Meninggalkan Standar Emas Adalah Kesalahan Fatal Yang Harus Kita Tanggung
Analisis, GM 1:58 PMhttp://www.globalmuslim.web.id/2011/08/meninggalkan-standar-emas-adalah.html
Pada hari Senin pagi kita sudah berhasil bertahan hidup selama empat dekade dengan fiatmoney (*) - meskipun, mengingat kekacauan yang terjadi di pasar dalam beberapa pekan terakhir, banyak yang menebak-nebak berapa lama lagi hal ini akan bisa bertahan.
Pada tanggal 15 Agustus 1971, saat keuangan publik Amerika terhambat karena biaya perang Vietnam, Presiden Richard Nixon akhirnya memotong kaitan antara dolar AS dan emas. Sampai saat itu, Departemen Keuangan AS berkewajiban untuk menukar satu ons emas dimana Bank Sentral bersedia untuk membayarnya seharga $ 35.
Tiba-tiba, untuk pertama kalinya dalam sejarah, tingkat mata uang dunia tidak bergantung pada nilai emas atau komoditas lain yang nyata tapi pada tingkat kepercayaan yang dimiliki investor pada mata uang itu. Bank Sentral diizinkan untuk menetapkan kebijakan moneter berdasarkan naluri mereka daripada pada kebutuhan untuk menjaga nilai mata uang agar sejalan dengan emas.
Itu adalah salah satu perkembangan yang maknanya secara bertahap awalnya jelas, kemudian tidak jelas saat Perang Vietnam dan kemudian terjadi Skandal Watergate. Tapi semakin seseorang mengamati sejarah ekonomi, semakin jelas terlihat bahwa ini adalah salah satu keputusan kebijakan terpenting dalam sejarah modern.
Kalau bukan karena keputusan itu, akan sangat mungkin bahwa kita tidak akan sedemikian menderita dalam krisis keuangan pada empat tahun terakhir ini; atau juga krisis demi krisis yang melanda pasar dunia. Kita mungkin tidak menghadapi pasar yang paling bergejolak selama beberapa minggu sejak tahun 2008.
Bukanlah Karena rezim Bretton Woods yang berlaku sebelumnya itu sempurna, yakni di mana mata uang di seluruh dunia juga dipatok dengan emas, lewat dolar .
Malahan hal ini jauh dari sempurna. Tapi memahami masalah dengan sistem moneter internasional yang tidak sempurna yang kita warisi dari Presiden Nixon dapat membantu mencerahkan kita pada begitu banyak masalah-masalah fundamental ekonomi dunia yang dihadapi: Misalnya, Mengapa Barat meminjam begitu banyak uang dan Timur menyimpannya secara berlebihan? Mengapa kita tampaknya akan kalah dalam peperangan dengan inflasi? Mengapa proteksionisme meningkat lagi?
Mari kita mulai dengan prinsip pertama: selama yang bisa orang ingat, para politisi telah berusaha untuk menghabiskan lebih dari yang mereka mampu. Sejak ditemukannya uang, mereka telah menemukan cara yang lebih cerdik untuk melakukannya.
Serangan-serangan atas penurunan mata uang ini biasanya berakhir dengan bencana, karena keprcayaan yang hilang atas mata uang, inflasi mulai muncul dari atas atap dan ekonomi mulai runtuh, setelah itu para politisi memperkenalkan sistem baru yang lebih kredibel.
Metode awal yang dilakukan adalah mengurangi nilai mata uang (debasing currency). Henry VIII mendapat julukannya sebagai “Old Coppernose” karena ia menambahkan tembaga (copper) begitu banyak pada apa yang seharusnya untuk koin perak sehingga akhirnya ketika terkikis tembaga itulah yang pertama kali akan terlihat pada permukaannya yang paling tinggi yakni pada gambar hidung (nose) sang raja .
Setelah kepercayaan atas koin emas dan perak menguap, kita memiliki standar emas dan kemudian Bretton Woods dan sistim yang sekarang , pada hari ini, yakni fiat money- tetapi hal yang rutin terjadi adalah hal yang menyakitkan. Perbedaan utama dengan fiat money adalah bahwa kalau dengan standar emas semuanya terlalu jelas ketika para politisi menghabiskan uang diluar kemampuannya (karena mereka hanya akan kehabisan cadangan emas), maka pada saat ini menjadi sedikit lebih sulit untuk mengatakan seberapa dekat sistem ini akan rusak.
Meskipun demikian, seperti yang kita lihat kembali pada kekacauan yang terjadi pada beberapa minggu terakhir adalah cukup jelas bahwa versi masalah yang kita hadapi saat ini adalah sistim ini berdiri pada kakinya yang terakhir. Hal ini, pada dasarnya, adalah titik yang dibuat Sir Mervyn King yang mencoba untuk melakukan konperensi lagi dan lagi tentang Laporan Inflasi pers minggu lalu: tahun 2008 hanyalah satu tahap dalam krisis kepercayaan yang jauh lebih besar dalam cara kita menyusun ekonomi dunia.
Selama 40 tahun terakhir, dengan tidak adanya sistem moneter internasional yang masuk akal dan berada di bawah selubung mata uang mengambang (floating currencies), negara-negara yang seharusnya dihukum karena melakukannya hal itu malah diizinkan untuk meminjam uang dalam jumlah besar (seperti AS dan Inggris, atau Yunani). Negara-negara lain (misalnya Cina atau Jerman) dimanjakan dengan diberikan sejumlah besar pinjaman. Sementara itu, investor meyakinkan diri mereka sendiri bahwa pertumbuhan ekonomi yang jelas didorong oleh utang ini adalah yang sebenarnya dan bukan produk buatan dalam suatu pesta.
Krisis 2008 merupakan pengakuan pertama bahwa kenaikan pada harga asset-aset dan pertumbuhan ekonomi adalah masuk akal. Kejadian yang terulang baru-baru ini merupakan pengakuan bahwa kerugian hanya dipindahkan kepada neraca penguasa.
Tapi apa yang terjadi berikutnya? Jawaban Panglossian adalah bahwa ketidakseimbangan secara perlahan tapi pasti menempatkan haknya: negara-negara berhutang meminjam lebih sedikit dan membayarkanya pada kreditor. Tapi jarang ada negara-negara yang melakukannya dengan hati-hati: apa yang tampaknya malahan muncul adalah krisis tahap berikutnya yang merupakan krisis kepercayaan terhadap sistim yang terletak pada kepercayaan dan bukannya pada ukuran yang pasti, yang memiliki cara yang bisa diandalkan untuk dapat memperbaiki dirinya sendiri.
Jadi apakah kita mendekati akhir era ekonomi? Semua ciri khasnya memang dimiliki. Kita sudah melewati periode kepercayaan pada system ini, yang memuncak dengan kepercayaan tertentu pada tahun 1990-an dan awal 2000-an bahwa target inflasi benar-benar akan membantu menjaga pemerintah agar tetap stabil.
Jadi apakah kita mendekati akhir era ekonomi? Semua ciri khasnya memang dimiliki. Kita sudah melewati periode kepercayaan pada system ini, yang memuncak dengan kepercayaan tertentu pada tahun 1990-an dan awal 2000-an bahwa target inflasi benar-benar akan membantu menjaga pemerintah agar tetap stabil.
Dan kita sudah mengalami krisis keuangan yang biasanya menandai awal dari berakhirnya sistem moneter yang mapan. Dan sekarang kita melihat penurunan nilai tersebut.
Perhatikanlah harga emas, yang baru-baru memasuki skala tertinggi baru. Sejak tahun 1970-an harga emas per ons telah meningkat dari mulai di bawah $ 40 hingga secara menakjubkan menjadi $ 1740 . Harga itu mencerminkan banyak faktor, termasuk pertumbuhan ekonomi, namun yang terutama dari factor itu adalah kepercayaan yang menurun pada kemampuan fiat money untuk mempertahankan nilainya.
Abaikanlah lonjakan harga minyak dan fluktuasi ringan yang terjadi dari waktu ke waktu: bukanlah secara kebetulan bahwa harga benar-benar mulai menusuk (dengan kata lain kepercayaan pada mata uang versus jatuhnya harga emas) pada tahun 2001, yang merupakan tahun dimana Bank Sentral pertama kali mulai bereksperimen dengan Pelonggaran Kuantitatif (Quantitative Easing -QE) - di Jepang.
Bahwa harga telah mencapai rekor tertinggi saat Bank of England dan Federal Reserve mengikutinya dengan cara baru-baru ini mencetak uang untuk memperkuat hal ini. Bahkan Bank Sentral Eropa yang sekarang berada satu langkah lebih dekat menuju QE (membawa kepada apa yang Sir Mervyn sebut sebagai “batas terluar dari apa yang bisa dilakuan Bank Sentral”) yakni dengan menyetujui untuk menanggung hutang Spanyol dan Italia.
Tidak ada keraguan bahwa emas ada dalam sebuah gelembung, tetapi semua gelembung itu dimulai dengan benih ide yang baik, yang dalam hal ini adalah bahwa sistem sekarang ini yang menjalankan perekonomian dunia mendekati kerusakan. Akan merupakan hal bagus untuk percaya bahwa para pembuat kebijakan bisa mencari dan menemukan jalan keluar dari keadaan mereka dari keadaan kacau saat ini tanpa lebih lanjut menurunkan mata uang mereka, tetapi, setidaknya secara politik, itulah yang selalu merupakan jalan keluar yang mudah.
Sayangnya, menurunnya mata uang adalah semacam hal yang kompetitif, saat berbagai negara bersaing untuk mengurangi nilai dari uang mereka (dan karenanya mengurangi hutang mereka). Telah ada pembicaraan mengenai “perang mata uang” dalam beberapa tahun terakhir, tapi hal ini tidak ada artinya dibandingkan dengan devaluasi kompetitif dan proteksionisme pada tahun 1930-an ketika perang antar standar emas berakhir. Namun, preseden itu tidak menyenangkan.
Seperti yang terlihat pada hari ini, harapan apapun, hal ini terletak pada Cina. Negara itu secara cepat menyadari bahwa investasinya dalam mata utang AS tidak akan terlunasi penuh.
Namun, dalam jangka panjang negara itu memiliki dua pilihan: untuk membiarkan Amerika untuk mengurangi nilai mata uang dolar atau default, atau melakukan negosiasi, “memaafkan” sebagian hutang itu dan secara dramatis mengurangi ketidakseimbangan tersebut.
Secara ekonomi, negara itu mampu melakukannya, tapi apakah ia mampu melakukannya secara politis adalah pertanyaan lain. Namun demikian, langkah berani seperti itu (dan saya tidak berharap akan terjadi dalam waktu dekat) setidaknya hal ini akan menandai gerakan ekonomi yang tepat yang akan membantu membangun sistem moneter internasional mendatang. (rza)
======================
Glossary
Fiat money adalah adalah uang yang memiliki nilai hanya karena regulasi pemerintah atau hukum.
Sistem Manajemen Moneter Bretton Woods mendirikan aturan bagi hubungan komersial dan finansial antara negara-negara besar dunia industry pada pertengahan abad ke-20.
QE yakni Quantitative Easing atau Pelonggaran Kuantitatif (QE) adalah kebijakan moneter-konvensional yang digunakan oleh bank sentral untuk merangsang perekonomian nasional ketika kebijakan moneter-konvensional telah menjadi tidak efektif.
sumber: Telegraph.co.uk (13/8/2011)
Kegagalan Nyata Kapitalisme
Analisis, GM, kapitalisme, neoliberalisme 8:46 AM http://www.globalmuslim.web.id/2011/08/kegagalan-nyata-kapitalisme.html
Dua peristiwa besar yang menimpa dua negara besar semakin menunjukkan kebobrokan ideologi Kapitalisme. Inggris, negara utama Kapitalisme di Eropa, diguncang kerusuhan masal. Kerusuhan dipicu tewasnya Mark Duggan, pria berkulit hitam, di kawasan Tottenham kamis (4/8). Dua hari kemudian, sebuah unjuk rasa damai untuk memperingati kematiannya berubah menjadi kekerasan yang menjalar ke distrik Lewisham dan Peckham. Toko-toko dijarah, pemrotes melempari polisi dengan batu, beberapa bangunan dan bis dibakar. Protes terjadi di kota-kota Barat dengan alasan yang berbeda seperti biaya kuliah yang meningkat dan langkah-langkah penghematan krisis ekonomi Yunani.
Para analis mengatakan kerusuhan di Tottenham bukan hanya disebabkan oleh kematian Duggan, namun merupakan dampak dari kesulitan ekonomi terutama di kalangan rakyat miskin. Penghematan untuk mengurangi hutang pemerintah Inggris mulai dirasakan dampaknya oleh rakyat kecil, seperti pengangguran tinggi dan pengurangan layanan publik. Tottenham merupakan tempat tinggal sejumlah minoritas etnis yang sering mengalami diskriminasi dan di sana kerap terjadi ketegangan etnis. Kegagalan sistem Kapitalisme telah menimbulkan frustasi sosial.
Negara utama kapitalis lainnya, Amerika, juga mengalam krisis hutang yang akut. Setelah sebelumnya mengalami perdebatan yang panjang, akhirnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Partai Republik sepakat menaikkan pagu utang dari 14,3 triliun dolar
AS menjadi 16,7 triliun dolar AS sambil mengurangi defisit sebesar 2,1 triliun dolar AS dalam sepuluh tahun mendatang.
Menurut Christianto Wibisono (Kompas, 8/08), masalah kunci AS adalah besar pasak daripada tiang. Sekarang ini rasio utang AS terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mendekati 98,5 persen, sedangkan penerimaan pajak hanya 30,5 persen dan pembelanjaan 46,5 persen. Utang AS sebesar 14,3 triliun dolar AS nyaris setara PDB 14,8 triliun dolar AS. Utang ini membebani setiap penduduk AS 46.825 dolar AS, sedangkan bagi pembayar pajak 130.000 dolar AS perkapita.
Obama sendiri mewarisi utang luar negeri AS yang terus membengkak terutama sejak Perang Dunia II. George W Bush Jr melipatgandakan utang dari 5,7 triliun dolar AS pada Januari 2001 menjadi 10,7 triliun dolar AS pada akhir masa jabatan keduanya (2008). Obama tetap terjerat utang yang meningkat sampai 14,6 triliun dolar AS atau menyamai PDB AS. Rasio utang/PDB juga meningkat terus dari 35 persen (2000), 40 persen (2008), dan 62 persen (2010).
Untuk menutupi utangnya lewat produksi sektor rill, AS mengalami kesulitan. Pasalnya, produsen barang manufaktur konkret adalah Cina dan Asia Timur, sedangkan Eropa dan AS mengalami kemunduran dan tak bisa bersaing. Negara itu akhirnya akan lebih banyak bermain pada produk "imajiner" derivatif finansial yang beromset triliunan dolar AS, mengawang di bursa sedunia tanpa menyentuh sektor rill. Namun, di sinilah justru pangkal dari bencana ekonomi dunia karena sifat spekulatifnya yang tinggi dan tidak berhubungan dengan sektor rill. Berbagai manipulasi dan rekayasa mungkin saja dilakukan sehingga indeks harga saham secara kumulatif terdongkrak naik secara ekstrem. Namun, langkah-langkah ini tetap saja tidak akan bisa membuat AS lepas dari belitan hutang. Sebaliknya, malah memperparah kondisi ekonomi dunia.
Langkah nekad terakhir yang mungkin ditempuh oleh negara itu adalah mencetak uang dolar (yang tidak berbasis emas) sebanyak-banyaknya. Hal ini akan menimpulkan hyperinflasi, depresiasi tajam mata uang dolar terhadap mata uang lainya. Dalam kondisi seperti ini ambruknya dolar tinggal menunggu waktu. Bencana ini bukan hanya menimpa Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara lain di dunia yang memegang atau menyimpan dolar. Diversifikasi cadangan devisa juga tidak banyak membantu, karena sama seperti dolar, mata uang lain seperti Euro juga sama-sama uang kertas berbasis fiat money. Dalam kondisi seperti ini, uang kertas, Surat berharga, saham, apapun namanya akan teronggok menjadi kertas yang tidak berharga.
Dalam tinjauan Lajnah Mashlahiyah Hizbut Tahrir Indonesia, setidaknya ada tiga hal yang menjadi sumber krisis tersebut yaitu: sektor finansial yang berbasis ribawi, model perseroan terbatas yang bergantung pada saham yang dipasarkan di bursa yang spekulatif, dan mata uang kertas yang dapat dicetak dengan mudah sehingga mendorong terjadinya inflasi. Berbagai paket reformasi keuangan diterapkan guna menata sistem tersebut. Namun, tetap saja tak mampu menahan sistem ini dari krisis. Demikian pula kemampuan AS sebagai raksasa ekonomi saat ini untuk menyangga perekenomiannya dengan mencetak dolar dan berutang, makin mencemaskan banyak pihak.
Kerusuhan London dan krisis utang Amerika Serikat menunjukkan kegagalan nyata dari sistem Kapitalisme global. Di sinilah relevansi kebutuhan dunia akan sistem Khilafah Islam yang akan memberikan sistem alternatif atas Kapitalisme yang sekarat. Khilafah Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjauhkan dari praktik ekonomi non rill yang menjadi pangkal krisis. Setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar (tipuan), dharar dan sejenisnya yang tumbuh satu paket dalam ekonomi non rill.
Umat Islam sesungguhnya sudah memiliki segala potensi untuk menjadi negara adidaya baru, potensi akidah (ideologi), sistem syariah yang mengatur segala aspek dalam bentuk yang detil (politik, ekonomi, sosial, atau pendidikan), sumberdaya manusia yang berkualitas, termasuk potensi kekayaan alam, energi, geografi, dan jumlah penduduk. Yang dibutuhkan Dunia Islam hanyalah kemauan dan keberanian untuk mencampakkan sistem Kapitalisme yang busuk dan mengganti penjaganya dari penguasa boneka yang kejam. Umat Islam kemudian menggantinya dengan sistem Islam dengan membaiat seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslimin. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). Kalau tidak sekarang, kapan lagi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar