakyat memandang bahwa tidak terjadinya perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan Perdana Menteri Tymoshenko untuk menguasi bidang-bidang strategis Ukraina yang berujung pada pemberhentian Tymoshenko sebagai Perdana-Menteri serta Masalah Pipa gas Rusia-Ukraina membuat popularitas Yuschenko menurun drastis, Dalam pemilihan parlemen pada tanggal 26 Maret 2006 partai Yuschenko hanya mendapat 81 kursi, atau sebanding dengan 3,56 juta suara dengan kata lain Yushcenko hanya mendapatkan persentase suara sebanyak 14% dari jumlah suara rakyat. Betapa drastis, sekitar 2/3 suara pemilihnya hilang daripada perolehan awal. Kondisi tersebut sangat berbanding terbalik-dengan suara yang diperoleh Partai-Yanukovich dan Partai Tanah Air Tymoshenko dengan perolehan suara yang sama sebanyak 32% dan partai Tymoshenko yang memperoleh 32% suara pada kursi parlemen (Pranoto, 2014).
Kondisi KondisiKondisi dimana tidak ada suara mayoritas tersebut itulah yang mendorong terjadinya kubu-kubu internal dalam parlemen dimana partai Tymoshenko tetap tidak mau berkompromi dengan partai Yanukovich yang menyarankan agar cenderung berpihak pada Rusia, dimana hal tersebut sangat berkebalikan dengan tujuan Tymoshenko untuk berkerjasama dengan negara barat dan berintegrasi dengan Uni Eropa. Kondisi-tersebut membuat Yuschenko sulit mengambil keputusan pengangkatan Perdana-Menteri, karena hal tersebut kiranya akan menimbulkan dua implikasi, yaitu pembubaran kabinet parlemen dan menyelenggarakan ulang pemilu, sedangkan pilihan yang kedua adalah menerima Yanukovich.
Kiranya Pilihan pertama membawa dua implikasi, antara lain:
(1) tak-ada jaminan pemilu akan menghasilkan perubahan signifikan pada komposisi partai-partai di-parlemen. Akibatnya kebuntuan-politik niscaya berlanjut. Kekosongan kekuasaan akan-menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif.
Ujung-ujungnya rakyat bakal meminta revolusi lagi. Itu berarti melengserkan Yushchenko sendiri;
(2) Yushchenko tidak yakin partainya mampu meraup suara signifikan, bahkan diperkirakan kursi partainya akan mengecil (Pranoto, 2014). Dan yang kedua adalah menerima Yanukovich, mengapa bukan Tymoshenko? Karena berpindahnya partai sosialis dari barisan Revolusi Oranye dan berkoalisi dengan Partai Yanukovich yang mengakibatkan kubu Yanukovich memiliki simpatisan yang besar dari partai lain, dari pertimbangan tersebut akhirnya diputuskan Yanukovich diangkat sebagai Perdana Menteri
Konfik kepentingan Pipa Gas Rusia
–
Ukraina
Pada era Vladimir Putin yang menjadi Presiden pada tahun 1999, Rusia berhasil melakukan reformasi swastanisasi, yaitu mengembalikan aset negara yang dulunya terjadi swastanisasi akibat krisis pasca keruntuhan UniSoviet. Hasil dari reformasi tersebut membuat perusahaan ekspor gas Rusia Gazprom menjadi Badan Usaha Milik Negara dimana mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani distribusi di bidang gas bumi. Rusia memang memiliki cadangan energi gas alam terbesar didunia dimana sepertiga dari seluruh pasokan energi gas dunia berada di Rusia. Rusia sebagai negara pemasok utama energi terutama gas alam ke negara-negara Eropa menjadikannya sebagai aktor penting dalam penentuan hubungan Rusia dengan negara-negara Uni Eropa, atau yang lebih dikenal dengan Diplomasi Gas. Gazprom mengekspor sepertiga dari kebutuhan dunia di bidang gas bumi. Sekitar 50 persen dari kebutuhan gas bumi negara-negara Uni Eropa dipasok dari Rusia. Dan 80 persen dari volume gas bumi itu melintasi Ukraina. Sedangkan 25 persen dari kebutuhan gas bumi Ukraina dipasok dari negara tetangganya, Rusia, yakni Gazprom (Putra 2010). Rusia sebagai negara pemasok utama energi terutama gas alam ke negara-negara Eropa menjadikannya sebagai aktor penting dalam penentuan hubungan Rusia dengan negara-negara Uni Eropa, dari situ dapat dilihat bahwa gas menjadi instrumen diplomasi yang penting bagi Rusia untuk menjaga eksistensi dependensi energinya pada negara-negara Eropa. Ketegangan antara Rusia dengan Ukraina terkait dengan ekspor gas terjadi karena perbedaan harga gas serta-timbulnya kecurigaan Rusia yang menuduh Ukraina mencuri sebagian pasokan gas, ketengangan
tersebut memuncak pada Januari 2006 sejak Rusia menghentikan pasokan gas ke Ukraina. Pemutusan suplai gas alam ini berdampak buruk bagi Eropa karena jaringan pipa gas yang melalui Ukraina memasok kurang lebih seperlima dari total kebutuhan gas di Eropal. Tercatat tujuh negara di Eropa Tengah dan Barat termasuk Italia dan Perancis kehilangan 14 persen dan 40 persen pasokan gas alamnya (Saunders: 2008, 2) Kiranya hal inilah sebagai salah satu usaha Rusia mempertahankan pengaruhnya di negara tersebut sejak terpilihnya presiden Anti-Rusia yaitu Yuschenko. Setelah tiga hari menghentikan sementara pasokan, Gazprom dan perusahaan gas Ukraina yaitu Naftogaz mencapai kompromi yang menyertakan pencampuran gas Rusia dengan gas Asia Tengah yang lebih murah. Namun tidak hanya sampai disitu, Dari kasus tersebut jelas terlihat bahwa Rusia menjadikan energi sebagai alat politik luar negeri terutama untuk kawasan –
kawasan Uni Eropa dan Ukraina, kelangkaan energi gas menjadikan Uni Eropa dan Ukraina sangat bergantung pada impor gas Rusia sehingga terjadi dependensi energi dan pusat kontrol harga gas bagi kawasan sebagian benua Eropa. Perlu di hubungkan juga mengenai perubahan struktur politik Ukraina dengan konflik distribusi gas Rusia ini, yaitu Sebelum terjadi Revolusi Oranye 2004 gas Rusia yang transit di Ukraina sebelum diekspor ke negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Belgia, mencapai 120 miliar m3 per tahun dengan imbalan 5 miliar dolar AS untuk Kiev. Namun, dalam 8 tahun terakhir gas Rusia yang transit di Ukraina hanya 84 miliar m3 per tahun dan Kiev-mendapat imbalan ’’hanya’’ 3 miliar dolar (Dewi 2011). Terlepas dari sumber ketegangan antar dua negara itu, Jelas ada maksud tersendiri bagi Rusia untuk mempersulit impor energi gas setelah dipilihnya presiden anti timur Yuschenko, hal tersebut membawakan hasil setelah Yanukovich terpilih menjadi presiden dari pemilu tahun 2010.
04-02-2014 |
Membaca Krisis Politik di Ukraina dari Perspektif Geopolitik (1) |
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI) |
|
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14579&type=4#.U1ShOKKJmSo
Siapa
mengira bila keputusan Presiden Viktor Yanukovich menerima bantuan
finansial dari Rusia dan menunda kesepakatan perdagangan dengan Uni
Eropa (UE) mengakibatkan sebagian rakyat di Kiev, Ibu Kota Ukraina
seketika meletup, meledak, dan menggelegar demonstrasi massa di jalanan.
Luar biasa.
|
Pertanyaan selidik: apakah faktor penundaan perjanjian dagang yang membuat Ukraina bergolak, atau jangan-jangan ada hidden agenda
lain yang lebih urgen bagi kaum oposisi daripada sekedar perjanjian
perdagangan; mungkinkah keputusan Yanukovich telah mematahkan agenda
tersembunyi tersebut? Ini sekedar asumsi awal pada prolog catatan ini.
Aksi
massa kali ini memang tergolong brutal, kejam dan tak bermoral karena
selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke banyak
orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dll. Ketika ada anggota
massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban pertama dalam dua bulan
unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat penembakan justru aksi
pun semakin meluas, bahkan sudah berani merambah ke timur Ukraini,
wilayah basis dimana massa Yanukovich berada.
Presiden
Rusia Putin menyebut unjuk rasa tersebut lebih seperti penghancuran
daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi tersebut
sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa.
Khawatir Bangkitnya Revolusi Oranye
Apabila
tanpa antisipasi konseptual dari elit penguasa, dikhawatirkan gejolak
massa di penghujung tahun 2013 dirajut oleh kepentingan asing untuk
membangkitkan kembali “ruh” Revolusi Oranye (Orange Revolution), bagian dari Revolusi Warna (Colour Revolution)
yang pernah menerjang jajaran negara Pakta Warsawa dekade 2000-an ke
atas. Rencana pertemuan antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS)
John Kerry dengan para pemimpin oposisi Ukraina di Jerman, merupakan
isyarat kuat bahwa ada keterlibatan superpower secara masiv dalam krisis
politik tersebut.
Secara
internal, kompromi politis sebenarnya telah dilangkahkan pihak
pemerintah terhadap oposisi, seperti mencabut kembali Undang-Undang (UU)
Anti-Demonstransi, memberi ampunan demonstran yang ditangkap dengan
timbal balik menghentikan gerakan, dll tetapi tampaknya bargaining
kurang berhasil. Aksi massa kian liar. Yanukovich pun kembali
menawarkan kursi Perdana Menteri (PM) kepada Arseniy Yatsenyuk, posisi
yang dilepas Mykola Azarov, PM Ukraina yang undur diri, namun lagi-lagi
kompromi tersebut ditolak oleh Yatsenyuk, pemimpin oposisi. Putin juga
mewanti-wanti Presiden Ukraina apabila tidak segera menstabilkan situasi
massa, maka bantuan sebesar USD 15 miliar kemungkinan ditunda.
Ada
dua pertanyaan menarik muncul. Pertama: akankah tekanan massa mampu
memaksa Yanukovich memberi konsesi lebih kepada oposisi seperti
disetujuinya perdagangan dengan UE? Kedua: seandainya disepakati
perjanjian dagang dengan UE, apakah gejolak politik otomatis akan reda?
Tulisan
sederhana ini, mencoba mencari dan mengurai jawab atas beberapa
pertanyaan dan asumsi di atas. Selanjutnya kenapa geopolitik dijadikan
perspektif (pisau bedah) dalam mengkaji konflik politik di Ukraina,
karena secara konsepsi, geopolitik mampu mengintegrasikan hampir semua
hakikat ilmu. Ia meniscayakan realitas baik materi maupun non materi.
Sebagai bahan banding misalnya, jika spektrum ilmu dan filsafat
cenderung membentang di atas permukaan, geopolitik selain dapat menembus
apa yang terkandung di bawah permukaan (what lies beneath the surface), juga melihat hal tersirat dari apa yang tersurat.
Sebagai pisau kajian pada tulisan ini, breakdown
geopolitik tidak lagi bicara definisi, paradigma, atau teori, dll
---untuk menyingkat paparan--- akan tetapi lebih implementatif, artinya
kajian langsung kepada hal yang terkait serta terjadi di permukaan.
Inilah uraiannya.
Revolusi Oranye Meredup
Merujuk
gerakan massa terdahulu (2004-2006) di Ukraina, terdapat puing non
materi yang mutlak dicatat, yaitu: “Bila dirunut awal gerakan 22
Nopember 2004, sejatinya Revolusi Oranye hanya berumur 21 bulan saja,
sekarang ia seperti kehilangan ruh gerakan bahkan meredup setelah
ditinggal oleh sebagian aktornya yang berbalik arah”. Itulah sisa
artefak (non materi) Revolusi Oranye.
Tanda redupnya revolusi tersurat dari konfigurasi 450 kursi hasil Pemilu 26 Maret tahun 2006, dimana Partai Wilayah (Partiya Regioniv) pimpinan
mantan PM Viktor Yanukovich mendapat 186 kursi; Kubu Blok Yuliya
Tymoshenko ---mantan PM juga--- meraup 129 kursi; sementara Partai
Viktor Yushchenko, Nasha Ukrayin (Ukraina Kita) hanya memperoleh 81 kursi; Partai Sosialis 33 kursi, dan sisanya 21 kursi milik Partai Komunis pimpinan Oleksandr Moroz.
Pertanyaan
mengelitik timbul: bukankah Tymoshenko, Yushchenko dan Moroz adalah
Trio Penggerak gerakan Revolusi Oranye, kenapa partai mereka justru
memperoleh sedikit kursi daripada kubu Yanukovich, pemenang pemilu
pertama (21 Nopember 2004) yang “dibatalkan” baik melalui gelombang
massa maupun secara yuridis, sehingga pemilu ulang mengakibatkan
kalahnya Yanukovich?
Bersambung ke (2)
|
08-02-2014 |
Krisis Politik di Ukraina |
Membaca Krisis Politik di Ukraina dari Perspektif Geopolitik (2) |
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI) | |
|
Mapping Politik di Ukraina
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14610&type=4#.U1Sf96KJmSo
Pada
mulanya Yushchenko dinilai sebagai politisi paling unggul karena
perolehan 51,99% dari total 27,96 juta suara. Ia mengantongi sekitar
15,11 juta pemilih. Namun setahun masa kepemimpinannya tidak membawa
perubahan signifikan di Ukraina, popularitasnya pun turun menjadi 81
kursi, atau sebanding dengan 3,56 juta suara. Betapa drastis, sekitar
2/3 suara pemilihnya hilang daripada perolehan awal.
|
Sepintas
karir politik Yushchenko hampir mirip dengan Mohamad Morsi yang naik ke
puncak kekuasaaan akibat gerakan massa, kemudian terpilih dalam pemilu
mengganti Mobarak. Kemiripan “nasib dan karir” keduanya lebih kepada
selain tata cara meraih kursi presiden diawali aksi-aksi massa jalanan
---di Ukraina titelnya Orange Revolution, di Mesir bertajuk Arab Spring---
juga kesamaan lain ialah kurun waktu kekuasaan ternyata tak membawa
perubahan bagi negeri yang dipimpinnya. Inilah penyebab pokok kenapa
kepercayaan rakyat kepadanya menjadi redup. Jika resiko yang diterima
Yushchenko hanya melorotnya kursi partai Nasha Ukrayin di parlemen, sementara nasib Morsi justru tragis, ia dijungkalkan oleh Jenderal El Sisi, junta pilihannya sendiri.
Membaca
peta politik di Ukraina, tak boleh lepas dari faktor kubu serta
kelompok yang bermain. Pertama: kubu Yanukovich yang tetap setia pada
Rusia, sekutu tradisional Ukraina semenjak doeloe. Kedua ialah
kelompoknya Tymoshenko, Yushchenko dkk yang cenderung berafiliasi ke
“Barat”. Maksud Barat dalam hal ini adalah UE, AS, dan North Atlantic Treaty Organization (NATO)
tersirat di dalamnya. Basis massa Yanukovich ada di wilayah timur,
tetangga Rusia; sedang basis kubu Yushchenko dkk di wilayah barat,
berdekatan dengan negara-negara UE. Walau kenyataan di lapangan bukan
hitam putih semacam itu, setidak-tidaknya, inilah mapping politik di Ukraina dari sisi geografi dan aspek “ideologi”.
Indikasi lain atas meredupnya Orange Revolution selain hal-hal yang telah diungkap di atas (bag-1), yaitu political infighting (konflik internal) antara Yushchenko, sang Presiden versus PM-nya sendiri akibat berebut sumber-sumber
strategis negara. Maka singkat cerita, Tymoshenko pun dicopot sebagai
PM (8/9/2005) karena alasan terlibat korupsi.
Aliansi Berubah
Tak bisa dielak, dinamika politik internal (political infighting) di
Ukraina mengubah tatanan aliansi karena sudah tidak ada lagi kekuatan
mayoritas di parlemen pasca pemilu. Muncul kelompok dan kubu-kubu baru.
Pihak Tymoshenko misalnya, ia tetap bersikap tidak kompromi dengan
kelompok Yanukovich, sementara Yushchenko cenderung wait and see.
Partai Sosialis malah meninggalkan barisan pendukung Revolusi Oranye,
kemudian bergabung dengan Yanukovich. Agaknya tawaran menjadi ketua
parlemen tidak disia-siakan oleh Moroz, salah satu Trio Penggerak
revolusi (oranye) sebelumnya. Klimaks perubahan aliansi terlihat ketika
Yushchenko menyepakati deklarasi persatuan nasional yang berisi 27
kesepakatan. Apa boleh buat. Akhirnya ia pun merestui Yanukovich menjadi
PM.
Beredar
anggapan bahwa Yushchenko telah mengkhianati ‘perjuangan’. Ia memang
menemui dua pilihan yang serba sulit. Pertama, membubarkan parlemen dan
menyelenggarakan pemilu lagi. Kedua, menerima Yanukovich. Pilihan
pertama membawa dua implikasi, antara lain: (1) tak ada jaminan pemilu
akan menghasilkan perubahan signifikan pada komposisi partai-partai di
parlemen. Akibatnya kebuntuan politik niscaya berlanjut. Kekosongan
kekuasaan akan menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif.
Ujung-ujungnya rakyat bakal meminta revolusi lagi. Itu berarti
melengserkan Yushchenko sendiri; (2) Yushchenko tidak yakin partainya
mampu meraup suara signifikan, bahkan diperkirakan kursi partainya akan
mengecil. Sudah tentu, hal ini akan menjadi bumerang apabila kursi
Tymoshenko dan Yanukovich jumlahnya kian bertambah.
Mengapa
opsi menerima Yanukovich sebagai PM dianggap pilihan sulit, oleh karena
selain “melukai” pendukung Revolusi Oranye, juga berakibat pada
buruknya image Yushchenko di mata Barat. Tetapi secara politis tidaklah
demikian, karena ia masih meraih “keuntungan”. Artinya selain akan
didukung mayoritas parlemen gabungan antara kubu Yushchenko, Yanukovich,
Partai Sosialis dan Partai Komunis sebanyak 321 kursi, keuntungan
lainnya bahwa gabungan tersebut secara tidak sengaja telah mempersatukan
kembali wilayah timur (pro-Yanukovich) dan daerah barat
(pro-Yushchenko) yang terbelah gara-gara pemilihan presiden dua tahun
lalu. Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, kecuali kepentingan.
Tetapi kepentingan (kedaulatan) bangsa dan negara adalah lebih utama
daripada sekedar kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Agaknya
pilihan ini yang diambil oleh Yushchenko.
Sebagai
catatan tambahan, meskipun ia beraliansi dengan Yanukovich, agaknya
visi Yuschencko tak berubah. Ini terlihat pada kontrak politik dengan
Yanukovich, yaitu: “mengintegrasikan Ukraina dengan Barat dan World Trade Organization (WTO) menjadi titik tekan kontrak politik”.
Pertanyaannya ialah: dapatkah stabilitas Ukraina murni terujud di tengah tarik menarik kekuatan antara Rusia dan UE; lalu, geopolitical leverage macam apakah yang diincar serta diperebutkan kedua adidaya?
Bersambung ke (3)
|
Analisis |
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14633&type=4#.U1Pon6L3tkg |
10-02-2014 |
Aksi Teror di Volgograd | |
LAPORAN UTAMA: Tangan-Tangan Amerika dalam Aksi Teror di Volgograd |
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) |
|
Menjelang
akhir tahun, Rusia diguncang aksi teror. Dua aksi bom bunuh diri secara
beruntun terjadi dalam waktu 24 jam di kota Volgograd, yang hanya
berjarak 690 kilometer dari kota Sochi, tempat akan diselenggarakannya
Olimpiade Musim Dingin. Bom pertama meledak di stasiun pada Minggu, 29
Desember 2013 dan menewaskan 18 orang. Sementara itu, serangan kedua
terjadi pada Senin, 30 Desember 2013 di bus listrik. Sebanyak 16 nyawa
melayang dalam ledakan bom tersebut.
|
Rentetan
aksi teror yang secara total telah menelan 34 korban jiwa tersebut
sebagai tentu saja jadi tanda Tanya besar mengingat pada 7 Februarir
mendatang Rusia akan menggelar hajatan besar sebagai tuan rumah
Olimpiade Musim Dingin di kota Sochi, yang berlokasi tak begitu jauh
dari barat daya kota Volgograd, tempat terjadinya aksi teror tersebut.
Karenanya sangatlah masuk akal jika kemudian berkembang dugaan bahwa
aksi teror tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan reputasi Rusia
sebagai negara mampu menciptakan suasana aman pada saat berlangsungnya
Olimpiade Musim Dingin tersebut.
Siapa
dalang atau the mastermind di balik aksi teror yang cukup kejam dan
brutal terhadap warga sipil Rusia tersebut? Karena belum ada bukti yang
cukup definitif terkait aksi teror tersebut, maka seperti dalam kasus
aksi penyanderaan di salah satu sekolah di kota Beslan, Distrik
Pravoberezhny pada September 2004 lalu maupun penyanderaan di Dubrovka
Theatre, beberapa kalangan di Rusia nampaknya mengarah pada kesimpulan
sementara adanya keterlibatan kelompok separatis Chechnya.
Dari
hasil penelusuran bahan-bahan pustaka tim riset Global Future
Institute, Penyanderaan Beslan dimulai pada Rabu pagi 1 September 2004,
saat jam belajar baru mulai saja berlangsung di Sekolah Negeri 01
Beslan, yang terletak di Republik Ossetia Utara, Rusia. Bersenjatakan
senapan api dan bom di sabuk, sejumlah pria dan wanita bertopeng
menggiring para murid sekolah ke dalam suatu ruangan.
Penyanderaan
itu berlangsung sejak 1 hingga 3 September 2004. Sebanyak 1.100 orang
dijadikan sandera, termasuk 777 anak-anak. Tragedi itu pada akhirnya
menewaskan sedikitnya 334 sandera, termasuk di antaranya 186 anak-anak.
Selain itu, tak sedikit sandera terluka dalam aksi penyelamatan sandera
yang berlangsung dramatis, setelah aparat keamanan Rusia gagal
bernegosiasi dengan kelompok teroris.
Para
penyandera itu adalah kelompok Batalion Riyadus-Salikhin, yang dikirim
oleh pemimpin separatis Chechen, Shamil Basayev. Mereka berupaya
mengusir pasukan Rusia dari Chechnya, agar bisa memerdekakan diri dari
Moskow.
Nampaknya,
karena tidak mampu berperang secara simetris melawan pasukan angkatan
bersenjata Rusia, kelompok separatis Chechnya menggunakan aksi teror
yang mengorbankan warga sipil Rusia (non combatant). Dengan
menggunakan beberapa modus seperti serangkaian aksi penembakan maupun
pengeboman. Dalam kasus penyanderaan di Beslan, kelompok separatis
Chechnya bahkan tega-teganya menggunakan anak-anak sekolah di Beslan
“sebagai perisai hidup” sekaligus sebagai sandera.
Meskipun
Presiden Putin mengaku aksi penyelamatan yang dilancarkan pasukan
militer Rusia terhadap para sandera tidak membuahkan hasil yang
diharapkan mengingat banyaknya korban tewas dari pihak sandera, dan
bahkan para keluarga korban menilai aksi penyelamatan sandera oleh
tentara Rusia dianggap ceroboh, namun setidaknya Rusia telah
mempertunjukkan sikapnya untuk tidak bersedia menyerah kepada kelompok
teroris. Apalagi ketika beberapa indikasi mengarah pada keterlibatan
kelompok separatis Chechnya yang tujuan utamanya adalah mendirikan
negara Chechnya merdeka lepas dari Rusia.
Dalam
penyanderaan Dubrovka Theatre pada Oktober 2002, keterlibatan kelompok
separatis Chechnya nampaknya jauh lebih nyata dan terang-benderang.
Penyanderaan dilakukan 40-50 tentara Chechen yang mengklaim tunduk
kepada pergerakan separatis militer di Chechnya. Mereka menahan 850
sandera dan meminta penarikan tentara Rusia dari Chechnya sekaligus
mengakhiri Perang Chechen II. Pengepungan dipimpin Movsar Barayev.
Aksi Teror Volgograd dan Kelompok Black Widows
Lantas,
apakah aksi teror di Volgograd 29 dan 30 Desember 2013 lalu ada
keterkatainnya dengan kelompok Separatis Chechnya? Memang masih harus
ada penyelidikan yang lebih mendalam dan intensif. Namun dari hasil
pantauan terhadap beberapa liputan media di Rusia terkait serangkaian
aksi teror di negara beruang merah tersebut dalam beberapa tahun
terakhir, kelompok teroris Chechen biasa merekrut para wanita untuk
beraksi sebagai pelaku bom bunuh diri.
Namun
sebagaimana berita yang dilansir oleh Asia Times Online yang juga
dilansir oleh situs berita okezone pada 2010 lalu, seorang pakar
Chechnya asal Swiss, Alix de la Grange, meyakini bahwa pelaku bom bunuh
diri itu diledakkan melalui remote control oleh rekan prianya. Meskipun
de la Grange, mengatakan bahwa Black Widows tidak pernah dilatih di luar
negeri. Tapi beberapa Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa mereka
mendapat pelatihan dari Pakistan dan Afghanistan.
Kalau
benar para wanita pelaku bom bunuh diri itu diledakkan melalui remote
control rekan prianya, maka beberapa laporan yang mengindikasikan adanya
pelatihan terhadap para teroris Chechnya di Pakistan dan Afghanistan
kiranya tetap cukup masuk akal dan beralasan. Karena pemegang kendali
komando sepenuhnya berada pada kelompok-kelompok bersenjata Chechnya
yang tentunya sudah terlatih dalam perang gerilya maupun aksi teror.
Adanya Keterlibatan Al Qaeda terhadap Kelompok Separatis Chechnya
Satu
fakta penting yang kiranya perlu digarisbawahi adalah, bahwa Osama bin
Laden sejak decade 1990-an telah menyatakan dukungannya terhadap para
pemberontak Chechnya untuk memerdekakan diri lepas dari negara induknya,
Rusia. Bahkan Presiden Vladimir Putin pernah mengatakan Bin Laden
pernah mengunjungi para pemberontak Chechen dalam rangka mendukung
gerakan separatism Chechnya sebagai negara Islam yang lepas dari Rusia
(Associated Press 1999).
Bahkan Council of Foreign Relations (CFR), think-thank
dapur penggodokan berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat, dalam
salah satu catatannya menginformasikan bahwa para pemberontak Chechnya
mendapat dana bantuan lewat apa yang dinamakan Islamic International Peace Keeping Brigade
(IIPB). IIPB inilah yang merupakan saluran utama mengalirnya dana
bantuan yang berasal dari Al Qaeda yang berbasis Semenanjung Arab.
Foxnews,
media arus utama berhaluan neokonservatif di Amerika bahkan punya
beberapa temuan menarik. Beberapa tim riset anggota kongres dan analis
kebijakan luar negeri AS juga menemukan fakta bahwa jaringan pemberontak
Islam Chechen mempunyai jaringan luas di Rusia dan Chechnya.
Bisa
jadi motivasi kedua sumber dari Amerika tersebut tidak dimaksudkan
dalam kerangka mendukung skema gerakan kontra teror di Rusia, namun
setidaknya hal ini menggambarkan bahwa indikasi adanya persekutuan
taktis atau bahkan mungkin juga strategis, antara Al Qaeda dan kelompok
pemberontak Chechen sepertinya bukan isapan jempol belaka.
Sekadar
catatan, Osama bin Laden maupun Al Qaeda itu sendiri, diyakini oleh
para analis senior Global Future Institutet (GFI) tak lebih dari sekadar
“Kelompok Teroris Jadi-Jadian” hasil ciptaan badan Intelijen AS CIA
yang direkrut pada masa ketika Amerika dan beberapa negara Uni Eropa
mendukung perlawanan berbagai kelompok-kelompok masyarakat Afghanistan
terhadap pasukan pendudukan Uni Soviet di negara Mullah tersebut.
Sebagai hasilnya, muncullah kemudian kelompok Islam radikal Taliban
sebagai penguasa di Afghanistan pasca terusirnya Soviet dari negeri
tersebut.
Namun
menyusul terjadinya aksi pemboman di Gedung WTC dan Gedung Pentagon
pada September 2001, maka Presiden George W Bush dengan serta merta
menuding Taliban memberi perlindungan terhadap Al Qaeda di Afghanistan.
Padahal Bush secara definitif menyatakan Al Qaeda dan Osama bin Laden
lah otak sekaligus pelaku aksi teror September 2001 tersebut. Alhasil,
Bush memerintahkan invasi militer merebut Afghanistan.
Beberapa
studi GFI sebelumnya mengindikasikan bahwa invasi militer Afghanistan
dengan menggunakan dalih keterlibatan Taliban bersekongkol dengan Al
Qaeda, sejatinya merupakan permintaan perusahaan minyak AS UNOCAL
(sekarang Chevron) yang merasa terancam dengan kebijakan politik dan
ekonomi Taliban yang merugikan kepentingan minyak korporasi global AS
tersebut.
Dari
konstruksi kisah sekilas tersebut di atas, Al Qaeda memang merupakan
kelompok teroris jadi-jadian hasil binaan CIA AS, yang sewaktu-waktu
bisa dikorbankan atau setidaknya dijadikan kambing hitam oleh AS sebagai
perancangnya, ketika negara Paman Sam tersebut hendak menetapkan
sasaran yang jauh lebih strategis. Seperti ketika hendak menduduki
Afghanistan secara militer dengan dalih adanya keterlibatan Taliban
mendukung aksi teror Al Qaeda.
Begitupun,
indikasi keterlibatan Al Qaeda dan Osama bin Laden terhadap kelompok
separatis Chechnya, bisa juga dibaca sebagai indikasi adanya Perang
Asimetris AS terhadap Rusia, untuk menguasai Chechnya sebagai wilayah
kedaulatan Rusia, melalui tangan-tangan lokalnya di Chechnya.
Apalagi
dengan adanya fakta bahwa ketika Taliban masih berkuasa di Afghanistan,
dan masih menjalin hubungan erat dengan Washington, negara inilah
satu-satunya yang memberikan pengakuan resmi terhadap Chechnya sebagai
negara merdeka. Dan mendukung deklarasi sepihak kemerdeaan Chechnya.
Hal
ini semakin diperkuat dengan adanya pertemuan antara Osama bin Laden
dan pemimpin pemberontak Chechnya Ibn al Khattab sewaktu Soviet masih
menduduki Afghanistan. Namun di sini pula aspek krusial dari sasaran
pokok kelompok separatis Chechnya. Pada satu sisi, berkeinginan
membentuk negara Chechnya merdeka lepas dari Rusia. Dan mempromosikan
radikalisme Islam berskala global, dan menjadikan Chechnya sebagai
mata-rantai penting dari gerakan global Islam radikal di berbagai
negara.
Pada titik ini, gerakan separatis Chechnya pada perkembangannya kemudian justru menjadi alat Proxy War Amerika (melalui jaringan Al Qaeda dan eksponen Taliban), melawan Rusia.
Sejarah Awalnya keterlibatan Islam Radikal dalam Gerakan Separatisme Chechnya
Pada
awalnya, ketika pemerintahan otonomi Chechnya dibentuk oleh Aslan
Maskhadov, pandangan politik para elit Chechnya pada dasarnya nasionalis
sekuler. Terutama pada masa kepemimpinan Dzhokhar Dudayev.
Namun
ketika perlawanan separatis Chechnya mulai mendapat sorotan media
massa, jaringan Islam radikal yang berhaluan Al Qaeda mulai migrasi ke
Chechnya. Dan sejak saat itu, mulai mengkoptasi gerakan separatis
Chechnya dan menjadikannya sebagai bagian integral dari Gerakan Islam
Radikal berskala global.
Di
sinilah untuk pertama kalinya Ibn al Khattab mulai memainkan peran
penting di dalam tubuh gerakan separatisme Chechnya. Bahkan al Khattab
menegaskan gerakan ini tidak lagi semata gerakan Chechnya melainkan
menjadi gerakan Islam seperti halnya di Afghanistan.
Melalui
peran kepemimpinan al Khattab khususnya antara 1995 hingga 1996 inilah,
gerakan separatis Chechnya mendapatkkan pelatihan kemiliteran maupun
indoktrinasi keagamaaan menurut versi Islam mereka yang tentunya
radikal.
Pada
1998, al Khattab bersama Shamil Basayev, membentuk Islamic nternational
Peace Keeping Brigade, yang terdiri dari para separatis Chechnya, Arab
dan jaringan-jaringan Islam lainnya di berbagai negara.
Nampaknya,
gerakan separatism Chechnya yang pada dasarnya bertumpu pada dalih
bahwa mayoritas masyarakat Chechnya beragama Islam, telah dimanipulasi
oleh kelompok-kolompok Islam jadi-jadian binaan Amerika, untuk
mengkoptasi gerakan separatis Chechnya demi kepentingan Amerika untuk
melumpuhkan Rusia dari dalam.
Pada tahapan ini, selain badan intelijen AS CIA juga melibatkan badan intelijen Pakistan Inter Service Intelligence (ISI).
Karena semasa pendudukan Soviet di Afghanistan, CIA dan ISI inilah yang
membina dan mendukung milisi-milisi berbendera Islam radikal ini
dipersenjatai dan mendapat bantuan dana dari CIA dan ISI untuk melawan
pasukan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan pada 1979.
Sebagaimana
halnya dukungan Amerika dan Pakistan dalam mendukung milisi-milisi
Islam radikal Al Qaeda yang kemudian menjelma menjadi Taliban, kelompok
separatis bersenjata Chechnya dalam upayanya memisahkan diri dari Rusia,
beberapa sumber mengindikasikan adanya dukungan dari Amerika dan
sekutu-sekutu baratnya.
Coleen
Rowley, dalam artikelnya bertajuk Chechen Terrorists and the Neocons,
kelompok separatis bersenjata Chechnya terbukti sangat berguna bagi
Amerika untuk menekan Rusia seperti halnya kelompok Mujahedeen
Afghanistan yang dibantu Amerika baik dalam persenjataan maupun dana
untuk melawan pasukan Uni Soviet antara 1980 sampai 1989. Sehingga tak
heran jika para pelaku utama kelompok Neo Konservatif Amerika, termasuk
James Woolsey, Direktur CIA pada waktu itu, menganggap kelompok Chechen
ini sebagai “Chechen Friends”.
Bukan
itu saja. Dukungan dari beberapa kelompok strategis Amerika terhadap
kelompok separatis Chechen ini terlihat jelas melalui dukungan
terang-terangan dari apa yang menamakan diri mereka the American Committee for Peace in Chechnya
(ACPC). Sebuah kelompok yang para anggotanya terdiri dari para tokoh
terkemuka dari kelompok Neo Konservatif Partai Republik, yang kala
Presiden W Bush berkuasa, member dukungan penuh terhadap program War on Terror yang dikumandangkan oleh Bush dan para kroni politiknya di Gedung Putih.
Beberapa
nama sohor yang berada di belakang ACPC antara lain Richard Perle
(Penasehat Strategis dari Pentagon), Elliot Abrams (yang pernah terlibat
dalam kasus Iran Kontra-penjualan senjata illegal kepada Iran sebagai
barter terhadap pembebasan sandera warga AS di Kedutaan Besar AS di
Teheran), Kenneth Adelman (mantan Duta Besar AS di PBB) yang tercatat
sebagai pendukung fanatik invasi AS ke Irak, Midge Decter (Penulis
Biografi Donald Rumsdeld, mantan Menteri Pertahanan AS) dan Direktur
Heritage Foundation, sebuah think-thank sayap kanan AS, Frank Gaffney
(Direktur Militarist Center for Security Policy), Bruce Jackson (mantan
Direktur Intelligence Militar), Michael Ledeen (American Enterprise
Institute, dan seorang pendukung fasisme Itali dan sekarang pendukung
gerakan perobahan sistem politik di Iran), dan James Woolsey (mantan
Direktur CIA dan pendukung gagasan utama Presiden Bush dalam menata
ulang dunia Islam menurut skema AS).
Berarti, adanya campur tangan Amerika dalam gerakan separatis Chechnya nampaknya cukup beralasan dan faktual.
Pada
perkembangannya, ACPC dimodifikasi fokusnya dari Chechnya menjadi
Caucasus. Sehingga ACPC hakekatnya menjadi American Committee for Peace
in Caucasus. Karena itu tak heran jika Phil Shenon, yang kala itu masih
wartawan terkemuka The New York Times, menulis adanya kaitan antara
pemimpin Chechen Ibn al Khattab dengan Osama bin Laden.
Jaringan Chechen Sampai ke Akar-Akarnya
Untuk
mengungkap jaringan pemberontak Chechen sampai ke akar-akarnya, mari
kita kembali kepada peran yang dimainkan oleh Shamil Basayev. Shamil
Basayev, pemimpin gerakan pemberontakan separatis Chechen untuk
memisahkan diri dari Rusia, mulai menjalin kedekatan dengan Ibn al
Khattab, komandan perlawanan Mujahidin Afghanistan pada saat dia
mengikuti latihan kemiliteran di Afghanistan. Begitu kembali ke Grozny,
Khattab diundang ke pada awal 1995 untuk membentuk pangkalan militer di
Chechnya sekaligus melatih para kelompok perlawanan bersenjata di
Chechnya dengan meniru model Mujahidin Afghanistan.
Dari
berbagai sumber yang dihimpun Chossudovsky, penempatan Khattab di
Chechnya, diatur oleh sebuah organisasi nir-laba yang yang bergerak atas
sponsor dari orang-orang kaya Arab Saudi. Jaringan inilah yang kemudian
mengalirkan dana bantuan ke kalangan kelompok separatis Chechnya.
Adapun
Shamil Basayev sendiri punya kaitan dengan komunitas intelijen AS sejak
1980-an. Bahkan sempat berkembang informasi bahwa Basayev terlibat
dalam rencana kudeta 1991 yang berujung pada bubarnya Uni Soviet. Dan
Basayev juga yang kemudian ikut serta mengeluarkan deklarasi sepihak
kemerdekaan Chechnya dari Republik Federal Russia.
Singkat
cerita, jaringan kelompok bersenjata Mujahidin Afghanistan yang semula
diproyeksikan untuk melawan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan, pada
perkembangannya juga dibangun di Chechnya.
Dan
pembentukan kelompok bersenjata Chechnya sejatinya digunakan oleh
Amerika untuk melancarkan aksi destabilisasi terhadap Republik Federasi
Russia. Inilah yang dilakukan Chechnya melalui perang Chechnya 1994-1996
dan perang Chechnya 1999-2000.
Tidak
aneh jika Yossef Bodansky, Direktur Satuan Tugas anti Terror dan Perang
Inkonvensional Kongres AS, mengatakan bahwa rencana gerakan separatis
Chechnya sudah dirancang sejak 1996 di Mogadishu, Somalia. Dalam
pertemuan para petinggi Hizbollah Internasional. Dari fakta inilah
kemudian diketahui bahwa Badan Intelijen Pakistan (ISI) tidak sekadar
memberi bantuan senjata dan tenaga ahli, melainkan juga ikut serta dalam
kontak senjata di pihak kelompok Chechen.
Dan ISI, tak terbantahkan lagi, punya jalinan kerjasama yang sudah berlangsung lama dengan CIA.
Bisa
jadi karena menyadari adanya skema Amerika semacam itu, Presiden Putin
beberapa waktu sebelum terjadinya aksi teror di Volgograd, sudah
mengingatkan betapa pentingnya untuk mewaspadai gerakan dari kaum
militant berasal dari Kaukasus Utara. Mengingat adanya kelompok
pemberontakan bersenjata Chehcnya yang berada di bawah kepemimpinan
panglima perangnya, Doku Umarov. Sementara AS maupun sekutu-sekutu
baratnya, selama ini justru tidak pernah memandang gerakan separatis
bersenjata dari Kaukasus Utara tersebut sebagai ancaman.
Nah
sekarang jelaslah sudah, sepertinya memang ada tangan-tangan Amerika
dalam berbagai aksi teror yang melibatkan kelompok separatnis Chechnya
di Rusia.
Referensi:
4. Hendrajit, ibid.
|
04-03-2014 | |
Membaca Skenario Besar di Balik Penggulingan Presiden Yanukovich | |
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute. |
|
Keputusan
Majelis Federasi Rusia untuk mengerahkan angkatan bersenjatanya di
Semenanjung Cremea yang masuk kedaulatan Ukraina, memang tidak bisa
dipandang semata-mata sebagai tindakan agresi militer sepihak. Karena
sebelumnya telah didahului dengan campur-tangan Amerika Serikat dalam
urusan dalam negeri Ukraina dengan mendukung kelompok oposisi yang
menentang kepemipinan Presiden Yanukovich yang kebetulan cukup dengan
dekat dengan Rusia.
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14832&type=4#.U1PmtKL3tkg
|
Jika
kita menelisik kembali proses kejatuhan Yanukovich yang didahului
dengan gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang berlangsung 3 bulan
penuh, maka tak pelak lagi tangan-tangan Amerika dan Uni Eropa ikut
bermain dari balik layar. Hal ini bisa kita lihat ketika Yulia
Tymoshenko, pesaing utama Yanukovich yang sudah dipenjara selama lebih
dari 5 tahun, kemudian dibebaskan sehingga ketika demonstrasi dan
kerusuhan yang kabarnya telah menewaskan 80-an orang tersebut, kemudian
dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim pemerintahan Yanukovich yang
dalam garis politiknya sejalan dengan Pemerintahan Rusia di bawah
Presiden Vladimir Putin.
Maka
kiranya tidak terlampau berlebihan jika sebuah harian di Cina, Xinhua
Comentary, mengecam manuver Amerika dan Uni Eropa dalam memediasi antara
kubu Yanukovich dan kelompok oposisi, pada perkembangannya justru telah
menciptakan polarisasi di dalam negeri Ukraina. Poin menarik dari
Xinhua Comentary adalah, dalam mengatasi krisis di Ukraina, pihak barat
(AS dan Uni Eropa) sebaiknya melibatkan Rusia dalam proses mediasi
tersebut.
Dari
ulasan Xinhua Commentary, yang tentunya mencerminkan juga sikap tidak
resmi dari Cina, bisa disimpulkan bahwa mediasi yang diprakarsai oleh
Amerika dan Uni Eropa yang seolah-olah memediasi kubu pemerintahan
Yanukovich dan kelompok oposisi, sejatinya merupakan aksi sepihak untuk
melumpuhkan dan pada akhirnya menjatuhkan pemerintahan Yanukovich.
Sikap
politik tajuk rencana Xinhua Commentary nampaknya harus dibaca sebagai
refleksi pendirian politik pemerintah Cina yang sejatinya mendukung
langkah yang diambil oleh Putin maupun Majelis Federasi Rusia. Meskipun
di atas permukaan, pihak kementerian luar negeri Cina secara resmi
menyatakan keprihatinannya atas situasi yang terjadi di Ukraina, dan
menyerukan kepada semua pihak untuk menyelesaikan konflik internal
Ukraina sesuai prosedur hukum yang berlaku. Seraya menegaskan bahwa Cina
menghormati kedaulatan dan integritas territorial Ukraina.
Namun
menariknya, juru bicara kementerian luar negeri Cina Qin Gang kemudian
mengakhiri pernyataan resminya dengan sebuah kalimat bersayap: “Ada
beberapa alasan mengapa timbul situasi sebagaimana yang terjadi di
Ukraina saat ini.”
Di
sini, Qin Gang tidak merinci lebih lanjut pernyataannya tersebut. Namun
sebagaimana ulasana harian Xinhua Commentary di atas, Global Future
Institute memandang kejatuhan Yanukovich paralel dengan terjadinya
Revolusi berwarna di Ukraina pada 2004. Yang sejatinya skema revolusi
berwarna merupakan skema negara-negara AS dan Uni Eropa untuk
menjatuhkan pemerintahan suatu negara yang dipandang tidak bersahabat
atau musuh.
Pemicu Kejatuhan Yanukovich
Kemarahan
AS dan Uni Eropa mencapai puncaknya setelah Presiden Yanukovich menolak
beberapa tekanan ekonomi politik yang dilakukan AS dan kelompok negara
Uni Eropa. Yanukovich lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan
Iran.
Masih
ingat apa yang terjadi pada 2011? Ketika itu, International Monetary
Fund (IMF) gagal menjebol perekonomian Ukraina ketika pemerintah saat
itu menolak mentah-mentah rekomendasi IMF untuk menghentikan subsidi
harga gas yang dikonsumsi sebagian besar rakyat Ukraina. Padahal Ukraina
sudah menyetujui pinjaman untuk Ukraina sebesar 15 miliar dolar AS.
Jerman,
juga menekan Ukraina untuk bergabung dengan jaringan politik dan
bisnisnya lewat kekuatan kelompok negara Uni Eropa. Sekadar informasi,
Jerman sebenarnya sedang memulai proyek geopolitik besarnya melawan
Rusia dengan memperluas jaringan European Union Eastern Partnership-nya.
Proyek itu ternyata mampu merangkul negara Georgia dan Moldova.
Sedangkan negara Belarus dan Armenia yang sudah dalam radar Jerman
ternyata memilih bergabung ke kelompok negara Eurosian Customs Union
yang dipimpin Rusia.
Sekarang,
Ukraina yang kaya sumber energy itu juga menolak mentah-mentah
keinginan Uni Eropa. Sangat logis jika kemudian Jerman meradang dengan
penolakan Ukraina. Karena secara geopolitik, Ukraina dipandang oleh
Jerman sebagai negara kunci untuk memenangkan perang pasar energy global
Uni Eropa melawan kelompok negara-negara yang pro Rusia dan Cina.
Dalam prediksi Jerman, jika Ukraina bisa diajak bergabung dalam Uni Eropa, maka Uni Eropa akan mampu mengatur pasar energy global, minimal di tingkat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Manuver Uni Eropa dan Anatomi Kelompok Oposisi
Bebeapa
langkah strategis Uni Eropa untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah
dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa perusahaan besar Jerman sudah
membangun pipa gas yang cukup besar di Ukraina. Pipa gas tersebut
dibangun melintasi Polandia, Hongaria dan Slovakia. Yang menjadi dasar
pertimbangan Jerman, dengan membangun pipa-pipa gas tersebut, pada
perkembangannya akan menyelesaikan ketergantungan Ukraina terhadap
pasokan gas yang selama ini disalurkan dari Rusia.
Maka
Jerman ingin agar proyek besar tersebut dibayar oleh Presiden
Yanukovich dengan menandatangani kesepakatan untuk bergabung dengan Uni
Eropa. Namun dengan keputusan Yanukovich untuk lebih memilih bersekutu
dengan Cina, Rusia dan Iran, maka rencana Jerman untuk membangun
infrastruktur pipa gas tadi akhirnya hancur berantakan. Gagal total.
Nampaknya
inilah skenario besar AS dan Uni Eropa di balik dukungan terhadap
ribuan demonstrasi dengan berlindung pada simbol gerakan “Pro Demokrasi”
dan gerakan “anti Presiden Yanukovich.”
Lantas,
bagaimana gambaran konstalasi politik Ukraina pasca kejatuhan
Yanukovich? Mari kita telisik profil kelompok-kelompok yang berada di
balik gerakan “Pro Demokrasi” Ukraina ini. Ternyata ada 3 kelompok besar
di balik penggulingan Yanukovich.
Pertama,
adalah partai Batkivschyna yang dipimpin oleh Yulia Tymoshenko. Partai
ini dibiayai dan didukung secara langsung atau tidak langsung oleh
Jerman.
Yang
kedua, adalah Partai Svoboda yang mengusung ideology Neo Nazi. Partai
ini adalah kelompok yang paling kuat menentang Yanukovich. Partai yang
anti Yahudi (termasuk Yahudi Rusia) ini dibiayai oleh Washignton. Partai
ini dipimpin oleh Tiahnybok. Dia mengembangkan partai neo nazi-nya
dengan merujuk pada gerakan neo nazi yang berkembang di Eropa. Dalam
konstalasi politik parlemen di Ukraina, Svoboda merupakan partai
terbesar di Ukraina saat ini.
Kalau
melihat betapa kisruhnya situasi politik di Ukraian beberapa bulan
jelang jatuhnya Yanukovich, nampaknya Partai Svoboda berperan cukup
aktif untuk memanaskan keadaan dan dalam menciptakan aksi destabilisasi
politik.
Partai
ketiga adalah partai Udar yang dipimpin langsung oleh Vitally
Klitschko, mantan juara tinju kelas berat dunia. Klitschko merupakan
salah satu calon presiden yang akan maju pada pemilu Ukraina 2015
mendatang. Partai Jerman Christian Democrat Union memastikan Klitschko
merupakan salah satu orang penting untuk menjembatani semangat pro Uni
Eropa di Ukraina.
Yang
mengherankan kami di Global Future Institute, beberapa media arus
utama, termasuk beberapa harian terkemuka di Indonesia, justru lebih
menyorot dan menjadikan headlinenya ke arah kemunculan semangat neo nazi
di Ukraina. Bahkan ada yang mengembangkan wacana bahwa Ukraina akan
menjadi negara neo fasis baru. Sehingga Partai Svoboda dan gerakan neo
nazi-lah yang justru jadi headline berbagai media massa di dalam maupun
di luar negeri.
Padahal,
isu besar di balik jatuhnya Presiden Yanukovich adalah pertarungan
penguasaan energy global antara kelompok negara Trans Pacific
Partnership (TPP) yang dimotori oleh Amerika dan Uni Eropa yang dimotori
oleh Jerman. Melawan negara-negara yang tergabung dalam BRICS
berdasarkan skema kerjasama strategis Rusia dan Cina melalui Shanghai
Cooperation Organization (SCO).
Menyimak
dan memonitor secara intensif dan terus-menerus perkembangan situasi di
Ukraina atas dalam sudut pandang ini, berarti mendorong berbagai elemen
strategis di Indonesia untuk mewaspadai skema serupa akan dipagelarkan
di Indonesia sewaktu-waktu. Apalagi dalam jelang pemilu April 2014
mendatang diprediksi akan cukup krusial dan berpotensi untuk terjadinya
instabilitas politik.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar