ada yang ganjil pada khalifah umar !! Rasul belum di makam kan koq udah pada rebutan tahta sampai sampai rumah anak rasul pun didobrak….. ???
Posted on Januari 16, 2012 by syiahali
Mengapa Syi’ah berupaya membongkar kudeta masa lalu ???
Taktik kudeta :
- Kaum ANSHAR Menyiapkan Pertemuan Megah di Saqifah Bani Sa’idah, bukankah ANEH pada saat jenazah Rasulullah SAW masih hangat tetapi secara sistematis terkumpul tokoh tokoh Anshar di Saqifah ??? Jenazah Nabi ditinggalkan, kaum Anshar segera mengadakan muktamar di Tsaqifah karena khawatir terhadap kaum Muhajirin, namun ‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba.
- Skenario pembagian TAHTA : Pasca kemenangan di Saqifah. Jika Abubakar wafat maka Umar disiapkan menjadi suksesor. Jika Umar wafat maka Abu ‘Ubaidah yang menggantikan. Namun sebelum Umar wafat maka Abu ‘Ubaidah duluan wafat
- Abubakar dan Umar mundur dari PASUKAN USAMAH dengan berbagai cara, padahal NABi SAW sengaja mengirim saingan politik Imam Ali agar menjauh dari Madinah demi kekhalifahan Ali
- Umar bin Khattab menggagalkan wasiat tertulis NABi SAW pada saat Nabi SAW berupaya memerintahkan PENULiSAN DOKUMEN HiTAM DiATAS PUTiH, dia bilang : “Nabi menggigau”
- Umar bin Khattab menyerbu rumah Imam Ali dan Fatimah agar kubu AHLULBAiT gagal menghimpun kekuatan. Dalam penyerbuan ini, Fatimah keguguran lalu sakit parah dan wafat 6 bulan kemudian
- Umar bin Khattab dengan cara kekerasan meraih dukungan SUKU SUKU yang menolak bergabung dengan mereka
- Aisyah anak Abubakar memback up ayahnya melalui hadis hadis palsu seperti masalah FADAK dan Abubakar ditunjuk Nabi menjadi imam shalat saat Nabi sekarat..
- Abubakar merampas kebun FADAK FATiMAH guna memukul habis kekuatan ekonomi kubu ahlulbait sehingga kekuatan militer imam Ali lumpuh
- Abubakar dan Umar membakar ludes hadis hadis Nabi yang dicatat para Sahabat Nabi SAW
SEJARAH YANG TERKUAK !!!!!!
Rasul wafat di hari senin selepas dhuhur. Pada tanggal 12 Rabiul awal, tahun 11 H. atau tepatnya tanggal 8 juni 632 M. Umar dan Mughirah bin syu’bah di perkenankan masuk ke kamar untuk melihat jenazah Rasul. Kedua orang ini termasuk prajurit dalam pasukan Usamah. Dan Umar membuka tutup wajah Rasul dan mengatakan bahwa Rasul hanya pingsan.
Tatkala meninggalakan kamar itu Mughirah berkata kepada Umar “ tetapi anda mengetahui bahwa Rasul telah wafat.” Umar menjawab “ anda bohong, Nabi tidak akan wafat sebelum memusnahkan orang munafiq.” Umar lalu mengancam akan membunuh siapa saja yang menagatakan Rasul telah wafat.
Melihat Umar, Ibn Umm Maktum membacakan ayat Al-Qur’an. “ Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu Rasul-Rasul. Apabila ia wafat atau terbunuh apakah kamu akan bebalik murtad ? tetapi barang siapa berbalik murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allah SWT. Allah SWT memberikan pahala kepada orang-orang yang bersyukur. (QS.Ali-Imran : 144)
Kemudian setelah Ibn Umm Maktum membacakan ayat kepada Umar, Umar masih terlihat marah-marah, sambil mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan Rasul telah wafat. Kemudian Salim bin Ubaid pergi kepada Abu Bakar yang tinggal di Sunh, sekitar satu kilometer ke arah barat masjid Nabi. Ia menceritakan apa yang terjadi. Tatkala Abu Bakar tiba, Umar juga masih marah-marah. Setelah itu Umar diam dan menunggu Abu Bakar keluar dari kamar Rasul. Kemudian setelah Abu Bakar keluar dari kamar Rasui, ia mengatakan “barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup. Tetapi barang siapa menyembah Muhammad, sesungguhnya ia telah wafat.” Setelah itu Abu Bakar membacakan yat yag tadi di bacakan oleh Maktum. Umar lalu bertanya kepada Abu Bakar “ Apakah itunayat Al-Qur’an ? ” Abu Bakar kemudian menjawab “ ya”.
Kembali kepada perangai Umar yang ganjil, yang menperagakan keraguannya tentang wafatnya Rasul, ia menjadi cemas tentang masalah yang menyangkut pengganti Rasul. Ia takut dan cemas apabila orang Anshar dan yang lain (yaitu keluarga Rasul) mengambil kekuasaan, maka ia menciptakan keraguan dan memperagakan sikap enggan menerima kenyataan bahwa Rasul telah wafat, untuk melindungi agama,sambil menunggu kedatangan Abu Bakar. Ada beberapa faktor bahwa peragakan Umar adalah sebuah drama yang tidak rasional. Berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Rasul telah wafat. Dan Umar pun mengetahui hal tersebut.
- Pada hari kamis, 4 hari sebelum Rasul wafat. Rasul telah meminta kertas dan tinta untuk mendiktekan wasiatnya,yang kemudian di halang-halangi oleh Umar bin Khotthob.
- Rasul pada akhir hayatnya mendatangi rumah Sayyidah Fatimah dan berbisik kepadanya bahwa akan segera wafat. Dan kemudian Fatimah bersedih mendengar hal itu. Kemudian Rasul berbisik kepada fatimah untuk yang kedualinya “ Engkau adalah anggota Ahlul Bayt yang pertama kali menemui ku. “ kemudian fatimah tersenyum. Ini telah menunjukkan bahwa Rasul segera wafat, mana mungkin Umar tidak mengetahui hal ini.
Menguburkan Jenazah Nabi saw.
Setelah kaum muslimin menyalati jenazah Nabi saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah sau-daranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesung-guhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudah-mu terdapat peristiwa besar.”[1]
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil meng-ubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.
Muktamar Tsaqîfah
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekha-lifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Saqifah atau balairung ini terletak di suatu tempat sekitar lima ratus meter sebelah Barat Masjid Nabi. Di sini terdapat sebuah sumber air yang bernama Bi’r Budha’ah dan sebuah masjid. Marga Sa’idah yang mendiami ‘desa’ ini memiliki sebuah balairung(Saqifah) tempat bermusyawarah, yang terkenal dengan nama Saqifah Bani Sa’idah. Di sinilah kaum Anshar berkumpul pada saat Rasul wafat, untuk mengangkat Sa’d bin Ubadah, pemimpin kaum Anshar, menjadi pemimpin umat.
Seorang Anshar membocorkan pertemuan ini kepada Umar bin Khalhthab, dan bersama empat orang Mekkah lainnya, Umar dan Abu Bakar datang ke Saqifah.Terjadilah perdebatan hangat, dan kalau bukan karena anak Sa’d bin ‘Ubadah yang bernama Qais, mungkin Sa’d bin ‘Ubadah telah dibunuh Umar pada saat itu. Abu Bakar dibaiat di Saqifah. Kecuali beberapa orang yang tetap tidak mau membaiat Abu Bakar, seperti tokoh Anshar Sa’d bin ‘Ubadah, mayoritas yang hadir telah membaiatnya. Lembaga baiat yang di zaman Nabi merupakan lembaga pengukuhan, telah dijadikan lembaga pemilihan. Bagaimana dengan pihak yang tidak setuju? Timbul paksaan. Kekerasan datang susul menyusul.
Apabila Umar demikian sedihnya melihat Rasul wafat, mengapa ia tidak mengurus jenazah Rasul, tetapi malah pergi ke Saqifah ? atau, setelah sampai ke pertemuan orang anshar di Saqifah, mengapa Umar tidak mengajak mereka untuk kembali ke masjid nabi dan mengurusi pemakaman Rasul ?.
Ala kulli hal, kaum Anshar telah berperan sebagai tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Nabi saw. dan mereka pernah mene-barkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”[2]
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha merendahkan dan menghinakan para khalifah itu. Mu‘âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu‘âwiyah memerintah, dia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar men-calonkan Sa‘d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa‘d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa‘d, Khazraj. Sudah sejak lama memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa‘d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif di ajang perebutan kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Nabi saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Nabi saw. Kedudukan Ali as. di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam telah tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Ia pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memak-sanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Dia menakut-nakuti, mengancam, dan meng-gertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Nabi saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”[3]
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap orang muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Fatimah Az-Zahrâ’ as., buah hati Nabi saw. Padahal Allah ridha karena keridhaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Dengan pedang terhunus para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekuatan mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas perkara ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, sebaliknya kalianlah yang semestinya membaiatku. Kalian telah merampas hak ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian juga telah merampas kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kalian telah mendakwa di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih berhak atas kekhilafahan ini daripada mereka dengan dalih Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Nabi saw., baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman! Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu menyadarinya.”
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih kuat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan sepupu-sepupu atau pamannya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjalin dalam bentuk yang paling sempurna. Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. dan berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak mem-baiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar sengit.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membe-lanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasu-lullah.”
Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Nabi saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya dia menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fatimah berada di sisinya.”
Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari menuju ke makam saudaranya, Nabi saw., untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”[4]
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar, telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ….”(QS. Âli ‘Imrân [3]:144)
Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as.
Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka
- Pengepungan Rumah Fatimah.
Perdebatan di Saqifah bani Saidah yang berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar berekor panjang. Petang hari itu juga, setelah selesai pembaiatan, rombongan yang dipimpin oleh Abu bakar dan Umar beramai-ramai datang ke masjid Madinah. Dan beberapa puluh meter dari masjid, dirumah Fathimah, Ali dan Abbas sedang mengurus jenazah Rasul. Pada saat itu ada beberapa sahabat yang berada di rumah tersebut. Seperti Abu dzar, Miqdad, Salman, Ammar bin yasir dan lain-lain.
Abu bakar dan Umar menyadari sepenuhnya akan tuntutan Ali bin abi Thalib, yang sepanjang hidup Rasul di anggapa sebagai saudara Rasul dalam pengertian yang luas, yang mana Ali adalah wasyi Rasul, pemimpin setelah Rasul yang kedudukan Imam Ali disisi Rasul bagaikan Harun disisi Musa. Dan kemudian Abu bakar dan Umar menyuruh serombongan sahabat untuk memanggil Imam Ali dan membaiat Abu bakar di masjid. Setelah Imam Ali menolak, Umar menasehati Abu bakar untuk segera bertindak agar tidak terlambat, kemudian Umar mengepung rumah Imam Ali dan Sayyidah Fathimah dengan serombongan orang bersenjata dan mengancam akan membakar rumah itu. Cerita ini diriwayatkan di kitab Tarikh jilid 2 halaman 126.
Umar dan Khalid bin walid mendekat kerumah Fathimah. Umar masuk kedalam rumah, dan Khalid berdiri di dekat pintu. Kemudian Zubair, sepupu Rasul, memegang pedang, Umar berkata kepada Zubair “untuk apa pedang ini” Zubair menjawab “untuk membaiat Ali”. kemudian Umar merampas pedang Zubair dan mematahkannya dan melemparkannya ke batu. Zubair pun dikeluarkan dari rumah dan diserahkan kepada Khalid. Kemudian Umar berkata kepada Imam Ali“Hai Ali baiatlah Abu bakar!” Imam Ali tidak mau membaiat Abu bakar, maka Ali kemudian diseret dandiserahkan kepada Kholid kemudian Imam Ali berkata kepada Umar “engkau sedang memerah susu untuk Abu bakar dan dirimu sendiri, engkau bekerja untuknya hari ini, dan besok dia akan mengangkatmu menjadi penggantinya.”
Maka orang-orang pun berkumpul untuk menonton, dan jalan-jalan madinah pun menjadi ramai. Setelah sayyidah Fathimah melihat apa yang diperbuat oleh Umar, Ia menjerit, sehingga seakan-akan keramaian menjadi sepi sejenak. Fathimah lalu keluar dari pintu dan berseru. “ Hai Abu bakar! Alangkah cepatnya anda menyerang keluarga Rasul. Demi Allah, saya tidak berbicara dengan Umar sampai say menemui Allah. Kalian mengetahui bahwa jenazah Rasul belumlah terkubur dan masih berada di dalam rumah ini. Kalian telah mengambil keputusan antar kalian sendiri, tanpa bermusyawarah dengan kami dan tanpa menghoramati hak-hak kami. Demi Allah aku katakan keluarlah kalian dari sini segera! Maka rombongan itu pun membubarkan diri dan tanpa mendapat bait dari Imam Ali
- emang ya kliatanya ada yg ganjil pd khilifah umar…..bner ni tulisan…..
- bgaimana pdhal rasul blum di makam kan koq udah pd rebutan..kyak ank kcil aja….
smpe2 rumah ank rasul pun di dobrak…..
waah parah nie…..
Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabi saw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang rumahnya.
Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamkupun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[5]
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak terlibat di dalamnya.
1.Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
2. Hayâh Al-Imam Husain as., Jil. 1/ 235.
3.Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar terhadap Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silakan merujukTârîkh Ath-Thabarî, Jil. 3/202, Târikh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/156, Târîkh Al-Ya‘qûbî, Jil. 2/105, Murûj Adz-Dzahab, Jil. 1/414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, Jil. 1/12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, Jil. 1/ 34, Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaidah, hal. 131, A‘lâm An-Nisâ’, Jil. 3/205, danAl-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, Jil. 1/213.
4.Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
5 .Nahjul Balâghah, Jil. 2/ 182.
Benarkah ini:
Filed under: Uncategorized
« Apabila Umar demikian sedihnya melihat Rasul wafat, mengapa ia tidak mengurus jenazah Rasul, tetapi malah pergi ke Saqifah ? atau, setelah sampai ke pertemuan orang anshar di Saqifah, mengapa Umar tidak mengajak mereka untuk kembali ke masjid nabi dan mengurusi pemakaman Rasul ?. Jenazah Nabi ditinggalkan, kaum Anshar segera mengadakan muktamar di Tsaqifah karena khawatir terhadap kaum Muhajirin, namun ‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. »
Kenapa syiah membenci umar
BalasHapus