Rabu, 07 Mei 2014

...Khutbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum...>>


Menelusuri Khutbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum

http://www.icc-jakarta.com/menelusuri-khutbah-rasulullah-saw-di-ghadir-khum/

man_kunto_maula-t2 

Saw setelah menanggung berbagai derita selama 23 tahun menyebarkan risalah Ilahi bersabda, “Tidak ada nabi seperti diriku yang menanggung penderitaan berat dalam menyampaikan risalahnya.” Di akhir masa kenabiannya, Muhammad Saw saat menunaikan Haji Wada dan ketika berada di Ghadir Khum menunjuk penggantinya setelah mendapat perintah dari Allah Swt. Pengganti Nabi ini terkenal keberaniannya, ikhlas, pertama memeluk Islam, dan berulang kali telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang layak menggantikan sang Nabi.

Disebutkan bahwa Nabi menyadari kekuatan kaum munafik dan kebencian mereka terhadap Imam Ali bin Abi Talib as. Nabi sesaat khawatir untuk mengumumkan penggantinya, namun kemudian ayat al-Quran turun yang mensyaratkan kesempurnaan risalahnya dengan mengumumkan penggantinya serta Allah Swt akan menjaga Nabi-Nya dari kejahatan musuh.

Dengan demikian ketika rombongan haji telah tiba di Ghadir Khum yang merupakan persimpangan bagi para jamaah haji untuk kembali ke rumah masing2, Rasulullah Saw memerintahkan rombongan-nya untuk berhenti dan mendirikan kemah. Ketika jamaah haji lainnya tiba di Ghadir Khum, yang saat itu jumlahnya mencapai sekitar 120 ribu orang, Rasulullah naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.

Setelah menyampaikan pidatonya, Nabi meminta Imam Ali naik ke mimbar dan mengangkat tangan Imam serta mengenalkan kepada umat Islam bahwa Ali bin Abi Talib adalah penggantinya. Nabi bersabda bahwa ketaatan kepada Ali bin Abi Thalib sama dengan ketaatan kepada beliau. Selanjutnya Nabi memberitahukan kepada umat Islam bahwa keluarganya (Ahlul Bait) posisinya setara dengan al-Quran. Nabi mengingatkan bahwa Ahlul Bait dan al-Quran tidak akan terpisah hingga Hari Kiamat kelak. Keduanya menurut Nabi merupakan harapan kebahagiaan umat Islam.

Tak lama setelah itu, Rasulullah Saw akhirnya menemui Tuhannya. Sang penyebar ajaran Ilahi ini setelah berjuang selama 23 tahun kemudian meninggalkan dunia yang fana ini. Adapun Allah Swt berjanji akan menjaga Kitab Suci al-Quran dari tangan-tangan jahil yang berusaha mengubahnya.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S.15:9)


Kini Ali bin Abi Talib, kelahiran Ka’bah dan besar di pangkuan Nabi, orang pertama yang memeluk Islam yang mengikuti setiap detik turunnya wahyu karena berada di sisi Rasul mulai mengkhawatirkan masa depan umat Islam.


Kini kami akan mengetengahkan khutbah Rasul dan menjadikannya peta jalan risalah beliau guna membuka kembali perjalanan umat Islam. Kami berharap dengan upaya ini umat tidak akan terjebak ke jalan menyimpang dan menjadikan mereka sebagai penyeru pesan Rasul ke dunia. Tak hanya itu, kami juga berharap pembaca menjadi rasul-rasul di tengah keluarga dan kerabatnya yang meneruskan misi Rasulullah Saw dan ajaran Ilahi.


Harapan ini selaras dengan sabda Rasul yang menyebutkan, “Wahai kalian yang hadir dan mendengar pesan ini! Wajib bagi kalian ketika pulang ke rumah masing-masing memberitahukan pesan ini kepada mereka yang tidak hadir.”


Khutbah Rasul di Ghadir Khum


“Puji-pujian hanya milik Allah. Kami memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman. Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah Allah beri petunjuk baginya.”


“Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan kepada kalian suatu hal. Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya.”


“Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah benar, kebangkitan pun benar, dan ‘hari itu pasti akan tiba, dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya?” Mereka menjawab: “Ya, kami meyakininya.”


Nabi melanjutkan: “Hai, kaum Muslimin! Apakah kalian mendengar jelas suaraku?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasul berkata: “Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal paling berharga dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain.”


Orang-orang bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?”

Rasulullah menjawab: “Salah satunya adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku). 

Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukanku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar). 

Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!”


“Dengarlah! Aku adalah penghulu surga dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku. Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!”


“Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?” Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: “Hai, kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari ada diri mereka sendiri?” Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.”


Kemudian Rasul berkata: “hai Kaum Muslim! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua orang-orang beriman,” Lalu ia merengkuh tangan Ali dan mengangkatnya ke atas. la berseru: “Barang siapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali adalah Maulanya pula (Nabi mengulang sampai tiga kali) 

Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang Yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).


Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku, Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. la adalah pemimpin kalian setelah Allah dan Utusan-Nya.”


“Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam.”


“Perintahnya harus kalian taati, dan kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Maha kuasa dan Maha tinggi, wajibkan.”


“Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran! Terapkanlah ayat-ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah kalian mengira-ngira ayat-ayat yang bermakna ganda! Karena, Demi Allah, tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat-ayat secara benar akan makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.”


“Hai kaum Muslimin, inilah terakhir kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah dan Rasulnya.”


“Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian. Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal ini daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan Allah kepada kalian?” Semua orang menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Muhammad berkata, “Ya, Allah, saksikanlah.”


Belum lagi pertemuan akbar ini bubar, Jibril turun membawa wahyu dari Allah swt kepada Nabi-Nya.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
 ۚفَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙفَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 3: 3)


Kemudian Rasul bertakbir, Allah Akbar! Selamat atas disempurnakannya agama dan disempurnakannya nikmat dan keridhaan Allah terhadap risalahku dan kepemimpinan Ali sepeninggalku.


Setelah takbir Nabi tersebut, umat Islam berduyun-duyun memberikan selamat kepada Imam Ali as. Orang paling pertama yang mengucapkan selamat kepada Imam Ali adalah Abu Bakar dan Umar. Keduanya berkata, selamat kepadamu wahai Abu Turab! Kini Kamu menjadi pemimpin kami dan maula setiap laki-laki serta wanita mukmin.


Ibnu Abbas berkata: “Saya bersumpah bahwa wilayah terhadap Ali diwajibkan bagi seluruh umat.” Hasan bin Tsabit berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan Aku mengumandangkan syair tentang Ali.” Nabi pun kemudian mengijinkan Hasan bin Tsabit membacakan syair tentang peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Imam Ali as.


ینادیهم یوم الغدیر نبیهم بخم فاسمع بالرسول منادیا

Antara Ghadir Khum dan Saqifah

http://www.icc-jakarta.com/antara-ghadir-khum-dan-saqifah/

ghadeer3 

Bagaimana mungkin seratus ribu lebih jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Khum dan mendengarkan hadis al-Ghadir namun tiada satu pun dari mereka yang melontarkan kritikan dan protes di Saqifah?

Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.


Para penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.


Sedemikian masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.


Terlepas dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim haji tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan hukum-hukum haji pada tahun itu.


Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!


Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.


Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir, sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan, mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan membaiatnya.


Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.


Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat yang melancarkan protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.


Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.


Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1]dan memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.

Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatirdan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3] 

Terlepas dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini. Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini dengan dua ratus lima puluh sanad.[4] 

Kesemua ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.


Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6] Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.


Dari sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang memeluk agama Ilahi ini.


Dari sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat haji untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim haji tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8] 

Seluruh sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam sejarah kaum Muslimin.


Kemungkinan kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka melihat peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah memilih orang lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9] 

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.


Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.


Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10] dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[11] 

Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[12] 

Dari sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat dan juga penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.


Akan tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum berada pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari kejadian Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13] Atau sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka membaiatnya.[14][] 

Referensi untuk telaah lebih jauh:

1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.

2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.

3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.

4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.

5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.

6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.

7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.

8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.

9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.

10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.

11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.

12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.

13. Jamal, Syaikh Mufid.

14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.

15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.

________________________________________

[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.

[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.

[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.

[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.

[5]. Ibid, hal. 7.

[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.

[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222

[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.

[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.

[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.

[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.

[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.

[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.

[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.

Tawassul dan Memohon Syafa’at Bukanlah Perbuatan Syirik

Ayatullah Ja'far Subhani 
Ayatullah al Uzhma Ja’far Subhani berkenaan dengan beberapa syubhat yang menyebutkan memohon syafaat melalui para Wali Allah atau yang dikenal dengan istilah bertawassul adalah perbuatan syirik dan sia-sia, memberikan bantahan dan penjelasannya.
http://www.icc-jakarta.com/tawassul-dan-memohon-syafaat-bukanlah-perbuatan-syirik/

Berikut teks lengkap tanya-jawab tersebut.

Pertanyaan:

Bagaimana anda mengatakan, bahwa ucapan, “Wahai Imam yang mulia, berikanlah kesembuhan pada anakku”, sementara kesembuhan sendiri berasal dari Allah yang merupakan Zat Maha Penyembuh, apakah ucapan tersebut tidak terkategori sebagai bentuk kesyirikan?

Jawaban:

Kami telah memberikan penjelasan mengenai hal ini berkali-kali. Bahwa yang menentukan suatu amalan berupa aplikasi dari tauhid atau merupakan bentuk kesyirikan bukan ditangan kita. Melainkan wewenang sepenuhnya Allah SWT. Akan kami jelaskan secara sederhana sebagai berikut:

Didalam al-Qur’an al Karim disebutkan perintah untuk mentadabburi dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengamati secara keseluruhan dan tidak parsial dengan hanya mengambil pesan dari satu ayat dan mengabaikan ayat yang lain. Misalnya, dalam sejumlah ayat, Allah SWT menyampaikan bahwa Dialah yang Maha Mengatur segala urusan. Seperti dalam surah Yunus ayat  3 dan 31, ar Ra’ad ayat 2 dan As Sajdah ayat 5. Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan Allahlah yang Maha Mengatur segala urusan. Namun jika kita memperhatikan pada surah an Naziat ayat 5 justru berbunyi, “dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia). Melihat sekilas, maka kita bisa berkesimpulan ayat-ayat tersebut bertentangan. Namun sesungguhnya dalam Al-Qur’an tidak terdapat satupun ayat yang bertentangan sebagaimana firman Allah SWT, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” Qs. An Nisa: 82. Maka dapat dikatakan, bahwa maksud ayat yang pertama adalah bahwa kendali sepenuhnya berkenaan dengan pengaturan urusan dunia adalah Allah SWT, namun karena urusan dunia tidak bisa lepas dari proses sebab-akibat , maka dibutuhkan pengatur-pengatur perantara yang tetap dalam kontrol dan kendali Allah sepenuhnya yang berbuat untuk mengatur urusan dunia melalui izin Allah. Misalnya untuk urusan menurunkan rezeki, mengatur hujan, maka yang melakukan pekerjaan tersebut adalah kelompok malaikat yang mendapat perintah dan izin dari Allah SWT. Dan para malaikat yang mengatur urusan dunia tersebut tidak bisa bertindak sendiri dan berlepas dari kendali Allah SWT.

Contoh lainnya. Meskipun kita menemukan ayat yang bercerita mengenai Nabi Ibrahim as yang menyebutkan Allah SWT adalah Zat yang Maha Penyembuh, dengan berkata, “ dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,” [Qs. Asy Syu'araa': 80] namun, kita juga tidak bisa memungkiri, bahwa Allah SWT menyampaikan bahwa pada perut lebah terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakit, sebagaimana terdapat dalam surah An Nahl ayat 69, begitu pula pada surah Ali Imran ayat 49 yang menceritakan kisah mengenai Nabi Isa as yang dapat menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang mati dengan seizin Allah SWT. Oleh karena itu logika Al-Qur’an adalah kesembuhan, atau bahkan menghidupkan orang yang sudah mati dapat dilakukan oleh siapapun yang telah mendapat izin dari Allah SWT. Karenanya, memohon syafaat pada Wali-wali Allah, bukan hanya bukan berupa kesyirikan melainkan termasuk dalam bagian tauhid, yang percaya dan yakin bahwa Allah SWT memiliki kuasa penuh untuk memberikan kesembuhan melalui perantara orang-orang yang dicintaiNya.

Rahbar: Negara Seperti AS Tak Perlu Ditakuti

Rahbar: Negara Seperti AS Tak Perlu Ditakuti

http://www.icc-jakarta.com/rahbar-negara-seperti-as-tak-perlu-ditakuti/

Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei Kamis (6/3) pagi dalam pertemuan dengan ketua, jajaran pimpinan dan para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan menyinggung kedudukan penting Dewan Ahli dalam sistem pemerintahan di Iran seraya mengatakan, “Pertemuan para ulama, tokoh dan mujtahid Iran dalam sidang-sidang Dewan Ahli selalu menjadi peristiwa yang penting. Dalam momen-momen tertentu signifikansi pertemuan ini dirasa lebih besar seperti sidang yang berlangsung sekarang dan pada periode ini.”


Beliau menjelaskan transformasi penting yang terjadi saat ini di dunia dan di kawasan seraya menyatakan bahwa salah satu tanggungjawab yang harus dilaksanakan pada situasi saat ini adalah mencermati dan mengevaluasi apa yang menjadi tugas kita.


“Dalam kondisi seperti ini, seluruh lembaga negara termasuk Dewan Ahli Kepemimpinan harus mempunyai pandangan yang inovatif dan substansial dalam mencermati realitas yang terjadi di dunia,” kata beliau.


Selanjutnya, Rahbar menjelaskan sejumlah transformasi penting di dunia dan menuturkan, “Dimulainya perkembangan yang substansial di dunia dan kawasan yang diwarnai dengan terlihatnya tanda-tandanya di berbagai belahan dunia termasuk di kawasan utara Afrika, Asia dan Eropa adalah satu contoh realitas saat ini yang harus disoroti dengan cermat dan teliti.”


Realitas yang kedua adalah terguncangnya ketenangan kubu arogansi dan kekuatan adidaya dunia. Beliau mengatakan, “Salah satu tanda guncangan ini adalah krisis ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang terlihat dari keruntuhan perekonomian di sana.”


Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebut dekadensi moral, ternodainya kemanusiaan dan terungkapnya identitas utama dari peradaban Barat yang dibangun di atas landasan ideologi humanisme sebagai salah satu tanda adanya guncangan yang meresahkan kubu arogansi.


“Pembunuhan, penjarahan dan kekerasan serta kebejatan, pengumbaran syahwat yang menghancurkan dengan merebaknya perkawinan sejenis, pembelaan terbuka terhadap terorisme keji dan brutal di kawasan, juga penistaan terang-terangan terhadap kesucian dan para pemimpin agama, semua itu adalah bukti nyata akan kegagalan peradaban Barat dalam masalah moral,” ungkap beliau.


Realitas berikutnya adalah runtuhnya satu demi satu pilar-pilar keilmuan dan jatidiri pada peradaban Barat yang diwarnai dengan kebencian umum terhadap AS dan kekuatan adidaya Dunia yang kian merusak citra mereka di depan publik internasional.


Pemimpin Besar Revolusi Islam menegaskan, “Kebangkitan bangsa-bangsa di dunia khususnya kebangkitan Islam dan memuncaknya semangat resistensi Islam adalah satu lagi fakta yang terjadi di dunia saat ini.”


Menyinggung sikap dan pernyataan sebagian orang terkait kebangkitan Islam beliau menandaskan, “Sekarang terbukti bahwa kebangkitan ini sangat erat kaitannya dengan Islam. Walaupun saat ini terkesan surut, namun spirit percaya diri dan kembali ke jatidiri Islam tak akan pernah lenyap, dan saat inipun tidak sirna.”


Realitas penting berikutnya yang mewarnai dunia saat ini adalah keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Iran dengan revolusi Islamnya dan berkembangnya semangat independensi bangsa Iran setelah 35 tahun kemenangan revolusi.


“Semangat revolusi bangsa Iran tetap hidup. Pawai kemenangan revolusi Islam 22 Bahman tahun ini adalah fakta yang spektakuler dan bukti yang menguatkan klaim ini,” ungkap beliau.


Setelah menjelaskan sejumlah realitas penting dunia, Rahbar menyebutkan tugas dan tanggungjawab para petinggi Republik Islam pada periode yang menentukan ini.


Tugas para petinggi pemerintahan Islam Iran, menurut beliau, adalah melihat semua titik lemah dan kuat yang ada. Fakta menunjukkan bahwa revolusi Islam Iran tidak sama dengan revolusi-revolusi lain yang terjadi di dunia. Berlalunya tiga dekade dari kemenangan revolusi Islam memperlihatkan bahwa revolusi ini tetap hidup dan bangsa ini tetap menyuarakan perjuangan untuk Islam, kemerdekaan dan keadilan.


Tugas kedua adalah merasa bangga dan menghargai generasi muda yang agamis dan revolusioner di negeri ini. Meski tidak terlibat dan menyaksikan perjuangan meraih kemenangan revolusi dan rangkaian peristiwa yang terjadi setelahnya, namun generasi ini terbentuk menjadi generasi yang taat beragama dan loyal kepada revolusi Islam.


Tugas ketiga yang diemban para petinggi pemerintahan Islam Iran adalah memerhatikan kapasitas dan potensi besar dan berlimpah yang ada di negeri ini serta memanfaatkannya dengan baik. Kapasitas dan potensi besar inilah yang membimbing para petinggi Iran untuk memperkuat sistem ekonomi resistensi.


Tugas keempat adalah tidak lalai akan permusuhan lawan dan gangguan dari musuh. Sebab, musuh tak akan pernah berhenti memusuhi selama pemerintahan Islam dan bangsa Iran memegang teguh prinsip-prinsip dan cita-cita perjuangannya. Sejak dulu, kubu arogansi memiliki dendam yang mengakar dalam terhadap bangsa Iran, dan dendam itu saat ini bisa disaksikan dalam sikap dan pernyataan musuh.


Tugas kelima adalah menjalankan kebijakan ekonomi resistensi. Musuh yang meski memendam permusuhan namun tidak mampu melawan pemerintahan Islam dan bangsa Iran, menggunakan sanksi sebagai senjata. Padahal mereka tahu bahwa sanksi dan embargo yang mereka terapkan terhadap Republik Islam Iran sejak awal revolusi Islam sampai sekarang tidak ada gunanya. Bukti dari sia-sianya sanksi dan embargo nampak dari ancaman verbal yang ditebar oleh para petinggi AS terhadap Iran.


Untuk itu, Ayatollah al-Udzma Khamenei menekankan bahwa kerjasama dan koordinasi yang baik di antara pimpinan tiga lembaga tinggi negara, juga koordinasi antara Presiden dan para menteri yang bisa disaksikan saat ini, menumbuhkan harapan bahwa dengan bantuan Allah Swt, ekonomi resistensi akan bisa mengalahkan semua sanksi dan makar musuh.


Selain itu, beliau juga mengingatkan tugas berikutnya yaitu mengandalkan rakyat dan melakukan pekerjaan dengan semangat jihad. “Sejak awal kemenangan revolusi Islam setiap kali rakyat terlibat dan langkah dimulai dengan nama Allah dan semangat jihad, kita selalu meraih keberhasilan. Salah satu buktinya adalah kemenangan revolusi Islam dan di medan Perang Pertahanan Suci yang berlangsung delapan tahun,” imbuh beliau.


Tugas kedelapan yang mesti diperhatikan adalah bahwa para petinggi negara harus selalu memerhatikan perkembangan yang ada di dalam negeri seraya membandingkan kondisi dan kemampuan yang dimiliki saat ini dengan kondisi beberapa tahun yang lalu.


Seraya mengingatkan semua pihak untuk memperjelas batas pemisah dengan musuh, beliau menyayangkan sikap sebagian kalangan yang salah menganggap imbaun memperjelas batas pemisah dengan musuh sebagai pernyataan untuk memutus hubungan dengan dunia. Padahal yang dimaksud adalah batas sikap seperti keharusan adanya kejelasan batas teritorial dengan musuh.


“Tidak ada yang menentang hubungan dengan dunia. Tapi yang harus diperjelas adalah dengan siapa dan bagaimana kita menjalin hubungan,” kata Rahbar.


Tugas selanjutnya yang dipikul oleh para penyelenggara negara adalah tawakkal kepada Allah dan tidak gentar menghadapi musuh. Mengenai AS, beliau mengatakan, “Sekarang, musuh-musuh bangsa Iran adalah pihak-pihak yang punya nama paling buruk. Di pentas internasional, AS dikenal sebagai pemain yang kasar, penjahat, dan pelanggar hak asasi manusia. Sementara di dalam negeri, pemerintah AS dipandang sebagai rezim pembohong, dan saat ini tingkat kepercayaan rakyat AS kepada pemerintahannya berada di level terendah.”


“Pemerintahan yang tidak punya harga diri seperti ini,” imbuh beliau, “tidak perlu ditakuti. Jika bersama Allah, kita pasti akan ditolongNya.”


Beliau menyebutkan tugas lain para pejabat negara yaitu menjaga dan memperkuat persatuan nasional yang meliputi persatuan antara para pemeluk berbagai madzhab dan persatuan antara berbagai etnis.


Mengenai kebudayaan, Pemimpin Besar Revolusi Islam menyeru para pejabat untuk memerhatikan tugas yang sangat penting ini. Beliau menyinggung kekhawatiran para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan terhadap kondisi budaya di Iran seraya menegaskan bahwa kekhawatiran yang sama juga beliau rasakan. Karena itu, pemerintah selaku lembaga eksekutif harus memerhatikan masalah ini. “Tidak ada kata kompromi untuk masalah kebudayaan,” tegas beliau.


Ayatollah al-Udzma Khamenei menambahkan, “Masalah kebudayaan sangat penting. Sebab, pilar utama resistensi dan gerakan pemerintahan Islam dilandasi oleh keterjagaan budaya Islam dan revolusi, dan pemerintahan ini berusaha keras memperkuat budaya keimanan dan revolusi.”


Di akhir pembicaraannya, Rahbar menegaskan bahwa apa yang sudah disampaikan hendaknya menjadi bahan diskusi dan kepercayaan umum, dan untuk mewujudkannya diperlukan penjelasan yang logis dan cerdas tanpa sikap ektrim serta dengan bahasa yang baik.


Di awal pertemuan Ketua Dewan Ahli Kepemimpinan Ayatollah Mahdavi Kani melaporkan pelaksanaan sidang ke 15 Dewan ini yang dihadiri oleh hampir seluruh anggota.


Selanjutnya wakil ketua Dewan Ahli Kepemimpinan, Ayatollah Mohammad Yazdi menyampaikan hasil sidang yang membahas berbagai permasalahan.

Nabi saww Tidak Bermuka Masam

Surah 80 (Abasa)

Dengan nama Allah yang amat Pemurah lagi amat Mengasihani.

80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).

80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).

80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).

80:4 Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul sawa) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?

80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],

80:6 maka kamu melayaninya

80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),

80:8 Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,

80:9 Dan dia takut (kepada Allah),

80:10 maka kamu mengabaikannya,

80:11 Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.

Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.

Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh nabi [sawa]. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran sibuta diantara mereka, dan menganggu perbualan mereka dengan nabi [sawa]. Akhirnya seorang dari pembesar Umayyah [iaitu Uthman bin Affan] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.

Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada masa itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabiNya [sawa] bahawa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, kerana tidak mempunyai kekayaan dan kesehatan [cacat].

Terdapat beberapa pengulas sunni yang meletakkan moral nabi [sawa] jauh lebih rendah dibawah purata manusia umum, dan menuduh baginda menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka cuba mengatakan bahawa baginda tidak terlepas dari bermoral dan berkelakuan yang rendah. Sedangkan yang menghina simiskin adalah si pembesar Umayad yang masih bukan muslim, atau baru sahaja mengabungkan diri dengan para sahabat
[iaitu Uthman]. Dan bahkan sebahagian manusia demi untuk membersihkan nama Uthman dari perangai yang sedemikian, telah tidak teragak-agak menuduh nabi [sawa] pada kelakuan tersebut, dan dengan itu telah merendahkan moral nabi dan memuji Uthman. Memutar belitkan kejadian yang sedemikian telah dilakukan oleh Umayad semasa pemerintahan
mereka, melalui Penyampai yang digajikan. Telah diketahui umum bahwa Umayad adalah musuh keluarga nabi [sawa] dan juga Islam, dengan itu, tidak wajarlah bagi ketua mereka, Uthman, telah diberikan teguran di dalam al-Quran, dari itu para ulama yang berkerja untuk Umayad telah disuruh menulis yang ayat itu telah diwahyukan pada menegur nabi
[sawa], bukannya Uthman. Pendustaan secara terang-terangan ini adalah untuk memelihara kemuliaan Uthman dengan harganya pada menghina ketua para-para nabi. Ini adalah pendapat dari sebahagian pengulas sunni:
Telah dikatakan bahawa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom, dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahawa ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah apabila baginda sedang cuba menyampaikan dakwah Islam kepada manusia-manusia itu: al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan kepada kamu.' Dia berterusan memanggil kepada nabi dan mengulangi permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahawa nabi sedang sibuk mengadap mereka-mereka yang lain, sehinggalah kebencian kelihatan pada wajah pesuruh Allah kerana telah diganggu. Nabi berkata kepada dirinya bahwa pembesar-pembesar ini
akan berkata, yang pengikutnya adalah orang-orang buta dan juga hamba abdi, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya baginda berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan.

Selepas itu Rasulullah [sawa] akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Baginda akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai pemangku baginda ketika ada peperangan.

Ulasan oleh sunni yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Manthoor", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbezaan. Abul Ala Maududi seorang lagi pengulas al-Quran dari sunni, yang mempunyai pandangan sederhana. Ini ada perterjemahannya untuk ayat 80:17 :
-Disini kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak mengindahkan kepada pengkhabaran kebenaran. Sebelum ini, semenjak mula surah sehingga ke ayat 16, ianya ditujukan walaupun kelihatan kepada nabi [sawas], tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang kafir. (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman
1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)

Bagaimanapun, yang sebenarnya, al-Quran TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si Buta adalah nabi [sawa], dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat al-Quran di atas Allah awj TIDAK mengatakan kepada nabi sama ada dengan nama atau darjah [iaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran gantinama `dia' di
dalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya diSurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:

`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:

80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).

80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).

80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).

Walaupun jika kita menganggap bahawa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi [sawa], maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahawa perkataan `dia' [orang yang berkerut muka] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:

80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],

80:6 maka kamu melayaninya

80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

Dari itu orang yang berkerut adalah yang lain (bukan) dari nabi sendiri disebabkan oleh perbezaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada nabiNya [sawa] dengan mengatakan bahawa, menyampaikan kepada ahli Quraish
yang sombong, yang berkerut muka kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada sibuta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mahu mensucikan dirinya [sehinggakan dia berkerut muka kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.

Namun demikian tidaklah juga mungkin dhamir mukhatab (lawan bicara) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah [sawa] sebab beliau [sawa] baru sahaja mendapatkan wahyu dari Allah SWT dalam Surah 53: 33, supaya menjauhi orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dan mereka hanya menginginkan kehidupan duniawi sahaja. Ayat tersebut
menyatakan:"Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling ?(Apa-raaitalazhi tawalla)". Mustahil peringatan ini di langgar oleh Nabi [sawa]. Apabila ditinjau dari ilmu nahu, maka mendahulukan harf jarr atau isim majrur memiliki arti pengkhususan (ikhtisah). Maka lebih
layaklah jika dhamir ayat di atas ditujukan khusus kepada pembesar Quraisy berkenaan iaitu al-Walid bin Mughirah yang terkenal mempunyai motivasi seperti itu.

Lebih-lebih lagi, berkerut muka bukanlah dari keperibadian atau tingkah laku nabi [sawa], walaupun terhadap musuhnya, apa lagi jika terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk! Sesaorang mungkin boleh bertanya, bagaimana nabi [sawa] yang telah dikirimkan kepada manusia sebagai RAHMAT boleh berkelakuan dengan begitu keji,
sedangkan orang yang mempunyai iman yang sederhana, tidak berperangai dengan yang sedemikian? Tuduhan itu juga bertentangan dengan keterangan mengenai moral dan etika suci nabi [sawas] yang dikatakan oleh Allah sendiri:

`Sesungguhnya kamu (Muhammad sawa) mempunyai akhlak yang amat agung (khuluqin-azim).' [68:4]

Sesaorang yang menghina orang lain tidak berhak kepada pujian tersebut. Telah dipersetujui Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80]. Bahkan ianya telah diwahyukan selepas Surah Iqra' [96 surah yang pertama diwahyukan] Bagaimana boleh diterima bahawa Allah menganugerahkan kebesaran terhadap makhlukNya pada permulaan
kenabiannya, mengatakan bahawa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudiannya berpatah balik mengecam dan mengkritik dia terhadap sesuatu tindakkan kesalahan dari dia yang tidak bermoral.

Juga Allah SWT berfirman:

`Dan berilah peringatan saudara terdekat, dan berlemah lembutlah kepada mereka yang mengikut kamu dari kalangan yang beriman.' [26:214-215]

Telah diketahui bahawa ayat ini diwahyukan pada permulaan islam di Makah. Ayat yang sama juga boleh didapati pada penghujung ayat 15:88. Allah yang maha berkuasa, telah berkata lagi:

`Maka sampaikanlah secara terbuka apa yang kamu diperintahkan dan berpalinglah dari mereka yang musyrik.' [15:94]

Baginda telah diarahkan untuk berpaling dari mereka yang kafir di dalam ayat itu, yang diketahui telah diwahyukan pada permulaan `panggilan terhadap Islam.' [selepas tempuh secara rahsia pada mulanya]

Bagaimana boleh kita gambarkan bahawa setelah segala arahan disampaikan pada permulaannya, nabi yang agung dan mulia boleh membuat kesalahan sehingga memerlukan kenyataan pada membetulkan baginda?

Para pentafsir al-Quran dari mazhab Ahlul-Bayt berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan nabi [sawa], telah terdapat di dalam fikiran seorang dari mereka yang belum memeluk Islam, yang tidak tahu akan keajaipan sinaran cahaya terhadap Islam. Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran nabi [sawa] yang telah dihantar untuk menyampaikan keimanan kepada setiap seorang dan semuanya, tidak kira apa juga kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan kepada itu,
mereka merumuskan bahawa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, bahkan ianya menunjukkan kepada salah seorang dari Umayad yang hadir, dan bahawa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] mengatakan kepada nabi [sawa] walaupun ayat yang kemudiannya dikatakan kepada nabi [sawa].

Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran dan membaca al-Quran Arab yang asal, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan al-Quran pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; Allah terus sahaja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu, biasanya tidak mudah untuk
menentukan siapa yang diperkatakan, apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan. Itulah makanya nabi telah mengarahkan kita untuk merujuk kepada Ahlul-Bayt [as] untuk penghuraian ayat-ayat al-Quran, oleh kerana mereka `mempunyai pengetahuan yang mendalam' [3:7] dan adalah juga `Orang yang Mengetahui' [16:43; 21:7] dan mereka adalah orang yang telah disucikan, yang telah memahami pengertian maksud al-Quran [56:79]

Telah dikatakan bahawa Imam Jafar al-Sadiq [as] sebagai berkata:

Ia telah diwahyukan mengenai seorang dari kaum Umayyah, dia berada bersama nabi [sawa], kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, apabila dia melihat beliau, dia mengejinya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukaiNya dari tindakkan Umayyah itu.

Di dalam Tafsir Sayyid Shubbar, telah dikatakan dari al-Qummi bahawa:

Ayat itu telah diwahyukan mengenai Uthman dan Ibn Umm-Maktoom, dan dia seorang buta. Dia datang kepada Pesuruh Allah [sawa], sedang baginda bersama sekumpulan para sahabat, dan Uthman ada bersama. Rasul memperkenalkan beliau kepada Uthman, dan Uthman berkerut muka dan berpaling.

Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:

`Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]

Jadi bagaimana nabi [sawa] boleh mengatakan sesuatu yang menghinakan jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah? !!!! Nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya. Yang menariknya adalah, ulama sunni mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan SELEPAS surah al-Najm [53] dimana ianya telah mengatakan bahwa nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya.

Juga ayat 33:33 dari al-Quran mengesahkan bahawa Ahlul-Bayt adalah sempurna bersih dan suci. Kita semua tahu bahawa kemuliaan nabi jauh lebih tinggi dari keluarganya. Dia juga terjumlah di dalam ahlul-Bayt. Jadi bagaimana dia boleh menyakiti orang yang beriman dan terus mengekalkan kesuciannya???

Seandainya masih ada lagi tanggapan bahawa ayat itu ditujukan kepada Nabi [sawa] - sila perhatikan di dalam ayat yang diwahyukan di mana Allah berfirman:

80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

Maka perkataan diatas `tidak ada (celaan)' bererti bahawa apa yang nabi lakukan bukanlah satu kesalahan.

Juga apabila Allah berfirman: Menyampaikan kepada mereka, tidaklah perlu JIKA pembesar Quraish itu tidak mahu mensucikan diri. Pada mulanya Nabi [sawa] tidak tahu bahawa ketua kaum Quraish akan mengerutkan muka pada si Buta, dengan itu, syarat `jika' belum dilaksanakan, dari itu nabi perlulah menyampaikan peringatan sebelum peristiwa mengerutkan muka itu berlaku [kerana nabi sedang berucap dengan Quraish apabila si buta sampai]. Dan sebaik sahaja pembesar Quraish mengerutkan muka, nabi berhenti dari menyampaikan peringatan, dan ayat itu diwahyukan. Sebagaimana yang kita boleh lihat, apa yang nabi [sawa] lakukan adalah melaksanakan tanggong jawabnya saat demi saat.

Peringatan itu adalah untuk masa hadapan, sebagaimana dengan ayat al-Quran yang lain dimana Allah mengingatkan rasulNya bahawa tidaklah perlu bersusah yang amat sangat di dalam memberikan petunjuk kepada manusia, oleh kerana sebahagian dari mereka tidak akan dapat petunjuk, dan rasul tidaklah perlu bersusah hati mengenainya.

Sebagai rumusannya, kami telah berikan keterangan dari al-Quran, Hadith, Sejarah dan Nahu Arab, untuk menyokong fakta bahawa pada permulaan ayat dari surah tersebut TIDAKLAH merujuk kepada nabi Muhammad [sawa] dan orang yang mengerutkan muka pada si buta bukanlah nabi [sawa]. Kami juga menyatakan bahawa ayat 80:5-11 adalah
peringatan untuk waktu yang akan datang kepada nabi Muhammad bahawa menyampaikan kepada mereka yang kafir tidak akan berhasil, jika yang kafir tidak mahu mensucikan dirinya dan apabila sikafir menghina mereka yang beriman kerana tidak punya harta dan kurang kesihatan [cacat].

Ulasan Tambahan:

Seorang saudara dari golongan sunni mengatakan bahwa, ulama tafsir menulis, surah 80 telah diwahyukan selepas nabi cuba untuk menyakinkan empat orang Quraish yang terkemuka untuk memeluk Islam iaitu Utbah Ibn Rabi'ah, Abu Jahl (Amr Ibn Hisham), Umayyah Ibn Khalaf, dan saudaranya, Ubayy [tidak ada disebut Uthman Ibn Affan]. Lebih lagi, al-Qurtubi menyebut di dalam buku Tafsirnya bahawa ayat itu adalah ayat Madina [diwahyukan di Madinah] bererti bahawa Uthman telah memeluk Islam pada ketika itu.

Jawaban saya adalah seperti berikut: Kesemua Muslim telah bersetuju bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan di Makah lama sebelum penghijrahan nabi ke Madinah. Lebih menarik lagi mereka telah mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan `SEJURUS SELEPAS' Surah al-Najm [53] dimana Allah berkata nabi tidak berkata-kata dari kehendaknya!!! Sekali lagi berdasarkan dari sunni, Surah al-Najm adalah surah al-Quran yang ke 23 diwahyukan dan Surah Abasa adalah surah yang ke 24, dan keduanya adalah surah Makah yang terawal. Mungkin, apa al-Qurtubi telah sebutkan hanya sekadar untuk
memalingkan perhatian umum dari isu Uthman yang ditegur di dalam surah tersebut, dan dengan itu menyelamatkan kehormatannya dengan mengalihkan tuduhan itu kepada nabi [sawa]

Satu lagi kecacatan yang terdapat di dalam kenyataan diatas tadi adalah, bahawa dia berkata seorang dari pembesar Quraish itu adalah Abu Jahl. Apa yang Abu Jahl buat di Madinah? Tidakkah kamu tahu, wahai saudara, bahawa Abu Jahl tinggal di Makah, dan seorang dari musuh utama nabi, dan tidak pernah berpindah ke Madinah untuk bertemu
nabi, dan dia diantara mereka yang terbunuh di Peperangan Badr.

Mereka yang lain yang disebutkan dilaporan yang diatas: Utbah dan Umayyah juga terbunuh bersama ketua mereka, Abu Jahl, di dalam Peperangan Badr. Tiada dari mereka yang mempunyai peluang untuk bertemu dengan nabi [setelah penghijrahan nabi] melainkan di medan peperangan di Badr di mana jasad mereka telah dibawa keperigi yang terkenal itu.
Rujukan:
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.



9 komentar:

  1. Nabi saww Tidak Bermuka Masam

    Surah 80 (Abasa)

    Dengan nama Allah yang amat Pemurah lagi amat Mengasihani.

    80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).

    80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).

    80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).

    80:4 Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul sawa) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?

    80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],

    80:6 maka kamu melayaninya

    80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),

    80:8 Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,

    80:9 Dan dia takut (kepada Allah),

    80:10 maka kamu mengabaikannya,

    80:11 Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.

    Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.

    BalasHapus
  2. Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.

    Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh nabi [sawa]. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran sibuta diantara mereka, dan menganggu perbualan mereka dengan nabi [sawa]. Akhirnya seorang dari pembesar Umayyah [iaitu Uthman bin Affan] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.

    Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada masa itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabiNya [sawa] bahawa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, kerana tidak mempunyai kekayaan dan kesehatan [cacat].

    Terdapat beberapa pengulas sunni yang meletakkan moral nabi [sawa] jauh lebih rendah dibawah purata manusia umum, dan menuduh baginda menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka cuba mengatakan bahawa baginda tidak terlepas dari bermoral dan berkelakuan yang rendah. Sedangkan yang menghina simiskin adalah si pembesar Umayad yang masih bukan muslim, atau baru sahaja mengabungkan diri dengan para sahabat
    [iaitu Uthman]. Dan bahkan sebahagian manusia demi untuk membersihkan nama Uthman dari perangai yang sedemikian, telah tidak teragak-agak menuduh nabi [sawa] pada kelakuan tersebut, dan dengan itu telah merendahkan moral nabi dan memuji Uthman. Memutar belitkan kejadian yang sedemikian telah dilakukan oleh Umayad semasa pemerintahan
    mereka, melalui Penyampai yang digajikan. Telah diketahui umum bahwa Umayad adalah musuh keluarga nabi [sawa] dan juga Islam, dengan itu, tidak wajarlah bagi ketua mereka, Uthman, telah diberikan teguran di dalam al-Quran, dari itu para ulama yang berkerja untuk Umayad telah disuruh menulis yang ayat itu telah diwahyukan pada menegur nabi
    [sawa], bukannya Uthman. Pendustaan secara terang-terangan ini adalah untuk memelihara kemuliaan Uthman dengan harganya pada menghina ketua para-para nabi. Ini adalah pendapat dari sebahagian pengulas sunni:

    Telah dikatakan bahawa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom, dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahawa ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah apabila baginda sedang cuba menyampaikan dakwah Islam kepada manusia-manusia itu: al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan kepada kamu.' Dia berterusan memanggil kepada nabi dan mengulangi permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahawa nabi sedang sibuk mengadap mereka-mereka yang lain, sehinggalah kebencian kelihatan pada wajah pesuruh Allah kerana telah diganggu. Nabi berkata kepada dirinya bahwa pembesar-pembesar ini
    akan berkata, yang pengikutnya adalah orang-orang buta dan juga hamba abdi, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya baginda berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan.

    BalasHapus
  3. Selepas itu Rasulullah [sawa] akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Baginda akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai pemangku baginda ketika ada peperangan.

    Ulasan oleh sunni yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Manthoor", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbezaan. Abul Ala Maududi seorang lagi pengulas al-Quran dari sunni, yang mempunyai pandangan sederhana. Ini ada perterjemahannya untuk ayat 80:17 :

    -Disini kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak mengindahkan kepada pengkhabaran kebenaran. Sebelum ini, semenjak mula surah sehingga ke ayat 16, ianya ditujukan walaupun kelihatan kepada nabi [sawas], tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang kafir. (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman
    1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)

    Bagaimanapun, yang sebenarnya, al-Quran TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si Buta adalah nabi [sawa], dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat al-Quran di atas Allah awj TIDAK mengatakan kepada nabi sama ada dengan nama atau darjah [iaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran gantinama `dia' di
    dalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya diSurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:

    `Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:

    80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).

    80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).

    80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).

    Walaupun jika kita menganggap bahawa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi [sawa], maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahawa perkataan `dia' [orang yang berkerut muka] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:

    80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],

    80:6 maka kamu melayaninya

    80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

    Dari itu orang yang berkerut adalah yang lain (bukan) dari nabi sendiri disebabkan oleh perbezaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada nabiNya [sawa] dengan mengatakan bahawa, menyampaikan kepada ahli Quraish
    yang sombong, yang berkerut muka kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada sibuta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mahu mensucikan dirinya [sehinggakan dia berkerut muka kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.

    BalasHapus
  4. Namun demikian tidaklah juga mungkin dhamir mukhatab (lawan bicara) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah [sawa] sebab beliau [sawa] baru sahaja mendapatkan wahyu dari Allah SWT dalam Surah 53: 33, supaya menjauhi orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dan mereka hanya menginginkan kehidupan duniawi sahaja. Ayat tersebut
    menyatakan:"Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling ?(Apa-raaitalazhi tawalla)". Mustahil peringatan ini di langgar oleh Nabi [sawa]. Apabila ditinjau dari ilmu nahu, maka mendahulukan harf jarr atau isim majrur memiliki arti pengkhususan (ikhtisah). Maka lebih
    layaklah jika dhamir ayat di atas ditujukan khusus kepada pembesar Quraisy berkenaan iaitu al-Walid bin Mughirah yang terkenal mempunyai motivasi seperti itu.

    Lebih-lebih lagi, berkerut muka bukanlah dari keperibadian atau tingkah laku nabi [sawa], walaupun terhadap musuhnya, apa lagi jika terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk! Sesaorang mungkin boleh bertanya, bagaimana nabi [sawa] yang telah dikirimkan kepada manusia sebagai RAHMAT boleh berkelakuan dengan begitu keji,
    sedangkan orang yang mempunyai iman yang sederhana, tidak berperangai dengan yang sedemikian? Tuduhan itu juga bertentangan dengan keterangan mengenai moral dan etika suci nabi [sawas] yang dikatakan oleh Allah sendiri:

    `Sesungguhnya kamu (Muhammad sawa) mempunyai akhlak yang amat agung (khuluqin-azim).' [68:4]

    Sesaorang yang menghina orang lain tidak berhak kepada pujian tersebut. Telah dipersetujui Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80]. Bahkan ianya telah diwahyukan selepas Surah Iqra' [96 surah yang pertama diwahyukan] Bagaimana boleh diterima bahawa Allah menganugerahkan kebesaran terhadap makhlukNya pada permulaan
    kenabiannya, mengatakan bahawa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudiannya berpatah balik mengecam dan mengkritik dia terhadap sesuatu tindakkan kesalahan dari dia yang tidak bermoral.

    Juga Allah SWT berfirman:

    `Dan berilah peringatan saudara terdekat, dan berlemah lembutlah kepada mereka yang mengikut kamu dari kalangan yang beriman.' [26:214-215]

    Telah diketahui bahawa ayat ini diwahyukan pada permulaan islam di Makah. Ayat yang sama juga boleh didapati pada penghujung ayat 15:88. Allah yang maha berkuasa, telah berkata lagi:

    `Maka sampaikanlah secara terbuka apa yang kamu diperintahkan dan berpalinglah dari mereka yang musyrik.' [15:94]

    Baginda telah diarahkan untuk berpaling dari mereka yang kafir di dalam ayat itu, yang diketahui telah diwahyukan pada permulaan `panggilan terhadap Islam.' [selepas tempuh secara rahsia pada mulanya]

    Bagaimana boleh kita gambarkan bahawa setelah segala arahan disampaikan pada permulaannya, nabi yang agung dan mulia boleh membuat kesalahan sehingga memerlukan kenyataan pada membetulkan baginda?

    BalasHapus
  5. Para pentafsir al-Quran dari mazhab Ahlul-Bayt berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan nabi [sawa], telah terdapat di dalam fikiran seorang dari mereka yang belum memeluk Islam, yang tidak tahu akan keajaipan sinaran cahaya terhadap Islam. Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran nabi [sawa] yang telah dihantar untuk menyampaikan keimanan kepada setiap seorang dan semuanya, tidak kira apa juga kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan kepada itu,
    mereka merumuskan bahawa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, bahkan ianya menunjukkan kepada salah seorang dari Umayad yang hadir, dan bahawa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] mengatakan kepada nabi [sawa] walaupun ayat yang kemudiannya dikatakan kepada nabi [sawa].

    Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran dan membaca al-Quran Arab yang asal, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan al-Quran pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; Allah terus sahaja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu, biasanya tidak mudah untuk
    menentukan siapa yang diperkatakan, apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan. Itulah makanya nabi telah mengarahkan kita untuk merujuk kepada Ahlul-Bayt [as] untuk penghuraian ayat-ayat al-Quran, oleh kerana mereka `mempunyai pengetahuan yang mendalam' [3:7] dan adalah juga `Orang yang Mengetahui' [16:43; 21:7] dan mereka adalah orang yang telah disucikan, yang telah memahami pengertian maksud al-Quran [56:79]

    Telah dikatakan bahawa Imam Jafar al-Sadiq [as] sebagai berkata:

    Ia telah diwahyukan mengenai seorang dari kaum Umayyah, dia berada bersama nabi [sawa], kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, apabila dia melihat beliau, dia mengejinya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukaiNya dari tindakkan Umayyah itu.

    Di dalam Tafsir Sayyid Shubbar, telah dikatakan dari al-Qummi bahawa:

    Ayat itu telah diwahyukan mengenai Uthman dan Ibn Umm-Maktoom, dan dia seorang buta. Dia datang kepada Pesuruh Allah [sawa], sedang baginda bersama sekumpulan para sahabat, dan Uthman ada bersama. Rasul memperkenalkan beliau kepada Uthman, dan Uthman berkerut muka dan berpaling.

    Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:

    `Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]

    BalasHapus
  6. Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:

    `Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]

    Jadi bagaimana nabi [sawa] boleh mengatakan sesuatu yang menghinakan jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah? !!!! Nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya. Yang menariknya adalah, ulama sunni mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan SELEPAS surah al-Najm [53] dimana ianya telah mengatakan bahwa nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya.

    Juga ayat 33:33 dari al-Quran mengesahkan bahawa Ahlul-Bayt adalah sempurna bersih dan suci. Kita semua tahu bahawa kemuliaan nabi jauh lebih tinggi dari keluarganya. Dia juga terjumlah di dalam ahlul-Bayt. Jadi bagaimana dia boleh menyakiti orang yang beriman dan terus mengekalkan kesuciannya???

    Seandainya masih ada lagi tanggapan bahawa ayat itu ditujukan kepada Nabi [sawa] - sila perhatikan di dalam ayat yang diwahyukan di mana Allah berfirman:

    80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

    Maka perkataan diatas `tidak ada (celaan)' bererti bahawa apa yang nabi lakukan bukanlah satu kesalahan.

    Juga apabila Allah berfirman: Menyampaikan kepada mereka, tidaklah perlu JIKA pembesar Quraish itu tidak mahu mensucikan diri. Pada mulanya Nabi [sawa] tidak tahu bahawa ketua kaum Quraish akan mengerutkan muka pada si Buta, dengan itu, syarat `jika' belum dilaksanakan, dari itu nabi perlulah menyampaikan peringatan sebelum peristiwa mengerutkan muka itu berlaku [kerana nabi sedang berucap dengan Quraish apabila si buta sampai]. Dan sebaik sahaja pembesar Quraish mengerutkan muka, nabi berhenti dari menyampaikan peringatan, dan ayat itu diwahyukan. Sebagaimana yang kita boleh lihat, apa yang nabi [sawa] lakukan adalah melaksanakan tanggong jawabnya saat demi saat.

    Peringatan itu adalah untuk masa hadapan, sebagaimana dengan ayat al-Quran yang lain dimana Allah mengingatkan rasulNya bahawa tidaklah perlu bersusah yang amat sangat di dalam memberikan petunjuk kepada manusia, oleh kerana sebahagian dari mereka tidak akan dapat petunjuk, dan rasul tidaklah perlu bersusah hati mengenainya.

    Sebagai rumusannya, kami telah berikan keterangan dari al-Quran, Hadith, Sejarah dan Nahu Arab, untuk menyokong fakta bahawa pada permulaan ayat dari surah tersebut TIDAKLAH merujuk kepada nabi Muhammad [sawa] dan orang yang mengerutkan muka pada si buta bukanlah nabi [sawa]. Kami juga menyatakan bahawa ayat 80:5-11 adalah
    peringatan untuk waktu yang akan datang kepada nabi Muhammad bahawa menyampaikan kepada mereka yang kafir tidak akan berhasil, jika yang kafir tidak mahu mensucikan dirinya dan apabila sikafir menghina mereka yang beriman kerana tidak punya harta dan kurang kesihatan [cacat].

    BalasHapus
  7. Ulasan Tambahan:

    Seorang saudara dari golongan sunni mengatakan bahwa, ulama tafsir menulis, surah 80 telah diwahyukan selepas nabi cuba untuk menyakinkan empat orang Quraish yang terkemuka untuk memeluk Islam iaitu Utbah Ibn Rabi'ah, Abu Jahl (Amr Ibn Hisham), Umayyah Ibn Khalaf, dan saudaranya, Ubayy [tidak ada disebut Uthman Ibn Affan]. Lebih lagi, al-Qurtubi menyebut di dalam buku Tafsirnya bahawa ayat itu adalah ayat Madina [diwahyukan di Madinah] bererti bahawa Uthman telah memeluk Islam pada ketika itu.

    Jawaban saya adalah seperti berikut: Kesemua Muslim telah bersetuju bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan di Makah lama sebelum penghijrahan nabi ke Madinah. Lebih menarik lagi mereka telah mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan `SEJURUS SELEPAS' Surah al-Najm [53] dimana Allah berkata nabi tidak berkata-kata dari kehendaknya!!! Sekali lagi berdasarkan dari sunni, Surah al-Najm adalah surah al-Quran yang ke 23 diwahyukan dan Surah Abasa adalah surah yang ke 24, dan keduanya adalah surah Makah yang terawal. Mungkin, apa al-Qurtubi telah sebutkan hanya sekadar untuk
    memalingkan perhatian umum dari isu Uthman yang ditegur di dalam surah tersebut, dan dengan itu menyelamatkan kehormatannya dengan mengalihkan tuduhan itu kepada nabi [sawa]

    Satu lagi kecacatan yang terdapat di dalam kenyataan diatas tadi adalah, bahawa dia berkata seorang dari pembesar Quraish itu adalah Abu Jahl. Apa yang Abu Jahl buat di Madinah? Tidakkah kamu tahu, wahai saudara, bahawa Abu Jahl tinggal di Makah, dan seorang dari musuh utama nabi, dan tidak pernah berpindah ke Madinah untuk bertemu
    nabi, dan dia diantara mereka yang terbunuh di Peperangan Badr.

    Mereka yang lain yang disebutkan dilaporan yang diatas: Utbah dan Umayyah juga terbunuh bersama ketua mereka, Abu Jahl, di dalam Peperangan Badr. Tiada dari mereka yang mempunyai peluang untuk bertemu dengan nabi [setelah penghijrahan nabi] melainkan di medan peperangan di Badr di mana jasad mereka telah dibawa keperigi yang terkenal itu.


    Rujukan:
    al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
    al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
    Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
    Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
    Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
    Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.
    Diposkan oleh cinta Islam di 16.55

    BalasHapus
    Balasan
    1. ref: http://rasulullahsaww.blogspot.com/2009/01/nabi-saww-tidak-bermuka-masam.html

      Hapus
  8. Sebenarnya .. dalam khutbah Rasulullah saw.. yg gamblang di Ghadir Khum .. telah memberikan arahan ... dan siapa2 dan bagaimana seharusnya... kepemimpinan ummat pasca Rasulullah saw.. itu.
    Beliau sebagai pemimpin yang besar dan dengan bimbingan dan arahan Allah SWT .. tentunya sangat waspada dengan berbagai kemungkinan itu semua

    Namun sayang... seperti sabda beliau.. banyaknya orang2.. yang konon walawpun sudah diberi berbagai banyak kenikmatan dan penghargaan serta keputusan dan arahan yang adil dari rasulullah saw... Sepertinya tetap saja ada pihak2 yang tidak puas.. n men cari2 alasan.. untuk mengambil keuntungan2.. atau memang pada dasarnya .. ada sifat dan sikap.. yang secara spiritual.. menyimpang dari sejatinya.. sebagai shahabat ataupun sebagai ummat yg terawal.. untuk menjadi contoh tauladan yang utuh...??

    Seandainya pada tahap kritis itu.. Smwa shahabat itu kompak dan tetap teguh secara utuh dan lurus sepenuhnya dengan sikap arahan rasulullah saw..di GhK... Mungkin ummat yang belakangan datang tidak lagi di bingungkan dan di haru-biru oleh berbagai tafsir yang seakan.. tanpa kepastian yg utuh..dan pembenaran2 sepihak.. dan mungkin tidak ada peperangan dan perpecahan yang membuat ummat awam tercerai berai.. dan bahkan berpaling.. kepada ajaran2.. yg jelas bukan lagi islami.. bahkan bisa jadi sangatlah tercela.. yang pada hakekatnya.. dipandang dari nilai ruh dan jiwa kebenaran murni.. berdasarkan titah Allah swt dan arahan dan sabda kangjeng Rasulullah saw.

    Lalu.. bagi kaum awam.. hanyalah mengurut dada.. dan memohon .. semoga Allah mengampuni atas kebodohan kami.. dan ketidak tahuan kami.. karena jalan kebenaran se-olah banyak.. n kemungkinan bisa salah dan keliru.. atau malah tidak tahu lagi.. berputar tiada ujung.. sedang kami ingn kepadaMU yang sebenarnya..wahai Cahaya Diatas Segala Cahaya.. aamiin.

    Ya Rabb genggamlah kami.. ya Rabb dalam jalan lurusMu

    BalasHapus