MUI desak Mendagri hentikan pembatalan perda miras
Bilal
Rabu, 18 Januari 2012 14:31:11
JAKARTA (Arrahmah.com) –
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pimpinan Ormas Islam mendesak Kemendagri tidak lagi melakukan klarifikasi dan evaluasi terhadap Peraturan Daerah (Perda) Anti Minuman Keras (Miras).
Karena menurut MUI, perda larangan miras telah membawa kondisi masyarakat semakin baik dan kondusif. Secara faktual, perda juga memberikan manfaat besar bagi terwujudnya ketertiban, ketenangan dan keamanan di tengah masyarakat.
“Yang lebih penting lagi, perda dibuat melalui mekanisme demokrasi dan bersifat konstitusional. Artinya, perda merupakan perwujudan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan kebijakan dan kesepakatan bersama pemerintah daerah dan DPRD,” Kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin kepada arrahmah.comdalam jumpa pers di kantor MUI, Jl Proklamasi Jakarta Pusat, Rabu(18/1).
Sehingga, MUI mendesak agar dihentikannya klarifikasi terhadap perda tersebut, yang pada substansinya adalah instruksi pembatalan perda.
“Demi kemaslahatan bersama, berdasarkan berbagai pertimbangan tadi, kami minta Kemendagri tidak mengklarifikasi dan evaluasi Perda anti miras. Kami merasa perlu bersikap, karena klarifikasi Mendagri itu seperti instruksi kepada Bupati Indramayu agar mencabut Perda itu,” tambahnyanya .
MUI juga meminta pemerintah daerah mempertahankan perda tentang larangan miras. Sebab, perda tersebut memiliki faedah bagi masyarakat.
MUI, mencontohkan bagaimana perda larangan miras yang berlaku di Manokwari dan Bali sangat efektif melindungi masyarakat. “Tidak hanya anak muda, orang tua pun terlindungi dengan adanya perda ini,” kata dia Ma’ruf Amin.
MUI menurut Ma’ruf bahkan meminta Perda tersebut bisa ditingkatkan menjadi Undang-Undang agar bisa memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Serta meminta Perda tersebut dipertahankan saja, karena bila Perda dicabut, maka peredaran miras menjadi sangat sulit dikontrol dan dapat memberikan kemudharatan bagi umat.
“Jadi perlu dipertahankan Perda-Perda itu karena telah membawa kemaslahatan bagi ummat. Kalau Perda itu bertentangan dengan Keppres, Keppresnya saja yang dirubah,” kata Ma’ruf.
MUI dan Ormas Islam sudah memberikan pernyataan terkait Perda Miras. Pernyataan sikap tersebut ditandatangani KH Ma’ruf Amin dan 15 pimpinan ormas Islam. Diantaranya Natsir Zubaidi dari Dewan Masjid Indonesia, M Amin Lubis (DPP Tarbiyah Islam), Suharto (DPP Tarbiyah Islamiyah), M Ziyad (PP Muhammadiyah), Umar Husin (PP Al Irsyad Al Islamiyah), Harits Abu Ulya (Hizbut Tahrir). (bilal/arrahmah.com)
Read more:
Kepentingan bisnis haram, di balik pencabutan perda larangan miras
Bilal
Sabtu, 14 Januari 2012 13:20:39
JAKARTA (Arrahmah.com) –
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan ada kepentingan bisnis haram di balik pencabutan peraturan daerah (Perda) larangan minuman keras (miras) oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Kemendagri pastilah di bawah tekanan pebisnis miras sehingga tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada gledek, perda larangan miras dicabut,” tudingnya, Selasa (10/1) sore di Bogor, Jawa Barat. Seperti dilansir oleh HTI Press.
Alasan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No 3 Tahun 1997 tentang pengaturan peredaran miras tidak dapat diterima Ismail.
Pasalnya, Keppres yang menjadi rujukan Kemendagri tersebut dibuat oleh Presiden, saat itu, Soeharto, untuk menjaga kepentingan bisnis haram cucunya. “Keppres No 3 Tahun 1997 itu dibuat Soeharto untuk menjaga dan melegalisasi bisnis haram Ari Sigit!” ungkapnya.
Jadi kalau memang dianggap bertentangan, seharusnya pemerintah mengganti Keppresnya bukan malah mencabut Perda yang melarang miras. “Seharusnya Keppersnya yang diganti dengan Keppres yang menjunjung moral dan tidak menghalalkan miras!” tegasnya.
Menurut Ismail, hal itu harus dilakukan bila pemerintah memang konsekuen menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri. “Berdasarkan aturan yang berlaku, Perda pelarangan miras itu sah, karena dibuat berdasarkan proses legislasi yang berlaku di negeri ini,” ungkapnya.
Memang, Mendagri memiliki kewenangan untuk mencabut Perda, tetapi berbatas waktu, maksimal 60 hari setelah Perda itu diberlakukan. “Saat ini banyak Perda larangan miras yang diberlakukan lebih dari 60 hari bahkan sudah bertahun-tahun. Di Bulukumba dan Tangerang malah sejak 2005,” jelasnya. Sejak saat itu angka kriminalitas yang dipicu dan dipacu miras merosot tajam di daerah itu.
Ismail pun menyatakan, polemik pencabutan Perda larangan miras ini merupakan bukti yang kesekian kali bahwa aturan yang dibuat manusia memang selalu tidak singkron dengan cita-cita memuliakan kehidupan manusia.
“Kan aneh, kita semua tahu bahwa miras itu dampaknya sangat buruk terhadap moralitas bangsa, miras jugalah yang memicu maraknya kriminalitas, sehingga Pemda pun mengakomodasi keinginan warganya untuk memberantas miras, tetapi pemerintah pusat bukannya memberantas miras, pabrik miras malah diizinkan berdiri, peredarannya pun dilegalkan dengan istilah ‘diatur’,” kecamnya.
Menurut Ismail, ketidaksingkronan tersebut tidak akan terjadi bila syariah Islam diterapkan secara kaaffah dalam bingkai khilafah. “Karena patokannya jelas, yakni halal atau haram, bukan kepentingan,” pungkasnya. (HTI/bilal/arrahmah.com)
Read more: AWAS Pelintiran Peraturan ala Manipulasi Aparat jahat dan Permainan Mafia2 Miras.. dengan antek2 Birokrat dan para Borjuasi Jahat.. dan Perusak Moral Bangsa Indonesia...???
Miras dengan kadar alkohol di bawah 5 persen bebas dijual?
Althaf
Jum'at, 13 Januari 2012 10:23:03
JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan tak pernah mencabut Perda Minuman Keras (Miras). Namun Gamawan hanya meluruskan kategori miras yang dilarang.
“Soal Perda miras ini yang keliru, saya juga nggak tahu sumbernya dari mana, dibilang Kemendagri membuat Kepmen mencabut Perda Miras. Tidak, jadi saya jelaskan, bahwa berdasarkan UU 32/2004 , Menteri Dalam Negeri membantu presiden dalam rangka mengevaluasi perda bersama menteri keuangan,”kata Mendagri Gamawan Fauzi kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/1/2012).
Gamawan dalam suratnya meluruskan permasalahan tersebut. Agar larangan penjualan miras sesuai aturan yang berlaku.
“Khusus mengenai pajak dan retribusi UU 28/2009 mengatakan bahwa ini dievaluasi oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Ada Keppres no 3/1997 menyatakan bahwa untuk miras ada 3 dolongan A 0-5 persen, B 5-20 persen, C 20-55 persen. Dalam Keppres disebutkan bahwa yang kandungan etanolnya 0-5 persen itu boleh bebas,” beber Gamawan.
Selain itu ia juga mencocokkan kategori miras yang diatur UU. Agar bupati tidak salah membuat Perda.
“Yang kedua, pengaturan peredaran perizinan karena ini ada impor, ada buatan pabrik, ini kewenangan pemerintah pusat diatur dlm PP 38. Jadi diatur peraturan pemerintah no 38 yang mengatur kewenangan daerah, disebutkan pengaturan ini kewenangan pusat. Tapi untuk menjual dimana-mana tempatnya itu kewenangan bupati,” ungkap Mendagri.
“Nah yang dibuat surat oleh Kemendagri kepada daerah-daerah yang mengajukan perda itu tidak dalam bentuk keputusan, tapi menyurati mengingatkan ini ada pasal sekian, ini ada UU sekian, agar dipedomani. Tidak boleh membuat Perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, itu amanat UU, salahnya dimana. Yang berhak membatalkan Perda itu Presiden dengan Perpresnya,”tegas mantan Gubernur Sumatera Barat ini. (dtk/arrahmah.com)
Read more: http://arrahmah.com/read/2012/01/13/17400-miras-dengan-kadar-alkohol-di-bawah-5-persen-bebas-dijual.html#ixzz1jsH75nvZ GAM: Pembatalan perda miras bertentangan dengan hukum positif
Bilal
Ahad, 15 Januari 2012 14:25:58
JAKARTA (Arrahmah.com) –
Koordinator Gerakan Antimaksiat (GAM) Jogjakarta Ghodi Nurhamidi melihat, kebijakan Mendagri tersebut berlawanan dengan hukum positif di masyarakat. Memperlihatkan, pemerintah sengaja membiarkan peredaran miras yang tak resmi untuk dilegalkan.
”Diatur saja seperti sekarang, peredarannya sangat sulit dikontrol. Kalau tidak diatur, akan seperti apa?” sesalnya Yogyakarta, Jum’at(13/1).
Terhadap pemkot dan DPRD Kota Jogja, Ghodi menyarankan agar bijaksana dalam memutuskan. Apalagi, Jogja merupakan kota pelajar. Sangat tak relevan jika penjual miras dibiarkan karena ada perlindungan hukum.
”Kalau harus dievaluasi, justru dengan meningkatkan hukuman. Jangan hanya denda Rp 50 juta dan ancaman hukuman kurungan tiga bulan. Buat sanksi yang lebih berat,” sarannya.
Seperti telah diketahui, Kantor Kementrian Dalam Negeri didemo massa aktivis Islam. Ini karena, Kemendagri mencabut 351 perda. Sembilan di antaranya mengatur masalah peredaran miras. (rdrjogja/bilal/arrahmah)
Read more:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar