Libya Tolak Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Gaddafi
Selasa, 28/06/2011 13:00 WIB
Libya menolak langkah yang dilakukan oleh Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi pemimpin Muammar Gaddafi pada Senin kemarin (27/6), menolak otoritas pengadilan.
"Libya tidak menerima keputusan ICC yang merupakan alat dunia Barat untuk menuntut para pemimpin di dunia ketiga," kata Menteri Kehakiman Libya Muhammad al-Qamudi dalam sebuah konferensi pers di Tripoli.
"Pemimpin revolusi dan anaknya tidak memegang posisi resmi dalam pemerintahan Libya dan karena itu mereka tidak memiliki hubungan dengan klaim ICC terhadap mereka," tambah Qamudi.
Gaddafi tidak memegang jabatan formal dalam sistem politik Libya walaupun memiliki pemerintahan selama lebih dari 41 tahun.
Pengadilan ICC yang berbasis di Den Haag Belanda setuju untuk mengeluarkan surat penangkapan bagi Gaddafi, anaknya Saif al-Islam dan kepala intelijen Libya Abdullah al-Sanussi terkait atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jaksa menuduh mereka terlibat dalam pembunuhan terhadap para pengunjuk rasa sipil yang melakukan aksi protes terhadap 41 tahun kekuasaan Gaddafi pada bulan Februari lalu.
Hakim ketua Sanji Mmasenono Monageng mengatakan Gaddafi dan putranya dituduh dalang dan mengatur rencana untuk mencegah serta memadamkan dengan segala cara aksi demonstrasi sipil melawan rezim. (fq/fr24)
Erdogan Tolak Upaya untuk Persenjatai Pemberontak Libya
Jumat, 01/04/2011 08:14 WIB | Versi Cetak
Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan mengatakan hari Kamis kemarin (31/3) bahwa dirinya sama sekali tidak mendukung gagasan untuk mempersenjatai pemberontak revolusioner yang berjuang untuk mengusir pemimpin Libya Muammar Gaddafi dari kekuasaannya.
"Melakukan hal itu hanya akan menciptakan situasi yang berbeda di Libya dan kita tidak menemukan bahwa hal tersebut tepat untuk dilakukan," kata Erdogan kepada wartawan pada konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Inggris David Cameron di London.
Sebelumnya dilaporkan bahwa Amerika Serikat berencana untuk memberikan bantuan persenjataan kepada kelompok oposisi anti Gaddafi, di tengah semakin gencarnya serangan pasukan yang setia kepada Gaddafi terhadap pasukan oposisi di seluruh wilayah Libya.
Pasukan yang setia kepada Gaddafi telah berhasil merebut kembali beberapa kota strategis Libya dari pasukan oposisi, dan mendesak mereka untuk mundur kembali ke wilayah timur.(fq.reu)
Oposisi Libya Tolak Tawaran Turki untuk "Berdamai" dengan Gaddafi
Jumat, 08/04/2011 07:03 WIB | Versi Cetak
Di Libya, pejuang revolusioner telah menolak tawaran Turki untuk menegosiasikan kesepakatan damai dengan rezim Muammar Gaddafi setelah kedua belah pihak mengadakan pertemuan.
Juru bicara pasukan revolusioner, Kolonel Ahmad Bani, mengatakan tidak akan ada pembicaraan sebelum Gaddafi dan keluarganya turun atau meninggalkan negara itu, Reuters melaporkan.
Turki telah mengadakan pembicaraan dengan utusan dari pemerintah Gaddafi dan wakil-wakil dari kubu oposisi.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan Ankara bekerja pada sebuah peta jalan untuk mengakhiri perang di Libya. Erdogan mengatakan rencana itu mencakup gencatan senjata dan penarikan pasukan Gaddafi dari sejumlah kota.
"Sebuah gencatan senjata sebenarnya harus diamankan segera, dan pasukan pro-Gaddafi harus menarik diri dari kota-kota yang mereka kepung di beberapa provinsi Libya," kata Erdogan dalam konferensi pers pada hari Kamis kemarin (7/4).
"Bantuan kemanusiaan harus disediakan untuk semua warga Libya, tanpa diskriminasi apapun dan koridor kemanusiaan aman harus ditetapkan untuk tujuan ini," tambahnya.
Turki telah berulang kali menyuarakan oposisi sejak serangan udara NATO dimulai. Lebih dari 500 warga Libya dilaporkan dievakuasi ke Turki.
Pekan lalu, aksi protes meletus di Benghazi setelah Erdogan menolak dukungan bersenjata untuk pasukan oposisi.
Pada hari Kamis kemarin, serangan udara NATO menewaskan sedikitnya lima pasukan oposisi di kota timur Brega, menandai serangan kedua mematikan NATO terhadap pasukan revolusioner Libya dalam waktu kurang dari seminggu. Pasukan revolusioner Libya menuduh pasukan Barat berpihak dengan penguasa Libya Muammar Gaddafi.
Dewan Keamanan PBB mengadopsi sebuah resolusi yang memberlakukan zona larangan terbang di atas Libya dan memungkinkan untuk "semua langkah yang diperlukan" untuk melindungi warga sipil dari serangan pasukan Gaddafi pada bulan lalu.
Namun, sejumlah warga sipil tewas dalam serangan udara dan laut yang dipimpin Barat di negara Afrika Utara.(fq/prtv)
Oposisi Libya Tolak Tawaran Pemilu dari Putra Gaddafi
Kubu revolusioner Libya telah menolak tawaran pemilu dari putra penguasa Libya Muammar Gaddafi sebagai cara untuk menyelesaikan kebuntuan di negara itu.
"Kami mengatakan kepadanya (Saif al-Islam) bahwa waktu telah berlalu karena pasukan kami saat ini berada di pinggiran Tripoli, dan mereka akan bergabung dengan rakyat kami dan pasukan di sana untuk mencabut simbol korupsi dan tirani di Libya," kata Abdel Hafiz Ghoga, juru bicara untuk pasukan revolusioner, Reuters melaporkan.
Sebelumnya pada Kamis kemarin (16/6), putra Gaddafi mengatakan kepada surat kabar Italia Corriere della Sera di ibukota Libya Tripoli bahwa rezim yang diperangi siap untuk mengadakan pemilihan umum yang diawasi secara internasional dalam waktu tiga bulan.
Saif al-Islam menambahkan bahwa ayahnya akan melepaskan kekuasaan jika ia kalah dalam pemilihan umum. Namun, ia mengatakan kemenangan ayahnya dalam pemungutan suara sudah pasti akan terjadi dalam upaya untuk menunjukkan bagaimana masih populernya Gaddafi di negaranya."
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS menolak usulan Saif al-Islam tentang penyelenggaraan pemilu, dan mengatakan usulan itu agak terlambat disampaikan.
Sementara itu, utusan media Rusia ke Libya Mikhail Margelov mengatakan pada hari yang sama bahwa kubu revolusioner Libya melakukan negosiasi dengan rezim Gaddafi.
"Saya meyakinkan dalam negosiasi hari ini bahwa kontak langsung antara Benghazi dan Tripoli sudah berlangsung," kata Margelov di Tripoli setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Libya Al-Baghdadi Ali Al-Mahmoudi.(fq/prtv)
Hani Khan Gugat Perusahaan yang Memecat Dirinya Karena Berjilbab
Selasa, 28/06/2011 09:16 WIB | Versi Cetak
Seorang mantan pekerja gudang Abercrombie & Fitch Co menggugat perusahaan pengecer pakaian tersebut di pengadilan federal Senin kemarin (27/6), mengatakan ia secara ilegal dipecat setelah menolak untuk melepasnya jilbabnya sewaktu sedang bekerja.
Hani Khan mengatakan seorang manajer di perusahaan toko Hollister Co di Mall Hillsdale di San Mateo membolehkan dia mengenakan jilbabnya saat bekerja. Manajer itu mengatakan OK untuk memakai jilbab asalkan itu sesuai dengan warna perusahaan, kata Khan.
Empat bulan kemudian, Hani Khan (20 tahun) mengatakan seorang manajer distrik dan manajer sumber daya manusia bertanya apakah ia bisa melepaskan jilbabnya saat bekerja, dan dia diskors kemudian dipecat karena menolak untuk melakuka hal itu.
Perusahaan Abercrombie sendiri telah mendapat banyak tuntutan hukum diskriminasi , termasuk gugatan class actionfederal yang dibawa oleh karyawan kulit hitam, Hispanik dan Asia dan para pelamar pekerjaan. Perusahaan mengakui tidak melakukan kesalahan, meskipun dipaksa untuk melaksanakan program dan kebijakan baru untuk meningkatkan keragaman.
"Tumbuh di negara di mana UU menjamin kebebasan beragama, saya merasa dikecewakan," kata Khan, sekarang menjadi mahasiswa ilmu politik, pada konferensi pers. "Kasus ini adalah tentang prinsip-prinsip, hak untuk dapat mengekspresikan agama Anda dengan bebas dan dapat bekerja di negara ini."
Abercrombie sendiri dalam pernyataannya yang diberikan kepada Associated Press, mengatakan keragaman di toko-toko merekajauh melampaui keragaman dalam populasi Amerika Serikat.
"Kami mematuhi hukum mengenai akomodasi agama yang wajar, dan kami akan terus melakukannya," kata Rocky Robbins, penasihat umum perusahaan. "Kami yakin bahwa ketika hal ini disidangkan, juri akan menemukan bahwa kami telah sepenuhnya mematuhi hukum."
Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Distrik AS di San Francisco datang setelah Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja (EEOC) memutuskan pada bulan September tahun lalu bahwa Khan dipecat secara ilegal. Gugatan Khan diajukan dalam hubungannya dengan gugatan EEOC.
Ini bukan pertama kalinya perusahaan Abercrombie telah dibebankan dengan tindakan diskriminasi terhadap perempuan Muslim yang mengenakan jilbab.
Pada tahun 2009, Samantha Elauf, juga mengajukan gugatan federal di Oklahoma, menyatakan perusahaan menolak dia untuk mendapatkan pekerjaan karena dia mengenakan jilbab. Dan kasus ini masih berlangsung.(fq/ap)
Aneh, Sekolah Katolik Larang Siswi Berjilbab
Rabu, 06/04/2011 09:20 WIB | Versi Cetak
Pengadilan Belanda menyatakan bahwa sekolah-sekolah Katolik boleh melarang siswinya mengenakan jilbab. Hakim pengadilan mengungkapkan hal tersebut dalam persidangan kasus jilbab seorang siswi muslim di sekolah Katolik Don Bosco College di kota Volendam.
Sekolah Katolik itu melarang Imane Mahssan, seorang siswi sekolah menengah pertama, mengenakan jilbab di sekolah. Imane lalu menggugat sekolahnya ke pengadilan yang akhirnya memenangkan pihak sekolah.
Dalam persidangan hari Senin (4/4), hakim pengadilan memutuskan bahwa Don Bosco College boleh melarang siswinya berjilbab. Menurut hakim, larangan berjilbab sesuai dengan karakter sekolah-sekolah yang berbasis ajaran Katolik Roma, yang melarang penggunaan simbol-simbol non-Katolik. Hakim pengadilan juga mengatakan bahwa larangan berjilbab tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan tidak berarti sekolah bersangkutan melakukan diskriminasi atas dasar agama.
Don Bosco College memberlakukan larangan jilbab di sekolah sejak bulan September 2010, beberapa bulan setelah Imane meminta izin pada sekolahnya agar bisa mengenakan jilbab di sekolahnya. Setelah berbulan-bulan pihak sekolah tidak juga memberikan respon, Imane memutuskan untuk mulai mengenakan jilbab ke sekolah.
Pihak sekolah berdalih, meski mereka tidak merespon permintaan Imane dan menjelaskan secara terbuka kebijakan mengenakan jilbab di sekolah, Imane seharus menghormati tempatnya sekolah yang berbasis ajaran Katolik.
Sekolah Katolik yang menerapkan kebijakan melarang siswinya berjilbab dengan alasan sekolah itu berbasis ajaran Katolik, sebenarnya agak aneh, mengingat para biarawati Katolik juga mengenakan "jilbab". (ln/NRW)
Terlambat, PBB Baru Kecam Aksi Pembakaran Al-Quran di AS
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengutuk aksi penodaan Al-Qur'an yang kembali terjadi di gereja AS di tengah adanya ledakan kemarahan di kalangan umat Islam di wilayah Afghanistan.
"Tindakan tersebut tidak bisa dimaafkan oleh agama apapun," Xinhua mengutip pernyataan Ban yang mengatakan pada hari Selasa kemarin (5/4) dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuannya dengan sekelompok duta besar yang mewakili negara Organisasi Konferensi Islam.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dan banyak orang di seluruh dunia untuk mempromosikan toleransi, pemahaman antar budaya dan saling menghormati antar budaya dan agama.
Pada tanggal 20 Maret, Terry Jones, pastor dari gereja Dove World Outreach Center di Gainesville, Florida, memicu kemarahan di seluruh dunia dengan menjadi saksi aksi membakar salinan kitab suci Al-Quran.
Jones pertama kali berencana untuk membakar kitab suci Al-Quran tahun lalu pada hari peringatan serangan 11 September tetapi berubah pikiran karena banyaknya kecaman dunia internasional.
Langkah tak bermoral Jones, didukung oleh pemerintah AS sebagai aksi "kebebasan berekspresi" menyebabkan gelombang protes mematikan di Afghanistan pada awal April ini dan memperoleh momentum pekan lalu.
Sepuluh pekerja asing PBB tewas setelah sejumlah kecil pengunjuk rasa yang marah menyerbu markas PBB di Afghanistan utara kota Mazar-i-Sharif dengan latar belakang sentimen anti-Barat di negeri ini.
Setidaknya sepuluh Afghanistan tewas dan 83 lainnya luka-luka di kota selatan Kandahar pada hari Sabtu lalu di hari kedua protes kekerasan atas penodaan Al-Qur'an.
Pernyataan Ban datang pada saat pastor ekstremis Amerika dilaporkan telah mengumumkan rencana untuk melakukan aksi anti-Islam di luar sebuah masjid di Michigan pada 22 April mendatang.(fq/prtv)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar