Al Quran Dan Hadis Menyatakan Ahlul Bait Selalu Dalam Kebenaran
Posted on November 25, 2007 by secondprince
http://secondprince.wordpress.com/2007/11/25/al-quran-dan-hadis-menyatakan-ahlul-bait-selalu-dalam-kebenaran/
Ahlul Bait adalah Pribadi-pribadi yang selalu berada dalam kebenaran
Mereka mendapat kemuliaan yang begitu
besar yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Hadis. Banyak sekali
isu-isu seputar masalah ini yang membuat orang enggan membahasnya. Yang
saya maksud itu adalah Bagaimana sebenarnya kedudukan Ahlul Bait Rasulullah SAW dalam Islam.
Ada sebagian kelompok yang sangat memuliakan Ahlul Bait, berpedoman
kepada Mereka dan Mengambil Ilmu dari Mereka. Ada juga kelompok yang
lain yang juga memuliakan Ahlul Bait dan mendudukkan mereka layaknya
seperti Sahabat Nabi SAW yang juga memiliki keutamaan yang besar. Ada
perbedaan yang besar diantara kedua kelompok ini.
- Kelompok yang pertama memiliki pandangan bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat islam agar tidak sesat sehingga Mereka adalah Pribadi-pribadi yang ma’sum dan terbebas dari kesalahan. Kelompok yang pertama ini adalah Islam Syiah
- Kelompok yang kedua memiliki pandangan bahwa Ahlul Bait tidak ma’sum walaupun memiliki banyak keutamaan sehingga Mereka juga tidak terbebas dari kesalahan. Kelompok yang kedua ini adalah Islam Sunni.
Tulisan ini adalah Analisis tentang bagaimana sebenarnya kedudukan Ahlul Bait dalam Islam.
Sumber-sumber yang saya pakai sepenuhnya adalah hadis-hadis dalam Kitab
Hadis Sunni. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa tulisan ini berusaha
untuk menelaah pandangan manakah yang benar dan sesuai dengan dalil
perihal kedudukan Ahlul Bait Rasulullah SAW. Sebaiknya perlu juga
dijelaskan bahwa pembahasan seputar kemuliaan Ahlul Bait ini tidak perlu
selalu dikaitkan dengan Sunni atau Syiah. Maksudnya bagaimanapun
nantinya pandangan saya tidak perlu dikaitkan dengan apakah saya Sunni atau Syiah karena memang bukan itu inti masalahnya. Cukup lihat dalil atau argumen yang dipakai dan nilailah sendiri benar atau tidak.
.
.
Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Al Quran
Al Quran dalam Surah Al Ahzab 33 telah menyatakan kedudukan Ahlul Bait bahwa Mereka adalah Pribadi-pribadi yang disucikan oleh Allah SWT.
Mari kita lihat Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.
Jika kita melihat ayat sebelum dan sesudah ayat ini maka dengan sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud itu adalah istri-istri Nabi SAW
karena memang ayat sebelumnya ditujukan pada istri-istri Nabi SAW.
Pemahaman seperti ini dapat dibenarkan jika tidak ada dalil shahih yang
menjelaskan tentang ayat ini. Mari kita bahas.
Kita sepakat bahwa Al Quran diturunkan
secara berangsur-angsur, artinya tidak diturunkan sekaligus dalam bentuk
kitab yang utuh melainkan diturunkan sebagian-sebagian. Untuk
mengetahui kapan ayat-ayat Al Quran diturunkan kita harus merujuk kepada
Asbabun Nuzulnya. Tapi sayangnya tidak semua ayat Al Quran
terdapat asbabun nuzul yang shahih menjelaskan sebab turunnya.
Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat dalam al Quran dibagi menjadi
- Ayat Al Quran yang memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya. Maksudnya ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa atau tujuan tertentu. Hal ini diketahui dengan hadis asbabun nuzul yang shahih.
- Ayat Al Quran yang tidak memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya karena memang tidak ada asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan sebab turunnya
Lalu apa kaitannya dengan pembahasan
ini?. Ternyata terdapat asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan
turunnya penggalan terakhir surah Al Ahzab 33 yang lebih dikenal dengan sebutan Ayat Tathhir(ayat penyucian) yaitu penggalan
Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)
Yang arti atau terjemahannya adalah
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.
Ternyata banyak Hadis-hadis shahih dan jelas yang menyatakan bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33) turun sendiri terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya. Artinya ayat tersebut tidak terkait dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW. Ayat tersebut justru ditujukan untuk Pribadi-pribadi yang lain dan bukan istri-istri Nabi SAW. Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa yang seperti ini sama halnya dengan Mutilasi ayat, hal ini jelas tidak benar karena ayat yang dimaksud memang ditujukan untuk pribadi tertentu sesuai dengan asbabun nuzulnya.
- Cara yang pertama adalah dengan melihat ayat sebelum dan ayat sesudah dari ayat yang dimaksud, memahaminya secara keseluruhan dan baru kemudian menarik kesimpulan.
- Cara kedua adalah dengan melihat Asbabun Nuzul dari Ayat tersebut yang terdapat dalam hadis yang shahih tentang turunnya ayat tersebut.
Cara pertama yaitu dengan melihat urutan
ayat, jelas memiliki syarat bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan secara
bersamaan atau diturunkan berkaitan dengan individu-individu yang sama.
Dan untuk mengetahui hal ini jelas dengan melihat Asbabun Nuzul ayat
tersebut. Jadi sebenarnya baik cara pertama atau kedua sama-sama
memerlukan asbabun nuzul ayat tersebut. Seandainya terdapat dalil yang
shahih dari asbabun nuzul suatu ayat tentang siapa yang dituju dalam ayat tersebut maka hal ini jelas lebih diutamakan ketimbang melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya. Alasannya adalah ayat-ayat Al Quran tidaklah diturunkan secara bersamaan melainkan diturunkan berangsur-angsur. Oleh karenanya dalil shahih dari Asbabun Nuzul jelas lebih tepat menunjukkan siapa yang dituju dalam ayat tersebut.
Berbeda halnya apabila tidak ditemukan dalil shahih yang menjelaskan Asbabun Nuzul ayat tersebut. Maka dalam hal ini jelas lebih tepat dengan melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya untuk menangkap maksud kepada siapa ayat tersebut ditujukan.
Jadi ini bukan mutilasi ayat tapi memang ayatnya turun sendiri terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya dan
ditujukan untuk pribadi-pribadi tertentu. Hal ini berdasarkan
hadis-hadis yang menjelaskan Asbabun Nuzul Ayat Tathir, Hadis ini
memiliki derajat yang sahih dan dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah,
Ahmad, Al Tirmidzi, Al Bazzar, Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Hibban, Ibnu
Abi Hatim, Al Hakim, Ath Thabrani, Al Baihaqi dan Al Hafiz Al Hiskani. Berikut adalah hadis riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi.
Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah , lalu Nabi Muhammad SAW memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, lalu Rasulullah SAW menutupi mereka dengan kain sedang Ali bin Abi Thalib ada di belakang punggung Nabi SAW .Beliau SAW pun menutupinya dengan kain Kemudian Beliau bersabda” Allahumma( ya Allah ) mereka itu Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata,” Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW? . Beliau bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. (Hadis Sunan Tirmidzi no 3205 dan no 3871 dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).
Dari hadis ini dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut
- Bahwa ayat ini turun di rumah Ummu Salamah ra, dan terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya. Hadis itu menjelaskan bahwa yang turun itu hanya penggalan ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
- Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri oleh Nabi SAW melalui kata-kata Beliau SAW “Ya Allah, mereka adalah Ahlul BaitKu” Pernyataan ini ditujukan pada mereka yang diselimuti kain oleh Rasulullah SAW yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
- Ayat ini tidak ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW. Buktinya adalah Pertanyaan Ummu Salamah. Pertanyaan Ummu Salamah mengisyaratkan bahwa ayat itu tidak ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW, karena jika Ayat yang dimaksud memang turun untuk istri-istri Nabi SAW maka seyogyanya Ummu Salamah tidak perlu bertanya Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW?. Bukankah jika ayat tersebut turun mengikuti ayat sebelum maupun sesudahnya maka adalah jelas bagi Ummu Salamah bahwa Beliau ra selaku istri Nabi SAW juga dituju dalam ayat tersebut dan Beliau ra tidak akan bertanya kepada Rasulullah SAW. Adanya pertanyaan dari Ummu Salamah ra menyiratkan bahwa ayat ini benar-benar terpisah dari ayat yang khusus untuk Istri-istri Nabi SAW. Sekali lagi ditekankan kalau memang ayat itu jelas untuk istri-istri Nabi SAW maka Ummu Salamah ra tidak perlu bertanya lagi “Dan apakah aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”.
- Penolakan Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah, Beliau SAW bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. Hal ini menunjukkan Ummu Salamah selaku salah satu Istri Nabi SAW tidaklah bersama mereka Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini. Beliau Ummu Salamah ra mempunyai kedudukan tersendiri dan bukanlah Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat ini.
Kesimpulan dari hadis-hadis Asbabun nuzul ayat tathhir adalah Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 itu adalah
- Rasulullah SAW sendiri karena ayat itu turun untuk Beliau berdasarkan kata-kata Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW
- Mereka yang diselimuti kain oleh Rasulullah SAW dan dinyatakan bahwa mereka adalah Ahlul Bait Rasulullah SAW yang dimaksud yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
Terdapat beberapa ulama ahlus sunnah yang menyatakan bahwa ayat tathiir adalah khusus untuk Ahlul Kisa’ (Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as) yaitu
- Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitab Tafsir Ath Thabary juz I hal 50 ketika menafsirkan ayat ini beliau membatasi cakupan Ahlul Bait itu hanya pada diri Nabi SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan menyatakan bahwa ayat tersebut hanya untuk Mereka berlima (merujuk pada berbagai riwayat yang dikutip Thabari).
- Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitab Musykil Al Atsar juz I hal 332-339 setelah meriwayatkan berbagai hadis tentang ayat ini beliau menyatakan bahwa ayat tathiir ditujukan untuk Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan tidak ada lagi orang selain Mereka. Beliau juga menolak anggapan bahwa Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini adalah istri-istri Nabi SAW. Beliau menulis Maka kita mengerti bahwa pernyataan Allah dalam Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. (Al-Ahzab :33) ditujukan pada orang-orang yang khusus dituju olehNya untuk mengingatkan akan derajat Mereka yang tinggi dan para istri Rasulullah SAW hanyalah yang dituju pada bagian yang sebelumnya dari ayat itu yaitu sebelum ditujukan pada orang-orang tersebut”.
Mungkin
terdapat keraguan sehubungan dengan urutan ayat Al Ahzab 33, kalau
memang ayat tersebut hanya ditujukan untuk Ahlul Kisa’ kenapa ayat ini
terletak diantara ayat-ayat yang membicarakan tentang istri-istri Nabi.
Perlu ditekankan bahwa peletakan susunan ayat-ayat dalam Al Quran adalah
dari Nabi SAW dan juga diketahui bahwa ayat ayat Al Quran diturunkan
berangsur-angsur, pada dasarnya kita tidak akan menyelisihi urutan ayat
kecuali terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa ayat tersebut
turun sendiri dan tidak berkaitan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
Berikut akan diberikan contoh lain tentang ini, yaitu penggalan Al
Maidah ayat 3
“Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Ayat di atas adalah penggalan Al Maidah ayat 3 yang turun sendiri di arafah berdasarkan Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari no 4606 , Muslim dalam Shahih Muslim, no 3017 tidak terkait dengan ayat sebelum maupun sesudahnya yang berbicara tentang makanan yang halal dan haram.
Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, ‘Orang Yahudi berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya kamu membaca ayat yang jika berhubungan kepada kami, maka kami jadikan hari itu sebagai hari besar’. Maka Umar berkata, ‘Sesungguhnya saya lebih mengetahui dimana ayat tersebut turun dan dimanakah Rasulullah SAW ketika ayat tersebut diturunkan kepadanya, yaitu diturunkan pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan Rasulullah SAW berada di Arafah. Sufyan berkata: “Saya ragu, apakah hari tsb hari Jum’at atau bukan (dan ayat yang dimaksud tersebut) adalah “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (H.R.Muslim, kitab At-Tafsir)
.
.
Makna Ayat Tathir
Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)
Innama
Setelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.
Setelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.
Yuridullah
Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut
Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut
“Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadaNya ‘Jadilah ‘maka terjadilah ia”(QS Yasin :82)
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apanila Kami menghendakinya,Kami hanya berkata kepadanya ‘Jadilah’maka jadilah ia”(QS An Nahl :40)
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”(QS Hud:107)
Sedangkan yang dimaksud Iradah tasyri’iyah adalah
Iradah Allah SWT yang terkait dengan penetapan hukum syariat bagi
hamba-hambanya agar melaksanakannya dengan ikhtiar mereka sendiri. Dalam
hal ini iradah Allah SWT adalah penetapan syariat adapun pelaksanaannya
oleh hamba adalah salah satu tujuan penetapan syariat itu, oleh
karenanya terkadang tujuan itu terealisasi dan terkadang tidak sesuai
dengan pilihan hamba itu sendiri apakah mematuhi syariat yang telah
ditetapkan Allah SWT atau melanggarnya. Contoh iradah ini dapat dilihat
pada ayat berikut
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)bulan ramadhan,bulan yang didalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang haq dan yang bathil).Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Baqarah :185).
“Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat,maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku dan sapulah kepalamu dan kakimusampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air,maka bertanyamumlah dengan tanah yang baik(bersih) sapulah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Maidah : 6)
Iradah dalam Al Baqarah 185 adalah berkaitan dengan syariat Allah tentang puasa dimana aturan-aturan yang ditetapkan Allah itu adalah untuk memudahkan manusia dalam melaksanakannya,sehingga iradah ini akan terwujud pada orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak mau berpuasa jelas tidak ada hubungannya dengan iradah ini. Begitu juga Iradah dalam Al Maidah ayat 6 dimana Allah hendak membersihkan manusia dan menyempurnakan nikmatnya bagi manusia supaya manusia bersyukur, iradah ini jelas terkait dengan syariat wudhu dan tanyamum yang Allah tetapkan oleh karenanya iradah ini akan terwujud bagi orang yang bersuci sebelum sholat dengan wudhu dan tanyamum dan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak bersuci baik dengan wudhu atau tanyamum. Dan perlu ditekankan bahwa iradah tasyri’iyah ini ditujukan pada semua umat muslim yang melaksanakan syariat Allah SWT tersebut termasuk dalam hal ini Ahlul Bait as.
Iradah dalam Ayat tathhiir adalah iradah takwiniyah dan bukan iradah tasyri’iyah
artinya tidak terkait dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan,
tetapi iradah ini bersifat niscya atau pasti terjadi. Hal ini
berdasarkan alasan-alasan berikut
- Penggunaan lafal Innama yang bermakna hashr atau pembatasan menunjukkan arti bahwa Allah tidak berkehendak untuk menghilangkan rijs dengan bentuk seperti itu kecuali dari Ahlul Bait, atau dengan kata lain kehendak penyucian ini terbatas hanya pada pribadi yang disebut Ahlul Bait dalam ayat ini.
- Berdasarkan asbabun nuzulnya ayat ini seperti dalam hadis riwayat Turmudzi di atas tidak ada penjelasan bahwa iradah ini berkaitan dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan.
- Allah memberi penekanan khusus setelah kata kerja liyudzhiba(menghilangkan) dengan firmannya wa yuthahhirakum tathiira. Dan kata kerja kedua ini wa yuthahhirakum(menyucikanmu) dikuatkan dengan mashdar tathiira(sesuci-sucinya)yang mengakhiri ayat tersebut. Penekanan khusus ini merupakan salah satu petunjuk bahwa iradah Allah ini adalah iradah takwiniyah.
Li yudzhiba ‘An kumurrijsa Ahlal bait
Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.
Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.
Ar Rijs
Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.
Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.
“Sesungguhny,a (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan setan” (QS Al Maidah: 90).
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).
“Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).
“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95).
“Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).
Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs
adalah segala hal bisa dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji,
najis yang tidak diridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT.
Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis,
“… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.
Kemudian ia melanjutkan,
“Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.
Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath
Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bagaian yang lain)
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata,
“Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, karena ia memuat mutiara keutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”
Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa
kesalahan adalah rijs, oleh karena itu kesalahan tidak mungkin ada pada Ahlul Bait.
Semua penjelasan diatas menyimpulkan
bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak
untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan
yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak
ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi. Selain itu penyucian ini
tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini
sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan kata lain Ahlul
Bait dalam ayat ini adalah pribadi-pribadi yang dijaga dan dihindarkan
oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs. Jadi tampak jelas sekali bahwa
ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait
yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam
Hasan as dan Imam Husain as. Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka
Ahlul Bait senantiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan senantiasa
berada dalam kebenaran. Oleh karenanya tepat sekali kalau mereka adalah
salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW
sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.
.
.
Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Hadis Rasulullah SAW
Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).
Hadis-hadis Shahih dari Rasulullah SAW
menjelaskan bahwa mereka Ahlul Bait AS adalah pedoman bagi umat Islam
selain Al Quranul Karim. Mereka Ahlul Bait senantiasa bersama Al Quran
dan senantiasa bersama kebenaran.
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)
Hadis ini menjelaskan bahwa manusia termasuk sahabat Nabi diharuskan berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Ahlul
Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri dalam Hadis Sunan Tirmidzi di
atas atau Hadis Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam
Hasan AS dan Imam Husain AS.
Selain itu ada juga hadis
Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal,jika tidak maka aku adalah Abu Dzar.Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh, barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).
Hadis ini menjelaskan bahwa Ahlul Bait
seperti bahtera Nuh dimana yang menaikinya akan selamat dan yang tidak
mengikutinya akan tenggelam. Mereka Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah
pemberi petunjuk keselamatan dari perpecahan.
Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan.Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan.Maka apabila ada kabilah arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”.
(Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).
Begitu besarnya kemuliaan Ahlul Bait
Rasulullah SAW ini membuat mereka jelas tidak bisa dibandingkan dengan
sahabat-sahabat Nabi ra. Tidak benar jika dikatakan bahwa Ahlul Bait
sama halnya sahabat-sahabat Nabi ra sama-sama memiliki keutamaan yang besar karena jelas sekali berdasarkan dalil shahih di atas bahwa Ahlul Bait kedudukannya lebih tinggi karena Mereka adalah tempat rujukan bagi para sahabat Nabi setelah Rasulullah SAW meninggal. Jadi
tidak tepat kalau dikatakan Ahlul Bait juga bisa salah, atau sahabat
Nabi bisa mengajari Ahlul Bait atau Menyalahkan Ahlul Bait. Sekali lagi,
Al Quran dan Hadis di atas sangat jelas menunjukkan bahwa mereka Ahlul
Bait akan selalu bersama kebenaran oleh karenanya Rasulullah SAW
memerintahkan umatnya(termasuk sahabat-sahabat Beliau SAW) untuk
berpegang teguh dengan Mereka Ahlul Bait.
apakah itu relevan?
coba pahami lagi mas..masak ahlu bait gak bisa salah? rasanya berlebihan.. itu ayat ttg keutamaan saja…
apa maksudnya relevan?
jelas sekali kok
kalau begitu yang benar gimana
jangan pakai rasanya? agama itu gak pakai rasa merasa tapi pakai dalil
jangan jadikan prasangka sebagai hujjah
Lagi pula coba jelaskan keutamaan seperti apa yang anda maksud
Jadi maaf, Mas dulu yang pahami tulisan saya dengan baik baru komentar
Kalau sudah dan masih tetap tidak setuju, nah tunjukkan yang mana yang benar menurut anda
Bisa dibahas kok.
Lebih baik dari sekedar merasa-rasa.
Maaf jangan jadikan prasangka anda sebagai hujjah, kan tulisan saya cuma memaparkan dalil
kalau ada yang salah lebih baik tunjukkan
jangan komen yang nggak jelas
Kalau anda membaca dengan baik
maka yang mensucikan itu adalah Allah SWT dalam Al Quran
jadi gak ada artinya ucapan anda karena anda sok menilai
Padahal Allah SWT lebih tahu siapa ahlul bait
Maaf Mas komen anda itu gak perlu dikait-kaitkan dengan Syiah
seolah setiap yang bicara dan memuliakan Ahlul Bait dianggap Syiah
Salam
apa lagi nihhhhhhh, bingung aku, bahas apaan dong,
kata anda
maka yang mensucikan itu adalah Allah SWT dalam Al Quran
jadi gak ada artinya ucapan anda karena anda sok menilai
Padahal Allah SWT lebih tahu siapa ahlul bait
jawab saya apa ini terjemahan yang tidak butuh penafsiran atau terjemahan yang butuh penafsiran ?????
bandingkan dengan
ayat ini mas
AYAT TASYBIH ( tau kan )
Sebagaimana makna Istiwa, yg sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,
coba klo kita gak pake penafsiran ????? apa jadinya penafsiran kita ini ????
kata anda
Maaf Mas komen anda itu gak perlu dikait-kaitkan dengan Syiah
seolah setiap yang bicara dan memuliakan Ahlul Bait dianggap Syiah
jawab saya
memang benar, saya lohhh punya guru keturunan ahlul bait, tapi gak ada tuh salah satunya pernah meriwayatkan bahwa Sahabat Utama ( Abubakar, Umar, Utsman,Ali ) saling hidup tidak harmonis
Maaf ya kalau tidak mengerti
Tulisan saya di atas jelas kok
kalau memang ada yang tidak benar saya bersedia ditunjukkan kesalahannya
Silakan tunjukkan
Atau penafsiran yang mana yang benar menurut anda
Saya maklum kok, bahkan Hadis Tsaqalain yang begitu jelas saja, saya dan anda beda memahaminya
Ah iya, saya kan mengundang anda membahas Hadis Tsaqalain dalam tulisan-tulisan saya tentang Hadis Tsaqalain, Silakan Mas saya tunggu lho
Mas ini kenapa punya kebiasaan komentar gak ke fokus isi tulisannya tapi merambat yang lain-lain
Jangan berpikir secara analogis, gak selalu valid kok
Karena perandaian itu kan relatif tiap orang
Nah bahas saja langsung tulisannya
Gak perlu diumbar-umbar terus, saya udah tahu kok
Sayangnya ilmu kan tidak terbatas pada apa yang ada pada guru anda
Salam
aku gak merembet, tapi cuma cari pembanding, biar gak hanya satu pemahaman aja mas, klo menafsirkan kitab janganlah hanya bermodalkan terjemahan mas, baca riwayatnya, itu yang saya rangkum dalam pemahaman ayat TASYBIH,
memang ilmu itu tidak terbatas, wong Ilmu itu milik Allah, mahluk paling durhaka saja memiliki ilmu untuk menjerumuskan anak Adam, ilmu memang tidak terbatas kepada seseorang, tetapi jikalau pendapat seseorang itu bertentangan dengan pendapat orang banyak yang benar maka …………………….
ok saya lagi mikir, masalah ( seingat saya bukan hadist tsaqalain ) tapi hadist bukhari ok saya akan cari tulisan sampean dulu
Ilmu tanpa sanad …………………. boong mas
sanan dalam ilmu itu penting mas
Terimaksih masukannya
Sebelum melakukan pembahasan saya sudah mempelajari bagaimana pendapat dan penafsiran yang lain
Rasanya yang perlu dihilangkan itu persepsi kalau terjemahan selalu tidak benar. Seharusnya jika anda berpikir ada masalah pada terjemahannya maka andalah yang harus tunjukkan. Kalau cuma berkata seperti ini kan kesannya cuma menggertak atau menakutin orang, kayak kata-kata “hati-hati lho ntar salah”.
Anda juga kenapa tidak memeriksa analogi anda sendiri
Ayat Tasybih memang jelas mutasyabih tetapi kalau tulisan saya di atas apa buktinya itu ayat mutasyabih wah bukannya itu ayat muhkamat, jelas sekali
intinya yang benar kan,
masalahnya benar atau tidak gak mesti sejalan dengan pendapat orang banyak
Untuk menilai yang mana yang benar selalu dengan dalil kan, jadi gak ada masalah
Silakan berpikir dan mencari
wah hebat katamu, aku salut. pas seperti kitab sucimu ya, siapapun yang membantu Nabi adalah kebaikan dan kebenaran , bagitu kah ?????? hebat. akhirnya kita kepakat barang siapa yang membantu perjuangan Nabi dari 0 s/d sekarang adalah kebaikan dan kebenaran ………… tak terima mas
saya semakin bingung melihat komentar2 yang seperti ini. maksudnya apa, ya?
apakah anda ingin mengatakan bahwa ahlul bait itu “infallible” atau “inerrant”? apakah dengan demikian mereka menjadi “teks” yang paling legal dan “autoritatif” setelah al-Qur’an dan Nabi untuk memahami Kebenaran? apakah ini sebentuk ekstensifikasi dari infallibilitas al-Qur’an dalam pengertian bahwa “the true Islam” adalah penafsiran dan jalan pikiran/persepsi ahlul bait? sekalipun iya, para penafsir teks ahlul bait pun belum tentu “infallible” dan luput dari konteks di mana mereka hidup. untuk diskusi iseng bolehlah, tetapi kesimpulan anda bahwa ahlul bait “tidak bisa salah” itu gak relevan dan gak signifikan. tentunya tafsir anda hanyalah salah satu dari beragam penafsiran dari ayat yang anda bahas. gak usah bawa2 Allah-lah. intinya di kata “rijs”. menurut gue sih, cakupan pengertian yang anda maksud atas kata tersebut, meski mengutip ayat lain dan hadist, terlalu berlebihan. kata yang sama dalam dua kalimat yang berbeda tidak selalu memiliki muatan semantik yang sama juga.
Maaf, Mas kurang menyimak kata-kata saya
“Membantu Nabi SAW adalah kebaikan dan kebenaran”
Beda kan dengan yang Mas maksud, baca pelan-pelan deh
@rhuseinh
sama Mas
@gentole
saya sudah katakan bahwa Ahlul Bait selalu dalam kebenaran karena Mereka adalah sumber rujukan agar tidak sesat, begitu yang dikatakan Rasulullah SAW
Benar, dan saya tidak keberatan dengan itu. Begitulah yang dikatakan Rasulullah SAW Mas
Islam yang benar adalah Yang taat pada Allah SWT dan RasulNya Mas
begitu juga Al Quran, walaupun pasti Al Quran sendiri bersifat pasti benar tetap banyak sekali penfasiran yang muncul. Dan banyaknya penafsiran itu sendiri tidak berpengaruh papub pada kelayakan Al Quran sebagai sumber rujukan.
Gak iseng kok, saya tidak memasukkan tulisan ini dalam kategori iseng. Maaf gak relevan dan gak signifikan itu berdasarkan apa. Saya membahas ini berdasarkan dalil Mas
Kata-kata anda jelas tertuju pada semua bentuk tafsir,termasuk yang benar. Jadi yang seharusnya adalah menelaah tafsir mana yang benar atau lebih benar.
Bagaimana bisa tidak dibawa, Ayatnya sendiri jelas kok kalau Allah SWT yang menyucikan
kalau menurut anda begitu ya terserah, tetapi ayat dan hadis yang bawa saya cukup relevan
soal muatan semantik, sayangnya kata yang sama juga bisa memiliki muatan semantik yang sama
daripada meributkan kemungkinan, coba Mas tunjukkan kata rijs di ayat tersebut bagaimana muatan semantiknya, menurut Mas tentu.
Salam
klo selalu dalam kebenaran jadi tidak pernah melakukan kesalahan ????????
gitu ta ……………………..
ini saya mau kembalikan kepada tsaqalain lohhhh, klo sampean mbulet …………
hadist yang di sarikan albanni mengatakan bahwa bunda Fatima marah, dan tidak menyapa sahabat umar selama 6 bulan, nah masak perbuatan Bunda Fatimah bertentangan dengan apa yang disampaikan abahnya ( tentang larangan tidak bertegur sapa lebih dari tiga hari ) apa pantas marah selama 6 bulan ………….. nah ini yang saya maksut dengan makna mas ………, saya setuju marah itu sifat, dan bukan pemarah, tapi menyandarkan 6 bulan tidak bertegur sapa itu yang saya agak bingung, katanya selalu dalam kebenaran, tapi kenapa masih ngotot diartikan 6 bulan tidak bertegur sapa …………………… gak usah bingung mas ngomong sama saya ………. wong sampean kan orang pintar
@ rhuseinh
gak perlu bingung, coba pikir pake …………. biar jelas ok
waduh harus pake dalil yah kalo ngomong di sini? hehehehe…serem nih kalo udah disekak “mana dalilnya?” oke, gue bukan muhaditsin dan menganggap studi rijalul hadist itu sedikit menggelikan: can we judge people’s hearts and minds? anyway, your argument is far from convincing and it maybe pointless.
kata ahlul bait atau “people of the house” itu istilah umum. nabi dan al-Qur’an menggunakannya dalam berbagai konteks yang berbeda, bisa ahlul bait khusus hajrat ali-fatimah, ahlul bait dalam pengertian istri2 nabi dan ahlul bait yang juga termasuk sahabat, misalnya salman. kalo diliat dari narasi (bangunan tema) ayat yang dimaksud, kata ahlul bait itu termasuk istri2 nabi dan penggunaan kata “kum” tidak berarti menafikan istri2 nabi, karena kata ganti “kum” bisa meliputi fenimin-maskulin. pemahaman itu jauh lebih koheren kalo kita liat berdasarkan narasi al-Qur’an yang disetujui sebagai sebuah kanon yang “paling benar”. riwayat yang anda kutip itu juga masih harus ditafsirkan secara implisit dan, gue bukannya inkaru sunnah, tetapi tidak cukup kuat untuk “memenggal” kalimat di ayat itu, dan memaknainya dalam konteks yang sangat berbeda. infallibilitas teks al-Qur’an aja gue mash ragu, apalagi hadist yang anda kutip. hehehe sori…so “rijs” dalam ayat itu muatan semantiknya, mengutip Yusuf Ali, adalah “abomination”, “repugnance”, “loathing”, “revulsion”, “abhorrence”, “detestation”, “disgust.”
ahlul bait infallible? bahkan muhammad itu gak “infallible”, maksudnya beliau masih manusia biasa yang bisa salah dan dikoreksi oleh Tuhan melalui wahyu yang dibawa jibril. bahkan nabi daud pernah berzinah dan memunuh, nabi yunus dan nabi ayub pun begitu: pernah salah dan dikoreksi oleh Tuhan. penalaran di atas jauh lebih pasti dan koheren, ketimbang takwil dan pertalian makna yang rapuh antara ayat yang lo kutip dengan ayat2 lain dan riwayat umar bin abu salamah. terlalu “elusive” untuk dijadikan dogma…sama kaya umat nasrani yang menerjemahkan Yesus sebagai Logos/Firman yang mendaging, dan dengan demikian ia ilahi dan Mary itu “immaculate”. kata infallible, inerrant, immaculate, gak pernah salah dan suci/tak ternoda itu terlalu abstrak untuk dimengerti, apalagi dijadikan pondasi epistemologi suatu agama. it’s just way too far man…
gak relevan dan signifikan? sekalipun kesimpulan anda benar, itu tidak merubah apa2. sumber pengetahuan untuk memahami Kebenaran tidak bisa dibatasi oleh apapun, baik oleh ahlul bait dan sahabat sekalipun. well, bahkan al-Qur’an sekalipun. dunia saat ini adalah jejaring makna yang saling bertautan. ahlul bait gudang ilmu, tapi aisah, meski tabiatnya begitu, juga banyak ilmu. ja’far shidiq dan at-Tabari punya kontribusinya masing2. lo juga secondprince…hehehe. anyway, mengutip hadist orang sunni untuk mengklaim infallibility ahlul bait itu juga ridiculous karena garis perawi riwayat itu bukan orang2 yang “infallible”. BAGAIMANA MUNGKIN MENGKLAIM KEMAKSUMAN SESORANG BERDASARKAN LAPORAN ORANG-ORANG YANG “BISA AJA SALAH”?
eh sori. gue cuma komentar dan gue orang awam, gak tau banyak soal syi’ah maupun sunni. gue juga gak melihat pemisahan itu satu masalah, secara teologis maupun politis. gue gak bermaksud offending elo dan pendapat gue mungkin aja ngawur banget, dan lo mungkin yang bener. hehehehe…makumlah sumber gue internet, bukan kitab-kitab di al-azhar atau qum.
salam
ah kenapa sih pake nama ini,
Nah Mas mari mikirnya begini
Dalam posisi saya, Sayyidah Fatimah jelas benar dalam masalah Fadak, kemarahannya menunjukkan bahwa beliau berbeda pendapat dengan Abu Bakar RA.
Dalam hal ini menurut saya Abu Bakar RA keliru dan seharusnya dia menyerahkan fadak kepada Sayyidah Fatimah apalagi setelah beliau RA tahu Sayyidah Fatimah marah. Bukankah beliau RA juga mendengar hadis kemarahan sayyidah Fatimah adalah kemarahan Rasulullah SAW. Paling tidak Abu Bakar RA seharusnya bertanya kepada Sayyidah Fatimah bagaimana sebenarnya hadis yang dia bawa itu
Sayangnya Abu Bakar RA tidak melakukan itu semua, beliau tetap bersikukuh pada pandangannya
Oleh karena itu Sayyidah Fatimah juga tetap bersikukuh pada pandangannya
Seandainya Sayyidah Fatimah berdamai dengan Abu Bakar RA dalam masalah ini maka itu menunjukkan Sayyidah Fatimah setuju dengan keputusan Abu Bakar
Kenyataannya Sayyidah Fatimah tetap tidak setuju dengan keputusan Abu Bakar RA
jadi sikap Sayyidah Fatimah menunjukkan pendiriannya
Dalam hal ini sekali lagi Abu Bakar RA lah yang sebaiknya menyerahkan Fadak kepada Sayyidah Fatimah untuk meredakan Sikap Sayyidah Fatimah AS itu
Sebenarnya ada yang menarik dari asumsi anda itu. Adalah tidak mungkin Sayyidah Fatimah tidak mengetahui hadis yang soal marah 3 hari, itu menurut anda kan
Tapi sayangnya anda malah setuju bahwa Sayyidah fatimah tidak mengetahui hadis yang dibawa Abu Bakar RA
Aneh, kalau menurut saya
Bagi saya jelas bahwa jika Sayyidah Fatimah RA adalah salah satu Tsaqalain maka selayaknya Abu Bakar RA merujuk kepada Beliau AS dalam msalah Fadak
Jadi Mas marah dalam kebenaran itu akan berlangsung terus sampai kebenaran itu ditegakkan, artinya tidak berdamai dengan kesalahan sampai kesalahan itu dikoreksi
Setidaknya itu pandangan saya
Salam
@gentole
Kalau soal ngomong sih bebas disini, tetapi kalau mau berbenturan tesis dan antitesis saya pikir sih perlu dengan dalil. Soal Rijal hadis, itu tergantung dengan persepsi. kalau bagi anda menggelikan
maka ya begitulah agama ditegakkan dengan cara yang menggelikan
Sepertinya Mas terjebak dengan kepastian dan metode
Metode memungkinkan kita memilah dan memandang sesuatu dengan cara yang lebih baik. Singkatnya sih itu jalan untuk mencari kepastian
Tidak ada yang pasti di dunia ini, itu tergantung persepsi anda soal kepastian.
Nah Mas, pernyataan anda ini itu berasal dari mana? apakah anda pernah membaca Ayatnya atau hadisnya. saya rasa begitu kan
Dalam hal ini saya sepakat, konteksnya bisa beda makanya saya merujuk kepada riwayat yang menerangkannya kata Ahlul bait dalam ayat ini
Saya setuju kalau tidak ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa ayat yang dimaksud turun sendiri
Jika anda tetap berpegang pada koherensi ayat dan mengabaikan banyak hadis yang menjelaskan ayat ini maka itu akan menjadi rancu sekali.
Pernyataan tidak cukup kuat jelas sekali dipengaruhi prakonsepsi anda bahwa ayat itu turun berurutan
sayangnya hadis shahih lah yang menyatakan ayat tersebut turun sendiri
saya ingin Mas bahas poin ini saja dari tulisan saya
Kalau yang begini sih saya heran dengan apa yang anda yakini
dari awal kan anda sepertinya berhujjah dengan ayat Al Quran dan hadis soal sahabat Salman RA
Kalau anda sendiri ragu maka anda meragukan sesuatu dengan dasar yang meragukan juga.
Begitukah? atau saya salah persepsi
Sayangnya saya tidak sependapat dengan ini, coba Mas tunjukkan apa dasar Mas soal ini. Para Nabi jelas dijaga oleh Allah SWT(coba Mas tunjukkan satu-satu dasar atau dalil yang menunjukkan kesalahan Nabi Muhammad SAW, Nabi Daud, Nabi Yunus, dan Nabi Ayub). Konsep keterjagaan itu yang saya sebut Selalu dalam kebenaran
Sayangnya bagi saya penalaran itu tidak pasti atau rapuh karena maaf anda juga tidak mencantumkan dari mana anda mengetahui itu.
Jadi ya bagi saya apa yang anda katakan juga dogma
Bedanya anda belum menampilkan dasar yang kuat untuk dogma yan ganda sampaikan
Konsep manusia sempurna atau yang selalu dalam kebenaran jelas merupakan fondasi kuat dalam epistemologi agama
Karena begitulah selayaknya sumber rujukan
jika suatu rujukan mengandung kesalahan maka kesalahan itu akan dirujuk oleh yang merujuk dan dipandang sebagai kebenaran
Lagipula saya tidak keberatan dengan kesucian Nabi Isa AS, Beliau sebagai seorang Nabi jelas dijaga oleh Allah SWT.
Disini terjadi sedikit misinterpretasi, saya tidak pernah membatasi sumber kebenaran
Karena kebenaran bisa diambil dari mana saja
Yang saya tekankan ada sumber kebenaran yang layak dijadikan rujukan dan dijadikan pegangan dalam agama Islam
Saya tidak menafikan itu, tetapi satu hal anda tidak bisa menyamakan mereka semua, Ilmu bisa diambil dari mana saja asalkan benar tetapi sebuah ketetapan sumber rujukan tetap tidak bisa diragukan
Pembicaraan ini adalah soal metode, Mas begini saya bahkan bisa memuntahkan semua apa yang anda yakini pada klaim yang Mas sebutkan
bagaimana bisa kita meyakini apa yang ada dalam agama berdasarkan laporan dari orang-orang yang bisa salah?bahkan Mas meragukan Nabi SAW sendiri
maaf kalau saya salah persepsi
Sekali lagi yang terakhir itu jelas bukan masalah pada tulisan saya saja, tetapi masalah bagi tulisan siapapun soal agama Islam bahkan mungkin keyakinan Mas sendiri
Btw, saya gak baca kitab-kitab Al Azhar dan Qum
Salam
anda bilang:
“Sepertinya Mas terjebak dengan kepastian dan metode
Metode memungkinkan kita memilah dan memandang sesuatu dengan cara yang lebih baik.”
iyah, makanya saya kritik metode anda. metode yang bermasalah melahirkan kesimpulan yang bermasalah juga. oke, saya tidak ingin membahas kelemahan metode hadist di sini, apalagi sebagaimana diimani oleh pengikut salafy: yakni bahwa tidak mungkin orang rame3 berbohong ketika melaporkan sesuatu. (persepsi salafy itu tampaknya, ini persepsi saya loh, juga anda imani sebagai absolut). metode saya dua: rasionalisme dan hermeneutika.
anda bilang:
Nah Mas, pernyataan anda ini itu berasal dari mana?
hehehe dari hadist2 yang diupload di internet. yah memang susah untuk diverifikasi. saya hanya melihatnya masih sebagai fakta bahasa, belum sebagai fakta historis. saya mencantumkan itu memberi ruang yang lebih luas pada penafsiran kata “ahlul bait” dalam ayat yang kita bahas. meninjam teori falsifikasi karl popper, “kalo anda menemukan angsa hitam, berarti pernyataan anda bahwa bebek itu hanya dan semuanya berwarna putih salah.”
kalo anda menggunakan analisa ilmu linguistik mazhab strukturalis, kata “ahlul bait” pada masa nabi itu dimengerti sebagai “anggota keluarga (bisa lewat darah atau karena tinggal serumah atau karena penghormatan).” it’s a common word. oke, menurut anda, hadist dari ummu salama, mengkhususkannya.
oke katakanlah hadist itu sahih dan faktual, meskipun sahih muslim menyandarkan hadist itu pada aishah yang menurut pandangan kaum shiah adalah pembohong dan karena itu hadist juga bermasalah. hehehe…tapi emang imam ahmad meriwayatkannya lewat ummu salama, dan hadist itu menjadi lumayan “reliable” karena ummu salama terlibat dan saksi mata. tetapi, kenapa ali bin abi thalib tidak meriwayatkannya? bukankah riwayat yang sangat penting karena menyangkut “sumber rujukan paling otoritatif” setelah al-Qur’an.
terlepas dari kesahihan hadist itu (God knows the truth), kerancuan penggunaan hadist ini adalah hadist ini mensubordinasikan ayat yang kita bahas. tanpa hadist itu, kata ahlul bait di ayat itu sangat bersifat umum, sama sekali tidak menyebut hajratul ali. saya tidak mengatakan bahwa ayat itu turun berurutan, tetapi penempatan ayat2 itu secara berurutan dalam al-Qur’an itu diasumsikan sebagai “divinely” ordained. ada maksud kenapa penggalan firman itu ditempatkan narasi al-Ahzab 32-33. apakah dengan demikian penempatan firman Tuhan dalam 36 jus, 114 surat dan 6000 sekian ayat itu “asal-asalan?” hadist itu, dan pemahaman anda, membuat narasi al-ahzab 32-33 menjadi “meaningless” and gak guna. mana yang lebih rancu?
pengertian “rijs” itu baik dari ayat yang dibahas dan hadist ummu salama itu lebih bersifat kesucian secara moral ketimbang intelektual. ahlul bait bisa melakukan fallacy dalam berpikir. pemahaman ini lebih rasional dan juga lebih “sound” juga secara hermeneutis.
soal nabi bisa salah. oke jangan debatin pernyataan gue yang ini yah. nabi bermuka masam dan ditegur, nabi pernah bilang salman kalo ahli kitab masuk neraka, dan diturunkan ayat yang mengatakan “shabiin, yahudi, nasrani” juga bisa mendapatkan pahala dari allah, nabi pernah meragukan aisah. daud berzinah dengan queen of sheeba dan membunuh suaminya, ayub pernah meragukan tuhan ketika dikasih ujian..duh nanti ini diverifikasi lagi sumbernya.
menjadikan ahlul baik sebagai sumber dan memuliakan mereka itu okelah. tapi mengatakan mereka tak bisa salah dan maksum itu way too far man. soal nabi isa beda konteksnya. dibahas di lain tempat aja.
skeptisisme itu keyakinan dan masalah saya. rasionalisme (sejarah dan ilmu bahasa) serta hermeneutika adalah metode saya mengatasi skepitisisme itu. saya hanya ingin menekankan rapuhnya asumsi-asumsi yang anda pegang dan kesimpulan anda yang terlalu prematur, sangat prematur dan rapuh, untuk SEORANG ANALIS KEBENARAN. reigion is not a fairytale.
wallahu a’lam bi ash-shawwaab
Salam.
eh, bung, sori yah tulisannya berantakan. nulisnya buru2 tadi.
setahu saya selain aspek leksikal dan konteks, hermeneutika juga tidak mengesampingkan aspek historis/kultural. terlepas dari kritik anda mengenai metode dan penarikan kesimpulan penulis yang ‘prematur’, saya rasa akan lebih menarik lagi jika anda mengajukan hujjah sesuai apa yang anda anggap benar menurut menurut metode anda, rasionalisme dan hermeneutika.
eh, kalau tidak salah hermeneutika juga memandang penting subjek (penyampai/penerjemah/penafsir) selain juga objek (teks/alqur’an/hadits)? tentunya
saya susun lagi pertanyaan anda tersebut menjadi pernyataan: adalah tidak masuk akal jika suatu riwayat yang sedemikian pentingnya justru tidak diriwayatkan oleh ali bin abi thalib sendiri.. apa benar itu yang anda maksudkan?
akan sulit membahas sesuatu jika anda membatasi orang untuk tidak mendebat pernyataan anda. apa yang anda sebutkan di atas bisa dibahas/didebat walaupun menurut saya permasalahan tersebut bisa menjadi beberapa pokok bahasan tersendiri yang bisa menjadi diskusi yang tak kalah menariknya.
saya jadi kurang paham mengenai tujuan anda menyampaikan itu di sini jika anda sendiri memandang itu tidak perlu didebat.
apa tidak sebaiknya kita konsentrasi kepada hal-hal seperti maksud redaksi/susunan alqur’an dan fallacy menggunakan hadits untuk menjelaskan/memisahkan suatu ayat dari ayat sebelum dan sesudahnya serta makna kata ‘rijs’ yang dipandang berbeda oleh anda dan penulis yang mengakibatkan berbedanya pandangan anda dan penulis mengenai infallibility ahlulbayt?
bukankah itu yang ingin anda koreksi dari tulisan ini?
akan semakin membingungkan jika anda membantah sesuatu dengan mengemukakan apa yang anda tidak yakini sebagai kebenaran.
eh, al-qur’an kok gue tulis 36 jus? hahaha…maklum jarang baca qur’an. eh kalo tidak keberatan, saya hendak mengomentari pernyataan anda bahwa, “Tidak benar jika dikatakan bahwa Ahlul Bait sama halnya sahabat-sahabat Nabi ra sama-sama memiliki keutamaan yang besar karena jelas sekali berdasarkan dalil shahih di atas bahwa Ahlul Bait kedudukannya lebih tinggi karena Mereka adalah tempat rujukan bagi para sahabat Nabi setelah Rasulullah SAW meninggal.” Jadi tidak tepat kalau dikatakan Ahlul Bait juga bisa salah, atau sahabat Nabi bisa mengajari Ahlul Bait atau Menyalahkan Ahlul Bait.
saya akan gunakan pendekatan teologis
anda pasti mengenal istilah “theodicy”, yakni asas keadilan Tuhan. Kalo berbicara teologi, Tuhan harus adil karena ia sumber Kebenaran, sementara Keadilan adalah juga Kebenaran. Dalam sejarah pewahyuan, Nabi2 tidak semuanya tegar, pintar dalam segala hal dan “selalu benar.” Benar nabi dijaga, tetapi nabi juga manusia yang tidak tau dan dibuat tahu. Mereka salah dan mereka dikoreksi, mereka ragu dan mereka diyakinkan dan dibujuk, mereka takut dan mereka ditenangkan. “lanufariku baina ahadim mirusulih,” kata l-Qur’an yang saya pahami sebagai ajaran agar kita tidak membeda2kan di antara para nabi, siapa yang lebih utama dan siapa yang tidak. ADIL bukan?
nabi2 memang memiliki kelebihan dalam pengertian bahwa mereka dibimbing untuk tetap dalam kebenaran. kita lihat keluhan/keputusasaan ayub: “Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku.” nabi ayub, tentu, adalah prototip manusia universal. dalam sirah nabawi, bisa kita lihat muhammad tidak akan bisa bertahan (ia tertekan, ia tergesa-gesa) tanpa jibril yang membawa Firman untuk membimbing dan menguatkan hatinya ketika ia berada dalam situasi sulit saat berhadapan dgn orang2 kafir mekkah. yunus pun putus asa setelah gagal menyeru kaumnya dan ditelan ikan paus sebagai teguran dr Tuhan. lihat adam dan hawa yang tergoda oleh setan dan diusir dari “jannah”!! bahkan yesus yang adalah kristus/yang diurapi/yang disucikan Tuhan sebagai Firman/Injil/Gospel yang mendaging dalam tubuh yesus dari nazaret hanyalah manusia biasa yang bisa marah (di bait allah) dan bahkan putus asa ketika ia mengatakan, “eli, eli lama sabakhtani!!” di kayu salib (maafkan pemahaman saya tentang penyaliban). konsep taubat/repentance dan istigfar, yang dilakukan oleh rasul untuk dicontoh umat manusia, jelas membantah teori manusia itu bisa maksum/infallible. [anda bisa google internet atau buka al-Kitab dan al-Qur'an untuk mencari dalil2 dari cerita2 kenabian yang saya sebutkan, atau baca buku terbaru/terakhir Karen Armstrong tentang Muhammad (2006), terlalu populer yah?]
umat manusia termasuk para nabi punya hakikat yang sama: bisa salah, baik secara moral maupun intelektual. para nabi berbeda karena ia selalu dibimbing melalui wahyu. apakah setelah Muhammad ada lagi manusia yang dibimbing oleh wahyu? apakah hajratul ali selalu dibimbing oleh Tuhan atau lebih mulia dari nabi-nabi karena selalu terjaga dan Selalu Berada Dalam Kebenaran? kalo nabi2 saja membutuhkan pewahyuan untuk tetap berada dalam Kebenaran dalam Bertindak dan Berpikir, mengapa ahlul bait tidak? pernyataan anda bahwa “tidak tepat kalau dikatakan Ahlul Bait juga bisa salah, atau sahabat Nabi bisa mengajari Ahlul Bait atau Menyalahkan Ahlul Bait” mengandaikan suatu kenyataan/pemahaman yang SULIT dicari pendasarannya secara teologis.
ahlul bait layak/harus dihormati dan dicintai tetapi mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan para sahabat dan juga kita di hadapan Tuhan, karena hakikat-Nya mengharuskan ia begitu: MAHA ADIL. ajaran al-Qur’an selalu bicara yang terbaik/termulia/terutama adalah mereka yang bertaqwa atau yang berilmu. al-Qur’an selalu merujuk pada himpunan yang disifati, bukan kelompok secara definit. sekalinya ada “ism jamid”, paling dalam ayat “anni fadholtukum alal alamin” yang membedakan Bangsa Israel dari bangsa lain, itupun tidak dalam artian bahwa Bani Israel itu “INFALLIBLE.”
Secara teologis, Tuhan dan Firman-Nya itu tak tercerap oleh pikiran manusia dan INFALLIBLE, selalu benar dan tak berubah. nabi-nabi dan kitab/mushaf2 yang disebut “suci” hanyalah “ayaat” atau “tanda-tanda” dari Tuhan. teks-teks Islam yang ada saat ini, termasuk hadist (yang banyak yang tidak masuk akal, irrelevant dan bertentangan dengan semangat humanisme) dan Mushaf Utsmani, itu bisa dikritik kesahihannya melalui nalar sejarah dan hermeneutis. the Qur’an and the Universe are the Books of Signs.
anda kritis, tapi jangan ceroboh mas. keterpakuan anda pada teks dan literalisme model salafy sebagai metode untuk menopang klaim2 anda tentang kemaksuman hajratul ali dan imam2 syiah itu sebuah blunder. apalagi anda bilang, “Ayatnya sendiri jelas kok kalau Allah SWT yang menyucikan.” kalimat itu membuat seolah tafsir yang berbeda dengan anda seperti “mendebat Allah”. itu juga blunder dalam pencarian kebenaran, karena terdengar sangat dogmatik.
wallahu a’lam bi ash-shawwaab
salam
eh boleh kok didebat. aku takutnya pembahasannya jadi melebar aja kalo didebat juga. hermeneutika memberi tempat paling mulia pada penafsir (subyek), lebih dari teks (al-Qur’an) dan pengarang (Allah?) dalam pengertian bahwa historisitas (kosakata, pengetahuan dan pengalaman hidup) penafsir adalah faktor terpenting yang memungkinkan kita untuk memahami sebuah teks. tanpa kepala (otak) anda, mushaf usmani hanya kertas bertinta yang enak dijadiin bantal. eh, gue sebenernya udah ngejelasin itu. gue emang gak terpaku pada dalil. dalil2 gue pake biar diskusinya nyambung aja.
sepertinya secondprince sedang “merayakan tahun baru” makanya belum online lagi. hati2 mas secondprince nanti dicap kafir sama orang islam lainnya. (eh, bukannya emang udah dibilang kafir, ya?)
@gentole
sebetulnya banyak yang ingin saya tanyakan/bantah dari komentar2 anda sebelumnya. sayangnya kita sepakat bahwa hal2 tersebut bisa melebarkan pembahasan dari topik awal. saya coba saja dari hal2 yang masih saya rasa relevan dengan topik ini.
saya mengungkit masalah kedudukan penyampai/penerjemah/penafsir dan aspek historis/kultural hermeneutika di sini disebabkan kegelian anda terhadap studi rijalul hadits dan komentar anda mengenai hadits yang tidak/belum(?) anda pandang sebagai fakta historis.
saya juga mencoba memahami rasionalisme anda mengenai kenapa ali bin abi thalib tidak meriwayatkannya? bukankah ini riwayat yang sangat penting karena menyangkut “sumber rujukan paling otoritatif” setelah al-Qur’an?
emang rame bgt yah takfir di blog ini? second, gue tertarik diskusi ini. jadi gue tambah komen. hehe sori panjang. saya sangat menghargai bila anda berkenan dan punya waktu “membantainya”, anda tampaknya mumpuni sekali ilmu hadistnya.
oke, kta buat lebih rigid dan gue kaitin dengan “masalah pribadi gue” atas reliabilitas hadist dan tafsir bil matsur sebagai satu2nya metode paling sahih tuk memahami al-qur’an. sori kalo ngawur n khilaf, sumber gue secondhand (internet) bukan kitab2nya langsung.
premis-premis second
1)ada ayat tathir yang mengatakan ahlul bait bebas dari rijs.
2)riwayat dari ummu salama bilang kata ahlul bait tersebut terbatas pada ahlul kisa’.
3)rijs artinya bebas dari dosa/kesalahan (morallly, intelectually).
kesimpulan
ali, fatimah, hasan, husein bebas dosa ato infallible, dan karena itu ahlul bait menjadi satu-satunya pintu paling otoritatif untuk memahami Sunah dan al-Qur’an.
kritik gue buat premis-premisnya second.
premis (1): oke…no problem.
premis (2): ini bermasalah.
hadist dan sunnah tidak pernah dikanonisasikan seperti al-qur’an (yang tunggal/monolitik dalam keredaksiannya, with a few notes we can discuss later). proses pengumpulan hadist tidak sistematik or politically and colectively endorsed, semuanya adalah produk dari ambisi pribadi jenius-jenius Muslim (yg tidak infallible..:D) sekitar 200 tahun setelah nabi wafat. riwayat2 ditransmisikan secara oral, sehingga sulit untuk diverifikasi apakah redaksi/matan hadist yang diriwayatkan perawi pertama dan terakhir itu tetap sama. satu riwayat redaksinya bisa beda2, even contradictory. memverifikasi hadist berdasarkan kategori ketersambungan sanad dan jumlah perawi bukan jaminan kesalahan dan “dusta” telah terhindarkan. apalagi berdasarkan penilaian perangai seseorang: itu absurd dan problematis, karena sifat manusia tak selalu benar, tak selalu salah. pendapat gue, MENUNDUKKAN MAKNA AL-QUR’AN YANG MONOLITIK PADA HADIST YANG “DIVERSIFIED AND QUESTIONABLE” ITU BERESIKO BANGET.
ulama suni bilang hadist yang second kutip itu sahih. tapi dari matan hadist itu cuma ummu salama, nabi dan ahlul bait yang disebutkan, sehingga orang-orang yang bisa dipastikan sebagai saksi mata cuma ummu salama dan ahlul bait. maaf bila aku ngerror ya bung second dan mohon koreksi. menurut MUHAMMAD BIN YAHYA NINOWY (ini ulama suni, entah siapa ), hadist itu diriwayatkan oleh Imam Muslim in his Saheeh 2424, 4/1883 by way of Aisha, and by Imam At-tirmithiy in his Saheeh #3787, 5/663 by way of amro bin abi salama, and by Imam Ahmad in his “musnad” 6/292,298,304 by way of urn salama [ini ummu salamah bukan sih?], and by Imam Tabarani 3/54, and by Imam Al Hakem 3/147, and by Imam Ibn Habban 15/433 and by Imam Al Bayhaqi 2/152, and by many others.)
Sahih Muslim mengutip Aisha, sunan tirmizi mengutip Amr bin abi salama sementara imam ahmad mengutip urn salama (ini sIapa yah? salah ketik ummu salama bukan?). tidak ada satupun dari mereka bisa yang bisa dipastikan berada (saksi mata) di rumah ummu salama ketika ayat tatir itu turun.
lagipula, apakah Aishah memahami ayat itu seperti second juga memahaminya? apakah nabi tidak mejelaskannya seperti apa yang dikatakan second, suci dalam arti Selalu dalam kebenaran? mengapa aisyah (bila dicurigai oleh ulama syiah) tetap meriwayatkannya? apa yang membuat sahabat khilaf? dan mengapa ali tidak meriwayatkannya juga bila ayat itu penting karena terkait otoritas kedua setelah al-qur’an? dan yang terburuk adalah, mengapa Tuhan tiba-tiba mengatakan saya “hendak menyucikan kalian…” tanpa alasan yang jelas? for what? what’s the basis? what’s the purpose? what’s the logic? what’s the historical context of the event that occured in ummum salama’s house? asbabun nuzul dimengerti dalam pengertian sebab-akibat/tanya-jawab antara sejarah dan “Divine Guidance”, misalnya riwayat pertanyaan salman tentang mantan2 teman dan gurunya yang kristiani dan keabsahan amal2 ahli kitab yg hanif (al-baqoroh 62).
premis kedua second INKOHEREN. mengembalikan pemaknaannya pada struktur narasi al-qur’an ITU LEBIH RASIONAL.
premis 3: bermasalah banget
kata “din’ dalam al-qur’an diartikan secara berbeda dalam ayat2 yang berbeda. anda2 pasti tahulah spektrum pemaknaan kata “din.” begitu juga dengan kata “al-kitab”, kadang maksudnya Taurat, kadang maksudnya al-Qur’an. kata rijs dalam ayat2 yang second kutip QS Al Maidah: 90, QS Al Hajj: 30, QS At Taubah: 125, QS At Taubah: 95, QS Yunus: 100 itu menunjukkan bahwa kata “rijs” memiliki muatan semantik yang berbeda dalam konteks dan ruang wacana yang berbeda.
saya gak ngerti maksudnya menghighlight kutipan jalaluddin suyuthi apa yah? itukan pendapat ulama yang bisa dikritisi.
terakhir, bila dikembalikan pada redaksi narasi ayat al-ahzab dan bahkan pada matan hadist [kalo ternyata faktual] yang second kutip tuk menerangkan turunnya ayat itu, kata “rijs” dalam kedua teks tersebut means simply abomination/abhorrence…
so, menurut gue, ahlul bait tidak “senantiasa berada dalam kebenaran” ketika berpikir atau mengambil keputusan politik atau administrasi maupun intelektual, bahkan ketika berselisih dengan abu bakar. God will judge later about that regrettable incident. All we know that sahabat dan ahlul bait bisa saling memberi nasehat dan saling belajar…this conclusion is more logical and compatible with the nature of God the Infallible.
Wah saya juga berpegang pada Rasionalisme dan Hermeneutika, sepertinya kita beda dalam penerapannya
Sayangnya bagi saya, saya gak keberatan dengan metode hadis. Lagipula Mas kalau soal persepsi, itu kan selalu ada bagi setiap orang dan gak mesti sama
Seyogianya sikap anda terhadap tulisan saya adalah juga menganggapnya sebagai fakta bahasa juga kan
kalau boleh tahu bagaimana anda menentukan sesuatu itu menjadi fakta historis, cuma dengan perasaan kah? atau ada metode khusus
Kan udah dibilang saya dari awal tidakmenafikan makna semantik kata itu
tetapi sebuah kata tidak mesti sekaligus mencakup semua makna semantik yang dimilikinya
soal Popper, ah Mas analoginya begini kan bisa
Kalau di rumah saya semua angsanya berwarna putih. ada tidaknya bebek hitam di dunia ini tidak mempengaruhi kalau semua bebek di rumah saya warnanya putih.
Kalau dalam kajian hermeneutika, yang begini bisa saja tetapi soal valid tidaknya tetap bisa dipertanyakan
Sepertinya anda cuma tahu hadis Ummu Salamah dan Aisyah saja ya, ada lagi kok sahabat lain yang meriwayatkan
Hadis Shahih Muslim riwayat Aisyah jelas mendukung riwayat Ummu Salamah. Soal pandangan Syiah, rasanya adalah lebih tepat kalau Mas memastikan apa benar Aisyah dinyatakan pembohong oleh Syiah. Dan bagi saya itu juga gak ada kaitan langsung dengan hadis yang dimaksud
Soal riwayat Ali bin Thalib, sayangnya anda menganggap ketidkathuan anda sebagai ketidaktahuan orang lain juga. Sehingga anda dengan mudahnya berkata hadis itu tidak diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, coba saja cari Mas?
Dasar anda soal siapa yang meriwayatkan juga rancu, bukankah dari awal kita setuju kalau kebenaran bisa diambil dari mana saja.
Kalau dilihat-lihat semua keutamaan Sahabat termasuk Imam Ali tidak semuanya diriwayatkan sendiri tetapi juga diriwayatkan oleh orang lain yang menyaksikan atau mendengarnya
Bahkan jika Imam Ali sendiri tidak meriwayatkannya, maka itu tidak menjadi penolakan akan kesaksian Ummu Salamah RA.
ah iya, Hanya Tuhan Yang Tahu
Tapi setiap pendekatan dalam mencapai kebenaran itu diperlukan, jika tidak maka setiap orang bisa bicara seenaknya
Bagi saya hal ini tidak rancu, karena dari awal saya sudah memahami kalau ayat al Quran tidak mesti diturunkan sekaligus secara berurutan
Sekali lagi terdapat dalil shahih yang berkata demikian dan saya terima. Yang seperti ini tidak hanya pada ayat yang dibahas tetapi juga terdpat pada ayat lain misalnya Al maidah ayat 3 itu Mas
Dengan hadis itu menjadi jelas siapa ahlul bait yang dimaksud
soal penempatan, saya tetap berpendapat bahwa penempatan ayat itu adalah petunjuk dari Rasulullah SAW
Jadi bagi saya tidak asal-asalan
Sayangnya Mas coba baca narasi al ahzab ayat 32 dan 33 tanpa memasukkan ayat yang kita bahas, rasanya tetap bisa dimengerti jadi gak meaningless
dan maaf tidak rancu kalau menurut saya
Baca saja surah Al Maidah ayat 3 dan 4, sama kok
Soal ketidaktahuan mengapa ayat itu ditempatan disini ayat ini ditempatkan di situ, itu maaf tidak menjadi masalah
Ada metode untuk memahami ayat Al Quran, salah satunya dengan hadis
Lagipula permasalahan urutan baru timbul justru setelah ayat itu diturunkan
ketika ayat itu diturunkan tidak ada masalah soal urutan ayat
Ketika saya membahas penafsiran kata rijs saya menempatkan diri pada metode menafsirkannya dengan ayat Al Quran lain, hadis Nabi dan penafsiran ahli tafsir dan kesimpulan saya kesucian yang dimaksud adalah dari semua bentuk rijs, bukan hanya salah satu bentuk rijs.
soal lebih rasional maaf saya tidak mengerti berdasarkan apa. Bagi saya sumber rujukan agar tidak sesat lebih masuk akal untuk selalu benar. Seperti kata saya, jika mereka melakukan kesalahan maka kesalahan ini akan dirujuk oleh yang merujuk sebagai kebenaran.
Anda membenturkan sesuatu dengan pandangan anda yang mungkin anda yakini, tetapi sayangnya orang lain belum tentu sama pandangannya dengan anda. Kalau memang tidak usah dibahas ya saya sih ok ok saja
Oleh karena itu maka saya menyimpulkan bahwa pandangan yang anda tampilkan itu termasuk dalam kategori persepsi anda yang layak dipertanyakan juga
Saya sih lebih suka memakai kata selalu dalam kebenaran
Lebih relevan penggunaannya terkait dengan kedudukan ahlul bait sebagai sumber rujukan
Ah ya saya lihat itu, terserah anda Mas
Tapi rasionalisme dan hermenutika hanyalah panduan dasar, soal aplikasi maka tiap orang layak dipertanyakan
Silakan saja mempersepsi, itu terserah anda
Mari saya tunjukkan pandangan saya soal metodologi anda
Dari awal anda tidak sepaham dengan saya, soal rijs misalnya anda memperdebatkan arti kata itu
ketika saya tanya bagaimana pandangan anda, anda menjawab berdasarkan pendapat Abdullah Yusuf Ali atau mungkin pandangan anda sendiri
Bagi saya yang seperti itu tidak bermakna apa-apa, karena saya pun merujuk pada banyak pandangan. Maksud saya apa dasarnya anda mengedepankan pandangan yang anda bawa dan membantah pandangan yang saya bawa, kalau ternyata sumber rujukan anda juga tidak lain pendapat orang juga
Jadi jika kesimpulan saya prematur soal rijs maka kesimpulan anda juga sama atau amalah lebih prematur
Kemudian anda menolak pandangan saya dengan menyatakan bahwa para Nabi saja tidak ma’sum dan bisa salah.
Dari awal saja saya dan anda jelas beda persepsi
saya menggunakan kata Selalu dalam kebenaran, karena kata itu lebih tepat penggunannya terkait sebagai sumber rujukan
Bagi saya sumber rujukan selalu benar, baik itu para Nabi atau orang-orang yang dikehendaki Allah SWT
ketika Allah SWT mengangkat seseorang sebagai sumber rujukan, maka itu menunjukkan keterjagaan orang tersebut dan kedudukannya yang senantiasa dalam kebenaran. Hal ini masuk akal menurut saya
Nah konsep itu tidak masalah bagi saya bahkan penting, dan anda tidak sependapat dengan mengedepankan bahwa orang yang menyampaikan kabar itu saja bisa salah
Saya tidak menafikan ini, dan ini tidak hanya masalah bagi saya tetapi juga masalah bagi anda juga danyang lainnya
Anda misalnya membawa pandangan soal ketidak maksuman para Nabi, yang maaf kalau menurut saya itu berdasarkan kabar juga yang diriwayatkan oleh orang-orang yang bisa salah(menurut kata anda)
Tetapi sepertinya anda membantah pandangan saya dengan dasar bahkan Nabi saja tidak ma’sum.
bagi saya bantahan anda tidak bermakna apa-apa karena premis-premis yang anda gunakan tidak lebih kedudukannya dari premis yang saya bawa
Yaitu semuanya diriwayatkan oleh orang-orang yang bisa salah
Jadi pandangan saya prematur dalam pandangan anda karena pandangan anda sendiri prematur
Pembahasan ini menarik kalau menurut saya, dan lebih baik lebih ditekankan terlebih dahulu pada metode
Secara rasional
Untuk mengetahui kabar-kabar masa lalu atau fakta historis, kita tidakmungkin menyaksikan sendiri
tetapi berpedoman pada riwayat yang mengabarkannya
Penerimaan terhadap validitas suatu riwayat jelas membutuhkan metode
Secara hermeneutika
Riwayat itu bisa ditafsirkan macam-macam. Oleh karena itu pendekatan untuk menganalisis setiap interpretasi untuk mengetahui interpretasi yang benar atau lebih benar jelas membutuhkan metode juga
Maaf kalau terlalu panjang
Salam
Ah ya pandangan yang menarik juga
sejauh ini belum ada yang layak saya kritisi
agak belepotan sedikit
masih ada dua komentar saya yang belum anda komentari, terkait asas asas keadilan Tuhan dan hakikat manusia, termasuk para nabi. mohon maaf bila belepotan dan kepanjangan.
———————————————————————-
Ketika saya membahas penafsiran kata rijs saya menempatkan diri pada metode menafsirkannya dengan ayat Al Quran lain, hadis Nabi dan penafsiran ahli tafsir dan kesimpulan saya kesucian yang dimaksud adalah dari semua bentuk rijs, bukan hanya salah satu bentuk rijs.
soal lebih rasional maaf saya tidak mengerti berdasarkan apa.
——————————————————————–
nah tafsir bil matsur anda yang saya kritisi karena kesimpulannya bisa berbenturan dengan gagasan-gagasan besar dalam al-Qur’an itu sendiri, misalnya Keadilan Tuhan. maksud saya adalah secara rasional asas Keadilan Tuhan dan semangat dasar kitab suci tentang Hari Penghakiman dan kesetaraan umat manusia di hadapan Tuhan itu tidak kompatible dengan pemahaman anda bahwa “rijs” yang dimaksud dalam ayat yang kita bahas itu meliputi semua jenis “rijs”, termasuk pengetahuan yang salah atau logika yang sesat, dan bisa diartikan sebagai maksum/infallible.
sulit bagiku untuk menentukan apakah hadist ummu salamah itu faktual atau tidak karena aku gak punya ilmu alatnya dan juga akses ke sumber2nya. sebagai orang kantoran (yang libur2 ke kantor.:D), saya tak akan mampu mencari cacat hadist itu. tapi yang jelas, overall, saya tak menganggap kaidah hadist itu “reliable”.
—————————————
kalau boleh tahu bagaimana anda menentukan sesuatu itu menjadi fakta historis, cuma dengan perasaan kah? atau ada metode khusus
—————————————
wah, penjelasan ini bisa panjang. singkatnya, ilmu sejarah mengenal kritik internal, kritik eksternal dan juga hermeneutika untuk sumber-sumber primer (saksi sejarah) dalam bentuk teks atau peninggalan arekeologis. para mudawwin tak ada satupun yang merupakan saksi sejarah, sementara sejarahwan masih memperdebatkan status sejarah lisan/oral sebagai sumber primer. 200 tahun lama loh, karena itu sahih muslim dan kawan2 itu tidak bisa dianggap sumber sejarah. anything could happen in 200 years. hehehe…:D
mohon pencerahannya
salam
Dalam hal ini saya jelas tidak sependapat dengan anda, Kenabian sangat terkait dengan Sumber rujukan bagi manusia sehingga dalam hakikatnya mereka akan selalu benar, sebuah rujukan yang mengandung kesalahan maka akan dirujuk sebagai kebenaran oleh yang merujuk. Yang seperti ini jelas bertentangan dengan Kenabian sebagai sumber kebenaran bagi manusia
Soal keadilan Tuhan itu tidak menjadi masalah dengan konsep Pembedaan kedudukan di antara manusia
Coba lihat ayat Al Baqarah 253
Atau Al Isra 55
.
Beda dengan apa yang anda sampaikan
Soal kasus yang anda sampaikan, maka terdapat dua kemungkinan
1. Riwayat itu sendiri bisa dipertanyakan
2. Jika riwayat itu benar maka artinya tidak bertentangan dengan kelayakan Nabi sebagai sumber rujukan
Para Nabi memang sama seperti halnya manusia yang lain, mereka juga bisa marah dan tidak suka
Jelas sekali kalau perdebatan ini adalah seputar kata ma’sum, padahal saya sendiri menggunakan kata selalu dalam kebenaran karena kata ini lebih menyiratkan Kelayakan Nabi sebagai sumber rujukan yang menyampaikan kebenaran dari Tuhan
Dari sisi ini Mereka tidak mungkin salah karena mereka akan selalu dijaga Allah SWT sehingga risalah yang disampaikan selalu benar
Allah SWT jelas tidak menghendaki utusannya menyampaikan kesalahan
Karena para Nabi dibimbing oleh wahyu maka Mereka akan selalu dalam kebenaran
.
Wahyu jelas terputus setelah Kenabian Nabi Muhammad SAW
Ahlul Bait sebagai pribadi yang selalu benar karena Allah SWT melalui lisan Rasulnya menyatakan bahwa Ahlul Bait akan selalu bersama Al Quran dan Ahlul Bait adalah tempat berpegang bagi manusia agar tidak sesat
Dalam KItab Al Mustadrak As Shahihain,, Al Hakim membawakan hadis bahwa Imam Ali akan selalu bersama Al Quran dan Al Quran akan selalu bersama Imam Ali
dan juga hadis
Imam Ali selalu bersama kebenaran dan kebenaran selalu bersama Imam Ali
Kedua hadis ini dinyatakan shahih oleh Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak
Kenapa mesti memusingkan masalah wahyu, Ahlul Bait mendapatkan ilmunya dari Rasulullah SAW. Jadi tidakmasalah kalau mereka tidak mendapat wahyu
Kemuliaan para Nabi adalah kemuliaan para Nabi
kemuliaan Ahlul Bait adalah kemuliaan Ahlul Bait
Baik siapapunyang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai sumber rujukan maka dia akan selalu dalam kebenaran
Justru dalam teologis perlu adanya pribadi yang menjadi sumber rujukan agar tidak sesat
Menyatakan bahwa sang sumber rujukan sendiri bisa salah
maka itu menimbulkan kerancuan dalam proses merujuk
Karena setiap orang akan berlagak menilai dan berkata
“ah para Nabi kan juga bisa salah”
jadi belum tentu benar
Pada akhirnya kerancuan ini akan menimbulkan konsepsi bahwa kebenaran itu akan selalu relatif dan tidak ada yang namanya kebenaran mutlak
Bagi saya kebenaran memang relatif tetapi yang mutlak tetap saja ada,
Anda sudah keliru dalam masalah Keadilan Tuhan
Allah SWT sendiri melebihkan sebagian diantara para Nabi
Allah SWT adalah Maha Tahu, Allah SWT mengetahui siapa diantara hambanya yang paling bertakwa dan paling berilmu, oleh karena itu Allah menetapkan kemuliaan Mereka
Tidak ada sedikitpun masalah dalam Keadilan Tuhan disini
Sayangnya Nalar sejarah dan Hermeneutis sendiri tidak lepas dari kritik
Semuanya ini akan kembali pada masalah Metode
Oleh karenanya pembahasan soal metode akan menjadi penting
Inti masalah ini adalah manusia selalu berbeda persepsinya , nah oleh karenanya Telaah terhadap persepsi itu manjadi sangat penting
Jika tidak maka setiap orang bebas mempersepsi dan menyatakan benar persepsinya atau menyatakan keliru persepsi orang lain
Sudah jelas bahwa sikap kita terhadap suatu riwayat adalah berpegang pada zahir atau teks riwayat tersebut sampai ada petunjuk lain yang mengharuskan kita memalingkannya pada makna lain
Dalam hal ini anda jelas tidak kritis, saya menyatakan bahwa Ahlul Bait selalu dalam kebenaran
tetapi anda malah berbicara soal kemaksuman dan imam-imam Syiah
Tahukah anda kalau itu tidak sama?
Awalnya anda bilang gak usah bawa-bawa Allah SWT
maka saya jawab mana mungkin karena ayatnya jelas menyatakan Allah SWT menyucikan
kata-kata anda seolah tafsir yang berbeda dengan anda seperti “mendebat Allah” itu adalah maaf , persepsi anda sendiri
Saya sendiri tidak pernah berpikiran seperti itu
Sudah jelas kalau Allah SWT menyucikan di ayat tersebut,, teksnya sendiri yang sangat jelas
Dari awal perbedaan kita adalah mengenai siapa yang disucikan dan apa makna kesucian itu
Salam
hi hi hi hi hi hi kepanjangan ya ………………….. makanya yang sabar, mana blognya almiraz ????????
wah susah nih diskusinya. intinya memang di kata “rijs”. saya tidak menemukan argumentasi yang kuat untuk mengartikan rijs sebagai “selalu dalam kebenaran”. saya sudah menguraikan metode saya dan kritik saya. kamu masih menyalahpahami saya juga. mungkin lain kali dilanjutkan.
soal kesetaraan nabi2, saya berpegang pada ayat ini: “Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” ” (Al Baqarah: 136)
sikap mukmin harusnya begitu, tidak mebeda-bedakan nabi, dan tentu tak membeda2kan pengikut muhammad. saya memahami ayat yang anda kutip dengan cara yang berbeda. tapi diskusi bakal terlalu melebar. al-qur’an itu bukan buku sejarah (tapi korpus sastrawi, hukum dan teologi)dan digunakan untuk dijadikan pelajaran, jadi autentisitas (katakanlah, metode “sanad” yang anda yakini) menjadi tidak relevan. beda dengan hadist, klaim hadist selalu, “saya mendengar rasullullah…” yang mengandaikan pertanyaan, “apakah benar rasul mengatakan itu?”
anyway, nice talking to you.
salam
wah gak tahu
@gentole
Kalau soal ayat Al Baqarah yang anda kutip jelas bahwa kita tidak membeda-bedakan bahwa mereka sama-sama menerima kebenaran dari Allah SWT dan mesti kita imani
Sedangkan kedudukan para Nabi sendiri maka Allah lah yang menentukannya
Silakan berbeda pandangan
Salam
ah ini tanggapan buat komen soal premis-premis
Tanggapan Saya Tentang Premis Kedua :
Maaf, saya rasa pernyataan ini juga perlu diperjelas, Dari dulu umat islam berpedoman dengan Al Quran dan Hadis. Bedanya pembukuan Al Quran memang lebih awal dibanding pembukuan Hadis
Kalau dinyatakan produk buatan dalam arti mereka menuliskan dan membukukan hadis yang diriwayatkan maka saya sependapat, tetapi kalau yang dimaksud adalah membuat sendiri hadis tersebut jelas saya tidak sependapat. Sayangnya proses pengumpulan hadis juga tidak hanya bersifat politik, bahkan hal ini bisa dianggap kebutuhan pada saat itu karena banyaknya orang-orang yang meriwayatkan hadis seenaknya. Jadi runutnya begini, hadis sebagiannya sudah ditulis pada masa-masa awal dan sebagiannya dihafalkan oleh para Sahabat . Kemudian hal ini diteruskan kepada tabiin, sebagian mereka menuliskannya dan sebagian tetap menghafalkannya. Begitu seterusnya sampai kepada Ulama-ulama hadis yang akhirnya membukukan hadis-hadis yang diriwayatkan.
Hal ini jelas masuk dalam kajian matan hadis. Dalam metode hadis verifikasi redaksi matan hadis itu dinilai melalui kemampuan hafalan para perawinya dan dapat juga dilihat dari hadis lain dengan matan sama yang diriwayatkan melalui jalur perawi yang berbeda. Jika terjadi perbedaan matan maka hal itu akan dinilai apakah signifikan atau tidak.
Nah disinilah yang saya maksud anda terjebak pada kepastian, dalam hal ini anda sudah tidak lagi berpegang pada metode tetapi Cuma sekedar skeptis.
Ketersambungan sanad adalah Salah satu langkah awal untuk menentukan bagaimana suatu kabar masa lalu bisa sampai ke masa kini.
Dalam hal ini terdapat kemungkinan bahwa kabar yang disampaikan keliru atau dusta, oleh karena itu pendekatan lain diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Yaitu dengan menilai kedudukan para perawi dalam sanad tersebut baik hafalannya atau ketsiqahannya.
Metode penilaian kedudukan para perawi ini dikenal Metode Jarh Wat Ta’dil. Anda berkata penilaian perangai seseorang itu absurd karena sifat manusia tidak selalu benar dan tidak selalu salah. Hal ini benar tetapi pendekatan Jarh Wat Ta’dil pada awalnya memiliki prinsip
Jika perawi tersebut hafalannya kuat dan dikenal tsiqah atau dapat dipercaya maka hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Ini adalah konsep percaya yang beralasan. Ada kemungkinan keliru memang, tetapi prinsipnya adalah selagi tidak ada keraguan yang menunjukkan kekeliruan tersebut maka tidak beralasan untuk membuat keraguan.
Jika perawi tersebut bermasalah baik segi hafalannya dan ketsiqahannya atau dalam artian tidak bisa dipercaya maka hadis yang disampaikannya tidak layak diterima. Memang perawi ini bisa saja menmyampaikan hal yang benar tetapi prinsipnya adalah lebih baik tidak menerima hadis yang diriwayatkan sampai ada hal lain yang dapat menguatkan atau mendukung hadis perawi tersebut.
Pendekatan ini lebih bersifat metodis, dalam arti jika anda menetapkan suatu ukuran bahwa kepastian sifat manusia tidak bisa diketahui maka sudah pasti metode ini bisa diragukan. Tetapi menetapkan standar seperti itu juga absurd dan problematic karena tidak ada satupun metode yang bisa memastikan bagaimana sifat manusia apalagi manusia-manusia masa lalu. Oleh karena itu pendekatan yang memungkinkan dengan Jarh wat Ta’dil itu lebih layak digunakan.
Dalam hal ini Penafsiran Al Quran berdasarkan hadis adalah relevan dan sesuai dengan prinsip Taat kepada Allah SWT dan RasulNya. Menurut saya penafsiran tanpa metode adalah jelas jauh lebih beresiko
Ah ya benar, awalnya memang seperti itu. Tetapi tahukah anda bahwa Mereka yang menyaksikan hal ini bisa menceritakan kepada sahabat yang lain. Bahkan dalam riwayat lain Rasulullah SAW berulang-ulang menekankan bahwa ayat yang dimaksud diperuntukkan bagi Ahlul bait yang saya bicarakan
Hadis yang dimaksud jelas diriwayatkan oleh banyak sahabat yaitu Ummu Salamah RA, Aisyah RA, Saad bin Abi Waqqash RA, Ibnu Abbas RA, Abu Said al Khudri RA, Anas bin Malik RA, Umar bin Abu Salamah RA, Imam Ali AS, Imam Hasan AS, Sayyidah Fatimah AS, Bara’ bin Azib RA, Jabir bin Abdullah RA, Watsilah bin Al Aqsa RA, Abdullah bin Ja’far RA dan Abul Hamra RA.
Nah cukup dengan riwayat Ummu Salamah dalam Musnad Ahmad, Syawahid Tanzil Al Hakin Al Hiskani, dan juga dalam Sunan Tirmidzi, itu kalau anda memang memerlukan kesaksian langsung. Dalam hal ini riwayat sahabat lain jelas relevan karena mereka bisa saja mendengar sendiri dari Rasulullah SAW atau Ummu Salamah atau bahkan Ahlul Bait. Riwayat Umar bin Abu Salamah RA juga bisa diterima karena beliau adalah anak dari Ummu Salamah RA.
Pertanyaan ini tidak perlu, Untuk memahami ayat tersebut kita dapat melihat ayat itu sendiri. Lagipula saya bisa bertanya apakah Aisyah tidak memahami ayat itu seperti itu, lalu seperti apa?
Benarkah begitu, Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa Ahlul bait adalah pedoman bagi manusia agar tidak sesat dan petunjuk keselamatan bagi manusia, coba lihat lagi hadis-hadis yang saya bawa di atas. Sumber pedoman yang selalu bersama Al Quran dan tidak terpisah dari al Quran jelas bersifat selalu dalam kebenaran.
Ya gak ada hubungannya Mas, beliau meriwayatkannya karena beliau mengetahui persitiwa itu
Ah saya rasa anda khilaf, hadis ini juga diriwayatkan oleh banyak sahabat termasuk Imam Ali , dalam Kitab Syawahid At Tanzil karya Al Hakim al Hiskani
Seandainya pun anda tidak tahu hikmahnya, itu tidak menafikan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Bagi saya Ahlul bait ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW sebagai sumber rujukan bagi manusia agar tidak sesat. Hal ini disampaikan melalui wasiat Rasulullah SAW dalam hadis Tsaqalain. Penetapan penyucian adalah perlu sebagai penetapan bahwa mereka sebagai sumber rujukan yang selalu dalam kebenaran
Benar, tetapi asbabun nuzul juga dimengerti sebagai penjelasan kepada siapa sebuah ayat ditujukan
Inkoheren jika ayat tersebut memang diturunkan sekaligus secara berurutan. Saya setuju jika tidak ada hadis shahih yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun sendiri. Adanya hadis shahih tentang asbabun nuzul ayat yang menentukan kepada siapa ayat tersebut dituju jelas menunjukkan bahwa yang lebih rasional adalah berpegang pada pernyataan Rasulullah SAW sendiri dalam hadis tersebut yang secara langsung menjelaskan siapa Ahlul Bait yang dimaksud
Tanggapan Premis Ketiga
Makna kata dalam sebuah ayat dilihat dari struktur kalimat yang digunakan, kadang itu bisa berarti salah satu makna yang dicakupnya atau bisa juga berarti seluruh makna yang dicakupnya. Al Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’ani menjelaskan bahwa kata Rijs pada ayat tersebut diawali huruf alif lam yang bermakna istiqraq atau bermakna umum artinya itu mencakup segala bentuk rijs.
Saya juga mengutip pernyataan asy Syaukani dan Ibnu Hajar bahwa Rijs bermakna dosa. Dalam persepsi saya kesalahan juga menyebabkan dosa. Setiap pendapat Ulama memang layak dikritisi, silakan mengkritisi. Yang jelas pernyataan anda dan kutipan dari Abdullah Yusuf Ali itu juga layak dikritisi.
Mengembalikan pada redaksi narasi ayat jelas bertentangan dengan hadis-hadis shahih yang menjelaskan bahwa ayat tersebut ditujukan pada pribadi-pribadi yang lain atau bukan istri-istri Nabi SAW. Dalam hal ini metodologi saya berbeda dengan anda
Bagi saya, saya lebih berpegang pada dalil bahwa Ahlul Bait adalah sumber rujukan bagi sahabat Nabi selepas wafatnya Rasulullah SAW. Oleh karena itu para sahabat lebih layak merujuk kepada Ahlul Bait dan bukan sebaliknya. Perselisihan Ahlul Bait dengan sahabat selalu saya sikapi dengan pandangan bahwa kebenaran selalu ada pada Ahlul Bait.
Salam
untuk mas JU mencintai ahlul bait bukan berarti syiah, tetapi mengatakan ahlul bait itu ma’sum seperti halnya para Nabi, menganggap salah sahabat, atau mengkafirkan sahabat itu baru rafidah …………………( syiah )
@ second
terlalu panjang om, mana almiraz …………. ????
Iya lah Mas, Ahlul Bait juga sumber rujukan bagi umat Islam
Shalat Jumat itu wajib
Shalat dijamak itu ada aturan dan sunahnya
Meratap di hari Karbala, itu tergantung caranya,kalau cuma merenungi dan bersedih di hari itu untuk mengenang Imam Husein ya tentu saja boleh
Salam
@burit
wah kan udah dibilang saya gak tahu
oke, you win. gue perlu banyak baca lagi nih. informasi elo lebih banyak soal hadist, gak imbang banget ama gue. (ngeles nih gue…hahaha)
loh, jadi ini dari kemarin2 mau cari pemenangnya, ya? kirain pingin diskusi aja. seharusnya nggak usah pake win/lose gitu lah. kan kita sama2 mau mencari kebenaran.
kalau saya sendiri sih sedang mencoba memahami apa yang disampaikan oleh penulis maupun yang memberi komentar. pemahaman agama saya masih jauh dari cukup.
it’s just a joke. tapi winning or loosing a debate itu ada manfaatnya juga loh. rishi2 Hindu itu selalu berdebat untuk mencari kebenaran: yang kalah adalah mereka yang giliran ngomong: speechless. yah, intinya sportif aja. hahaha…anyway, tentu saya belum kalah. saya cuma merasa butuh sumber (teks)lebih banyak, karena diskusinya sangat “dalil-minded’. saya sudah lama tidak berdikusi seperti itu. maklum aja mas, diskusikan harus adil juga. saya juga masih belajar kok sambil kerja. untung ada internet dan mas second yang mau ngeblog. tentu, pendapat secondprince masih bisa dikritisi.
mas gantole dalam diskusi ini tidak ada yang kalah atau menang. Tanggapan anda cukup menggelitik dan menantang. Yang saya tahu kalangan Ahlul Bait sangat terbuka untuk suatu diskusi atau bahkan perdebatan yang bertujuan mencari kebenaran.
Mengenai masalah keberatan anda “menundukkan” Surat 33 : 33 kepada hadis riwayat Ummu Salamah yah sah-sah saja. Anda juga sangat meragukan kevalidan hadis karena baik yang melaporkan perkataan/perbuatan Nabi maupun yang meriwayatkannya adalah manusia biasa yang bisa salah.
Sebenarnya dalam masalah hubungan Quran dan Hadis tidak ada istilah “tunduk menunduk”. Yang ada hanyalah bahwa posisi hadis Ummu Salamah adalah bersifat menjelaskan dan merinci kandungan Surat 33 : 33. Ini bukan berarti ayat tunduk kepada hadis.
Suatu hadis dinyatakan valid bukan hanya karena telah lulus verifikasi para ahli hadis, tetapi juga apabila maknanya tidak bertentangan dengan AlQuran. Ini dari segi pendekatan naqli. Kalau masih ragu juga maka kita verifikasi dengan dalil aqli.
Apakah masuk akal seorang Nabi bisa lupa dan berbuat salah ? Bagaimana kalau ada manipulasi ayat dan bagaimana umat manusia mau yakin apabila Nabi/Rasul yang diutus-Nya sering berbuat salah ?
Secara aqliah kalau AlQuran diyakini benar-benar berisi firman Allah Yang Maha Suci, maka sang penyampai dalam hal ini Nabi Muhammad saaw juga harus pribadi yang maksum mutlak. Bagaimana mungkin ayat2 yang benar dan suci keluar dari pribadi yang tidak maksum ?
Selanjutnya apakah syariat yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tidak perlu dijaga oleh orang2 yang juga memiliki kemaksuman ? Kalau jawabannya tidak perlu, maka saya ingin mengatakan : pantes aja amburadul sepanjang zaman ! semua orang menjadi mujtahid !
terima kasih buat komentar hangatnya. sekali lagi, it’s just an expression. akukan “menantang” second, terus aku merasa butuh sumber2 lagi. jadinya izin aku keluar dari ring. hehehe…btw, saya kira persepsi kita tentang maksum/infallible itu berbeda. menurut saya hanya Tuhan yang Infallible. saya malah suka banyak mujathid, jadi banyak pilihan.
Jadi banyak yang bisa dipikirin
Salam semua
Soal kemaksuman ahli bait, Ok, mungkin pihak Sunni tidak akan sekeras menentang dibandingkan apabila membaca literatur syiah yang menjelek-jelekkan sahabat…kapan-kapan ada baiknya sdr. Second membahas hadist syiah tentang surat Umar ke Muawiyah yang membuat merinding bila saya membacanya…tetapi saya menghibur diri bahwa sebagai seorang sunni tidak akan mempercayai isi hadits tsb ( ada dalam Biharul Anwar???)..maaf ya melenceng dari topik pembicaraan.
serasa lebih menantang daripada membaca seratus buku
*merasa tercerahkan*
Wah kalau soal hadis syiah, mungkin lebih baik Mas tanya sama orang yang Syiah, takut salah ntar
@burit
Bener Mas
@Imam
Ikutan juga gapapa
@bersatu
saya suka baca komik
Sering sy berdiskusi dg teman2 jg masalah ma’sumnya ahl bayt. Selalu pertanyaan terakhir ke diri sy sendiri adalah: kenapa mrk menolak ahl bayt itu ma’sum dr segala macam dalil, apakah dalil naqli (Al-Qur’an & Hadits, baik tafsir syi’ah maupun sunni sama dlm hal ini) maupun dalil aqli. Yg sy lihat ujung2nya adalah :
1.Krn mrk tdk bs membayangkan ada manusia yg ma’sum.
2. Krn dengki.
Dalil naqli (sdh dijelaskan oleh SP diatas:
1. Al Ahzab 33, sangat2 jelas bhw ahl bayt sdh disucikan koq msh diragukan dg alasan salah tafsir dll. Pake tafsir syi’ah, pake tafsir sunni sama saja…ccckk..ccckkk, apakah bukan dikatakan ini sbg hati yg sdh mengeras?.
2. Hadits, walaupun sdh diterima oleh semua yg disini shahihnya, tp msh jg cb dipelintir, disangkal dg cr tdk logis. Kurang apalg saudara2 bhw ahl bayt ditetapkan sbg hujjah bersama Al-Qur’an dlm membimbing umat islam sampai akhir jaman.
Dalil aqli:
Kita hrs merenungkan hikmah dr hadits ini & jk kt pelajari sejarah hadits ini mk kt akan tau betapa penting posisi hadits ini. Allah SWT memerintahkan Rasulullah secara khusus menyampaikannya, waktunya khusus, tempatnya khusus, dan dipastikan bhw yg mendengar hadits ini berjumlah banyak shg menghilangkan kemungkinan putus sanadnya. Bhkn diwajibkan yg hadir utk menyampaikan kepd yg tdk hadir.
Kenapa begitu penting??, krn hadits ini menentukan hidup umat islam pasca Rasulullah.
Ada bbrp hal yg hrs kt perhatikan dr hadits tsaqalain:
1. Bhw ada nubuwah bhw umat islam akan tersesat, kecuali berpegang kepd 2 hal. Artinya jika kt tdk berpegang kepd keduanya mk dipastikan tersesat.
2. Al-Qur’an & Ittrati ahl bayt tdk pernah terpisahkan.
3. Mestinya muncul pertanyaan knp bukan Al-Qur’an & sunnah/hadits? Sebetulnya bagi umat terdahulu susah utk menjawab, tp bagi kt yg sdh melaui semuanya akan sngt jelas. Yaitu bhw yg dijamin oleh Allah SWT akan terjaga adalah Al-Qur’an & Ahl Bayt.
4. Bukannya Al-Qur’an & hadits/sunnah, krn ternyata apa2 yg sdh Rasulullah contohkan dan katakan tdk terjaga kemurniannya (banyak yg memalsukan). Dan ternyata jg bhw secara otomatis hadits/sunnah Rasul yg murni bs tetap dijaga oleh ittrati ahl bayt. Bayangkan saja kitab hadits yg dianggap shahih pun ternyata penuh dg kontradiksi antar ahdits2 itu sendiri ataupun dg Al-Qur’an.
5. Tidak ada lg pertanyaan: Al-Qur’an yg mana maupun ahl bayt yg mn. Tp jika merujuk ke buku hadits pasti akan terjadi keributan dan perbedaan.
6. Al-Baqarah ayat 2, jelas2 memberitakan bhw, hanya Al-Qur’an lah kitab yg tdk ada keraguan di dlmnya. Artinya apa?, bhw semua kitab yg pernah ada di dunia ini selain Al-Qur’an pasti ada keraguan di dlmnya.
7. Kenyataan bhw islam terpecah belah adalah krn adanya perbedaan tafsir maupun ijtihad, baik dlm menafsirkan Al-Qur’an ataupun hadits. Namun jika umat islam mentaati hadits tsaqalain tentunya hal tsb tdk akan terjadi. Krn ada mrk ittrati ahl bayt yg menjadi tempat bertanya, pemberi fatwa dan penafsir yg legal yg dijamin oleh Allah.
8. Kalau kita diperintahkan berpegang kepd sesuatu yg menjamin kt tdk tersesat, apakah sesuatu itu bisa saja salah??.
9. Jika malaikat yg kita akui suci dan selalu taat kepd Allah tp bs mempertanyakan (protes kecil) knp Allah menciptakan manusia/Adam dan kita tetap nyatakan mrk suci dan taat. Knp ada yg meributkan kesucian Jiddah Fatimah (yg jelas2 Allah telah sucikan) hanya gara2 marah krn haknya direbut. Begitu naifkah kt menafsirkan hadits2 Rasul. Apa yg “bara” akan katakan jika tetangga sy muslim membunuh anak istri sy, apakah sy hrs memanfaat 3 hari utk segera menghukum mrk, krn selewat 3 hari sy sdh hrs senyum2 dg mrk??, dan krn mrk tetangga sy mk sy terlarang membenci /memusuhi mrk??. Apakah kt tdk diperintahkan marah jika ada kebatilan di sekitar kita?. Pertanyaannya adalah: apakah perbuatan Sayidina Abu Bakar salah atau benar?. Jika salah, sikap apa kira2 yg hrs dilakukan Jiddah Fatimah & umat islam lainnya?.
10. Kenapa ittrati ahl bayt, knp bukan cukup ahl bayt? Hikamh apa yg bs kt ambil?. Jelas bhw Al-Qur’an terjaga sepanjang jaman, dan utk menjelaskan Al-Qur’an ini tentu dibutuhkan manusia2 suci yg jg ada sepanjang jaman (keturunan Rasullah tdk akan terputus). Dan sesuai dg ayat Al-Qur’an: “Dan tidaklah menyentuh (memahami) Al-Qur’an ini kecuali orang2 yg suci”. Ada yg memahami hanya dg jgn menyentuh lembar2 Al-Qur’an jika belum berwudhu.
Wassalam
Wah panjang juga Mas
terus banyak tanda tanyanya
saya bingung mau jawab yang mana
Tetapi pembedaan anda tentang itrati Ahlul Bait dan Ahlul Bait itu memang layak dibahas
Salam
alhamdulillah, saya pecinta ahlul bait om, dan guru saya mengalir dara datuknya yaitu Nabi SAW, tapi tidak seorangpun yang mempunyai pikiran bunda suci fatimah itu marah karena harta fadak, sekalilagi bukan marah karena harta fadak, dan masalah fadah sudah ditutup dengan pnenjelasan oleh Imam Nawawi bahwa
hal itu diteruskan hingga dimasa Khalifah Ali bin Abi Thalib kw pun demikian, tidak dirubah, maka jika Abubakar ra salah dalam hal ini atau Umar ra, mestilah Utsman ra mengubahnya, atau mestilah Ali bin Abi Thalib kw mengubahnya, dan berkata Imam Nawawi pada halaman yg sama, mengenai dikuburkannya Fathimah ra dimalam hari maka hal itu merupakan hal yg diperbolehkan. (Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Bab Jihad wassayr).
nah sekaliber imam nawawi, ibnu hajar saja pendapat kesemuanya tertolak oleh SP, nah anda bisa menoleh ke belakang, siapa beliau beliau itu. masalah diatas sudah terjadi perbedaan, dan saya tetap memegang bahwa perbedaan itu lumrah, wong ada sendiri memakai hadist yang kitab suci dan ahlul bait, dan klo ada orang yang mengatakan kitab suci dan hadist nabi dikatakan salah, nah dari pemahaman yang sempit ini ( yang katanya berdasar dari yang mempunyai sumber saja ) ada tidak bisa menengahi perpecahan, karena bersikukuh mengatakan bahwa dasit yang pertama paling benar, dan yang kedua yang salah.
kata anda ” Jika malaikat yg kita akui suci dan selalu taat kepd Allah tp bs mempertanyakan (protes kecil) knp Allah menciptakan manusia/Adam dan kita tetap nyatakan mrk suci dan taat. Knp ada yg meributkan kesucian Jiddah Fatimah (yg jelas2 Allah telah sucikan) hanya gara2 marah krn haknya direbut. Begitu naifkah kt menafsirkan hadits2 Rasul. ” ketololan nyata. nah ini yang dikatakan banyak orang pintar baca teks. apa terus anda akan bilang bahwa nabi adam berdosa sampai sampai turun kebumi ??????????? ini nabi yang sifatnya adalah ma’sum tidak ada dosa sekecilpun, banyak kok isid ari kitab suci yang mengatakannya, terus pemahaman kita apa akan sama bahwa Nabi bisa saja berdosa ?????? CAM KAN ITU
saya tidak menafikkan kesucian dari bunda fatimah, tetapi bukan terus diartikan dan bisa melebihi derajat Nabi, dengan mengatakan ma’sum. nah sekali lagi ini kedangkalan pemikiran yang keliru antara disucikan , dan benar benar suci, kedudukan bunda fatimah memang tinggi, tetapi semua ada patokannya, masak disamakan dengan kedudukan ayah handanya yang ma’sum
Herannya lihat orang seperti anda ini, padahal semua yang anda katakan itu sudah dibahas oleh saudara secondprince. Kalau melihat penjelasan beliau dan penjelasan anda, wah bisa dibilang penjelasan beliau jauh lebih berkualitas dari kedegilan anda
Bicara saja gak bisa kalau gak pakai analogi, seolah-olah anda kekurangan bahasa untuk menyatakan argumen anda. Makanya gunakan akal jangan cuma nafsu semata
Wah panjang juga Mas
terus banyak tanda tanyanya
saya bingung mau jawab yang mana
Kalau pendek kuatir “bersatu” yg memanjangkannya
Dan gak perlu dijawab kali yaa, krn lbh hanya sebagai gaya bahasa aja koq..
Tetapi pembedaan anda tentang itrati Ahlul Bait dan Ahlul Bait itu memang layak dibahas
Oiyaa, saya sendiri menganggap itu penting. Rasulullah tdk serampangan dlm menggunakan kata/kalimat. Beliau seorg jenius, beliau teliti.. Sangat penting utk menangkap hikamh dr knp intratti ahl bayt bukannya ahl bayt.
Kl SP berminat utk mengkajinya, sy dr depan minta nanti disharingkan ke sy yaa hasilnya.
“alhamdulillah, saya pecinta ahlul bait om, dan guru saya mengalir dara datuknya yaitu Nabi SAW”
Kalimat ini sdh terlalu sering anda ulang2. Sy malah mendapat kesan bhw anda sendiri ragu apakah anda pencinta ahl bayt.
Dan tdk logika yg menerima bhw jika lisan kt mengatakan cinta mk itulah adanya.
Dan tdk logika yg menerima bhw hanya krn om/guru ahl bayt mk anda otomatis menjadi pecinta ahl bayt. Namun diluar itu semua kt tdk sdg membuktikan apakah anda mencintai ahl bayt atau tdk ( tolong agak fokus).
“tidak seorangpun yang mempunyai pikiran bunda suci fatimah itu marah karena harta fadak, sekalilagi bukan marah karena harta fadak,”
Anda sadar tdk bhw kalimat anda ini gagal total, tolong anda tafsirkan hadits shahih Bukhori yg disampaikan oleh SP dg jujur lhoo, jgn krn ada tendensi ingin mencetak karakter semua benar. Dan jelas bagi yg lain (tdk bagi anda) bhw SP sdg menyampaikan apa yg dipercaya/dishahihkan oleh Bukhori. Jelas bhw Bukhori menulis bhw Jiddah Fathimah marah, Bukhori jelas mengatakan 6 bulan. Kalau anda ingin membersihkan Jiddah Fathimah dr hal tsb, berarti anda hrs mengambil konsekuensi bhw hadits itu batil/dhaif, kl anda memilih begitu berarti anda hrs berani mengatakan bhw shahih Bukhori tdk layak lg disandangkan pd kitab shahih Bukhori. Masalahnya sy sdh tahu bhw anda akan mengelak dr semua konsekuensi yg “menyulitkan” anda td. Knp bs begitu? krn anda sdh terjebak dlm doktrin2, yg anda sebetulnya menjerit krn muncul begitu banyak kontradiksi yg anda hrs memeprmalukan diri anda sendiri utk mempertahankan kontradiksi2 tsb.
“maka jika Abubakar ra salah dalam hal ini atau Umar ra, mestilah Utsman ra mengubahnya, atau mestilah Ali bin Abi Thalib kw mengubahnya,
Coba anda telaah lagi, tdk ada logika yg mengharuskan seperti itu koq. Coba kt lihat alur logikanya:
1. Apakah jika Sayidina Umar, Usman dan Imam Ali tdk mengungkit masalah itu berarti masalah itu dianggap tdk ada?, tdk bisa kan. Krn banyak hal yg kt tdk bs pastikan, krn bs saja marahnya jiddah Fathimah bukan krn Fadaknya tp krn sbgm semua org marah jika didzalimi.
2. Kita setuju bhw sejarah (bukhori) mencatat issue itu ada (sy perlu ketegasan anda bhw anda setuju atau tdk, tp jgn muter2 shg kt tdk tahu pendapat anda), namun kt menebak2/meraba2 penyebabnya: SP dan teman2 lainnya tdk pernah berasumsi bhw Jiddah Fatimah menuntut krn serakah, hanya anda seorg yg berprasangka buruk mengira2 bhw SP ingin mengatakan tsb.
3. Jika saya marah kepd si fulan, berarti anak saya akan marah pd si fulan, mk anak saya pasti marah pd si fulan. Dan jika anak sy tdk marah pd si fulan mk berarti saya tdk pernah marah pd si fulan (cerita ttg sy marah pd si fulan adalah tdk benar, apakah begini alur logika anda?. Oyaa, sy tdk sdg berasumsi logika itulah yg sdg terjadi pd kasus Fadak. Jgn anda melebar dg cth ini. Knp tdk bisa? krn sy tdk tahu persis hakikat dr kemarahan dr Jiddah Fathimah, dan sy tdk tahu apakah Imam Ali dan Imam2 selanjutnya tdk marah ataupun tdk mengklaim ttg Fadak.
4. Apakah anda tdk bs melihat logika yg jelas: atas dasar apa Umar b Abd Aziz mengembalikan tanah Fadak?. Kl anda menolak sejarah itu anda hrs ungkapkan dimana salahnya.
Wassalam
Maaf jika terkadang saya menstate/mengklaim maksud/tujuan anda pd tulisan tsb, sebetulnya yg ingin saya katakan adalah persepsi saya ttg tulisan, syukur2 sesuai yg anda mksd…hehe.
Oyaa,sbg salah satu contoh ketelitian dan kejeniusan dan bijak dan jauhnya Rasulullah memandang, kt bs lihat dr salah satu hadits beliau saw:
“sholatlah kalian seperti kalian melihat saya sholat”.
beliau saw tdk menyatakan:
“sholatlah kalian seperti aku sholat”.
Bagi sy, kehati2an belaiu memilih kata2 mempunyai hikamh yg sangat2 besar, yg sebetulnya bhkn kalau kita gali akan bs menyelesaikan banyak permasalahan umat islam skrg ini.
Mudah2an bs membuat SP tertarik mendalami dan mengupasnya shg kt bs kebagian hasil perenungannya..:mrgreen:
Salam.
Jangan yang aneh-aneh. Ntar malah dilaknat sama ahlul bayt Rasul sendiri lho ^_^
Jgn sok ngomong klu tdk mengerti mengenai maksum.. Dan mengapa Ahlulbait harus maksum. Baca dulu Alqur’an klu ente bisa baca Alqur’an. Bgm Allah mempersiapkan mereka sbg pelanjut Rasul.
Jangan mendustakan apa yang dinyatakan oleh Allah dan RasulNya, hanya karena tidak sesuai dengan mahzab Mas
Anda sepertinya tidak membaca denganbaik tulisan saya
jadi ya sayang sekali komentarnya
Sang Rasul yang saya yakini tidak pernah melaknat umatnya sendiri, jadi berhati-hatilah dalam berbicara Mas
Salam
@abu rahat
memang Mas alangkah baiknya kalau kita bisa diskusi dengan mereka yang terbuka dengan pandangan orang lain. Gak sembarang main laknat-laknatan gitu
kan ngeri ya nggak?
Saya mau nanya mas. Mudah2an mas mau menjawabnya tanpa caci maki.
(1) Lebih maksum mana antara Baginda Nabi dan Abubakar?
(2) Coba berikan contohnya bahwa Baginda Nabi pernah lupa, pernah bersikap jelek seperti manusia biasa, dll
(3) Coba berikan contohnya bahwa Abubakar pernah lalai, salah atau lainnya/
Saya tunggu mas jawabannya
Damai…damai
Untunglah dalam Agama Islam tidak ada anjuran melaknat sesama Muslim
Terserah ente kalo ente merasa Ane ngga bisa baca Qur’an. Yang tau kan hanya ALLAH ta’ala. Asal ente tau, Ana berkata begitu setelah kmaren Ane konsultasi sama habib Ane sendiri, setelah beliau membaca beberapa artikel di blog ini.
Kembali lagi, kalo ente merasa lebih jago ilmunya dari habib Ane, ya.. silahkan disesatkan oleh kebodohan ente sendiri ^_^
Btw, aburahat = bapak yang suka asik2 <==== artinya kan memang ente cuma bisa mikir mana yang asik aja bagi ente ^_^
@2ndprince wa almirza,
Hehehe…
Coba antum lihat redaksi dan sanad hadits tersebut. Kalo mau taqiyyah, mbok pake cara yang halusan dikit, biar ngga jelas kebohongannya ^_^
Btw,
Hati2 sama laknat Rasul SAW, karena berani memutarbalikan perkataan Rasul dan memfitnah ahlul bayt Beliau sendiri. Karena kata2 Rasul sebelum wafat juga “ummati…ummati…” dan bukan “ahlal bayti…ahlal bayti…”
^_^
@armand,
Mungkin kamu belum membaa sepenuhnya tulisan saya yang sebelumnya. Kalo udah baca, pasti ngga nanya pertanyaan yang sia2 kayak begitu ^_^
Tidak ada pribadi maksum, selain RasuluLLAH SAW sendiri.
Jadi…….
Baik ahlul bayt Rasul sendiri maupun sahabat2 beliau juga belum ada yang mencapai tahap maksum.
Moga bisa mengerti dan terselamatkan dari fitnah orang2 jahil ^_^
Bagi mas mungkin sia-sia. Tapi bagi saya tidak. Karena saya ingin tau seperti apa anggapan manhaj mas thd pribadi Rasul dan pribadi Sahabat. Anggap saja belum tau mengenai hal tsb.
Baiklah, kalau pertanyaan tsb agak sulit dijawab. Saya ganti pertanyaannya;
(1) Menurut mas, pernahkah Rasul saw lupa rakaat dalam shalat?
(2) Pernahkah Rasul saw ditegur oleh Umar bin Khattab dalam strategi peperangan?
(3) Adakah Rasul saw bermuka masam?
(4) Pernah mendengarkah mas riwayat kelemahan dan kesalahan Abubakar seperti riwayat kelemahan dan kekeliruan peristiwa Rasul saw?
Menurut mas, apa arti maksum?
Jika mas masih ingin mengelak dari pertanyaan di atas, sebaiknya mas menghentikan niat mas untuk berdiskusi di blog ini.
Damai….damai
Saya yang nulis masa’ saya nggak ngelihat Mas. Jadi coba tunjukkan bagian mana yang harus saya lihat
Sayangnya sejauh ini saya menikmati diskusi dengan banyak orang, tetapi gak perlu lah pakai menuduh saya berbohong atau apa. Tuduhan begitu gak pernah bernilai sedikitpun sebagai hujjah. Argumentum Ad Hominem
btw, saya memang nggak sedang taqiyyah kok
Saya tidak memfitnah karena saya benar-benar menuliskan nash dari Al Quran dan hadis serta dipahami dengan benar. Saya sarankan agar Mas berhati-hati agar tidak mendustakan Al Quran dan Hadis shahih, seandainya tidak sesuai dengan keyakinan anda maka diamkan saja dulu gak perlu didustakan, sangat berbahaya
Saya tidak memfitnah kok, saya menyampaikan perkataan Rasulullah SAW tentang Ahlul Baitnya. Jadi tuduhan fitnah itu Mas tujukan pada siapa ya, kenapa ya tidak bisa kalau nggaka tuduh menuduh. Sayang sekali
Saya tidak menafikan Rasulullah SAW berkata ummati, ummati tetapi keliru besar jika anda berkata Rasulullah SAW tidak berkata Ahlul Baiti, gak pernah baca hadis Tsaqalain ya?. Mas Gak kenal Ahlul Bait sih tetapi mudah sekali menuduh orang lain memfitnah, wah saya heran lho dengan mereka yang belajar dari para Habib tetapi tetap sama saja dengan kaum Pokoknya. Maafkan kalau saya sedikit menyinggung
Salam
“fal yaqul khairan au liyasmuth” kan? da juga pribahasa yg mengatakan “mulutmu harimaumu”, ada juga “al fithnatu ashaddu minal qatli”. Intinya, sy cuman mo ngingetin, agar kita semua (tmsk sy) utk slalu hati2 menjaga lidah (kita (tmsk habib skalipun) kan gak maksum *lirik2 yg d atas* )
Terkadang, Lidah kadang lebih cepat dari rasio kita, jgn sampai qta menyesal nanti2 dg menzalimi/memfitnah saudara sendiri. Bukankah diskusi (& berbagi ilmu dg sodara2 yg laen) lebih mengasikkan tanpa celaan & cap2/tuduhan2 trtentu? ^-^
Saya rasa mas SP tidak bermaksud memaksa kita semua utk percaya isi blog-nya, smua tserah qta dlm mnyikapi. boleh sependapat boleh juga enggak. Katanya Al baqarah “Laa ikraha fiddin”, agama aja gak suka maksa2 org buat pcaya, knapa SP bisa “sberkuasa” ituh?
Kalo ada yg salah dlm artikel ini, marilah saling mengingatkan (ingat kandungan surah Al Ashr kan?)
dg cara yg lebih enak/properly tentunya ben sejuk dihati & gak ganggu mata yg bacanyah..
Saya percaya mas muhib pandai & tartil bacaan qur’annya, bgtu juga kepandaian habib antum ^-^ karna antum muslim kan? Dan kewajiban umat adalah memahami dg baik ajaran yg dibawa Rasulnya, yg salah satu jalannya adl memahami kandungan Al Qur’an-Hadits (qudsy maupun nabawi). Jadi pahamilah, saya kira kawan2 tidak sungguh2 bermaksud menuduh antum demikian kok
“laa yu’minu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi maa yuhibbu linafsih” wassalamu’alaikum.
WELEH3…. AHLU BAIT BERARTI BUSUK…KAYAK LUMPUR… DAN BLM BERSIH,KOTOR,JIJIK PENUH… MAKANYA MAU DI BERSIHKAN DI SUCIKAN………… TRUZ KNAPAAAAA ORANG22 KOK MENYANJUNG MEREKA…KAN MEREKA KOTOR…JIJIK….
jon, kalau dibersihkan berart sdh bersih. tapi yg tetap kotor yg JIJIK. Masa orang yg sdh mandi disamakan dgn selama hidup nda pernah mandi? Atau rupanya anda lbh senang tdk dibersihkan tetap penuh kotor yg busuk. Kasihan kasihan nda ada yg mau mendekati anda.
Nyantai aja nggak bisa ya Mas
sayang sekali, kasihan