Sikap FPI dalam amar ma'ruf nahyi munkar:
[1]Syiah Ghulat yang Sesat Menuhankan Ali, Meyakini Qur'an Palsu dan Mengafirkan Shahabat. Syi'ah golongan ini adalah Kafir dan wajib diperangi.
[2] Syiah Rafidhah tidak berkeyakinan seperti Ghulat, tapi melakukan penghinaan/ penistaan/ pelecehan secara terbuka baik lisan atau pun tulisan terhadap para Sahabat Nabi Saw seperti Abu Bakar ra dan Umar ra atau terhadap para isteri Nabi Saw seperti 'Aisyah ra dan Hafshah ra. Syi'ah golongan ini Sesat, wajib dilawan dan diluruskan.
[3] SYI'AH MU'TADILAH tidak berkeyakinan Ghulat dan tidak bersikap Rafidhah, mereka hanya mengutamakan Ali ra di atas sahabat yang lain, dan lebih mengedapankan riwayat Ahlul Bait daripada riwayat yang lain, secara zhohir mereka tetap menghormati para sahabat Nabi Saw, sedang Bathinnya hanya Allah Swt Yang Maha Tahu, hanya saja mereka tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan.
[1] Wahabi takfiri yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim, lalu bersikap mujassim yaitu mensifatkan Allah Swt. dengan sifat-sifat makhluk, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari usuluddin yang disepakati semua mazhab Islam. Wahabi golongan ini kafir dan wajib diperangi.
[2] Wahabi khawarij yaitu yang tidak berkeyakinan seperti takfiri, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan mau pun tulisan terhadap para ahlulbait Nabi saw. seperti Ali ra., Fatimah ra., Al-Hasan ra. dan Al-Husain ra. mau pun itrah/zuriyahnya. Wahabi golongan ini sesat sehingga mesti dilawan dan diluruskan.
[3] Wahabi mu’tadil yaitu mereka yang tidak berkeyakinan takfiri dan tidak bersikap khawarij, maka mereka termasuk mazhab Islam yang wajib dihormati dan dihargai serta disikapi dengan dakwah dan dialog dalam suasana persaudaraan Islam.
Sikap FPI terhadap Syiah dan Wahabi
9
Sehubungan dengan munculnya beragam macam pertanyaan bahkan fitnah dan tuduhan dalam berbagai blog mau pun Facebook di dunia maya tentang akidah FPI, ditambah lagi banyaknya desakan dari berbagai pihak agar FPI menyampaikan sikapnya secara terbuka tentang Syiah dan Wahabi. Maka kami redaksi fpi.or.id berinisiatif untuk menukilkan pernyataan Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab, M.A., saat DIKLAT Sehari FPI di akhir tahun 2009 yang lalu berkaitan dengan ASASI PEJUANGAN FPI yang terkait asas, akidah, dan mazhab organisasi.
FPI adalah organisasi AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR yang berasaskan ISLAM dan berakidahkan AHLUSUNAH WALJEMAAH serta bermazhab fikih SYAFII. Jadi, FPI bukan SYIAH atau pun WAHABI.
SYIAH
Pandangan FPI terhadap SYIAH sebagai berikut: FPI membagi Syiah dengan semua sektenya menjadi TIGA GOLONGAN: Pertama, Syiah ghulatyaitu Syiah yang menuhankan/menabikan Ali bin Abi Thalib ra. atau meyakini Alquran sudah di-tahrif (dirubah/ditambah/dikurangi), dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari usuluddin yang disepakati semua mazhab Islam. Syiah golongan ini adalah kafir dan wajib diperangi.
Kedua, Syiah rafidah yaitu Syiah yang tidak berkeyakinan seperti ghulat, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan atau pun tulisan terhadap para sahabat Nabi saw. seperti Abu Bakar ra. dan Umar ra. atau terhadap para istri Nabi saw. seperti Aisyah ra. dan Hafsah ra. Syiah golongan ini sesat, wajib dilawan dan diluruskan.
Ketiga, Syiah mu’tadilah yaitu Syiah yang tidak berkeyakinan ghulat dan tidak bersikap rafidah, mereka hanya mengutamakan Ali ra. di atas sahabat yang lain, dan lebih mengedapankan riwayat ahlulbait daripada riwayat yang lain, secara zahir mereka tetap menghormati para sahabat Nabi saw., sedang batinnya hanya Allah Swt. Yang Mahatahu, hanya saja mereka tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan. Syiah golongan inilah yang disebut oleh Prof. DR. Muhammad Said Al-Buthi, Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syekh Ali Jum’ah dan lainnya, sebagai salah satu mazhab Islam yang diakui dan mesti dihormati. Syiah golongan ketiga ini mesti dihadapi dengan dakwah dan dialog bukan dimusuhi.
WAHABI
Ada pun pandangan FPI terhadap wahabi sebagai berikut. FPI membagi Wahabi dengan semua sektenya juga menjadi tiga golongan;
pertama, Wahabi takfiri yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim, lalu bersikap mujassim yaitu mensifatkan Allah Swt. dengan sifat-sifat makhluk, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari usuluddin yang disepakati semua mazhab Islam. Wahabi golongan ini kafir dan wajib diperangi.
Kedua, Wahabi khawarij yaitu yang tidak berkeyakinan seperti takfiri, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan mau pun tulisan terhadap para ahlulbait Nabi saw. seperti Ali ra., Fatimah ra., Al-Hasan ra. dan Al-Husain ra. mau pun itrah/zuriyahnya. Wahabi golongan ini sesat sehingga mesti dilawan dan diluruskan.
Ketiga, Wahabi mu’tadil yaitu mereka yang tidak berkeyakinan takfiri dan tidak bersikap khawarij, maka mereka termasuk mazhab Islam yang wajib dihormati dan dihargai serta disikapi dengan dakwah dan dialog dalam suasana persaudaraan Islam.
Dengan demikian, FPI sangat MENGHARGAI PERBEDAAN, tapi FPI sangat MENENTANG PENYIMPANGAN. Oleh karena itu semua, FPI menyerukan kepada segenap umat Islam agar menghentikan/membubarkan semua majelis/mimbar mana saja yang secara terbuka melecehkan/menghina/menistakan ahlulbait dan sahabat Nabi saw. atau menyebarluaskan berbagai KESESATAN atau melakukan PENODAAN terhadap agama, lalu menyeret para pelakunya ke dalam proses hukum dengan tuntutan PENISTAAN AGAMA. (redaksi fi.or.id/adie)
Sumber: fpi.or.id
Haul Imam Khomeini Bersama FPI
Imam Khomeini tidak hanya milik kaum Syiah. Setidaknya hal itu dibuktikan pada peringatan wafatnya (haul) Imam Khomeini ke-20 di Islamic Cultural Center, Jakarta (04/06). Selain dihadiri pembicara utama, Ayatullah Baqir Al-Anshari, peringatan kali ini juga dihadiri oleh wakil dari Front Pembela Islam (FPI).
Sholeh Mahmud (Wasekjen DPP FPI), yang mewakili Sekjen DPP FPI Shobri Lubis dan Ketua Umum Habib Rizieq Shahab yang tidak bisa hadir karena terikat kontrak dengan “pondok pesantren” Polda, memberikan ceramah singkat mengenai perjuangan Imam Khomeini yang siap mengorbankan apa yang dimiliki untuk Allah dan Rasulullah saw.
Menurutnya, Imam Khomeini merupakan ulama sekaligus pejuang yang telah melepaskan rakyatnya dari kezaliman tirani pada masa itu. Beliau berani menghadapi risiko apapun, mulai dari penjara, pengasingan hingga ancaman kematian. Penjara di Iran, Irak, Turki dan pengasingan ke Perancis tidak membuat pemikiran dan perjuangan Imam Khomeini terhenti.
Ketika Rasulullah saw. hendak hijrah ke Madinah, Sayidina Ali ditanya oleh Nabi, “Maukah engkau menggantikan aku di tempat tidurku? Aku akan berangkat hijrah ke Makkah. Lalu Sayyidina Ali menjawab, “Wahai Rasulullah, seandainya malam ini Ali yang wafat, maka kelak akan muncul ribuan Ali yang meneruskan perjuanganmu. Namun jika engkau yang wafat, sungguh Islam belum sempurna.”
Sayidina Ali pun menempati tempat tidur Nabi dengan segala risiko yang dihadapi termasuk kematian. Inilah nilai-nilai yang harus diambil dari perjuangan dan pemikiran Imam Khomeini.
Diakhir pembicaraannya, Wasekjen DPP FPI pada malam itu mengingatkan kita semua agar senantiasa merapatkan barisan, kuatkan ukhuwah Islamiah, karena masih banyak musuh Islam yang mengancam (dari dalam) dengan adu domba di antara sesama umat Islam. Allâhu Akbar!
Peliput: Ali Reza Aljufri © 2009
Artikel Terkait:
Habib Rizieq: “Hamas dan Hizbullah, Potret Persatuan Umat Islam”
Sebenarnya sudah cukup banyak blog atau situs yang menampilkan wawancara ini. Mengingat adanya pesan penting dan hikmah yang bisa diambil dari wawancara antara wartawan SYIAR dengan Habib Rizieq Shihab di rumahnya Gang Bethel ini, berikut ini saya kutipkan wawancara tersebut kembali.
Apakah Anda punya model negara ideal yang menjalankan syariat Islam?
Sekarang ini telah bermunculan negara-negara Muslim yang menjalankan hukum Islam. Di samping punya kelebihan, mereka juga punya kekurangan. Contohnya adalah Iran. Setelah Syah Iran tumbang, Ayatulah Khomeini dan pengikutnya membentuk Republik Islam Iran. Terlepas dari perbedaan mazhab yang ada, kita juga jangan lupa bahwa model kepemimpinan Islam ini ‘kan juga terlihat di Sudan meskipun sudah diacak-acak kekuatan asing. Kalau lemah, niscaya Iran pun akan diacak-acak. Sebagaimana kita tahu, sejak memproklamasikan diri sebagai Republik Islam, Iran langsung diserang Irak, dan terjadilah Perang Teluk. Iran dikerubuti berbagai macam negara dan tekanan Barat juga tidak berkurang. Artinya, tidak ada satu pun negara Islam di dunia ini yang akan luput dari tekanan. Di Aljazair, partai Islam sudah menang pemilu tapi dikhianati.
Di kalangan Syiah, Iran sudah menjadi contoh, meskipun ada perbedaan pendapat antara Khomeini dan Muhammad Jawad Mughniyah tentang konsep wilâyatul fâqih yang belum tuntas hingga saat ini. Polemik ini adalah salah satu wujud kekurangan Iran. Sedangkan dari segi sistem politik, Iran boleh dikatakan sudah menjadi percontohan. Kita berharap ke depan akan muncul negara-negara Islam lainnya yang bisa menjadi percontohan.
Ada beberapa kesan yang saya dapat dari kunjungan saya ke Iran. Sebagai suni Syafii, tentu kita punya pandangan sendiri tentang Syiah. Namun demikian, antara memandang Syiah dari jauh dengan memandang Syiah dari dekat itu beda. Dari jauh, Syiah itu begini dan begitu. Sedangkan bila dilihat dari dekat, ternyata tidak seperti itu. Setidaknya, kunjungan saya (ke Iran—red) itu akan melunturkan kebekuan. Tadinya mungkin kaku dan anti-dialog. Tapi setelah kunjungan itu, agak sedikit lebih cair dan terbuka. Yang kemarin tidak mau mendengar sekarang jadi mau mendengar. Yang kemarin mau menyerang kini mengajak dialog.
Ke depan, sikap ini perlu dikembangkan. Sebetulnya banyak perbedaan suni-Syiah, baik dalam ushul maupun furu’. Tapi kita ingin menjawab dalam realita kehidupan sehari-hari, apakah betul tidak ada jalan untuk mendudukkan mereka bersama? Apakah betul tidak ada ruang dialog di antara mereka?
Saya lihat banyak sisi yang bisa didialogkan. Selama secara terang-terangan dan terbuka mencaci-maki Abu Bakar, Umar, dan Utsman, berarti orang-orang Syiah telah menutup pintu dialog. Mustahil ada suni yang mau diajak dialog kalau mendengar dari mulut Syiah sesuatu yang jelek tentang mereka. Orang Syiah mesti memahami kejiwaan dan perasaan sensitif Sunnisehingga tidak mencaci-maki atau menghina, apalagi mengkafirkan mereka. Begitu juga sebaliknya. Suni tidak boleh menggeneralisasi bahwa semua Syiah itu kafir dan sesat. Kalau diambil, pasti sikap seperti ini akan menyakiti hati orang-orang Syiah. Ini juga akan menutup pintu dialog.
Jadi, persatuan yang saya pahami bukan soal sependapat atau tidak sependapat. Persatuan adalah masalah hati. Bila hatinya baik, berjiwa besar, mau menerima perbedaan, mau berdialog, tidak mencaci-maki, dan tidak menghina, setiap orang pasti bisa bersatu. Tapi kalau hatinya sudah busuk dan rusak, orang tidak akan pernah bisa (bersatu—red). Perbedaan kecil sedikit pun bisa menimbulkan permusuhan.
Perbedaan sekecil apa pun, bila disikapi dengan jiwa kerdil, dada sempit, sikap egois, dan mau menang sendiri, pasti akan mendatangkan perpecahan dan malapetaka. Apalagi kalau perbedaannya besar, wah sudah pasti hancur lebur. Sebaliknya, perbedaan sebesar apa pun, kalau disikapi dengan jiwa besar, dada lapang, sikap tafâhum, dan saling hormat, insya Allah tidak akan menimbulkan perpecahan.
Sekali lagi, persatuan ini adalah masalah hati. Kita tidak bisa memaksakan orang untuk sependapat. Mustahil. Sebab perbedaan pendapat adalahsunnatullah yang akan selalu ada di setiap tempat dan zaman.
Bila Syiah mengkritik kepemimpinan Abu Bakar dengan cara ilmiah dan santun dan disertai dalil-dalil dan argumentasi yang baik, suni wajib menjawabnya. Kita pun mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan orang kafir yang bertanya tentang akidah kita. Seperti Ahmad Deedatterhadap pertanyaan-pertanyaan orang kafir. Begitu juga sebaliknya. Nah, kedua belah pihak (suni-Syiah—red) harus menjawab dengan santun.
Kalau Syiah, tanpa angin dan hujan, tiba-tiba mencaci Abu Bakar, itu sama saja ngajak perang. Kritik terhadap sahabat, yang bagi ahlusunah adalah tabu tetapi biasa bagi Syiah, hendaknya disampaikan dengan adab, ilmiah, akhlakul karimah, dan tidak emosional. Membangun hal seperti ini tidaklah mudah tetapi ini bisa menyatukan hati dan langkah dalam kalimatullah. Itu yang lebih penting.
Pandangan Anda tentang Syiah di Indonesia?
Kalau yang saya lihat selama ini, hubungan saya baik dengan kawan-kawan Syiah di Indonesia. Apa yang saya sampaikan ke Anda sekarang ini juga sudah saya sampaikan kepada mereka. Contohnya kepada Ustadz Hassan Daliel (Alaydrus), saya katakan, “Bib (habib—red.), kenapa kita bisa jalan bareng? Karena saya belum pernah mendengar Anda mencaci-maki sahabat. Nah, ini perlu dijaga. Yang saya dengar kritik antum juga sopan. Tapi kalau suatu saat saya mengkafirkan Anda dan Anda maki-maki sahabat, kita bisa musuhan.”
Ini sebagai gambaran umum dari apa yang saya terima dari Ustaz Hassan Daliel, Ustaz Othman Shihab, Ustaz Agus Abubakar, Ustaz Husein Shahab, Ustaz Zein Alhadi, dan banyak lagi ustaz-ustaz Syiah yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. Saya belum pernah mendengar ungkapan jelek dari mulut-mulut mereka. Yang saya tahu mereka adil, berilmu, berakal, dan beradab. Mudah-mudahan hubungan ini bisa dipertahankan. Bahkan bukan hanya itu, saya berharap orang-orang seperti mereka mampu tampil ke depan mendorong orang-orang Syiah yang di bawah atau junior-junior mereka agar tidak mencaci-maki sahabat nabi. Sebab, ada satu saja Syiah yang mencaci-maki sahabat, nanti orang-orang suni yang tidak paham akan menggeneralisasi bahwa Syiah memang seperti itu. Orang awam ‘kan mudah menggeneralisasi.
Iran dikenal sebagai negara yang paling banyak membantu perjuangan Hamas dan rakyat Palestina yang notabene Sunni. Apakah kenyataan ini tidak bisa dijadikan momentum persatuan Sunni-Syiah?
Iya, betul itu. Itu hal yang saya sangat catat. Waktu saya ke Iran kemarin, Khaled Meshaal (Ketua Depatemen Politik Hamas—red.) baru saja pulang dari Iran, tempat yang sama dengan yang kita datangi.
Jadi, hubungan Hamas dan Hizbullah yang saling topang dan bantu seharusnya menjadi potret bagi persatuan umat. Mereka tetap pada pendapatnya masing-masing. Tapi pada saat mempunyai musuh bersama yang bernama Israel dan Amerika, kekafiran dan kezaliman, Hamas-Hizbullah bisa duduk dan jalan bersama. Kita juga bisa melihat hubungan erat antara Hasan Nasrullah (Sekjen Hizbullah—red) yang Syiah dengan Fathi Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin di Lebanon) yang suni. Bahkan Nasrullah ngomong secara terbuka bahwa Fathi Yakan-lah yang pantas menggantikan Siniora. Inilah potret positif yang luar biasa di zaman modern ini.
Di sisi lain, kita juga sedih bagaimana Syiah dan suni di Irak begitu gampang diadu domba. Ini jelas permainan pihak ketiga. Dia (pihak ketiga—red.) meledakkan masjid Syiah dan menuding suni, dan kemudian meledakkan masjid suni dan menuding Syiah.
Saya berharap kita bisa mengembangkan potret suni-Syiah yang pertama. Potret yang kedua harus dihentikan segera. Sekarang di mana-mana semakin transparan adu dombanya, seperti di Irak dan Pakistan. Karena Syiah di Indonesia tidak besar, maka (adu domba itu—red.) belum terasa. Tapi di beberapa tempat adu-domba ini jelas berhasil.
Syiah bukan barang baru di Indonesia. Menurut sejarawan, Syiah datang dari Gujarat dan Persia. Setidaknya budaya Persia cukup dikenal dalam tradisi keberagamaan di Indonesia. Apakah ini bisa jadi salah satu faktor pemersatu Sunni-Syiah?
Iya, itu bisa jadi faktor. Tapi, tetap faktor utamanya adalah masalah jiwa besar dan akhlak yang baik. Orang Syiah yang berilmu dan berakhlak tidak akan mungkin dari mulutnya keluar caci-maki kepada umat lain. Tidak ada. Saya kenal ulama-ulama Syiah yang berakhlak dan berilmu. Tidak ada keluar kata-kata kotor dari mulut mereka. Jadi, bila ada aktivis-aktivis Syiah yang mengeluarkan kata-kata kotor tentang sahabat, saya jadi heran, mereka itu ngikutin siapa?
Jadi, semua kembali ke hati, yang gambarannya bisa dilihat dari mulut. Bila mulutnya sudah penuh umpatan dan caci-maki, pasti hatinya sudah jelek. Kalau hatinya baik, dia bisa menghargai orang. Dia bisa mengetahui dan menahan ucapannya yang bisa menyinggung saudaranya. Bila ingin menyampaikan kebenaran, ia menyampaikannya dengan santun. Bahkan bila kita berhadapan dengan orang kafir, meski mungkin hatinya mencaci-maki Islam, yang menyampaikan kritiknya dengan sopan, kita mesti menjawabnya. Nabi dulu juga berdialog dengan orang musyrik, kafir, Nasrani, dan Yahudi. Itu contoh bagi kita.