Sabtu, 18 Juni 2011
Lord Acton? Hmm ... Nggak Lah ... Ngaco ... Salah Tuh
oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
http://tom-finaldin8.blogspot.com/2011/06/lord-acton-hmm-nggak-lah-ngaco-salah.html
Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, ‘kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak’. Begitulah adagium Lord Acton yang sangat dikenal di dunia.
Adagium tersebut menggoncangkan daratan tempatnya lahir. Anehnya, orang-orang Indonesia pun ikut bergoncang sampai hari ini dan mengamininya. Padahal, ia mengatakan hal tersebut pada 1870, sudah lama sekali, saat terjadi krisis besar di organisasi Katolik Romawi. Kemudian, ia pun semakin menegaskan pandangan-pandangannya dalam The Vatican Decrees mengenai contoh-contoh sejarah tidak lurusnya dan tidak konsistennya sistem kepausan.
Ia mengeluarkan pandangan tersebut berdasarkan fenomena yang terjadi di sekitarnya dalam organisasi keagamaannya. Ia tidak pernah melihat permasalahan di Indonesia. Beda jauh antara Indonesia dengan kekacauan dalam organisasi Katolik Romawi. Jaraknya saja sudah sangat jauh, ribuan mil, agamanya apalagi, jauh pisan euy, di sana Katolik, sedangkan di sini Islam, cik atuuuh ... mikir saeutik. Jadi, aneh sekali jika orang-orang Indonesia mengutip pernyataan Lord Acton itu untuk menganalisa sesuatu yang terjadi di Indonesia atau melawan kekuasaan di Indonesia.
Adagiumnya itu hanya tepat untuk di negerinya sendiri dan di tempat-tempat yang memiliki permasalahan yang sama. Akan tetapi, sangat tidak tepat jika digunakan di tempat lain dengan permasalahan yang berbeda, terutama di Indonesia.
Begini Saudara-saudara sekalian. Coba gunakan adagiumnya itu untuk melawan contoh-contoh kekuasaan lain. Pasti tidak tepat, bertolak belakang.
Muhammad Rasulullah saw berkuasa mutlak dan seumur hidup. Korupsikah beliau? Tidak!
Penggantinya, yaitu Abu Bakar As Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib berkuasa mutlak seumur hidup. Korupsikah orang-orang mulia itu? Tidak!
Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin itu sampai hari ini perilakunya menjadi rujukan orang-orang Islam. Tak ada kekotoran korupsi selama kepemimpinannya yang sangat mutlak.
Kita ambil contoh penguasa lain yang warna kulitnya sama dengan kita. Raden Wijaya, orang Sunda yang mendirikan Kerajaan Majapahit; Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Pajajaran; Hayam Wuruk dan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit; Pangeran Diponegoro; Sultan Hasanudin; Tuanku Imam Bonjol; Tuanku Tambusai; Sisingamangaraja; Dipatiukur; Sentot Alibasyah; Ratu Sima dari Bali; Sultan Iskandar Muda; para pemimpin lainnya yang tersebar di nusantara pra-VOC. Mereka berkuasa secara mutlak seumur hidup. Korupsikah mereka? Bencikah rakyat kepada mereka? Bersenang-senangkah mereka di atas penderitaan rakyat? Tidak!
Para pemimpin di seluruh nusantara itu berkuasa secara mutlak, tetapi tidak korup. Buktinya, sampai hari ini tidak ada satu orang pun yang membenci mereka, bahkan sering mengenang kejayaan keemasan dalam kepemimpinan yang mutlak itu. Tak sedikit orang yang dadanya berdebur-debur bangga dengan kehebatan nusantara masa lalu. Di samping itu, memang tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan mereka dan pemerintahannya melakukan tindakan-tindakan korup.
Kerajaan Pajajaran dalam kekuasaan yang mutlak di bawah kendali Prabu Siliwangi malahan mengalami zaman keemasan dan kejayaan dengan sistem pemerintahan yang bersih, clean government. Hal itu dikomentari Tome Pires, sejarahwan Portugis.
Kata Tome Pires, “The Kingdom of Sunda is justly governed. They are true men.”
Artinya, Kerajaan Sunda diperintah dengan adil. Mereka orang-orang jujur.
Kalau disebut jujur, berarti tidak korup. Di dalam masa keemasan Pajajaran adagium Lord Acton menjadi tidak tepat dan tidak laku. Bukan hanya di dalam masa keemasan Pajajaran adagium itu salah tempat, melainkan pula di kerajaan-kerajaan lain di seluruh nusantara ini sebelum kedatangan VOC.
Akan tetapi, memang adagium itu jadi sangat tepat di Indonesia sejak kedatangan VOC. Sejak Si Anjing itu menggonggongi tanah Ibu Pertiwi, terjadi pergeseran budaya yang tajam. VOC ikut campur dalam kehidupan keraton yang akhirnya menimbulkan berbagai kebijakan yang berpengaruh langsung kepada rakyat.
Sejak situasi pemerintahan didomplengi orang-orang barat, apalagi saat ini yang bukan hanya didomplengi, melainkan mengadopsi sistem politik barat, adagium Lord Acton menjadi sangatlah tepat untuk digunakan melawan kekuasaan yang korup dan mutlak di Indonesia. Adagium ini dijadikan alat untuk menumbangkan rezim orde baru yang bermesraan dengan kapitalis.
Adagium itulah yang tampaknya menjadikan pula orang-orang takut untuk meninggalkan sistem politik demokrasi. Mereka masih sangat percaya bahwa kekuasaan mutlak itu pasti korup. Saya juga memang percaya kekuasaan mutlak itu pasti korup jika sistem politiknya berasal dari barat atau meniru-niru cara hidup orang barat.
Korupsi sendiri merupakan budaya barat dan diperkenalkan ke Indonesia melalui sistem pemerintahan barat dalam masa kolonial. Perkenalan dan keakraban korupsi tersebut berlanjut sampai hari ini dalam sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi itu berasal dari barat dan merupakan sistem yang korup.
Korupsi di Indonesia dalam catatan sejarah dimulai sejak kehadiran VOC. Tak ada catatan korupsi sebelum VOC datang.
Di mana korupsi itu dimulai?
Korupsi dimulai di tubuh VOC sendiri. VOC itu kan perusahaan, maskapai, company, dan rakyat biasa menyebutnya kompeni atau kumpeni. Di dalam perusahaan itulah dimulai terjadinya korupsi besar-besaran yang kemudian menjalar ke kalangan penduduk pribumi yang bekerja sama dengan pihak Belanda. Perilaku itu berlanjut menular mewabah terus-menerus hingga kini.
Dengan demikian, budaya korupsi itu adalah budaya barat, sama sekali bukan budaya asli Indonesia. Akan tetapi, anehnya orang-orang barat itu yang mengecam Indonesia sebagai negara korup. Memang korup sih, tetapi sejarahnya kan mereka juga yang ngajarin.
Sepanjang Indonesia menggunakan sistem politik nyontek barat, korupsi pasti terus berlanjut. Persoalan korupsi itu bukan karena lama-tidaknya atau mutlak-tidaknya kekuasaan, melainkan persoalan sistem dan mental. Meskipun periode kekuasaan dibatasi oleh konstitusi, korupsi ternyata tetap terjadi, bahkan semakin semarak memperkaya para begundal. Sistem politik barat memang menghasilkan mental-mental yang korup karena dibangun pula oleh mental yang korup. Oleh sebab itulah, mereka giat sekali menyerang korupsi dan tidak pernah berhasil. Kalaupun sulit korupsi di negerinya sendiri, mereka pergi ke negeri orang untuk kemudian melakukan korupsi dan aksi tipu-tipu.
Berbeda jauh dengan sistem pemerintahan yang dibangun oleh para raja di Indonesia zaman dahulu. Sistem dan struktur pemerintahan yang dibangun berasal dari mental-mental yang dikendalikan oleh nilai-nilai luhur bangsa. Misalnya, di dalam pemerintahan Sunda yang digunakan dalam Kerajaan Pajajaran dikenal istilah Tritangtu di Buana, ‘Tiga Hal Pasti di Dunia’. Tiga hal tersebut adalah pertama,Prabu, pelaksana pemerintahan yang harusngagurat batu, ‘berwatak teguh’. Kedua, Rama, penentu hal-hal yang harus dipijak, wataknya harus ngagurat lemah, ‘melindungi, memfasilitasi, dan mengarahkan jalan hidup’.Ketiga, Resi, penjaga serta pemberdaya hukum dan agama yang berwatak ngagurat cai, ‘menyejukkan dalam peradilan’. Pemerintahan yang terbentuk dari nilai-nilai luhur itu menghasilkan pula pribadi-pribadi yang bernilai luhur tanpa korupsi. Sayangnya, perkembangan nilai-nilai luhur itu terdistorsi penjajahan yang jelas korup.
Adagium Lord Acton sama sekali tidak berlaku terhadap sistem pemerintahan di nusantara pra-VOC. Para penguasa nusantara saat itu berkuasa seumur hidup dan mutlak, tetapi tidak korup dan tidak menyengsarakan rakyat. Bahkan, rakyat merasa bangga.
Artinya, kita hendaknya mulai menggali dan terus menggali contoh-contoh dari budaya dan nilai luhur sendiri, bukan nyontek dari orang lain. Kalau nyontek orang lain, pasti akan mengalami kekacauan seperti yang dialami oleh mereka juga yang kacau-balau seperti ketel penuh minyak yang mendidih panas sekali. Kalau ingin korupsi berhenti dan negara berada dalam kemakmuran kejayaan, mulailah belajar dari diri sendiri. Peninggalan keluhuran kejayaan itu masih ada, kita tinggal menyatukan kepingan-kepingannya sehingga menjadi gambar yang jelas, kemudian dijadikan rujukan untuk membentuk sistem politik baru khas Indonesia. Itulah Indonesia yang sesungguhnya kita inginkan.
Adagium tersebut menggoncangkan daratan tempatnya lahir. Anehnya, orang-orang Indonesia pun ikut bergoncang sampai hari ini dan mengamininya. Padahal, ia mengatakan hal tersebut pada 1870, sudah lama sekali, saat terjadi krisis besar di organisasi Katolik Romawi. Kemudian, ia pun semakin menegaskan pandangan-pandangannya dalam The Vatican Decrees mengenai contoh-contoh sejarah tidak lurusnya dan tidak konsistennya sistem kepausan.
Ia mengeluarkan pandangan tersebut berdasarkan fenomena yang terjadi di sekitarnya dalam organisasi keagamaannya. Ia tidak pernah melihat permasalahan di Indonesia. Beda jauh antara Indonesia dengan kekacauan dalam organisasi Katolik Romawi. Jaraknya saja sudah sangat jauh, ribuan mil, agamanya apalagi, jauh pisan euy, di sana Katolik, sedangkan di sini Islam, cik atuuuh ... mikir saeutik. Jadi, aneh sekali jika orang-orang Indonesia mengutip pernyataan Lord Acton itu untuk menganalisa sesuatu yang terjadi di Indonesia atau melawan kekuasaan di Indonesia.
Adagiumnya itu hanya tepat untuk di negerinya sendiri dan di tempat-tempat yang memiliki permasalahan yang sama. Akan tetapi, sangat tidak tepat jika digunakan di tempat lain dengan permasalahan yang berbeda, terutama di Indonesia.
Begini Saudara-saudara sekalian. Coba gunakan adagiumnya itu untuk melawan contoh-contoh kekuasaan lain. Pasti tidak tepat, bertolak belakang.
Muhammad Rasulullah saw berkuasa mutlak dan seumur hidup. Korupsikah beliau? Tidak!
Penggantinya, yaitu Abu Bakar As Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib berkuasa mutlak seumur hidup. Korupsikah orang-orang mulia itu? Tidak!
Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin itu sampai hari ini perilakunya menjadi rujukan orang-orang Islam. Tak ada kekotoran korupsi selama kepemimpinannya yang sangat mutlak.
Kita ambil contoh penguasa lain yang warna kulitnya sama dengan kita. Raden Wijaya, orang Sunda yang mendirikan Kerajaan Majapahit; Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Pajajaran; Hayam Wuruk dan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit; Pangeran Diponegoro; Sultan Hasanudin; Tuanku Imam Bonjol; Tuanku Tambusai; Sisingamangaraja; Dipatiukur; Sentot Alibasyah; Ratu Sima dari Bali; Sultan Iskandar Muda; para pemimpin lainnya yang tersebar di nusantara pra-VOC. Mereka berkuasa secara mutlak seumur hidup. Korupsikah mereka? Bencikah rakyat kepada mereka? Bersenang-senangkah mereka di atas penderitaan rakyat? Tidak!
Para pemimpin di seluruh nusantara itu berkuasa secara mutlak, tetapi tidak korup. Buktinya, sampai hari ini tidak ada satu orang pun yang membenci mereka, bahkan sering mengenang kejayaan keemasan dalam kepemimpinan yang mutlak itu. Tak sedikit orang yang dadanya berdebur-debur bangga dengan kehebatan nusantara masa lalu. Di samping itu, memang tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan mereka dan pemerintahannya melakukan tindakan-tindakan korup.
Kerajaan Pajajaran dalam kekuasaan yang mutlak di bawah kendali Prabu Siliwangi malahan mengalami zaman keemasan dan kejayaan dengan sistem pemerintahan yang bersih, clean government. Hal itu dikomentari Tome Pires, sejarahwan Portugis.
Kata Tome Pires, “The Kingdom of Sunda is justly governed. They are true men.”
Artinya, Kerajaan Sunda diperintah dengan adil. Mereka orang-orang jujur.
Kalau disebut jujur, berarti tidak korup. Di dalam masa keemasan Pajajaran adagium Lord Acton menjadi tidak tepat dan tidak laku. Bukan hanya di dalam masa keemasan Pajajaran adagium itu salah tempat, melainkan pula di kerajaan-kerajaan lain di seluruh nusantara ini sebelum kedatangan VOC.
Akan tetapi, memang adagium itu jadi sangat tepat di Indonesia sejak kedatangan VOC. Sejak Si Anjing itu menggonggongi tanah Ibu Pertiwi, terjadi pergeseran budaya yang tajam. VOC ikut campur dalam kehidupan keraton yang akhirnya menimbulkan berbagai kebijakan yang berpengaruh langsung kepada rakyat.
Sejak situasi pemerintahan didomplengi orang-orang barat, apalagi saat ini yang bukan hanya didomplengi, melainkan mengadopsi sistem politik barat, adagium Lord Acton menjadi sangatlah tepat untuk digunakan melawan kekuasaan yang korup dan mutlak di Indonesia. Adagium ini dijadikan alat untuk menumbangkan rezim orde baru yang bermesraan dengan kapitalis.
Adagium itulah yang tampaknya menjadikan pula orang-orang takut untuk meninggalkan sistem politik demokrasi. Mereka masih sangat percaya bahwa kekuasaan mutlak itu pasti korup. Saya juga memang percaya kekuasaan mutlak itu pasti korup jika sistem politiknya berasal dari barat atau meniru-niru cara hidup orang barat.
Korupsi sendiri merupakan budaya barat dan diperkenalkan ke Indonesia melalui sistem pemerintahan barat dalam masa kolonial. Perkenalan dan keakraban korupsi tersebut berlanjut sampai hari ini dalam sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi itu berasal dari barat dan merupakan sistem yang korup.
Korupsi di Indonesia dalam catatan sejarah dimulai sejak kehadiran VOC. Tak ada catatan korupsi sebelum VOC datang.
Di mana korupsi itu dimulai?
Korupsi dimulai di tubuh VOC sendiri. VOC itu kan perusahaan, maskapai, company, dan rakyat biasa menyebutnya kompeni atau kumpeni. Di dalam perusahaan itulah dimulai terjadinya korupsi besar-besaran yang kemudian menjalar ke kalangan penduduk pribumi yang bekerja sama dengan pihak Belanda. Perilaku itu berlanjut menular mewabah terus-menerus hingga kini.
Dengan demikian, budaya korupsi itu adalah budaya barat, sama sekali bukan budaya asli Indonesia. Akan tetapi, anehnya orang-orang barat itu yang mengecam Indonesia sebagai negara korup. Memang korup sih, tetapi sejarahnya kan mereka juga yang ngajarin.
Sepanjang Indonesia menggunakan sistem politik nyontek barat, korupsi pasti terus berlanjut. Persoalan korupsi itu bukan karena lama-tidaknya atau mutlak-tidaknya kekuasaan, melainkan persoalan sistem dan mental. Meskipun periode kekuasaan dibatasi oleh konstitusi, korupsi ternyata tetap terjadi, bahkan semakin semarak memperkaya para begundal. Sistem politik barat memang menghasilkan mental-mental yang korup karena dibangun pula oleh mental yang korup. Oleh sebab itulah, mereka giat sekali menyerang korupsi dan tidak pernah berhasil. Kalaupun sulit korupsi di negerinya sendiri, mereka pergi ke negeri orang untuk kemudian melakukan korupsi dan aksi tipu-tipu.
Berbeda jauh dengan sistem pemerintahan yang dibangun oleh para raja di Indonesia zaman dahulu. Sistem dan struktur pemerintahan yang dibangun berasal dari mental-mental yang dikendalikan oleh nilai-nilai luhur bangsa. Misalnya, di dalam pemerintahan Sunda yang digunakan dalam Kerajaan Pajajaran dikenal istilah Tritangtu di Buana, ‘Tiga Hal Pasti di Dunia’. Tiga hal tersebut adalah pertama,Prabu, pelaksana pemerintahan yang harusngagurat batu, ‘berwatak teguh’. Kedua, Rama, penentu hal-hal yang harus dipijak, wataknya harus ngagurat lemah, ‘melindungi, memfasilitasi, dan mengarahkan jalan hidup’.Ketiga, Resi, penjaga serta pemberdaya hukum dan agama yang berwatak ngagurat cai, ‘menyejukkan dalam peradilan’. Pemerintahan yang terbentuk dari nilai-nilai luhur itu menghasilkan pula pribadi-pribadi yang bernilai luhur tanpa korupsi. Sayangnya, perkembangan nilai-nilai luhur itu terdistorsi penjajahan yang jelas korup.
Adagium Lord Acton sama sekali tidak berlaku terhadap sistem pemerintahan di nusantara pra-VOC. Para penguasa nusantara saat itu berkuasa seumur hidup dan mutlak, tetapi tidak korup dan tidak menyengsarakan rakyat. Bahkan, rakyat merasa bangga.
Artinya, kita hendaknya mulai menggali dan terus menggali contoh-contoh dari budaya dan nilai luhur sendiri, bukan nyontek dari orang lain. Kalau nyontek orang lain, pasti akan mengalami kekacauan seperti yang dialami oleh mereka juga yang kacau-balau seperti ketel penuh minyak yang mendidih panas sekali. Kalau ingin korupsi berhenti dan negara berada dalam kemakmuran kejayaan, mulailah belajar dari diri sendiri. Peninggalan keluhuran kejayaan itu masih ada, kita tinggal menyatukan kepingan-kepingannya sehingga menjadi gambar yang jelas, kemudian dijadikan rujukan untuk membentuk sistem politik baru khas Indonesia. Itulah Indonesia yang sesungguhnya kita inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar