Jumat, 29 September 2017

"Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku ‎serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan ‎terbunuh jika kamu berperang."‎...>> "Amma bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang ‎bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) ‎bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada ‎mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah ‎menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan ‎hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang ‎sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku ‎bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."‎ Hur menjawab: "Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu." Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat itu supaya ‎diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari ‎mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong ‎balatentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."‎..>> ...Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil ‎memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara ‎beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak ‎berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."‎ Hur menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan ‎dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau ‎kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau tidak, maka ‎aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan."‎...>>> ... Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing. Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu ‎menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ‎ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah ‎keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan membaiatku dengan ‎lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, ‎mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang ‎yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku. Yang aku ‎khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan ‎ini. ‎ Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian ‎kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ‎ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa ‎kakekku Rasulullah pernah bersabda: ‎"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa ‎yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia ‎menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang ‎menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.'"‎ Sakinah melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengikut beliau banyak ‎yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang. Aku mendatangi ayahku dengan hati yang ‎sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa ‎menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-‎nyiakan kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, ‎janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada ‎mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami ‎pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa."‎ ..>> Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan ‎surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam ‎Husain as dan menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara ‎bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.‎..>> ..Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. "Wahai putera Rasul!" Seru sahabat ‎bernama Zuhair bin AlQein itu. "Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai ‎mereka tak berkutik."‎ Imam menjawab: "Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada ‎mereka."‎ Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: "Demi Allah, kami akan berjihad ‎membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang."‎ Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah Al-Gharra'ii ‎untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada ‎Allah, Imam Husain berkata: ‎ ‎"Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang ‎menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah, ‎memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan ‎tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu ‎disemayamkan." ‎ Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu ‎gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. ‎Hur berkata: "Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk ‎mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala ‎perintahnya."‎ Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala ‎pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Eufrat.‎ (IRIB)..>>

Peringatan Asyura, antara Fakta dan Fitnah



  • News Code : 856883
  • Source : ABNA
Brief Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al Husain bukanlah tangisan cengeng. 


Kalau sejumlah kaum muslimin di Negara lain menyambut kedatangan bulan Muharram dengan bersuka cita dan saling mengucapkan selamat akan bergantinya tahun, masyarakat Iran justru melarutkan diri dalam majelis-majelis duka. Bulan Muharram bagi masyarakat Iran yang mayoritas bermazhab Syiah adalah bulan duka, bulan yang mengharu biru, bulan yang menggoreskan kenangan akan peristiwa paling pahit dalam sejarah Islam. Karena itu, bergantinya tahun hijriah yang seringkali dijadikan momen untuk bergembira dan saling mengucapkan selamat, tidak akan ditemukan dilakukan oleh warga Iran.

Rasa belasungkawa akan syahidnya Imam Husain As beserta keluarga dan sahabatnya yang terbantai di Karbala mereka tunjukkan bukan hanya dengan pakaian serba hitam yang mereka kenakan, namun juga pemasangan umbul-umbul bendera hitam, ornamen-ornamen yang dipasang di tepi-tepi jalan, masjid dan tempat-tempat umum yang berisi pesan duka Asyura, termasuk mencat mobil-mobil mereka dengan tulisan Husain, Zainab, Ali Asghar, Aba al-Fadhl dan nama tokoh-tokoh lainnya dalam peristiwa Karbala.Secara resmi, warga Iran memperingati peristiwa Asyura selama sepuluh hari berturut-turut, dari tanggal 1 sampai 10 Muharram.

 
 

Hari kesembilan dan hari kesepuluh dijadikan hari libur nasional. Selama kesepuluh hari tersebut, setiap sehabis shalat Isya berjama’ah, diadakan majelis-majelis duka. Ratusan warga berbondong-bondong memadati masjid-masjid dan Husainiyah tempat diadakannya majelis-majelis duka tersebut. Acara dibuka dengan tilawah al-Qur’an dan  dilanjutkan dengan ceramah agama yang berisi pesan dan hikmah dari kisah-kisah kepahlawanan Imam Husain As beserta keluarga dan sahabatnya di padang Karbala. Disaat Khatib menyampaikan ceramahnya, tidak jarang terdengar suara isak tangis dari para jama’ah. Peristiwa kematian Imam Husain As meski sudah berlalu 1400 tahun lalu, namun bagi mereka tampak seolah-olah baru terjadi kemarin sore. Setelah mendengarkan ceramah, lampu-lampu dipadamkan, dan hanya menyisakan sedikit cahaya.


Dalam suasana nyaris gelap itu, seseorang tampil untuk membacakan maqtal atau syair-syair duka. Pada prosesi ini, para jama’ah dilibatkan. Kesemuanya berdiri dan mengiringi kidung duka yang dinyanyikan sembari menepuk-nepuk dada. Suasana haru semakin menyeruak setiap disebutkan nama al Husain.

Diakhir acara, panitia akan membagikan kotak makanan dan disantap bersama. Majelis ini berlangsung selama sepuluh malam berturut-turut.Dalam majelis ini tidak adegan melukai diri, tidak ada aksi memukul badan dengan benda tajam hingga berdarah-darah. Ulama-ulama Iran memberikan fatwa akan keharaman melukai diri apalagi sampai berdarah-darah dalam memperingati hari Asyura. Fatwa itupun menjadi hukum postif bagi kepolisian Iran untuk membubarkan dan menangkapi mereka yang melakukan aksi melukai diri dalam majelis Husaini. (Baca juga: Fatwa haramnya melukai diri di Hari Asyura

 

Sayang, karena perbuatan segelintir Syiah di Irak, Afghanistan dan Pakistan yang masih juga memperingati Asyura dengan tradisi melukai diri, Syiah pun diidentikkan dengan perbuatan irasional tersebut. Patut diketahui, kalau memang melukai diri dianggap ibadah yang afdhal dilakukan pada peringatan Asyura, maka yang paling pertama melakukannya adalah ulama-ulama dan kaum terpelajar dari kalangan Syiah, dan itu harusnya bermula dari Iran, sebagai sentral keilmuan penganut Syiah. Faktanya, tidak satupun ulama Syiah yang melakukannya, yang ada justru memfatwakan keharamannya. Dan kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tradisi Syiah, maka tentu jumlah orang-orang Syiah yang melakukannya jauh lebih banyak dari yang tidak. Faktanya, yang melakukannya tidak seberapa, dan itu hanya ada diluar Iran, tidak di Iran.

Mengenang Ali Asghar

Pada hari Jum’at pagi, dari kesepuluh hari awal Muharram itu, diperingati secara khusus kesyahidan Ali Asghar, putra Imam Husain As yang masih berusia beberapa bulan namun turut menjadi korban kebengisan tentara-tentara Yazid. Dikisahkan, bayi Imam Husain As tersebut dalam kondisi kehausan, sebab sumber mata air berada dalam penguasaan tentara Yazid dan tidak mengizinkan kafilah Imam Husain untuk mengambil airnya barang setetes pun. Kasihan dengan bayinya yang merengek kehausan, Imam Husain As pun memeluk dan menggedongnya.
Beliau menghadap pasukan Yazid untuk diizinkan mengambil air, setidaknya untuk menghilangkan dahaga bayinya tersebut, sembari memperlihatkan kondisi Ali Asghar yang dicekik kehausan. Bukannya iba, seorang tentara Yazid malah melezatkan anak panah yang tepat mengenai leher bayi Imam Husain As tersebut, yang kemudian mati seketika dipelukan ayahnya. Kejadian tragis ini secara khusus diperingati pada hari Jum’at pertama bulan Muharram.

 
 
 
 
 
 
 

Ribuan ibu dengan bayi-bayinya yang berkostum pakaian Arab paduan warna hijau dan putih lengkap dengan surban dan ikat kepala yang bertuliskan Ali Asghar, memadati masjid-masjid dan tanah-tanah lapang. Ditempat itu mereka mendengarkan ceramah khusus mengenai kisah kesyahidan Ali Asghar dan betapa pedihnya hati Imam Husain As melihat kematian bayinya yang tragis di pelukan sendiri, justru oleh mereka yang mengaku sebagai muslim dan pengikut Nabi Muhammad Saw.

Suasana haru dan emosional tidak terhindarkan ketika kisah yang menyayat hati itu kembali disuguhkan. Ibu-ibu tersebut menangis sambil mendekap bayi mereka masing-masing sembari membayangkan kesedihan dan kepiluan hati Imam Husain melihat bayinya tergeletak tanpa nyawa. Dalam acara ini tidak ada adegan orangtua mengiris bayinya dengan pedang hingga berdarah, hanya sekedar untuk merasakan kepedihan Imam Husain. Foto yang beredar di media sosial yang menggambarkan kepala seorang anak yang berdarah-darah karena dilukai oleh orangtuanya sendiri, kejadiannya bukan di Iran. Itu adalah kelakuan orang-orang yang ekstrim yang justru mendapat kecaman dari ulama Syiah sendiri, yang tidak bisa menjadi representatif semua Syiah pasti melakukan itu.  

 

Pada hari kesembilan Muharram -yang dikenal juga dengan sebutan Tasu’a Husaini- dan pada hari kesepuluh –dikenal dengan sebutan hari Asyura- karena menjadi hari libur nasional, jalan-jalan raya dipadati oleh ribuan warga dengan pakaian serba hitam yang berjalan kaki. Disepanjang jalan, terdapat posko-posko yang menyediakan minuman panas dan makanan ringan secara gratis. Satu-dua jam menjelang shalat dhuhur masjid-masjid dan juga kantor-kantor resmi ulama-ulama Marja dipadati lautan manusia. Ditempat-tempat itu mereka berkumpul untuk menumpahkan rasa haru dan kesedihan yang sama. Suara isak tangis yang tak tertahan terdengar dimana-mana disaat khatib menyampaikan detik demi detik proses terbantainya Imam Husain As di Karbala. Bagaimana saat dadanya yang telah penuh dengan sayatan pedang ditindih dan kemudian kepalanya dengan tebasan pedang dipisahkan dari tubuhnya.


Tangisan mereka dengan tragedi memilukan yang menimpa cucu Nabi Muhammad Saw tersebut bukan untuk menyesal atas apa yg telah terjadi melainkan upaya merawat dan menjaga ingatan dan kenangan atas perjuangan dan pengorbanan keluarga Nabi dalam menjaga eksistensi agama ini.

Bangsa kita juga punya tradisi yg sama dalam mengenang pengorbanan para pahlawan bangsa? ada upacara bendera, ada hening cipta, ada ziarah kemakam pahlawan, ada pembuatan film perang melawan penjajah, ada pementasan drama, ada pembacaan puisi dan seterusnya. Yang tentu tujuannya bukan untuk mengorek luka sejarah, bukan pula untuk menyimpan dendam, melainkan untuk menghidupkan semangat kepahlawanan, patriotisme dan pengorbanan para pejuang terdahulu supaya generasi sekarang juga punya smangat yang sama.

 

Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al Husain bukanlah tangisan cengeng. Melainkan tangisan yang justru membakar semangat perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan sebagaimana yang diwariskan Imam Husain As melalui tragedi Karbala. Rakyat Iran menyodorkan bukti, bahwa bermula dari tangisan itulah, revolusi besar yang mengubah takdir Iran dengan menjungkalkan rezim Shah Pahlevi telah mereka rancang dan ledakkan. Imperium Persia yang berusia 2.500 tahun beralih menjadi Republik Islam, dimulai dari tangisan mengenang al Husain.
[Ismail Amin, WNI sementara di Qom-Iran]
sumber: http://ismailamin07.blogspot.co.uk/

Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala

-Tulisan berikut ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.

Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.

Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.

Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.

Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.

Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.

Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.

Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.

Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.

Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.

Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”

Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.
Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.

Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.

Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:
–          Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
–          Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.
–          Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
–          Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
–          Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.

Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein, berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.

Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?

Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah (Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.

Sekiranya Husein ‘alaihissalam menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.

 Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?

Tidak diperbolehkan bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR. Bukhari).

Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.

Tidak seperti orang-orang yang mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan turut serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang yang selalu berhianat.

Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini

Dalm permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah).

Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek (Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.

Kepala Husein

Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Sumber: almanhaj.net
Diterjemahkan dengan beberapa tambahkan oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com

Kisah Karbala: Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi


Kisah Karbala: Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi  
http://abdullahmbrk9.blogspot.co.id/2011/10/kisah-karbala-pertemuan-imam-husain-as.html
 
Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang ‎dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam ‎Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-‎masing dipinggang. ‎
Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain dan para ‎sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan minumkan ‎kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu ‎solat dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq al-Ja'fi ‎untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan pasukan Hur untuk menyampaikan ‎suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.‎
‎"Hai orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah dan salawat kepada ‎rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, ‎orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa tidak ‎memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada jalan yang benar. Oleh sebab ‎inilah aku pun bergerak ke arah kalian. Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji ‎kalian, maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku." ‎
Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada ‎seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan ‎iqamah setelah meminta Hur supaya menunaikan solat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as ‎juga solat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak solat sendiri. Dia meminta solat ‎berjamaah di belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam solat dhuhur berjamaah ‎yang dipimpin Imam Husain as. ‎
Seusai solat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing. Beberapa lama kemudian ‎kedua rombongan ini bergabung kembali untuk menunaikan solat asar berjemaah dipimpin oleh Imam ‎Husain as. Seusai solat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian kepada Allah ‎dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
"Amma bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang ‎bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) ‎bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada ‎mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah ‎menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan ‎hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang ‎sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku ‎bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."‎
Hur menjawab: "Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."
Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat itu supaya ‎diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari ‎mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong ‎balatentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."‎
Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini mengundang ‎kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda ‎yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain ‎as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam Husain as dihadang ‎oleh pasukan Hur.‎
‎"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain ‎as gusar.‎
‎"Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga mengucapkan kata-kata ‎yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang sangat patut dimuliakan." Kata Hur.‎
‎"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.‎
‎"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."‎
‎"Aku tidak akan pernah bersamamu."‎
"Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku ‎serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan ‎terbunuh jika kamu berperang."‎
‎"Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian akan selesai jika ‎aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila ‎kebenaran sudah diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan orang-orang ‎yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para pendurhaka."‎
Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil ‎memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara ‎beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak ‎berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."‎
Hur menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan ‎dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau ‎kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau tidak, maka ‎aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan."‎
Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu ‎menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ‎ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah ‎keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan membaiatku dengan ‎lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, ‎mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang ‎yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku. Yang aku ‎khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan ‎ini. ‎
Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian ‎kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ‎ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa ‎kakekku Rasulullah pernah bersabda:
‎"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa ‎yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia ‎menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang ‎menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.'"‎
Sakinah melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengikut beliau banyak ‎yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang. Aku mendatangi ayahku dengan hati yang ‎sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa ‎menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-‎nyiakan kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, ‎janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada ‎mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami ‎pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa."‎
Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan ‎surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam ‎Husain as dan menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara ‎bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.‎
Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang ‎bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: "Semoga ibumu meratapi ‎kematianmu, betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!"‎
Utusan itu menjawab: "Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku ‎laksanakan."‎
Muhajir berseru lagi: "Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak ‎membakarmu."‎
Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. "Wahai putera Rasul!" Seru sahabat ‎bernama Zuhair bin AlQein itu. "Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai ‎mereka tak berkutik."‎
Imam menjawab: "Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada ‎mereka."‎
Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: "Demi Allah, kami akan berjihad ‎membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang."‎
Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah Al-Gharra'ii ‎untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada ‎Allah, Imam Husain berkata: ‎
"Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang ‎menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah, ‎memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan ‎tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu ‎disemayamkan." ‎
Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu ‎gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. ‎Hur berkata: "Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk ‎mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala ‎perintahnya."‎
Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala ‎pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Eufrat.‎ (IRIB)


1 komentar: