Umat Islam yang Jadi Korban, kok Umat Islam pula yang Dirazia?
JAKARTA (voa-islam.com) –
Aparat keamanan dinilai diskriminatif dalam kerusuhan Ambon. Pihak Islam yang menjadi korban kerusuhan dirazia, sementara pihak Kristen malah dibiarkan.
Media memberitakan bahwa Ambon sudah kondusif pascakerusuhan. Namun insiden yang diawali dengan terbunuhnya tukang ojek Muslim di kampung Kristen ini masih menyisakan banyak keganjilan. Salah satunya adalah langkah aparat keamanan dalam meredam konflik.
Pengamat Intelijen Umar Abduh menilai, penanganan aparat keamanan di Ambon sangat diskriminatif dan lebih memihak kepada Kristen. Umar Abduh menyoroti razia aparat keamanan terhadap pihak Islam yang menjadi korban kerusuhan dan pembiaran terhadap pihak Kristen.
“Aneh! Mengapa yang dirazia itu kapal dan notebene orang-orang yang menjadi korban (umat Islam, red.), sementara yang melakukan agresi atau keganasan itu tidak dirazia,” jelasnya.
Karenanya, mantan tapol kasus Woyla di masa Orde Baru ini mengecam keberpihakan aparat kepolisian terhadap pihak Kristen. Padahal sepanjang sejarah pihak Kristen selalu menentang kebhinnekaan dan mengancam persatuan NKRI.
“Sejak dulu ini dilakukan oleh polisi karena pro salibis, ini yang harus ditekan dengan gencar,” tegasnya. “Yang terang-terangan melakukan keinginan untuk menentang kebhinnekaan itu, menentang undang-undang, menentang konstitusi NKRI adalah orang-orang non Islam. Orang Islam tidak pernah menginginkan pemisahan diri dari NKRI. Tapi ancaman-ancaman yang dilakukan para salibis sejak dulu Jakarta Charter itu yang Indonesia timur itu yang ingin memisahkan diri. Sekarang itu bukan cuma memisahkan diri, tetapi mereka berdiri seperti ada negara, karena Negara sudah tidak berdaya menghadapi mereka,” pungkasnya. [taz/ahmed widad]
Umar Abduh: Bohong Jika Pemerintah Tak Tahu Kejahatan Massal di Ambon
JAKARTA (voa-islam.com) – Pemerintah ditengarai melakukan pembiaran terhadap pembantaian massal di Ambon. Jika pemerintah terus membiarkan kejahatan ini berlangsung, maka pemerintah bisa diseret ke Pengadilan PBB dengan pasal pelanggaran HAM berat.
Hal itu diungkapkan pengamat intelijen Umar Abduh menyikapi berbagai keganjilan pemerintah dalam mengangani kasus kerusuhan di Ambon 11 September lalu,
Meskipun berbagai media memberitakan bahwa Ambon sudah kondusif pascakerusuhan, namun insiden yang diawali dengan terbunuhnya tukang ojek Muslim di kampung Kristen ini masih menyisakan banyak keganjilan.
Banyak pihak yang mencurigai pemerintah menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya yang membumihanguskan beberapa kampung Islam di Ambon. Menyembunyikan fakta-fakta di balik kerusuhan, memang jurus ampuh untuk memenangkan satu pihak dan membungkam pihak lain.
Kasus pembunuhan tukang ojek Muslim di wilayah Kristen misalnya, fakta-faktanya jelas ada penganiayaan tetapi aparat terus saja berkoar bahwa itu kecelakaan tunggal. Dan sampai saat ini belum ada upaya konkret dari pemerintah untuk mengusut dan mengungkap siapa pembunuh tukang ojek Muslim tersebut. Keganjilan makin diperparah dengan tewasnya beberapa warga Muslim dengan luka tembak.
Menanggapi situasi tersebut, tanpa ragu-ragu Umar Abduh menyebut pemerintah telah melakukan kebohongan jika tidak mengetahui kejahatan massal yang terjadi di Ambon.
“Kalau pemerintah tidak mengetahui kejahatan massal yang seperti itu, itu jelas bahwa pemerintah berbohong. Kalau ini terjadi berarti itu memang by design, disetujui oleh pemerintah,” ujar Pengamat Intelijen itu kepada voa-islam.com, Rabu sore (14/9/2011).
Menurut Umar Abduh, kezaliman pihak Kristen di kepada umat Islam di Ambon itu terjadi karena pemerintah memberikan kebebasan kepada Salibis, untuk mengikuti keinginan luar negeri, untuk melawan Islam.
“Kita tahu salibis itu seperti itu, bahwasanya pemerintah memberikan kebebasan salibis karena perintah dari majikannya di sana. Harus dipersenjatai karena mereka itu terancam oleh Islam. Mereka yang merasa sebagai minoritas, padahal di Ambon mereka itu kan seimbang,” papar mantan tapol kasus Woyla di masa Orde Baru itu.
Dengan sikap yang lebih mengikuti apa maunya asing atau maunya luar negeri itu, jelas Umar Abduh, mengakibatkan pemerintah tidak tahu betapa besar kekuatan kelompok separatis di Ambon. “Apa yang ada di tangan orang kafir atau salibis yang terang-terangan. Mereka itu jagonya banyak, snipernya banyak atau daya represifnya tinggi itu tidak pernah dihitung (oleh pemerintah, red). Jadi di sini menunjukkan bahwa memang ini skenario pemerintah,” jelasnya. “Pura-pura saja mereka, tidak ada intelijen tidak tahu itu tidak ada, kalau intelijen sampai tidak tahu itu namanya bukan negara!” tambahnya.
Abduh mengingatkan, jika terus melakukan pembiaran terhadap pembantaian massal di Ambon, maka pemerintah bisa saja diseret ke Pengadilan PBB dengan pasal pelanggaran HAM berat.
“Jika pembiaran ini terus dilakukan pemerintah maka bisa saja diajukan ke PBB lantaran pelanggaran HAM berat dan pemerintahnya dibubarkan,” tegasnya. [taz/ahmed widad]
Insiden Ambon Bertepatan Moment 11 September, Siapa yang Mensetting?
Jakarta (Voa-Islam) – Ada yang aneh dengan bentrokan yang terjadi di Ambon, Ahad (11/9) lalu. Keanehan itu bisa dirasakan, ketika insiden berdarah itu bertepatan dengan moment 11 September, sebuah peristiwa yang mengguncang warga Amerika Serikat dan masyarakat internasional. Ada upaya untuk mensetting dari moment 11 September tersebut.Demikian dikatakan Presidium Mer-C Joserizal Jurnalis, SpOT kepada voa-islam menanggapi bentrok fisik dua kelompok massa yang dipicu oleh tewasnya seorang tukang ojek bernama Darmin Saiman, Sabtu (10/9) lalu.
Tewasnya Darmin Saiman, si tukang ojek di kawasan Gunung Nona, tentu membuat reaktif umat Islam di Ambon. Mengingat, Gunung Nona merupakan kawasan yang banyak dihuni oleh kalangan Nasrani. Tidak aneh, tewasnya Darmin menimbulkan reaksi yang begitu cepat. Diperparah lagi, banyak desa-desa Muslim yang diserang, bahkan ada masjid yang dibakar.
“Saya melihat, ada upaya untuk mengalihkan isu. Ketika pemerintah telah kehabisan isu, isu teroris tak lagi menarik, maka diciptakanlah isu yang bisa mengalihkan masalah,” ujar Joserizal Jurnalis yang pernah bertugas melakukan pertolongan dalam beberapa wilayah konflik, antara lain di Maluku, Mindanao, Afghanistan, Irak, dan Gaza.
Kabar yang Joserizal dengar dari pihak keluarga korban, helm milik tukang ojek yang tewas itu dalam keadaan utuh, tapi kepalanya pecah karenanya adanya benturan pukulan. Begitu juga ada luka tusuk di punggungnya.
Dengan kabar ini, menunjukkan bahwa tewasnya Darmin Saiman bukan dikarenakan kecelakaan, seperti dijelaskan oleh pihak kepolisian, melainkan dibunuh. Karena itu, Joserizal mendesak pihak kepolisian agar melakukan otopsi ulang dan menjelaskan kepada publik dan media dengan sejujur-jujurnya, tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Menurut Joserizal, pemicu yang sebetulnya sepele itu, menjadi penyebab kerusuhan di Ambon acapkali terjadi. Dahulu, awalnya juga dipicu oleh pengemudi angkot yang berkelahi. Ditambah lagi, karakter orang Ambon yang begitu panasan dan mudah terpancing.
Pelagandong Pendekatan Kolonial
Ketika ditanya, kenapa Ambon selalu menjadi kelinci percobaan untuk diciptakan sebagai kawasan konflik antara kelompok Islam dan Kristen? Joserizal menilai, Ambon adalah pintu masuk para penjajah untuk menguasai Maluku. Sikap frustasi penjajah bisa dirasakan ketika mereka selalu gagal berkonkonfrontasi dengan kekuatan senjata. Lalu digunakanlah pendekatan kultural, yakni tradisi Pela Gandong. Boleh dibilang, Pela Gandong inilah upaya penjajah Belanda untuk meredam aksi jihad umat Islam untuk melakukan perlawanan .
Terkait bentrok fisik di Ambon yang menyebabkan kaum muslimin terancam, masjid dibakar, desa-desa kawasan Muslim diserang, banyak ikhwan yang mulai merapatkan barisan kembali untuk melindungi kaum muslimin di Ambon.
Namun, Joserizal minta kepada umat Islam, terutama para ikhwan, agar bersabar lebih dulu. Ia berpesan, agar jangan cepat terpancing. Bisa saja, ini adalah jebakan dan pancingan dari pihak yang tidak senang dengan Islam. Bila kita terpancing, bisa saja umat Islam yang bersemangat untuk membela saudaranya di Ambon, akan dihabisi dengan menggunakan isu teroris.
Joserizal belum bisa memastikan, situasi di Ambon bisa kembali redam. Menurutnya, itu bergantung penanganan pihak aparat agar bentrokan tidak meluas ke mana-mana. “Terpenting adalah mengupayakan untuk memberi ganti rugi kepada pihak korban yang kebanyakan menimpa umat Islam.”
Pasca bentrokan Ambon, Joserizal mengaku telah diminta masyarakat di sana untuk datang ke Ambon. Tapi, kata Joserizal, ia akan melihat 1-2 hari ini. Jika dalam dua hari Ambon belum kondusif, ia akan mengatakan ke datang Ambon. (Desastian)
FUI Minta Pihak Kristen Serahkan Provokator Pembunuh Ojek Muslim
JAKARTA (voa-islam.com) – Mencermati bentrokan Ambon yang dipicu oleh pembunuhan tukang ojek Muslim oleh oknum Kristen, Forum Umat Islam (FUI) meminta pihak Kristen Ambon bersikap ksatria dan mau bertanggungjawab.
Sekjen FUI, KH Muhammad Al Khaththath mengimbau kepada non muslim agar menyerahkan para provokator yang memulai pembunuhan terhadap seorang tukang ojek muslim yang tewas pada Sabtu (10/9/2011) lalu di Gunung Nona wilayah perkampungan Kristen.
“Kita juga mengimbau kepada orang-orang non muslim di sana agar tidak terprovokasi dan menghentikan permusuhan dengan kaum muslimin. Mereka harus menyerahkan para provokator yang memulai pembunuhan seperti yang kita dengar terhadap tukang ojek muslim. Mereka harus menyerahkan para pembunuh tersebut apabila ada di antara mereka dan mereka mengetahui,” imbaunya. “Hendaknya orang-orang Kristen mau menyerahkan kepada aparat keamanan secara ksatria untuk diproses lebih lanjut,” tambahnya.
Bila pihak Kristen tak mau menyerahkan para provokatornya, Al-Khaththath mendesak kepada aparat agar segera menangkap dan mengadili para pelaku penganiayaan dari pihak Kristen.
Anda Punya Informasi & Data Kasus Ambon, Laporkan Ambon ke Crisis Center FUI
Hotline Service Crisis Centre FUI
Mencermati informasi tentang konflik Ambon yang simpang siur, Forum Umat Islam (FUI) sebagai payung dari berbagai ormas Islam di Indonesia mendirikan Crisis Center FUI untuk menangani konflik tersebut.
Sekjen FUI, KH Muhammad Al-Khaththath mengimbau seluruh umat Islam untuk merapatkan barisan dan melakukan koordinasi dalam menangani kasus kerusuhan Ambon.
“Saya mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk menyampaikan informasi kepada Crisis Center FUI tentang kasus Ambon ini bisa ke nomor telepon 0812.1108.460,” jelas Al-Khaththath kepada voa-islam.com Senin malam (12/9/2011), usai launching Crisis Center Forum Umat Islam (FUI). [taz/ahmed widad]
Copot Polisi Kristen Pembantai Umat Islam dalam Kerusuhan Ambon!!
JAKARTA (voa-islam.com) – Front Pembela Islam (FPI) menemukan fakta adanya aparat kepolisian beragama Kristen yang turut membantai umat Islam dalam kerusuhan di Ambon. FPI mendesak Kapolri memecat Kepala Brimob dan mengadili polisi yang terlibat dalam kerusuhan itu.
Laporan warga itu diaminkan oleh Front Pembela Islam (FPI). Menurut Sekjen FPI, KH Muhammad Shabri Lubis, aparat Kristen terlibat langsung dalam kerusuhan Ambon jilid II yang menewaskan umat Islam ini.
“Kita terus mengikuti perkembangan, memang kerusuhan ini sekarang meluas dan melibatkan aparat-aparat Kristen untuk ikut serta membantai umat Islam. Jadi aparat Kristen itu turun, itu temuan kita,” ujarnya kepada voa-islam.com, Senin sore, (12/9/2011).
Selain itu, FPI juga mensinyalir ada permainan kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di belakang tragedi Ambon berdarah itu. “Iya ini RMS yang bermain,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi agar kerusuhan yang tak berimbang itu tidak meluas, FPI menuntut Kapolri agar menindak aparat kepolisian yang terlibat dalam pembantaian umat Islam dalam tragedi Ambon jilid II itu.
“Kita minta kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mengirimkan Polisi Militernya agar melihat di situ aparat-aparat yang terlibat dan ikut serta membantai kaum muslimin,” desak Shabri. “Mereka harus diseret ke pengadilan atau mahkamah militer dan juga kepada HAM Internasional, itu yang kita akan tuntut,” tambahnya.
FPI sangat menyayangkan aparat yang tidak profesional dalam menjalankan tugas di Ambon dengan ikut membantai kaum Muslimin.
“Tidak boleh terjadi lagi adanya aparat yang diketahui berbuat seperti itu karena mereka itu digaji, dibayar oleh Negara bukan untuk membantai umat Islam apalagi untuk pengkhianatan karena mereka itu ingin mendirikan RMS,” kecamnya.
Untuk itu, FPI mendesak Kapolri agar turun langsung ke TKP di Ambon untuk melakukan sidak dan mengusut anak prajuritnya.
“Maka dari itu kita menunggu ketegasan dari panglima TNI untuk mengusut tuntas masalah ini dan juga Kapolri untuk melihat anak buahnya di bawah,” tegas Shabri.
FPI menengarai, keterlibatan aparat dalam kerusuhan di Ambon yang menewaskan umat Islam itu mudah terjadi karena komposisi aparat Brimog yang mayoritas beragama Kristen.
“Kita juga mempertanyakan apakah normal jumlah dan komposisi Brimob yang ada di Ambon ? Sebab di situ ada Brimob bisa berjumlah lebih dari 70 persen Nasrani. Ini masuk di akal apa tidak?” tukas Shabri. “Ini jadi kesempatan mereka, bukannya melakukan penertiban malah melakukan pembantaian,” imbuhnya.
Sebagai solusi agar tidak terulang lagi pembantaian umat Islam yang dilakukan oleh aparat Kristen, FPI menuntut agar Kepala Komando Brimob dicopot, lalu komposisi anggota Brimob yang ditugaskan ke Maluku diperbaiki yang proporsional.
“Kita juga minta Kepala Komando Brimob di sana untuk diganti, dan juga jumlah komposisi anggota Brimob yang Muslim dan yang Nasrani bisa segera disesuaikan misalnya 50-50 jadi ada keadilan, jadi tidak didominasi kalau mereka memang betul-betul untuk menjaga NKRI. Tapi kalau Polisi ini memang dikuasai agen-agen Yahudi untuk melepas Indonesia melalui itu, urusan mereka,” ujar Shabri. [taz/ahmed widad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar