Peringatan Asyura, antara Fakta dan Fitnah
September 28, 2017 - 5:59 AM http://www.abna.cc/7RLGhttp://id.abna24.com/news/makalah/peringatan-asyura-antara-fakta-dan-fitnah_856883.html
- News Code : 856883
- Source : ABNA
Kalau sejumlah
kaum muslimin di Negara lain menyambut kedatangan bulan Muharram dengan
bersuka cita dan saling mengucapkan selamat akan bergantinya tahun,
masyarakat Iran justru melarutkan diri dalam majelis-majelis duka. Bulan
Muharram bagi masyarakat Iran yang mayoritas bermazhab Syiah adalah
bulan duka, bulan yang mengharu biru, bulan yang menggoreskan kenangan
akan peristiwa paling pahit dalam sejarah Islam. Karena itu, bergantinya
tahun hijriah yang seringkali dijadikan momen untuk bergembira dan
saling mengucapkan selamat, tidak akan ditemukan dilakukan oleh warga
Iran.
Rasa belasungkawa akan syahidnya Imam
Husain As beserta keluarga dan sahabatnya yang terbantai di Karbala
mereka tunjukkan bukan hanya dengan pakaian serba hitam yang mereka
kenakan, namun juga pemasangan umbul-umbul bendera hitam,
ornamen-ornamen yang dipasang di tepi-tepi jalan, masjid dan
tempat-tempat umum yang berisi pesan duka Asyura, termasuk mencat
mobil-mobil mereka dengan tulisan Husain, Zainab, Ali Asghar, Aba
al-Fadhl dan nama tokoh-tokoh lainnya dalam peristiwa Karbala.Secara
resmi, warga Iran memperingati peristiwa Asyura selama sepuluh hari
berturut-turut, dari tanggal 1 sampai 10 Muharram.
Hari kesembilan dan hari kesepuluh
dijadikan hari libur nasional. Selama kesepuluh hari tersebut, setiap
sehabis shalat Isya berjama’ah, diadakan majelis-majelis duka. Ratusan
warga berbondong-bondong memadati masjid-masjid dan Husainiyah tempat
diadakannya majelis-majelis duka tersebut. Acara dibuka dengan tilawah
al-Qur’an dan dilanjutkan dengan ceramah agama yang berisi pesan dan
hikmah dari kisah-kisah kepahlawanan Imam Husain As beserta keluarga dan
sahabatnya di padang Karbala. Disaat Khatib menyampaikan ceramahnya,
tidak jarang terdengar suara isak tangis dari para jama’ah. Peristiwa
kematian Imam Husain As meski sudah berlalu 1400 tahun lalu, namun bagi
mereka tampak seolah-olah baru terjadi kemarin sore. Setelah
mendengarkan ceramah, lampu-lampu dipadamkan, dan hanya menyisakan
sedikit cahaya.
Dalam suasana nyaris gelap itu,
seseorang tampil untuk membacakan maqtal atau syair-syair duka. Pada
prosesi ini, para jama’ah dilibatkan. Kesemuanya berdiri dan mengiringi
kidung duka yang dinyanyikan sembari menepuk-nepuk dada. Suasana haru
semakin menyeruak setiap disebutkan nama al Husain.
Diakhir acara, panitia akan membagikan
kotak makanan dan disantap bersama. Majelis ini berlangsung selama
sepuluh malam berturut-turut.Dalam majelis ini tidak adegan melukai
diri, tidak ada aksi memukul badan dengan benda tajam hingga
berdarah-darah. Ulama-ulama Iran memberikan fatwa akan keharaman melukai
diri apalagi sampai berdarah-darah dalam memperingati hari Asyura.
Fatwa itupun menjadi hukum postif bagi kepolisian Iran untuk membubarkan
dan menangkapi mereka yang melakukan aksi melukai diri dalam majelis
Husaini. (Baca juga: Fatwa haramnya melukai diri di Hari Asyura
Sayang, karena perbuatan segelintir
Syiah di Irak, Afghanistan dan Pakistan yang masih juga memperingati
Asyura dengan tradisi melukai diri, Syiah pun diidentikkan dengan
perbuatan irasional tersebut. Patut diketahui, kalau memang melukai diri
dianggap ibadah yang afdhal dilakukan
pada peringatan Asyura, maka yang paling pertama melakukannya adalah
ulama-ulama dan kaum terpelajar dari kalangan Syiah, dan itu harusnya
bermula dari Iran, sebagai sentral keilmuan penganut Syiah. Faktanya,
tidak satupun ulama Syiah yang melakukannya, yang ada justru memfatwakan
keharamannya. Dan kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tradisi
Syiah, maka tentu jumlah orang-orang Syiah yang melakukannya jauh lebih
banyak dari yang tidak. Faktanya, yang melakukannya tidak seberapa, dan
itu hanya ada diluar Iran, tidak di Iran.
Mengenang Ali Asghar
Pada hari Jum’at pagi, dari kesepuluh
hari awal Muharram itu, diperingati secara khusus kesyahidan Ali Asghar,
putra Imam Husain As yang masih berusia beberapa bulan namun turut
menjadi korban kebengisan tentara-tentara Yazid. Dikisahkan, bayi Imam
Husain As tersebut dalam kondisi kehausan, sebab sumber mata air berada
dalam penguasaan tentara Yazid dan tidak mengizinkan kafilah Imam Husain
untuk mengambil airnya barang setetes pun. Kasihan dengan bayinya yang
merengek kehausan, Imam Husain As pun memeluk dan menggedongnya.
Beliau menghadap pasukan Yazid untuk
diizinkan mengambil air, setidaknya untuk menghilangkan dahaga bayinya
tersebut, sembari memperlihatkan kondisi Ali Asghar yang dicekik
kehausan. Bukannya iba, seorang tentara Yazid malah melezatkan anak
panah yang tepat mengenai leher bayi Imam Husain As tersebut, yang
kemudian mati seketika dipelukan ayahnya. Kejadian tragis ini secara
khusus diperingati pada hari Jum’at pertama bulan Muharram.
Ribuan ibu dengan bayi-bayinya yang
berkostum pakaian Arab paduan warna hijau dan putih lengkap dengan
surban dan ikat kepala yang bertuliskan Ali Asghar, memadati
masjid-masjid dan tanah-tanah lapang. Ditempat itu mereka mendengarkan
ceramah khusus mengenai kisah kesyahidan Ali Asghar dan betapa pedihnya
hati Imam Husain As melihat kematian bayinya yang tragis di pelukan
sendiri, justru oleh mereka yang mengaku sebagai muslim dan pengikut
Nabi Muhammad Saw.
Suasana haru dan emosional tidak
terhindarkan ketika kisah yang menyayat hati itu kembali disuguhkan.
Ibu-ibu tersebut menangis sambil mendekap bayi mereka masing-masing
sembari membayangkan kesedihan dan kepiluan hati Imam Husain melihat
bayinya tergeletak tanpa nyawa. Dalam acara ini tidak ada adegan
orangtua mengiris bayinya dengan pedang hingga berdarah, hanya sekedar
untuk merasakan kepedihan Imam Husain. Foto yang beredar di media sosial
yang menggambarkan kepala seorang anak yang berdarah-darah karena
dilukai oleh orangtuanya sendiri, kejadiannya bukan di Iran. Itu adalah
kelakuan orang-orang yang ekstrim yang justru mendapat kecaman dari
ulama Syiah sendiri, yang tidak bisa menjadi representatif semua Syiah
pasti melakukan itu.
Pada hari kesembilan Muharram -yang
dikenal juga dengan sebutan Tasu’a Husaini- dan pada hari kesepuluh
–dikenal dengan sebutan hari Asyura- karena menjadi hari libur nasional,
jalan-jalan raya dipadati oleh ribuan warga dengan pakaian serba hitam
yang berjalan kaki. Disepanjang jalan, terdapat posko-posko yang
menyediakan minuman panas dan makanan ringan secara gratis. Satu-dua jam
menjelang shalat dhuhur masjid-masjid dan juga kantor-kantor resmi
ulama-ulama Marja dipadati lautan manusia. Ditempat-tempat itu mereka
berkumpul untuk menumpahkan rasa haru dan kesedihan yang sama. Suara
isak tangis yang tak tertahan terdengar dimana-mana disaat khatib
menyampaikan detik demi detik proses terbantainya Imam Husain As di
Karbala. Bagaimana saat dadanya yang telah penuh dengan sayatan pedang
ditindih dan kemudian kepalanya dengan tebasan pedang dipisahkan dari
tubuhnya.
Tangisan mereka dengan tragedi memilukan
yang menimpa cucu Nabi Muhammad Saw tersebut bukan untuk menyesal atas
apa yg telah terjadi melainkan upaya merawat dan menjaga ingatan dan
kenangan atas perjuangan dan pengorbanan keluarga Nabi dalam menjaga
eksistensi agama ini.
Bangsa kita juga punya tradisi yg sama
dalam mengenang pengorbanan para pahlawan bangsa? ada upacara bendera,
ada hening cipta, ada ziarah kemakam pahlawan, ada pembuatan film perang
melawan penjajah, ada pementasan drama, ada pembacaan puisi dan
seterusnya. Yang tentu tujuannya bukan untuk mengorek luka sejarah,
bukan pula untuk menyimpan dendam, melainkan untuk menghidupkan semangat
kepahlawanan, patriotisme dan pengorbanan para pejuang terdahulu supaya
generasi sekarang juga punya smangat yang sama.
Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al
Husain bukanlah tangisan cengeng. Melainkan tangisan yang justru
membakar semangat perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan
sebagaimana yang diwariskan Imam Husain As melalui tragedi Karbala.
Rakyat Iran menyodorkan bukti, bahwa bermula dari tangisan itulah,
revolusi besar yang mengubah takdir Iran dengan menjungkalkan rezim Shah
Pahlevi telah mereka rancang dan ledakkan. Imperium Persia yang berusia
2.500 tahun beralih menjadi Republik Islam, dimulai dari tangisan
mengenang al Husain.
[Ismail Amin, WNI sementara di Qom-Iran]
sumber: http://ismailamin07.blogspot.co.uk/
Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala
-Tulisan
berikut ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh
Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam
pembahasan Syiah-.
Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam
telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar
menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli
sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut
–sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya
Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan
wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum
berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan
utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis
kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang
menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman,
Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali
dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan
tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat
Husein sebagai khalifah.
Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru
membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil,
untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah,
ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi
khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil.
Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin
Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin
Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam
pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat
Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia
terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa
kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan
dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.
Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak
di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari
Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar
yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga
Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah
mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di
kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!”
Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.
Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim
bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana
Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.
Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan
mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah
membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan
berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang
bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa
Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah
memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin
untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan
oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah
“Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh
penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu
dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan
(untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal
saat itu adalah hari Arafah.
Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di
hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi
ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin
Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku
sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku
sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka
mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi
bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi
Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan
benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku.
Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan
kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat,
maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah
darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan
kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang
terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya.
Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau
kepada Allah dari pembunuhan”.
Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein
tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke
Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun
anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita
menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim
dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat
menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah
mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk
menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan
Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke
Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru
menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang
selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa
yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.
Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000
pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan
pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?”
Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein
menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”
Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu
menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua
alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang
atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.
Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap
Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Saad. Ternyata
Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan
agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk
menjadi tawanan.
Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang
antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Irak.
Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid
at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak
imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa
Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk
membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah
keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada
seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi al-Jausyan –semoga Allah
menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein, Husein pun
terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid, semoga
Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang
memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang
menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang
perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan
Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.
Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan
terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait
yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah
merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di
antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:
– Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
– Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.
– Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
– Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
– Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.
Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“…Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?”
Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan
membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan
terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat
yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah,
ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit
menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat
lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya
Husein, berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.
Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?
Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam
yang keluar menuju Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang
berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun
menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim
bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein
dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari
peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah
(Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.
Sekiranya Husein ‘alaihissalam menuruti nasihat para sahabat
tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan
takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak sebesar peristiwa
terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya oleh
seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya
bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi
Zakariya oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan
dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding
dengan peristiwa dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.
Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?
Tidak diperbolehkan bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang
kematian Husein, maka ia meratap dengan memukul-mukul pipi atau
merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR. Bukhari).
Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia
mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa
musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait
maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau
merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi
kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan
mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.
Tidak seperti orang-orang yang mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi
pada hari ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh
dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah
bersama Husein. Demi Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana
Husein terbunuh mereka akan turut serta dalam kelompok pembunuh Husein
karena mereka adalah orang-orang yang selalu berhianat.
Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini
Dalm permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak
turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi
hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk
membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya
memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki
wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut
dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan
mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka.
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan
perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini
adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu
memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah).
Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekah,
ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Irak. Surat
itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak
berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan
mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek
(Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.
Kepala Husein
Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan
bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di
Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak
diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Sumber: almanhaj.net
Diterjemahkan dengan beberapa tambahkan oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
Kisah Karbala: Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi
Kisah Karbala: Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi |
http://abdullahmbrk9.blogspot.co.id/2011/10/kisah-karbala-pertemuan-imam-husain-as.html
Tak
lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu
pasukan kuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang
tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam Husain dan para
sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang
masing-masing dipinggang.
Gurun
sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain
dan para sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang
masih tersisa diminum dan minumkan kepada kuda-kuda mereka. Hingga
tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu solat
dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin
Masruq al-Ja'fi untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri
di depan pasukan Hur untuk menyampaikan suatu kata kepada mereka yang
beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.
"Hai
orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah
dan salawat kepada rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali
setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-orang
Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa
tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada
jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian.
Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian,
maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali
ke negeriku."
Rombongan
pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam
seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian
memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan iqamah setelah meminta
Hur supaya menunaikan solat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as
juga solat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak solat
sendiri. Dia meminta solat berjamaah di belakang beliau. Kedua
rombongan kemudian bergabung dalam solat dhuhur berjamaah yang dipimpin
Imam Husain as.
Seusai
solat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing.
Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali untuk
menunaikan solat asar berjemaah dipimpin oleh Imam Husain as. Seusai
solat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian
kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
"Amma
bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah
jika kalian memang bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang
hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlul Bait
Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka
yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan
mereka yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap
kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian
kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang
sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang
telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi
meninggalkan kalian."
Hur menjawab: "Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."
Imam
Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat
itu supaya diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu,
Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari mereka yang mengirim surat-surat
itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong balatentaramu
dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."
Kata-kata
Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini
mengundang kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya
untuk membongkar kembali tenda-tenda yang terpasang kemudian bergerak
lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain as pun
mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam
Husain as dihadang oleh pasukan Hur.
"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain as gusar.
"Engkau
menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga
mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang
sangat patut dimuliakan." Kata Hur.
"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.
"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."
"Aku tidak akan pernah bersamamu."
"Aku
ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke
Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah,
jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu berperang."
"Apakah
kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian
akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah
sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila kebenaran sudah
diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan
orang-orang yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka
dan para pendurhaka."
Kata-kata
Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as
sambil memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau.
Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau dan Hur hingga ketika
sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak
berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."
Hur
menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya
ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak
berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke Madinah
atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau
tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia
menentukan apa yang harus aku lakukan."
Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah
puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara
seseorang tersedu menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan
siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ayahkulah yang menangis
di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah
keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang
akan membaiatku dengan lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu
sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, mereka
melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku
dan orang-orang yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta
tertawannya kaum wanita dan anak-anakku. Yang aku khawatirkan sekarang
ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita
lakukan ini.
Oleh
sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan
perjalanan ini jika kalian kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan
untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ketahuilah
bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga.
Ketahuilah bahwa kakekku Rasulullah pernah bersabda:
"Puteraku
Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang
diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan
barangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera keturunan Husain
yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang menolong
kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam
golonganku.'"
Sakinah
melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para
pengikut beliau banyak yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar
70-an orang. Aku mendatangi ayahku dengan hati yang sangat kesal dan
kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya
hanya bisa menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah,
sesungguhnya mereka telah menyia-nyiakan kami, maka sia-siakanlah
mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, janganlah
Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah
kepada mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan
kepada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat. Kabulkan doa orang
yang suci dari noda dan dosa."
Sehari
kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur
sambil menyerahkan surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan
supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam Husain as dan menggiring
beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim
balatentara bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.
Mendengar
pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam
Husain as yang bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan
Ibnu Ziyad: "Semoga ibumu meratapi kematianmu, betapa celakanya isi
surat yang kamu bawa itu!"
Utusan itu menjawab: "Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku laksanakan."
Muhajir berseru lagi: "Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak membakarmu."
Salah
seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. "Wahai putera
Rasul!" Seru sahabat bernama Zuhair bin AlQein itu. "Izinkan aku
berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai mereka tak
berkutik."
Imam menjawab: "Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada mereka."
Sahabat
Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: "Demi Allah, kami
akan berjihad membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang."
Imam
Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah
Al-Gharra'ii untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini,
setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, Imam Husain berkata:
"Sesungguhnya
Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang
menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang
sunnah Rasulullah, memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan
aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan tindakan maupun kata-kata,
maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu
disemayamkan."
Beberapa
lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika
tiba di suatu gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta
supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. Hur berkata: "Aku tidak
mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk
mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku
harus melaksanakan segala perintahnya."
Kedua
pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu
daerah bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah
daerah yang dialiri sungai Eufrat. (IRIB)
|
Artikel yang diatas sangat bermanfaat untuk di baca.
BalasHapusAgen Poker Omdomino <<==
Segera kunjungin bandar judi bola sbobet online terbesar kami.
Sbobet
Agen Sbobet
Sbobet Online
Sbobet Terbesar
Sbobet Terpercaya
Agen Judi Sbobet
Situs Judi Sbobet