KH.Hasyim Muzadi: Desakan pembubaran Densus 88 karena negara tidak adil kepada Umat Islam
Jum'at, 26 Rabiul Akhir 1434 H / 8 Maret 2013 11:16
JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan
Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi menilai
wacana dan desakan pembubaran Densus 88 muncul sebagai respons terhadap
negara yang bertindak tidak dikriminatif kepada umat Islam Indonesia.
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
KH.Hasyim Muzadi: Desakan pembubaran Densus 88 karena negara tidak adil kepada Umat Islam
Jum'at, 26 Rabiul Akhir 1434 H / 8 Maret 2013 11:16
JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan
Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi menilai
wacana dan desakan pembubaran Densus 88 muncul sebagai respons terhadap
negara yang bertindak tidak dikriminatif kepada umat Islam Indonesia.
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
KH.Hasyim Muzadi: Desakan pembubaran Densus 88 karena negara tidak adil kepada Umat Islam
Jum'at, 26 Rabiul Akhir 1434 H / 8 Maret 2013 11:16
JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan
Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi menilai
wacana dan desakan pembubaran Densus 88 muncul sebagai respons terhadap
negara yang bertindak tidak dikriminatif kepada umat Islam Indonesia.
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
Akibat Polisi Arogan,Mapolres OKU Diserbu dan Dibakar TNI Hingga Ludes
PALEMBANG (voa-islam.com) - http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/03/08/23527/akibat-polisi-aroganmapolres-oku-diserbu-dan-dibakar-tni-hingga-ludes/
Markas Polres
Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, diserang dan
dibakar oleh puluhan orang berseragam tentara, Kamis (7/3/2013), pukul
07.30. Menurut informasi, sekitar 95 anggota TNI itu menyerbu Polres OKU
dengan mengendarai sepeda motor dan truk.
Kejadian diduga buntut dari penembakan anggota
kepolisian yang menewaskan seorang anggota anggota TNI Angkatan Darat
Bataliyon Armed 15 Kodam II Sriwija, Pratu Heru yang tertembak oleh
anggota Polres OKU pada 23 Januari lalu.
Puluhan orang berseragam loreng hijau tersebut memblokir
jalan-jalan menuju Markas Polres Baturaja. Mereka juga menyerang
anggota kepolisian dengan pukulan, tendangan, serta senjata tajam
sejenis pisau atau sangkur.
Diberitakan, empat polisi terluka saat terjadi
pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Kota Baturaja,
Sumatera Selatan, oleh puluhan anggota TNI dari Yon Armed 15. Keempatnya
mengalami luka tusuk. Dua di antaranya kini masih kritis dan dirawat di
Palembang. "Luka-luka empat orang, dua parah dan dirawat," Kepala
Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi Alius di Mabes Polri,
Jakarta Selatan, Kamis.
Kejadian bermula, anggota TNI Pratu Heru diduga melakukan pelanggaran
lalu lintas. Anggota Satuan Lalu Lintas Polres OKU hendak menindaknya,
Heru tidak menghiraukan bahkan tetap melanjutkan perjalanan. Dalam
pengejaran, Heru ditembak oleh Polantas tersebut."Rencananya akan unjuk
rasa damai terkait temannya yang tertembak, tapi jadi tidak terkendali,"
ujar Suhardi.
Saksi mata memperkirakan jumlahnya sekitar 100 orang.
Warga sekitar, Gustin Moeslimi Singajuru (41), mengatakan, hingga siang
kemarin, gedung kantor Polres Ogan Komering Ulu masih dalam kondisi
terbakar meski api sudah mulai padam. "Sebagian besar sudah habis
terbakar," katanya.
Informasi sementara, enam anggota kepolisian Polres OKU
terluka tusukan. Puluhan orang berseragam itu juga menghalau anggota
Polisi Militer yang akan mencegah aksi mereka serta melarang mobil
pemadam kebarakan mendekat untuk memadamkan api.
Dua pos polisi sektor juga menjadi sasaran perusakan.
"Suasana panik dan tegang, warga sekitar tak ada yang berani mendekat,"
kata Gustin menambahkan. Pihak Kodam II/Sriwijaya maupun Kepolisian
Daerah Sumsel belum memberi keterangan.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi
Alius menjelaskan, awalnya akan ada aksi damai terkait kasus anggota TNI
Pratu Heru yang tertembak beberapa waktu lalu oleh anggota Polres
OKU."Rencananya akan unjuk rasa damai terkait temannya yang tertembak,
tapi jadi tidak terkendali," ujar Suhardi.
Berdasarkan informasi, para anggota TNI datang dengan menggunakan
motor dan mengenakan seragam. Belum diketahui pasti jumlah korban di
lokasi. Sementara itu, berdasarkan pantauan Kantor Berita Antara, akibat
penyerangan dan pembakaran Mapolres OKU yang berada di pusat Kota
Baturaja itu, suasana kota setempat mencekam dan sejumlah aktivitas
warga terganggu.
Wajar Saja TNI Marah Besar, Gara-gara Polisi Berlagak Koboy Main Dor
PALEMBANG (voa-islam.com) -
Polisi betul-betul
arogan dan sok berkuasa, gara-gara pelanggaran lalu lintas, polisi main
tembak. Yang ditembak bukan anggota masyarakat, tapi anggota TNI.
Adalah Pratu Heru tewas diterjang peluru oleh anggota polisi dari Satuan
Lalu Lintas Polres OKU, karena diduga melakukan pelanggaran lalu
lintas.
Atas penembakan itu, tentu saja, rekannya sesama anggota
TNI dari Yonarmed 15, tidak terima dengan arogansi dan tindakan koboi
oknum Polantas tersebut. Sebagai bentuk aksi balas dendam, diserbulah
Markas Polres Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu,
Sumatera Selatan,
Kamis (7/3) pagi, dan dibakar hingga ludes. Kejadian itu terjadi
sekitar pukul 07.30. Tentara yang mengamuk itu juga merusak mobil
polisi, dua pos polisi, dan subsektor setempat. Sekitar 90 anggota TNI
itu datang dengan sepeda motor dan truk.
Meski peristiwa penembakan tersebut terjadi sekitar sebulan lalu,
namun ketegangan kembali mencuat karena adanya kabar akan ada aksi balas
dendam.Warga Baturaja Gustin Moeslimi Singajuru (41) mengatakan,
ketegangan itu terlihat dari semakin berkurangnya aktivitas kepolisian
di Baturaja. Tak ada apel polisi sejak penembakan itu, pos-pos polisi
terlihat sepi. Anggota polisi yang saya kenal juga lebih banyak
mengenakan baju preman dan tak membawa kartu anggota.
Menengok ke belakang, ada 28 Januari lalu, seorang
anggota TNI Yon Armed Martapura, Prajurit Satu Heru Oktavianus (23)
tewas tertembak oleh anggota kepolisian lalu lintas Kepolisian Sektor
Baturaja, Brigadir BW. Penembakan yang terjadi tengah malam itu dipicu
oleh cekcok mulut. Menyusul kejadian itu, Brigadir BW telah ditangkap.
Insiden penyerangan Markas Kepolisian Resor Ogan
Komering Ulu (OKU), Baturaja, Sumatera Selatan, oleh puluhan anggota TNI
menyebabkan empat orang terluka, salah satunya Kepala Polsek Martapura
AKP Riduan yang saat ini masih kritis karena luka tusuk.
Kepala Polsek Martapura diduga dikeroyok oleh puluhan oknum TNI yang datang menggunakan motor dan membawa sangkur. Peristiwa itu terjadi di luar Polres OKU. Kapolsek langsung dilarikan ke Palembang untuk penanganan intensif. Sementara korban lainnya masih dalam pendataan. Dua di antaranya anggota Polres OKU dan seorang lagi kabarnya petugas kebersihan.
Kabarnya, tentara berseragam loreng hijau itu hendak mempertanyakan kasus tewasnya anggota TNI oleh anggota Polres OKU pada 27 Januari lalu. Namun, diduga tidak mendapat jawaban yang memuaskan, massa tentara akhirnya bertindak anarkis dan membakar gedung Polres. Saat ini, jajaran TNI dan Polri telah diturunkan ke lokasi untuk melakukan penyelidikan dan pengamanan lebih lanjut.
Kepala Polsek Martapura diduga dikeroyok oleh puluhan oknum TNI yang datang menggunakan motor dan membawa sangkur. Peristiwa itu terjadi di luar Polres OKU. Kapolsek langsung dilarikan ke Palembang untuk penanganan intensif. Sementara korban lainnya masih dalam pendataan. Dua di antaranya anggota Polres OKU dan seorang lagi kabarnya petugas kebersihan.
Kabarnya, tentara berseragam loreng hijau itu hendak mempertanyakan kasus tewasnya anggota TNI oleh anggota Polres OKU pada 27 Januari lalu. Namun, diduga tidak mendapat jawaban yang memuaskan, massa tentara akhirnya bertindak anarkis dan membakar gedung Polres. Saat ini, jajaran TNI dan Polri telah diturunkan ke lokasi untuk melakukan penyelidikan dan pengamanan lebih lanjut.
Juga dikabarkan, enam belas tahanan Polres Ogan Komering
Ulu (OKU), Kota Baturaja, Sumatera Selatan, melarikan diri ketika
puluhan anggota TNI membakar kantor polisi tersebut, Kamis (7/3/2013).
"Ada beberapa tahanan yang lepas. Ada 16 orang. Sisanya sementara
dititipkan," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi
Alius, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis. Enam tahanan yang
tersisa dititipkan di Koramil setempat, sementara aktivitas layanan
masyarakat untuk sementara dilimpahkan ke polsek terdekat.
Kabar terakhir, kondisi daerah Baturaja di Kabupaten
Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan cukup mencekam. Saat ini
banyak mahasiswa takut ke kampus karena khawatir menjadi sasaran amukan
oknum anggota TNI.
Begitu juga sebagian besar toko, terutama di pasar dekat
terminal lama, juga tutup. Akibatnya, banyak warga kota yang mendapat
kesulitan mendapatkan bahan-bahan makanan dan sejumlah keperluan lain.
Warga berharap kondisi keamanan dan ketertiban di Kota
Baturaja dan Kabupaten OKU secara keseluruhan normal kembali, sehingga
semua aktivitas bisa berjalan dengan aman, lancar, dan keselamatan jiwa
warga terjamin. Saat ini, satu peleton TNI dari Kodim 0403 diturunkan
untuk mengamankan Polres OKU.
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq
meminta agar Polri dan TNI membentuk tim pencari fakta bersama untuk
menyelidiki kasus pembakaran Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera
Selatan, oleh sekelompok anggota TNI. Menurut Mahfudz, pembakaran ini
adalah tindakan kriminal murni.
"Saya sangat menyesalkan terjadinya bentrok antara aparat polisi
dengan prajurit TNI yang mengakibatkan terbakarnya kantor polisi. Saya
desak Mabes Polri dan Mabes TNI segera ambil langkah cepat dan tegas
serta bentuk tim gabungan pencari fakta," ujar Mahfudz di Jakarta, Kamis
(7/3/2013).
Kasus itu, lanjutnya, jangan dibiarkan berlarut dan
harus segera ditemukan pangkal sebab serta tindakan hukumnya. "Aksi ini
adalah tindakan kriminal yang libatkan oknum kedua belah pihak. Yang
penting fakta harus segera diselidiki bersama dan diambil tindakan hukum
tegas," kata dia. Desastian/dbs
Seorang saksi mata yang pagi itu hendak mengurus surat
kelakuan baik, mengaku terkejut melihat ada keramaian dan gedung
Mapolres OKU terbakar. Saksi itu hanya melihat beberapa anggota Polres
OKU yang berlarian dengan kondisi luka-luka. Banyak polisi mengungsi ke
kantor polisi militer di dekat mes dosen Universitas Baturaja dan
masyarakat takut beraktivitas ke luar rumah karena khawatir menjadi
sasaran. Desastian/dbs
- See more at:
http://www.arrahmah.com/news/2013/03/08/kh-hasyim-muzadi-desakan-pembubaran-densus-88-karena-negara-tidak-adil-kepada-umat-islam.html#sthash.CIliAMtW.dpuf
KH.Hasyim Muzadi: Desakan pembubaran Densus 88 karena negara tidak adil kepada Umat Islam
Jum'at, 26 Rabiul Akhir 1434 H / 8 Maret 2013 11:16
JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan
Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi menilai
wacana dan desakan pembubaran Densus 88 muncul sebagai respons terhadap
negara yang bertindak tidak dikriminatif kepada umat Islam Indonesia.
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar