Awas, Indonesia Sudah Jadi Produsen Narkoba
Senin, 11 Juni 2012 . http://www.voa-islam.com/lintasberita/suaraislam/2012/06/11/19462/awas-indonesia-sudah-jadi-produsen-narkoba/
Hidayatullah.com—
Indonesia dinilai bukan lagi sebagai konsumen, tapi juga produsen yang mengekspor narkoba. Angka narkoba yang masuk ke Indonesia dalam jumlah besar menjadi salah satu indikasinya.
"Saya rasa itu jelas, tidak mungkin hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," jelas Ketua DPP Gerakan Anti Narkotika (Granat), Marwan Ja'far, Minggu (10/06/2012).
Narkoba sebanyak itu tidak mungkin disimpan lama, sehingga harus segera diedarkan untuk menghasilkan uang. Pihaknya meyakini narkoba dalam jumlah besar yang belakangan disita aparat berpotensi untuk diekspor kembali.
Awal Mei lalu Badan Narkotika Nasional (BNN) menyita hampir 1,5 juta butir ineks yang nilainya tidak kurang dari Rp400 miliar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Polda Metro Jaya tidak lama kemudian mengamankan barang bukti 351 Kg sabu senilai tidak kurang dari Rp700 miliar.
Baru-baru ini, Direktorat Narkoba dan Kejahatan Terorganisir Bareskrim Polri, mengungkap gudang ratusan kilogram sabu siap edar beserta 350 karung lebih prekursor berupa soda api.
Marwan menilai, penemuan Mabes Polri berupa prekursor dalam jumlah besar juga mengindikasikan adanya produksi narkoba dalam jumlah besar. "Ini sudah jelas Indonesia sudah menjadi produsen," jelasnya.
Selain itu, Marwan menyatakan, jaringan atau sindikat narkoba di Indonesia pasti berhubungan dengan jaringan, bahkan kartel narkoba di luar negeri. "Tentu mereka juga saling mengirim narkoba untuk memenuhi kebutuhan pasar masing-masing daerah," imbuhnya.
Pola hubungan bisa jadi sekedar simbiosis mutualisme dengan posisi egaliter. Namun bisa jadi berhierarkis. Kartel besar tentunya yang mengendalikan, karena tidak sekedar menjual narkoba, tapi juga sudah memasuki tahapan mempengaruhi kebijakan politik.
"Ini yang paling kami takutkan. Kita harus memerangi narkoba. Jangan sampai narkoba menjadi rezim politik," imbuh Marwan, seperti dilansir laman Waspada.
Anggota Komisi Hukum DPR, Achmad Basarah, menyatakan keprihatinannya akan reputasi Indonesia di mata internasional semakin hancur seiring makin meningkatnya kualitas kejahatan narkoba. Indonesia mengalami peningkatan peran dalam kejahatan ini, baik sebagai produsen, distributor, maupun konsumen.
Indonesia diposisikan sejajar dengan negara-negara produsen narkoba lainnya. Mereka adalah negara-negara yang menjadi sarang kejahatan narkoba, yang bukan sekedar mengedarkan, tapi juga mempengaruhi kebijakan politik negara tersebut.
"Kalau dibiarkan terus kondisi seperti ini, Indonesia akan seperti mereka, para kartel narkoba akan mengendalikan politik. Bisa semakin hancur negara ini nantinya," papar Basarah yang juga Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP ini.
Pihaknya berharap semua elemen bangsa berpartisipasi aktif memberantas kejahatan ini. Pencegahan harus berada di garda terdepan agar kartel narkoba tidak masuk ke lingkungan politik dan pemerintahan.
Aparat hukum yang berwenang di bidang pemberantasan narkoba, lanjut Achmad, harus steril dari keterlibatan jaringan kartel narkoba. Mereka harus berani bertindak tegas untuk memberantas dan menindaklanjuti kejahatan sindikat narkoba.
Aparat juga harus melakukan merehabilitasi pecandu narkoba agar pasar narkoba di Indonesia juga dapat dicegah perkembangannya. "Narkoba harus dituntakan secara komprehensif," jelasnya.*
"Saya rasa itu jelas, tidak mungkin hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," jelas Ketua DPP Gerakan Anti Narkotika (Granat), Marwan Ja'far, Minggu (10/06/2012).
Narkoba sebanyak itu tidak mungkin disimpan lama, sehingga harus segera diedarkan untuk menghasilkan uang. Pihaknya meyakini narkoba dalam jumlah besar yang belakangan disita aparat berpotensi untuk diekspor kembali.
Awal Mei lalu Badan Narkotika Nasional (BNN) menyita hampir 1,5 juta butir ineks yang nilainya tidak kurang dari Rp400 miliar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Polda Metro Jaya tidak lama kemudian mengamankan barang bukti 351 Kg sabu senilai tidak kurang dari Rp700 miliar.
Baru-baru ini, Direktorat Narkoba dan Kejahatan Terorganisir Bareskrim Polri, mengungkap gudang ratusan kilogram sabu siap edar beserta 350 karung lebih prekursor berupa soda api.
Marwan menilai, penemuan Mabes Polri berupa prekursor dalam jumlah besar juga mengindikasikan adanya produksi narkoba dalam jumlah besar. "Ini sudah jelas Indonesia sudah menjadi produsen," jelasnya.
Selain itu, Marwan menyatakan, jaringan atau sindikat narkoba di Indonesia pasti berhubungan dengan jaringan, bahkan kartel narkoba di luar negeri. "Tentu mereka juga saling mengirim narkoba untuk memenuhi kebutuhan pasar masing-masing daerah," imbuhnya.
Pola hubungan bisa jadi sekedar simbiosis mutualisme dengan posisi egaliter. Namun bisa jadi berhierarkis. Kartel besar tentunya yang mengendalikan, karena tidak sekedar menjual narkoba, tapi juga sudah memasuki tahapan mempengaruhi kebijakan politik.
"Ini yang paling kami takutkan. Kita harus memerangi narkoba. Jangan sampai narkoba menjadi rezim politik," imbuh Marwan, seperti dilansir laman Waspada.
Anggota Komisi Hukum DPR, Achmad Basarah, menyatakan keprihatinannya akan reputasi Indonesia di mata internasional semakin hancur seiring makin meningkatnya kualitas kejahatan narkoba. Indonesia mengalami peningkatan peran dalam kejahatan ini, baik sebagai produsen, distributor, maupun konsumen.
Indonesia diposisikan sejajar dengan negara-negara produsen narkoba lainnya. Mereka adalah negara-negara yang menjadi sarang kejahatan narkoba, yang bukan sekedar mengedarkan, tapi juga mempengaruhi kebijakan politik negara tersebut.
"Kalau dibiarkan terus kondisi seperti ini, Indonesia akan seperti mereka, para kartel narkoba akan mengendalikan politik. Bisa semakin hancur negara ini nantinya," papar Basarah yang juga Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP ini.
Pihaknya berharap semua elemen bangsa berpartisipasi aktif memberantas kejahatan ini. Pencegahan harus berada di garda terdepan agar kartel narkoba tidak masuk ke lingkungan politik dan pemerintahan.
Aparat hukum yang berwenang di bidang pemberantasan narkoba, lanjut Achmad, harus steril dari keterlibatan jaringan kartel narkoba. Mereka harus berani bertindak tegas untuk memberantas dan menindaklanjuti kejahatan sindikat narkoba.
Aparat juga harus melakukan merehabilitasi pecandu narkoba agar pasar narkoba di Indonesia juga dapat dicegah perkembangannya. "Narkoba harus dituntakan secara komprehensif," jelasnya.*
Keterangan foto: Marwan Ja'far (kiri) dan Achmad Basarah.
Rep: Insan KamilRed: Syaiful Irwan
Wapres Boediono Mendukung Propaganda Narco-Terrorism
JAKARTA (voa-islam.com) -
Dalam sambutannya di acara International Drug Enforcement Conference XXIX, di Nusa Dua, Bali, Selasa (12/6/2012), Wapres Boediono meminta untuk mewaspadai terjalinnya kerjasama kartel narkoba dengan kelompok teroris.
"Suatu gejala lain yang lebih memprihatinkan dan kita semua benar-benar perlu diwaspadai adalah berkembangnya kerjasama antara Kartel atau Sindikat narkotika dengan kelompok-kelompok teroris (Narco-Terrorism)," ujar Wapres Boediono dalam acara yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, Kepala Badan Narkotika Nasional Gories Mere serta 305 peserta dari 75 negara itu.
Menurutnya jika perpaduan antara sindikat narkotika dengan kelompok-kelompok teroris terjalin, maka akan sangat membahayakan karena memiliki motif kriminal dan motif politik.
Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya menilai Wapres Boediono tidak berhati-hati dalam memberikan pernyataan.
“Pak Wakil Presiden ini sudah beberapa kali kurang gaul, ketika di depan pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI)kepleset soal adzan yang mestinya harus keras bukan lembut. Itu contoh pertama pak Boediono kurang berhati-hati dalam memberikan statement,” ujarnya kepada voa-islam.com, Rabu (13/5/2012).
Dengan pernyataan tersebut, membuktikan bahwa Wapres Boediono teracuni oleh opini barat yang disusupkan melalui film. “Pak Boediono telah ‘teracuni’ oleh opini-opini barat yang mana terakhir ini mencoba mengkaitkan adanya blow up media bahwa Narkoba itu berasal dari Timur Tengah yang sekarang mulai disusupkan di negara-negara Asia termasuk Indonesia, itu adalah frame besar orang-orang barat melalui film,” tandasnya.
Menurutnya, tak pantas seorang Wapres mengeluarkan pernyataan tersebut sebab Narco-Terrorism merupakan propaganda barat untuk mendiskreditkan ISLAM
“Seharusnya ini tidak perlu diucapkan oleh seorang Wakil Presiden, bahwa kartel Narkoba dikaitkan dengan Timur Tengah dan dengan terorisme. Sebab terorisme ini kan sudah dikemas dalam berbagai bentuk, sekarang ini diakumulasi, dicreate sedemikian rupa supaya terorisme ini ikut dibiayai, ikut campur tangan kartel-kartel Narkoba.
Lebih lanjut, Mustofa mengungkapkan bahwa propaganda Narco-Terrorism adalah tahapan untuk melemahkan umat Islam untuk berjihad melalui isu-isu negatif.
“Kalau setahun lalu mereka memiliki visi misi besar untuk menghilangkan kata islamiyah, kata khilafah, kata jama’ah itu adalah target besar yang akan tercapai mungkin dua puluhan tahun yang akan datang, tetapi ini (Narco-Terrorism, red) adalah tahapan-tahapan untuk melemahkan orang Islam dalam beribadah, berjihad dan lain sebagainya melalui isu-isu negatif termasuk mengaitkan kartel Narkoba dengan terorisme.
Padahal, terorisme sekarang sudah berhasil distigmakan pelakunya orang-orang Islam, maka nanti kalau kartel Narkoba dikaitkan dengan terorisme itu otomatis menjustifikasi bahwa orang-orang Islam-lah yang menikmati Narkoba,” ungkapnya. [Ahmed Widad]
Narco-Terrorism Propaganda Busuk BNPT
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen (Purn) Ansyaad Mbai kembali memberikan pernyataan ngawur. Seperti dilansi detik.com Ansyaad menyampaikan satu istilah tentang narcoterrorism yang merupakan satu istilah dari penggabungan kejahatan narkotika dan terorisme.
Ansyaad menuding narcoterrorism inilah yang akan menjadi ancaman ke depan di negeri ini. "Tren ke depan justru ancaman yang paling berbahaya narcoterrorism," tuturnya, Rabu (18/4/2012).
Lebih dari itu Ansyaad juga melontarkan fitnah keji kepada Fadli Sadama yang divonis 11 tahun penjara karena menyalurkan persenjataan untuk amaliah fa’i dan jihad di Medan, Sumatra Utara. Menurut Ansyaad, selain melakukan perampokan Fadli telah meraup uang dari hasil bisnis narkotika.
Anehnya Ansyaad tidak menyebut narkotika apa yang diedarkan Fadli, dari hasil penjualan narkotika tersebut, kelompok Fadli membelikan senjata di wilayah Thailand Selatan. "Dan akhirnya dia tertangkap di Malaysia," ujar purnawirawan polisi ini.
Mendengar pernyataan tersebut, tentu saja Ahmad Michdan, selaku Tim Pengacara Muslim (TPM) yang pernah menangani kasus Fadli Sadama, menyampaikan tanggapan bahwa pernyataan Ansyaad Mbai itu ngawur. “Pernyataan Asyaad itu ngawur, tidak benar!” tegasnya kepada voa-islam.com, Kamis (19/4/2012).
“Ansyaad itu hanya mengait-ngaitkan saja, anak-anak yang dituduh teroris itu sebetulnya mereka yang terpanggil terhadap kejahatan kemanusiaan yang menimpa umat Islam, ini yang tidak pernah diungkap,” jelas Michdan.
Ia juga menambahkan bahwa isu terorisme selalu dialamatkan kepada mujahidin jadi mustahil jika mereka terkait Narkoba.
“Tidak ada kaitannya dengan Narkoba, tolong dia buktikan yang mana yang berkaitan dengan narkoba! Isu terorisme di Indonesia itu dialamatkan kepada para mujahidin, jadi mustahil dari Narkoba,” pungkasnya. [Ahmed Widad/voai/Globalmuslim.web.id]
Perangi Mujahidin Gories Mere Gunakan Nama Narco-Terrorism
JAKARTA (voa-islam.com) - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Gories Mere, menuding sindikat yang memproduksi dan memperdagangkan narkotika, menggunakan hasil bisnisnya untuk membiayai kejahatan lainnya, termasuk terorisme.
"Ada simbiose antara perdagangan narkotika dengan arms smuggling, termasuk dengan terorisme yang dikenal dengan narco terorisme," kata Gories di Nusa Dua, Bali, Selasa (12/6/2012) saat jumpa pers soal Internastional Drugs Enforcement Conference (IDEC) XXIX.
Lebih lanjut ia mengungkap bahwa hasil penjualan Narkoba digunakan untuk membeli senjata. "Hasil berjualan sabu asal Malaysia, digunakan untuk membeli senjata dan dimasukkan lagi secara legal ke Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya menilai pernyataan Gories Mere tersebut adalah kemasan untuk memerangi mujahidin.
“Dua lini yang paling mematikan itu Narkoba dan terorisme, sekarang Gories Mere pernah di Densus 88, kemudian sekarang di BNN, saya kira Gories Mere pun memiliki visi yang sama melalui lembaga apa pun ia berusaha untuk membunuh mantan-mantan mujahidin dengan cara apa pun dengan kemasan apa pun termasuk dengan kemasan Narkoba,” ungkapnya kepada voa-islam.com, Rabu (13/6/2012).
Kalau Gories Mere ingin perang jujur saja, tidak usah pakai lobi-lobi soal Narkoba dikaitkan dengan terorisme dan Islam, terus terang saja, orang Islam tidak takut
Bahkan menurut Mustofa, tudingan sejumlah aktifis Islam bahwa Gories Mere berada di balik propaganda Narco-Terrorism untuk mengendalikan Densus 88 agaknya perlu dicermati.
“Maksud saya, tuduhan-tuduhan aktifis Islam pada Gories Mere tidak bisa diabaikan begitu saja karena sekali lagi track record dari Gories Mere terhadap aktifis Islam ini sangat buruk sekali, termasuk cara-cara Gories Mere ketika menjadi Kadensus, dan cara-cara Gories Mere ketika menjadi kepala BNN tapi masih ikut serta dalam penanganan terorisme seperti yang terjadi di Bandara (Polonia) Medan,” jelasnya.
Ia juga menantang agar Gories Mere berterus terang memerangi Islam tanpa harus menggunakan embel-embel Narkoba yang dikaitkan dengan terorisme.
“Kalau Gories Mere ingin perang jujur saja, tidak usah pakai lobi-lobi soal Narkoba dikaitkan dengan terorisme dan Islam, terus terang saja, orang Islam tidak takut,” pungkasnya. [Ahmed Widad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar