Membantah Syubhat Orang Yang Mengaku ASWJ Terhadap Hadis Kisa’
Posted on Maret 28, 2012 by secondprince
http://secondprince.wordpress.com/2012/03/28/membantah-syubhat-orang-yang-mengaku-aswj-terhadap-hadis-kisa/
Membantah Syubhat Orang Yang Mengaku ASWJ Terhadap Hadis Kisa’
Tulisan ini kami buat dengan tujuan membantah syubhat yang dilontarkan orang yang mengaku dirinya Ahlus Sunnah tetapi sebenarnya ia mengidap penyakit khas salafy nashibi yaitu “syiahpobhia” [untuk selanjutnya kami sebut ia aswj]. Ia mengutip hadis-hadis Kisa’ yang kami tulis kemudian sok membantah kami dengan gaya bantahan terhadap Syiah.
Perlu kami ingatkan kepada pembaca yang
terhormat bahwa kami bukanlah penganut Syiah. Kami berhujjah dengan
hadis kisa’ semata-mata karena kecintaan kami kepada Ahlul Bait. Kami
tidak mengusung mazhab tertentu, kami hanya menyampaikan kebenaran
terlepas dari apakah kebenaran itu memihak mazhab tertentu atau tidak.
Perkara Syiah meyakini kemaksuman Ahlul Bait
atau menjadikan itu sebagai akidah maka itu adalah urusan mazhab Syiah
yang tidak ada sangkut pautnya dengan kami. Hadis kisa’ yang kami tulis
adalah hujjah bagi kami sedangkan Syiah memiliki hujjah sendiri yaitu
hadis-hadis kisa’ yang jumlahnya banyak dalam kitab-kitab mereka. Maka
aneh dan nampak skizofrenik jika hadis yang kami tulis dibantah dengan
bantahan terhadap Syiah.
.
.
Pada tulisan ini kami hanya akan membahas
hadis-hadis yang dilemahkan dengan cara yang ngawur oleh aswj. Aswj
menyatakan bahwa hadis kisa’ adalah hujjah kemaksuman ahlul bait di sisi
Syiah dan menjadi akidah di sisi mereka. Maka kami katakan, kalau
begitu apa urusannya dengan kami.
Hadis kisa’ di sisi kami adalah bukti
bahwa ahlul bait adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah SWT.
Kesucian itu adalah keutamaan yang besar bagi mereka seiring dengan
status mereka sebagai sumber pedoman bagi umat islam. Perkara anda aswj,
sunni, salafy atau syiah atau siapa saja mau menyebut kesucian itu
sebagai kemaksuman maka itu tidak ada sangkut pautnya dengan kami.
Mengapa? Karena kemaksuman itu telah
diartikan dengan cara yang berbeda-beda baik oleh sunni, salafy,
nashibi, syiah dan bahkan mungkin oleh si aswj ini. Silakan para pembaca
tanyakan pada aswj kemaksuman versi apa yang ia anut.
- Apakah kemaksuman dalam arti tidak mungkin salah dan lupa?. Kalau begitu bagaimana dengan hadis yang menyebutkan para Nabi terbukti melakukan kesalahan dan pernah lupa.
- Apakah kemaksuman itu diartikan tidak pernah berdosa?. Kalau begitu bagaimana dengan para Nabi yang mengakui bahwa mereka pernah berbuat dosa dan bertaubat kepada Allah SWT.
- Apakah kemaksuman itu berarti tidak pernah marah?. Kalau begitu bagaimana dengan para Nabi yang dikabarkan ternyata pernah marah.
- Apakah kemaksuman itu berarti dijaga oleh Allah SWT?. Kalau begitu silakan jelaskan apa tepatnya yang dijaga oleh Allah SWT jika para Nabi terbukti pernah salah, lupa, berbuat dosa dan marah.
Kalau aswj itu beranggapan para Nabi
tidak pernah salah, tidak pernah lupa, tidak pernah berbuat dosa dan
tidak pernah marah karena mereka maksum maka nampaknya ia sendiri
meyakini kemaksuman versi Syiah
yang sering digembar-gemborkan oleh salafy nashibi. Intinya sebelum
anda aswj sibuk mengulang-ngulang kata kemaksuman maka ada baiknya anda
definisikan kemaksuman yang anda yakini sebagai akidah.
.
.
Selanjutnya kami akan menyorot penggunaan kata akidah yang disebutkan oleh aswj dimana ia menyatakan hadis untuk masalah akidah harus shahih dan qathi’. Ada beberapa hal yang perlu diluruskan terlebih dahulu
Apa yang dimaksud sebagai akidah oleh
aswj?. Apakah akidah yang dimaksud adalah sesuatu yang jika tidak
diyakini akan mengeluarkan kita dari agama islam?. Apakah akidah yang
dimaksud adalah perkara yang tidak diperbolehkan khilaf [berselisih]
diantara sesama umat islam?. Apakah akidah itu adalah akidah versi aswj
asyariyah wa maturidiah? Atau apakah akidah itu akidah versi salafy wa
nashibi?.
Ambil contoh sederhana apakah keyakinan “semua sahabat adalah adil”
versi salafy termasuk akidah?. Lantas apakah ada dalil shahih dan
qathi’ tentang keadilan sahabat?. Salafy nashibi akan mengutip berbagai
ayat Al Qur’an dan hadis tentang keutamaan sahabat tetapi mereka lupa
bahwa ada ayat Al Qur’an dan hadis yang menunjukkan keburukan sebagian
sahabat.
Ambil contoh lain, apakah “berpegang pada hukum islam”
adalah akidah? Seandainya tidak berpegang pada hukum islam apakah itu
berarti melanggar akidah. Apakah tawasul itu termasuk perkara akidah?.
Lantas bagaimana dengan sunni asyariyah yang membolehkan tawasul dan
salafy yang melarang tawasul?. Apakah keduanya sunni asyariyah dan
salafy berbeda akidah?. Apakah mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas
sahabat lain termasuk perkara akidah?. Apakah mengakui keutamaan
Muawiyah termasuk perkara akidah?. Daftar pertanyaan ini dapat kami buat
lebih panjang untuk membangunkan aswj dari tidurnya. Ia sok berhujjah
dengan kata “akidah”
padahal apa maksud akidah yang ia katakan itu?. Apakah ia meyakini
kemaksuman para Nabi dan menjadikannya sebagai akidah?. Kalau begitu apa
dalil shahih dan qathinya menurut anda aswj?.
Ada lagi yang lucu, aswj mengatakan bahwa
dalam perkara akidah hadisnya mesti shahih dan qathi. Mengapa kami
katakan lucu karena dulu kami pernah mengikuti diskusi soal ini antara orang yang mengaku sunni asyariyah dan orang yang mengaku salafy. Menurut sunni asyariyah hadis dalam masalah akidah harus mutawatir tidak cukup hanya dengan hadis ahad yang shahih sedangkan menurut salafy, hadis dalam masalah akidah bisa dengan hadis ahad yang shahih
tidak perlu mutawatir. Dan memang terjadi perdebatan diantara para
ulama apakah hadis ahad bisa dijadikan hujjah dalam akidah?. Dalam
perkara ini si aswj ini mengaku asyariyah tetapi sejatinya salafy. Atau
mungkin sebenarnya hanya orang awam sok mengaku ahlussunnah dan sok
mengaku asyariyah maturidiyah.
Kami tidak akan berpanjang-lebar membahas
soal akidah atau bukan. Hujjah kami sangat sederhana yaitu kesucian
Ahlul Kisa’. Apa dalilnya? Yaitu Al Qur’an Al Ahzab 33 dan hadis Kisa’.
Apakah dalilnya shahih? Tentu saja dan dalam keilmuan yang kami
pelajari, hadis shahih itu ada dua macam yaitu shahih lidzatihi dan
shahih lighairihi. Apakah hadis hasan bisa digunakan? Tentu saja karena
dalam ilmu hadis yang kami pelajari, hadis hasan bisa dijadikan hujjah.
.
.
Mari kita masuk ke bagian inti yaitu
hadis-hadis yang aswj kutip dan ia lemahkan dengan cara yang ngawur
seolah-olah ilmiah padahal cuma taklid tanpa meneliti dengan baik.
وحدثنا ابن أبي داود أيضا قال حدثنا سليمان بن داود المهري قال حدثنا عبد الله بن وهب قال حدثنا أبو صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء عن عمرة الهمدانية قالت قالت لي أم سلمة أنت عمرة ؟ قالت : قلت نعم يا أمتاه ألا تخبريني عن هذا الرجل الذي أصيب بين ظهرانينا ، فمحب وغير محب ؟ فقالت أم سلمة أنزل الله عز وجل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا وما في البيت إلا جبريل ورسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهما وأنا فقلت : يا رسول الله أنا من أهل البيت ؟ قال أنت من صالحي نسائي قالت أم سلمة : يا عمرة فلو قال نعم كان أحب إلي مما تطلع عليه الشمس وتغرب
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud
Al Mahriy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Wahb yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shakhr dari Abu
Muawiyah Al Bajaliy dari Sa’id bin Jubair dari Abi Shahba’ dari ‘Amrah
Al Hamdaniyah yang berkata Ummu Salamah berkata kepadaku “engkau
‘Amrah?”. Aku berkata “ya, wahai Ibu kabarkanlah kepadaku tentang
laki-laki yang gugur di tengah-tengah kita, ia dicintai sebagian orang
dan tidak dicintai oleh yang lain. Ummu Salamah berkata Allah SWT
menurunkan ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari
kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, dan ketika itu
tidak ada di rumahku selain Jibril, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan,
Husein dan aku, aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul
Bait?”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau termasuk
istriku yang shalih”. Ummu Salamah berkata
“wahai ‘Amrah sekiranya Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab
iya niscaya jawaban itu lebih aku sukai daripada semua yang terbentang
antara timur dan barat [dunia dan seisinya] [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/248 no 1542]
Hadis ini kedudukannya shahih sesuai dengan standar ilmu hadis. Aswj melemahkan hadis ini karena ‘Amrah Al Hamdaniyah majhul dimana ia hanya ditautsiq oleh Ibnu Hibban dan Al Ijli. Aswj mengatakan keduanya dikenal mutasahil dalam penilaian tsiqat.
Pernyataannya Ibnu Hibban dan Al Ijli
dikenal mutasahil patut diberikan catatan. Ibnu Hibban memang dikenal
mutasahil dalam arti ia memasukkan dalam kitabnya Ats Tsiqat perawi yang
ia sendiri menganggapnya majhul atau tidak dikenal. Ibnu Hibban
mengakui bahwa perawi yang tidak ternukil jarh-nya maka ia dianggap adil
meskipun perawi tersebut majhul. Standar Ibnu Hibban ini tidak
disepakati oleh para ulama sehingga banyak yang menuduhnya tasahul.
Apa yang terjadi pada Ibnu Hibban
sangatlah berbeda dengan Al Ijli. Tidak ada keterangan dalam kitab Al
Ijli bahwa ia menetapkan standar yang sama dengan Ibnu Hibban yaitu
menganggap perawi majhul sebagai tsiqat. Tidak ada satupun ulama
mutaqaddimin dan mutaakhirin yang menyatakan Al Ijli tasahul. Yang
menuduh Al Ijli tasahul adalah sebagian ulama salafy yaitu Al Mu’allimiy
dan Al Albaniy [diikuti oleh ulama salafy lainnya]. Sebagian ulama lain
tidak menerima tuduhan tasahul terhadap Al Ijli seperti Syaikh Ahmad
Syakir dan Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh. Bahkan ulama hadis terkenal Ibnu
Hajar Al Asqallaniy tidak menganggap Al Ijli tasahul sebaliknya ia malah
sering sekali berhujjah dengan tautsiq Al Ijli.
Perkara ini adalah fakta ilmiah yang
tidak dikenal oleh pengikut salafy yang baru belajar ilmu hadis. Ilmu
hadis mereka murni taklid buta dari syaikh syaikh salafy mereka. Kami
akan buktikan kepada para pembaca bahwa di sisi Ibnu Hajar, pentautsiqan
Al Ijli juga menjadi hujjah.
Ibnu Hajar dalam kitabnya At Tahdzib menyebutkan biografi Hujr bin Qais Al Hamdaniy
perawi Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Majah seorang tabiin yang meriwayatkan
dari sahabat Nabi dan telah meriwayatkan darinya dua orang perawi. Al
Ijli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat
[At Tahdzib juz 2 no 394]. Ibnu Hajar tidak menyebutkan ulama lain yang
mentautsiqnya, ia hanya mengutip Al Ijli dan Ibnu Hibban. Lantas
bagaimana pendapat Ibnu Hajar sendiri? Apakah seperti aswj, Ibnu Hajar
mengganggap Hujr bin Qais majhul?. Jawabannya tidak. Dalam kitabnya At
Taqrib, Ibnu Hajar menyatakan Hujr bin Qais tsiqat [At Taqrib 1/191].
Masih banyak contoh lain
- Hassan bin Adh Dhamriy, perawi Nasa’i disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia termasuk tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi, telah meriwayatkan darinya satu orang yaitu Abu Idris Al Khaulaniy. Nasa’i berkata “tidak masyhur”. Al Ijli berkata “orang syam yang tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 455]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/198]
- Hafsh bin Umar bin Ubaid Ath Thanaafisiy, perawi Tirmidzi disebutkan Ibnu Hajar tiga orang meriwayatkan darinya. Ibnu Hajar hanya mengutip Al Ijli yang menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 715]. Kemudian dalam At Taqrib Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/227].
- Rabii’ bin Barra’ bin ‘Aazib perawi Tirmidzi dan Nasa’i disebutkan Ibnu Hajar dia seorang tabiin yang meriwayatkan dari ayahnya [sahabat Nabi] dan telah meriwayatkan darinya Abu Ishaq. Al Ijli berkata “orang kufah tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 463]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/293]
- Rabi’ah bin Naajid Al ‘Azdiy perawi Nasa’i dalam Khasa’is Aliy disebutkan Ibnu Hajar dia seorang tabiin yang meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan telah meriwayatkan darinya Abu Shaadiq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 498]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/298]
- Sulaiman bin Sinan Al Muzanniy perawi Nasa’i disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi dan telah meriwayatkan darinya dua orang perawi. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Al Ijli berkata “tabiin mesir yang tsiqat” [At Tahdzib juz 4 no 336]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/386]
- Ummul Aswad Al Khuza’iyah perawi Ibnu Majah, Ibnu Hajar hanya mengutip Al Ijli yang menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 12 no 2912]. Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib “tsiqat” [At Taqrib 2/664]
Contoh-contoh diatas kami kutip sebagai
bukti bahwa Ibnu Hajar mengambil perkataan Al Ijli sebagai hujjah dan
tidak menganggapnya tasahul seperti aswj. Selain Ibnu Hajar ternyata Adz
Dzahabiy juga mengambil tautsiq Al Ijli dan tidak menuduhnya tasahul.
- Adz Dzahabiy dalam Al Mizan biografi Hujayyah bin Adiy Al Kindiy mengutip Abu Hatim yang menyatakan ia majhul tidak bisa dijadikan hujjah dengannya. Adz Dzahabiy membantahnya dengan berkata “telah meriwayatkan darinya Al Hakam, Salamah bin Kuhail dan Abu Ishaq, ia seorang yang shaduq insya Allah sungguh Al Ijli telah berkata tentangnya “tsiqat” [Mizan Al Itidal juz 1 no 1759].
- Adz Dzahabi dalam Al Mizan biografi Abdullah bin Farukh At Taimiy mengutip Abu Hatim yang berkata majhul. Adz Dzahabi membantahnya dengan berkata “ia shaduq masyhur telah meriwayatkan darinya jama’ah dan Al Ijli menyatakan ia tsiqat” [Mizan Al Itidal juz 2 no 4505]. Adz Dzahabiy hanya mengutip tautsiq dari Al Ijli dan dalam Al Kasyf ia berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 2906]
- Adz Dzahabi dalam Al Mizan biografi ‘Abdurrahman bin Maisarah Al Himshiy mengutip pernyataan Al Ijli “tsiqat” dan Ibnu Madini berkata “majhul” [Mizan Al Itidal juz 2 no 4986]. Adz Dzahabiy hanya mengutip tautsiq dari Al Ijli kemudian ia menyimpulkan dalam Al Kasyf tentang ‘Abdurrahman bin Maisarah bahwa ia tsiqat [Al Kasyf no 3327]
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa
di mata Adz Dzahabiy tautsiq Al Ijli tetap dapat dijadikan hujjah. Adz
Dzahabiy tidak menganggapnya tasahul bahkan ia mendahulukan tautsiq Al
Ijli daripada pernyataan majhul Abu Hatim.
Mengapa ada ulama semisal Al Mu’allimiy
dan Al Albaniy yang menganggap Al Ijli tasahul?. Jawabannya karena
terdapat sebagian perawi yang dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli tetapi
dinyatakan majhul dan dhaif oleh ulama lain.
Hal ini jelas bukanlah bukti kuat bahwa
Al Ijli tasahul, perkara ini adalah perbedaan ijtihad yang biasa terjadi
diantara para ulama jarh dan ta’dil. Ada sebagian ulama yang
menta’dilkan perawi tetapi dalam pandangan ulama lain perawi tersebut
majhul atau mendapat predikat jarh. Perkara seperti ini tidak hanya
terjadi pada Al Ijli, tetapi juga pada ulama lain seperti Abu Hatim,
Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya.
Perbedaan seperti itu hendaknya disikapi
secara metodologis, kami pribadi juga tidak semata-mata membela Al Ijli
secara buta. Jika seandainya ternukil pendapat ulama lain yang
bertentangan dengan pendapat Al Ijli maka hendaknya ditimbang secara
adil, dinilai mana yang lebih kuat atau rajih. Tetapi jika tidak
ternukil pendapat ulama yang bertentangan dengan Al Ijli maka tautsiq Al
Ijli dapat diterima. Inilah pendapat yang benar dan kami ambil perihal tautsiq Al Ijli.
.
.
Aswj yang bisanya cuma bilang majhul
sebenarnya tidak paham kriteria majhul dalam ilmu hadis dan
pembahasannya. Majhul itu ada dua macam yaitu majhul ‘ain dan majhul hal atau mastur.
Perawi yang diriwayatkan oleh dua orang perawi tsiqat maka terangkat
majhul-nya yaitu majhul ‘ain dan kedudukannya adalah majhul hal atau
mastur. Apakah perawi dengan kedudukan majhul hal tertolak?. Ia memang
tidak bisa dijadikan hujjah tetapi bisa dijadikan penguat syawahid atau
mutaba’ah. Inilah yang dikenal dalam ilmu hadis. Selain itu di sisi para
ulama, terdapat nilai tambah jika perawi mastur tersebut adalah tabiin
awal yang bertemu dan meriwayatkan dari para sahabat.
Syaikh Al Albani sendiri menilai hadis
yang diriwayatkan oleh tabiin yang mastur atau majhul hal dan dimasukkan
Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat sebagai hadis hasan. Inilah contohnya
- Hadis Abu Sa’id Al Ghifari, tabiin yang meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat dan biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Syaikh Al Albani menguatkan hadisnya dan menilainya hasan [Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 680]
- Hadis Hasan bin Muhammad Al Abdiy, tabiin yang telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat dan biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Syaikh Al Albani menghasankan hadisnya [Irwa’ Al Ghalil no 225]
Jadi kepada aswj kami sarankan agar
perbanyak belajar ilmu hadis jangan cuma taklid pada perkataan salafy
nashibi dan da’i-da’i mereka yang sok ilmiah. Tidak perlu anda sok
mengatasnamakan diri sebagai ahlus sunnah wal jamaah apalagi dengan
embel-embel Asy’ariyah Maturidiyah. Bersikap jantanlah dan jangan
berlindung dibalik nama besar mazhab tertentu.
.
.
حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Telah menceritakan kepada kami Fahd
yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang
berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy
dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu
Salamah yang berkata Ayat ini turun untuk
Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain yaitu Sesungguhnya Allah
berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan
menyucikanmu sesuci-sucinya [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227]
Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Ja’far bin Abdurrahman Al Bajalliy.
Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 6 no 7050].
Ia seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi yaitu Ummu Thariq
maula Sa’ad bin Ubadah. Telah meriwayatkan darinya Al A’masy dimana ia
berkata tentang Ja’far bin ‘Abdurrahman “Syaikh” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 2 no 2174]. Lafaz “syaikh” dalam ilmu hadis dikenal sebagai lafaz ta’dil yang ringan.
Al Haitsami membawakan hadis Ja’far dari
Ummu Thariq dan berkata “riwayat Ahmad dan Thabraniy dalam Al Kabir,
para perawinya tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 2/361 no 3823]. Hal yang sama
juga diungkapkan Al Buushiriy ketika membawakan hadis Ja’far dari Ummu
Thariq, ia berkata “sanad ini diriwayatkan orang-orang
tsiqat”[Ittihaaful Khairah 6/16 no 5304]. Hal ini menunjukkan bahwa Al
Haitsami dan Al Buushiriy menganggap Ja’far bin ‘Abdurrahman sebagai
perawi tsiqat. Hadis Ja’far ini dikuatkan oleh hadis berikut
أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَفْصٍ الْمَالِينِيُّ ، أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ رَشِيقٍ بِمِصْرَ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ الرَّازِيُّ ، حَدَّثَنِي أَبُو أُمَيَّةَ عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأُمَوِيُّ ، حَدَّثَنَا عَمِّي عُبَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ ، عَنِ الثَّوْرِيِّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، : أَنَّ رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” دَعَا عَلِيًّا ، وَفَاطِمَةَ ، وَحَسَنًا ، وَحُسَيْنًا ، فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ ، ثُمَّ تَلا : إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا قَالَ وَفِيهِمْ أُنْزِلَتْ
Telah mengabarkan kepada kami Abu
Sa’d Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Hafsh Al Maaliiniy yang
berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Hasan bin Rasyiiq di
Mesir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id bin
Basyiir Ar Raaziy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Umayyah
‘Amru bin Yahya bin Sa’id Al Umawiy yang berkata telah menceritakan
kepada kami pamanku ‘Ubaid bin Sa’id dari Ats Tsawriy dari ‘Amru bin
Qais dari Zubaid dari Syahr bin Hausab dari Ummu Salamah radiallahu
‘anha bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husein kemudian
menyelimutinya dengan kain kemudian membaca “Sesungguhnya Allah SWT
berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan
menyucikanmu sesuci-sucinya” dan berkata “untuk merekalah turunnya ayat” [Muudhih Awham Jami’ Wal Tafriq Al Khatib Baghdad 2/281]
Hadis riwayat Al Khatib ini diriwayatkan para perawi yang tsiqat kecuali Syahr bin Hausyab,
ia seorang yang shaduq tetapi diperbincangkan oleh sebagian ulama.
Syahr bin Hausab perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus
Sunan. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ahmad berkata “tidak ada masalah
padanya”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Yaqub
bin Syaibah berkata “tsiqat sebagian mencelanya”. As Saji berkata
“dhaif tidak hafizh”.Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu
Hatim berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy berkata “tidak
kuat dalam hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibban berkata
“ia sering meriwayatkan dari perawi tsiqat hadis-hadis mu’dhal dan
sering meriwayatkan dari perawi tsabit hadis yang terbolak-balik. Al
Baihaqi berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 4 no 635]. Ibnu Hajar berkata
“shaduq banyak melakukan irsal dan wahm” [At Taqrib 1/423]. Adz Dzahabi
memasukkannya dalam Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 162.
Kedua hadis Ummu Salamah riwayat Ath Thahawiy dan riwayat Al Khatib saling menguatkan sehingga kedudukannya menjadi shahih lighairihi. Hadis Ummu Salamah dikuatkan pula oleh hadis Abu Sa’id berikut.
حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم
Telah menceritakan kepada kami Hasan
bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceirtakan kepada
kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami
Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi
‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said
Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak
menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu
sesuci-sucinya] turun untuk lima orang yaitu Rasulullah SAW Ali Fathimah
Hasan dan Husain radiallahuanhum [Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375]
Hadis Abu Sa’id di atas diriwayatkan oleh
para perawi yang tsiqat dan shaduq kecuali Athiyyah Al ‘Aufiy, ia
seorang yang diperbincangkan. Pada dasarnya ia seorang tabiin yang
shaduq tetapi dituduh melakukan tadlis syuyukh sehingga banyak yang
mendhaifkannya. Kami sudah pernah membahas kedudukannya secara khusus.
Secara garis besar pendapat para ulama terhadapnya adalah
- Mereka yang menta’dilkannya seperti Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Ibnu Ma’in, Tirmidzi, Ibnu Syahiin, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hajar.
- Mereka yang melemahkannya karena ia melakukan tadlis syuyukh seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, dan Sufyan.
- Mereka yang melemahkan dari segi dhabitnya atau dengan jarh mubham seperti Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Adiy
Tuduhan tadlis syuyukh atas Athiyah Al
Aufiy adalah tuduhan dusta dan mereka yang melemahkan Athiyah karena
tadlis syuyukh telah keliru. Mengapa? karena tuduhan ini berasal dari Al
Kalbi yang dikenal pendusta. Jadi tinggallah penta’dilan atas Athiyah
dan kelemahan dari segi dhabitnya. Maka hadisnya hasan dengan adanya penguat atau jikapun dhaif ia bisa dijadikan i’tibar.
Secara keseluruhan hadis tersebut saling menguatkan maka turunnya
al ahzab 33 untuk ahlul kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah shahih.
.
.
Aswj tidak memahami ilmu hadis dengan baik. Ilmu hadis yang ia pelajari adalah ilmu hadis versi salafy nashibi
yang tidak bisa menerima hadis lemah walaupun memiliki syawahid dan
mutaba’ah. Di sisi aswj hadis yang bisa dijadikan hujjah hanya hadis
shahih yang para perawinya tsiqat tanpa cacat atau zero jarh-nya [ini
ilmu hadis ala nashibi]. Mungkin aswj akan berdalih bahwa dalam masalah
akidah hadisnya harus shahih qathi tanpa cacat sedikitpun.
Kami katakan itu adalah aturan anda
sendiri dan tidak ada urusan dengan kami. Andalah yang sibuk bicara soal
syiah padahal anda mengutip hadis yang kami tulis. Andalah yang sibuk
bicara akidah padahal kami tidak menyinggungnya. Sejauh yang kami ingat pokok bahasan hadis kisa’ ini berkenaan dengan manaqib ahlul bait.
Hadis dengan sedikit kelemahan dan saling menguatkan dapat terangkat
kedudukannya sehingga menjadi shahih lighairihi dan dapat dijadikan
hujjah. Jika anda aswj tidak paham maka silakan dibuka Ulumul hadis
jangan cuma kopipaste nukilan para nashibi. Kelihatan sekali kalau anda
tidak membaca sendiri apa yang anda tulis melainkan hanya mengutip
sepotong-sepotong dari da’i salafy nashibi bahkan dari nashibi di luar
negri sana.
.
.
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا العباس بن محمد بن الدوري ثنا عثمان بن عمر ثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن دينار ثنا شريك بن أبي نمر عن عطاء بن يسار عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق
Telah menceritakan kepada kami Abul
Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abbas bin Muhammad bin Ad Duuriy yang berkata telah menceritakan kepada
kami Utsman bin Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar yang berkata telah menceritakan
kepada kami Syarik bin Abi Namr dari Atha’ bin Yasaar dari Ummu Salamah
radiallahu ‘anha bahwa ia berkata “di rumahku turun ayat sesungguhnya
Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu Ahlul Bait, [Ummu
Salamah] berkata “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan berkata “ya Allah mereka
adalah ahlul baitku”. Ummu Salamah berkata
“wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk ahlul bait”. Beliau berkata
“sesungguhnya kamu keluargaku yang baik dan mereka adalah ahlul baitku,
ya Allah keluargaku yang haq” [Al Mustadrak Ash Shahihain 3/278 no 3558]
Berkenaan dengan hadis di atas, Al Hakim
berkata “hadis ini shahih dengan syarat Bukhari hanya saja ia tidak
mengeluarkannya”. Adz Dzahabi berkata “atas syarat Muslim”.
Jika diteliti dengan baik hadis riwayat Al Hakim ini mengandung kelemahan yaitu ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar,
ia termasuk perawi Bukhari yang diperbincangkan. Ibnu Main berkata
“disisiku terdapat kelemahan dalam hadisnya dan telah meriwayatkan
darinya Yahya Al Qaththan”. Abu Hatim berkata “ada kelemahan padanya,
ditulis hadisnya dan tidak dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy menyatakan ia
termasuk perawi dhaif yang ditulis hadisnya. Abu Qasim Al Baghawiy
berkata “shalih al hadits”. Ali bin Madini berkata “shaduq” [At Tahdzib
juz 6 no 422]. Ibnu Hibban berkata “tidak dapat dijadikan hujjah jika
tafarrud” [Al Majruhin Ibnu Hibban 2/52]
Memang dalam riwayat ‘Abdurrahman bin
‘Abdullah bin Dinar yang lain nampak perbedaan lafaz jawaban Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu sebagaimana diriwayatkan Baihaqi
قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا أَنَا مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ؟ قَالَ: بَلَى إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
[Ummu Salamah] berkata “wahai Rasulullah bukankah aku termasuk ahlul bait?. Beliau berkata “tentu jika Allah menghendaki” [Sunan Baihaqi 2/149]
Aswj dan nashibi yang dikutipnya
beranggapan kalau lafaz ini saling bertentangan padahal sebenarnya akal
mereka saja yang lemah. Sebelum kita mengatakan bertentangan ada baiknya
kita pahami terlebih dahulu kedua lafaz tersebut baik-baik. Perhatikan
lafaz pertama yaitu “sesungguhnya kamu keluargaku yang baik dan mereka adalah ahlul baitku, ya Allah keluargaku yang haq”.
Aswj [dan nashibi yang dikutipnya]
bingung dengan lafaz ini karena terkesan membedakan antara “ahlu” dan
“ahlul bait”. Pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama
tetapi yang satu lebih luas maknanya dibanding yang lain. Kata “ahlu”
lebih luas maknanya dibanding kata “ahlul bait” hal ini tergantung
penggunaannya dalam kalimat. Kata “ahlu” bisa bermakna keluarga, kerabat
bahkan pengikut sedangkan “ahlul bait” walaupun bermakna keluarga, ia
bersifat lebih khusus. Jadi masih mungkin seseorang disebut ahlu Nabi
tetapi bukan ahlul bait Nabi. Contoh : Watsilah bin Asqa’ dalam suatu
hadis disebut juga ahlu Nabi tetapi ia bukanlah ahlul bait Nabi.
Seorang istri Nabi seperti Ummu Salamah,
ia bisa disebut sebagai ahlu Nabi dan ahlul bait Nabi [hal ini tertera
dalam hadis-hadis shahih]. Tentu saja Ummu Salamah sebagai istri Nabi
paham bahwa ia termasuk ahlul bait Nabi. Tetapi dalam hadis Kisa’, Ummu
Salamah bertanya “apakah aku termasuk ahlul bait” atau “bukankah aku
termasuk ahlul bait” atau “apakah aku bersama mereka”. Pernahkah para
pembaca memikirkan untuk apa Ummu Salamah mengajukan pertanyaan seperti
itu padahal ia sebagai istri Nabi jelas adalah ahlul bait. Jawabannya
karena ahlul bait yang dibicarakan dalam hadis kisa’ bukanlah ahlul bait
secara umum yang maknanya sama dengan “ahlu” tetapi ahlul bait yang
disucikan oleh Allah SWT.
Ahlul Bait dalam al ahzab 33 tidak
diperuntukkan untuk semua keluarga dan kerabat Nabi yang disebut ahlul
bait. Bukankah istri-istri Nabi, keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga
Abbas dan Keluarga Aqil juga disebut ahlul bait Nabi?. Tetapi apakah al
ahzab 33 diperuntukkan bagi mereka semua. Tidak, ayat tersebut
ditujukan kepada ahlul bait yang khusus dan siapa mereka? Yaitu yang
tertera dalam hadis Kisa’ dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menyatakan dengan jelas ahlul bait yang dimaksud.
Kembali ke lafaz “sesungguhnya kamu keluargaku yang baik”, ini maknanya sama dengan “kamu menuju kebaikan” atau “kamu di atas kebaikan” atau “sesungguhnya kamu termasuk istriku yang shalih”.
Ini adalah keutamaan Ummu Salamah yang dikatakan Nabi untuk membedakan
dengan keutamaan ahlul bait yang disucikan dalam al ahzab 33. Sehingga
lafaz selanjutnya “ dan mereka adalah ahlul baitku, ya Allah keluargaku
yang haq” maksud dari lafaz ini adalah mereka yang diselimuti Nabi
adalah ahlul bait dalam al ahzab 33, yaitu keluarga [ahlu] Nabi yang
berhak atas keutamaan tersebut diantara banyak ahlu Nabi lainnya.
Kemudian lafaz kedua yang dianggap bertentangan yaitu Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah bukankah aku termasuk ahlul bait?”
menunjukkan bahwa Ummu Salamah tahu bahwa dirinya ahlul bait tetapi ia
bertanya untuk mengetahui apakah ia termasuk ahlul bait yang disucikan
dalam al ahzab 33. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “tentu jika Allah menghendaki”.
Lafaz ini bermakna Ummu Salamah bukanlah ahlul bait yang dimaksud dalam
al ahzab 33, karena pada saat itu Allah SWT telah menurunkan al ahzab
33 kepada Rasulullah dan Beliau telah mengetahui siapa ahlul bait yang
dikehendaki Allah untuk disucikan sehingga Beliau mengumpulkan mereka,
menyelimuti mereka dan membacakan ayat tersebut untuk mereka. Jadi untuk
siapa al ahzab 33 diturunkan telah jelas diketahui Nabi.
Nah jika memang ayat tersebut diturunkan untuk Ummu Salamah selaku istri Nabi maka mengapa Nabi berkata “tentu jika Allah menghendaki”. Lafaz “jika Allah menghendaki”
hanya ditujukan untuk perkara yang belum pasti kebenarannya atau belum
pasti ketetapan Allah SWT atasnya. Jadi tidak lain lafaz ini menunjukkan
bahwa Ummu Salamah pada dasarnya bukanlah ahlul bait yang dimaksud
dalam al ahzab 33. Silakan perhatikan para pembaca, setelah dipahami
dengan baik kedua lafaz yang menurut anggapan aswj dan nashibi
bertentangan sebenarnya memiliki makna yang sama.
.
.
.
وأنبأنا أبو محمد عبد الله بن صالح البخاري قال حدثنا الحسن بن علي
الحلواني قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا عبد الملك بن أبي سليمان عن
عطاء عن أم سلمة وعن داود بن أبي عوف عن شهر بن حوشب عن أم سلمة وعن أبي
ليلى الكندي عن أم سلمة رحمها الله بينما النبي صلى الله عليه وسلم في بيتي
على منامة له عليها كساء خيبري إذ جاءته فاطمة رضي الله عنها ببرمة فيها
خزيرة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم ادعي زوجك وابنيك قالت : فدعتهم
فاجتمعوا على تلك البرمة يأكلون منها ، فنزلت الآية : إنما يريد الله ليذهب
عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم
فضل الكساء فغشاهم مهيمه إياه ، ثم أخرج يده فقال بها نحو السماء ، فقال
اللهم هؤلاء أهل بيتي وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت :
فأدخلت رأسي في الثوب ، فقلت : رسول الله أنا معكم ؟ قال إنك إلى خير إنك
إلى خير قالت : وهم خمسة : رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ،
والحسن والحسين رضي الله عنهم
Telah memberitakan kepada kami Abu
Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari yang berkata telah menceritakan
kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan
Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al
Bukhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al
Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun
yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Abi
Sulaiman dari Atha’ dari Ummu Salamah dan dari Dawud bin Abi ‘Auf dari
Syahr bin Hawsyaab dari Ummu Salamah dan dari Abu Laila Al Kindiy dari
Ummu Salamah “sesungguhnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berada di
rumahku di atas tempat tidur yang beralaskan kain buatan Khaibar.
Kemudian datanglah Fathimah dengan membawa bubur, maka Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] berkata “panggillah suamimu dan kedua putramu”. [Ummu
Salamah] berkata “kemudian ia memanggil mereka dan ketika mereka
berkumpul makan bubur tersebut turunlah ayat Sesungguhnya Allah SWT
berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan
menyucikanmu sesuci-sucinya, maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] mengambil sisa kain tersebut dan menutupi mereka dengannya,
kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengulurkan tangannya dan
berkata sembari menghadap langit “ya Allah mereka adalah ahlul baitku
dan kekhususanku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah
sesuci-sucinya. [Ummu Salamah] berkata “aku
memasukkan kepalaku kedalam kain dan berkata “Rasulullah, apakah aku
bersama kalian?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kamu
menuju kebaikan kamu menuju kebaikan. [Ummu Salamah] berkata “mereka
adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali,
Fathimah, Hasan dan Husein raidallahu ‘anhum” [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/383 no 1650]
Hadis di atas kedudukannya shahih
diriwayatkan oleh Abu Laila Al Kindy, Syahr bin Hausab dan Atha’ dari
Ummu Salamah dan merupakan hadis kisa’ Ummu Salamah yang paling shahih.
Dalam hadis tersebut Ummu Salamah mengakui bahwa ahlul bait dalam al
ahzab 33 adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Banyak diantara ulama ahlussunnah yang
mengakui bahwa al ahzab 33 turun untuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain diantaranya Ath Thahawiy, Al
Ajjuriy, Asy Syaukaniy, Ibnu Asakir dan Adz Dzahabiy. Adz Dzahabiy
pernah berkata
وفي فاطمة وزوجها وبنيها نزلت إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فجللهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بكساء وقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي
Dan untuk Fathimah, suaminya dan kedua anaknya turun ayat “sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyelimuti mereka dengan kain dan berkata “ya Allah mereka ahlulbaitku” [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 3/44]
Kami cukup heran dengan orang yang
menyebut dirinya Aswj, ia mengatakan hanya syiah bertaraf junior saja
yang mengutip riwayat-riwayat ini karena terdapat pembahasan yang
menolaknya. Lucu sekali makhluk satu ini, seolah ia ingin mengesankan
bahwa syiah senior, sesepuh atau ulama mereka mengutip riwayat-riwayat
brilian yang tidak terdapat pembahasan menolaknya. Padahal dalam
anggapan nashibi mau junior, senior, sesepuh atau ulama jika mereka
Syiah semua pembahasannya harus ditolak karena Syiah itu menyesatkan.
Anggap saja toh Syiah menjadikan
kemaksuman ahlul bait sebagai akidah, maka patutlah kita bertanya apa
akidah syiah itu mereka ambil dari kitab hadis sunni?. Alangkah naifnya
anda wahai aswj, Syiah punya banyak kitab hadis yang jadi pegangan buat
mereka dan gak perlu jauh-jauh mengutip riwayat seperti yang kami kutip
hanya untuk menegakkan akidah mereka. Yah memang kebanyakan pengikut
nashibi menunjukkan ketidakwarasan jika menyangkut kebencian mereka
terhadap Syiah. Hanya orang yang bebas dari kebencian yang bisa membahas
permasalahan dengan tenang dan objektif.
Kami katakan pada anda wahai Aswj kami
bukan bagian dari Syiah. Pandangan kami adalah apa yang kami peroleh
dari penelitian terhadap kitab-kitab hadis dimana sampai saat ini masih
kami baca dan pelajari. Kami bukan orang seperti anda yang gampangan dan
bangga mengatasnamakan mazhab tertentu. Kami hanya mewakili diri kami
sendiri. Salam Damai
Takhrij Hadis Kisa’ Dengan Lafaz “Sesungguhnya Kamu Termasuk Ahliku”
Posted on Juni 17, 2012 by secondprince
Takhrij Hadis Kisa’ Dengan Lafaz “Sesungguhnya Kamu Termasuk Ahliku”
Berikutnya hadis kedua yang sering
dijadikan hujjah oleh para nashibi adalah hadis kisa’ yang memuat lafaz
“innaki min ahliy” artinya “sesungguhnya kamu termasuk ahliku”. Sama
seperti tulisan sebelumnya, kami tidak akan membahas matan hadis
tersebut tetapi menilai sejauh mana kekuatan hadis yang dijadikan hujjah
oleh para nashibi.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثنا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، قَالَ: ثنا مُوسَى بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: ثني هَاشِمُ بْنُ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبِ بْنِ زَمْعَةَ، قَالَ: أَخْبَرَتْنِي أُمُّ سَلَمَةَ: “أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ عَلِيًّا وَالْحَسَنَيْنِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُمْ تَحْتَ ثَوْبِهِ، ثُمَّ جَأَرَ إِلَى اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: ” هَؤُلاءِ أَهْلُ بَيْتِي “، قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَدْخِلْنِي مَعَهُمْ، قَالَ: ” إِنَّكِ مِنْ أَهْلِي”
Telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad
yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa bin Ya’qub yang berkata
telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Haasyim bin Utbah bin Abi
Waqqash dari ‘Abdullah bin Wahb bin Zam’ah yang berkata telah
mengabarkan kepadaku Ummu Salamah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] mengumpulkan Ali, Hasan dan Husain dan menyelimuti mereka
dengan kain kemudian memohon kepada Allah “mereka adalah ahlul baitku”.
Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah, masukkan aku bersama mereka?.
Beliau berkata “engkau termasuk ahli-ku” [Tafsir Ath Thabariy 20/266]
Diriwayatkan oleh Ath Thahawiy dalam Musykil Al Atsar no 763, Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 19207 dengan jalan sanad Musa bin Ya’qub dari Haasyim bin Haasyim dari Abdullah bin Wahb bin Zam’ah dari Ummu Salamah. Diriwayatkan pula oleh Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir no 2597 dengan jalan sanad Musa bin Ya’qub dari Haasyim bin Haasyim dari Wahb bin ‘Abdullah bin Zam’ah dari Ummu Salamah.
Hadis ini mengandung illat [cacat] yaitu Musa bin Ya’qub Az Zam’iy
adalah seorang yang diperbincangkan. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ali
bin Madini berkata “dhaif al hadis mungkar al hadits”. Abu Dawud berkata
“shalih, telah meriwayatkan darinya Ibnu Mahdiy, ia memiliki guru guru
yang majhul”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i berkata
“tidak kuat”. Ahmad melemahkannya. Ibnu Qaththan berkata “tsiqat” [At
Tahdzib juz 10 no 672].
Ibnu Hajar berkata “shaduq buruk
hafalannya” [At Taqrib 2/230]. Adz Dzahabiy berkata “ada kelemahan
padanya” [Al Kasyf no 5744]. Daruquthni berkata “tidak dapat dijadikan
hujjah” [Al Ilal Daruquthni 1/195]
Hadis ini mengandung illat lain [cacat
lain]. Terkadang Musa bin Ya’qub menyebutkan Abdullah bin Wahb bin
Zam’ah dan terkadang ia menyebutkan Wahb bin ‘Abdullah bin Zam’ah. Ibnu
Hibban membedakan keduanya
عبد الله بن وهب بن زمعة القرشي الأسدي يروى عن أم سلمة روى عنه الزهري
‘Abdullah bin Wahb bin Zam’ah Al Qurasy
Al Asdiy meriwayatkan dari Ummu Salamah dan telah meriwayatkan darinya
Az Zuhriy [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 3794]
وهب بن عبد الله بن زمعة بن الأسود بن عبد المطلب بن عبد العزى قتل يوم الحرة سنة ثلاث وستين
Wahb bin ‘Abdullah bin Zam’ah bin Aswad
bin ‘Abdul Muthalib terbunuh saat peristiwa Al Harra tahun 63 H [Ats
Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 5867]
Ibnu Hajar menyebutkan biografi Wahb bin
‘Abdu bin Zam’ah bahwa ia perawi Ibnu Majah. Ia meriwayatkan dari Ummu
Salamah dan telah meriwayatkan darinya Az Zuhriy. Dikatakan pula bahwa
Az Zuhriy meriwayatkan dengan lafaz dari Abdullah bin Wahb bin Zam’ah
dari Ummu Salamah. Ibnu Hajar juga mengutip Ibnu Hibban bahwa ia
terbunuh saat peristiwa Al Harra [At Tahdzib juz 11 no 282].
Nampak disini keduanya adalah orang yang
sama, perbedaan nama itu muncul dari para perawinya, Adz Dzahabi dalam
Al Kasyf menyatakan keduanya adalah orang yang sama. Terdapat petunjuk
lain bahwa keduanya adalah orang yang sama yaitu disebutkan dalam Ansab
Al Asyraf bahwa Abdullah bin Wahb bin Zam’ah terbunuh saat peristiwa Al
Harra [Ansab Al Asyraf 3/288].
Abdullah bin Wahb bin Zam’ah ini adalah
seorang tabiin [beda dengan saudaranya yang termasuk sahabat dan
memiliki nama yang sama dengannya], diantara ulama mutaqaddimin hanya
Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Adz Dzahabi dan Ibnu
Hajar keduanya menyatakan ia tsiqat. Bagi para nashibi yang suka
merendahkan Ibnu Hibban maka patutlah kita bertanya apa dasarnya Adz
Dzahabi dan Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat?. Bukankah mereka tergolong
muta’akhirin yang menukil jarh dan ta’dil dari ulama mutaqaddimin Nampak
bagi kami bahwa keduanya menerima tautsiq Ibnu Hibban terhadap Abdullah
bin Wahb bin Zam’ah
Yang meriwayatkan dari Abdullah bin Wahb
bin Zam’ah adalah Haasyim bin Haasyim bin Utbah. Ibnu Hibban menyebutkan
bahwa ia wafat tahun 144 H [Ats Tsiqat juz 7 no 11586]. Jika memang
Abdullah bin Wahb bin Zam’ah terbunuh saat peristiwa Al Harra tahun 63 H
maka diantara wafat keduanya ada jarak 81 tahun.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa
Haasyim mendengar langsung dari Abdullah tetapi itu diriwayatkan oleh
Musa bin Ya’qub yang diperbincangkan dan buruk hafalannya. Jadi disini
terdapat illat bahwa sanadnya mungkin inqitha’ antara Haasyim dan
Abdullah bin Wahb.
Kesimpulannya hadis ini tidak bisa
dijadikan hujjah karena kelemahan Musa bin Ya’qub dalam dhabit-nya
sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah jika tafarrud ditambah
lagi dengan adanya illat kemungkinan inqitha’ antara Haasyim dan
Abdullah bin Wahb. Salam Damai
Takhrij Hadis Kisa’ Dengan Lafaz “Balaa Insyaa Allah”
Posted on April 15, 2012 by secondprince
Takhrij Hadis Kisa’ Dengan Lafaz “Balaa Insyaa Allah”
Salah satu hadis andalan para nashibi
untuk menyelewengkan makna hadis kisa’ adalah hadis yang mengandung
lafaz jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “Balaa Insyaa Allah” yang artinya “benar insya Allah”.
Dalam tulisan kali ini, kami tidak hendak berniat membahas matan hadis
tersebut tetapi ingin menilai sejauh mana kekuatan hadis tersebut.
Sebenarnya lahirnya tulisan ini
terinspirasi dari ulah para nashibi yang begitu arogan dalam ilmu hadis.
Para nashibi selalu membuat syubhat untuk melemahkan hadis-hadis shahih
yang menentang hujjah mereka. Tentu saja syubhat tersebut dibungkus
dengan sok ilmiah agar pengikut awam mereka menjadi gembira dan tenang
karena hujjah lawan sudah terbantahkan. Nah kali ini mari kita nilai
sekuat apa hadis yang selalu mereka banggakan sebagai hujjah.
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ غَيْرَ مَرَّةٍ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ السُّلَمِيُّ، مِنْ أَصْلِهِ، وَأَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، قَالُوا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ شَرِيكِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: فِي بَيْتِي أُنْزِلَتْف إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًاق، قَالَتْ: فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فَاطِمَةَ، وَعَلِيٍّ، وَالْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ، فَقَالَ: ” هَؤُلاءِ أَهْلُ بَيْتِي ” وَفِي حَدِيثِ الْقَاضِي، وَالسُّلَمِيِّ: هَؤُلاءِ أَهْلِي قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا أَنَا مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ؟ قَالَ: بَلَى إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى “، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ سَنَدُهُ ثِقَاتٌ رُوَاتُهُ
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abu
‘Abdullah lebih dari sekali dan Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain As
Sulamiy dari ‘ashl-nya dan Abu Bakar Ahmad bin Hasan Al Qaadhiy, mereka
berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub
yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Mukram yang
berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin ‘Umar yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar
dari Syariik bin Abi Namir dari Atha’ bin Yasar dari Ummu Salamah yang
berkata “di rumahku turun ayat [sesungguhnya Allah berkehendak
menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan menyucikanmu
sesuci-sucinya]. Ummu Salamah berkata maka Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] mengutus kepada Fathimah, Ali, hasan dan Husain.
Beliau berkata “mereka adalah ahlul baitku” [Baihaqi berkata] dalam
hadis Al Qaadhiy dan As Sulamiy “mereka adalah ahliku”. Maka
Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk ahlul bait?.
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “benar, insyaa
Allah”. Abu Abdullah berkata “hadis ini shahih sanadnya, para perawinya tsiqat” [Sunan Baihaqi 2/149]
Disebutkan juga oleh Baihaqi dalam Al I’tiqaad hal 454, Al Baghawi dalam Syarh As Sunnah 14/116-117 no 3912 dan dalam Tafsir-nya 1/349, Abu Nu’aim dalam Akhbar Al Ashbahaan 2/222, Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 23/286 no 627, Ibnu Atsiir dalam Asadul Ghaabah 5/365 dan 5/464, Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 14/137.
Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Utsman bin Umar dari Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar dari Syarik bin Abi Namir dari Atha’ bin Yasar dari Ummu Salamah. Sanad ini lemah karena ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar.
Yahya bin Ma’in berkata tentangnya “dalam
hadisnya disisiku ada kelemahan”. Abu Hatim berkata “lemah ditulis
hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy menyatakan ia
meriwayatkan hadis-hadis mungkar yang tidak memiliki mutaba’ah, termasuk
golongan orang dhaif yang ditulis hadisnya. Al Harbiy berkata “yang
lain lebih terpercaya darinya”. Al Baghawiy berkata “shalih al hadits”.
Ibnu Khalfun menukil dari Ali bin Madini yang berkata “shaduq”. Ia
termasuk perawi Bukhari dan telah meriwayatkan darinya Yahya Al Qaththan
[At Tahdzib juz 6 no 422]
Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh
Dhu’afa dan menyatakan tidak boleh berhujjah dengan khabarnya jika
tafarrud [Al Majruhin 2/51]. Al Uqailiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa
[Ad Dhu’afa Al Uqailiy 2/339 no 936]. Abu Zur’ah berkata “ laisa bi
dzaaka” [Su’alat Al Bardza’iy]. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Adh
Dhu’afa [Tarikh Asma’ Adh Dhu’afa Ibnu Syahin no 388]
Kedudukan ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin
Diinar yang rajih adalah dhaif tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar
dan tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud. Dalam hadis ini
‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar telah menyelisihi perawi yang
tsiqat yaitu Ismaiil bin Ja’far bin Abi Katsiir Al Anshariy
حدثنا علي ، ثنا إسماعيل ، ثنا شريك ، عن عطاء أن هذه الآية ، نزلت في بيت أم سلمة إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فقالت أم سلمة من جانب البيت : ألست يا رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل البيت ؟ قال : « بلى إن شاء الله » ثم أخذ ثوبا فطرحه على فاطمة ، وحسن ، وحسين ثم قال : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syariik dari Atha’ bahwa ayat ini turun di
rumah Ummu Salamah [sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa
dari kamu wahai ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Ummu
Salamah berkata dari samping rumah “apakah aku wahai Rasulullah termasuk ahlul bait?”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “benar insya Allah”.
Kemudian Beliau mengambil kain lalu menutupinya kepada Fathimah, Hasan
dan Husain kemudian berkata sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan
dosa dari kamu wahai ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya [Hadiits Ismaiil bin Ja’far hal 462 no 403]
Ismaiil bin Ja’far bin Abi Katsiir Al
Anshaariy adalah perawi Bukhari Muslim. Ahmad, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu
Ma’in, Ibnu Sa’ad dan Al Khaliliy menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 533]
Dalam hadis di atas Ismaiil bin Ja’far meriwayatkan dari Syarik bin Abi Namiir dari Atha’ bin Yasar secara mursal. Atha’ bin Yasar meriwayatkan peristiwa turunnya ayat tersebut secara langsung. Perhatikan perkataannya “ayat ini turun di rumah Ummu Salamah” kemudian perkataan “Ummu Salamah berkata dari samping rumah”.
Ini adalah lafaz Atha’ bin Yasar dimana ia menceritakan dialog antara
Ummu Salamah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Begitu pula
jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “balaa insya Allah”
adalah lafaz dari Atha’ bin Yasar karena sanad riwayat tersebut berhenti
padanya. Pentahqiq kitab Hadiits Ismaiil bin Ja’far berkata “hadis
mursal dan sanadnya hasan sampai ke Atha’“.
Jadi ada dua perawi yang meriwayatkan
dari Syarik bin Abi Namiir yaitu Ismaiil bin Ja’far dan Abdurrahman bin
‘Abdullah bin Diinar. Ismaiil meriwayatkan secara mursal sedangkan
Abdurrahman meriwayatkan secara maushul. Ismaiil bin Ja’far adalah
seorang yang tsiqat lagi tsabit sedangkan Abdurrahman adalah perawi yang
dhaif dan ia telah menyelisihi perawi yang tsiqat lagi tsabit maka
riwayatnya tidak dapat diterima atau khata’.
Riwayat Atha’ bin Yasar yang tsabit
adalah riwayat Ismaiil bin Ja’far Al Anshaariy dimana Atha’ bin Yasar
meriwayatkan secara mursal. Jadi lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] “balaa insya Allah” adalah mursal dari Atha’ bin Yasar maka kedudukannya dhaif tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebelumnya kami pernah mengkompromikan riwayat Abdurrahman bin Abdullah bin Diinar yang mengandung lafaz “balaa insya Allah” ini dengan riwayat Abdurrahman yang mengandung lafaz bahwa Ummu Salamah bukan ahlul bait yang dimaksud ayat tersebut,
tetapi setelah kami teliti kembali maka nampak lafaz-lafaz tersebut
tidaklah tsabit sanadnya dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
akibat kesalahan Abdurrahman bin Abdullah bin Diinar sehingga tidak
perlu dikompromikan satu sama lain. Akhir kata kesimpulannya hadis yang
dijadikan hujjah oleh nashibi itu adalah dhaif . Mari kita katakan
kepada para nashibi berhentilah bersikap seperti orang munafik dan
jujurlah dalam berhujjah. Salam Damai
http://secondprincez.wordpress.com/2012/04/16/takhrij-hadis-kisa-dengan-lafaz-balaa-insyaa-allah/
روى عن أبيه وزيد بن أسلم وأبي حازم بن دينار
ومحمد بن زيد بن المهاجر وعمرو بن يحيى المازني وموسى بن عبيدة الربذي
وأسيد بن أبي أسيد البراد ومحمد بن عجلان وعنه أبو النضر
وعبد الصمد بن عبد الوارث وابن المبارك وأبو قتيبة
والحسن بن موسى وأبو علي الحنفي وقره بن حبيب ومسلم بن إبراهيم
وأبو الوليد الطيالسي وعلي بن الجعد وغيرهم قال الدوري
عن بن معين في حديثه عندي ضعف وقد حدث عنه يحيى القطان
وحسبته أن يحدث عنه يحيى وقال عمرو بن علي لم أسمع عبد الرحمن يحدث عنه بشيء قط
وقال أبو حاتم فيه لين يكتب حديثه ولا يحتج به وقال بن عدي وبعض ما يرويه منكر لا يتابع عليه
وهو في جملة من يكتب حديثه من الضعفاء قلت
وقال السلمي عن الدارقطني خالف فيه البخاري الناس وليس بمتروك
وقال الحاكم عن الدارقطني إنما حدث بأحاديث يسيرة
وقال أبو القاسم البغوي هو صالح الحديث وقال الحربي غيره أوثق منه
وقال بن خلفون سئل عنه علي بن المديني فقال صدوق