Iran Peringatkan Dampak Vonis Mati Massal di Mesir
Republik Islam Iran memperingatkan dampak sosial dan politik dari putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan Mesir yang menjatuhkan hukuman mati terhadap ratusan anggota, pemimpin dan pendukung Ikhwanul Muslimin.
Marzieh Afkham, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran dalam konferensi pers mingguannya di Tehran, Selasa (29/4) mengatakan, "Dikeluarkannya keputusan itu dapat memiliki banyak konsekuensi sosial dan politik, dan mendorong musuh-musuh Mesir untuk lebih memperburuk situasi yang sedang berlangsung."
Ia menambahkan, Republik Islam Iran terus memantau perkembangan di Mesir dan menghormati revolusi besar negara ini, serta perlunya pemeliharaan dan realisasi dari pencapaian-pencapaian tersebut.
Afkham menekankan pentingnya untuk membangun persatuan nasional di antara lembaga-lembaga dan instansi sipil serta berbagai gerakan lainya untuk memenuhi tuntutan rakyat Mesir dan melestarikan kejayaan sejarah dan sipil di negaraAfrika Utara itu.
Jubir Kemenlu Iran lebih lanjut menegaskan bahwa putusan pengadilan Mesir bertentangan dengan "prinsip toleransi."
Selama sidang di kota Minya, selatan Mesir, pada Senin, pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadap 683 pendukung mantan Presiden Muhammad Mursidi tengah meningkatnya tindakan keras pemerintah interim terhadap para pendukung Ikhwanul Muslimin.
Pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin, Mohamed Badie merupakan salah satu terdakwa yang dijatuhi hukuman mati.
Mesir dilanda kekerasan tak henti-hentinya sejak kudeta militer terhadap Mursipada tanggal 3 Juli 2013.
Menurut Amnesty International, 1.400 orang telah tewas dalam kekerasan politik sejakpenggulingan presiden pilihan rakyat Mesir itu. (IRIB Indonesia/RA)
11 Alasan Mengapa Kita Harus Menolak RUU ORMAS
24/06/2013
Oleh: Tim Koalisi Kebebasan Berserikat
- Definisi Ormas sangat Umum, membelenggu semua bentuk dan bidang Kemasyarakatan. Definisi Ormas dalam Pasal 1 yang serba mencakup, “…organisasi
yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan
tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan
NKRI yang berdasarkan Pancasila”, akan memasukkan organisasi
bersifat sosial atau non profit, asosiasi atau perkumpulan
keilmuan/profesi/hobby baik yang beriuran ataupun tidak, pengajian,
paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah
sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Dampaknya tentu berbenturan
dengan definisi dan ruang lingkup badan hukum lain, karena Indonesia sudah
memiliki UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun
2001 tentang Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).
- RUU Ormas Mengecualikan Organisasi Sayap Partai Politik. Apa Tujuannya? Kontradiktif dengan definisi yang serba mencakup, RUU Ormas membuat pengecualian untuk organisasi sayap partai politik dalam Pasal 4 yang berbunyi “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”. Padahal Undang-Undang tentang bentuk-bentuk badan hukum dalam pernyataan nomor 1, mengatur sangat lengkap tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik “Partai politik berhak….membentuk dan memiliki organisasi sayap partai” (Pasal 12 huruf j). Lantas, mengapa hanya organisasi sayap partai politik yang dikecualikan secara eksplisit dari RUU Ormas? Sementara aturan hukum bagi mereka jauh dari memadai. Apakah kepatuhan pada Pancasila dan NKRI, kondisi tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi mereka sudah tidak perlu diragukan lagi? Ataukah ini skema pengamanan diri partai politik menjelang 2014?
- RUU Ormas Menyempitkan Amanat UUD 1945 dan Membangkitkan Momok Represi Gaya Orde Baru. Pasal 10 menyatakan Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Untuk apa? Badan hukum organisasi telah diatur dalam undang undang tersendiri. Pasal ini justru menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berorganisasi hanya menjadi “Ormas”. Harus kita sadari, bentuk Ormas tidaklah dikenal dalam kerangka hukum yang benar. Ormas merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia. UU Ormas lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Bentuk ancaman yang dibangkitkan kembali dalam RUU Ormas ini “Dalam hal peringatan tertulis kedua dan/atau peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak dipatuhi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan” (Pasal 62 ayat (7)).
- RUU Ormas Mengembalikan Politik sebagai Panglima. RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial, keagamaan, hingga kemanusiaan ke ranah politik di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri, khususnya Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Indonesia adalah negara hukum, pendekatan hukumlah yang perlu dikedepankan. Pengaturan mengenai organisasi berbasiskan keanggotaan mestinya diatur melalui RUU Perkumpulan yang sudah disiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.
- RUU Ormas Mengacaukan Tata Hukum di Indonesia. Pasal 11 memasukkan badan hukum yayasan dan perkumpulan dalam belenggu RUU Ormas padahal
keduanya telah diatur melalui UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen). Jika hanya hendak mengatur organisasi berbasiskan anggota seperti yang tertulis pada Pasal 13, “badan hukum yayasan diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, mengapa tidak membuat UU Perkumpulan sebagai pembaharuan Staadsblad 1870-64 yang merupakan warisan kolonial Belanda? Sementara Pemerintah dan DPR telah memasukkan RUU Perkumpulan dalam Prolegnas 2010-2014. RUU Perkumpulan ini secara hukum lebih punya dasar, namun malah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah, yang justru masuk dalam Prioritas Legislasi 2011. Melalui Pasal 12 ayat (4), DPR dan Pemerintah justru menempatkan ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum perkumpulan dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang jelas-jelas mengacaukan sistem hukum dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum. Tidak hanya itu, RUU Ormas juga memandatkan pencabutan Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang akan menimbulkan kekosongan hukum bagi badan hukum Perkumpulan (Pasal 54 huruf b). - RUU Ormas Memukul Rata Dan Akan Menimbulkan Kekacauan Mendasar jika Disahkan.
Dengan memasukkan badan hukum Yayasan ke dalam kategori Ormas,
Pemerintah dan DPR jelas tidak memahami produk hukum yang dilahirkannya
sendiri. UU Yayasan dengan jelas mengatur yayasan sebagai badan hukum
tanpa anggota. Jika RUU Ormas disahkan, maka ribuan Yayasan (Rumah
Sakit, Sekolah, Panti Asuhan, Pesantren, CSR, Lembaga Amil Zakat, dsb)
akan terseret ke ranah
politik dengan dikategorikan sebagai Ormas di bawah kendali pengawasan Pemerintah. - Persyaratan Administrasi Menjadi Instrumen Penghambat Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul (Pasal 16) Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Ormas akan dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki SKT. Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Sungguh luar biasa proses birokratisasi untuk bisa menjalankan kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Ketua Pansus beberapa kali menyatakan, “hanya organisasi yang memiliki struktur saja yang diatur oleh RUU Ormas ini nantinya”. Realitasnya, kelompok pecinta bola, jaringan sosial, paguyuban keluarga, kelompok pengajian/doa, arisan, dlsb tidak akan terkecualikan karena sesederhana apapun mereka umumnya memiliki struktur kepengurusan.
- RUU Ormas untuk Alat Meningkatkan Akuntabilitas Ormas kepada Masyarakat? Apakah Indonesia memiliki kekosongan hukum untuk ‘memaksa’ akuntabilitas Ormas kepada masyarakat? Jawabannya tidak. Dalam UU Yayasan ada keharusan untuk melakukan audit keuangan eksternal jika Yayasan menerima dana lebih dari 500 juta, dan mengumumkan hasilnya ke publik melalui media massa. Undang Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadikan organisasi nonpemerintah sebagai badan publik nonpemerintah yang berkewajiban bersikap transparansi kepada publik. Jadi tidak perlu ada RUU Ormas untuk mendorong akuntabilitas Ormas kepada Masyarakat.
- RUU Ormas Memuat Serangkaian Pasal Larangan yang Multitafsir (Pasal 61) RUU Ormas memuat serangkaian larangan yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas, dan pada sisi lain bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat publik yang korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerja sama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Organisasi media, pers, wartawan, atau jurnalis akan terancam melanggar pasal larangan menganut, mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Yang dimaksud dengan “ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran atau paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme. Sebagai media, wartawan, dan jurnalis yang profesional serta hidup dalam sistem yang demokratis adalah kewajiban untuk menyajikan informasi dari berbagai sudut pandang agar pembaca memperoleh informasi yang komprehensif guna meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan hidupnya.
- Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi Ormas (Pasal 62-63) kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa teguran, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi pembekuan (penghentian kegiatan) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum. Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum. Sanksi akan dijatuhkan bagi ormas yang melanggar kewajiban (Pasal 21) serta larangan (Pasal 61), misalnya tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak memiliki SKT, menganut,mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila diantaranya kapitalisme dan liberalisme, menggunakan nama, bendera, simbol “menyerupai” organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang, atau tanda gambar ormas atau partai politik lain, menerima sumbangan dalam bentuk apapun dari pihak mana pun tanpa identitas yang jelas, atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan kewenangan aparat penegak hukum. Ancaman sanksi ini jelas merupakan instrumen rezim otoriter untuk merepresi pertumbuhan organisasi masyarakat sipil sebagai counter balance pemerintah.
- RUU Ormas Merefleksikan Ambisi Rezim Politik Atas Nama Negara untuk menciptakan totalitarianisme, absolutisme,otoritarianisme, etatisme yang semuanya anti demokrasi dan membangkitkan kembali kediktatoran kepemimpinan negara. Oleh karena itu RUU Ormas harus ditolak dan dibatalkan!!
* Foto aksi FSPMI
Menggugat Keberpihakan Media Mainstream dalam Kapitalisme
26/06/2013
[Bagian pertama dari 3 tulisan]
Oleh: Obet*
Di era sekarang, media bukan hanya menjadi
alat komunikasi yang efektif, tapi juga telah menjadi industri yang
menopang kehidupan berpolitik. Dan ketika kapitalisme memenangkan
persaingan, hegemoni atas media pun menjadi konsekwensi yang tak
terelakkan.
http://koranpembebasan.wordpress.com/2013/06/26/menggugat-keberpihakan-media-mainstream-dalam-kapitalisme/
Buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovich dan Tom Rosenstiel, seolah ingin menegaskan kembali perdebatan mengenai keberpihakan media. Pertanyaan pertanyaan mendasar seperti; kepada siapa media [jurnalis] berpihak?; untuk siapa jurnalis bekerja?; dan kepada siapa loyalitas jurnalis diperuntukkan?, dijawab tuntas dalam buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau tersebut.
Terlepas dari kegigihan kedua penulis dalam menjabarkan keberpihakan tersebut, tulisan ini hendak memberikan catatan tambahan terhadap buku yang lebih sarat dengan nilai nilai idealis [moralis] tersebut, melalui pendekatan ekonomi politik dan analisis kelas.
Bukti yang tak bisa dipungkiri adalah keberpihakan media kepada modal dibandingkan memihak rakyat kebanyakan sebagaimana nilai-nilai demokrasi universal disemaikan, diusung dan didaratkan dari oleh dan untuk rakyat. Padahal media selain sebagai pembentuk opini publik media juga memiliki fungsi strategis yang lain yaitu sebagai kontrol sosial.
Sebagaimana fungsi kontrol sosial yang diembannya, selayaknya media mengawasi kinerja pemerintah dan kapital. Kritik-kritik media terhadap pemerintah diperlukan, agar pemerintah tak melakukan penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merampas hak-hak publik dan menyebabkan meluasnya kemiskinan struktural yang diproduksi oleh negara. Kritik media kepada kapital juga diperlukan, agar kapital tak melakukan monopoli pasar melalui hukum ’tangan besi’ ekonomi yang berlindung di balik kepalsuan pasar bebas yang dimotori oleh para taipan yang menyebabkan ambruknya usaha kecil dan menengah.
Namun nilai tersebut berhenti hanya sampai pada titik idealis saja, karena acapkali berita-berita media bias kepentingan dan tidak netral. Sehingga ruang publik yang melekat dalam diri media pun, perlu dikontrol oleh publik. Di sinilah, pandangan-pandangan tentang relasi media, birokrasi dan elit politik dalam ruang publik diuji. Sering terjadi sebuah berita diblow-up besar-besaran oleh media, akan tetapi berita yang sudah menjadi arena publik tersebut secara tiba-tiba berhenti dan menghilang begitu saja tanpa pernah ada penjelasan dari media kepada publik tentang mengapa berita-berita tersebut tak ada kelanjutannya. Publik pun kemudian menaruh curiga, bahwa ada sesuatu yang secara sengaja disembunyikan oleh media. Agenda-agenda tersembunyi media seperti ini, tak pernah diketahui secara jelas oleh publik. Fenomena ini menunjukkan betapa sebenarnya media sering mengesampingkan nilai-nilai demokrasi tentang pentingnya sebuah keterbukaan dalam komunikasi massa.
Di tangan media, kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat (adagium demokrasi) menjadi senjata yang ampuh untuk menghabisi demokrasi itu sendiri. Selama ini, media dipersepsikan memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi negara dan kapital. Pada kenyataannya, kekuatan media itu tak pernah hadir karena tereduksi oleh hegemoni negara dan dominasi kapital. Bahkan dewasa ini, hanya yang disebut terakhir saja yang superkuasa.
Dalam posisi ini media dipandang lemah dan tak berdaya karena media cenderung mengikuti arus kekuasaan yang dominan. Akibat melemahnya fungsi media di negara-negara berkembang yang mengedepankan dominasi kapital, bahkan melebihi proses-proses kapitalisasi yang terjadi di negara maju sekali pun, sehingga isu sentral yang relevan dikedepankan di sini adalah demokratisasi media di tengah belenggu ekonomi dan politik.
Pemilihan isu ini sekaligus dimaksudkan untuk mencermati tahap kritis fase demokratisasi media pasca era 1980-an di mana media menjadi entitas bisnis transnasional.
Konglomerasi hingga Kapitalisasi
Fenomena konglomerasi media juga bisa kita jumpai di Indonesia. Zulhasril Nasir dalam disertasinya berjudul Perubahan Struktur Media Massa Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi, Kajian Media Politik-Ekonomi menyebutkan, bahwa Kelompok Kompas Gremedia Grup (KKG) dan Kelompok Jawa Pos (KJP) adalah dua kelompok besar di antara 24 kelompok media massa di Indonesia. KKG mengendalikan 15 surat kabar, 14 tabloid, 19 majalah, 5 stasiun radio, 1 stasiun televisi, disamping 3 perusahaan multimedia, 5 penerbitan, 1 percetakan dan 5 kedai buku. KKG, bahkan menginvestasikan modalnya di bidang perhotelan di 10 kota besar, dan mengelola industri rotan dan kertas. Sementara KJP, memiliki 107 media, dan Media Indonesia memiliki 14 perusahaan media, termasuk sebuah stasiun televisi dan hotel bertaraf internasional di Bali (Nasir, 2004).
Sedangkan komposisi kepemilikan media elektronik (stasiun TV), Agus Sudibyo dalam Ekonomi Politik Media Penyiaran (2004) mengungkapkan, bahwa RCTI dimiliki Bambang Trihatmodjo. Para pemegang saham SCTV, adalah Henry Pribadi dan Sudwikatmono (adik tiri Soeharto) serta Halimah Trihatmodjo (menantu Soeharto). TPI dimiliki oleh Tutut. Saat Tutut menjabat sebagai Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) juga menancapkan pengaruhnya yang luar biasa pada sektor bisnis radio komersial. Indosiar dimiliki oleh Salim Grup, kelompok bisnis yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong (kroni Soeharto). Hanya ANTV (1993) yang tidak punya kaitan langsung dengan Cendana. Stasiun televisi ini dimiliki Bakrie Group dan Agung Laksono, tokoh Golkar. Dalam bisnis media, Bob Hasan memegang hak monopoli suplai kertas Koran lewat PT Aspex Papers (Sudibyo, 2004:16). Selanjutnya, kita akan bertanya-tanya bagaimana mungkin media akan bersikap netral dan fair terhadap semua pihak jika pemiliknya adalah obyek yang harus dikontrol
Dalam tataran idealnya Chomsky mengungkapkan bahwa untuk membuat demokrasi menjadi demokratis, media harus memenuhi dua fungsi. Pertama, media harus melaporkan berita secara apa adanya, lengkap dan tidak memihak. Kedua, media harus berfungsi sebagai pembela masyarakat melawan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Hal ini patut dipahami karena dalam banyak kasus, media tak sekedar menjadi pembentuk pendapat umum yang mengkritik pemerintah maupun kapital, namun keberadaan media dengan pendapatnya itu sendiri merupakan ruang publik (public sphere) di mana permasalahan kebijakan dibincangkan dan dirumuskan; permasalahan kebijakan perlu ditolak atau diperkuat. Dari kondisi ini kontrol dapat ditegakkan dan partisipasi rakyat berjalan efektif, mutlak diperlukan adanya kebebasan memperoleh informasi. Disamping itu, diperlukan adanya kesediaan berbagi kekuasaan dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, termasuk dalam pengertian ini berbeda pandangan dengan pemerintah
Netralitas media sebagai corong suara rakyat mendapat kecaman dari banyak kalangan, Chomsky seperti dikutip oleh David Cogswell (2006: 80) menyatakan bahwa media adalah sistem ’pasar yang terpimpin’, disetir oleh profit dan dipandu oleh pemerintah. Hal ini menandakan bahwa media tidak lagi netral.
Sejatinya, hubungan media massa, kelompok dominan, dan masyarakat menyiratkan hubungan yang hegemonik. Hegemoni berupaya untuk menumbuhkan kepatuhan dengan menggunakan kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dan konsensus.
Dengan demikian media massa dapat ditafsirkan, pertama: sebagai medium tempat dimana wacana dari kepemimpinan politik dan ideologis disebarkan, kedua: sebagai arena tempat dimana keragaman praktek wacana dilakukan, dengan tujuan akhir adalah membangun konsensus dengan pihak yang lemah. Hasil konsensus ini digunakan kelas yang lemah untuk menafsirkan pengalamannya yang sebelumnya telah diintrodusir oleh pihak yang berkuasa atau kelompok dominan. Karena itu, bisa dipahami apabila masyarakat sebagai komunitas politik sangat tergantung pada apa dan bagaimana realitas politik didefinisikan oleh elit politik dominan.
Kapitalisme sebagai sebuah nilai dalam relasinya dengan organisasi media dan jurnalis, secara teoritik dapat dilihat dalam dua sudut pandang utama. Pertama, bisa saja ia berpengaruh dalam konteks arus produksi, distribusi dan konsumsinya ketika ketahanan sosial, politik, moral dari organisasi media dan profesi jurnalis mengalami reduksi sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai atau orientasi independen yang dimilikinya menjadi keniscayaan. Kedua, sudut pandang ini bisa tidak berlaku, manakala ketahanan internal dan eksternalnya secara minimal mampu untuk untuk membendung arus nilai kapitalisme yang menyentuhnya.
Secara empirik, akibat terlalu kuatnya sistem nilai kapitalisme, maka organisasi media dan jurnalis hanya akan menjadi robot yang berwujud pada prinsip taktik strategi semata dari perilaku-perilaku kapitalisme. Keberadaan organisasi media sebagai organisasi yang otonom, independen, lepas dari intervensi dan hegemoni sistem kapitalisme sulit untuk diwujudkan. Begitu juga halnya dengan jurnalis, juga banyak terkooptasi secara relatif terhadap mainstream kapitalisme.
Seorang jurnalis mungkin saja menulis dan mengungkapkan fakta-fakta mengenai keterbelakangan, kemiskinan, dan penindasan, yang terlihat seolah-olah telah berfihak pada kepentingan rakyat kecil, namun semua itu hanya di permukaannya saja. Dengan kata lain, belum menyentuh secara mendasar dari perilaku ideologis jurnalis yang seharusnya memerdekakan rakyat kecil dari belenggu kapitalisme.
Profesionalisme sebagai sebuah ketahanan intenal tidak banyak menjamin intervensi sistem nilai yang lebih besar di atasnya, yakni sistem kapitalisme. Bisa saja kita semua hari ini adalah ”korban-korban” dari sistem nilai kapitalisme itu sendiri. Yang utama, bagaimana memposisikan dan menempatkan isi berita yang dimuat di media massa tidak menjadi satu pendapat saja, tapi lebih dari pada itu memposisikannya sebagai public sphere untuk berdialog, memaknainya, dan merekonstruksi secara menyeluruh dan mendalam serta menghidupkannya dalam atmosfer dialektika tekstual. Jika tidak, kita semua hanya akan menjadi objek dari arus besar agenda setting media massa dari sistem ideologi kapitalisme yang semakin hari semakin membuat kita gerah karenanya.
Ekonomi politik adalah studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial. Dalam pendekatan ekonomi politik, media massa di Indonesia dikontrol oleh pengusaha pemilik media. Konsekuensi dari kondisi ini adalah bahwa ideologi komoditas merupakan ideologi yang bekerja dalam menghasilkan media. Di Indonesia, seluruh kekuasaan negara yaitu: eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa sebagai “the fourth estate” dikuasai oleh pengusaha/ pemilik kapital/ kapitalis. Medium komunikasi memiliki andil besar dalam menciptakan kondisi sosial masyarakat. Teknologi Informasi dan globalisasi telah ‘memaksa’ masyarakat Indonesia melompat dari periode lisan ke periode elektronik dan melewati periode ‘tulisan”. Periode tulisan yang melahirkan budaya membaca dan merangkum pengetahuan ‘terlewatkan’ dari masyarakat kita.
*Obet adalah mantan anggota
LMND Makasar pada awal 2000an. Obet pernah terlibat penggorganisiran
buruh di Bali dan Surabaya pada tahun 2002. Obet aktif sebagai jurnalis
independen, dan sedang berupaya melanjutkan kuliah paska sarjana.
Sebagai mantan aktivis mahasiswa dan organiser buruh, Obet ingin berbagi
pengetahuan dan pengalaman melalui tulisannya.
Mitos dan Fakta seputar Umat dan Dunia Islam (1)
Islam Times-http://www.islamtimes.org/vdcft0d0vw6deya.,8iw.html
Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya.
1. Mitos: Mayoritas Muslim bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Fakta: Mayoritas Muslim tidak menyadari dan tidak memiliki identitas kemazhaban seperti ini. Mayoritas mutlak dari 1,7 milyar Muslim hanya menyadari dirinya sebagai Muslim dan terikat dengan Islam tanpa embel-embel mazhab tertentu. Identitas itu dapat dirumuskan dalam dua kalimat syahadat: La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Inilah identitas yang mempersatukan mereka. Di luar dua kalimat syahadat itu, semua dapat berselisih, berbeda-beda penafsiran, tergantung latar belakang pemahaman, pendidikan, lingkungan dan lain sebagainya.
Labelisasi kemazhaban seperti Sunni atau Syiah dan label-label sektarian lain sebenarnya diberikan oleh penguasa yang berkedok agama untuk memecah-belah tubuh umat dan meraih keuntungan-keuntungan politik sesaat. Namun, dalam kenyataannya, label-label itu tidak dipahami dan tidak diakui oleh individu-individu umat Muslim sendiri sebagai penanda keislamaan seseorang.
Lebih dari itu, kategori mayoritas dan minoritas itu sendiri bersumber dari kepentingan politik dan tidak bersumber dari konsep Islam, kalau tidak mau dikatakan sebagai konsep yang tidak diakui dalam teks-teks Al-Qur\'an dan Sunnah.
Bahkan, Al-Qur\'an berulang kali menegaskan bahwa mayoritas penduduk bumi ini tersesat, tidak bersyukur, lalai dan sebagainya. Dalam al-Qur\'an, istilah mayoritas itu justru sering digunakan dalam konotasi yang negatif. Sebaliknya, beberapa ayat Al-Qur\'an memuji minoritas (kaum beriman) yang bersabar di jalan Allah, bersyukur dan akhirnya dapat mengalahkan mayoritas (yang tidak beriman) dengan izin Allah. Alasannya sederhana. Para nabi dan pengikut setia mereka selalu bermula sebagai minoritas yang ingin mengubah mayoritas yang bodoh dan kufur. Walhasil, istilah mayoritas-minoritas itu sama sekali asing dari sumber-sumber otentik ajaran Ilahi ini. Siapa saja yang suka menggunakannya, maka biasanya dia mempunyai motif politik. Tidak lebih dan tidak kurang.
2. Mitos: Syiah adalah minoritas dan Sunni adalah mayoritas Muslim di dunia dewasa ini.
Fakta: Kalau yang dimaksud Syiah kita batasi dalam definisi ajaran yang mengikuti dan mencintai Ahlul Bait Nabi, maka jelas kelompok ini menjadi mayoritas, itupun kalau kita terpaksa meladeni penggunaan dikotomi mayoritas-minoritas ini. Karena, secara objektif, sebagian terbesar umat Islam mencintai dan mengikuti Ahlul Bait Nabi dan menjunjung tinggi posisi mereka dalam soal-soal religius dan spiritual.
Demikian pula sebaliknya, kalau yang dimaksud dengan Sunni itu adalah kelompok yang meremehkan dan merendahkan kedudukan Ahlul Bait Nabi dengan berbagai alasan dan justifikasi sebagaimana yang dipercayai oleh kelompok Wahabi-Takfiri, maka jelas mereka merupakan minoritas ekstremis di kalangan umat Muslim.
Demikian pula, jika yang dimaksud dengan Syiah adalah sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok Salafi-Wahabi sebagai ajaran yang mengutuk dan mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi, maka jelas Syiah dalam pengertian ini hanya dianut oleh segelintir ekstremis yang tersesat dari jalan Islam Ahlul Bait yang menjunjung tinggi prinsip rahmatan lil \'alamin.
Dengan demikian, sebagaimana yang diucapkan oleh Mufti Besar Suriah, Syaikh Badruddin Hassun, mayoritas Muslim itu Syiah dalam kecintaannya terhadap Ahlul Bait dan Sunni dalam kepatuhannya mengikuti metode para sahabat. Memakai pola pikir ini, maka hilanglah alasan di balik dikotomi yang sebenarnya memang lebih merupakan tipuan untuk memecah belah umat dari dalam.
3. Mitos: Rezim-rezim Arab seperti Arab Saudi, Bahrain dan Qatar bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Fakta: Seluruh pemimpin rezim-rezim petrodolar ini beraliran sekuler dan anti agama. Mereka sama sekali tidak terikat dengan syariah Islam dari mazhab mana pun juga. Buktinya, mereka menjalin hubungan yang terang-terangan dan terbuka dengan Amerika Serikat dan secara sembunyi-sembunyi dengan anak kesayangan AS, Israel, yang membantai ratusan ribu Muslim di Palestina, Afghanistan, Yaman, Somalia, Sudan, Mali, dan sebagainya. Mitos keberpihakan rezim-rezim Arab Teluk terhadap perjuangan Ahlus Sunnah itu ditebar semata-mata guna menipu rakyat di negara-negara mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tanpa sedikit pun harga diri dan kemerdekaan. Selebihnya hanya bualan kosong tanpa makna.
4. Mitos: Arab Saudi adalah kerajaan yang menjunjung tinggi Islam.
Fakta: Dalam masa kekuasaan rezim Kerajaan Arab Saudi di Jazirah Arab selama 100 tahun terakhir, dua kota utama umat Muslim, Mekkah dan Madinah, telah mengalami perusakan yang massif. Laporan sejumlah media telah memverifikasi dugaan ini dengan bukti-bukti visual yang tak terbantahkan. Jika trend ini dibiarkan, dalam sepuluh tahun mendatang, sejarah Islam tidak akan lagi didukung oleh jejak-jejak historis dan arkeologis yang penting. Mekkah dan Madinah akan berganti wajah menjadi dua kota kosmopilitan yang kehilangan sakralitas dan historisitas.
Dekonstruksi atas situs-situs historis umat Islam yang dilakukan oleh rezim Arab Saudi ini mirip dengan kelakuan rezim zionis Israel terhadap situs-situs historis keagamaan milik Kristen dan Muslim di tanah suci Palestina. Motif kedua rezim itupun sama: menghilangkan jejak-jejak sakralitas dan historisitas kota-kota suci tersebut demi merekonstruksi pemahamaan agama yang sepenuhnya palsu demi melegitimasi dominasi mereka selanjutnya.
5. Mitos: Nahdhatul Ulama (NU) bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berakidah sesuai dengan ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy\'ari.
Fakta: Sebagian besar tradisi NU seperti ziarah kubur, tahlil, peringatan 4 -7-40 hari setelah wafat seseorang atau haul tahunan, penghormatan terhadap ulama, tawasul, tabaruk, dan sebagainya merupakan tradisi-tradisi khas mazhab Ahlul Bait yang tidak terdapat dalam referensi-referensi kitab klasik Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebaliknya, ritus-ritus dan tradisi-tradisi tersebut terdedah secara rinci dalam kitab-kitab klasik Syiah seperti Makarim Al-Akhlaq, Mafatih Al-Jinan karya Abbas Al-Qummi, Al-Iqbal karya Al-Kaf\'ami, Al-Balad Al-Amin karya Sayyid Ibn Thawus dan sebagainya.
6. Mitos: Syiah adalah mazhab Islam yang terpengaruh dengan tradisi Persia dan Zoroastrianisme.
Fakta: Iran baru memeluk mazhab Syiah pada abad 15 Masehi di zaman Safawi. Sebelumnya, Iran adalah pusat perkembangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dapat dilihat dari fakta sebagian besar kitab rujukan milik Ahlus Sunnah saat ini merupakan karya-karya ulama Sunni berdarah Persia, seperti Shahih Bukhori dan sebagainya. Bahkan, Syiah semula merupakan mazhab resmi Mesir di era Daulah Fathimiyyah yang berhasil membangun pusat kota Kairo dan Universitas Al-Azhar.
7. Mitos: Mazhab Syiah yang dijadikan sebagai mazhab resmi Dinasti Safawi merupakan reaksi dendam atas penaklukan Muslim Arab atas Persia.
Fakta: Dinasti Safawi sebenarnya bukan didirikan oleh elit berdarah Persia melainkan oleh sekelompok keluarga yang memiliki darah Turki Azeri. Oleh karena itu, pusat kerajaan Safawi dimulai dari Ardabil yang memiliki banyak percampuran etnik Turki-Azeri dan Kurdi. Sebaliknya, penganut Syiah paling awal adalah kelompok Arab Irak yang bertempat di Kufah, Irak dan sebagian lain berada di wilayah Bahrain (hingga kini mayoritas penduduknya bermazhab Syiah), Yaman (hingga kini mayoritas penduduk Yaman Utara bermazhab Syiah Zaidiyyah), Mesir (cikal-bakal dinasti Fathimiyah), dan sebagainya. Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya. [IT/MK]
Mitos dan Fakta seputar Umat dan Dunia Islam (2)
Islam
Times-
Kesimpulannya, pemutarbalikan fakta soal siapa kawan dan siapa
lawan dalam politik biasanya bertujuan untuk menyembunyikan kawan dan
menyelamatkan lawan.
8. Mitos: Sektarianisme dan konflik-konflik sektarian telah merebak di seluruh Timur Tengah sejak zaman awal Islam.
Fakta: Konflik sektarian tidak pernah terjadi di tengah masyarakat Timur Tengah kecuali ketika ada konflik politik yang tidak diselesaikan secara politik. Para politisi yang mengatasnamakan agama kemudian menjadikan isu sektarian untuk memprovokasi dan memobilisasi massa demi tujuan-tujuan politik sekaligus menstigmatisasi musuh-musuh politiknya dengan label-label sektarian. Ini berlaku untuk para penguasa yang diidentifikasi sebagai Sunni maupun Syiah. Oleh karena itu, sepanjang masa, di hampir semua belahan dunia Islam, kita menyaksikan harmoni di antara sesama Muslim. Bahkan, secara historis, para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Abu Hanifa dan Imam Malik belajar kepada Imam Ja'far Ash-Shodiq, imam keenam Syiah, dalam soal-soal agama. Interaksi ilmiah terus berlangsung secara damai sampai ada ambisi politik yang menyeret isu mazhab dalam pertarungan profan tersebut.
9. Mitos: Salafi-Wahabi adalah sama dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Fakta: Salafi Wahabi adalah ajaran asing dalam sejarah Islam, yang memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Khawarij. Mereka sama sekali berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kerap mengedepankan jalan tengah dan moderasi dalam berbagai prinsipnya. Ajaran Wahabi-Salafi yang berkedok sebagai mazhab Sunni terutama sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Imam Syafii yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia. Anjuran untuk memuliakan keluarga Nabi (Ahlul Bait), melakukan tawasul, merayakan maulid, melakukan tahlil, ziarah kubur dan sebagainya dianggap sebagai syirik oleh Wahabi.
Oleh karena itu, aksi-aksi bom bunuh diri para penganut paham Wahabi-Takfiri telah menelan korban nyawa terbesar dari kalangan penganut Sunni ketimbang penganut mazhab Syiah. Contohnya dapat dilihat pada teror yang dilakukan di sejumlah negara yang tidak ada penganut mazhab Syiahnya seperti di Aljazair tahun 1992, Somalia, dan sebagainya. Taliban di Afghanistan dan Pakistan serta gerakan-gerakan ekstremis di Indonesia juga telah membunuh Muslim tanpa membedakan mazhab. Dalam banyak kasus, isu Syiah diangkat hanya sebagai pemicu untuk menakut-nakuti siapa saja yang berlawanan dengannya sekaligus untuk mengelabui aksi-aksi kekerasan mereka selanjutnya.
10. Mitos: Perlawanan (Iran-Suriah-Hizbullah) atas AS-Israel di Timteng itu untuk kemaslahatan AS-Israel, sedangkan hubungan diplomatik (Mesir-Turki) dengan AS-Israel itu adalah perlawanan.
Fakta: Sebelum Revolusi Islam tahun 1979, di saat AS masih mengangkangi Teluk Persia seutuhnya, Shah Reza Pahlewi memiliki hubungan mesra dengan Israel. Pada saat itu pula, segenap rezim Arab tunduk di bawah ketiak Shah dan membayar upeti untuk setiap tanker minyak yang melewati Teluk Persia. Dan pada saat itu sebenarnya Shah sudah mengaku dirinya sebagai penganut Syiah, sementara raja-raja Arab tidak pernah merasa menjadi pengayom Sunni dalam melawan Shah yang sangat membenci Arab tersebut. Di zaman ketundukan Iran pada AS itu, segalanya berjalan damai tanpa ketegangan sektarian seperti yang tergambar saat ini. Kedekatan dengan AS ketika itu tampaknya adalah kunci kedigdayaan Iran di mata rezim-rezim Wahabi Arab.
Namun, segalanya berubah sejak Revolusi Islam Iran meletus pada 1979. Tiba-tiba saja Irak berkoar soal nasionalisme Arab dalam melawan Persia, dan raja-raja Arab penghasil petrodolar itu bersekongkol ingin menghabisi Iran. Alasan mereka banyak. Di antaranya, Iran ingin mengekspor revolusi, Iran akan mensyiahkan Timur Tengah dan dunia Islam, dan alasan terakhir yang paling absurd ialah karena Iran bermain mata dengan Israel untuk melemahkan Islam dan Arab.
Alasan terakhir ini kini seperti mendapatkan pembenaran lantaran apa yang terjadi di Suriah. Apalagi kini juga tak henti-hentinya para ulama bayaran yang hidup dalam ketiak raja-raja korup terus mengumandangkan ujaran-ujaran kebencian terhadap Iran dan komunitas Syiah di Timur Tengah.
Tapi, lagi-lagi, benarkah demikian? Tentu jawabannya bagi sebagian besar yang mengerti seluk-beluk Timur Tengah sudah jelas. Tak perlu analisis dan argumentasi sepanjang ini. Namun, belakangan, pengulangan argumen ini di sejumlah media nasional dapat menyebabkan khalayak yang kurang wawasan menerima bualan itu sebagai kenyataan. Di bawah ini saya coba berikan beberapa penjelasan.
Pertama, sejak Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini telah menjadikan pembelaan terhadap Palestina dan perlawanan terhadap AS-Israel sebagai prinsip ideologisnya. Dua gerakan perlawanan rakyat Palestina, seperti Hamas dan Jihad Islam, mendapat dukungan logistik dari Iran di tengah boikot total dari seluruh rezim Arab. Dan untuk dukungannya ini, Iran harus membayar mahal.
Selain itu, Suriah sebagai satu-satunya negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel dan hingga kini belum meneken perjanjian damai dengan Israel juga mendapat dukungan penuh dari Iran. Dasar hubungan strategis Iran-Suriah ialah perlawanan terhadap Israel. Demikian pula hubungan trio Iran-Suriah-Hizbullah pun berlaku dalam kerangka melawan Israel dan hegemoni AS di Timur Tengah. Dan karena hubungan ini pula maka ketiganya terus digencet oleh seluruh kekuatan pro Zionis Israel dan AS, baik rezim-rezim Arab, Turki maupun kelompok-kelompok ekstremis Islam model Al-Qaedah.
Jadi, apa maksud sebenarnya dari pernyataan komentator-komentator di atas? Banyak, tapi sedikitnya ada lima motif di balik pemutarbalikan fakta ini. Masing-masing fakta ini sebenarnya saling memperkuat untuk ;
Pertama, pemutarbalikan fakti ini dihembuskan untuk mengaburkan kenyataan yang terang-benderang tentang ketundukan negara-negara Arab terhadap hegemoni dan kebijakan AS-Israel di Timur Tengah. Negara-negara yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pengayom mayoritas Muslim itu ingin menyatakan bahwa permusuhannya pada Iran dikarenakan Iran sebenarnya bermain mata dengan AS juga. Padahal, bukti-bukti kerjasama yang coba diungkap dari balik layar tersebut tidak pernah bisa dibandingkan dengan kenyataan terang-benderang hubungan mesra negara-negara Arab dan Turki dengan AS-Israel. Di sini misalnya kita bisa menyebutkan bahwa Turki adalah negara Muslim pertama yang mengakui eksistensi negara Israel.
Kedua, tujuan dimunculkannya rumor ini ialah menutup-nutupi kolaborasi negara-negara Arab plus Turki dengan rezim Zionis dalam menindas rakyat Palestina dan mengabaikan hak-hak asasi mereka dengan cara merontokkan eksistensi negara Suriah sebagai tulang-punggung poros perlawanan terhadap AS-Israel di kawasan Timur Tengah. Hancurnya Suriah bakal berujung dengan penghancuran paru-paru dukungan logistik Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam.
Ketiga, mencuatkan permusuhan di antara umat Islam untuk mengalihkan perhatian mereka dari musuh yang sebenarnya, yakni Israel dan AS. Menumbuhkan pertentangan dan permusuhan antara Iran dan mayoritas Muslim dunia merupakan tujuan puncak AS-Zionis bekalangan ini agar umat yang sudah tertindas ini makin tercabik-cabik dan saling menghabisi.
Keempat, memberi legitimasi ketundukan rezim Arab dan Turki dengan cara memunculkan isu adanya konflik sektarian di antara umat. Tentu saja ini sebuah kekeliruan besar, lantaran pada dasarnya semua konflik di Timur Tengah bersifat politik. Karena, dalam kenyataannya, ada orang Sunni yang pro Zionis sebagaimana Syiah yang pro Zionis demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, Okab Saqr, anggota Parlemen Lebanon yang bermazhab Syiah, kini menjadi pendukung utama kelompok-kelompok pemberontak Suriah yang konon berjuang melawan rezim Suriah yang bermazhab Syiah. Ayyad Alawi yang merupakan ketua fraksi oposisi di Parlemen Irak juga politisi bermazhab Syiah yang sangat memusuhi Iran dan berkawan dekat dengan AS dan rezim-rezim Arab lain.
Kelima, mencampuradukkan antara gerakan-gerakan Islam yang benar-benar anti AS dan Israel dengan gerakan-gerakan Islam palsu bentukan AS yang tidak pernah melawan AS, seperti Fath Al-Islam dan Jund Sham.
Kesimpulannya, pemutarbalikan fakta soal siapa kawan dan siapa lawan dalam politik biasanya bertujuan untuk menyembunyikan kawan dan menyelamatkan lawan. Siapa saja yang berupaya memutarbalikkan fakta tentang Iran tidak bisa dianggap sebagai bersikap polos, melainkan memiliki agenda politik untuk mengacaukan peta pertarungan yang sebenarnya.
Rahbar: Perpecahan Sunni-Syiah, Senjata Musuh Islam
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar menilai upaya merusak persatuan dan memicu perpecahan antara Syiah dan Sunni merupakan salah satu bentuk kufur nikmat.
Bertepatan dengan hari kelahiran Sayidah Fatimah Zahra as, Putri Rasulullah Saw, Ahad (20/4) Rahbar mengatakan, kita tidak seharusnya menyulut kebencian mazhab, karena jelas bahwa perpecahan di antara Muslimin layaknya sebuah pedang di tangan musuh-musuh Islam yang dapat mengantarkan mereka ke tujuannya.
Rahbar menyinggung upaya musuh-musuh Revolusi Islam yang ingin merusak akidah dan keyakinan rakyat serta menciptakan penyimpangan dari jalan pemerintahan Islam dan bangsa Iran dengan menggunakan media-media informasi serta elektronik. Ia menegaskan, "Tujuan musuh adalah menundukkan Islam, mencegah masyarakat dan pengetahuan Syiah menjadi teladan di dunia."
Ia menambahkan, "Pemerintahan Islam memiliki fasilitas dan media tak tertandingi dalam menghadapi konspirasi serta rencana-rencana rumit musuh. Acara-acara keagamaan dan pertemuan langsung dengan rakyat lewat mimbar adalah salah satu fasilitas yang unik."
"Imam Khomeini telah menjadi perantara sehingga Dunia Islam, baik Syiah maupun Sunni menjadi bangga dengan keislamannya," tegas Rahbar.
Menurut Rahbar, tujuan dibentuknya masyarakat Islami adalah terciptanya kehidupan yang sehat secara Islam, terciptanya masyarakat makmur, independen, bermoral tinggi, bersatu, solid dan terciptanya masyarakat bertakwa. Masyarakat semacam ini, katanya, hanya akan terwujud melalui kerja keras, tidak bermalas-malasan dan tak kenal putus asa.
"Pelajaran terbesar kehidupan Sayidah Fatimah Zahra as bagi umat manusia adalah kerja keras dan kehidupan yang bersih dari dosa," tandasnya. (IRIB Indonesia/HS)
Rahbar: Islam Memperhatikan Hak-hak dan Martabat Buruh
Rahbar
atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menilai penghargaan dan
penghormatan kepada buruh dan semua peran pengusaha di sektor produksi
sebagai sebuah keniscayaan yang berasal dari ajaran Islam
Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyatakan hal itu dalam pidatonya di hadapan para buruh, pekerja, manajer, desainer dan perancang di kompleks industri PerusahaanPengelolaan Proyek-proyek Pembangkit Listrik Iran (MAPNA)dan ratusan buruh dari sejumlah unit produksi di Karaj, Rabu (30/4).
Rahbar menuturkan, prinsip kerja dan usaha sangat dihormati dalam Islam, dan perhatian agama Samawi ini terhadap hak-hak dan martabat buruh serta semua partisipan di sektor industri di dasarkan pada pandangan ini.
Beliau menilai pandangan pertentangan antara buruh dan pengusaha sebagai pandangan umum antara Marxisme dan pemikiran Barat. Ayatullah Khamenei menolak gagasan yang salah tersebut dan mengatakan, "Di semua bidang termasuk masalah buruh dan produksi, Islam menetapkan prinsip menghormati, interaksi dan kerjasama, di mana pandangan itu harus dijadikan tolok ukur dan dasar di semua sektor sosial dan ekonomi."
Ketika menyinggung penghinaan terhadap bangsa Iran di masa sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Rahbar menandaskan, di satu masa ketika Barat tenggelam dalam kebodohan nyata, Iran telah menyumbangkan tokoh-tokoh besar ilmiah dan budaya kepada umat manusia, namun Barat telah mendominasi ekonomi, politik dan sosial Iran dengan memperalat para pemimpin taghut.
Kenyataan pahit ini, kata Rahbar, adalah sebuah penghinaan besar bagi bangsa Iran yang memiliki peradaban kuno dan warisan budaya yang tinggi.
Ayatullah Khamenei juga menyinggung berakhirnya periode penghinaan terhadap bangsa Iran pasca kemenangan Revolusi Islam. Beliau menegaskan, "Jika bangsa Iran ingin mencapai posisi mulia dan layak di dunia di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta ingin menjadi rujukan kemajuan sains dan teknologi, maka mereka di semua sektor harus bersandar pada ilmu pengetahuan, kecerdasan, dinamisme, inisiatif dan tekadbaja."
Di bagian lain pidatonya, Rahbar menyinggung pilar penting dari Ekonomi Muqawama yaitu fokus dengan produk dalam negeri, dan mengatakan, kita harus berkembang dari dalam, namun tetap aktif dan efektif di pasar-pasar internasional.
"Ketika Iran bertekad untuk memperkaya uranium hingga 20 persen, kekuatan-kekuatan dunia tidak percaya, namun sekarang ketika para ilmuwan Iran mampu mencapai teknologi tersebut dengan kecerdasan dan inisiatif mereka, semua kekuatan dunia mengatakan bahwa mereka siap untuk menjualnya ke Iran, dan pengayaan uranium tidak boleh dilakukan di Iran," pungkasnya. (IRIB Indonesia/RA)
Manusia 250 Tahun: Pendahuluan (Bagian Pertama)
Keterasingan para Imam as tidak terbatas pada periode kehidupan mereka saja, tapi selama berabad-abad tidak adanya perhatian pada dimensi penting dan mungkin utama dari kehidupan mereka menjadi keterasingan historis mereka berlanjut hingga kini. Sudah barang tentu banyak buku dan tulisan selama ratusan tahun dan memiliki nilai luar biasa. Karena mampu menyimpan kumpulan riwayat tentang kehidupan mereka bagi generasi akan datang. Akan tetapi unsur "perjuangan politik yang genting" yang membentuk garis kontinu kehidupan para Imam as selama 250 tahun hilang di sela-sela riwayat dan syarah yang membahas sisi keilmuan dan spiritual.Kehidupan para Imam as harus kita jadikan pelajaran dan teladan, bukan hanya satu kenangan luar biasa dan tak ternilai. Nah, ini hanya bisa diraih dengan memperhatikan metode dan perilaku politik mereka. Saya pribadi sangat menyukai dimensi dari kehidupan para Imam as ini. Bagus juga bila saya sampaikan bahwa pikiran ini muncul pada 1350 HS dan di masa kesulitan sebuah ujian dan cobaan besar. Sekalipun sebelum itu saya punya perhatian kepada para Imam as sebagai para pejuang besar yang berkorban demi meninggikan kalimat Tauhid dan membentuk pemerintahan ilahi. Tapi waktu itu ada poin yang kemudian menjadi jelas bagi saya. Kehidupan para Imam as, sekalipun memiliki perbedaan lahirian, bahkan terkadang dirasakan ada kontradiksi antara sebagian dari kehidupan mereka, tapi secara keseluruhan semuanya merupakan satu gerakan panjang yang berkelanjutan. Dimulai dari tahun ke-10 Hijrah dan berlanjut hingga 250 tahun dan berakhir pada tahun 260 HQ, tahun dimulainya Gaib Sugra, dalam kehidupan para Imam as.
Para Imam as merupakan satu kesatuan. Satu kepribadian. Tidak ada yang meragukan bahwa tujuan dan orientasi mereka adalah satu. Dengan demikian, daripada kita menganalisa secara terpisah kehidupan Imam Hasan as, begitu juga Imam Husein as dan Imam Sajjad as, dimana terkadang kita terjebak dalam kesalahan yang berbahaya, karena sejarah tiga Imam as ini secara lahiriah berbeda, bahkan kontradiksi, maka pertama yang kita lakukan adalah mengasumsikan mereka sebagai satu manusia yang berusia 250 tahun. Pada tahun 11 Hijriah melangkahkan kakinya dan berjalan terus hingga tahun 260 HQ.
Seluruh gerakan manusia agung dan maksum ini dapat dipahami dan dijustifikasi dengan cara pandang ini. Setiap manusia yang memiliki akal dan kebijaksanaan, sekalipun bukan maksum, dalam sebuah gerakan jangka panjang memiliki taktik dan kewenangan lokal. Terkadang ia merasa penting untuk bergerak cepat, tapi di lain waktu harus perlahan, bahkan mungkin ia memutuskan untuk mundur secara bijak. Tapi sikap mundur yang diambilnya itu menurut orang yang mengetahui ilmu, kebijakan dan tujuannya, dinilai sebagai satu gerakan ke depan. Dengan cara pandang ini, kehidupan Amirul Mukminin as dengan kehidupan Imam Hasan as, dengan kehidupan Imam Husein as dengan kehidupan Imam Ridha as hingga tahun 260 HQ merupakan satu gerakan berkesinambungan. Saya baru memahami masalah ini pada tahun itu dan dengan cara pandang ini saya memasuki kehidupan mereka. Sekali lagi saya mencoba melihat dan semakin jauh berjalan, cara pandang ini membenarkannya. Mencermati kehidupan berkelanjutan dari para Imam as dengan orientasi politik dapat dikaji dalam pembahasan tersendiri dan saya akan membahasnya Insya Allah. Saya akan menjelaskan secara terperinci tentang masalah ini.
Pertama, apa yang dimaksud dengan perjuangan politik atau perjuangan genting politik yang kita nisbatkan kepada para Imam as?
Maksudnya adalah perjuangan para Imam Maksum as tidak terbatas pada perjuangan keilmuwan, keyakinan dan teologi, seperti perjuangan teologi yang dapat disaksikan dalam sejarah Islam. Seperti Mu'tazilah, Asya'irah dan lain-lain. Tujuan mereka tidak terbatas pada pembahasan, pelajaran, penjelasan hadis, mengutip ajaran atau menyampaikan hukum Islam. Mereka tidak ingin membuktikan seratus persen aliran teologi atau fiqih yang berafiliasi kepada mereka dan memahamkannya kepada yang menentang mereka. Tujuan mereka lebih dari semua ini. Manusia ternyata tidak melihat satu perjuangan bersenjata dalam sejarah kehidupan para Imam as, seperti yang dapat disaksikan pada perjuangan Zaid dan keluarganya, begitu juga keturunan Imam Hasan as dan sebagian keluarga Ali Ja'far dan yang lain-lain.
Benar para Imam as tidak menyalahkan mereka secara mutlak, sekalipun menyalahkan sebagian dengan alasan di luar dari perjuangan bersenjata. Para Imam as mengakui sebagian perjuangan bersenjata itu dan bahkan berperan serta di balik front perjuangan. Imam Shadiq as berkata, "Saya ingin sekali menanggung biaya mereka yang keluar untuk berperang dari keluarga Muhammad Saw."[1] Para Imam as memberikan bantuan seperti keuangan, kehormatan, tempat, persembunyian dan yang seperti ini. Tapi mereka sendiri sebagai Imam Maksum as tidak pernah terlibat secara langsung dalam perjuangan bersenjata. Perjuangan politik, bukan yang pertama dan bukan yang kedua, merupakan perjuangan dengan satu tujuan politik. Lalu apa tujuan politik itu? Tujuannya adalah membentuk "Pemerintahan Islam" atau dengan ungkapan kita adalah "Pemerintahan Alawi".
Para Imam as sejak wafatnya Rasulullah Saw hingga tahun 260 HQ senantiasa berusaha untuk menciptakan pemerintahan ilahi di tengah masyarakat Islam. Ini adalah asumsi utama. Tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka ingin mendirikan pemerintahan Islam di masanya, yakni setiap Imam di zamannya. Karena ada masa depan untuk jangka menengah dan panjang, sementara untuk kasus-kasus tertentu juga ada jangka pendeknya. Sebagai contoh di masa Imam Hasan as, menurut saya merupakan usaha untuk menciptakan pemerintahan Islam untuk masa depan jangka pendek. Imam Hasan as ketika menjawab orang-orang seperti Musayyib bin Najabah dan lainnya yang bertanya mengapa engkau diam, berkata, "Dan aku tiada mengetahui, boleh jadi hal itu cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu."[2] Di masa Imam Sajjad menurut saya upaya mendirikan pemerintahan Islam untuk masa depan jangka menengah. Saya akan membawakan bukti dan kajian dalam masalah ini. Di periode Imam Baqir as, kemungkinan terbesarnya adalah untuk masa depan jangka pendek. Pasca syahadah Imam Ridha as, sangat mungkin semua perjuangan politik demi mendirikan pemerintahan Islam untuk masa depan jangka panjang. Kapan itu akan terjadi? Ada perbedaan, tapi senantiasa ada tujuan yang sama. Inilah perjuangan politik.
Semua perilaku dan perbuatan para Imam as, selain pekerjaan spiritual dan ruh yang berhubungan dengan upaya meninggikan jiwa manusia dan kedekatannya dengan Allah, seperti pelajaran, hadis, ilmu, teologi, berdialog, pengasingan, dukungan terhadap satu kelompok dan menolak yang lain, semuanya berada dalam garis ini. Mereka semua ingin membentuk pemerintahan Islam. Ini asumsi! (28/4/1365) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Kedua)
Pada
prinsipnya kita harus bertanya apakah para Imam Maksum as memiliki
kehidupan politik atau tidak? Apakah kehidupan para Imam Maksum as hanya
mengumpulkan sejumlah murid dan pendukung lalu menyampaikan hukum
shalat, zakat, haji, akhlak, ushuluddin dan semacamnya kemudian selesai?
Atau tidak, selain apa yang telah disebutkan itu dan semangat yang
telah disebutkan itu, ada kerangka lain dalam kehidupan para Imam Maksum
as yang disebut dengan kehidupan politik. Ini satu masalah yang sangat
penting dan perlu kejelasan. Tentu saja kesempatan yang pendek tidak
memberikan waktu luas untuk menjelaskan argumentasi lebih jauh. Saya
akan menjelaskan beberapa poin penting agar siapa saja yang ingin
mengkajinya lebih jauh lagi dapat melihat kembali hadis-hadis dalam
kerangka ini. Mereka dapat mengkaji buku-buku sejarah dengan cara
pandang ini. Setelah itu mereka akan mendapati kehidupan Imam Musa
al-Kazhim dan para Imam Maksum yang lain memiliki hakikat yang sampai
saat ini masih belum dikenal dan belum pernah tersampaikan.
Setelah merasakan lingkungan Imamah dan Ahlul Bait dapat dipahami betapa tujuan Nabi Muhammad Saw belum terlaksana. Yakni, "... membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah."[1] belum dilaksanakan. Setelah mereka menyaksikan pembentukan pemerintahan Islam dan pembentukan sebuah dunia Islam seperti yang diinginkan Nabi Muhammad Saw, pasca periode pertama telah terlupakan secara keseluruhan. Posisi kenabian dan Imamah tergantikan oleh sistem kerajaan, istana, kaisar, penguasa, seperti Iskandar dan nama-nama pelaku kezaliman lainnya serta penindas dalam sejarah dengan memakai pakaian pengganti dan khilafah dengan nama Bani Umayah dan Bani Abbasiah. Al-Quran ditafsirkan sesuai dengan yang diinginkan para penguasa, sementara otak masyarakat telah dipengaruhi perilaku berkhianat dari para ulama yang rakus dan cinta materi dari penguasa. Setelah menyaksikan semua ini, baru terpatri adanya peran universal dalam kehidupan para Imam Maksum as.
Ketika saya mengatakan Aimmah, maksudnya adalah seluruh Imam Maksum as, mulai dari Amirul Mukminin Ali as hingga Imam Hasan Askari as. Saya berkali-kali mengatakan bahwa kehidupan para Imam Maksum as berlangsung selama 250 tahun dan itu harus dihitung sebagai kehidupan seorang manusia. Seorang manusia 250 tahun yang tidak terpisahkan, "Kulluhum Nurun Wahidun, mereka semua merupakan cahaya yang satu".[2] Setiap dari mereka bila berkata, maka pada dasarnya ucapan itu juga berasal dari lisan yang lain. Setiap kali satu dari mereka melakukan satu pekerjaan, pada dasarnya juga merupakan pekerjaan yang lain. Satu manusia yang seakan-akan hidup selama 250 tahun. Semua perbuatan Aimmah selama 250 tahun ini merupakan pekerjaan seorang manusia dengan satu tujuan dan satu niat dengan strategi yang berbeda.
Para Imam Maksum as ketika merasa Islam telah terasing dan masyarakat Islam belum terbentuk, mereka segera menyusun beberapa tujuan dari tujuan prinsip. Pertama, menjelaskan Islam secara benar. Islam menurut para penguasa selama periode ini dilihat sebagai pengganggu. Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, Islam yang berada dalam al-Qurn, Islam yang berperang di Badar dan Hunain, Islam yang anti penyembahan kemewahan, Islam yang anti diskriminasi, Islam yang membela orang-orang tertindas dan Islam yang menumpas kelompok arogan tidak akan berguna bagi orang-orang yang substansinya Firaun, tapi memakai jubah Musa as. Esensinya Namrud dengan pakaian Ibrrahim as. Ini tidak mungkin. Oleh karenanya, mereka harus berusaha menyimpangkan Islam yang seperti ini. Tentu saja Islam hakiki ini tidak dapat dijauhkan dari benak umat Islam dengan sekali usaha. Karena masyarakat waktu itu beriman dan dalam upaya ini mereka harus mengganti dan mengosongkan Islam dari semangat, kandungan dan substansinya.
Perbuatan ini sama dengan yang dilakukan rezim sebelum ini terkait simbol-simbol lahiriah Islam dan kalian masih mengingat itu, bahkan menyaksikannya. Di rezim sebelumnya tidak ada penentangan dan penolakan terhadap simbol-simbol lahiriah Islam, tapi penentangan yang dilakukan terhadap makna, semangat dan jihad Islam. Mereka menentang Amar Makruf dan Nahi Munkar, begitu juga dengan penjelasan hakikat Islam. Tapi tidak ada penolakan terkait simbol-simbol lahiriah Islam yang tidak merugikan sapi dan kambing mereka. Kondisi ini terjadi di masa kekhalifahan Bani Umayah dan Abbasiah. Oleh karenanya, untuk mengosongkan Islam dari semangat dan hakikatnya, mereka membayar orang-orang yang memiliki kemampuan dengan pena dan lisannya. Penguasa memberi uang agar mereka membuat hadis. Penguasa memberi uang agar mereka menyusun Manaqib.[3] Penguasa memberi uang agar mereka menulis buku. Disebutkan, ketika Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia, kami melihat buku-buku sifulan yang alim, saya tidak ingin menyebut namanya, berada di atas punggung sejumlah hewan dan tengah keluar dari khazanah Sulaiman bin Abdul Malik. Artinya, penulis buku ini, ahli hadis besar ini dan ulama terkenal ini yang namanya banyak ditulis dalam buku-buku Islam menulis pelbagai buku untuk Sulaiman bin Abdul Malik.
Nah, apakah kalian berharap buku yang ditulis untuk Sulaiman bin Abdul Malik berisikan sesuatu yang dibencinya? Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penguasa zalim, peminum khamar, berdamai dengan orang-orang Kafir, menindas umat Islam, menerapkan diskriminasi, menindas orang-orang miskin dan menjarah harta rakyat akan menerima Islam yang seperti ini? Ini merupakan penyakit besar masyarakat Islam sepanjang abad pertama dan para Imam Maksum as melihat kenyataan ini. Mereka menyaksikan warisan tak ternilai Nabi Muhammad Saw, yakni hukum Islam harus tetap abadi sepanjang sejarah dan pembimbing manusia sepanjang sejarah, telah disimpangkan. Satu dari tujuan Aimmah dan itu sangat penting adalah menjelaskan Islam yang benar, menafsirkan al-Quran secara hakiki, mengungkap penyimpangan dan pelakunya.
Perhatikan bahwa ucapan-ucapan para Imam Maksum as dalam banyak kasus menolak hal-hal yang disampaikan ulama, fuqaha dan muhadditsin istana atas nama Islam dan kemudian menjelaskan hakikat yang sebenarnya. Ini merupakan satu tujuan utama dan besar bagi Aimmah, menjelaskan hukum Islam. Ini yang pertama.
Apa yang telah dilakukan ini memiliki substansi politik. Yakni, ketika kita tahu ada penyimpangan yang diprovokasi oleh khilafah, dimana antek-antek mereka yang secara lahiriah adalah ulama melakukan penyimpangan demi penguasa, maka sudah wajar bila seseorang bangkit melawan penyimpangan ini dan sudah barang tentu apa yang dilakukannya bertentangan dengan kebijakan penguasa.
Saat ini di sebagian negara-negara Islam, sebagian penulis dan ulama yang dibayar oleh pemerintah untuk menulis buku demi menciptakan perselisihan di antara umat Islam atau memburukkan citra saudara muslimnya. Bila di negara-negara ini muncul seorang penulis independen yang menulis buku tentang persatuan Islam dan persaudaraan antara masyarakat Islam, maka apa yang dilakukannya ini terhitung langkah politik dan pada hakikatnya anti pemerintah.
Salah satu aktifitas penting para Imam Maksum as adalah menjelaskan hukum Islam. Itu bukan berarti di masa itu tidak ada yang menjelaskan hukum Islam kepada masyarakat. Tidak demikian. Karena betapa banyak yang mengajarkan al-Quran dan menukil hadis dari Nabi Saw, bahkan para ahli hadis mengetahui ribuan hadis. Di Tabarestan, seorang ulama besar menukil ribuan hadis dari Nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Waktu itu ada banyak hadis. Hukum Islam juga dijelaskan. Tapi yang tidak dijelaskan adalah tafsir dan penjelasan yang benar tentang Islam di seluruh urusan masyarakat Islam demi mencegah terjadinya penyimpangan dalam Islam. Ini satu pekerjaan penting yang dilakukan oleh para Imam Maksum as.
Pekerjaan penting lainnya adalah menjelaskan masalah Imamah atau kepemimpinan. Imamah berarti kepemimpinan masyarakat Islam. Ini satu masalah yang sangat penting dan belum jelas bagi umat Islam di masa itu, bahkan praktis secara teori telah terjadi penyimpangan. Siapa yang menjadi pemimpin masyarakat Islam? Yang lebih buruk lagi, orang-orang yang biasanya tidak mengamalkan hukum Islam, bahkan lebih sering melakukan hal-hal yang haram secara terang-terangan mengaku sebagai pengganti Nabi Saw. Mereka menduduki posisi Nabi Muhammad Saw dan tidak malu. Yakni, bukan berarti masyarakat waktu itu tidak tahu. Mereka menyaksikan seseorang atas nama khalifah mabuk dan tanpa sadar mendatangi tempat shalat dan menjadi imam shalat jamaah lalu mereka mengikutinya. Masyarakat tahu Yazid bin Muawiyah memiliki penyakit moral yang akut dan pelaku dosa besar, tapi pada saat yang sama, ketika dikatakan kepada mereka untuk bangkit melawan Yazid, mereka menjawab, kami telah berbaiat kepada Yazid. Oleh karenanya kami tidak bisa bangkit melawannya. Masalah Imamah belum jelas bagi masyarakat waktu itu. Masyarakat beranggapan Imam kaum Muslimin dan penguasa masyarakat Islam dapat saja melakukan dosa, kesalahan, kezaliman, perbuatan yang bertentangan dengan al-Quran dan Islam. Bagi mereka itu bukan masalah penting. Ini sebuah masalah besar. Dengan mencermati pentingnya masalah pemerintahan dalam sebuah masyarakat dan pengaruh penguasa dalam cara pandang masyarakat, apa yang terjadi itu merupakan bahaya terbesar bagi dunia Islam. Itulah mengapa para Imam Maksum as merasa penting untuk menyampaikan dua hal berikut ini.
Pertama, Imam dan penguasa Islam harus memiliki sejumlah syarat seperti; Ishmah, takwa, alim, spiritual, perilaku dengan masyarakat, perbuatan di hadapan Allah. Ini merupakan syarat bagi seorang Imam. Yakni, para Imam Maksum as menjelaskan siapa penguasa Islam kepada masyarakat. Ini yang pertama. Sementara yang kedua, adalah menjelaskan saat ini siapa yang memiliki syarat-syarat itu. Para Imam Maksum as kemudian memperkenalkan dirinya dan menjelaskan siapa mereka sebenarnya. Ini juga merupakan pekerjaan besar yang dilakukan Aimmah dan tentu saja ini merupakan pekerjaan penting politik, propaganda dan pendidikan politik.
Bila para Imam Maksum as tidak melakukan pekerjaan lain, selain dua pekerjaan ini, maka sudah cukup untuk kita mengatakan bahwa kehidupan para Imam Maksum as dari awal hingga akhir merupakan kehidupan politik. Dengan demikian, ketika mereka menjelaskan tafsir dan ajaran Islam, pada hakikatnya itu merupakan aktifitas politik. Ketika mereka menjelaskan ciri khas Imam, itu juga merupakan aktifitas politik. Yakni, bila ajaran Aimmah diringkas pada dua tema dan masalah ini, tetap saja kehidupan mereka adalah kehidupan politik. Tapi mereka tidak cukup dengan dua aktifitas ini. Selain dua hal ini, setidaknya sejak periode Imam Hasan al-Mujtaba as telah dimulai gerakan bawah tanah secara menyeluruh di bidang politik dan revolusi untuk merebut kekuasaan. Tidak diragukan bahwa bila mengkaji kehidupan para Imam Maksum as dapat dipahami bagaimana memiliki gerakan ini. Apa yang saya sampaikan ini tidak banyak diketahui. Ini masalah penting yang sayangnya tidak dijelaskan dalam buku-buku yang ditulis mengenai kehidupan para Imam Maksum as, seperti kehidupan Imam Shadiq as, Imam Musa al-Kazhim as dan kehidupan para Imam Maksum as yang lain.
Sekalipun para Imam Maksum as telah membentuk gerakan politik dan organisasi luas dengan semua bukti, tapi tetap saja masalah ini tidak banyak diungkap dan ini menjadi masalah terbesar dalam memahami kehidupan para Imam as. Pada dasarnya Aimmah telah melakukan gerakan ini dan bukti-bukti yang ada juga sangat banyak.
Nah, saudara dan saudari perlu mengetahui hal ini secara ringkas bahwa ketika para Imam Maksum as menerima tanggung jawab Imamah, satu pekerjaan yang dimulai oleh mereka adalah sebuah perjuangan politik. Sebuah gerakan politik untuk meraih kekuasaan. Ini merupakan aksi politik seperti semua upaya lainnya yang dilakukan siapa saja yang ingin membentuk pemerintah dan para Imam Maksum as juga melakukannya. (23/1/1364 HS) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Ensan 250 Saleh, Bayanat Magham Moazzam-e Rahbari Darbaraye Zendegi Siyasi-Mobarazati Aemmeh Masoumin as, 1391 HS, Tehran, Moasseh Iman Jahadi.
Baca juga:
Manusia 250 Tahun: Pendahuluan (Bagian Pertama)
[1]. QS. Ali Imran: 164.
Setelah merasakan lingkungan Imamah dan Ahlul Bait dapat dipahami betapa tujuan Nabi Muhammad Saw belum terlaksana. Yakni, "... membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah."[1] belum dilaksanakan. Setelah mereka menyaksikan pembentukan pemerintahan Islam dan pembentukan sebuah dunia Islam seperti yang diinginkan Nabi Muhammad Saw, pasca periode pertama telah terlupakan secara keseluruhan. Posisi kenabian dan Imamah tergantikan oleh sistem kerajaan, istana, kaisar, penguasa, seperti Iskandar dan nama-nama pelaku kezaliman lainnya serta penindas dalam sejarah dengan memakai pakaian pengganti dan khilafah dengan nama Bani Umayah dan Bani Abbasiah. Al-Quran ditafsirkan sesuai dengan yang diinginkan para penguasa, sementara otak masyarakat telah dipengaruhi perilaku berkhianat dari para ulama yang rakus dan cinta materi dari penguasa. Setelah menyaksikan semua ini, baru terpatri adanya peran universal dalam kehidupan para Imam Maksum as.
Ketika saya mengatakan Aimmah, maksudnya adalah seluruh Imam Maksum as, mulai dari Amirul Mukminin Ali as hingga Imam Hasan Askari as. Saya berkali-kali mengatakan bahwa kehidupan para Imam Maksum as berlangsung selama 250 tahun dan itu harus dihitung sebagai kehidupan seorang manusia. Seorang manusia 250 tahun yang tidak terpisahkan, "Kulluhum Nurun Wahidun, mereka semua merupakan cahaya yang satu".[2] Setiap dari mereka bila berkata, maka pada dasarnya ucapan itu juga berasal dari lisan yang lain. Setiap kali satu dari mereka melakukan satu pekerjaan, pada dasarnya juga merupakan pekerjaan yang lain. Satu manusia yang seakan-akan hidup selama 250 tahun. Semua perbuatan Aimmah selama 250 tahun ini merupakan pekerjaan seorang manusia dengan satu tujuan dan satu niat dengan strategi yang berbeda.
Para Imam Maksum as ketika merasa Islam telah terasing dan masyarakat Islam belum terbentuk, mereka segera menyusun beberapa tujuan dari tujuan prinsip. Pertama, menjelaskan Islam secara benar. Islam menurut para penguasa selama periode ini dilihat sebagai pengganggu. Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, Islam yang berada dalam al-Qurn, Islam yang berperang di Badar dan Hunain, Islam yang anti penyembahan kemewahan, Islam yang anti diskriminasi, Islam yang membela orang-orang tertindas dan Islam yang menumpas kelompok arogan tidak akan berguna bagi orang-orang yang substansinya Firaun, tapi memakai jubah Musa as. Esensinya Namrud dengan pakaian Ibrrahim as. Ini tidak mungkin. Oleh karenanya, mereka harus berusaha menyimpangkan Islam yang seperti ini. Tentu saja Islam hakiki ini tidak dapat dijauhkan dari benak umat Islam dengan sekali usaha. Karena masyarakat waktu itu beriman dan dalam upaya ini mereka harus mengganti dan mengosongkan Islam dari semangat, kandungan dan substansinya.
Perbuatan ini sama dengan yang dilakukan rezim sebelum ini terkait simbol-simbol lahiriah Islam dan kalian masih mengingat itu, bahkan menyaksikannya. Di rezim sebelumnya tidak ada penentangan dan penolakan terhadap simbol-simbol lahiriah Islam, tapi penentangan yang dilakukan terhadap makna, semangat dan jihad Islam. Mereka menentang Amar Makruf dan Nahi Munkar, begitu juga dengan penjelasan hakikat Islam. Tapi tidak ada penolakan terkait simbol-simbol lahiriah Islam yang tidak merugikan sapi dan kambing mereka. Kondisi ini terjadi di masa kekhalifahan Bani Umayah dan Abbasiah. Oleh karenanya, untuk mengosongkan Islam dari semangat dan hakikatnya, mereka membayar orang-orang yang memiliki kemampuan dengan pena dan lisannya. Penguasa memberi uang agar mereka membuat hadis. Penguasa memberi uang agar mereka menyusun Manaqib.[3] Penguasa memberi uang agar mereka menulis buku. Disebutkan, ketika Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia, kami melihat buku-buku sifulan yang alim, saya tidak ingin menyebut namanya, berada di atas punggung sejumlah hewan dan tengah keluar dari khazanah Sulaiman bin Abdul Malik. Artinya, penulis buku ini, ahli hadis besar ini dan ulama terkenal ini yang namanya banyak ditulis dalam buku-buku Islam menulis pelbagai buku untuk Sulaiman bin Abdul Malik.
Nah, apakah kalian berharap buku yang ditulis untuk Sulaiman bin Abdul Malik berisikan sesuatu yang dibencinya? Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penguasa zalim, peminum khamar, berdamai dengan orang-orang Kafir, menindas umat Islam, menerapkan diskriminasi, menindas orang-orang miskin dan menjarah harta rakyat akan menerima Islam yang seperti ini? Ini merupakan penyakit besar masyarakat Islam sepanjang abad pertama dan para Imam Maksum as melihat kenyataan ini. Mereka menyaksikan warisan tak ternilai Nabi Muhammad Saw, yakni hukum Islam harus tetap abadi sepanjang sejarah dan pembimbing manusia sepanjang sejarah, telah disimpangkan. Satu dari tujuan Aimmah dan itu sangat penting adalah menjelaskan Islam yang benar, menafsirkan al-Quran secara hakiki, mengungkap penyimpangan dan pelakunya.
Perhatikan bahwa ucapan-ucapan para Imam Maksum as dalam banyak kasus menolak hal-hal yang disampaikan ulama, fuqaha dan muhadditsin istana atas nama Islam dan kemudian menjelaskan hakikat yang sebenarnya. Ini merupakan satu tujuan utama dan besar bagi Aimmah, menjelaskan hukum Islam. Ini yang pertama.
Apa yang telah dilakukan ini memiliki substansi politik. Yakni, ketika kita tahu ada penyimpangan yang diprovokasi oleh khilafah, dimana antek-antek mereka yang secara lahiriah adalah ulama melakukan penyimpangan demi penguasa, maka sudah wajar bila seseorang bangkit melawan penyimpangan ini dan sudah barang tentu apa yang dilakukannya bertentangan dengan kebijakan penguasa.
Saat ini di sebagian negara-negara Islam, sebagian penulis dan ulama yang dibayar oleh pemerintah untuk menulis buku demi menciptakan perselisihan di antara umat Islam atau memburukkan citra saudara muslimnya. Bila di negara-negara ini muncul seorang penulis independen yang menulis buku tentang persatuan Islam dan persaudaraan antara masyarakat Islam, maka apa yang dilakukannya ini terhitung langkah politik dan pada hakikatnya anti pemerintah.
Salah satu aktifitas penting para Imam Maksum as adalah menjelaskan hukum Islam. Itu bukan berarti di masa itu tidak ada yang menjelaskan hukum Islam kepada masyarakat. Tidak demikian. Karena betapa banyak yang mengajarkan al-Quran dan menukil hadis dari Nabi Saw, bahkan para ahli hadis mengetahui ribuan hadis. Di Tabarestan, seorang ulama besar menukil ribuan hadis dari Nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Waktu itu ada banyak hadis. Hukum Islam juga dijelaskan. Tapi yang tidak dijelaskan adalah tafsir dan penjelasan yang benar tentang Islam di seluruh urusan masyarakat Islam demi mencegah terjadinya penyimpangan dalam Islam. Ini satu pekerjaan penting yang dilakukan oleh para Imam Maksum as.
Pekerjaan penting lainnya adalah menjelaskan masalah Imamah atau kepemimpinan. Imamah berarti kepemimpinan masyarakat Islam. Ini satu masalah yang sangat penting dan belum jelas bagi umat Islam di masa itu, bahkan praktis secara teori telah terjadi penyimpangan. Siapa yang menjadi pemimpin masyarakat Islam? Yang lebih buruk lagi, orang-orang yang biasanya tidak mengamalkan hukum Islam, bahkan lebih sering melakukan hal-hal yang haram secara terang-terangan mengaku sebagai pengganti Nabi Saw. Mereka menduduki posisi Nabi Muhammad Saw dan tidak malu. Yakni, bukan berarti masyarakat waktu itu tidak tahu. Mereka menyaksikan seseorang atas nama khalifah mabuk dan tanpa sadar mendatangi tempat shalat dan menjadi imam shalat jamaah lalu mereka mengikutinya. Masyarakat tahu Yazid bin Muawiyah memiliki penyakit moral yang akut dan pelaku dosa besar, tapi pada saat yang sama, ketika dikatakan kepada mereka untuk bangkit melawan Yazid, mereka menjawab, kami telah berbaiat kepada Yazid. Oleh karenanya kami tidak bisa bangkit melawannya. Masalah Imamah belum jelas bagi masyarakat waktu itu. Masyarakat beranggapan Imam kaum Muslimin dan penguasa masyarakat Islam dapat saja melakukan dosa, kesalahan, kezaliman, perbuatan yang bertentangan dengan al-Quran dan Islam. Bagi mereka itu bukan masalah penting. Ini sebuah masalah besar. Dengan mencermati pentingnya masalah pemerintahan dalam sebuah masyarakat dan pengaruh penguasa dalam cara pandang masyarakat, apa yang terjadi itu merupakan bahaya terbesar bagi dunia Islam. Itulah mengapa para Imam Maksum as merasa penting untuk menyampaikan dua hal berikut ini.
Pertama, Imam dan penguasa Islam harus memiliki sejumlah syarat seperti; Ishmah, takwa, alim, spiritual, perilaku dengan masyarakat, perbuatan di hadapan Allah. Ini merupakan syarat bagi seorang Imam. Yakni, para Imam Maksum as menjelaskan siapa penguasa Islam kepada masyarakat. Ini yang pertama. Sementara yang kedua, adalah menjelaskan saat ini siapa yang memiliki syarat-syarat itu. Para Imam Maksum as kemudian memperkenalkan dirinya dan menjelaskan siapa mereka sebenarnya. Ini juga merupakan pekerjaan besar yang dilakukan Aimmah dan tentu saja ini merupakan pekerjaan penting politik, propaganda dan pendidikan politik.
Bila para Imam Maksum as tidak melakukan pekerjaan lain, selain dua pekerjaan ini, maka sudah cukup untuk kita mengatakan bahwa kehidupan para Imam Maksum as dari awal hingga akhir merupakan kehidupan politik. Dengan demikian, ketika mereka menjelaskan tafsir dan ajaran Islam, pada hakikatnya itu merupakan aktifitas politik. Ketika mereka menjelaskan ciri khas Imam, itu juga merupakan aktifitas politik. Yakni, bila ajaran Aimmah diringkas pada dua tema dan masalah ini, tetap saja kehidupan mereka adalah kehidupan politik. Tapi mereka tidak cukup dengan dua aktifitas ini. Selain dua hal ini, setidaknya sejak periode Imam Hasan al-Mujtaba as telah dimulai gerakan bawah tanah secara menyeluruh di bidang politik dan revolusi untuk merebut kekuasaan. Tidak diragukan bahwa bila mengkaji kehidupan para Imam Maksum as dapat dipahami bagaimana memiliki gerakan ini. Apa yang saya sampaikan ini tidak banyak diketahui. Ini masalah penting yang sayangnya tidak dijelaskan dalam buku-buku yang ditulis mengenai kehidupan para Imam Maksum as, seperti kehidupan Imam Shadiq as, Imam Musa al-Kazhim as dan kehidupan para Imam Maksum as yang lain.
Sekalipun para Imam Maksum as telah membentuk gerakan politik dan organisasi luas dengan semua bukti, tapi tetap saja masalah ini tidak banyak diungkap dan ini menjadi masalah terbesar dalam memahami kehidupan para Imam as. Pada dasarnya Aimmah telah melakukan gerakan ini dan bukti-bukti yang ada juga sangat banyak.
Nah, saudara dan saudari perlu mengetahui hal ini secara ringkas bahwa ketika para Imam Maksum as menerima tanggung jawab Imamah, satu pekerjaan yang dimulai oleh mereka adalah sebuah perjuangan politik. Sebuah gerakan politik untuk meraih kekuasaan. Ini merupakan aksi politik seperti semua upaya lainnya yang dilakukan siapa saja yang ingin membentuk pemerintah dan para Imam Maksum as juga melakukannya. (23/1/1364 HS) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Ensan 250 Saleh, Bayanat Magham Moazzam-e Rahbari Darbaraye Zendegi Siyasi-Mobarazati Aemmeh Masoumin as, 1391 HS, Tehran, Moasseh Iman Jahadi.
Baca juga:
Manusia 250 Tahun: Pendahuluan (Bagian Pertama)
[1]. QS. Ali Imran: 164.
[2]. ‘Uyun Akhbar ar-Ridha as, Tarjomeh Ghaffari va Mostavid, jilid 2, hal 417.
[3]. Buku yang berisikan hal-hal yang dapat dibanggakan.
Semua konfrontasi yang kalian saksikan sepanjang periode kehidupan para Imam Maksum as antara mereka dan pemerintah zalim kembali pada masalah ini. Para penentang Aimmah as meracuni, membunuh, memenjarakan dan memblokade mereka dikarenakan para Imam Maksum as menyatakan berhak atas kekuasaan. Bila para Imam as tidak mengaku berhak atas pemerintahan, sekalipun mereka mengklaim mengaku memiliki ilmu Awwalin dan Akharin tapi tidak ada pembicaraan soal kekuasaan politik, tidak ada pengakuan kekuasaan politik, maka tidak akan terjadi pertentangan dan gesekan antara mereka dengan penguasa atau setidaknya konfrontasi yang terjadi tidak sehebat ini. Pada dasarnya bukan masalah ini. Itulah mengapa kalian saksikan di antara ajakan dan propaganda yang dilakukan para Imam Maksum as menyoroti secara serius kata Imamah. Karena masalah Imamah sangat sensisitif. Yakni, ketika Imam Shadiq as hendak mengeluarkan pernyataan soal haknya akan pemerintahan Islam dan kekuasaan politik, beliau berkata, "Ayyuhannas, Inna Rasulallah Kana al-Imam, Wahai masyarakat -dalam pertemuan di Arafah beliau berdiri dan berkata-, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah seorang Imam, seorang pemimpin masyarakat. Setelah itu beliau melanjutkan, "Tsumma Kana Aliyubnu Abi Thalib Tsumma al-Hasan Tsumma al-Husein,[1] Kemudian yang menjadi Imam adalah Ali bin Abi Thablib, kemudian Hasan dan Husein." Beliau menyebutkan nama para Imam as satu persatu sehingga sampai kepada dirinya. Artinya, seluruh pembahasan Aimmah as dengan para penentangnya dan begitu juga para sahabat mereka terkait masalah pemerintahan, kekuasaan, Wilayah Mutlak dan Umum atas seluruh kaum Muslimin dan kekuasaan politik. Karena para penentang mereka tidak memperselisihkan soal posisi spiritual para Imam as.
Sering kali terjadi mereka yang hidup di masa kekhalifahan adalah orang zuhud dan tergolong ulama. Mereka dikenal dengan tafsir, keilmuan dan yang semacamnya. Para khalifah bukan saja tidak menentang, tapi justru melayani mereka. Khalifah begitu menghormati dan mendatangi mereka lalu meminta nasihat mereka. Mengapa ini terjadi?
Hal itu dikarenakan mereka tidak mengaku memiliki hak berkuasa dihadapan khalifah. Lihat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Ibnu Syubrumah dan Amr bin Ubaid. Mereka ini merupakan tokoh dan ulama yang mendapat perhatian para khalifah. Mereka ini mengaku alim, zuhud, memiliki posisi spiritual, ahli tafsir, ilmu nabi dan semua pengakuan yang dimilikinya, tapi mengapa para khalifah tidak sedikitpun berkonfrontasi dengan mereka? Karena mereka tidak mengaku memiliki kekuasaan politik. Konfrontasi antara para Imam Maksum as dengan para khalifah Bani Umayah dan Abbasiah terkait dengan masalah Imamha dan Wilayah. Yakni, perseteruan itu terkait dengan makna Imamah yang saat ini kita gunakan. (2/11/1366 HS) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Ensan 250 Saleh, Bayanat Magham Moazzam-e Rahbari Darbaraye Zendegi Siyasi-Mobarazati Aemmeh Masoumin as, 1391 HS, Tehran, Moasseh Iman Jahadi.
Baca juga:
Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Kedua)
Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Pertama)
Manusia 250 Tahun: Pendahuluan (Bagian Ketiga, Habis)
Semua konfrontasi yang kalian saksikan sepanjang periode kehidupan para Imam Maksum as antara mereka dan pemerintah zalim kembali pada masalah ini. Para penentang Aimmah as meracuni, membunuh, memenjarakan dan memblokade mereka dikarenakan para Imam Maksum as menyatakan berhak atas kekuasaan. Bila para Imam as tidak mengaku berhak atas pemerintahan, sekalipun mereka mengklaim mengaku memiliki ilmu Awwalin dan Akharin tapi tidak ada pembicaraan soal kekuasaan politik, tidak ada pengakuan kekuasaan politik, maka tidak akan terjadi pertentangan dan gesekan antara mereka dengan penguasa atau setidaknya konfrontasi yang terjadi tidak sehebat ini. Pada dasarnya bukan masalah ini. Itulah mengapa kalian saksikan di antara ajakan dan propaganda yang dilakukan para Imam Maksum as menyoroti secara serius kata Imamah. Karena masalah Imamah sangat sensisitif. Yakni, ketika Imam Shadiq as hendak mengeluarkan pernyataan soal haknya akan pemerintahan Islam dan kekuasaan politik, beliau berkata, "Ayyuhannas, Inna Rasulallah Kana al-Imam, Wahai masyarakat -dalam pertemuan di Arafah beliau berdiri dan berkata-, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah seorang Imam, seorang pemimpin masyarakat. Setelah itu beliau melanjutkan, "Tsumma Kana Aliyubnu Abi Thalib Tsumma al-Hasan Tsumma al-Husein,[1] Kemudian yang menjadi Imam adalah Ali bin Abi Thablib, kemudian Hasan dan Husein." Beliau menyebutkan nama para Imam as satu persatu sehingga sampai kepada dirinya. Artinya, seluruh pembahasan Aimmah as dengan para penentangnya dan begitu juga para sahabat mereka terkait masalah pemerintahan, kekuasaan, Wilayah Mutlak dan Umum atas seluruh kaum Muslimin dan kekuasaan politik. Karena para penentang mereka tidak memperselisihkan soal posisi spiritual para Imam as.
Sering kali terjadi mereka yang hidup di masa kekhalifahan adalah orang zuhud dan tergolong ulama. Mereka dikenal dengan tafsir, keilmuan dan yang semacamnya. Para khalifah bukan saja tidak menentang, tapi justru melayani mereka. Khalifah begitu menghormati dan mendatangi mereka lalu meminta nasihat mereka. Mengapa ini terjadi?
Hal itu dikarenakan mereka tidak mengaku memiliki hak berkuasa dihadapan khalifah. Lihat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Ibnu Syubrumah dan Amr bin Ubaid. Mereka ini merupakan tokoh dan ulama yang mendapat perhatian para khalifah. Mereka ini mengaku alim, zuhud, memiliki posisi spiritual, ahli tafsir, ilmu nabi dan semua pengakuan yang dimilikinya, tapi mengapa para khalifah tidak sedikitpun berkonfrontasi dengan mereka? Karena mereka tidak mengaku memiliki kekuasaan politik. Konfrontasi antara para Imam Maksum as dengan para khalifah Bani Umayah dan Abbasiah terkait dengan masalah Imamha dan Wilayah. Yakni, perseteruan itu terkait dengan makna Imamah yang saat ini kita gunakan. (2/11/1366 HS) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Ensan 250 Saleh, Bayanat Magham Moazzam-e Rahbari Darbaraye Zendegi Siyasi-Mobarazati Aemmeh Masoumin as, 1391 HS, Tehran, Moasseh Iman Jahadi.
Baca juga:
Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Kedua)
Manusia 250 Tahun: Pengantar (Bagian Pertama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar