Trauma, Pengungsi Muslim Ambon Tak Berani Pulang Takut Diserang Salibis
AMBON (voa-islam.com) –
Foto Lainnya
Wada Isa, salah seorang pengungsi memilih terlunta-lunta makan nasi dan mie instan tiap hari daripada harus pulang ke kampung halaman. Menurut nenek sepuh berusia 63 th ini, situasi kampungnya, Amaci (Air Mata Cina) yang tak jauh dari kampung Kristen sangat mencekam.
“Saya mengungsi karena masih takut, sebab desa saya berbatasan dengan desa Pohon Pule (kampung Kristen, red.) yang hanya dipisahkan sebuah sungai,” ujarnya kepada voa-islam.com Senin (19/9/2011), sambil mengasuh Anandasari, cucunya yang berusia satu tahun.
Di pengungsian, jelasnya, ia hanya menerima bantuan beras dan mie instan saja. Sementara bantuan untuk balita seperti cucunya belum pernah didapatkan.
Ketakutan serupa juga menjadi alasan bagi Alwi, pengungsi di masjid Jami’ yang berasal dari desa Ponegoro Atas. Ia lebih memilih hidup di pengungsian untuk mengasuh balita berumur 1 tahun 7 bulan. “Saya mengungsi karena takut, sebab rumah saya berdekatan dengan gereja,” paparnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di pengungsian, Alwi hanya mengonsumsi bantuan beras dan mie instan saja sementara bantuan untuk balita seperti susu belum pernah didapatkan.
Ayah yang berprofesi sebagai tukang becak juga belum bisa beraktivitas banyak untuk mencari nafkah, karena masih merasa was-was terhadap serangan pihak Salibis. Praktis, ia hanya mengandalkan bantuan dan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi para pengungsi di masjid Al-Fatah pun tak beda dengan pengungsi di tempat lainnya. Kehidupan sehari-hari para pengungsi Muslim korban konflik 9/11 itu sangat memprihatinkan karena minim bantuan.
Aziz, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ambon yang sangat aktif mendampingi para pengungsi, mendesak pemerintah pusat untuk memperhatikan nasib para pengungsi. “Kita berharap pemerintah pusat bisa memperhatikan kesejahteraan pengungsi,” harapnya. [taz/ahmed widad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar