Minggu, 20 April 2014

BENARKAH ADA PERSIAPAN PERANG BESAR.... ANTARA AS DKK ..... MENGHADAPI RUSIA... ???? DAN .... APAKAH... BENAR... AS DKK SUDAH MEMILIKI AGENDA... SEJAK LAMA INGIN MENGUASAI RUSSIA... CINA....??? >>> ..... NAMUN KITA BERHARAP AKAL SEHAT DAN UNTUK APA MEREKA BERPERANG SECARA GLOBAL... ???>> ....WALAPUN DEMIKIAN... KONON SESUNGGUHNYA... BUKANLAH SEMATA-MATA KEINGINAN OBAMA... ATAU PEMERINTAHAN AS...... MELAKUKAN CAMPUR TANGAN DI UKRAINA..SECARA TERLALU JAUH..... ??? SEBAB... SEPERTI BIASANYA.... KONON.... SELALU ADA KEKUATAN YANG TERSELUBUNG DIBALIK PEMERINTAHAN AS... TERMASUK DALAM KEPRESIDENAN OBAMA....???>>> SEPERTI BIASANYA... KONON TANGAN2.. SUPER KAYA... YANG SELALU UNTOUCHABLE... DAN BERADA DIBALIK SEMUA PENGATURAN... DAN PEMBUATAN UU DAN JUGA KEBIJAKAN POLITIK AS.... YANG TERKADANG ANEH... DAN BAHKAN TERKADANG.... HAL2 YANG.... SANGAT TIDAK MASUK AKALPUN BISA TERJADI... SEMATA-MATA... DIMAINKAN OLEH TANGAN2 ... KEKUATAN KORPORASI YANG MENGUASAI LOBBY DAN POLITIK AS... BAIK DALAM NEGERI MAUPAUN LUAR NEGERI...???>>> INILAH... TANGAN2 NEOKONS-NEOLIBS-NEKOLIM.... DAN TENTU... MEREKA YANG SELAMA INI MENGENDALIKAN KEUANGAN DAN EKONOMI DAN KONON LOBY2 POLITIK DISENAT-KONGRES DAN PEMILIHAN PRESIDEN.... AS .... SEJAK RATUSAN ATAU PULUHAN TAHUN..YANG LALU... ???>>>> SEBAGAI RAKYAT... AWAM KADANG TIDAK PERCAYA... DAN TAK BISA MEMIKIRKAN TERLALU JAUH... BAGAIMANA BISA.... ORANG2 PINTAR DAN BERPENDIDIKAN TINGGI DI NEGERI PAMAN SAM INI... .. BISA DIPERBUDAK OLEH KONON HANYA SEGELINTIR SAJA...???>> TAPI FAKTA SEJARAH MALAH SELALU MENUNJUK KEARAH YANG SAMA... ???.... ENTAHLAH... KITA BERHARAP PRESIDEN OBAMA DKK BISA LEBIH BISA MEMILIKI AKAL SEHAT.... DARIPADA MENGORBANKAN RAKYAT DAN ANAK2 BANGSA AMERIKA.. YANG BISA SAJA.. AKAN MENJADI KORBAN YANG... LANGSUNG.... SEPERTI APA YANG TERJADI PADA KASUS... 911 WTC-PERANG AFGHANISTAN-IRAQ...DAN JUGA... APA YANG TERJADI DI TIMUR TENGAH.... DENGAN BERBAGAI VERSI2...NYA.... ???>>> SEDANGKAN PARA KAUM... SUPER KAYA DKKNYA.. SERTA ANTEK2NYA.. AKAN SELALAU AMAN DAN NYAMAN2 SAJA.... DAN BISA BER FOYA2..... WALAUPUN ..... BISA SAJA .... MEMANG... AKHIRNYA... PERANG BESAR... HARUS TERJADI JUGA...???>>> WALLAHU A'LAM.... >>> ...While US Secretary of State John Kerry was signing the "de-escalation" document in Geneva, Washington announced that it was to begin sending "non-lethal" military aid to the regime in Kiev. This is the same ruse that Washington has played in Syria where similar claims of "non-lethal" military aid to anti-government "rebels" is belied by US supplied anti-tank missiles and involvement of covert Special Forces. So not only has a criminal coup in Ukraine been legitimized; it is now being openly armed to crush civilian protesters in large swathes of the country, which are opposed to the NATO-backed seditionists in Kiev. Regrettably, Russia has allowed this development by participating in the Geneva forum last week...>>> .... Penyebaran pasukan NATO di sekitar Rusia adalah provokasi yang akan meningkatkan konflik nuklir habis-habisan. Pernyataan itu diutarakan oleh analis politik, William Jones pada Ahad, 20/04/14, dalam sebuah wawancara dengan Press TV. "Rusia, Amerika Serikat dan NATO adalah kekuatan nuklir. Jika perang dimulai, bahkan pada tingkat konvensional atau pertempuran, ini dapat dengan cepat meningkat menjadi perang nuklir, dan kemudian seluruh umat manusia dipertaruhkan," jelas William Jones, dari Executive Intelligence Review.... >> ...... Lavrov juga mengkritik pemerintah Kiev yang menurutnya telah melanggar perjanjian Jenewa sejak 17 April. Lavrov menambahkan, pihak berwenang Kiev masih bingung mengenai pelaksanaan reformasi konstitusi di negara ini. "Mengapa mereka menunggu begitu lama untuk berbicara tentang pentingnya reformasi konstitusi? Mengapa mereka memutar prosesnya?" tanya Lavrov di konferensi itu. "Mereka tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan krisis yang mendalam di negeri ini," tambahnya lagi. Menteri Luar Negeri Rusia memperingatkan semua upaya mengisolasi Rusia yang akan mengarah jalan buntu...>> .......Menurut prediksi Snyder, jika Amerika dan Uni Eropa terlalu masuk ke wilayah Ukraina, maka perang regional berskala besar besar kemungkinan akan meletus. Harus disadari bahwa Rusia dan Ukraina memiliki ikatan sejarah yang sangat mendalam. Sehingga Ukraina di mata Rusia punya nilai yang cukup strategis....>>> ...“Sebenarnya Rusia sangat siap berperang demi Crimea mengingat fakta bahwa jalur pipa yang berada di wilayah ini amat penting bagi Rusia untuk menyalurkan gas alam Rusia ke seluruh eropa melewati Ukraina. Karena itu tak mungkin Rusia akan menyerahkan begitu saja lingkup pengaruhnya di Ukraina kepada Amerika Serikat dan Uni Eropa,” begitu tutur Snyder....>>> ..Adanya perintah untuk menggerakkan Kapal Selam Dolgoruki dan Rudal Nuklir Bulava nampaknya harus dibaca sebagai bentuk kesiapan perlawanan Rusia terhadap manuver militer AS dan NATO, menyusul sikap permusuhan terang-terangan Amerika dan Uni Eropa menyusul perkembangan yang cukup menguntungkan Rusia di Crimea. Ketika 98,6 persen rakyat Crimea menyatakan setuju penggabungan kembali wilayah tersebut dengan Rusia. Betapa tidak. Kapal Selam Dolgoruki, selain membawa Rudal Bulava yang merupakan jenis senjata nuklir terkuat di dunia yang dimiliki Rusia saat ini, kapal selam Yuri Dolgoruki ini merupakan kapal selam yang paling ditakuti Amerika dan NATO karena pergerakannya yang sulit dideteksi radar....>>> ...Bahkan NATO menjuluki kapal selam Yuri Dolgoruki sebagai “The Silent Killer” karena kecanggihannya untuk menghilang dari pantauan radar militer pihak musuh. Dan mampu meluncurkan Rudal Bulava berdaya jangkau 10 ribu kilometer dari perairan manapun di dunia. Bulava mampu membawa 6 hingga 10 hulu ledak nuklir masing-masing berkekuatan 100 hingga 150 kiloton....>>> ...Begitupun, Rusia nampaknya memang tidak main-main. Seperti berita yang dilansir Interfax 28 Maret lalu, Rusia telah menyiagakan Rudal Strategisnya yang dikenal dengan SMF. Selain itu, pemegang otoritas pertahanan di Moskow telah memerintahkan Kapal Selam Dolgoruki yang membawa Rudal Nuklir Bulava, untuk meninggalkan pangkalannya di Severodvinsk di Utara Rusia...>>> ..Bisakah gelombang demonstrasi dan serangkaian kerusuhan politik di Kiev tersebut bisa kita kategorikan sebagai gerakan revolusi? Sepertinya tidak. Karena kalau kita cermati dengan seksama, aksi massa tersebut tergolong brutal dan penuh kekerasan. Kejam dan tak bermoral karena selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke banyak orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dan lain sebagainya. Ketika ada anggota massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban pertama dalam dua bulan unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat penembakan justru aksi pun semakin meluas, bahkan sudah berani merambah ke timur Ukraina, wilayah basis dimana massa Yanukovich berada. Masuk akal jika Presiden Putin menggambarkan unjuk rasa tersebut seperti penghancuran daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi tersebut sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa...>>> ...Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina sebenarnya sudah dipetakan oleh Amerika Serikat sejak 1997. Zbigniew Kazimierz Brzezinski, mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di era pemerintahan Jimmy Carter pada periode 1977-1981, menerbitkan sebuah buku yang cukup menarik bertajuk The Grand Chessboard pada 1997. Dalam buku yang cukup menarik tersebut, Brzezinski menulis, “Ukraina, ruang baru dan penting pada papan catur Eurasia, merupakan poros geopolitik karena sangat penting keberadaannya sebagai negara merdeka, untuk membantu mengobah Rusia. Tanpa Ukraina, lanjut, Brzezinski, tidak akan mungkin lagi menjadi sebuah imperium di kawasan Eurasia. Dan jika satu saat Moskow mendapatkan kembali kontrol atas Ukraina, maka dengan 52 juta orang berikut sumberdaya utama serta akses ke Laut Hitam, Rusia otomatis bakal mendapatkan kembali kedigdayaannya untuk menjadi negara kekaisaran (imperium) yang kuat, mencakup kawasan Eropa dan Asia....>>>



Analisis

01-04-2014
Krisis Politik di Ukraina
Beberapa Alasan Strategis Kesiapsiagaan Perang Rusia Untuk Mempertahankan Crimea dan Beberapa Wilayah Perbatasan Ukraina . 

Penulis : Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute


17 Maret lalu, reunifikasi Crimea dengan Rusia telah menjadi kenyataan menyusul adanya referendum dimana 96,8 persen rakyat Crimea mendukung penggabungan kembali wilayah tersebut dengan Rusia. 21 Maret lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani dokumen resmi menjadi sebuah undang-undang, sehingga sejak saat itu Crimea resmi menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Rusia.

Menurut analisis militer Michael Snyder, Rusia tidak akan pernah menyerahkan Crimea tanpa melakukan perlawanan. Basis utama armada Laut Hitam di Sevastopol terlalu penting dan sangat strategis bagi Rusia. Apalagi 60 persen penduduk Crimea merupakan etnis Rusia, sehingga masuk akal jika sebagian besar penduduknya bersikap pro Rusia.


“Sebenarnya Rusia sangat siap berperang demi Crimea mengingat fakta bahwa jalur pipa yang berada di wilayah ini amat penting bagi Rusia untuk menyalurkan gas alam Rusia ke seluruh eropa melewati Ukraina. Karena itu tak mungkin Rusia akan menyerahkan begitu saja lingkup pengaruhnya di Ukraina kepada Amerika Serikat dan Uni Eropa,” begitu tutur Snyder.

Menurut prediksi Snyder, jika Amerika dan Uni Eropa terlalu masuk ke wilayah Ukraina, maka perang regional berskala besar besar kemungkinan akan meletus. Harus disadari bahwa Rusia dan Ukraina memiliki ikatan sejarah yang sangat mendalam. Sehingga Ukraina di mata Rusia punya nilai yang cukup strategis.


Mencermati perkembangan tersebut, Global Future Institute berpandangan bahwa  bergabungnya kembali Crimea kepada Rusia, akan menciptakan keseimbangan kekuatan antara Washington dan Moskow. Sekaligus akan kembali memperluas lingkup pengaruh Moskow di Ukraina. Seraya pada saat yang sama, berpisahnya Crimea dari Ukraina, akan membatasi ekspansi Amerika dan NATO ke “wilayah halaman belakang” Rusia.


Maka tidak heran jika beberapa media melansir berita bahwa saat ini 100 ribu pasukan Rusia telah berada di daerah perbatasan Ukraina, dan siap menunggu perintah Presiden Putin untuk melancarkan serangan ke wilayah Ukraina. Sehingga kehadiran militer Rusia tidak akan berhenti sampai di Crimea saja. Melainkan akan merangsek masuk, ke wilayah Ukraina.


Ihwal kehadiran 100 ribu pasukan Rusia di wilayah perbatasan Ukraina tersebut telah diperkuat oleh pernyataan Ketua Dewan Keamanan Nasional  Ukraina Andriy Parubly kepada Voice of America 28 Maret 2014. Menurut keterangan Parubly, Rusia telah menempatkan 100 ribu tentaranya di perbatasan Ukraina di Utara, Selatan dan Timur.


Bahkan Presiden Obama pun mengakui bahwa berdasarkan informasi Departemen Pertahanan, Rusia memang terus memperkuat pasukannya di tiga wilayah perbatasan tersebut, meskipun belum jelas maksud dari penempatan pasukannya di tiga wilayah perbatasan tersebut.

Begitupun, Rusia nampaknya memang tidak main-main. Seperti berita yang dilansir Interfax  28 Maret lalu, Rusia telah menyiagakan Rudal Strategisnya yang dikenal dengan SMF. Selain itu, pemegang otoritas pertahanan di Moskow telah memerintahkan Kapal Selam Dolgoruki yang membawa Rudal Nuklir Bulava, untuk meninggalkan pangkalannya di Severodvinsk di Utara Rusia.

Adanya perintah untuk menggerakkan Kapal Selam Dolgoruki dan Rudal Nuklir Bulava nampaknya harus dibaca sebagai bentuk kesiapan perlawanan Rusia terhadap manuver militer AS dan NATO, menyusul sikap permusuhan terang-terangan Amerika dan Uni Eropa menyusul perkembangan yang cukup menguntungkan Rusia di Crimea. Ketika 98,6 persen rakyat Crimea menyatakan setuju penggabungan kembali wilayah tersebut dengan Rusia.


Betapa tidak. Kapal Selam Dolgoruki, selain membawa Rudal Bulava yang merupakan jenis senjata nuklir terkuat di dunia yang dimiliki Rusia saat ini, kapal selam Yuri Dolgoruki ini merupakan kapal selam yang paling ditakuti Amerika dan NATO karena pergerakannya yang sulit dideteksi radar.


Bahkan NATO menjuluki kapal selam Yuri Dolgoruki sebagai “The Silent Killer” karena kecanggihannya untuk menghilang dari pantauan radar militer pihak musuh. Dan mampu meluncurkan Rudal Bulava berdaya jangkau 10 ribu kilometer dari perairan manapun di dunia. Bulava mampu membawa 6 hingga 10 hulu ledak nuklir masing-masing berkekuatan 100 hingga 150 kiloton.


Beberapa indikasi lain yang mempertunjukkan kesiapsiagaan pasukan Rusia untuk tidak hanya  berhenti sampai Crimea saja, melainkan akan menyerbu Ukraina, bisa dilihat melalui beberapa pertanda:
  1. Banyak kendaraan militer Rusia yang bergerak ke Crimea.
  2. Kendaraan militer Rusia tertangkap kamera sudah berada di alun-alun utama Sevastopol.
  3. Jet Tempur Rusia terbang dekat perbatasan Ukraina dalam kondisi siaga perang.
  4. Rusia telah memerintahkan latihan militer dadakan di sepanjang perbatasan Ukraina.
  5. Sehubungan dengan latihan tersebut, dilaporkan bahwa Rusia telah mengerahkan 150 ribu tentara di perbatasan Ukraina.
  6. Rusia telah menempatkan sekitar 26 ribu prajuritnya di pangkalan angkatan lautnya di Sevastopol.
  7. Kapal Rusia yang membawa pasukan tambahan sudah terlihat di lepas pantai Crimea. Kapal pendaratan besar Rusia, Nikolai Filchenko, sudah berlabuh di dekat pangkalan Armada Laut Hita Rusia di Sevastopol, yang disewa Rusia dari Ukraina sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
  8. Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu membuat pernyataan di hadapan wartawan Rabu 26 Februari lalu, bahwa Rusia akan mengambil langkah-langkah untuk menjamin apa yang dia istilahkan “keamanan fasilitas kami.”
  9. Seorang pejabat Rusia yang tak mau disebut namanya berkata pada Financial Times bahwa Rusia hendak menggunakan kekuatan militernya untuk melindungi Crimea. Sebelumnya Moskow mengungkapkan bahwa mereka siap untuk berperang demi wilayah Crimea guna melindungi penduduk yang jumlahnya besar dan instalasi militer. Pejabat Rusia tersebut berkata pada Financial Times:” Jika Ukraina tercabik, itu akan memicu perang. Mereka pertama-tama akan kehilangan Crimea karena kami akan masuk dan melindungi itu, seperti yang kami lakukan di Georgia.”
  10. Para Pejabat Di Sevastopol telah menempatkan warga negara Rusia sebagai walikota.
  11. Sekitar 120 orang bersenjata pro Rusia telah mengambil-alih gedung parlemen Crimea dan mengibarkan bendera Rusia.
  12. Tersiar rumor bahwa pemerintah Rusia telah menawarkan perlindungan pada Presiden Ukraina terguling, Viktor Yanukovich.

Kantor berita Rusia bahkan melaporkan bahwa Yanukovich berada di Rusia, namun para pejabat belum memberikan konfirmasinya.

Nampaknya, betapapun kerasnya upaya AS dan Uni Eropa untuk mempertahankan lingkup pengaruhnya di Ukraina, Rusia akan tetap mempertahankan Crimea yang punya akses langsung untuk menguasai Ukraina. Sebagaimana Rusia juga gigih dalam mempertahankan Osetia Selatan dan Abkhazia di Georgia beberapa tahun yang lalu.

Qt tak menginginkan perang dan tak menginginkan jadi jagoan !...Tp apa salahnya belajar dari Rusia yg superior menghadapi watak arogan AS ?

Info Militer Dunia's photo.


Makin "HOT", pesawat Obama dikuntit 6 jet tempur Rusia
*Kementerian Pertahanan Jepang mengkonfirmasi 6 jet tempur Rusia lalu lalang di jalur penerbangan pesawat kepresidenan AS jelang kedatangan ke Tokyo.

TOKYO, (IMD) – https://www.facebook.com/

Krisis Ukraina makin menyulut ketegangan dan saling provokasi antara Rusia dan Amerika Serikat (AS).

Kementerian Pertahanan Jepang menyebut, jelang kedatangan Presiden Barack Obama ke Jepang, sebanyak 6 jet tempur Rusia terbang di dekat wilayah Jepang selama seminggu berturut-turut dan tepat di jalur pesawat kepresiden Air Force One yang akan ditumpangi Obama menuju Jepang.

Dilansir NHK News, Senin (21/04/2014), Menteri Pertahanan Jepang Itsunori Onodera, membenarkan, pesawat-pesawat tempur Rusia itu berada di jalur penerbangan yang akan dilalui pesawat Obama.

“Ini sangat aneh, karena kegiatan pesawat-pesawat militer Rusia seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan selama era Perang Dingin saja tidak pernah,” ujar Onodera.

Menteri Pertahanan Jepang menyebut aktivitas pesawat militer Rusia itu sangat aneh dan tidak normal. Yang mengkhawatirkan, jet-jet tempur Rusia itu terbang tepat di koordinat yang akan dilalui Air Force One.

“Masalahnya kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pesawat-pesawat itu di luar wilayah Jepang,” tegas Onodera.
Onodera mengaku sejauh ini tidak ada penjelasan resmi apa yang melatarbelakangi tindakan Rusia itu.
----------------------------------------
Diam-diam, Rusia dan AS siapkan peperangan besar?!
*Kehadiran AS dan NATO mengepung Rusia dipastikan membuat penguasa di Moskow tak tinggal diam.

WASHINGTON DC – Sumber-sumber militer di Kementerian Pertahanan Rusia, dengan jelas menyebut, Rusia dalam posisi siap perang dengan Amerika Serikat, menyusul makin banyaknya kehadiran militer AS di Eropa Timur.
Militer Rusia dikabarkan mempersiapkan skenario perang skala besar dan di pihak AS juga melakukan hal serupa.

William Jones, analisis politik dan militer AS kepada CBS News, Minggu (20/04/2014) menyebut, tak diragukan lagi Washington dan Moskow sedang mempersiapkan perang besar dengan meningkatkan pasukan di perbatasan Ukraina serta bersikukuh atas penumpukan militer di negara-negara tetangga.

“Ini sandiwara besar sedang dimainkan. Di satu sisi mereka berunding, namun persiapan perang sedang dilakukan. Itu bisa dilihat dari peningkatan pasukan AS di perbatasan timur Eropa, penumpukan pesawat tempur di negara-negara Baltik hingga ke Rumania, dan bahkan di semua negara yang berbatasan dengan Rusia. Sementara, pada saat yang sama Rusia juga mempertahankan kemampuan pertahanannya, dan ini benar-benar dalam situasi sebelum perang, kata William Jones.

Menurutm Jones, ini adalah kekhawatiran jelang perang yang paling mengerikan dalam sejarah manusia.

“Bisa kita bayangkan, dua negara itu adalah dua kekuatan nuklir dunia, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” tambahnya.
---------------------------------
Pentagon panik! Lima rudal nuklir terbaru Rusia diarahkan ke AS !!
WASHINGTON DC – Provokasi Amerika Serikat (AS) yang menumpuk kekuatan militer di negara-negara Baltik mengepung Rusia, direaksi keras Moskow dengan mengarahkan moncong 5 rudal nuklirnya ke daratan AS.

Pentagon memastikan, ada 5 sinyal baterai pengaktifan rudal nuklir dari silo bawah tanah yang koordinatnya terbaca menuju ke beberapa kota besar di AS, diantaranya Los Angeles, Manhattan New York, Washington DC, Las Vegas dan Chicago.

breaking-newsDilansir Dekapfile, Senin (21/04/2014), ke-5 rudal nuklir yang diarahkan ke daratan AS itu didominasi oleh rudal balistik antarbenua generasi terbaru Rusia R-36M2 Voyevoda atau SS-18 ICBM (versi NATO).

Pentagon hingga kini menolak memberikan pernyataan resmi atas informasi bocor yang membuat para petinggi militer AS panik.

Namun Nate Christensen, juru bicara Pentagon menyebut, kegiatan pengaktifan 5 rudal nuklir itu terpantau melalui sistem pelacakan sinyal oleh pesawat AWACS milik AS yang melakukan patroli di atas wilayah negara-negara Eropa Timur.

AS pantas waspada dan panik, karena rudal ini lebih unggul dari rudal terbaru AS “Peacekeeper MX ICBM” yang memiliki 10 hulu ledak nuklir. Keunggulan R-36M2 selain juga memiliki 10 hulu ledak nuklir, rudal ini memiliki kecepatan hampir 8 kilometer per detik jauh di atas kecepatan MX ICMB milik AS yang mencapai 2 kilometer per detik.

R-36M2 ini menurut Christensen, adalah rudal terbaru Rusia yang dirancang khusus untuk menembus sistem perisai rudal milik AS.

“Dari informasi dan kajian kami, rudal tercanggih milik Rusia ini memiliki kemampuan manuver yang sangat baik,” ujar Christensen.

Komandan Pasukan Rudal Strategis Rusia Jendral Sergei Karakayev, tidak berkomentar atas reaksi Pentagon terhadap 5 rudal nuklir Rusia yang sinyal pengaktifannya terpantau oleh AS itu.

Karakayev hanya mengatakan, Rusia akan melakukan tindakan apa saja jika kedaulatan negaranya terancam oleh kekuatan asing.
SOE : JURNAL3.COM
*Kementerian Pertahanan Jepang mengkonfirmasi 6 jet tempur Rusia lalu lalang di jalur penerbangan pesawat kepresidenan AS jelang kedatangan ke Tokyo.
TOKYO, (IMD) – Krisis Ukraina makin menyulut ketegangan dan saling provokasi antara Rusia dan Amerika Serikat (AS).

Kementerian Pertahanan Jepang menyebut, jelang kedatangan Presiden Barack Obama ke Jepang, sebanyak 6 jet tempur Rusia terbang di dekat wilayah Jepang selama seminggu berturut-turut dan tepat di jalur pesawat kepresiden Air Force One yang akan ditumpangi Obama menuju Jepang.

Dilansir NHK News, Senin (21/04/2014), Menteri Pertahanan Jepang Itsunori Onodera, membenarkan, pesawat-pesawat tempur Rusia itu berada di jalur penerbangan yang akan dilalui pesawat Obama.

“Ini sangat aneh, karena kegiatan pesawat-pesawat militer Rusia seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan selama era Perang Dingin saja tidak pernah,” ujar Onodera.
Menteri Pertahanan Jepang menyebut aktivitas pesawat militer Rusia itu sangat aneh dan tidak normal. Yang mengkhawatirkan, jet-jet tempur Rusia itu terbang tepat di koordinat yang akan dilalui Air Force One.

“Masalahnya kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pesawat-pesawat itu di luar wilayah Jepang,” tegas Onodera.

Onodera mengaku sejauh ini tidak ada penjelasan resmi apa yang melatarbelakangi tindakan Rusia itu.
----------------------------------------
Diam-diam, Rusia dan AS siapkan peperangan besar?!
*Kehadiran AS dan NATO mengepung Rusia dipastikan membuat penguasa di Moskow tak tinggal diam.

WASHINGTON DC – Sumber-sumber militer di Kementerian Pertahanan Rusia, dengan jelas menyebut, Rusia dalam posisi siap perang dengan Amerika Serikat, menyusul makin banyaknya kehadiran militer AS di Eropa Timur.
Militer Rusia dikabarkan mempersiapkan skenario perang skala besar dan di pihak AS juga melakukan hal serupa.

William Jones, analisis politik dan militer AS kepada CBS News, Minggu (20/04/2014) menyebut, tak diragukan lagi Washington dan Moskow sedang mempersiapkan perang besar dengan meningkatkan pasukan di perbatasan Ukraina serta bersikukuh atas penumpukan militer di negara-negara tetangga.

“Ini sandiwara besar sedang dimainkan. Di satu sisi mereka berunding, namun persiapan perang sedang dilakukan. Itu bisa dilihat dari peningkatan pasukan AS di perbatasan timur Eropa, penumpukan pesawat tempur di negara-negara Baltik hingga ke Rumania, dan bahkan di semua negara yang berbatasan dengan Rusia. Sementara, pada saat yang sama Rusia juga mempertahankan kemampuan pertahanannya, dan ini benar-benar dalam situasi sebelum perang, kata William Jones.

Menurutm Jones, ini adalah kekhawatiran jelang perang yang paling mengerikan dalam sejarah manusia.
“Bisa kita bayangkan, dua negara itu adalah dua kekuatan nuklir dunia, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” tambahnya.
---------------------------------
Pentagon panik! Lima rudal nuklir terbaru Rusia diarahkan ke AS !!
WASHINGTON DC – Provokasi Amerika Serikat (AS) yang menumpuk kekuatan militer di negara-negara Baltik mengepung Rusia, direaksi keras Moskow dengan mengarahkan moncong 5 rudal nuklirnya ke daratan AS.

Pentagon memastikan, ada 5 sinyal baterai pengaktifan rudal nuklir dari silo bawah tanah yang koordinatnya terbaca menuju ke beberapa kota besar di AS, diantaranya Los Angeles, Manhattan New York, Washington DC, Las Vegas dan Chicago.

breaking-newsDilansir Dekapfile, Senin (21/04/2014), ke-5 rudal nuklir yang diarahkan ke daratan AS itu didominasi oleh rudal balistik antarbenua generasi terbaru Rusia R-36M2 Voyevoda atau SS-18 ICBM (versi NATO).

Pentagon hingga kini menolak memberikan pernyataan resmi atas informasi bocor yang membuat para petinggi militer AS panik.

Namun Nate Christensen, juru bicara Pentagon menyebut, kegiatan pengaktifan 5 rudal nuklir itu terpantau melalui sistem pelacakan sinyal oleh pesawat AWACS milik AS yang melakukan patroli di atas wilayah negara-negara Eropa Timur.

AS pantas waspada dan panik, karena rudal ini lebih unggul dari rudal terbaru AS “Peacekeeper MX ICBM” yang memiliki 10 hulu ledak nuklir. Keunggulan R-36M2 selain juga memiliki 10 hulu ledak nuklir, rudal ini memiliki kecepatan hampir 8 kilometer per detik jauh di atas kecepatan MX ICMB milik AS yang mencapai 2 kilometer per detik.

R-36M2 ini menurut Christensen, adalah rudal terbaru Rusia yang dirancang khusus untuk menembus sistem perisai rudal milik AS.

“Dari informasi dan kajian kami, rudal tercanggih milik Rusia ini memiliki kemampuan manuver yang sangat baik,” ujar Christensen.

Komandan Pasukan Rudal Strategis Rusia Jendral Sergei Karakayev, tidak berkomentar atas reaksi Pentagon terhadap 5 rudal nuklir Rusia yang sinyal pengaktifannya terpantau oleh AS itu.

Karakayev hanya mengatakan, Rusia akan melakukan tindakan apa saja jika kedaulatan negaranya terancam oleh kekuatan asing.
SOE : JURNAL3.COM






Kantor Polisi Diserang, Rusia-Ukraina di Ambang Perang

  • Internasional
  • 1
  • 15 Apr 2014 06:30

Kelompok Pro Rusia bentrok dengan warga Ukraina (Kyivpost)




Liputan6.com, Kiev- Beralihnya wilayah Crimea, Ukraina ke Rusia memicu ketegangan tingkat tinggi antara kedua negara. Sejumlah bentrokan terjadi. Yang terbaru, kantor polisi Ukraina diserang oleh ratusan orang pendukung Rusia.

Perdana Menteri Ukraina Oleksandr Turchynov mengatakan, negaranya saat ini sudah hampir masuk tingkat "perang" dengan Rusia. Dia geram dengan tindakan Rusia mengirim tentara ke Ukraina yang jelas bukan wilayah teritorialnya.

Ukraina kini melancarkan "operasi anti-terorisme skala penuh" sebagai respons atas penyerangan kantor polisi di Ukraina. Langkah Ukraina ini dinilai semakin membuat suasana semakin panas.

"Masalah mirip ketika ketegangan beberapa lalu terjadi di Crimea. Ini berjalan begitu cepat seperti kuda berlari," ujar Menteri Luar Negeri Belanda, seperti dimuat News.com.au, Selasa (15/4/2014).

Oleh karena itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadakan pertemuan darurat, mengenai krisis Ukraina, setelah Kiev melancarkan operasi militer menyusul tindakan pasukan pro-Rusia yang merebut beberapa gedung pemerintah di wilayah timur.

Duta Besar Nigeria, Joy Ogwu, yang negaranya mendapat giliran memimpin Dewan tersebut, mengundang 15 anggota untuk pertemuan umum pada Senin 14 April 2014 pukul 08.00 atau pukul 01.00 GMT. Pertemuan itu semula disebut sebagai "diskusi informal" yang akan dilakukan di tempat tertutup.

Itu merupakan pertemuan ke 10 DK PBB mengenai krisis Ukraina sejak pemimpin pro-Barat meningkatkan kekuasaannya di Kiev pada Februari 2014 untuk mengatasi protes berdarah menentang keputusan rejim lama yang menolak aliansi Uni Eropa dan berbalik ke Mowkow.

Seorang diplomat Barat mengatakan, pertemuan itu diminta oleh Rusia untuk menangani kasus deklarasi Ukraina dalam operasi menentang anti-terorisme karena dapat mengancam perdamaian dan keamanan.

Tindakan presiden Ukraina Oleksandr Turchynov mendeklarasikan "operasi anti-terorisme skala penuh" dilakukan hanya sehari setelah kelompok orang bertopeng menyerbu kantor polisi dan gedung-gedung layanan keamanan.

Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh Ukraina "memerangi rakyatnya sendiri" dan menghendaki agar DK PBB segera bertindak.
(Rizki Gunawan)
- See more at: http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=%5BS%5BHotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google#sthash.IvG3Q5Cs.dpuf

Kantor Polisi Diserang, Rusia-Ukraina di Ambang Perang

  • 15 Apr 2014 06:30
  • http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=[S[HotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google
Kelompok Pro Rusia bentrok dengan warga Ukraina (Kyivpost)




Liputan6.com, Kiev- 
Beralihnya wilayah Crimea, Ukraina ke Rusia memicu ketegangan tingkat tinggi antara kedua negara. Sejumlah bentrokan terjadi. Yang terbaru, kantor polisi Ukraina diserang oleh ratusan orang pendukung Rusia.
Perdana Menteri Ukraina Oleksandr Turchynov mengatakan, negaranya saat ini sudah hampir masuk tingkat "perang" dengan Rusia. Dia geram dengan tindakan Rusia mengirim tentara ke Ukraina yang jelas bukan wilayah teritorialnya.

Ukraina kini melancarkan "operasi anti-terorisme skala penuh" sebagai respons atas penyerangan kantor polisi di Ukraina. Langkah Ukraina ini dinilai semakin membuat suasana semakin panas.

"Masalah mirip ketika ketegangan beberapa lalu terjadi di Crimea. Ini berjalan begitu cepat seperti kuda berlari," ujar Menteri Luar Negeri Belanda, seperti dimuat News.com.au, Selasa (15/4/2014).

Oleh karena itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadakan pertemuan darurat, mengenai krisis Ukraina, setelah Kiev melancarkan operasi militer menyusul tindakan pasukan pro-Rusia yang merebut beberapa gedung pemerintah di wilayah timur.

Duta Besar Nigeria, Joy Ogwu, yang negaranya mendapat giliran memimpin Dewan tersebut, mengundang 15 anggota untuk pertemuan umum pada Senin 14 April 2014 pukul 08.00 atau pukul 01.00 GMT. Pertemuan itu semula disebut sebagai "diskusi informal" yang akan dilakukan di tempat tertutup.

Itu merupakan pertemuan ke 10 DK PBB mengenai krisis Ukraina sejak pemimpin pro-Barat meningkatkan kekuasaannya di Kiev pada Februari 2014 untuk mengatasi protes berdarah menentang keputusan rejim lama yang menolak aliansi Uni Eropa dan berbalik ke Mowkow.

Seorang diplomat Barat mengatakan, pertemuan itu diminta oleh Rusia untuk menangani kasus deklarasi Ukraina dalam operasi menentang anti-terorisme karena dapat mengancam perdamaian dan keamanan.

Tindakan presiden Ukraina Oleksandr Turchynov mendeklarasikan "operasi anti-terorisme skala penuh" dilakukan hanya sehari setelah kelompok orang bertopeng menyerbu kantor polisi dan gedung-gedung layanan keamanan.

Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh Ukraina "memerangi rakyatnya sendiri" dan menghendaki agar DK PBB segera bertindak.
(Rizki Gunawan)
- See more at: http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=%5BS%5BHotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google#sthash.IvG3Q5Cs.dpuf 
Rusia: AS Harus Bertanggung Jawab 
atas Pelanggaran di Kiev
Islam Times- http://www.islamtimes.org/vdcjvietvuqeayz.bnfu.html
"Mengapa mereka menunggu begitu lama untuk berbicara tentang pentingnya reformasi konstitusi? Mengapa mereka memutar prosesnya?" tanya Lavrov di konferensi itu.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas orang-orang yang mereka masukkan ke dalam kekuasaan di Ukraina bukannya mengeluarkan ultimatum ke Moskow.

Berbicara pada konferensi pers pada hari Senin, 21/04/14, Lavrov mengatakan pihak berwenang Kiev tidak ingin atau mungkin tidak dapat mengendalikan ekstrimis yang terus menerus mengendalikan situasi di negara itu.

Komentar Lavrov tersebut muncul setelah tiga orang pro-Rusia tewas pada Ahad kemarin dalam sebuah baku tembak dengan penyerang tak dikenal di sebuah pos pemeriksaan dekat kota Slovyansk.

Lavrov juga mengkritik pemerintah Kiev yang menurutnya telah melanggar perjanjian Jenewa sejak 17 April.

Lavrov menambahkan, pihak berwenang Kiev masih bingung mengenai pelaksanaan reformasi konstitusi di negara ini.

"Mengapa mereka menunggu begitu lama untuk berbicara tentang pentingnya reformasi konstitusi? Mengapa mereka memutar prosesnya?" tanya Lavrov di konferensi itu.

"Mereka tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan krisis yang mendalam di negeri ini," tambahnya lagi.

Menteri Luar Negeri Rusia memperingatkan semua upaya mengisolasi Rusia yang akan mengarah jalan buntu.


Bentrokan bersenjata hari Ahad tampaknya yang pertama sejak perjanjian internasional dicapai pekan lalu di Jenewa untuk meredakan ketegangan di timur Ukraina.

Kelompok separatis mengatakan, beberapa pria bersenjata dari kelompok nasionalis Sektor Kanan Ukraina menyerang mereka.

Sektor Kanan membantah peran apapun dan mengatakan pasukan khusus Rusia berada di balik bentrokan itu.

"Gencatan senjata selama Paskah telah dilanggar," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan.

"Provokasi ini ... menjadi saksi kurangnya kemauan dari pihak berwenang Kiev untuk mengendalikan dan melucuti gerakan nasionalis dan ekstremis", tambah pernyataan itu
. [IT/Onh/Ass]

AS Provokasi Rusia 
untuk Melakukan Perang Nuklir
IslamTimes. http://www.islamtimes.org/vdcawynei49n0a1.h8k4.html
Penyebaran pasukan NATO pimpinan AS di sekitar Rusia adalah provokasi yang bisa mempercepat konflik nuklir habis-habisan, kata seorang analis kepada Press TV, Minggu (20/4/14).
AS Provokasi Rusia untuk Melakukan Perang Nuklir

Penyebaran pasukan NATO pimpinan AS di sekitar Rusia adalah provokasi yang bisa mempercepat konflik nuklir habis-habisan, kata seorang analis kepada Press TV, Minggu (20/4/14).

"Rusia dan Amerika Serikat dan NATO adalah negara berkekuatan nuklir. Jika perang dimulai bahkan pada konvensional atau tingkat pertempuran, ini dapat dengan cepat meningkat untuk perang nuklir dan kemudian seluruh manusia akan dipertaruhkan, kata William Jones, dari majalah berita Executive Intelligence Review, dalam sebuah wawancara PressTV.

Dia menambahkan bahwa perang nuklir tidak akan bermanfaat bagi siapa pun, tetapi ada banyak orang, yang akan mendorong ide penggunaan senajta ini, dan berpikir entah bagaimana mereka dapat memenangkan perang itu. "

Jones memperingatkan konsekuensi dari rencana NATO pimpinan AS untuk meingkatkan jumlah pasukan militernya lebih dekat ke Rusia, mengatakan, hal itu akan memprovokasi Rusia untuk bereaksi lebih cepat.

Pernyataan Jones datang setelah laporan mengatakan bahwa Washington berencana untuk mengirim pasukannya ke Polandia dan Estonia untuk melakukan latihan dengan sekutu-sekutunya.

Latihan yang direncanakan oleh AS merupakan bagian dari rencana untuk memperluas kehadirannya di Eropa Timur. Selama dua bulan terakhir, AS telah meningkatkan kehadiran di Eropa Timur sebagaiman Ukraina bergulat dengan krisis spiral.

Ketegangan antara kekuatan Barat dan Moskow meningkat setelah Crimea menyatakan kemerdekaan dari Ukraina dan secara resmi diterapkan menjadi bagian dari Federasi Rusia menyusul referendum pada 16 Maret.
(IT/TGM)

Krisis Ukraina
Analis: NATO Berusaha Seret Rusia 
Kedalam Perang Nuklir
Islam Times- http://www.islamtimes.org/vdceze8xojh8fvi.rabj.html
"Rusia, Amerika Serikat dan NATO adalah kekuatan nuklir. Jika perang dimulai, bahkan pada tingkat konvensional atau pertempuran, ini dapat dengan cepat meningkat menjadi perang nuklir, dan kemudian seluruh umat manusia dipertaruhkan,"
Perang Nuklir.jpg
Perang Nuklir.jpg

Penyebaran pasukan NATO di sekitar Rusia adalah provokasi yang akan meningkatkan konflik nuklir habis-habisan.

Pernyataan itu diutarakan oleh analis politik, William Jones pada Ahad, 20/04/14, dalam sebuah wawancara dengan Press TV.

"Rusia, Amerika Serikat dan NATO adalah kekuatan nuklir. Jika perang dimulai, bahkan pada tingkat konvensional atau pertempuran, ini dapat dengan cepat meningkat menjadi perang nuklir, dan kemudian seluruh umat manusia dipertaruhkan," jelas William Jones, dari Executive Intelligence Review.


Menurutnya, perang nuklir tidak akan bermanfaat bagi siapa pun tetapi ada banyak orang yang justru mendorong (tidak tahu) atau bagaimana (mereka) berpikir, dan entah bagaimana mereka dapat memenangkan perang itu," katanya.

Jones juga memperingatkan konsekuensi "buruk" dari rencana NATO pimpinan AS yang meningkatkan pasukan militernya dekat perbatasan Rusia dan mengatakan hal itu memprovokasi Rusia untuk bereaksi.

Analis itu memperingatkan, NATO terlihat "menarik garis batas Perang Dingin dengan percaya diri dan ini mendorong mereka lebih jauh ke timur."

Namun, William meragukan niat NATO membawa stabilitas terkait krisis yang melanda Ukraina.

Dikatakannya, pemerintah Rusia takut bahwa aliansi mungkin memiliki niat lain , termasuk membawa Ukraina ke orbitnya sendiri.

"Dan saya pikir itu adalah jalur perjalanan. Itu adalah jalur perjalanan perang jika langkah-langkah yang diambil secara efektif bisa menarik Ukraina dari semua hubungan, semua hubungan yang efektif dengan Rusia, maka saya berpikir itu sangat dekat dengan ‘casus belli’ (Aksi atau insiden yang memicu peperangan)," kata Jones
.[IT/r]

 Geneva cover for US warpath on Russia


Armed pro-Russia protesters on Sunday guard a police building seized by separatists in Slavyansk, Ukraine.

         

Armed pro-Russia protesters on Sunday guard a police building seized by separatists in Slavyansk, Ukraine.
Sun Apr 20, 2014 2:15PM GMT
http://www.presstv.ir/detail/2014/04/20/359358/geneva-cover-for-us-warpath-on-russia/


By Finian Cunningham
Related Interviews:
The Geneva deal signed at the end of last week by the US and Russia to de-escalate tensions in Ukraine is being used by Washington as a cover for inciting more conflict with Moscow.

The ostensible purpose of "de-escalating conflict" is but a cynical misnomer. Washington intends to continue its long-term strategic encirclement of Russia and military aggression.

In signing the document in Geneva last Thursday, Russia no doubt did so in good faith with the objective of calming the unrest in Ukraine and trying to engage US-led NATO forces in a constructive dialogue. 

But Moscow may have made a fatal error. The Geneva summit called by the US was attended by Russia, the European Union and a delegation from the NATO-backed junta in Kiev, which seized power illegally from the elected authorities back in February.

The junta in Kiev is characterized by fascist politics, with several of its self-proclaimed ministers belonging to the neo-Nazi Svoboda party. It has no legal mandate from the people of Ukraine - a fact that has sparked widespread protests in the east of the country where the population is mainly pro-Russian and opposed to the fascist coup plotters in Kiev.

Nevertheless Western governments and media have anointed the unelected regime in Kiev as "the government of Ukraine". Even though there is abundant evidence that the CIA-backed regime came to power by orchestrating mass murder of civilians during the infamous sniper shootings in Kiev's Maidan Square on February 20. The coup plotters that subsequently expropriated government offices in Kiev should therefore be subject to a criminal investigation, not lauded and feted as "ministers".

By attending the Geneva conference under the Washington-sponsored framework, Russia has effectively conceded legitimacy to the regime in Kiev. Previously, Moscow had insisted that the deposed President Viktor Yanukovych and his electoral mandate from 2010 was the remaining sovereign authority of Ukraine. Moscow now seems to have acquiesced to the American-backed regime change.

While the Geneva document calls for disarmament of all groups across Ukraine and the vacating of all illegally occupied public buildings, the strictures are being applied in a unilateral manner - against the pro-Russian, anti-Kiev protesters in the east and south of Ukraine. The regime in Kiev and its neo-Nazi shock troops in the paramilitary Right Sector are asserting that the disarmament obligations do not apply to them.

Indeed, over the weekend three pro-Russian civilians were shot dead at a checkpoint outside the city of Slavyansk after gunmen in cars opened fire. The attack is believed to have been carried out by the Kiev-based Right Sector paramilitaries, according to Itar-Tass reports.

More ominously, the Kiev junta is threatening to resume its "anti-terror" crackdown on the protesters in the east with the deployment of Ukrainian national armed forces - if the demonstrators do not immediately disband and hand over their weapons.

While US Secretary of State John Kerry was signing the "de-escalation" document in Geneva, Washington announced that it was to begin sending "non-lethal" military aid to the regime in Kiev. This is the same ruse that Washington has played in Syria where similar claims of "non-lethal" military aid to anti-government "rebels" is belied by US supplied anti-tank missiles and involvement of covert Special Forces. 

So not only has a criminal coup in Ukraine been legitimized; it is now being openly armed to crush civilian protesters in large swathes of the country, which are opposed to the NATO-backed seditionists in Kiev.

Regrettably, Russia has allowed this development by participating in the Geneva forum last week.

What Moscow should have insisted on was for other groups from the east and south of Ukraine to have been permitted to attend the Geneva summit and to voice their grievances on equal terms. At all times, the illegal NATO-installed Kiev regime should in no way be referred to as the "government of Ukraine".

Moreover, what is even more problematic about the so-called Geneva deal is that Washington and its European allies, with full amplification from the dutiful Western media, are henceforth placing the burden for "de-escalation" of tensions and conflict in Ukraine squarely on Moscow.
If the pro-Russian protest groups in eastern and southern cities of Donetz, Kharkov, Lugansk, Slavyansk and Odessa, among other places, do not disarm and disband - that is, surrender - then Russia will be blamed for "continuing agitation".

The signs are that Washington is thus preparing a self-fulfilling prediction. Within hours of the Geneva document being signed, US Defense Secretary Chuck Hagel was telling his Polish counterpart that up to 10,000 American troops would be deployed in that country. That move is an integral part of the ongoing rapid expansion of NATO air, sea and ground forces in the Baltic countries of Lithuania, Latvia and Estonia, as well as in Romania, Bulgaria and the Black Sea.

In other words, while Russia signs a "de-escalation" commitment, Washington continues its strategic military encirclement of Russia in violation of past NATO promises to Moscow that it would not do so.

Also, no sooner had the Geneva conference wrapped up, US President Barack Obama was then casting doubts on Russian cooperation and said his administration was drawing up new harder-hitting economic sanctions against Moscow.

As the New York Times reported over the weekend: "Mr Obama is focused on isolating President Vladimir V Putin's Russia by cutting off its economic and political ties to the outside world, limiting its expansionist ambitions in its own neighborhood and effectively making it a pariah state."

Meanwhile, the Washington Post claimed: "Concerns have been especially acute in the three Baltic nations that were once part of the Soviet empire and now fear that they could be next on Russian President Vladimir Putin's hit list."

The belligerent rhetoric and mentality in Washington - referring to Russia as "a pariah state" and Putin's "hit list" - is not just a travesty of the real NATO causes of regime change and upheaval in Ukraine. It also shows that the US is set on a collision course with Moscow.

The Geneva so-called accord is merely a cover for Washington to pursue its aggressive military agenda towards Russia.
FC/SL





Kantor Polisi Diserang, Rusia-Ukraina di Ambang Perang

  • Internasional
  • 1
  • 15 Apr 2014 06:30

Kelompok Pro Rusia bentrok dengan warga Ukraina (Kyivpost)




Liputan6.com, Kiev- Beralihnya wilayah Crimea, Ukraina ke Rusia memicu ketegangan tingkat tinggi antara kedua negara. Sejumlah bentrokan terjadi. Yang terbaru, kantor polisi Ukraina diserang oleh ratusan orang pendukung Rusia.

Perdana Menteri Ukraina Oleksandr Turchynov mengatakan, negaranya saat ini sudah hampir masuk tingkat "perang" dengan Rusia. Dia geram dengan tindakan Rusia mengirim tentara ke Ukraina yang jelas bukan wilayah teritorialnya.

Ukraina kini melancarkan "operasi anti-terorisme skala penuh" sebagai respons atas penyerangan kantor polisi di Ukraina. Langkah Ukraina ini dinilai semakin membuat suasana semakin panas.

"Masalah mirip ketika ketegangan beberapa lalu terjadi di Crimea. Ini berjalan begitu cepat seperti kuda berlari," ujar Menteri Luar Negeri Belanda, seperti dimuat News.com.au, Selasa (15/4/2014).

Oleh karena itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadakan pertemuan darurat, mengenai krisis Ukraina, setelah Kiev melancarkan operasi militer menyusul tindakan pasukan pro-Rusia yang merebut beberapa gedung pemerintah di wilayah timur.

Duta Besar Nigeria, Joy Ogwu, yang negaranya mendapat giliran memimpin Dewan tersebut, mengundang 15 anggota untuk pertemuan umum pada Senin 14 April 2014 pukul 08.00 atau pukul 01.00 GMT. Pertemuan itu semula disebut sebagai "diskusi informal" yang akan dilakukan di tempat tertutup.

Itu merupakan pertemuan ke 10 DK PBB mengenai krisis Ukraina sejak pemimpin pro-Barat meningkatkan kekuasaannya di Kiev pada Februari 2014 untuk mengatasi protes berdarah menentang keputusan rejim lama yang menolak aliansi Uni Eropa dan berbalik ke Mowkow.

Seorang diplomat Barat mengatakan, pertemuan itu diminta oleh Rusia untuk menangani kasus deklarasi Ukraina dalam operasi menentang anti-terorisme karena dapat mengancam perdamaian dan keamanan.

Tindakan presiden Ukraina Oleksandr Turchynov mendeklarasikan "operasi anti-terorisme skala penuh" dilakukan hanya sehari setelah kelompok orang bertopeng menyerbu kantor polisi dan gedung-gedung layanan keamanan.

Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh Ukraina "memerangi rakyatnya sendiri" dan menghendaki agar DK PBB segera bertindak.
(Rizki Gunawan)
- See more at: http://news.liputan6.com/read/2037138/kantor-polisi-diserang-rusia-ukraina-di-ambang-perang?utm_campaign=%5BS%5BHotTopics_news_12748%28160414%29%3AUkraina_Rusia&utm_medium=cpc&utm_source=google#sthash.IvG3Q5Cs.dpuf

Analisis

29-03-2014
Ukraina Dalam Perspektif Geopolitik Zbigniew Brzezinski
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=15037&type=4#.U1PlLqL3tkh
Penulis : M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute


Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina merupakan Poros Geopolitik yang cukup penting dan strategis di kawasan Eurasia, dan harus berada dalam lingkup pengaruh Amerika dan Uni Eropa. Maka, diluncurkanlah Skenario Revolusi Warna, sebagai bagian integral dari Perang Asimetris AS untuk menaklukkan Ukraina. Dan Membendung Pengaruh Rusia.

Seperti telah diurai pada bagian awal kajian kami, penggulingan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich sesungguhnya merupakan gerakan terencana dan sistematis berkat kerjasama antara partai-partai oposisi dengan bantuan Amerika Serikat dan Uni Eropa, khususnya Jerman. Hal tersebut terlihat jelas ketika Presiden Yanukovich memutuskan untuk menerima bantuan dari Rusia dan menunda kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa, lalu dengan serta merta sebagian rakyat Kiev, Ibu Kota Ukraina, meletup dan meledak dalam gelombang demonstrasi anti Yanukovich.

Bisakah gelombang demonstrasi dan serangkaian kerusuhan politik di Kiev tersebut bisa kita kategorikan sebagai gerakan revolusi? Sepertinya tidak. Karena kalau kita cermati dengan seksama, aksi massa tersebut tergolong brutal dan penuh kekerasan. Kejam dan tak bermoral karena selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke banyak orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dan lain sebagainya. Ketika ada anggota massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban pertama dalam dua bulan unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat penembakan justru aksi pun semakin meluas, bahkan sudah berani merambah ke timur Ukraina, wilayah basis dimana massa Yanukovich berada.  

Masuk akal jika Presiden Putin menggambarkan unjuk rasa tersebut seperti penghancuran daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi tersebut sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa.

Namun, benarkah sikap Yanukovich yang lebih berpihak pada Rusia dan menolak tawaran kerjasama dengan Uni Eropa merupakan satu-satunya penjelasan di balik gelombang demonstrasi warga Kiev untuk menjatuhkan Yanukovich?

Ukraina dalam Desain Politik Zbigniew Brzezinski

Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina sebenarnya sudah dipetakan oleh Amerika Serikat sejak 1997.  Zbigniew Kazimierz Brzezinski, mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di era pemerintahan Jimmy Carter pada periode 1977-1981, menerbitkan sebuah buku yang cukup menarik bertajuk The Grand Chessboard pada 1997.  Dalam buku yang cukup menarik tersebut, Brzezinski menulis, “Ukraina, ruang baru dan penting pada papan catur Eurasia, merupakan poros geopolitik karena sangat penting keberadaannya sebagai negara merdeka, untuk membantu mengobah Rusia.


Tanpa Ukraina, lanjut, Brzezinski, tidak akan mungkin lagi menjadi sebuah imperium di kawasan Eurasia. Dan jika satu saat Moskow mendapatkan kembali kontrol atas Ukraina, maka dengan 52 juta orang berikut sumberdaya utama serta akses ke Laut Hitam, Rusia otomatis bakal mendapatkan kembali kedigdayaannya untuk menjadi negara kekaisaran (imperium) yang kuat, mencakup kawasan Eropa dan Asia.


Maka itu, dalam bukunya The Grand Chessboard, Brzezinski secara tajam dan rinci menguraikan makna dan hakekat dari Poros Geopolitik.


Menurut mantan penasehat keamanan nasional Jimmy Carter yang saat ini juga merupakan arsitek kebijakan politik luar negeri Presiden Barrack Obama, yang dimaksudkan sebagai Poros Geopolitik adalah negara-negara yang nilai pentingnya bukan berasal dari kekuasaan atau motivasinya, melainkan dari lokasi geografisnya yang cukup sensitive.  


Sehingga dalam beberapa kasus, negara-negara yang masuk kategori Poros Geopolitik tersebut, memainkan peran khusus, yang barang tentu secara geopolitik punya nilai yang cukup strategis. Baik untuk memberikan akses ke wilayah-wilayah penting terhadap suatu negara tertentu, atau sebaliknya, menolak untuk dijadikan negara satelit sebuah negara adidaya (seperti Rusia).


Dalam perspektif geopolitik tersebut, Brzezinski memasukkan beberapa negara pecahan Uni Soviet sebagai Poros Geopolitik seperti: Ukraina, Azerbaijan, Korea Selatan, Turki dan Iran.


Bukan sebuah kebetulan bahwa Ukraina dan Azerbaijan yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet, saat ini sudah negara merdeka lepas dari kedaulatan Rusia. Krisis politik yang terjadi di Ukraina pada Februari 2014 dan berakhir dengan tumbangnya Presiden Yanukovich, nampaknya harus dipahami dalam perspektif geopolitik Brzezinski. Bahwa Ukraina, yang merupakan salah satu Poros Geopolitik di kawasan Eurasia, harus berada dalam orbit pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Uni Eropa dan NATO.

Seperti yang ditegaskan oleh Brzezinski dalam The Grand Chessboard, “Eurasia merupakan papan catur di mana perjuangan bagi keunggulan global harus tetap dimainkan Amerika.” Inilah aspek penting yang amat berguna untuk menjelaskan mengapa Amerika dan Uni Eropa begitu intensif membantu kelompok-kelompok oposisi baik di parlemen maupun luar parlemen,untuk mendukung elit-elit kepemimpinan Ukraina yang pro Amerika dan Uni Eropa.


Zbigniew Brzezinski Arsitek Politik Luar Negeri Barrack Obama


Sekilas tentang Brzezinski terkait peran dan pengaruhnya dalam proses pembuatan kebijakan strategis luar negeri AS dulu dan sekarang. Saat ini Brzezinski masih merupakan arsitek politik luar negeri Obama dari belakang layar. Sebuah peran yang cukup strategis mengingat ruang lingkup kewenangannya dalam memberi arah dan perumusan kebijakan strategis Amerika dalam bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Intelijen.  


Sejak Carter tumbang dari kekuasaan karena dikalahkan oleh Ronald Reagan dari Partai Republik pada 1980, maka Brzezinski beserta klannya pun ikut tergusur dari Gedung Putih.  


Sekarang pada era kepresidenan Obama, Brzezinski menurut informasi dari berbagai sumber, merupakan salah satu tokoh sentral dalam mendesain kebijakan politik luar negeri Amerika. 


Radikalisasi Terhadap Rusia


Menurut berbagai sumber, adalah Brzezinski yang berada di balik sikap radikal pemerintahan Obama terhadap Rusia akhir-akhir ini. Meskipun dilancarkan secara tidak langsung dan tersamar.  


Salah satunya adalah dengan manuver militer NATO, suatu aliansi pertahanan antara Amerika dan Eropa Barat, dengan menggelar latihan militer di Georgia pada Mei 2009 lalu. Georgia merupakan negara pecahan Rusia yang berbatasan langsung dengan negara beruang merah tersebut.


Memang sulit untuk tidak dikatakan sebagai provokasi mengingat latihan militer yang digelar sejak 6 Mei 2009 lalu itu berdekatan waktunya dengan Hari Kemenangan Uni Soviet pada Perang Dunia II melawan NAZI Jerman pada 9 Mei 1945.

Namun Rupanya, peristiwa serbuan militer Rusia terhadap Georgia pada Agustus 2009, oleh Presiden Dmitri Medvedev sebagai pertanda bahwa kekuatan militer Rusia masih cukup membanggakan. Tak pelak lagi ini merupakan bagian dari perang urat syaraf pihak Rusia merespons provokasi Amerika dan NATO di Georgia.

Hal ini nampak jelas ketika Vladimir Putin yang kala itu menjabat Perdana Menteri, pada 10 Mei 2009 lalu menegaskan bahwa latihan gabungan NATO di Georgia merupakan upaya merusak hubungan Rusia-Amerika Serikat. Sekaligus memicu ketegangan di Kaukasus.


Dari berbagai sumber yang dihimpun oleh tim Global Future Institute, Brzezinski nampaknya berada di balik provokasi NATO di Georgia sebagai pemanasan untuk memulai ketegangan baru hubungan Amerika-Rusia. 


Menurut Webster Griffin Tarpley, dalam bukunya Obama the Posmodern Coup, menginformasikan bahwa Obama telah dibina secara intensif oleh Brzezinski sejak 1981-1983, ketika Obama belajar ilmu politik dan hubungan internasional di Universias Colombia.  


Ini jelas sebuah informasi yang cukup baru mengingat fase di Unviersitas Colombia ini belum pernah diungkap oleh berbagai buku biografi Obama sebelumnya. Karena menurut Tarpley, di sinilah Obama masuk dalam pembinaan jaringan yang terdiri dari kelompok  CIA berhaluan kiri-tengah, National Endowment for Democracy (NED), the Soros Foundation, klik dari Brzezinski.


Menurut Tarpley, seluruh rancangan Brzezinski didasari obsesi untuk menaklukkan Rusia di semua sektor. Karena itu manuver NATO dengan menggelar latihan militer di Georgia memang bisa dibaca sebagai bagian dari provokasi untuk memperhadapkan Rusia dengan negara-negara bekas pecahan Soviet, khususnya yang berbatasan langsung dengan Rusia.


Selain itu, ketegangan NATO-Rusia semakin meningkat ketika NATO mengembangkan kekuatannya di Asia Timur dan sistem pembangunan sistem rudal Amerika di dua bekas anggota Soviet yaitu Republik Ceko dan Polandia. Sekadar informasi, Brzezinski itu sendiri merupakan warga Amerika kelahiran Polandia.

Nampaknya Brzezinski memang layak untuk dicermati dalam memainkan perannya sebagai perancang politik luar negeri Obama. Peredaan ketegangan yang diisyaratkan oleh Obama kepada Iran bukan tidak mungkin memang dimaksudkan untuk menahan nafas barang sejenak. Bukan benar-benar ditujukan untuk menciptakan perdamaian dunia. 


Iran dan negara-negara Timur Tengah nampaknya untuk sementara tidak akan jadi fokus perhatian Amerika. Brzezinski nampaknya membidik Afrika sebagai sasaran utama.Tujuannya, adalah melumpuhkan pengaruh Cina dalam mengakses sumber-sumber minyak di benua Afrika.
 

Manuver multilateral terhadap Presiden Omar Bashir dari Sudan dengan dalih terlibat dalam kejahatan perang, nampaknya bukan murni masalah hukum internasional. Ini adalah manuver Amerika dari balik layar untuk melumpuhkan pengaruh Cina di Sudan.  

Dalam perhitungan Brzezinski, dengan terbendungnya Cina di kawasan Afrika dalam mengakses  minyak, pada perkembangannya akan memaksa Cina untuk bergerak ke laut Siberia dalam rangka mendapatkan akses minyak.

Jika skenario Brzezsinski ini berjalan mulus, maka tak pelak lagi ini akan memicu konflik antara Rusia dan Cina. Padahal saat ini Cina dan Rusia bekerjasama cukup erat di bidang ekonomi dan pertahanan melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).

Kalau ini berjalan, maka Brzezinski dalam rancanangan politik luar negeri Amerika, memang bermaksud untuk memecah-belah Rusia dan Cina.

Bagi para perancang kebijakan strategis di Washington, buku karya Brzezinski tersebut pada dasarnya harus dipandang sebagai cetak biru (blueprint) politik luar negeri Amerika.

Bisa dimengerti jika sejak 1991 Amerika dan sekutu-sekutu eropa baratnya telah memberi bantuan keuangan sebesar 5 miliar dolar AS untuk Ukraina. Ukraina dalam perspektif Poros Geopolitik Brzezinski, harus tetap berada dalam lingkup pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam Uni Eropa.


Untuk lebih memahami secara utuh dan lengkap, berupaya mempertahankan lingkup pengaruhnya di Ukraina, maka marilah kita kilas balik sejenak mengenai apa yang terjadi dalam Revolusi Oranye di Ukraina pada 2004-2006.

Memahami Hakekat Revolusi Warna Sebagai Perang Asimetris AS

Bermula dari istilah media Barat dalam rangka menggambarkan gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an ke atas. Revolusi Berwarna atau sering disebut “revolusi warna” kini semakin populer, karena sesungguhnya bukanlah suatu gejolak biasa namun merupakan setting politik praktis di berbagai belahan dunia mengatas-namakan gerakan rakyat. Unik memang, sebutan bagi setiap gerakan selalu mengambil nama-nama serta mengadopsi warna bunga sebagai simbolnya.


Selain berciri tanpa kekerasan (nonviolent resistance), penting dicatat pada awal tulisan ini bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peranan teramat vital dalam gerakan ini. Dengan kata lain, LSM termasuk kelompok pemuda serta mahasiswa ialah ujung tombak bagi skenario ganti rezim di suatu negara.


Adapun tuntutan yang diusung dalam revolusi non kekerasan ini berkisar isue-isue global antara lain demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), korupsi, kemiskinan, akuntabilitas dan lainnya. Ia punya pola-pola bersifat umum karena berpedoman buku wajib yang sama yakni “From Dictatorship To Democracy”-nya Gene Sharp, sarjana senior di Albert Einstein Institute (AEI). Dan seringkali lambang dan slogan gerakan massa pun sama pula.

Begitulah, revolusi warna memang sedari awal merupakan sebuah bentuk Perang Asimetris AS dan Uni Eropa, sebagai Perang dengan mendayagunakan sarana-sarana non-militer, untuk menguasai wilayah geopolitik Ukraina agar berada dalam lingkup pengaruhnya.


Kalau kita telisik ke belakang, skenario revolusi warna memang cukup berhasil mereka lancarkan di beberapa negara. Seperti revolusi yang menerjang bekas negara Pakta Warsawa di Yugoslavia (2000), revolusi mawar di Georgia (2003), revolusi oranye di Ukraina (2004), revolusi tulip di Kyrgystan (2005), revolusi cedar di Lebanon (2005) dan lainnya, termasuk gejolak yang kini tengah melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) terdapat kemiripan logo “Tangan Mengepal”, dan slogan singkat yang artinya “CUKUP” sesuai bahasa negara-negara sasaran. Misalnya di Mesir bernama Kifaya (cukup), di Georgia disebut Kmara (cukup), di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan berslogan Kelkel (zaman baru) dan seterusnya.

Agaknya slogan dalam revolusi warna itu ibarat “ruh gerakan” guna menyatukan semangat massa sekaligus sebagai tujuannya. Artinya kendati tidak selamanya demikian, namun inti maknanya ingin mengakhiri rezim berkuasa tanpa harus banyak darah mengucur.


Dan skenario revolusi warna ini, memang disiapkan secara sistematis dan terencana sejak awal. hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi dari gerakan-gerakan selama ini berbasis kurikulum yang bersumber dari bukunya Gene Sharp di atas. Dan ternyata diajarkan oleh Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan bagi pengunjuk rasa tanpa kekerasan yang logonya Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju.


Konon CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan sebagainya. Adakah para demonstran Indonesia termasuk yang dilatihnya? Kita lihat saja nanti, yang jelas seluruh elemen bangsa di tanah air harus tetap waspada.

Ya, melawan rezim tanpa senjata merupakan methode baku bahkan menjadi kunci strategi untuk kesuksesan revolusi model ini. Sasarannya ialah memanipulasi serta mencuri simpati publik melalui support media massa dan jejaring sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lainnya.


Pertanyaannya adalah, apakah skenario revolusi warna masih tetap dipertahankan ruhnya oleh Amerika dan sekutu-sekutunya di Uni Eropa untuk mempertahankan lingkup pengaruhnya di Ukraina dan negara-negara eks Uni Soviet lainnya?


Benar. Revolusi Warna sebagai bagian dari desain kebijakan luar negeri AS dan sekutu-sekutunya, pola dan strategi gerakannya hendak disamakan oleh AS ketika dulu sukses melumpuhkan Pakta Warsa, yaitu dengan mengangkat isue-isue soal HAM, korupsi, atau kediktatoran rezim sebagai materi tuntutannya; kemudian menggunakan LSM guna menciptakan opini publik melalui media massa agar timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah; lalu ada blow up media dan jejaring sosial secara gencar dan seterusnya.


Sasaran antara ialah destabilisasi dan kerusuhan sosial di suatu negara, dimana ujung semuanya ialah meminta intervensi internasional dan hadirnya pasukan asing!

Memang selain terdapat pola yang sama di setiap gerakan massa di berbagai negara, juga ada benang merah yang tidak boleh diabaikan, yakni kekuatan asing yang berada di balik semua gerakan malah terlindungi dan aman-aman saja — asyik meremot dari kejauhan. Kenapa justru hal ini dilupakan oleh publik?


Melacak revolusi warna sungguh menarik, apalagi ketika Michel Chossudovsky berasumsi bahwa Occupy Wall Street atau “Menempati Wall Street”, yaitu gerakan akar rumput yang kini marak di seluruh AS, bahkan telah merambah hingga ke Australia dan beberapa  negara Eropa, juga disinyalir sebagai revolusi berwarna.

Indikasi ini terlihat ketika banyak LSM yang terlibat gerakan justru sangat tergantung pendanaannya dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller, McArthur, Tides dan lainnya. CANVAS pun terlibat. Ivan Marovic, salah seorang pimpinan CANVAS memberikan statement perihal gerakan protes di New York bahwa tidak ada yang spontan dalam sebuah “peristiwa revolusioner” (16 Oktober 2011, www. globalresearch.ca). Bukankah ia adalah anak organisasi NED, LSM seribu proyek milik Pentagon?


Politik praktis memang apa yang tersirat bukan yang tersurat, kata Pepe Escobar. Maka merujuk judul tulisan sederhana ini bahwa revolusi warna adalah virus ganti rezim dimanapun berada termasuk bisa menyerang AS itu sendiri, negeri tempat kelahiran sang virus. Apa boleh buat. Itulah yang mungkin sedang terjadi. Termasuk yang sedang dialami Ukraina saat ini. Meski dalam perjalannya, skenario Revolusi Warna sepertinya menghadapi banyak kendala, yang nampaknya pada akhirnya akan menemui kegagalan. 

Peta dan Kondisi Politik Ukraina 
http://www.academia.edu/6337993/Peta_Politik_dan_Intervensi_Asing
 

Pembagian dua Kubu tersebut bermula saat Presiden Ukraina sebelumnya, yaitu Leonid Kucma dituduh melakukan-korupsi-besar-2an yang membuat rakyat Ukraina menuntut dirinya untut mundur, setelah Kuchma menyatakn untuk mundur dari kursi presidennya, terdapat dua kandidat presiden yang berbeda haluan dimana masing-masing memiliki suara yang kuat di mata rakyat Ukraina saat itu, yaitu Viktor Yuschenko yang berhaluan ‘barat’ (yang dimaksud barat disini adalah US, UE, dan NATO), dan Viktor Yanukovich dimana pada Presiden Leonid Kuchma menjabat beliau menjadi Perdana Menteri Ukraina saat itu dan juga lebih berhaluan kearah kerjasama Rusia. 
Pada Pemilu 2004 Yanukovich memenangkan kursi Presiden dengan perolehan suara sekitar 49,5% sedangkan Yuschenko 46,5%, namun akibat isu-isu yang beredar didalam masyarakat Ukraina bahwa adanya indikasi pemalsuan suara serta kabar mengenai praktik pembunuhan Yuschenko oleh pihak Yanukovich membuat rakyat bergerak untuk memprotes hasil dari pemilu yang telah berlangsung, demonstrasi inilah yang selanjutnya dikenal dengan nama Revolusi Oranye mengingat tanda tangan Yuschenko pada saat kampanye yang berwarna oranye. Revolusi tersebut akhirnya membuat Mahkamah Agung Ukraina membatalkan hasil pemilu dan mengamandemen undang-undang pemilu serta diadakannya pemilu Ulang. Pada tanggal 26 Desember 2004-diputuskan bahwa Yuschenko memenangkan pemilu presiden dengan suara sebanyak 52% sedangkan Yanukovich 44,2%. Presiden Yuschenko juga mengangkat Yulia Tymoshenko, salah satu tokoh Revolusi Oranye untuk menjadi Perdana Menteri Ukraina yang sebelumnya merupakan wakil perdana menteri pada masa kepemerintahannya Leonid Kuchma.
 
keterangan: kuning: basis suara kubu Yuschenko biru: basis suara Kubu Yanukovich. 
Namun setelah satu tahun Yuschenko menjabat sebagai Presiden, Rakyat memandang bahwa tidak terjadinya perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan Perdana Menteri Tymoshenko untuk menguasi bidang-bidang strategis Ukraina yang berujung pada pemberhentian Tymoshenko sebagai Perdana-Menteri serta Masalah Pipa gas Rusia-Ukraina membuat popularitas Yuschenko menurun drastis, Dalam pemilihan parlemen pada tanggal 26 Maret 2006 partai Yuschenko hanya mendapat 81 kursi, atau sebanding dengan 3,56 juta suara dengan kata lain Yushcenko hanya mendapatkan persentase suara sebanyak 14% dari jumlah suara rakyat. Betapa drastis, sekitar 2/3 suara pemilihnya hilang daripada perolehan awal. Kondisi tersebut sangat berbanding terbalik-dengan suara yang diperoleh Partai-Yanukovich dan Partai Tanah Air Tymoshenko dengan perolehan suara yang sama sebanyak 32% dan partai Tymoshenko yang memperoleh 32% suara pada kursi   parlemen (Pranoto, 2014). 
 

Kondisi KondisiKondisi dimana tidak ada suara mayoritas tersebut itulah yang mendorong terjadinya kubu-kubu internal dalam parlemen dimana partai Tymoshenko tetap tidak mau berkompromi dengan partai Yanukovich yang menyarankan agar cenderung berpihak pada Rusia, dimana hal tersebut sangat berkebalikan dengan tujuan Tymoshenko untuk berkerjasama dengan negara barat dan berintegrasi dengan Uni Eropa. Kondisi-tersebut membuat Yuschenko sulit mengambil keputusan pengangkatan Perdana-Menteri, karena hal tersebut kiranya akan menimbulkan dua implikasi, yaitu pembubaran kabinet parlemen dan menyelenggarakan ulang pemilu, sedangkan pilihan yang kedua adalah menerima Yanukovich. 
Kiranya Pilihan pertama membawa dua implikasi, antara lain: 
(1) tak-ada jaminan pemilu akan menghasilkan perubahan signifikan pada komposisi partai-partai di-parlemen. Akibatnya kebuntuan-politik niscaya berlanjut. Kekosongan kekuasaan akan-menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif. 
Ujung-ujungnya rakyat bakal meminta revolusi lagi. Itu berarti melengserkan Yushchenko sendiri; 
(2) Yushchenko tidak yakin partainya mampu meraup suara signifikan, bahkan diperkirakan kursi partainya akan mengecil (Pranoto, 2014). Dan yang kedua adalah menerima Yanukovich, mengapa bukan Tymoshenko? Karena berpindahnya partai sosialis dari barisan Revolusi Oranye dan berkoalisi dengan Partai Yanukovich yang mengakibatkan kubu Yanukovich memiliki simpatisan yang besar dari partai lain, dari pertimbangan tersebut akhirnya diputuskan Yanukovich diangkat sebagai Perdana Menteri


Konfik kepentingan Pipa Gas Rusia

 Ukraina

Pada era Vladimir Putin yang menjadi Presiden pada tahun 1999, Rusia berhasil melakukan reformasi swastanisasi, yaitu mengembalikan aset negara yang dulunya terjadi swastanisasi akibat krisis pasca keruntuhan UniSoviet. Hasil dari reformasi tersebut membuat perusahaan ekspor gas Rusia Gazprom menjadi Badan Usaha Milik Negara dimana mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani distribusi di bidang gas bumi. Rusia memang memiliki cadangan energi gas alam terbesar didunia dimana sepertiga dari seluruh pasokan energi gas dunia berada di Rusia. Rusia sebagai negara pemasok utama energi terutama gas alam ke negara-negara Eropa menjadikannya sebagai aktor penting dalam penentuan hubungan Rusia dengan negara-negara Uni Eropa, atau yang lebih dikenal dengan Diplomasi Gas. Gazprom mengekspor sepertiga dari kebutuhan dunia di bidang gas bumi. Sekitar 50 persen dari kebutuhan gas bumi negara-negara Uni Eropa dipasok dari Rusia. Dan 80 persen dari volume gas bumi itu melintasi Ukraina. Sedangkan 25 persen dari kebutuhan gas bumi Ukraina dipasok dari negara tetangganya, Rusia, yakni Gazprom (Putra 2010). Rusia sebagai negara pemasok utama energi terutama gas alam ke negara-negara Eropa menjadikannya sebagai aktor penting dalam penentuan hubungan Rusia dengan negara-negara Uni Eropa, dari situ dapat dilihat bahwa gas menjadi instrumen diplomasi yang penting bagi Rusia untuk menjaga eksistensi dependensi energinya pada negara-negara Eropa. Ketegangan antara Rusia dengan Ukraina terkait dengan ekspor gas terjadi karena perbedaan harga gas serta-timbulnya kecurigaan Rusia yang menuduh Ukraina mencuri sebagian pasokan gas, ketengangan
 
tersebut memuncak pada Januari 2006 sejak Rusia menghentikan pasokan gas ke Ukraina. Pemutusan suplai gas alam ini berdampak buruk bagi Eropa karena jaringan pipa gas yang melalui Ukraina memasok kurang lebih seperlima dari total kebutuhan gas di Eropal. Tercatat tujuh negara di Eropa Tengah dan Barat termasuk Italia dan Perancis kehilangan 14 persen dan 40 persen pasokan gas alamnya (Saunders: 2008, 2) Kiranya hal inilah sebagai salah satu usaha Rusia mempertahankan pengaruhnya di negara tersebut sejak terpilihnya presiden Anti-Rusia yaitu Yuschenko. Setelah tiga hari menghentikan sementara pasokan, Gazprom dan perusahaan gas Ukraina yaitu Naftogaz mencapai kompromi yang menyertakan pencampuran gas Rusia dengan gas Asia Tengah yang lebih murah. Namun tidak hanya sampai disitu, Dari kasus tersebut jelas terlihat bahwa Rusia menjadikan energi sebagai alat politik luar negeri terutama untuk kawasan

kawasan Uni Eropa dan Ukraina, kelangkaan energi gas menjadikan Uni Eropa dan Ukraina sangat bergantung pada impor gas Rusia sehingga terjadi dependensi energi dan pusat kontrol harga gas bagi kawasan sebagian benua Eropa. Perlu di hubungkan juga mengenai perubahan struktur politik Ukraina dengan konflik distribusi gas Rusia ini, yaitu Sebelum terjadi Revolusi Oranye 2004 gas Rusia yang transit di Ukraina sebelum diekspor ke negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Belgia, mencapai 120 miliar m3 per tahun dengan imbalan 5 miliar dolar AS untuk Kiev. Namun, dalam 8 tahun terakhir gas Rusia yang transit di Ukraina hanya 84 miliar m3 per tahun dan Kiev-mendapat imbalan ’’hanya’’ 3 miliar dolar (Dewi 2011). Terlepas dari sumber ketegangan antar dua negara itu, Jelas ada maksud tersendiri bagi Rusia untuk mempersulit impor energi gas setelah dipilihnya presiden anti timur Yuschenko, hal tersebut membawakan hasil setelah Yanukovich terpilih menjadi presiden dari pemilu tahun 2010.


Analisis

04-02-2014
Membaca Krisis Politik di Ukraina dari Perspektif Geopolitik (1)
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)


  http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14579&type=4#.U1ShOKKJmSo
Siapa mengira bila keputusan Presiden Viktor Yanukovich menerima bantuan finansial dari Rusia dan menunda kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa (UE) mengakibatkan sebagian rakyat di Kiev, Ibu Kota Ukraina seketika meletup, meledak, dan menggelegar demonstrasi massa di jalanan. Luar biasa.

Pertanyaan selidik: apakah faktor penundaan perjanjian dagang yang membuat Ukraina bergolak, atau jangan-jangan ada hidden agenda lain yang lebih urgen bagi kaum oposisi daripada sekedar perjanjian perdagangan; mungkinkah keputusan Yanukovich telah mematahkan agenda tersembunyi tersebut? Ini sekedar asumsi awal pada prolog catatan ini.

 

Aksi massa kali ini memang tergolong brutal, kejam dan tak bermoral karena selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke banyak orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dll. Ketika ada anggota massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban pertama dalam dua bulan unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat penembakan justru aksi pun semakin meluas, bahkan sudah berani merambah ke timur Ukraini, wilayah basis dimana massa Yanukovich berada.

 

Presiden Rusia Putin menyebut unjuk rasa tersebut lebih seperti penghancuran daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi tersebut sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa.  

 
Khawatir Bangkitnya Revolusi Oranye

 

Apabila tanpa antisipasi konseptual dari elit penguasa, dikhawatirkan gejolak massa di penghujung tahun 2013 dirajut oleh kepentingan asing untuk membangkitkan kembali “ruh” Revolusi Oranye (Orange Revolution), bagian dari Revolusi Warna (Colour Revolution) yang pernah menerjang jajaran negara Pakta Warsawa dekade 2000-an ke atas. Rencana pertemuan antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry dengan para pemimpin oposisi Ukraina di Jerman, merupakan isyarat kuat bahwa ada keterlibatan superpower secara masiv dalam krisis politik tersebut.

 

Secara internal, kompromi politis sebenarnya telah dilangkahkan pihak pemerintah terhadap oposisi, seperti mencabut kembali Undang-Undang (UU) Anti-Demonstransi, memberi ampunan demonstran yang ditangkap dengan timbal balik menghentikan gerakan, dll tetapi tampaknya bargaining kurang berhasil. Aksi massa kian liar. Yanukovich pun kembali menawarkan kursi Perdana Menteri (PM) kepada Arseniy Yatsenyuk, posisi yang dilepas Mykola Azarov, PM Ukraina yang undur diri, namun lagi-lagi kompromi tersebut ditolak oleh Yatsenyuk, pemimpin oposisi. Putin juga mewanti-wanti Presiden Ukraina apabila tidak segera menstabilkan situasi massa, maka bantuan sebesar USD 15 miliar kemungkinan ditunda.

 

Ada dua pertanyaan menarik muncul. Pertama: akankah tekanan massa mampu memaksa Yanukovich memberi konsesi lebih kepada oposisi seperti disetujuinya perdagangan dengan UE? Kedua: seandainya disepakati perjanjian dagang dengan UE, apakah gejolak politik otomatis akan reda? 

 

Tulisan sederhana ini, mencoba mencari dan mengurai jawab atas beberapa pertanyaan dan asumsi di atas. Selanjutnya kenapa geopolitik dijadikan perspektif (pisau bedah) dalam mengkaji konflik politik di Ukraina, karena secara konsepsi, geopolitik mampu mengintegrasikan hampir semua hakikat ilmu. Ia meniscayakan realitas baik materi maupun non materi. Sebagai bahan banding misalnya, jika spektrum ilmu dan filsafat cenderung membentang di atas permukaan, geopolitik selain dapat menembus apa yang terkandung di bawah permukaan (what lies beneath the surface), juga melihat hal tersirat dari apa yang tersurat.

 

Sebagai pisau kajian pada tulisan ini, breakdown geopolitik tidak lagi bicara definisi, paradigma, atau teori, dll ---untuk menyingkat paparan--- akan tetapi lebih implementatif, artinya kajian langsung kepada hal yang terkait serta terjadi di permukaan. Inilah uraiannya.

 
Revolusi Oranye Meredup

 

Merujuk gerakan massa terdahulu (2004-2006) di Ukraina, terdapat puing non materi yang mutlak dicatat, yaitu: “Bila dirunut awal gerakan 22 Nopember 2004, sejatinya Revolusi Oranye hanya berumur 21 bulan saja, sekarang ia seperti kehilangan ruh gerakan bahkan meredup setelah ditinggal oleh sebagian aktornya yang berbalik arah”. Itulah sisa artefak (non materi) Revolusi Oranye.

 

Tanda redupnya revolusi tersurat dari konfigurasi 450 kursi hasil Pemilu 26 Maret tahun 2006, dimana Partai Wilayah (Partiya Regioniv) pimpinan mantan PM Viktor Yanukovich mendapat 186 kursi; Kubu Blok Yuliya Tymoshenko ---mantan PM juga--- meraup 129 kursi; sementara Partai Viktor Yushchenko, Nasha Ukrayin (Ukraina Kita) hanya memperoleh 81 kursi; Partai Sosialis 33 kursi, dan sisanya 21 kursi milik Partai Komunis pimpinan Oleksandr Moroz.

 

Pertanyaan mengelitik timbul: bukankah Tymoshenko, Yushchenko dan Moroz adalah Trio Penggerak gerakan Revolusi Oranye, kenapa partai mereka justru memperoleh sedikit kursi daripada kubu Yanukovich, pemenang pemilu pertama (21 Nopember 2004) yang “dibatalkan” baik melalui gelombang massa maupun secara yuridis, sehingga pemilu ulang mengakibatkan kalahnya Yanukovich?
Bersambung ke (2)


Analisis

08-02-2014
Krisis Politik di Ukraina
Membaca Krisis Politik di Ukraina dari Perspektif Geopolitik (2)
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)


Mapping Politik di Ukraina
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14610&type=4#.U1Sf96KJmSo

Pada mulanya Yushchenko dinilai sebagai politisi paling unggul karena perolehan 51,99% dari total 27,96 juta suara. Ia mengantongi sekitar 15,11 juta pemilih. Namun setahun masa kepemimpinannya tidak membawa perubahan signifikan di Ukraina, popularitasnya pun turun menjadi 81 kursi, atau sebanding dengan 3,56 juta suara. Betapa drastis, sekitar 2/3 suara pemilihnya hilang daripada perolehan awal.

Sepintas karir politik Yushchenko hampir mirip dengan Mohamad Morsi yang naik ke puncak kekuasaaan akibat gerakan massa, kemudian terpilih dalam pemilu mengganti Mobarak. Kemiripan “nasib dan karir” keduanya lebih kepada selain tata cara meraih kursi presiden diawali aksi-aksi massa jalanan ---di Ukraina titelnya Orange Revolution, di Mesir bertajuk Arab Spring--- juga kesamaan lain ialah kurun waktu kekuasaan ternyata tak membawa perubahan bagi negeri yang dipimpinnya. Inilah penyebab pokok kenapa kepercayaan rakyat kepadanya menjadi redup. Jika resiko yang diterima Yushchenko hanya melorotnya kursi partai Nasha Ukrayin di parlemen, sementara nasib Morsi justru tragis, ia dijungkalkan oleh Jenderal El Sisi, junta pilihannya sendiri.  


Membaca peta politik di Ukraina, tak boleh lepas dari faktor kubu serta kelompok yang bermain. Pertama: kubu Yanukovich yang tetap setia pada Rusia, sekutu tradisional Ukraina semenjak doeloe. Kedua ialah kelompoknya Tymoshenko, Yushchenko dkk yang cenderung berafiliasi ke “Barat”. Maksud Barat dalam hal ini adalah UE, AS, dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) tersirat di dalamnya. Basis massa Yanukovich ada di wilayah timur, tetangga Rusia; sedang basis kubu Yushchenko dkk di wilayah barat, berdekatan dengan negara-negara UE. Walau kenyataan di lapangan bukan hitam putih semacam itu, setidak-tidaknya, inilah mapping politik di Ukraina dari sisi geografi dan aspek “ideologi”.


Indikasi lain atas meredupnya Orange Revolution selain hal-hal yang telah diungkap di atas (bag-1), yaitu political infighting (konflik internal) antara Yushchenko, sang Presiden versus PM-nya sendiri akibat berebut sumber-sumber strategis negara. Maka singkat cerita, Tymoshenko pun dicopot sebagai PM (8/9/2005) karena alasan terlibat korupsi.   

Aliansi Berubah

Tak bisa dielak, dinamika politik internal (political infighting) di Ukraina mengubah tatanan aliansi karena sudah tidak ada lagi kekuatan mayoritas di parlemen pasca pemilu. Muncul kelompok dan kubu-kubu baru. Pihak Tymoshenko misalnya, ia tetap bersikap tidak kompromi dengan kelompok Yanukovich, sementara Yushchenko cenderung wait and see. Partai Sosialis malah meninggalkan barisan pendukung Revolusi Oranye, kemudian bergabung dengan Yanukovich. Agaknya tawaran menjadi ketua parlemen tidak disia-siakan oleh Moroz, salah satu Trio Penggerak revolusi (oranye) sebelumnya. Klimaks perubahan aliansi terlihat ketika Yushchenko menyepakati deklarasi persatuan nasional yang berisi 27 kesepakatan. Apa boleh buat. Akhirnya ia pun merestui Yanukovich menjadi PM. 


Beredar anggapan bahwa Yushchenko telah mengkhianati ‘perjuangan’. Ia memang menemui dua pilihan yang serba sulit. Pertama, membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu lagi. Kedua, menerima Yanukovich. Pilihan pertama membawa dua implikasi, antara lain: (1) tak ada jaminan pemilu akan menghasilkan perubahan signifikan pada komposisi partai-partai di parlemen. Akibatnya kebuntuan politik niscaya berlanjut. Kekosongan kekuasaan akan menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif. Ujung-ujungnya rakyat bakal meminta revolusi lagi. Itu berarti melengserkan Yushchenko sendiri; (2) Yushchenko tidak yakin partainya mampu meraup suara signifikan, bahkan diperkirakan kursi partainya akan mengecil. Sudah tentu, hal ini akan menjadi bumerang apabila kursi Tymoshenko dan Yanukovich jumlahnya kian bertambah.


Mengapa opsi menerima Yanukovich sebagai PM dianggap pilihan sulit, oleh karena selain “melukai” pendukung Revolusi Oranye, juga berakibat pada buruknya image Yushchenko di mata Barat. Tetapi secara politis tidaklah demikian, karena ia masih meraih “keuntungan”. Artinya selain akan didukung mayoritas parlemen gabungan antara kubu Yushchenko, Yanukovich, Partai Sosialis dan Partai Komunis sebanyak 321 kursi, keuntungan lainnya bahwa gabungan tersebut secara tidak sengaja telah mempersatukan kembali wilayah timur (pro-Yanukovich) dan daerah barat (pro-Yushchenko) yang terbelah gara-gara pemilihan presiden dua tahun lalu. Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, kecuali kepentingan. Tetapi kepentingan (kedaulatan) bangsa dan negara adalah lebih utama daripada sekedar kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Agaknya pilihan ini yang diambil oleh Yushchenko. 


Sebagai catatan tambahan, meskipun ia beraliansi dengan Yanukovich, agaknya visi Yuschencko tak berubah. Ini terlihat pada kontrak politik dengan Yanukovich, yaitu: “mengintegrasikan Ukraina dengan Barat dan World Trade Organization (WTO) menjadi titik tekan kontrak politik”. 


Pertanyaannya ialah: dapatkah stabilitas Ukraina murni terujud di tengah tarik menarik kekuatan antara Rusia dan UE; lalu, geopolitical leverage macam apakah yang diincar serta diperebutkan kedua adidaya?
Bersambung ke (3)


Analisis
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14633&type=4#.U1Pon6L3tkg
10-02-2014
Aksi Teror di Volgograd 
LAPORAN UTAMA: Tangan-Tangan Amerika dalam Aksi Teror di Volgograd
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)


Menjelang akhir tahun, Rusia diguncang aksi teror. Dua aksi bom bunuh diri secara beruntun terjadi dalam waktu 24 jam di kota Volgograd, yang hanya berjarak 690 kilometer dari kota Sochi, tempat akan diselenggarakannya Olimpiade Musim Dingin. Bom pertama meledak di stasiun pada Minggu, 29 Desember 2013 dan menewaskan 18 orang.  Sementara itu, serangan kedua terjadi pada Senin, 30 Desember 2013 di bus listrik. Sebanyak 16 nyawa melayang dalam ledakan bom tersebut. 

Rentetan aksi teror yang secara total telah menelan 34 korban jiwa tersebut sebagai tentu saja jadi tanda Tanya besar mengingat pada 7 Februarir mendatang Rusia akan menggelar hajatan besar sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin di kota Sochi, yang berlokasi tak begitu jauh dari barat daya kota Volgograd, tempat terjadinya aksi teror tersebut. Karenanya sangatlah masuk akal jika kemudian berkembang dugaan bahwa aksi teror tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan reputasi Rusia sebagai negara mampu menciptakan suasana aman pada saat berlangsungnya Olimpiade Musim Dingin tersebut. 

Siapa dalang atau the mastermind di balik aksi teror yang cukup kejam dan brutal terhadap warga sipil Rusia tersebut? Karena belum ada bukti yang cukup definitif terkait aksi teror tersebut, maka seperti dalam kasus aksi penyanderaan di salah satu sekolah di kota Beslan, Distrik Pravoberezhny pada September 2004 lalu maupun penyanderaan di Dubrovka Theatre, beberapa kalangan di Rusia nampaknya mengarah  pada kesimpulan sementara adanya keterlibatan kelompok separatis Chechnya.

 

Dari hasil penelusuran bahan-bahan pustaka tim riset Global Future Institute, Penyanderaan Beslan dimulai pada Rabu pagi 1 September 2004, saat jam belajar baru mulai saja berlangsung di Sekolah Negeri 01 Beslan, yang terletak di Republik Ossetia Utara, Rusia. Bersenjatakan senapan api dan bom di sabuk, sejumlah pria dan wanita bertopeng menggiring para murid sekolah ke dalam suatu ruangan. 

 

Penyanderaan itu berlangsung sejak 1 hingga 3 September 2004. Sebanyak 1.100 orang dijadikan sandera, termasuk 777 anak-anak. Tragedi itu pada akhirnya menewaskan sedikitnya 334 sandera, termasuk di antaranya 186 anak-anak. Selain itu, tak sedikit sandera terluka dalam aksi penyelamatan sandera yang berlangsung dramatis, setelah aparat keamanan Rusia gagal bernegosiasi dengan kelompok teroris.

 

Para penyandera itu adalah kelompok Batalion Riyadus-Salikhin, yang dikirim oleh pemimpin separatis Chechen, Shamil Basayev. Mereka berupaya mengusir pasukan Rusia dari Chechnya, agar bisa memerdekakan diri dari Moskow.

 

Nampaknya, karena tidak mampu berperang secara simetris melawan pasukan angkatan bersenjata Rusia, kelompok separatis Chechnya menggunakan aksi teror yang mengorbankan warga sipil Rusia (non combatant). Dengan menggunakan beberapa modus seperti serangkaian aksi penembakan maupun pengeboman. Dalam kasus penyanderaan di Beslan, kelompok separatis Chechnya bahkan tega-teganya menggunakan anak-anak sekolah di Beslan “sebagai perisai hidup” sekaligus sebagai sandera. 

 

Meskipun Presiden Putin mengaku aksi penyelamatan yang dilancarkan pasukan militer Rusia terhadap para sandera tidak membuahkan hasil yang diharapkan mengingat banyaknya korban tewas dari pihak sandera, dan bahkan para keluarga korban menilai aksi penyelamatan sandera oleh tentara Rusia dianggap ceroboh, namun setidaknya Rusia telah mempertunjukkan sikapnya untuk tidak bersedia menyerah kepada kelompok teroris. Apalagi ketika beberapa indikasi mengarah pada keterlibatan kelompok separatis Chechnya yang tujuan utamanya adalah mendirikan negara Chechnya merdeka lepas dari Rusia. 

 

Dalam penyanderaan Dubrovka Theatre pada Oktober 2002, keterlibatan kelompok separatis Chechnya nampaknya jauh lebih nyata dan terang-benderang.  Penyanderaan dilakukan 40-50 tentara Chechen yang mengklaim tunduk kepada pergerakan separatis militer di Chechnya. Mereka menahan 850 sandera dan meminta penarikan tentara Rusia dari Chechnya sekaligus mengakhiri Perang Chechen II. Pengepungan dipimpin Movsar Barayev.

 

Aksi Teror Volgograd dan Kelompok Black Widows

 

Lantas, apakah aksi teror di Volgograd 29 dan 30 Desember 2013 lalu ada keterkatainnya dengan kelompok Separatis Chechnya? Memang masih harus ada penyelidikan yang lebih mendalam dan intensif. Namun dari hasil pantauan terhadap beberapa liputan media di Rusia terkait serangkaian aksi teror di negara beruang merah tersebut dalam beberapa tahun terakhir, kelompok teroris Chechen biasa merekrut para wanita untuk beraksi sebagai pelaku bom bunuh diri. 

 

Namun sebagaimana berita yang dilansir oleh Asia Times Online yang juga dilansir oleh situs berita okezone pada 2010 lalu, seorang pakar Chechnya asal Swiss, Alix de la Grange, meyakini bahwa pelaku bom bunuh diri itu diledakkan melalui remote control oleh rekan prianya. Meskipun de la Grange, mengatakan bahwa Black Widows tidak pernah dilatih di luar negeri. Tapi beberapa Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa mereka mendapat pelatihan dari Pakistan dan Afghanistan. 

 

Kalau benar para wanita pelaku bom bunuh diri itu diledakkan melalui remote control rekan prianya, maka beberapa laporan yang mengindikasikan adanya pelatihan terhadap para teroris Chechnya di Pakistan dan Afghanistan kiranya tetap cukup masuk akal dan beralasan. Karena pemegang kendali komando sepenuhnya berada pada kelompok-kelompok bersenjata Chechnya yang tentunya sudah terlatih dalam perang gerilya maupun aksi teror. 

 

Adanya Keterlibatan Al Qaeda terhadap Kelompok Separatis Chechnya

 

Satu fakta penting yang kiranya perlu digarisbawahi adalah, bahwa Osama bin Laden sejak decade 1990-an telah menyatakan dukungannya terhadap para pemberontak Chechnya untuk memerdekakan diri lepas dari negara induknya, Rusia. Bahkan Presiden Vladimir Putin pernah mengatakan Bin Laden pernah mengunjungi para pemberontak Chechen dalam rangka mendukung gerakan separatism Chechnya sebagai negara Islam yang lepas dari Rusia (Associated Press 1999).

 

Bahkan Council of Foreign Relations (CFR), think-thank dapur penggodokan berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat, dalam salah satu catatannya menginformasikan bahwa para pemberontak Chechnya mendapat dana bantuan lewat apa yang dinamakan Islamic International Peace Keeping Brigade (IIPB). IIPB inilah yang merupakan saluran utama mengalirnya dana bantuan yang berasal dari Al Qaeda yang berbasis Semenanjung Arab.  

 

Foxnews, media arus utama berhaluan neokonservatif di Amerika bahkan punya beberapa temuan menarik. Beberapa tim riset anggota kongres  dan analis kebijakan luar negeri AS juga menemukan fakta bahwa jaringan pemberontak Islam Chechen mempunyai jaringan luas di Rusia dan Chechnya.

 

Bisa jadi motivasi kedua sumber dari Amerika tersebut tidak dimaksudkan dalam kerangka mendukung skema gerakan kontra teror di Rusia, namun setidaknya hal ini menggambarkan bahwa indikasi adanya persekutuan taktis atau bahkan mungkin juga strategis, antara Al Qaeda dan kelompok pemberontak Chechen sepertinya bukan isapan jempol belaka. 

 

Sekadar catatan, Osama bin Laden maupun Al Qaeda itu sendiri, diyakini oleh para analis senior Global Future Institutet (GFI) tak lebih dari sekadar “Kelompok Teroris Jadi-Jadian” hasil ciptaan badan Intelijen AS CIA yang direkrut pada masa ketika Amerika dan beberapa negara Uni Eropa mendukung perlawanan berbagai kelompok-kelompok masyarakat Afghanistan terhadap pasukan pendudukan Uni Soviet di negara Mullah tersebut. Sebagai hasilnya, muncullah kemudian kelompok Islam radikal Taliban sebagai penguasa di Afghanistan pasca terusirnya Soviet dari negeri tersebut. 

 

Namun menyusul terjadinya aksi pemboman di Gedung WTC dan Gedung Pentagon pada September 2001, maka Presiden George W Bush dengan serta merta menuding Taliban memberi perlindungan terhadap Al Qaeda di Afghanistan. Padahal Bush secara definitif menyatakan Al Qaeda dan Osama bin Laden lah otak sekaligus pelaku aksi teror September 2001 tersebut. Alhasil, Bush memerintahkan invasi militer merebut Afghanistan. 

 

Beberapa studi GFI sebelumnya mengindikasikan bahwa invasi militer Afghanistan dengan menggunakan dalih keterlibatan Taliban bersekongkol dengan Al Qaeda, sejatinya merupakan permintaan perusahaan minyak AS UNOCAL (sekarang Chevron) yang merasa terancam dengan kebijakan politik dan ekonomi Taliban yang merugikan kepentingan minyak korporasi global AS tersebut.

 

Dari konstruksi kisah sekilas tersebut di atas, Al Qaeda memang merupakan kelompok teroris jadi-jadian hasil binaan CIA AS, yang sewaktu-waktu bisa dikorbankan atau setidaknya dijadikan kambing hitam oleh AS sebagai perancangnya, ketika negara Paman Sam tersebut hendak menetapkan sasaran yang jauh lebih strategis. Seperti ketika hendak menduduki Afghanistan secara militer dengan dalih adanya keterlibatan Taliban mendukung aksi teror Al Qaeda. 

 

Begitupun, indikasi keterlibatan Al Qaeda dan Osama bin Laden terhadap kelompok separatis Chechnya, bisa juga dibaca sebagai indikasi adanya Perang Asimetris AS terhadap Rusia, untuk menguasai Chechnya sebagai wilayah kedaulatan Rusia, melalui tangan-tangan lokalnya di Chechnya. 

 

Apalagi dengan adanya fakta bahwa ketika Taliban masih berkuasa di Afghanistan, dan masih menjalin hubungan erat dengan Washington, negara inilah satu-satunya yang memberikan pengakuan resmi terhadap Chechnya sebagai negara merdeka. Dan mendukung deklarasi sepihak kemerdeaan Chechnya. 

 

Hal ini semakin diperkuat dengan adanya pertemuan antara Osama  bin Laden dan pemimpin pemberontak Chechnya Ibn al Khattab sewaktu Soviet masih menduduki Afghanistan.    Namun di sini pula aspek krusial dari sasaran pokok kelompok separatis Chechnya. Pada satu sisi, berkeinginan membentuk negara Chechnya merdeka lepas dari Rusia. Dan mempromosikan radikalisme Islam berskala global, dan menjadikan Chechnya sebagai mata-rantai penting dari gerakan global Islam radikal di berbagai negara. 

 

Pada titik ini, gerakan separatis Chechnya pada perkembangannya kemudian justru menjadi alat Proxy War Amerika (melalui jaringan Al Qaeda dan eksponen Taliban), melawan Rusia. 

 

Sejarah Awalnya keterlibatan Islam Radikal dalam Gerakan Separatisme Chechnya

 

Pada awalnya, ketika pemerintahan otonomi Chechnya dibentuk oleh Aslan Maskhadov, pandangan politik para elit Chechnya pada dasarnya nasionalis sekuler. Terutama pada masa kepemimpinan Dzhokhar Dudayev. 

 

Namun ketika perlawanan separatis Chechnya mulai mendapat sorotan media massa, jaringan Islam radikal yang berhaluan Al Qaeda mulai migrasi ke Chechnya. Dan sejak saat itu, mulai mengkoptasi gerakan separatis Chechnya dan menjadikannya sebagai bagian integral dari Gerakan Islam Radikal berskala global.

 

Di sinilah untuk pertama kalinya Ibn al Khattab mulai memainkan peran penting di dalam tubuh gerakan separatisme Chechnya. Bahkan al Khattab menegaskan gerakan ini tidak lagi semata gerakan Chechnya melainkan menjadi gerakan Islam seperti halnya di Afghanistan. 

 

Melalui peran kepemimpinan al Khattab khususnya antara 1995 hingga 1996 inilah, gerakan separatis Chechnya mendapatkkan pelatihan kemiliteran maupun indoktrinasi keagamaaan menurut versi Islam mereka yang tentunya radikal.

 

Pada 1998, al Khattab bersama Shamil Basayev, membentuk Islamic nternational Peace Keeping Brigade, yang terdiri dari para separatis Chechnya, Arab dan jaringan-jaringan Islam lainnya di berbagai negara. 

 

Nampaknya, gerakan separatism Chechnya yang pada dasarnya bertumpu pada dalih bahwa mayoritas masyarakat Chechnya beragama Islam, telah dimanipulasi oleh kelompok-kolompok Islam jadi-jadian binaan Amerika, untuk mengkoptasi gerakan separatis Chechnya demi kepentingan Amerika untuk melumpuhkan Rusia dari dalam. 

 

Pada tahapan ini, selain badan intelijen AS CIA juga melibatkan badan intelijen Pakistan Inter Service Intelligence (ISI). Karena semasa pendudukan Soviet di Afghanistan, CIA dan ISI inilah yang membina dan mendukung milisi-milisi berbendera Islam radikal ini dipersenjatai dan mendapat bantuan dana dari CIA dan ISI untuk melawan pasukan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan pada 1979.

 

Sebagaimana halnya dukungan Amerika dan Pakistan dalam mendukung milisi-milisi Islam radikal Al Qaeda yang kemudian menjelma menjadi Taliban, kelompok separatis bersenjata Chechnya dalam upayanya memisahkan diri dari Rusia, beberapa sumber mengindikasikan adanya dukungan dari Amerika dan sekutu-sekutu baratnya.

 

Coleen Rowley, dalam artikelnya bertajuk Chechen Terrorists and the Neocons, kelompok separatis bersenjata Chechnya terbukti sangat berguna bagi Amerika untuk menekan Rusia seperti halnya kelompok Mujahedeen Afghanistan yang dibantu Amerika baik dalam persenjataan maupun dana untuk melawan pasukan Uni Soviet antara 1980 sampai 1989. Sehingga tak heran jika para pelaku utama kelompok Neo Konservatif Amerika, termasuk James Woolsey, Direktur CIA pada waktu itu, menganggap kelompok Chechen ini sebagai “Chechen Friends”. 

 

Bukan itu saja. Dukungan dari beberapa kelompok strategis Amerika terhadap kelompok separatis Chechen ini terlihat jelas melalui dukungan terang-terangan dari apa yang menamakan diri mereka the American Committee for Peace in Chechnya (ACPC). Sebuah kelompok yang para anggotanya terdiri dari para tokoh terkemuka dari kelompok Neo Konservatif Partai Republik, yang kala Presiden W Bush berkuasa, member dukungan penuh terhadap program War on Terror yang dikumandangkan oleh Bush dan para kroni politiknya di Gedung Putih.

 

Beberapa nama sohor yang berada di belakang ACPC antara lain Richard Perle (Penasehat Strategis dari Pentagon), Elliot Abrams (yang pernah terlibat dalam kasus Iran Kontra-penjualan senjata illegal kepada Iran sebagai barter terhadap pembebasan sandera warga AS di Kedutaan Besar AS di Teheran),  Kenneth Adelman (mantan Duta Besar AS di PBB) yang tercatat sebagai pendukung fanatik invasi AS ke Irak, Midge Decter (Penulis Biografi Donald Rumsdeld, mantan Menteri Pertahanan AS) dan Direktur Heritage Foundation, sebuah think-thank sayap kanan AS, Frank Gaffney (Direktur Militarist Center for Security Policy), Bruce Jackson (mantan Direktur Intelligence Militar), Michael Ledeen (American Enterprise Institute, dan seorang pendukung fasisme Itali dan sekarang pendukung gerakan perobahan sistem politik di Iran), dan James Woolsey (mantan Direktur CIA dan pendukung gagasan utama Presiden Bush dalam menata ulang dunia Islam menurut skema AS).

 

Berarti, adanya campur tangan Amerika dalam gerakan separatis Chechnya nampaknya cukup beralasan dan faktual. 

 

Pada perkembangannya, ACPC dimodifikasi fokusnya dari Chechnya menjadi Caucasus. Sehingga ACPC hakekatnya menjadi American Committee for Peace in Caucasus. Karena itu tak heran jika Phil Shenon, yang kala itu masih wartawan terkemuka The New York Times, menulis adanya kaitan antara pemimpin Chechen Ibn al Khattab dengan Osama bin Laden. 

 

Jaringan Chechen Sampai ke Akar-Akarnya 

 

Untuk mengungkap jaringan pemberontak Chechen sampai ke akar-akarnya, mari kita kembali kepada peran yang dimainkan oleh Shamil Basayev. Shamil Basayev, pemimpin gerakan pemberontakan separatis Chechen untuk memisahkan diri dari Rusia, mulai menjalin kedekatan dengan Ibn al Khattab, komandan perlawanan Mujahidin Afghanistan pada saat dia mengikuti latihan kemiliteran di Afghanistan. Begitu kembali ke Grozny, Khattab diundang ke pada awal 1995 untuk membentuk pangkalan militer di Chechnya sekaligus melatih para kelompok perlawanan bersenjata di Chechnya dengan meniru model Mujahidin Afghanistan. 

 

Dari berbagai sumber yang dihimpun Chossudovsky, penempatan Khattab di Chechnya, diatur oleh sebuah organisasi nir-laba yang yang bergerak atas sponsor dari orang-orang kaya Arab Saudi. Jaringan inilah yang kemudian mengalirkan dana bantuan ke kalangan kelompok separatis Chechnya.

 

Adapun Shamil Basayev sendiri punya kaitan dengan komunitas intelijen AS sejak 1980-an. Bahkan sempat berkembang informasi bahwa Basayev terlibat dalam rencana kudeta 1991 yang berujung pada bubarnya Uni Soviet. Dan Basayev juga yang kemudian ikut serta mengeluarkan deklarasi sepihak kemerdekaan Chechnya dari Republik Federal Russia.

 

Singkat cerita, jaringan kelompok bersenjata Mujahidin Afghanistan yang semula diproyeksikan untuk melawan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan, pada perkembangannya juga dibangun di Chechnya. 

 

Dan pembentukan kelompok bersenjata Chechnya sejatinya digunakan oleh Amerika untuk melancarkan aksi destabilisasi terhadap Republik Federasi Russia. Inilah yang dilakukan Chechnya melalui perang Chechnya 1994-1996 dan perang Chechnya 1999-2000.

 

Tidak aneh jika Yossef Bodansky, Direktur Satuan Tugas anti Terror dan Perang Inkonvensional Kongres AS, mengatakan bahwa rencana gerakan separatis Chechnya sudah dirancang sejak 1996 di Mogadishu, Somalia. Dalam pertemuan para petinggi Hizbollah Internasional. Dari fakta inilah kemudian diketahui bahwa Badan Intelijen Pakistan (ISI) tidak sekadar memberi bantuan senjata dan tenaga ahli, melainkan juga ikut serta dalam kontak senjata di pihak kelompok Chechen.

 

Dan ISI, tak terbantahkan lagi, punya jalinan kerjasama yang sudah berlangsung lama dengan CIA. 

 

Bisa jadi karena menyadari adanya skema Amerika semacam itu, Presiden Putin beberapa waktu sebelum terjadinya aksi teror di Volgograd, sudah mengingatkan betapa pentingnya untuk mewaspadai gerakan dari kaum militant berasal dari Kaukasus Utara. Mengingat adanya kelompok pemberontakan bersenjata Chehcnya yang berada di bawah kepemimpinan panglima perangnya, Doku Umarov. Sementara AS maupun sekutu-sekutu baratnya, selama ini justru tidak pernah memandang gerakan separatis bersenjata dari Kaukasus Utara tersebut sebagai ancaman. 

 

Nah sekarang jelaslah sudah, sepertinya memang ada tangan-tangan Amerika dalam berbagai aksi teror yang melibatkan kelompok separatnis Chechnya di Rusia.
  
Referensi:
3.  Baca Hendrajit, Bom Boston dan Aksi Destabilisasi AS di kawasan Heartland dan Caucasus, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11804&type=4#.UviRDftP1kh 
4. Hendrajit, ibid. 
5. Michel Chossudovsky, “The Chechen Connection”, Al Qaeda and the Boston Marathon Bombings, http://www.globalresearch.ca/boston-truth-the-chechen-connection-al-qaeda-and-the-boston-marathon-bombings/5332337


Artikel Terkait

» Menafsir "Dua Langkah" Beruang Merah bagi Indonesia dalam Pergeseran Geopolitik

» Proyek NAMRU-2 AS Jangan Sampai Terulang Kembali di Indonesia (Bagian I)

» Mengenang Perlawanan Siti Fadilah Supari Galang Dukungan Internasional Terhadap WHO (Bagian II)

» Sikap Indonesia Terkait Suriah Pada Pertemuan Para Menlu OKI ke-40 Tidak Jelas

» Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?

» Saatnya Indonesia Akhiri Keanggotaan di WTO



Analisis

04-03-2014
Membaca Skenario Besar di Balik Penggulingan Presiden Yanukovich
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute.


Keputusan Majelis Federasi Rusia untuk mengerahkan angkatan bersenjatanya di Semenanjung Cremea yang masuk kedaulatan Ukraina, memang tidak bisa dipandang semata-mata sebagai tindakan agresi militer sepihak. Karena sebelumnya telah didahului dengan campur-tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri Ukraina dengan mendukung kelompok oposisi yang menentang kepemipinan Presiden Yanukovich yang kebetulan cukup dengan dekat dengan Rusia.
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14832&type=4#.U1PmtKL3tkg

Jika kita menelisik kembali proses kejatuhan Yanukovich yang didahului dengan gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang berlangsung 3 bulan penuh, maka tak pelak lagi tangan-tangan Amerika dan Uni Eropa ikut bermain dari balik layar. Hal ini bisa kita lihat ketika Yulia Tymoshenko, pesaing utama Yanukovich yang sudah dipenjara selama lebih dari 5 tahun, kemudian dibebaskan sehingga ketika demonstrasi dan kerusuhan yang kabarnya telah menewaskan 80-an orang tersebut, kemudian dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim pemerintahan Yanukovich yang dalam garis politiknya sejalan dengan Pemerintahan Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin.


Maka kiranya tidak terlampau berlebihan jika sebuah harian di Cina, Xinhua Comentary, mengecam manuver Amerika dan Uni Eropa dalam memediasi antara kubu Yanukovich dan kelompok oposisi, pada perkembangannya justru telah menciptakan polarisasi di dalam negeri Ukraina. Poin menarik dari Xinhua Comentary adalah, dalam mengatasi krisis di Ukraina, pihak barat (AS dan Uni Eropa) sebaiknya melibatkan Rusia dalam proses mediasi tersebut.


Dari ulasan Xinhua Commentary, yang tentunya mencerminkan juga sikap tidak resmi dari Cina, bisa disimpulkan bahwa mediasi yang diprakarsai oleh Amerika dan Uni Eropa yang seolah-olah memediasi kubu pemerintahan Yanukovich dan kelompok oposisi, sejatinya merupakan aksi sepihak untuk melumpuhkan dan pada akhirnya menjatuhkan pemerintahan Yanukovich.


Sikap politik tajuk rencana Xinhua Commentary nampaknya harus dibaca sebagai refleksi pendirian politik pemerintah Cina yang sejatinya mendukung langkah yang diambil oleh Putin maupun Majelis Federasi Rusia. Meskipun di atas permukaan, pihak kementerian luar negeri Cina secara resmi menyatakan keprihatinannya atas situasi yang terjadi di Ukraina, dan menyerukan kepada semua pihak untuk menyelesaikan konflik internal Ukraina sesuai prosedur hukum yang berlaku. Seraya menegaskan bahwa Cina menghormati kedaulatan dan integritas territorial Ukraina.


Namun menariknya, juru bicara kementerian luar negeri Cina Qin Gang kemudian mengakhiri pernyataan resminya dengan sebuah kalimat bersayap: “Ada beberapa alasan mengapa timbul situasi sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini.”

Di sini, Qin Gang tidak merinci lebih lanjut pernyataannya tersebut. Namun sebagaimana ulasana harian Xinhua Commentary di atas, Global Future Institute memandang kejatuhan Yanukovich paralel dengan terjadinya Revolusi berwarna di Ukraina pada 2004. Yang sejatinya skema revolusi berwarna merupakan skema negara-negara AS dan Uni Eropa untuk menjatuhkan pemerintahan suatu negara yang dipandang tidak bersahabat atau musuh.


Pemicu Kejatuhan Yanukovich


Kemarahan AS dan Uni Eropa mencapai puncaknya setelah Presiden Yanukovich menolak beberapa tekanan ekonomi politik yang dilakukan AS dan kelompok negara Uni Eropa. Yanukovich lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran.


Masih ingat apa yang terjadi pada 2011? Ketika itu, International Monetary Fund (IMF) gagal menjebol perekonomian Ukraina ketika pemerintah saat itu menolak mentah-mentah rekomendasi IMF untuk menghentikan subsidi harga gas yang dikonsumsi sebagian besar rakyat Ukraina. Padahal Ukraina sudah menyetujui pinjaman untuk Ukraina sebesar 15 miliar dolar AS.

Jerman, juga menekan Ukraina untuk bergabung dengan jaringan politik dan bisnisnya lewat kekuatan kelompok negara Uni Eropa. Sekadar informasi, Jerman sebenarnya sedang memulai proyek geopolitik besarnya melawan Rusia dengan memperluas jaringan European Union Eastern Partnership-nya. Proyek itu ternyata mampu merangkul negara Georgia dan Moldova. Sedangkan negara Belarus dan Armenia yang sudah dalam radar Jerman ternyata memilih bergabung ke kelompok negara Eurosian Customs Union yang dipimpin Rusia.


Sekarang, Ukraina yang kaya sumber energy itu juga menolak mentah-mentah keinginan Uni Eropa. Sangat logis jika kemudian Jerman meradang dengan penolakan Ukraina. Karena secara geopolitik, Ukraina dipandang oleh Jerman sebagai negara kunci untuk memenangkan perang pasar energy global Uni Eropa melawan kelompok negara-negara yang pro Rusia dan Cina.


Dalam prediksi Jerman, jika Ukraina bisa diajak bergabung dalam Uni Eropa, maka Uni Eropa akan mampu mengatur pasar energy global, minimal di tingkat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.

Manuver Uni Eropa dan Anatomi Kelompok Oposisi


Bebeapa langkah strategis Uni Eropa untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa perusahaan besar Jerman sudah membangun pipa gas yang cukup besar di Ukraina. Pipa gas tersebut dibangun melintasi Polandia, Hongaria dan Slovakia. Yang menjadi dasar pertimbangan Jerman, dengan membangun pipa-pipa gas tersebut, pada perkembangannya akan menyelesaikan ketergantungan Ukraina terhadap pasokan gas yang selama ini disalurkan dari Rusia.


Maka Jerman ingin agar proyek besar tersebut dibayar oleh Presiden Yanukovich dengan menandatangani kesepakatan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Namun dengan keputusan Yanukovich untuk lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran, maka rencana Jerman untuk membangun infrastruktur pipa gas tadi akhirnya hancur berantakan. Gagal total.


Nampaknya inilah skenario besar AS dan Uni Eropa di balik dukungan terhadap ribuan demonstrasi dengan berlindung pada simbol gerakan “Pro Demokrasi” dan gerakan “anti Presiden Yanukovich.”


Lantas, bagaimana gambaran konstalasi politik Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich? Mari kita telisik profil kelompok-kelompok yang berada di balik gerakan “Pro Demokrasi” Ukraina ini. Ternyata ada 3 kelompok besar di balik penggulingan Yanukovich.

Pertama, adalah partai Batkivschyna yang dipimpin oleh Yulia Tymoshenko. Partai ini dibiayai dan didukung secara langsung atau tidak langsung oleh Jerman.


Yang kedua, adalah Partai Svoboda yang mengusung ideology Neo Nazi. Partai ini adalah kelompok yang paling kuat menentang Yanukovich. Partai yang anti Yahudi (termasuk Yahudi Rusia) ini dibiayai oleh Washignton. Partai ini dipimpin oleh Tiahnybok. Dia mengembangkan partai neo nazi-nya dengan merujuk pada gerakan neo nazi yang berkembang di Eropa. Dalam konstalasi politik parlemen di Ukraina, Svoboda merupakan partai terbesar di Ukraina saat ini.


Kalau melihat betapa kisruhnya situasi politik di Ukraian beberapa bulan jelang jatuhnya Yanukovich, nampaknya Partai Svoboda berperan cukup aktif untuk memanaskan keadaan dan dalam menciptakan aksi destabilisasi politik.

Partai ketiga adalah partai Udar yang dipimpin langsung oleh Vitally Klitschko, mantan juara tinju kelas berat dunia. Klitschko merupakan salah satu calon presiden yang akan maju pada pemilu Ukraina 2015 mendatang. Partai Jerman Christian Democrat Union memastikan Klitschko merupakan salah satu orang penting untuk menjembatani semangat pro Uni Eropa di Ukraina.

Yang mengherankan kami di Global Future Institute, beberapa media arus utama, termasuk beberapa harian terkemuka di Indonesia, justru lebih menyorot dan menjadikan headlinenya ke arah kemunculan semangat neo nazi di Ukraina. Bahkan ada yang mengembangkan wacana bahwa Ukraina akan menjadi negara neo fasis baru. Sehingga Partai Svoboda dan gerakan neo nazi-lah yang justru jadi headline berbagai media massa di dalam maupun di luar negeri.


Padahal, isu besar di balik jatuhnya Presiden Yanukovich adalah pertarungan penguasaan energy global antara kelompok negara Trans Pacific Partnership (TPP) yang dimotori oleh Amerika dan Uni Eropa yang dimotori oleh Jerman. Melawan negara-negara yang tergabung dalam BRICS berdasarkan skema kerjasama strategis Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).


Menyimak dan memonitor secara intensif dan terus-menerus perkembangan situasi di Ukraina atas dalam sudut pandang ini, berarti mendorong berbagai elemen strategis di Indonesia untuk mewaspadai skema serupa akan dipagelarkan di Indonesia sewaktu-waktu. Apalagi dalam jelang pemilu April 2014 mendatang diprediksi akan cukup krusial dan berpotensi untuk terjadinya instabilitas politik. 






 


Artikel Terkait

» Gagalnya Skenario Revolusi Warna dan Titik-Balik Amerika di Ukraina

» Nasib Muslim Tatar: Isu Jihad Baru di Ukraina?

» Membaca Skenario Besar di Balik Penggulingan Presiden Yanukovich

» LAPORAN UTAMA: Tangan-Tangan Amerika dalam Aksi Teror di Volgograd

» Membaca Krisis Politik di Ukraina dari Perspektif Geopolitik (2)

» Membaca Krisis Politik di Ukraina dari Perspektif Geopolitik (1)



Artikel Terkait

» Ukraina Dalam Perspektif Geopolitik Zbigniew Brzezinski

» Gagalnya Skenario Revolusi Warna dan Titik-Balik Amerika di Ukraina

» Nasib Muslim Tatar: Isu Jihad Baru di Ukraina?

» Membaca Skenario Besar di Balik Penggulingan Presiden Yanukovich

» L’Ukraine Est Une Autre Syrie

» LAPORAN UTAMA: Georgia, Basis Operasi Militer-Intelijen AS dan Israel Destabilisasi Rusia

» LAPORAN UTAMA: Tangan-Tangan Amerika dalam Aksi Teror di Volgograd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar