Rabu, 17 Aug 2011. http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/17/15800/tanpa-resolusi-jihad-tidak-akan-ada-nkri/
Tanpa Resolusi Jihad, Tidak Akan Ada NKRI
Kenapa harus alergi mendengar kata jihad. Padahal seruan jihad, mendorong perlawanan bangsa Indonesia hingga terbebas dari belenggu penjajah. Tanpa jihad dan berkat rahmat Allah, Indonesia tak akan merdeka, tidak punya harga diri dan kedaulatan di negeri ini. Tapi kini, jihad dikebiri, diredam, bahkan dikaburkan maknanya. Padahal, sesungguhnya, jihad tak akan lekang oleh waktu.
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Yang menarik, berdasarkan laporan pemerintah Belanda sendiri, bahwa peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Ironis, sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, tidak mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi oleh KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa “wajib” bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dan sangat disayangkan, sejarah negeri ini tenyata tidak pernah berkata jujur tentang peran Laskar santri yang terhimpun dalam Hizbullah maupun laskar kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam berperang melawan penjajah. Ketika itu Hizbullah berada di bawah Masyumi, dimana KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai Ketua Masyumi.
Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur. Konon, pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah.
Peran kiai dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Menurut penelitian Agus Sunyoto, dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah para kiai.
Patut diketahui, Hizbullah dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang pernah hidup di bumi Indonesia. Meskipun dalam sejarah, keberadaan laskar tersebut disisihkan. Buktinya, perjuangan mereka tidak ditemukan dalam museum-museum. Boleh jadi, para laskar ini seringkali berselisih paham dengan pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda ketika itu.
Resolusi Jihad
Tahukah? Pada 21 Oktober 1945, telah berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”. Sejarawan Belanda Bruinessen mengakui, Resolusi Jihad ini tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarawan.
Dari perspektif historis, banyak orang-orang NU sendiri yang tidak mengerti posisi sejarah Resolusi Jihad. Sangat disayangkan, Resolusi Jihad yang diperankan NU termaginalisasi, bahkan terhapus dari memori sejarah bangsa. Itu akibat pergulatan dan manuver politik, ada upaya-upaya dari kelompok tertentu yang ingin menggusur NU dari dinamika percaturan politik kebangsaan.
Tak dipungkiri, semangat ke-jam’iyyah-an NU di kalangan generasi muda kini semakin merosot. Pada lingkup internal, banyak kader-kader muda NU yang tidak mengerti rangkaian sejarah Resolusi Jihad. Survei membuktikan, ingatan masyarakat tentang Resolusi Jihad NU 1945 yang memiliki mata rantai dengan Peristiwa 10 November di Surabaya semakin punah.
“Oleh karena itu, wacana Resolusi Jihad NU harus dihidupkan kembali, direkonstruksi dan tidak ditempatkan pada upaya politisasi sejarah. Tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada NKRI seperti yang kita cintai saat ini,” kata Gugun El-Guyanie, penulis buku Resolusi Jihad Paling Syar’i.
Jangankan masyarakat umum, generasi-generasi penerus NU dari pusat sampai ranting, Ansor-Fatayat, IPNU-IPPNU pun banyak yang tidak mendapatkan transfer sejarah mengenai resolusi penting itu.
Setelah menginjak lebih dari setengah abad, memori tentang resolusi itu hendak dihidupkan kembali. Di Surabaya, sudah mulai dibangun museum Resolusi Jihad oleh PCNU Surabaya. Pengurus NU dan kader-kadernya pun mulai berdiskusi dan memperingati hari Resolusi Jihad tiap tanggal 22 Oktober.
Anti Kolonial
Untuk menyegarkan ingatan kembali, dulu, NU telah mengharamkan pantalon dan dasi. NU dengan tegas menolak sistem pendidikan model Belanda. Ketika itu NU memakai hadits: ”man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum” (siapa yang menyerupai suatu golongan, tentu dia merupakan bagian dari mereka).
Perlawanan kultural terhadap pemerintah kolonial Belanda, berhasil membentuk kiai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat bangsa Indonesia yang sangat anti penjajah, Pada gilirannya, sikap anti penjajah ini memberikan sumbangan yang sangat besar pada perjuangan menuju Indonesia merdeka.
Juga ingatlah, ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan ke arah Timur pada waktu-waktu tertentu, NU langsung menyatakan penolakannya. Seperti juga semua orang Islam, pendewaan kepada selain Allah, dipandang sebagai perbuatan syirik oleh NU.
KH. Hasyim Asy’ari secara terbuka menyatakan penolakan itu. Pengaruhnya yang besar menghantarkan kiai pendiri NU ini dijebloskan Jepang ke dalam tahanan. Saikerei yang diwajibkan kepada bangsa Indonesia menjadi api yang membakar perlawanan umat Islam. Adalah KH. Zaenal Musthofa dari Singaparna, seorang anggota NU, kemudian mengangkat senjata. Sebuah perlawanan bersenjata pertama kali terhadap Jepang.
Ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad. Namun, sebelumnya NU mengirim surat resmi kepada pemerintah yang berbunyi:
”Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat ”sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.”
Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
- Musuh RI, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
- Umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
- Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap muslim (fardhu ’ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.
Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir yang dipekikkan Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya.
Dari sejarah ini, warga NU dan para elitnya, seyogianya tidak menjadi alergi ketika akhir-akhir ini ada upaya untuk mengebiri, meredam dan mengaburkan makna jihad. Resolusi Jihad yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari, seyogianya diingat kembali. Karena resolusi jihad yang bersejarah itu tak pernah lekang oleh waktu. Karena umat Islam memenuhi panggilan jihad, maka disaat itulah harga diri dan kemuliaan akan diraih.
Di era kemerdekaan ini, bisa saja seruan jihad dikembangkan maknanya, tapi bukan berarti jihad harus dilenyapkan dan dikubur dalam-dalam. Apalagi sampai membuat stigmatisasi, seolah jihad adalah sesuatu yang mengancam dan membahayakan penguasa. Tanpa jihad, umat ini akan lesu dan ternina-bobokan, juga tak punya visi ke depan. (Desastian/dbs)
Kemerdekaan RI: Anugerah Allah Melalui Jihad Pahlawan dan Pejuang Islam
Oleh: Wildan Hasanhttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6660297917839456177
Peminat Pemikiran Islam, tinggal di Lemah Abang Cikarang
“Kalaulah suatu penduduk Negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya kami akan membuka kan berkah buat mereka dari langit dan dari bumi…” (Al-A’raf 96)
66 tahun yang lalu Indonesia memerdekakan diri pada hari Jum’at, hari paling mulia dalam Islam, bertepatan pada bulan Ramadhan, bulan paling mulia dalam Islam. Tak diragukan lagi, sangat jelas artinya bahwa kemerdekaan adalah anugerah dari Allah SWT. Demikianlah, maka disebut dalam muqaddimah UUD 1945 bahwa atas berkat rahmat Allah telah sampailah Indonesia kepada gerbang kemerdekaan.
Dua bulan kemudian setelah Agustus, setiap tanggal 10 November rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan Nasional. 10 November sebuah tanggal yang monumental buah perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan pejuang besar kemerdekaan, Bung Tomo.
Namun naas, karena sejarah milik penguasa. Nasib Bung Tomo tiada ubahnya bak pesakitan dan pengkhianat bangsa. Ia di penjara oleh rezim yang berkuasa. Namun bagaimana pun juga, akhir sejarah, Allahlah yang menentukan. Bung Karno terkena tulah dari ucapannya yang terkenal "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya." Ia terjungkal dari kekuasaan dengan cara yang mengenaskan dan jadi pesakitan yang sebenarnya, karena ulahnya yang tidak mampu menghargai jasa para pejuang. Hal yang sama terjadi kepada penggantinya, Soeharto.
Bung Tomo yang setiap pidatonya dalam membakar semangat jihad rakyat Indonesia melawan penjajah kafir selalu diawali dan diakhiri dengan Takbir, Jum'at 7 November 2008 akhirnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional bersama Dr Mohammad Natsir dan KH Abdul Halim. Ketiga Mujahid pejuang kemerdekaan ini –seandainya masih hidup– mungkin akan bergumam "ah, malu aku. Hanya seperti inikah kemampuan pelanjutku dalam menghargai perjuangan yang berdarah-darah itu?" Bukan berarti mereka mengharapkan penghargaan. Terlintas di pikiran pun tentunya tidak.
Dr. Mohammad Natsir adalah seorang ulama besar yang diakui dunia, dai, pendidik dan politisi ulung yang mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosi yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Mosi yang disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya Pak Natsir, demikian biasa disapa, dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia . Beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno. Di mana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu oleh Pak Natsir.
Sedangkan KH Abdul Halim adalah ulama karismatik asal Majalengka Jawa Barat –penulis sendiri lahir dan besar di kota yang sama, merasakan karisma beliau yang begitu kuat pada masyarakat setempat– melahirkan banyak para pejuang kemerdekaan dengan metode pendidikannya yang khas.
Lalu apa pentingnya gelar Pahlawan Nasional bagi Bung Tomo, Pak Natsir dan KH Abdul Halim? Buat mereka bertiga tentu sangat tidak penting. Karena mereka adalah pahlawan sejati, yang berjuang ikhlas hanya berharap pahala dari Allah SWT (pahala-wan). Karena faktor keikhlasan itulah setelah kemerdekaan diraih; para kyai, ulama dan santri itu kembali melanjutkan amal mereka di sawah, ladang, pesantren dan lain-lain. Sementara pemerintahan akhirnya diisi oleh mereka yang tidak ikut berjuang atau ikut berjuang tapi tidak cinta Islam.
Para pejuang kemerdekaan berjuang atas motivasi mempertahankan aqidah dan memperjuangkan agama Allah di bumi ini. Maka ketika adanya penjajahan yang otomatis akan merusak akidah, umat Islam bangkit melawan. Jelas benar bahwa pejuang kemerdekaan seluruhnya adalah kaum muslimin tidak yang lain. Hanya umat Islamlah yang memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Karena buat kaum muslimin saat itu perjuangan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Mereka sangat menyadari bahwa akan tetap hidup di sisi Allah sekalipun syahid di medan perang. Allah SWT berfirman,
“Laa tahsabanna ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaatan bal ahyaaun ‘inda Robbihim yurzaquun…” (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…)
Maka tidak lain dan tidak bukan, Islamlah yang memerdekakan Negeri ini, karena seluruh pejuang kemerdekaan beragama Islam. Menurut penelitian Guru Besar Ilmu Sejarah UNPAD, Dr Ahmad Mansur Suryanegara, tokoh pejuang kemerdekaan asal wilayah timur Nusantara, Thomas Mattulesy ternyata seorang muslim yang bernama Muhammad atau Ahmad Lesy. Kenapa demikian, karena wilayah timur Indonesia dari dulu sampai saat ini komposisi muslim dan non-muslim seimbang bahkan pada awalnya hanya ada Islam. Tidak benar jika dikatakan bahwa wilayah timur mayoritas non muslim. Bahkan Islamlah yang pertama kali menapakkan kaki di wilayah tersebut.
Dalam buku Neiuw Guinea karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569. Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat (hal 105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan).
…Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah…
Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah. Sementara itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja), wilayah Maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh pemerintah kita hingga detik ini.
Padahal, menurut para dai yang bertugas di sana, termasuk Ustadz Fadhlan Garamatan, seorang Da’i putra asli daerah, warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi menggunakan sabun sebelum mereka disyahadatkan. Sebelumnya mereka mandi dengan melumuri badannya dengan minyak babi atas petunjuk para misionaris Kristen.
...Warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap pada pembodohan struktural terhadap rakyatnya...
Raja Sisinga Mangaraja juga adalah muslim yang taat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, tidak benar kalau raja Sisinga Mangaraja adalah penganut agama leluhur tapi dia adalah seorang muslim yang taat. Termasuk para pejuang Nasional yang kita kenal, mereka semuanya muslim. Pangeran Diponegoro adalah Ustadznya Istana dan para penasihatnya adalah para Kyai. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain semuanya adalah para ulama dan santri.
Konsekuensinya umat-umat yang lain khususnya umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Umat Kristiani tidak mungkin akan bangkit berjuang melawan penjajah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi sementara agama yang dianutnya dengan agama para penjajahnya sama? Akankah mereka akan membunuh saudara seimannya? Lebih-lebih kita tahu Kristen disebarkan melalui penjajahan. Menurut keterangan Ahmad Mansur Suryanegara, “orang Kristen pada waktu itu, bukan lagi tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan mereka membantu kaum penjajah!” (hal tersebut beliau sampaikan langsung kepada penulis, saat penulis panel bersama beliau dalam Studium General Milad Pemuda Muhammadiyah ke-99 di Subang 22 November 2008). Bagi yang mengerti sejarah hal ini adalah fakta yang teramat jelas. Jadi sungguh mengherankan ketika mereka menuntut lebih. Bahkan sedikitpun sebenarnya mereka tidak berhak, ketika faktanya mereka tidak punya saham apapun dalam perjuangan kemerdekaan.
...umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka tidak mungkin bangkit berjuang melawan penjajah dan membunuh saudara seimannya...
Katakan dulu di BPUPKI dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tercantum nama Maramis dan Latuharhary dua orang perwakilan umat Kristiani. Namun sungguh keberadaan dua orang tersebut faktanya masih buram. Jika benar mereka ada (bukan fiktif), apakah mereka tidak malu mengaku-ngaku tapi tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan, atau menurut beberapa sumber mereka sengaja mendompleng atau didomplengkan oleh Soekarno agar terlihat bahwa umat Kristiani juga punya peran dalam kemerdekaan Republik ini. Selain mereka juga termasuk yang habis-habisan menolak Piagam Jakarta. Hingga saat ini, umat Kristiani senantiasa menolak habis-habisan bila ada perundang-undangan yang mengatur ibadah dan muamalah umat Islam. Aneh, padahal tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu, sehingga engkau mengikuti millah mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Begitu besarnya peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, dalam bukunya ‘Menemukan Sejarah’ Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan beberapa data di antaranya:
1. Pengakuan George Mc Turner Kahin seorang Indonesianis (Nationalism and revolution Indonesia) bahwa ada 3 faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas Nasional; 1) Agama Islam dianut mayoritas rakyat Indonesia, 2) Agama Islam tidak hanya mengajari berjamaah, tapi juga menanamkan gerakan anti penjajah, 3) Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh dalam melahirkan aspirasi perjuangan Nasionalnya.
…Pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara...
2. Bahwa pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara, anggotanya beragam dan terbuka. Sementara Budi Utomo; menolak persatuan Indonesia, memakai bahasa Jawa dan Belanda dalam pergaulannya, bersikap ekslusif di luar pergerakan Nasional dan keanggotaannya hanya untuk kalangan Priyayi (Bangsawan/ningrat) saja.
3. Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922). Muhammadiyah sudah memakai bahasa Melayu sementara Taman Siswa berbahasa Jawa dan Belanda. Hal paling mengerikan adalah pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara ternyata sangat membenci Islam.
4. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dipelopori oleh para pemuda Islam atas prakarsa para ulama dalam rapat Nasional PSII di Kediri pada 27-30 September 1928. Dan masih banyak lagi-lagi fakta-fakta lain yang belum terungkap.
Pada hakikatnya dan seharusnya negeri ini adalah negeri Islam. Karena salah satu sumber hukum positif di negeri ini adalah Syariat Islam. Dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai menjiwai UUD 1945 oleh Soekarno menjadi dasar sahih keharusan negeri ini diatur oleh syari’at Islam selain faktor historis yang sudah dikemukakan di atas. Maka sebelumnya, saat ini dan seterusnya seluruh produk perundang-undangan yang lahir harus mengandung nilai-nilai syariat.
…Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922)…
Dengan dasar tersebut sungguh tidak logis dan inkonstitusional jika ada sebagian kalangan yang menggugat perda-perda bernuansa Syariah. Termasuk UU Pornografi yang juga sebenarnya belum murni syariah. Tanpa malu-malu mereka mengancam akan berpisah dari NKRI, seolah-olah NKRI membutuhkan mereka. Sesungguhnya, mereka harus berpisah diri-diri mereka saja dari bumi Indonesia, karena wilayah timur atau wilayah manapun di negeri ini adalah milik umat Islam.
Negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas Berkat Rahmat Allah SWT. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas Berkat Rahmat Allah SWT….” Karena jika tidak atas Berkat Rahmat Allah SWT tidak mungkin bambu runcing dapat menang melawan senjata-senjata modern penjajah kafir.
Para mutarrikhin (sejarawan) mengatakan “sejarah milik penguasa”. Perjuangan seorang Mohammad Natsir dan kawan-kawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempersatukan Indonesia dalam NKRI banyak tidak diketahui oleh para pewarisnya (rakyat Indonesia), karena Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara sementara para penguasa tidak menginginkannya.
Sebagian besar dari kita atau anak-anak kita di sekolah tidak mengenal sosok para mujahid tersebut. Dengan dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional maka sudah menjadi keharusan materi sejarah diluruskan di buku-buku sejarah anak-anak kita. Hal yang sebenarnya paling ditakuti oleh penguasa. Di mana pemikiran dan perjuangan sosok-sosok itu akan dibaca yang kemudian membangkitkan ruh jihad di dada-dada generasi Islam. Sehingga gelar pahlawan yang secara otomatis pengakuan konstitusional itu, senantiasa diulur-ulur.
Mereka khawatir jika setiap kali keluar dari kelas, para siswa akan memekikkan takbir Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar