Menelusuri Khutbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum
http://www.icc-jakarta.com/menelusuri-khutbah-rasulullah-saw-di-ghadir-khum/
Saw
setelah menanggung berbagai derita selama 23 tahun menyebarkan risalah
Ilahi bersabda, “Tidak ada nabi seperti diriku yang menanggung
penderitaan berat dalam menyampaikan risalahnya.” Di akhir masa
kenabiannya, Muhammad Saw saat menunaikan Haji Wada dan ketika berada di
Ghadir Khum menunjuk penggantinya setelah mendapat perintah dari Allah
Swt. Pengganti Nabi ini terkenal keberaniannya, ikhlas, pertama memeluk
Islam, dan berulang kali telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang
layak menggantikan sang Nabi.
Disebutkan bahwa Nabi menyadari kekuatan
kaum munafik dan kebencian mereka terhadap Imam Ali bin Abi Talib as.
Nabi sesaat khawatir untuk mengumumkan penggantinya, namun kemudian ayat
al-Quran turun yang mensyaratkan kesempurnaan risalahnya dengan
mengumumkan penggantinya serta Allah Swt akan menjaga Nabi-Nya dari
kejahatan musuh.
Dengan demikian ketika rombongan haji
telah tiba di Ghadir Khum yang merupakan persimpangan bagi para jamaah
haji untuk kembali ke rumah masing2, Rasulullah Saw memerintahkan
rombongan-nya untuk berhenti dan mendirikan kemah. Ketika jamaah haji
lainnya tiba di Ghadir Khum, yang saat itu jumlahnya mencapai sekitar
120 ribu orang, Rasulullah naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.
Setelah menyampaikan pidatonya, Nabi
meminta Imam Ali naik ke mimbar dan mengangkat tangan Imam serta
mengenalkan kepada umat Islam bahwa Ali bin Abi Talib adalah
penggantinya. Nabi bersabda bahwa ketaatan kepada Ali bin Abi Thalib
sama dengan ketaatan kepada beliau. Selanjutnya Nabi memberitahukan
kepada umat Islam bahwa keluarganya (Ahlul Bait) posisinya setara dengan
al-Quran. Nabi mengingatkan bahwa Ahlul Bait dan al-Quran tidak akan
terpisah hingga Hari Kiamat kelak. Keduanya menurut Nabi merupakan
harapan kebahagiaan umat Islam.
Tak lama setelah itu, Rasulullah Saw
akhirnya menemui Tuhannya. Sang penyebar ajaran Ilahi ini setelah
berjuang selama 23 tahun kemudian meninggalkan dunia yang fana ini.
Adapun Allah Swt berjanji akan menjaga Kitab Suci al-Quran dari
tangan-tangan jahil yang berusaha mengubahnya.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S.15:9)
Kini Ali bin Abi Talib, kelahiran Ka’bah
dan besar di pangkuan Nabi, orang pertama yang memeluk Islam yang
mengikuti setiap detik turunnya wahyu karena berada di sisi Rasul mulai
mengkhawatirkan masa depan umat Islam.
Kini kami akan mengetengahkan khutbah
Rasul dan menjadikannya peta jalan risalah beliau guna membuka kembali
perjalanan umat Islam. Kami berharap dengan upaya ini umat tidak akan
terjebak ke jalan menyimpang dan menjadikan mereka sebagai penyeru pesan
Rasul ke dunia. Tak hanya itu, kami juga berharap pembaca menjadi
rasul-rasul di tengah keluarga dan kerabatnya yang meneruskan misi
Rasulullah Saw dan ajaran Ilahi.
Harapan ini selaras dengan sabda Rasul
yang menyebutkan, “Wahai kalian yang hadir dan mendengar pesan ini!
Wajib bagi kalian ketika pulang ke rumah masing-masing memberitahukan
pesan ini kepada mereka yang tidak hadir.”
Khutbah Rasul di Ghadir Khum
“Puji-pujian hanya milik Allah. Kami
memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman.
Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan
dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang
yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah
Allah beri petunjuk baginya.”
“Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa
Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha
Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan
kepada kalian suatu hal. Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat
aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya.”
“Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta
utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah
benar, kebangkitan pun benar, dan ‘hari itu pasti akan tiba, dan Allah
akan membangkitkan manusia dari kuburnya?” Mereka menjawab: “Ya, kami
meyakininya.”
Nabi melanjutkan: “Hai, kaum Muslimin!
Apakah kalian mendengar jelas suaraku?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasul
berkata: “Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal paling berharga
dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak
akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang
lebih tinggi dari yang lain.”
Orang-orang bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?”
Rasulullah menjawab: “Salah satunya
adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku).
Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak
berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah
memberitahukanku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan
berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga
(al-Kautsar).
Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai
Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai
Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah
tentang Ahlulbaitku!”
“Dengarlah! Aku adalah penghulu surga
dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian
memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku.
Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan
pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!”
“Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian
bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?”
Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: “Hai,
kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari
ada diri mereka sendiri?” Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.”
Kemudian Rasul berkata: “hai Kaum
Muslim! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua
orang-orang beriman,” Lalu ia merengkuh tangan Ali dan mengangkatnya ke
atas. la berseru: “Barang siapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali
adalah Maulanya pula (Nabi mengulang sampai tiga kali)
Ya, Allah!
Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang
memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah
orang-orang Yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya
ke mana pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).
Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku,
Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku.
Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak
ada Nabi setelahku. la adalah pemimpin kalian setelah Allah dan
Utusan-Nya.”
“Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah
telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi
seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang
Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang
tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam.”
“Perintahnya harus kalian taati, dan
kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap
orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak
mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan
orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang
beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang
Maha kuasa dan Maha tinggi, wajibkan.”
“Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran!
Terapkanlah ayat-ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah
kalian mengira-ngira ayat-ayat yang bermakna ganda! Karena, Demi Allah,
tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat-ayat secara benar akan
makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah
aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.”
“Hai kaum Muslimin, inilah terakhir
kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan
taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang
berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya
sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah
Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh
orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah
dan Rasulnya.”
“Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan
menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian.
Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam
dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir
saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak
hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal ini
daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah
aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan
Allah kepada kalian?” Semua orang menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Muhammad
berkata, “Ya, Allah, saksikanlah.”
Belum lagi pertemuan akbar ini bubar, Jibril turun membawa wahyu dari Allah swt kepada Nabi-Nya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
ۚفَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙفَإِنَّ
اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS. 3: 3)
Kemudian Rasul bertakbir, Allah Akbar!
Selamat atas disempurnakannya agama dan disempurnakannya nikmat dan
keridhaan Allah terhadap risalahku dan kepemimpinan Ali sepeninggalku.
Setelah takbir Nabi tersebut, umat Islam
berduyun-duyun memberikan selamat kepada Imam Ali as. Orang paling
pertama yang mengucapkan selamat kepada Imam Ali adalah Abu Bakar dan
Umar. Keduanya berkata, selamat kepadamu wahai Abu Turab! Kini Kamu
menjadi pemimpin kami dan maula setiap laki-laki serta wanita mukmin.
Ibnu Abbas berkata: “Saya bersumpah
bahwa wilayah terhadap Ali diwajibkan bagi seluruh umat.” Hasan bin
Tsabit berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan Aku mengumandangkan syair
tentang Ali.” Nabi pun kemudian mengijinkan Hasan bin Tsabit membacakan
syair tentang peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Imam Ali as.
ینادیهم یوم الغدیر نبیهم بخم فاسمع بالرسول منادیا
Antara Ghadir Khum dan Saqifah
http://www.icc-jakarta.com/antara-ghadir-khum-dan-saqifah/
Bagaimana
mungkin seratus ribu lebih jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Khum dan
mendengarkan hadis al-Ghadir namun tiada satu pun dari mereka yang
melontarkan kritikan dan protes di Saqifah?
Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.
Para penulis sejarah dengan merekam
pelbagai peristiwa dan menukil turun-temurun kisah ini dan menjadi
sandaran masyarakat melalui jalan yang beragam, mengakui kebenaran
masalah ini.
Sedemikian masalah ini argumentatif
sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan
bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah
seorang ulama besar Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.
Terlepas dari itu, berhimpunnya
masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan merupakan sesuatu yang
tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh
Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh untuk Islam banyak orang yang
condong untuk memeluk Islam Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan
salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau
akan ikut serta dalam musim haji tahun itu dan secara langsung beliau
sendiri yang akan mengajarkan hukum-hukum haji pada tahun itu.
Sekarang pertanyaan yang mengemuka
adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan
protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan
Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak
menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus
dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di
Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar
seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada
para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di
hadapan para pembesar Saqifah.
Dalam masalah ini, terdapat ragam
kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat
yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan
menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas
paman Nabi Saw, atau di antara mereka ada yang gentar dan takut dari
ancaman para antek khalifah ketika itu. Atau di antara mereka banyak
mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti
banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani
Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau
larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin
menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di
Saqifah ini. Dan terakhir, sebagian dari mereka juga, didasari oleh
kebodohan dan ketidaktahuan, mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As
yang dipilih oleh Nabi Saw sebagai khalifah oleh karena itu mereka
memilihnya sebagai khalifah dan membaiatnya.
Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi
Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini
bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali
melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis
al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan
lisan saja.
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat
dua kemungkinan: Kemungkinan pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa
tiada dari kalangan sahabat yang melancarkan protes terhadap keputusan
Saqifah dan adanya pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir;
Kemungkinan kedua yang dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa
al-Ghadir dan tiadanya protes para sahabat serta pengingkaran terhadap
petunjuk hadis al-Ghadir atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.
Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup
bagi kita menetapkan akar peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah
sebagaimana berikut ini.
Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan
Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1]dan
memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum
Muslimin.
Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama
kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis:
“Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan,
dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus
dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis,
“Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat
mutawatirdan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan
kami (sebagian darinya).[3]
Terlepas dari kitab-kitab sejarah
yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah, terdapat banyak
riwayat yang menukil hadis Ghadir ini. Sebagian dari mereka menyebutkan
hadis ini dengan satu kandungan dengan jalan yang berbeda-beda. Dimana
sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini dengan dua ratus lima puluh
sanad.[4]
Kesemua ini merupakan bukti atas
banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak
menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir,
juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.
Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia
sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu
yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah
yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua
ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju
Irak, Madinah,[6] Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala
mereka usia menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah
ini untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.
Dari sudut pandang kondisi waktu juga
harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah
akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang
yang hadir lebih banyak dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini
dikarenakan banyak ayat yang diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu
dari syiar Allah, dan dengan gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat
dari pelbagai strata yang memeluk agama Ilahi ini.
Dari sisi lain, karena Nabi Saw
menginstruksikan sebelum berangkat haji untuk mengumumkan bahwa beliau
sendiri akan turut serta pada musim haji tahun itu dan mengajarkan
langsung hukum-hukum haji.[8]
Seluruh sebab-sebab ini berujung
hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji sangat banyak dari
tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir Khum terjadi di
Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar untuk pulang ke
daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa Ghadir Khum
merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam sejarah kaum
Muslimin.
Kemungkinan kedua bahwa bagaimana
mungkin para sahabat meski mereka melihat peristiwa Ghadir Khum secara
langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan
kepada Ali As, mereka malah memilih orang lain untuk urusan khilafah
yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir
Khum tidak menunjukkan pada wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9]
Dalam menjawab pertanyaan ini harus
dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa
Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para
pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka
serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.
Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi
Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah,
karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat
senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu
Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam
Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada
Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai
kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.
Sahabat-sahabat besar seperti Salman,
Abu Dzar, Thalha, Zubair[10] dan lainnya angkat suara menentang
keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar.
Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan
mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[11]
Sebagian lainnya seperti Abbas paman
Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara
terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan
perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar
Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[12]
Dari sebagian penentangan secara
praktik, sekelompok besar sahabat dan juga penyandaran berketerusan Imam
Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada pelbagai kesempatan menandaskan
bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis Ghadir ini sebagai penunjukan
khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As adalah penunjukkan yang lengkap
dan sahih.
Akan tetapi masyarakat awam yang hadir
pada peristiwa Ghadir Khum berada pada dua posisi. Sebagian mereka
banyak mengambil manfaat dari kejadian Saqifah, atau dalam kondisi
terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga memberikan baiatnya kepada
para pembesar Saqifah ini.[13] Atau sebagian dari mereka, tidak
mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa memberikan baiat, namun
mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali
bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan
dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam
pelbagai medan perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka
memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah
orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu
Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi
Saw lalu mereka membaiatnya.[14][]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13. Jamal, Syaikh Mufid.
14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.
________________________________________
[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.
[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.
Tawassul dan Memohon Syafa’at Bukanlah Perbuatan Syirik
Ayatullah
al Uzhma Ja’far Subhani berkenaan dengan beberapa syubhat yang
menyebutkan memohon syafaat melalui para Wali Allah atau yang dikenal
dengan istilah bertawassul adalah perbuatan syirik dan sia-sia,
memberikan bantahan dan penjelasannya.
http://www.icc-jakarta.com/tawassul-dan-memohon-syafaat-bukanlah-perbuatan-syirik/
Berikut teks lengkap tanya-jawab tersebut.
Pertanyaan:
Bagaimana anda mengatakan, bahwa ucapan, “Wahai Imam yang
mulia, berikanlah kesembuhan pada anakku”, sementara kesembuhan sendiri
berasal dari Allah yang merupakan Zat Maha Penyembuh, apakah ucapan
tersebut tidak terkategori sebagai bentuk kesyirikan?
Jawaban:
Kami telah memberikan penjelasan mengenai hal ini berkali-kali.
Bahwa yang menentukan suatu amalan berupa aplikasi dari tauhid atau
merupakan bentuk kesyirikan bukan ditangan kita. Melainkan wewenang
sepenuhnya Allah SWT. Akan kami jelaskan secara sederhana sebagai
berikut:
Didalam al-Qur’an al Karim disebutkan perintah untuk
mentadabburi dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengamati secara
keseluruhan dan tidak parsial dengan hanya mengambil pesan dari satu
ayat dan mengabaikan ayat yang lain. Misalnya, dalam sejumlah ayat,
Allah SWT menyampaikan bahwa Dialah yang Maha Mengatur segala urusan.
Seperti dalam surah Yunus ayat 3 dan 31, ar Ra’ad ayat 2 dan As Sajdah
ayat 5. Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan Allahlah yang Maha Mengatur
segala urusan. Namun jika kita memperhatikan pada surah an Naziat ayat 5
justru berbunyi, “dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)“.
Melihat sekilas, maka kita bisa berkesimpulan ayat-ayat tersebut
bertentangan. Namun sesungguhnya dalam Al-Qur’an tidak terdapat satupun
ayat yang bertentangan sebagaimana firman Allah SWT, “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.” Qs. An Nisa: 82. Maka dapat dikatakan, bahwa maksud ayat yang
pertama adalah bahwa kendali sepenuhnya berkenaan dengan pengaturan
urusan dunia adalah Allah SWT, namun karena urusan dunia tidak bisa
lepas dari proses sebab-akibat , maka dibutuhkan pengatur-pengatur
perantara yang tetap dalam kontrol dan kendali Allah sepenuhnya yang
berbuat untuk mengatur urusan dunia melalui izin Allah. Misalnya untuk
urusan menurunkan rezeki, mengatur hujan, maka yang melakukan pekerjaan
tersebut adalah kelompok malaikat yang mendapat perintah dan izin dari
Allah SWT. Dan para malaikat yang mengatur urusan dunia tersebut tidak
bisa bertindak sendiri dan berlepas dari kendali Allah SWT.
Contoh lainnya. Meskipun kita menemukan ayat yang bercerita
mengenai Nabi Ibrahim as yang menyebutkan Allah SWT adalah Zat yang Maha
Penyembuh, dengan berkata, “ dan
apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,” [Qs. Asy Syu'araa':
80] namun, kita juga tidak bisa memungkiri, bahwa Allah SWT menyampaikan
bahwa pada perut lebah terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakit,
sebagaimana terdapat dalam surah An Nahl ayat 69, begitu pula pada surah
Ali Imran ayat 49 yang menceritakan kisah mengenai Nabi Isa as yang
dapat menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang mati dengan seizin
Allah SWT. Oleh karena itu logika Al-Qur’an adalah kesembuhan, atau
bahkan menghidupkan orang yang sudah mati dapat dilakukan oleh siapapun
yang telah mendapat izin dari Allah SWT. Karenanya, memohon syafaat pada
Wali-wali Allah, bukan hanya bukan berupa kesyirikan melainkan termasuk
dalam bagian tauhid, yang percaya dan yakin bahwa Allah SWT memiliki
kuasa penuh untuk memberikan kesembuhan melalui perantara orang-orang
yang dicintaiNya.
Rahbar: Negara Seperti AS Tak Perlu Ditakuti
http://www.icc-jakarta.com/rahbar-negara-seperti-as-tak-perlu-ditakuti/
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam
Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei Kamis (6/3) pagi dalam pertemuan
dengan ketua, jajaran pimpinan dan para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan
menyinggung kedudukan penting Dewan Ahli dalam sistem pemerintahan di
Iran seraya mengatakan, “Pertemuan para ulama, tokoh dan mujtahid Iran
dalam sidang-sidang Dewan Ahli selalu menjadi peristiwa yang penting.
Dalam momen-momen tertentu signifikansi pertemuan ini dirasa lebih besar
seperti sidang yang berlangsung sekarang dan pada periode ini.”
Beliau menjelaskan transformasi penting yang terjadi
saat ini di dunia dan di kawasan seraya menyatakan bahwa salah satu
tanggungjawab yang harus dilaksanakan pada situasi saat ini adalah
mencermati dan mengevaluasi apa yang menjadi tugas kita.
“Dalam kondisi seperti ini, seluruh lembaga negara
termasuk Dewan Ahli Kepemimpinan harus mempunyai pandangan yang inovatif
dan substansial dalam mencermati realitas yang terjadi di dunia,” kata
beliau.
Selanjutnya, Rahbar menjelaskan sejumlah transformasi
penting di dunia dan menuturkan, “Dimulainya perkembangan yang
substansial di dunia dan kawasan yang diwarnai dengan terlihatnya
tanda-tandanya di berbagai belahan dunia termasuk di kawasan utara
Afrika, Asia dan Eropa adalah satu contoh realitas saat ini yang harus
disoroti dengan cermat dan teliti.”
Realitas yang kedua adalah terguncangnya ketenangan
kubu arogansi dan kekuatan adidaya dunia. Beliau mengatakan, “Salah satu
tanda guncangan ini adalah krisis ekonomi yang terjadi di Eropa dan
Amerika Serikat (AS) yang terlihat dari keruntuhan perekonomian di
sana.”
Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebut dekadensi moral,
ternodainya kemanusiaan dan terungkapnya identitas utama dari peradaban
Barat yang dibangun di atas landasan ideologi humanisme sebagai salah
satu tanda adanya guncangan yang meresahkan kubu arogansi.
“Pembunuhan, penjarahan dan kekerasan serta
kebejatan, pengumbaran syahwat yang menghancurkan dengan merebaknya
perkawinan sejenis, pembelaan terbuka terhadap terorisme keji dan brutal
di kawasan, juga penistaan terang-terangan terhadap kesucian dan para
pemimpin agama, semua itu adalah bukti nyata akan kegagalan peradaban
Barat dalam masalah moral,” ungkap beliau.
Realitas berikutnya adalah runtuhnya satu demi satu
pilar-pilar keilmuan dan jatidiri pada peradaban Barat yang diwarnai
dengan kebencian umum terhadap AS dan kekuatan adidaya Dunia yang kian
merusak citra mereka di depan publik internasional.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menegaskan,
“Kebangkitan bangsa-bangsa di dunia khususnya kebangkitan Islam dan
memuncaknya semangat resistensi Islam adalah satu lagi fakta yang
terjadi di dunia saat ini.”
Menyinggung sikap dan pernyataan sebagian orang
terkait kebangkitan Islam beliau menandaskan, “Sekarang terbukti bahwa
kebangkitan ini sangat erat kaitannya dengan Islam. Walaupun saat ini
terkesan surut, namun spirit percaya diri dan kembali ke jatidiri Islam
tak akan pernah lenyap, dan saat inipun tidak sirna.”
Realitas penting berikutnya yang mewarnai dunia saat
ini adalah keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Iran dengan revolusi
Islamnya dan berkembangnya semangat independensi bangsa Iran setelah 35
tahun kemenangan revolusi.
“Semangat revolusi bangsa Iran tetap hidup. Pawai
kemenangan revolusi Islam 22 Bahman tahun ini adalah fakta yang
spektakuler dan bukti yang menguatkan klaim ini,” ungkap beliau.
Setelah menjelaskan sejumlah realitas penting dunia,
Rahbar menyebutkan tugas dan tanggungjawab para petinggi Republik Islam
pada periode yang menentukan ini.
Tugas para petinggi pemerintahan Islam Iran, menurut
beliau, adalah melihat semua titik lemah dan kuat yang ada. Fakta
menunjukkan bahwa revolusi Islam Iran tidak sama dengan
revolusi-revolusi lain yang terjadi di dunia. Berlalunya tiga dekade
dari kemenangan revolusi Islam memperlihatkan bahwa revolusi ini tetap
hidup dan bangsa ini tetap menyuarakan perjuangan untuk Islam,
kemerdekaan dan keadilan.
Tugas kedua adalah merasa bangga dan menghargai generasi muda yang
agamis dan revolusioner di negeri ini. Meski tidak terlibat dan
menyaksikan perjuangan meraih kemenangan revolusi dan rangkaian
peristiwa yang terjadi setelahnya, namun generasi ini terbentuk menjadi
generasi yang taat beragama dan loyal kepada revolusi Islam.
Tugas ketiga yang diemban para petinggi pemerintahan
Islam Iran adalah memerhatikan kapasitas dan potensi besar dan berlimpah
yang ada di negeri ini serta memanfaatkannya dengan baik. Kapasitas dan
potensi besar inilah yang membimbing para petinggi Iran untuk
memperkuat sistem ekonomi resistensi.
Tugas keempat adalah tidak lalai akan permusuhan
lawan dan gangguan dari musuh. Sebab, musuh tak akan pernah berhenti
memusuhi selama pemerintahan Islam dan bangsa Iran memegang teguh
prinsip-prinsip dan cita-cita perjuangannya. Sejak dulu, kubu arogansi
memiliki dendam yang mengakar dalam terhadap bangsa Iran, dan dendam itu
saat ini bisa disaksikan dalam sikap dan pernyataan musuh.
Tugas kelima adalah menjalankan kebijakan ekonomi
resistensi. Musuh yang meski memendam permusuhan namun tidak mampu
melawan pemerintahan Islam dan bangsa Iran, menggunakan sanksi sebagai
senjata. Padahal mereka tahu bahwa sanksi dan embargo yang mereka
terapkan terhadap Republik Islam Iran sejak awal revolusi Islam sampai
sekarang tidak ada gunanya. Bukti dari sia-sianya sanksi dan embargo
nampak dari ancaman verbal yang ditebar oleh para petinggi AS terhadap
Iran.
Untuk itu, Ayatollah al-Udzma Khamenei menekankan
bahwa kerjasama dan koordinasi yang baik di antara pimpinan tiga lembaga
tinggi negara, juga koordinasi antara Presiden dan para menteri yang
bisa disaksikan saat ini, menumbuhkan harapan bahwa dengan bantuan Allah
Swt, ekonomi resistensi akan bisa mengalahkan semua sanksi dan makar
musuh.
Selain itu, beliau juga mengingatkan tugas berikutnya
yaitu mengandalkan rakyat dan melakukan pekerjaan dengan semangat
jihad. “Sejak awal kemenangan revolusi Islam setiap kali rakyat terlibat
dan langkah dimulai dengan nama Allah dan semangat jihad, kita selalu
meraih keberhasilan. Salah satu buktinya adalah kemenangan revolusi
Islam dan di medan Perang Pertahanan Suci yang berlangsung delapan
tahun,” imbuh beliau.
Tugas kedelapan yang mesti diperhatikan adalah bahwa
para petinggi negara harus selalu memerhatikan perkembangan yang ada di
dalam negeri seraya membandingkan kondisi dan kemampuan yang dimiliki
saat ini dengan kondisi beberapa tahun yang lalu.
Seraya mengingatkan semua pihak untuk memperjelas
batas pemisah dengan musuh, beliau menyayangkan sikap sebagian kalangan
yang salah menganggap imbaun memperjelas batas pemisah dengan musuh
sebagai pernyataan untuk memutus hubungan dengan dunia. Padahal yang
dimaksud adalah batas sikap seperti keharusan adanya kejelasan batas
teritorial dengan musuh.
“Tidak ada yang menentang hubungan dengan dunia. Tapi
yang harus diperjelas adalah dengan siapa dan bagaimana kita menjalin
hubungan,” kata Rahbar.
Tugas selanjutnya yang dipikul oleh para
penyelenggara negara adalah tawakkal kepada Allah dan tidak gentar
menghadapi musuh. Mengenai AS, beliau mengatakan, “Sekarang, musuh-musuh
bangsa Iran adalah pihak-pihak yang punya nama paling buruk. Di pentas
internasional, AS dikenal sebagai pemain yang kasar, penjahat, dan
pelanggar hak asasi manusia. Sementara di dalam negeri, pemerintah AS
dipandang sebagai rezim pembohong, dan saat ini tingkat kepercayaan
rakyat AS kepada pemerintahannya berada di level terendah.”
“Pemerintahan yang tidak punya harga diri seperti
ini,” imbuh beliau, “tidak perlu ditakuti. Jika bersama Allah, kita
pasti akan ditolongNya.”
Beliau menyebutkan tugas lain para pejabat negara
yaitu menjaga dan memperkuat persatuan nasional yang meliputi persatuan
antara para pemeluk berbagai madzhab dan persatuan antara berbagai
etnis.
Mengenai kebudayaan, Pemimpin Besar Revolusi Islam
menyeru para pejabat untuk memerhatikan tugas yang sangat penting ini.
Beliau menyinggung kekhawatiran para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan
terhadap kondisi budaya di Iran seraya menegaskan bahwa kekhawatiran
yang sama juga beliau rasakan. Karena itu, pemerintah selaku lembaga
eksekutif harus memerhatikan masalah ini. “Tidak ada kata kompromi untuk
masalah kebudayaan,” tegas beliau.
Ayatollah al-Udzma Khamenei menambahkan, “Masalah
kebudayaan sangat penting. Sebab, pilar utama resistensi dan gerakan
pemerintahan Islam dilandasi oleh keterjagaan budaya Islam dan revolusi,
dan pemerintahan ini berusaha keras memperkuat budaya keimanan dan
revolusi.”
Di akhir pembicaraannya, Rahbar menegaskan bahwa apa
yang sudah disampaikan hendaknya menjadi bahan diskusi dan kepercayaan
umum, dan untuk mewujudkannya diperlukan penjelasan yang logis dan
cerdas tanpa sikap ektrim serta dengan bahasa yang baik.
Di awal pertemuan Ketua Dewan Ahli Kepemimpinan
Ayatollah Mahdavi Kani melaporkan pelaksanaan sidang ke 15 Dewan ini
yang dihadiri oleh hampir seluruh anggota.
Selanjutnya wakil ketua Dewan Ahli Kepemimpinan,
Ayatollah Mohammad Yazdi menyampaikan hasil sidang yang membahas
berbagai permasalahan.
Nabi saww Tidak Bermuka Masam
Surah 80 (Abasa)
Dengan nama Allah yang amat Pemurah lagi amat Mengasihani.
80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
80:4 Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul sawa) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?
80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),
80:8 Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,
80:9 Dan dia takut (kepada Allah),
80:10 maka kamu mengabaikannya,
80:11 Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.
Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh nabi [sawa]. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran sibuta diantara mereka, dan menganggu perbualan mereka dengan nabi [sawa]. Akhirnya seorang dari pembesar Umayyah [iaitu Uthman bin Affan] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.
Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada masa itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabiNya [sawa] bahawa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, kerana tidak mempunyai kekayaan dan kesehatan [cacat].
Terdapat beberapa pengulas sunni yang meletakkan moral nabi [sawa] jauh lebih rendah dibawah purata manusia umum, dan menuduh baginda menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka cuba mengatakan bahawa baginda tidak terlepas dari bermoral dan berkelakuan yang rendah. Sedangkan yang menghina simiskin adalah si pembesar Umayad yang masih bukan muslim, atau baru sahaja mengabungkan diri dengan para sahabat
[iaitu Uthman]. Dan bahkan sebahagian manusia demi untuk membersihkan nama Uthman dari perangai yang sedemikian, telah tidak teragak-agak menuduh nabi [sawa] pada kelakuan tersebut, dan dengan itu telah merendahkan moral nabi dan memuji Uthman. Memutar belitkan kejadian yang sedemikian telah dilakukan oleh Umayad semasa pemerintahan
mereka, melalui Penyampai yang digajikan. Telah diketahui umum bahwa Umayad adalah musuh keluarga nabi [sawa] dan juga Islam, dengan itu, tidak wajarlah bagi ketua mereka, Uthman, telah diberikan teguran di dalam al-Quran, dari itu para ulama yang berkerja untuk Umayad telah disuruh menulis yang ayat itu telah diwahyukan pada menegur nabi
[sawa], bukannya Uthman. Pendustaan secara terang-terangan ini adalah untuk memelihara kemuliaan Uthman dengan harganya pada menghina ketua para-para nabi. Ini adalah pendapat dari sebahagian pengulas sunni:
Dengan nama Allah yang amat Pemurah lagi amat Mengasihani.
80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
80:4 Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul sawa) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?
80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),
80:8 Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,
80:9 Dan dia takut (kepada Allah),
80:10 maka kamu mengabaikannya,
80:11 Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.
Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh nabi [sawa]. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran sibuta diantara mereka, dan menganggu perbualan mereka dengan nabi [sawa]. Akhirnya seorang dari pembesar Umayyah [iaitu Uthman bin Affan] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.
Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada masa itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabiNya [sawa] bahawa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, kerana tidak mempunyai kekayaan dan kesehatan [cacat].
Terdapat beberapa pengulas sunni yang meletakkan moral nabi [sawa] jauh lebih rendah dibawah purata manusia umum, dan menuduh baginda menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka cuba mengatakan bahawa baginda tidak terlepas dari bermoral dan berkelakuan yang rendah. Sedangkan yang menghina simiskin adalah si pembesar Umayad yang masih bukan muslim, atau baru sahaja mengabungkan diri dengan para sahabat
[iaitu Uthman]. Dan bahkan sebahagian manusia demi untuk membersihkan nama Uthman dari perangai yang sedemikian, telah tidak teragak-agak menuduh nabi [sawa] pada kelakuan tersebut, dan dengan itu telah merendahkan moral nabi dan memuji Uthman. Memutar belitkan kejadian yang sedemikian telah dilakukan oleh Umayad semasa pemerintahan
mereka, melalui Penyampai yang digajikan. Telah diketahui umum bahwa Umayad adalah musuh keluarga nabi [sawa] dan juga Islam, dengan itu, tidak wajarlah bagi ketua mereka, Uthman, telah diberikan teguran di dalam al-Quran, dari itu para ulama yang berkerja untuk Umayad telah disuruh menulis yang ayat itu telah diwahyukan pada menegur nabi
[sawa], bukannya Uthman. Pendustaan secara terang-terangan ini adalah untuk memelihara kemuliaan Uthman dengan harganya pada menghina ketua para-para nabi. Ini adalah pendapat dari sebahagian pengulas sunni:
Telah
dikatakan bahawa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom,
dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari
suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahawa
ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah apabila baginda sedang cuba
menyampaikan dakwah Islam kepada manusia-manusia itu: al-Walid bin
al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah
bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh
Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan
kepada kamu.' Dia berterusan memanggil kepada nabi dan mengulangi
permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahawa nabi sedang sibuk
mengadap mereka-mereka yang lain, sehinggalah kebencian kelihatan pada
wajah pesuruh Allah kerana telah diganggu. Nabi berkata kepada
dirinya bahwa pembesar-pembesar ini
akan berkata, yang pengikutnya adalah orang-orang buta dan juga hamba abdi, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya baginda berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan.
Selepas itu Rasulullah [sawa] akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Baginda akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai pemangku baginda ketika ada peperangan.
Ulasan oleh sunni yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Manthoor", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbezaan. Abul Ala Maududi seorang lagi pengulas al-Quran dari sunni, yang mempunyai pandangan sederhana. Ini ada perterjemahannya untuk ayat 80:17 :
akan berkata, yang pengikutnya adalah orang-orang buta dan juga hamba abdi, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya baginda berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan.
Selepas itu Rasulullah [sawa] akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Baginda akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai pemangku baginda ketika ada peperangan.
Ulasan oleh sunni yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Manthoor", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbezaan. Abul Ala Maududi seorang lagi pengulas al-Quran dari sunni, yang mempunyai pandangan sederhana. Ini ada perterjemahannya untuk ayat 80:17 :
-Disini
kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak
mengindahkan kepada pengkhabaran kebenaran. Sebelum ini, semenjak mula
surah sehingga ke ayat 16, ianya ditujukan walaupun kelihatan kepada
nabi [sawas], tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang
kafir. (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman
1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)
Bagaimanapun, yang sebenarnya, al-Quran TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si Buta adalah nabi [sawa], dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat al-Quran di atas Allah awj TIDAK mengatakan kepada nabi sama ada dengan nama atau darjah [iaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran gantinama `dia' di
dalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya diSurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:
`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:
80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Walaupun jika kita menganggap bahawa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi [sawa], maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahawa perkataan `dia' [orang yang berkerut muka] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:
80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dari itu orang yang berkerut adalah yang lain (bukan) dari nabi sendiri disebabkan oleh perbezaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada nabiNya [sawa] dengan mengatakan bahawa, menyampaikan kepada ahli Quraish
yang sombong, yang berkerut muka kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada sibuta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mahu mensucikan dirinya [sehinggakan dia berkerut muka kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.
Namun demikian tidaklah juga mungkin dhamir mukhatab (lawan bicara) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah [sawa] sebab beliau [sawa] baru sahaja mendapatkan wahyu dari Allah SWT dalam Surah 53: 33, supaya menjauhi orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dan mereka hanya menginginkan kehidupan duniawi sahaja. Ayat tersebut
menyatakan:"Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling ?(Apa-raaitalazhi tawalla)". Mustahil peringatan ini di langgar oleh Nabi [sawa]. Apabila ditinjau dari ilmu nahu, maka mendahulukan harf jarr atau isim majrur memiliki arti pengkhususan (ikhtisah). Maka lebih
layaklah jika dhamir ayat di atas ditujukan khusus kepada pembesar Quraisy berkenaan iaitu al-Walid bin Mughirah yang terkenal mempunyai motivasi seperti itu.
Lebih-lebih lagi, berkerut muka bukanlah dari keperibadian atau tingkah laku nabi [sawa], walaupun terhadap musuhnya, apa lagi jika terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk! Sesaorang mungkin boleh bertanya, bagaimana nabi [sawa] yang telah dikirimkan kepada manusia sebagai RAHMAT boleh berkelakuan dengan begitu keji,
sedangkan orang yang mempunyai iman yang sederhana, tidak berperangai dengan yang sedemikian? Tuduhan itu juga bertentangan dengan keterangan mengenai moral dan etika suci nabi [sawas] yang dikatakan oleh Allah sendiri:
`Sesungguhnya kamu (Muhammad sawa) mempunyai akhlak yang amat agung (khuluqin-azim).' [68:4]
Sesaorang yang menghina orang lain tidak berhak kepada pujian tersebut. Telah dipersetujui Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80]. Bahkan ianya telah diwahyukan selepas Surah Iqra' [96 surah yang pertama diwahyukan] Bagaimana boleh diterima bahawa Allah menganugerahkan kebesaran terhadap makhlukNya pada permulaan
kenabiannya, mengatakan bahawa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudiannya berpatah balik mengecam dan mengkritik dia terhadap sesuatu tindakkan kesalahan dari dia yang tidak bermoral.
Juga Allah SWT berfirman:
`Dan berilah peringatan saudara terdekat, dan berlemah lembutlah kepada mereka yang mengikut kamu dari kalangan yang beriman.' [26:214-215]
Telah diketahui bahawa ayat ini diwahyukan pada permulaan islam di Makah. Ayat yang sama juga boleh didapati pada penghujung ayat 15:88. Allah yang maha berkuasa, telah berkata lagi:
`Maka sampaikanlah secara terbuka apa yang kamu diperintahkan dan berpalinglah dari mereka yang musyrik.' [15:94]
Baginda telah diarahkan untuk berpaling dari mereka yang kafir di dalam ayat itu, yang diketahui telah diwahyukan pada permulaan `panggilan terhadap Islam.' [selepas tempuh secara rahsia pada mulanya]
Bagaimana boleh kita gambarkan bahawa setelah segala arahan disampaikan pada permulaannya, nabi yang agung dan mulia boleh membuat kesalahan sehingga memerlukan kenyataan pada membetulkan baginda?
Para pentafsir al-Quran dari mazhab Ahlul-Bayt berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan nabi [sawa], telah terdapat di dalam fikiran seorang dari mereka yang belum memeluk Islam, yang tidak tahu akan keajaipan sinaran cahaya terhadap Islam. Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran nabi [sawa] yang telah dihantar untuk menyampaikan keimanan kepada setiap seorang dan semuanya, tidak kira apa juga kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan kepada itu,
mereka merumuskan bahawa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, bahkan ianya menunjukkan kepada salah seorang dari Umayad yang hadir, dan bahawa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] mengatakan kepada nabi [sawa] walaupun ayat yang kemudiannya dikatakan kepada nabi [sawa].
Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran dan membaca al-Quran Arab yang asal, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan al-Quran pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; Allah terus sahaja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu, biasanya tidak mudah untuk
menentukan siapa yang diperkatakan, apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan. Itulah makanya nabi telah mengarahkan kita untuk merujuk kepada Ahlul-Bayt [as] untuk penghuraian ayat-ayat al-Quran, oleh kerana mereka `mempunyai pengetahuan yang mendalam' [3:7] dan adalah juga `Orang yang Mengetahui' [16:43; 21:7] dan mereka adalah orang yang telah disucikan, yang telah memahami pengertian maksud al-Quran [56:79]
Telah dikatakan bahawa Imam Jafar al-Sadiq [as] sebagai berkata:
Ia telah diwahyukan mengenai seorang dari kaum Umayyah, dia berada bersama nabi [sawa], kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, apabila dia melihat beliau, dia mengejinya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukaiNya dari tindakkan Umayyah itu.
Di dalam Tafsir Sayyid Shubbar, telah dikatakan dari al-Qummi bahawa:
Ayat itu telah diwahyukan mengenai Uthman dan Ibn Umm-Maktoom, dan dia seorang buta. Dia datang kepada Pesuruh Allah [sawa], sedang baginda bersama sekumpulan para sahabat, dan Uthman ada bersama. Rasul memperkenalkan beliau kepada Uthman, dan Uthman berkerut muka dan berpaling.
Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:
`Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]
Jadi bagaimana nabi [sawa] boleh mengatakan sesuatu yang menghinakan jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah? !!!! Nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya. Yang menariknya adalah, ulama sunni mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan SELEPAS surah al-Najm [53] dimana ianya telah mengatakan bahwa nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya.
Juga ayat 33:33 dari al-Quran mengesahkan bahawa Ahlul-Bayt adalah sempurna bersih dan suci. Kita semua tahu bahawa kemuliaan nabi jauh lebih tinggi dari keluarganya. Dia juga terjumlah di dalam ahlul-Bayt. Jadi bagaimana dia boleh menyakiti orang yang beriman dan terus mengekalkan kesuciannya???
Seandainya masih ada lagi tanggapan bahawa ayat itu ditujukan kepada Nabi [sawa] - sila perhatikan di dalam ayat yang diwahyukan di mana Allah berfirman:
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Maka perkataan diatas `tidak ada (celaan)' bererti bahawa apa yang nabi lakukan bukanlah satu kesalahan.
Juga apabila Allah berfirman: Menyampaikan kepada mereka, tidaklah perlu JIKA pembesar Quraish itu tidak mahu mensucikan diri. Pada mulanya Nabi [sawa] tidak tahu bahawa ketua kaum Quraish akan mengerutkan muka pada si Buta, dengan itu, syarat `jika' belum dilaksanakan, dari itu nabi perlulah menyampaikan peringatan sebelum peristiwa mengerutkan muka itu berlaku [kerana nabi sedang berucap dengan Quraish apabila si buta sampai]. Dan sebaik sahaja pembesar Quraish mengerutkan muka, nabi berhenti dari menyampaikan peringatan, dan ayat itu diwahyukan. Sebagaimana yang kita boleh lihat, apa yang nabi [sawa] lakukan adalah melaksanakan tanggong jawabnya saat demi saat.
Peringatan itu adalah untuk masa hadapan, sebagaimana dengan ayat al-Quran yang lain dimana Allah mengingatkan rasulNya bahawa tidaklah perlu bersusah yang amat sangat di dalam memberikan petunjuk kepada manusia, oleh kerana sebahagian dari mereka tidak akan dapat petunjuk, dan rasul tidaklah perlu bersusah hati mengenainya.
Sebagai rumusannya, kami telah berikan keterangan dari al-Quran, Hadith, Sejarah dan Nahu Arab, untuk menyokong fakta bahawa pada permulaan ayat dari surah tersebut TIDAKLAH merujuk kepada nabi Muhammad [sawa] dan orang yang mengerutkan muka pada si buta bukanlah nabi [sawa]. Kami juga menyatakan bahawa ayat 80:5-11 adalah
peringatan untuk waktu yang akan datang kepada nabi Muhammad bahawa menyampaikan kepada mereka yang kafir tidak akan berhasil, jika yang kafir tidak mahu mensucikan dirinya dan apabila sikafir menghina mereka yang beriman kerana tidak punya harta dan kurang kesihatan [cacat].
Ulasan Tambahan:
Seorang saudara dari golongan sunni mengatakan bahwa, ulama tafsir menulis, surah 80 telah diwahyukan selepas nabi cuba untuk menyakinkan empat orang Quraish yang terkemuka untuk memeluk Islam iaitu Utbah Ibn Rabi'ah, Abu Jahl (Amr Ibn Hisham), Umayyah Ibn Khalaf, dan saudaranya, Ubayy [tidak ada disebut Uthman Ibn Affan]. Lebih lagi, al-Qurtubi menyebut di dalam buku Tafsirnya bahawa ayat itu adalah ayat Madina [diwahyukan di Madinah] bererti bahawa Uthman telah memeluk Islam pada ketika itu.
Jawaban saya adalah seperti berikut: Kesemua Muslim telah bersetuju bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan di Makah lama sebelum penghijrahan nabi ke Madinah. Lebih menarik lagi mereka telah mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan `SEJURUS SELEPAS' Surah al-Najm [53] dimana Allah berkata nabi tidak berkata-kata dari kehendaknya!!! Sekali lagi berdasarkan dari sunni, Surah al-Najm adalah surah al-Quran yang ke 23 diwahyukan dan Surah Abasa adalah surah yang ke 24, dan keduanya adalah surah Makah yang terawal. Mungkin, apa al-Qurtubi telah sebutkan hanya sekadar untuk
memalingkan perhatian umum dari isu Uthman yang ditegur di dalam surah tersebut, dan dengan itu menyelamatkan kehormatannya dengan mengalihkan tuduhan itu kepada nabi [sawa]
Satu lagi kecacatan yang terdapat di dalam kenyataan diatas tadi adalah, bahawa dia berkata seorang dari pembesar Quraish itu adalah Abu Jahl. Apa yang Abu Jahl buat di Madinah? Tidakkah kamu tahu, wahai saudara, bahawa Abu Jahl tinggal di Makah, dan seorang dari musuh utama nabi, dan tidak pernah berpindah ke Madinah untuk bertemu
nabi, dan dia diantara mereka yang terbunuh di Peperangan Badr.
Mereka yang lain yang disebutkan dilaporan yang diatas: Utbah dan Umayyah juga terbunuh bersama ketua mereka, Abu Jahl, di dalam Peperangan Badr. Tiada dari mereka yang mempunyai peluang untuk bertemu dengan nabi [setelah penghijrahan nabi] melainkan di medan peperangan di Badr di mana jasad mereka telah dibawa keperigi yang terkenal itu.
1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)
Bagaimanapun, yang sebenarnya, al-Quran TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si Buta adalah nabi [sawa], dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat al-Quran di atas Allah awj TIDAK mengatakan kepada nabi sama ada dengan nama atau darjah [iaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran gantinama `dia' di
dalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya diSurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:
`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:
80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Walaupun jika kita menganggap bahawa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi [sawa], maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahawa perkataan `dia' [orang yang berkerut muka] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:
80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dari itu orang yang berkerut adalah yang lain (bukan) dari nabi sendiri disebabkan oleh perbezaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada nabiNya [sawa] dengan mengatakan bahawa, menyampaikan kepada ahli Quraish
yang sombong, yang berkerut muka kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada sibuta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mahu mensucikan dirinya [sehinggakan dia berkerut muka kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.
Namun demikian tidaklah juga mungkin dhamir mukhatab (lawan bicara) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah [sawa] sebab beliau [sawa] baru sahaja mendapatkan wahyu dari Allah SWT dalam Surah 53: 33, supaya menjauhi orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dan mereka hanya menginginkan kehidupan duniawi sahaja. Ayat tersebut
menyatakan:"Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling ?(Apa-raaitalazhi tawalla)". Mustahil peringatan ini di langgar oleh Nabi [sawa]. Apabila ditinjau dari ilmu nahu, maka mendahulukan harf jarr atau isim majrur memiliki arti pengkhususan (ikhtisah). Maka lebih
layaklah jika dhamir ayat di atas ditujukan khusus kepada pembesar Quraisy berkenaan iaitu al-Walid bin Mughirah yang terkenal mempunyai motivasi seperti itu.
Lebih-lebih lagi, berkerut muka bukanlah dari keperibadian atau tingkah laku nabi [sawa], walaupun terhadap musuhnya, apa lagi jika terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk! Sesaorang mungkin boleh bertanya, bagaimana nabi [sawa] yang telah dikirimkan kepada manusia sebagai RAHMAT boleh berkelakuan dengan begitu keji,
sedangkan orang yang mempunyai iman yang sederhana, tidak berperangai dengan yang sedemikian? Tuduhan itu juga bertentangan dengan keterangan mengenai moral dan etika suci nabi [sawas] yang dikatakan oleh Allah sendiri:
`Sesungguhnya kamu (Muhammad sawa) mempunyai akhlak yang amat agung (khuluqin-azim).' [68:4]
Sesaorang yang menghina orang lain tidak berhak kepada pujian tersebut. Telah dipersetujui Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80]. Bahkan ianya telah diwahyukan selepas Surah Iqra' [96 surah yang pertama diwahyukan] Bagaimana boleh diterima bahawa Allah menganugerahkan kebesaran terhadap makhlukNya pada permulaan
kenabiannya, mengatakan bahawa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudiannya berpatah balik mengecam dan mengkritik dia terhadap sesuatu tindakkan kesalahan dari dia yang tidak bermoral.
Juga Allah SWT berfirman:
`Dan berilah peringatan saudara terdekat, dan berlemah lembutlah kepada mereka yang mengikut kamu dari kalangan yang beriman.' [26:214-215]
Telah diketahui bahawa ayat ini diwahyukan pada permulaan islam di Makah. Ayat yang sama juga boleh didapati pada penghujung ayat 15:88. Allah yang maha berkuasa, telah berkata lagi:
`Maka sampaikanlah secara terbuka apa yang kamu diperintahkan dan berpalinglah dari mereka yang musyrik.' [15:94]
Baginda telah diarahkan untuk berpaling dari mereka yang kafir di dalam ayat itu, yang diketahui telah diwahyukan pada permulaan `panggilan terhadap Islam.' [selepas tempuh secara rahsia pada mulanya]
Bagaimana boleh kita gambarkan bahawa setelah segala arahan disampaikan pada permulaannya, nabi yang agung dan mulia boleh membuat kesalahan sehingga memerlukan kenyataan pada membetulkan baginda?
Para pentafsir al-Quran dari mazhab Ahlul-Bayt berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan nabi [sawa], telah terdapat di dalam fikiran seorang dari mereka yang belum memeluk Islam, yang tidak tahu akan keajaipan sinaran cahaya terhadap Islam. Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran nabi [sawa] yang telah dihantar untuk menyampaikan keimanan kepada setiap seorang dan semuanya, tidak kira apa juga kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan kepada itu,
mereka merumuskan bahawa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, bahkan ianya menunjukkan kepada salah seorang dari Umayad yang hadir, dan bahawa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] mengatakan kepada nabi [sawa] walaupun ayat yang kemudiannya dikatakan kepada nabi [sawa].
Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran dan membaca al-Quran Arab yang asal, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan al-Quran pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; Allah terus sahaja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu, biasanya tidak mudah untuk
menentukan siapa yang diperkatakan, apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan. Itulah makanya nabi telah mengarahkan kita untuk merujuk kepada Ahlul-Bayt [as] untuk penghuraian ayat-ayat al-Quran, oleh kerana mereka `mempunyai pengetahuan yang mendalam' [3:7] dan adalah juga `Orang yang Mengetahui' [16:43; 21:7] dan mereka adalah orang yang telah disucikan, yang telah memahami pengertian maksud al-Quran [56:79]
Telah dikatakan bahawa Imam Jafar al-Sadiq [as] sebagai berkata:
Ia telah diwahyukan mengenai seorang dari kaum Umayyah, dia berada bersama nabi [sawa], kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, apabila dia melihat beliau, dia mengejinya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukaiNya dari tindakkan Umayyah itu.
Di dalam Tafsir Sayyid Shubbar, telah dikatakan dari al-Qummi bahawa:
Ayat itu telah diwahyukan mengenai Uthman dan Ibn Umm-Maktoom, dan dia seorang buta. Dia datang kepada Pesuruh Allah [sawa], sedang baginda bersama sekumpulan para sahabat, dan Uthman ada bersama. Rasul memperkenalkan beliau kepada Uthman, dan Uthman berkerut muka dan berpaling.
Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:
`Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]
Jadi bagaimana nabi [sawa] boleh mengatakan sesuatu yang menghinakan jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah? !!!! Nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya. Yang menariknya adalah, ulama sunni mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan SELEPAS surah al-Najm [53] dimana ianya telah mengatakan bahwa nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya.
Juga ayat 33:33 dari al-Quran mengesahkan bahawa Ahlul-Bayt adalah sempurna bersih dan suci. Kita semua tahu bahawa kemuliaan nabi jauh lebih tinggi dari keluarganya. Dia juga terjumlah di dalam ahlul-Bayt. Jadi bagaimana dia boleh menyakiti orang yang beriman dan terus mengekalkan kesuciannya???
Seandainya masih ada lagi tanggapan bahawa ayat itu ditujukan kepada Nabi [sawa] - sila perhatikan di dalam ayat yang diwahyukan di mana Allah berfirman:
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Maka perkataan diatas `tidak ada (celaan)' bererti bahawa apa yang nabi lakukan bukanlah satu kesalahan.
Juga apabila Allah berfirman: Menyampaikan kepada mereka, tidaklah perlu JIKA pembesar Quraish itu tidak mahu mensucikan diri. Pada mulanya Nabi [sawa] tidak tahu bahawa ketua kaum Quraish akan mengerutkan muka pada si Buta, dengan itu, syarat `jika' belum dilaksanakan, dari itu nabi perlulah menyampaikan peringatan sebelum peristiwa mengerutkan muka itu berlaku [kerana nabi sedang berucap dengan Quraish apabila si buta sampai]. Dan sebaik sahaja pembesar Quraish mengerutkan muka, nabi berhenti dari menyampaikan peringatan, dan ayat itu diwahyukan. Sebagaimana yang kita boleh lihat, apa yang nabi [sawa] lakukan adalah melaksanakan tanggong jawabnya saat demi saat.
Peringatan itu adalah untuk masa hadapan, sebagaimana dengan ayat al-Quran yang lain dimana Allah mengingatkan rasulNya bahawa tidaklah perlu bersusah yang amat sangat di dalam memberikan petunjuk kepada manusia, oleh kerana sebahagian dari mereka tidak akan dapat petunjuk, dan rasul tidaklah perlu bersusah hati mengenainya.
Sebagai rumusannya, kami telah berikan keterangan dari al-Quran, Hadith, Sejarah dan Nahu Arab, untuk menyokong fakta bahawa pada permulaan ayat dari surah tersebut TIDAKLAH merujuk kepada nabi Muhammad [sawa] dan orang yang mengerutkan muka pada si buta bukanlah nabi [sawa]. Kami juga menyatakan bahawa ayat 80:5-11 adalah
peringatan untuk waktu yang akan datang kepada nabi Muhammad bahawa menyampaikan kepada mereka yang kafir tidak akan berhasil, jika yang kafir tidak mahu mensucikan dirinya dan apabila sikafir menghina mereka yang beriman kerana tidak punya harta dan kurang kesihatan [cacat].
Ulasan Tambahan:
Seorang saudara dari golongan sunni mengatakan bahwa, ulama tafsir menulis, surah 80 telah diwahyukan selepas nabi cuba untuk menyakinkan empat orang Quraish yang terkemuka untuk memeluk Islam iaitu Utbah Ibn Rabi'ah, Abu Jahl (Amr Ibn Hisham), Umayyah Ibn Khalaf, dan saudaranya, Ubayy [tidak ada disebut Uthman Ibn Affan]. Lebih lagi, al-Qurtubi menyebut di dalam buku Tafsirnya bahawa ayat itu adalah ayat Madina [diwahyukan di Madinah] bererti bahawa Uthman telah memeluk Islam pada ketika itu.
Jawaban saya adalah seperti berikut: Kesemua Muslim telah bersetuju bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan di Makah lama sebelum penghijrahan nabi ke Madinah. Lebih menarik lagi mereka telah mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan `SEJURUS SELEPAS' Surah al-Najm [53] dimana Allah berkata nabi tidak berkata-kata dari kehendaknya!!! Sekali lagi berdasarkan dari sunni, Surah al-Najm adalah surah al-Quran yang ke 23 diwahyukan dan Surah Abasa adalah surah yang ke 24, dan keduanya adalah surah Makah yang terawal. Mungkin, apa al-Qurtubi telah sebutkan hanya sekadar untuk
memalingkan perhatian umum dari isu Uthman yang ditegur di dalam surah tersebut, dan dengan itu menyelamatkan kehormatannya dengan mengalihkan tuduhan itu kepada nabi [sawa]
Satu lagi kecacatan yang terdapat di dalam kenyataan diatas tadi adalah, bahawa dia berkata seorang dari pembesar Quraish itu adalah Abu Jahl. Apa yang Abu Jahl buat di Madinah? Tidakkah kamu tahu, wahai saudara, bahawa Abu Jahl tinggal di Makah, dan seorang dari musuh utama nabi, dan tidak pernah berpindah ke Madinah untuk bertemu
nabi, dan dia diantara mereka yang terbunuh di Peperangan Badr.
Mereka yang lain yang disebutkan dilaporan yang diatas: Utbah dan Umayyah juga terbunuh bersama ketua mereka, Abu Jahl, di dalam Peperangan Badr. Tiada dari mereka yang mempunyai peluang untuk bertemu dengan nabi [setelah penghijrahan nabi] melainkan di medan peperangan di Badr di mana jasad mereka telah dibawa keperigi yang terkenal itu.
Rujukan:
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.
Nabi saww Tidak Bermuka Masam
BalasHapusSurah 80 (Abasa)
Dengan nama Allah yang amat Pemurah lagi amat Mengasihani.
80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
80:4 Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul sawa) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?
80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),
80:8 Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,
80:9 Dan dia takut (kepada Allah),
80:10 maka kamu mengabaikannya,
80:11 Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi [sawa] bersama beberapa pembesar Quraish yang kaya dari kaum Umayyah, diantara mereka adalah Uthman bin Affan, yang menjadi khalifah kemudiannya. Sedang nabi menyampaikan peringatan kepada mereka, Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta dan seorang dari para sahabat nabi [sawa] datang berjumpa dengan baginda. Nabi menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan baginda. Bagaimanapun baginda tidak terus menjawab soalan yang ditanyakan olehnya, kerana baginda sedang bercakap dengan pembesar Quraish.
BalasHapusOleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh nabi [sawa]. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran sibuta diantara mereka, dan menganggu perbualan mereka dengan nabi [sawa]. Akhirnya seorang dari pembesar Umayyah [iaitu Uthman bin Affan] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.
Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada masa itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabiNya [sawa] bahawa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, kerana tidak mempunyai kekayaan dan kesehatan [cacat].
Terdapat beberapa pengulas sunni yang meletakkan moral nabi [sawa] jauh lebih rendah dibawah purata manusia umum, dan menuduh baginda menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka cuba mengatakan bahawa baginda tidak terlepas dari bermoral dan berkelakuan yang rendah. Sedangkan yang menghina simiskin adalah si pembesar Umayad yang masih bukan muslim, atau baru sahaja mengabungkan diri dengan para sahabat
[iaitu Uthman]. Dan bahkan sebahagian manusia demi untuk membersihkan nama Uthman dari perangai yang sedemikian, telah tidak teragak-agak menuduh nabi [sawa] pada kelakuan tersebut, dan dengan itu telah merendahkan moral nabi dan memuji Uthman. Memutar belitkan kejadian yang sedemikian telah dilakukan oleh Umayad semasa pemerintahan
mereka, melalui Penyampai yang digajikan. Telah diketahui umum bahwa Umayad adalah musuh keluarga nabi [sawa] dan juga Islam, dengan itu, tidak wajarlah bagi ketua mereka, Uthman, telah diberikan teguran di dalam al-Quran, dari itu para ulama yang berkerja untuk Umayad telah disuruh menulis yang ayat itu telah diwahyukan pada menegur nabi
[sawa], bukannya Uthman. Pendustaan secara terang-terangan ini adalah untuk memelihara kemuliaan Uthman dengan harganya pada menghina ketua para-para nabi. Ini adalah pendapat dari sebahagian pengulas sunni:
Telah dikatakan bahawa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom, dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahawa ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah apabila baginda sedang cuba menyampaikan dakwah Islam kepada manusia-manusia itu: al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan kepada kamu.' Dia berterusan memanggil kepada nabi dan mengulangi permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahawa nabi sedang sibuk mengadap mereka-mereka yang lain, sehinggalah kebencian kelihatan pada wajah pesuruh Allah kerana telah diganggu. Nabi berkata kepada dirinya bahwa pembesar-pembesar ini
akan berkata, yang pengikutnya adalah orang-orang buta dan juga hamba abdi, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya baginda berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan.
Selepas itu Rasulullah [sawa] akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Baginda akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai pemangku baginda ketika ada peperangan.
BalasHapusUlasan oleh sunni yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Manthoor", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbezaan. Abul Ala Maududi seorang lagi pengulas al-Quran dari sunni, yang mempunyai pandangan sederhana. Ini ada perterjemahannya untuk ayat 80:17 :
-Disini kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak mengindahkan kepada pengkhabaran kebenaran. Sebelum ini, semenjak mula surah sehingga ke ayat 16, ianya ditujukan walaupun kelihatan kepada nabi [sawas], tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang kafir. (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman
1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)
Bagaimanapun, yang sebenarnya, al-Quran TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si Buta adalah nabi [sawa], dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat al-Quran di atas Allah awj TIDAK mengatakan kepada nabi sama ada dengan nama atau darjah [iaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran gantinama `dia' di
dalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya diSurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:
`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:
80:1 Dia (seorang pembesar Umayyah) berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Kerana telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah kamu barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Walaupun jika kita menganggap bahawa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi [sawa], maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahawa perkataan `dia' [orang yang berkerut muka] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:
80:5 Adapun orang (ketua Umayyah) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dari itu orang yang berkerut adalah yang lain (bukan) dari nabi sendiri disebabkan oleh perbezaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada nabiNya [sawa] dengan mengatakan bahawa, menyampaikan kepada ahli Quraish
yang sombong, yang berkerut muka kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada sibuta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mahu mensucikan dirinya [sehinggakan dia berkerut muka kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.
Namun demikian tidaklah juga mungkin dhamir mukhatab (lawan bicara) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah [sawa] sebab beliau [sawa] baru sahaja mendapatkan wahyu dari Allah SWT dalam Surah 53: 33, supaya menjauhi orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah dan mereka hanya menginginkan kehidupan duniawi sahaja. Ayat tersebut
BalasHapusmenyatakan:"Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling ?(Apa-raaitalazhi tawalla)". Mustahil peringatan ini di langgar oleh Nabi [sawa]. Apabila ditinjau dari ilmu nahu, maka mendahulukan harf jarr atau isim majrur memiliki arti pengkhususan (ikhtisah). Maka lebih
layaklah jika dhamir ayat di atas ditujukan khusus kepada pembesar Quraisy berkenaan iaitu al-Walid bin Mughirah yang terkenal mempunyai motivasi seperti itu.
Lebih-lebih lagi, berkerut muka bukanlah dari keperibadian atau tingkah laku nabi [sawa], walaupun terhadap musuhnya, apa lagi jika terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk! Sesaorang mungkin boleh bertanya, bagaimana nabi [sawa] yang telah dikirimkan kepada manusia sebagai RAHMAT boleh berkelakuan dengan begitu keji,
sedangkan orang yang mempunyai iman yang sederhana, tidak berperangai dengan yang sedemikian? Tuduhan itu juga bertentangan dengan keterangan mengenai moral dan etika suci nabi [sawas] yang dikatakan oleh Allah sendiri:
`Sesungguhnya kamu (Muhammad sawa) mempunyai akhlak yang amat agung (khuluqin-azim).' [68:4]
Sesaorang yang menghina orang lain tidak berhak kepada pujian tersebut. Telah dipersetujui Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80]. Bahkan ianya telah diwahyukan selepas Surah Iqra' [96 surah yang pertama diwahyukan] Bagaimana boleh diterima bahawa Allah menganugerahkan kebesaran terhadap makhlukNya pada permulaan
kenabiannya, mengatakan bahawa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudiannya berpatah balik mengecam dan mengkritik dia terhadap sesuatu tindakkan kesalahan dari dia yang tidak bermoral.
Juga Allah SWT berfirman:
`Dan berilah peringatan saudara terdekat, dan berlemah lembutlah kepada mereka yang mengikut kamu dari kalangan yang beriman.' [26:214-215]
Telah diketahui bahawa ayat ini diwahyukan pada permulaan islam di Makah. Ayat yang sama juga boleh didapati pada penghujung ayat 15:88. Allah yang maha berkuasa, telah berkata lagi:
`Maka sampaikanlah secara terbuka apa yang kamu diperintahkan dan berpalinglah dari mereka yang musyrik.' [15:94]
Baginda telah diarahkan untuk berpaling dari mereka yang kafir di dalam ayat itu, yang diketahui telah diwahyukan pada permulaan `panggilan terhadap Islam.' [selepas tempuh secara rahsia pada mulanya]
Bagaimana boleh kita gambarkan bahawa setelah segala arahan disampaikan pada permulaannya, nabi yang agung dan mulia boleh membuat kesalahan sehingga memerlukan kenyataan pada membetulkan baginda?
Para pentafsir al-Quran dari mazhab Ahlul-Bayt berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan nabi [sawa], telah terdapat di dalam fikiran seorang dari mereka yang belum memeluk Islam, yang tidak tahu akan keajaipan sinaran cahaya terhadap Islam. Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran nabi [sawa] yang telah dihantar untuk menyampaikan keimanan kepada setiap seorang dan semuanya, tidak kira apa juga kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan kepada itu,
BalasHapusmereka merumuskan bahawa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, bahkan ianya menunjukkan kepada salah seorang dari Umayad yang hadir, dan bahawa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] mengatakan kepada nabi [sawa] walaupun ayat yang kemudiannya dikatakan kepada nabi [sawa].
Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran dan membaca al-Quran Arab yang asal, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan al-Quran pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; Allah terus sahaja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu, biasanya tidak mudah untuk
menentukan siapa yang diperkatakan, apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan. Itulah makanya nabi telah mengarahkan kita untuk merujuk kepada Ahlul-Bayt [as] untuk penghuraian ayat-ayat al-Quran, oleh kerana mereka `mempunyai pengetahuan yang mendalam' [3:7] dan adalah juga `Orang yang Mengetahui' [16:43; 21:7] dan mereka adalah orang yang telah disucikan, yang telah memahami pengertian maksud al-Quran [56:79]
Telah dikatakan bahawa Imam Jafar al-Sadiq [as] sebagai berkata:
Ia telah diwahyukan mengenai seorang dari kaum Umayyah, dia berada bersama nabi [sawa], kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, apabila dia melihat beliau, dia mengejinya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukaiNya dari tindakkan Umayyah itu.
Di dalam Tafsir Sayyid Shubbar, telah dikatakan dari al-Qummi bahawa:
Ayat itu telah diwahyukan mengenai Uthman dan Ibn Umm-Maktoom, dan dia seorang buta. Dia datang kepada Pesuruh Allah [sawa], sedang baginda bersama sekumpulan para sahabat, dan Uthman ada bersama. Rasul memperkenalkan beliau kepada Uthman, dan Uthman berkerut muka dan berpaling.
Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:
`Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]
Allah yang maha berkuasa berfirman di dalam al-Quran mengenai Muhammad bahawa:
BalasHapus`Tidak dia berkata-kata dari kehendaknya. Itu adalah wahyu yang telah disampaikan.' [53:3-4]
Jadi bagaimana nabi [sawa] boleh mengatakan sesuatu yang menghinakan jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah? !!!! Nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya. Yang menariknya adalah, ulama sunni mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan SELEPAS surah al-Najm [53] dimana ianya telah mengatakan bahwa nabi TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya.
Juga ayat 33:33 dari al-Quran mengesahkan bahawa Ahlul-Bayt adalah sempurna bersih dan suci. Kita semua tahu bahawa kemuliaan nabi jauh lebih tinggi dari keluarganya. Dia juga terjumlah di dalam ahlul-Bayt. Jadi bagaimana dia boleh menyakiti orang yang beriman dan terus mengekalkan kesuciannya???
Seandainya masih ada lagi tanggapan bahawa ayat itu ditujukan kepada Nabi [sawa] - sila perhatikan di dalam ayat yang diwahyukan di mana Allah berfirman:
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Maka perkataan diatas `tidak ada (celaan)' bererti bahawa apa yang nabi lakukan bukanlah satu kesalahan.
Juga apabila Allah berfirman: Menyampaikan kepada mereka, tidaklah perlu JIKA pembesar Quraish itu tidak mahu mensucikan diri. Pada mulanya Nabi [sawa] tidak tahu bahawa ketua kaum Quraish akan mengerutkan muka pada si Buta, dengan itu, syarat `jika' belum dilaksanakan, dari itu nabi perlulah menyampaikan peringatan sebelum peristiwa mengerutkan muka itu berlaku [kerana nabi sedang berucap dengan Quraish apabila si buta sampai]. Dan sebaik sahaja pembesar Quraish mengerutkan muka, nabi berhenti dari menyampaikan peringatan, dan ayat itu diwahyukan. Sebagaimana yang kita boleh lihat, apa yang nabi [sawa] lakukan adalah melaksanakan tanggong jawabnya saat demi saat.
Peringatan itu adalah untuk masa hadapan, sebagaimana dengan ayat al-Quran yang lain dimana Allah mengingatkan rasulNya bahawa tidaklah perlu bersusah yang amat sangat di dalam memberikan petunjuk kepada manusia, oleh kerana sebahagian dari mereka tidak akan dapat petunjuk, dan rasul tidaklah perlu bersusah hati mengenainya.
Sebagai rumusannya, kami telah berikan keterangan dari al-Quran, Hadith, Sejarah dan Nahu Arab, untuk menyokong fakta bahawa pada permulaan ayat dari surah tersebut TIDAKLAH merujuk kepada nabi Muhammad [sawa] dan orang yang mengerutkan muka pada si buta bukanlah nabi [sawa]. Kami juga menyatakan bahawa ayat 80:5-11 adalah
peringatan untuk waktu yang akan datang kepada nabi Muhammad bahawa menyampaikan kepada mereka yang kafir tidak akan berhasil, jika yang kafir tidak mahu mensucikan dirinya dan apabila sikafir menghina mereka yang beriman kerana tidak punya harta dan kurang kesihatan [cacat].
Ulasan Tambahan:
BalasHapusSeorang saudara dari golongan sunni mengatakan bahwa, ulama tafsir menulis, surah 80 telah diwahyukan selepas nabi cuba untuk menyakinkan empat orang Quraish yang terkemuka untuk memeluk Islam iaitu Utbah Ibn Rabi'ah, Abu Jahl (Amr Ibn Hisham), Umayyah Ibn Khalaf, dan saudaranya, Ubayy [tidak ada disebut Uthman Ibn Affan]. Lebih lagi, al-Qurtubi menyebut di dalam buku Tafsirnya bahawa ayat itu adalah ayat Madina [diwahyukan di Madinah] bererti bahawa Uthman telah memeluk Islam pada ketika itu.
Jawaban saya adalah seperti berikut: Kesemua Muslim telah bersetuju bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan di Makah lama sebelum penghijrahan nabi ke Madinah. Lebih menarik lagi mereka telah mengesahkan bahawa Surah Abasa [80] telah diwahyukan `SEJURUS SELEPAS' Surah al-Najm [53] dimana Allah berkata nabi tidak berkata-kata dari kehendaknya!!! Sekali lagi berdasarkan dari sunni, Surah al-Najm adalah surah al-Quran yang ke 23 diwahyukan dan Surah Abasa adalah surah yang ke 24, dan keduanya adalah surah Makah yang terawal. Mungkin, apa al-Qurtubi telah sebutkan hanya sekadar untuk
memalingkan perhatian umum dari isu Uthman yang ditegur di dalam surah tersebut, dan dengan itu menyelamatkan kehormatannya dengan mengalihkan tuduhan itu kepada nabi [sawa]
Satu lagi kecacatan yang terdapat di dalam kenyataan diatas tadi adalah, bahawa dia berkata seorang dari pembesar Quraish itu adalah Abu Jahl. Apa yang Abu Jahl buat di Madinah? Tidakkah kamu tahu, wahai saudara, bahawa Abu Jahl tinggal di Makah, dan seorang dari musuh utama nabi, dan tidak pernah berpindah ke Madinah untuk bertemu
nabi, dan dia diantara mereka yang terbunuh di Peperangan Badr.
Mereka yang lain yang disebutkan dilaporan yang diatas: Utbah dan Umayyah juga terbunuh bersama ketua mereka, Abu Jahl, di dalam Peperangan Badr. Tiada dari mereka yang mempunyai peluang untuk bertemu dengan nabi [setelah penghijrahan nabi] melainkan di medan peperangan di Badr di mana jasad mereka telah dibawa keperigi yang terkenal itu.
Rujukan:
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.
Diposkan oleh cinta Islam di 16.55
ref: http://rasulullahsaww.blogspot.com/2009/01/nabi-saww-tidak-bermuka-masam.html
HapusSebenarnya .. dalam khutbah Rasulullah saw.. yg gamblang di Ghadir Khum .. telah memberikan arahan ... dan siapa2 dan bagaimana seharusnya... kepemimpinan ummat pasca Rasulullah saw.. itu.
BalasHapusBeliau sebagai pemimpin yang besar dan dengan bimbingan dan arahan Allah SWT .. tentunya sangat waspada dengan berbagai kemungkinan itu semua
Namun sayang... seperti sabda beliau.. banyaknya orang2.. yang konon walawpun sudah diberi berbagai banyak kenikmatan dan penghargaan serta keputusan dan arahan yang adil dari rasulullah saw... Sepertinya tetap saja ada pihak2 yang tidak puas.. n men cari2 alasan.. untuk mengambil keuntungan2.. atau memang pada dasarnya .. ada sifat dan sikap.. yang secara spiritual.. menyimpang dari sejatinya.. sebagai shahabat ataupun sebagai ummat yg terawal.. untuk menjadi contoh tauladan yang utuh...??
Seandainya pada tahap kritis itu.. Smwa shahabat itu kompak dan tetap teguh secara utuh dan lurus sepenuhnya dengan sikap arahan rasulullah saw..di GhK... Mungkin ummat yang belakangan datang tidak lagi di bingungkan dan di haru-biru oleh berbagai tafsir yang seakan.. tanpa kepastian yg utuh..dan pembenaran2 sepihak.. dan mungkin tidak ada peperangan dan perpecahan yang membuat ummat awam tercerai berai.. dan bahkan berpaling.. kepada ajaran2.. yg jelas bukan lagi islami.. bahkan bisa jadi sangatlah tercela.. yang pada hakekatnya.. dipandang dari nilai ruh dan jiwa kebenaran murni.. berdasarkan titah Allah swt dan arahan dan sabda kangjeng Rasulullah saw.
Lalu.. bagi kaum awam.. hanyalah mengurut dada.. dan memohon .. semoga Allah mengampuni atas kebodohan kami.. dan ketidak tahuan kami.. karena jalan kebenaran se-olah banyak.. n kemungkinan bisa salah dan keliru.. atau malah tidak tahu lagi.. berputar tiada ujung.. sedang kami ingn kepadaMU yang sebenarnya..wahai Cahaya Diatas Segala Cahaya.. aamiin.
Ya Rabb genggamlah kami.. ya Rabb dalam jalan lurusMu