Ayatullah Khamenei: AS Mulai Sadar Risiko Aksi Militer
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan pada hari Rabu (4/6) bahwa Republik Islam Iran adalah penentu menyangkut kebijakan-kebijakan regional.
Berpidato pada acara haul Imam Khomeini ra ke-25 yang dipusatkan di komplek makam beliau di Tehran, Ayatullah Khamenei menambahkan, Republik Islam bangkit sendirian melawan rezim Zionis Israel, yang didukung oleh kekuatanarogan dunia, memerangi penindasan dan membela kaum tertindas.
Seraya menyinggung sosok Imam Khomeini ra, Rahbar menjelaskan dalam ajaran Imam Khomeini ra, kekuasaan yang diperoleh melalui perbuatan curang dan kekuatan, tidak akan diterima. Namun, kekuasaan yang dihasilkan dari pemilu akan bermakna.
Di bagian lain pidatonya, Ayatullah Khamenei menandaskan, negara-negara Eropa terjebak dalam sebuah kesalahan besar strategis, di mana mengabdikan dirinya untuk Amerika Serikat.
Berbicara tentang upaya-upaya Amerika terhadap negara dan bangsa Iran, Rahbar mengatakan, "AS telah menempuh semua cara untuk melawan sistem pemerintahan kita yang Islami, tapi berkat anugerah Tuhan, semua aksi mereka gagal."
"Menurut Amerika, saat ini serangan militer bukan sebuah prioritas. Mereka menyadari bahwa aksi militer sebagaimana berisiko bagi negara-negara yang diserang, terkadang juga memiliki risiko yang sama bagi negara agresor dan bahkan bahaya yang ditimbulkan bisa lebih besar," jelas Rahbar.
Pada kesempatan itu, Ayatullah Khamenei juga menyinggung aksi kelompok Takfiri yang anti-Syiah di berbagai wilayah. Namun, mereka bukan musuh utama.
"Musuh utama adalah pihak yang memprovokasi mereka dan mendanai mereka. Ketika motivasi kelompok itu mulai melemah, mereka akan memotivasinya lagi lewat berbagai sarana dan menebarkan benih perpecahan di antara kelompok dungu tersebut dan masyarakat Iran," ujar Rahbar.
Menurut Rahbar, kelompok-kelompok dengan nama Salafi dan Takfiri yang menyerang sistem Republik Islam atas nama Islam pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang termakan tipuan.
"Jika musuh berpikir bahwa Kebangkitan Islam telah padam, ini adalah salah satu dari kesalahan lain mereka, sebab Kebangkitan Islam mungkin saja sudah ditumpas di beberapa titik, namun dengan yakin akarnya tidak bisa dicabut dan akan menyebar luas," tegasnya.
Imam Khomeini ra adalah bapak pencetus Revolusi Islam Iran 1979, yang menyebabkan penggulingan rezim despotik Shah Pahlevi yang didukung AS di Iran. Imam Khomeini ra meninggal dunia pada tanggal 4 Juni 1989 di usia 87 tahun. (IRIB Indonesia/RM)
Ini Figur PM Palestina Hasil Kesepakatan Hamas-Fatah
arabnews.com w.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/14/05/29/n67u6w-ini-figur-pm-palestina-hasil-kesepakatan-hamasfatah
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Faksi Presiden Palestina Mahmoud Abbas,
Fatah, dan Hamas pada Senin malam (26/5) menyepakati Rami Hamdallah
sebagai Perdana Menteri Pemerintah Persatuan Peralihan, kata pejabat
Hamas.
"Kami secara resmi sepakat bahwa Rami Hamdallah akan menjadi Perdana
Menteri Pemerintah Persatuan ... Kami juga menyepakati sejumlah
menteri dan kami dijadwalkan melanjutkan pembahasan kami mengenai
masalah lain pada Selasa," kata Juru Bicara HAMAS di Jalur Gaza Sami Abu
Zuhri dalam satu taklimat, sebagaimana dikutip Xinhua yang dipantau
Antara di Jakarta, Selasa pagi.
Juru bicara tersebut menambahkan, kedua pihak akan mengadakan
pertemuan akhir guna menyepakati bentuk akhir pemerintah baru itu.
Namun seorang pejabat yang dekat dengan dialog
antara kedua pihak tersebut mengatakan mereka masih belum bisa
menyepakati siapa yang mesti menjadi menteri dalam negeri untuk bertugas
pada keamanan di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan.
Pejabat itu, yang tak ingin disebutkan jati dirinya, memberitahu
Xinhua pemimpin delegasi Fatah Azzam El-Ahmad menyarankan Hamdallah
mesti memangku jabatan tersebut untuk saat ini.
"Para pejabat HAMAS memberitahu El-Ahmad mereka perlu mempelajari
saran itu dan memberi jawaban selama pertemuan akhir pada Selasa," kata
pejabat tersebut.
Assad Memenangkan Pemilu Suriah
Kamis, 05 Juni 2014, 08:45 WIB
AP
AP
http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/14/06/05/n6oa88-assad-memenangkan-pemilu-suriah
REPUBLIKA.CO.ID,DAMASKUS -- Bashar al-Assad resmi memenangkan
pemilihan Presiden Suriah. Ketua Parlemen Suriah, Jihad Lahan
mengumumkan hal ini, Rabu (4/6).
Hasil akhir dari pemilihan presiden yang digelar Selasa (3/6) lalu, menunjukan Assad memperoleh lebih dari 10 juta suara, atau sekitar 88,7 persen. Dua pesaing Assad, Hasan al-Nouri mendapatkan 4,3 persen dan Maher Hajar hanya 3,2 persen suara.
Setelah hasil kemenangan Assad diumumkan, ratusan warga di Ibukota Suriah merayakan hal ini dengan gembira. Sepanjang jalan di Damaskus, banyak orang yang bersorak dan bersiul. "Dengan jiwa dan darah, kami berkorban untukmu Assad," ujar para pendukung Assad, dalam perayaan kemenangan, Rabu (3/6).
Kemenangan Assad dalam pemilihan Presiden Suriah sebelumnya telah dipastikan oleh banyak pihak. Hal ini disebabkan pemilihan yang berlangsung hanya di wilayah yang dikuasai Pemerintah Suriah. Selain itu, dua kandidat presiden lainnya dinilai tidak begitu populer di mata publik.
Dengan terpilihnya kembali Assad sebagai Presiden Suriah, hal ini akan memperkuat keyakinan lawan-lawan politik jika ia tak berniat melepas jabatannya. Negara-negara Barat dan Teluk Arab sebelumnya telah mengecam jika pemilihan ini hanya merupakan hasil rekayasa Assad.
Di Beirut, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengkritik tajam pemilihan Presiden Suriah. Ia mengatakan tidak ada unsur keadilan dalam pemilihan ini. "Pemilu tidak dapat dianggap adil jika masih banyak orang yang tidak dapat ikut serta di dalamnya," ujar Kerry.
Pemerintah Suriah telah berupaya untuk meredam konflik yang berlangsung selama tiga tahun. Pemilihan Presiden secara demokratis dinilai sebagai solusi atas kriris yang menyebabkan peperangan berdarah di Suriah.
Hingga saat ini, kelompok oposisi yang masih menguasai sebagian wilayah terutama bagian timur dan utara Suriah belum menunjukan tanda untuk menyerah. Mereka terlihat akan terus berupaya untuk menggulingkan Assad dari jabatannya sebagai Presiden. Pemilihan presiden juga disambut dengan cemooh dan kecaman dari oposisi.
Hasil akhir dari pemilihan presiden yang digelar Selasa (3/6) lalu, menunjukan Assad memperoleh lebih dari 10 juta suara, atau sekitar 88,7 persen. Dua pesaing Assad, Hasan al-Nouri mendapatkan 4,3 persen dan Maher Hajar hanya 3,2 persen suara.
Setelah hasil kemenangan Assad diumumkan, ratusan warga di Ibukota Suriah merayakan hal ini dengan gembira. Sepanjang jalan di Damaskus, banyak orang yang bersorak dan bersiul. "Dengan jiwa dan darah, kami berkorban untukmu Assad," ujar para pendukung Assad, dalam perayaan kemenangan, Rabu (3/6).
Kemenangan Assad dalam pemilihan Presiden Suriah sebelumnya telah dipastikan oleh banyak pihak. Hal ini disebabkan pemilihan yang berlangsung hanya di wilayah yang dikuasai Pemerintah Suriah. Selain itu, dua kandidat presiden lainnya dinilai tidak begitu populer di mata publik.
Dengan terpilihnya kembali Assad sebagai Presiden Suriah, hal ini akan memperkuat keyakinan lawan-lawan politik jika ia tak berniat melepas jabatannya. Negara-negara Barat dan Teluk Arab sebelumnya telah mengecam jika pemilihan ini hanya merupakan hasil rekayasa Assad.
Di Beirut, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengkritik tajam pemilihan Presiden Suriah. Ia mengatakan tidak ada unsur keadilan dalam pemilihan ini. "Pemilu tidak dapat dianggap adil jika masih banyak orang yang tidak dapat ikut serta di dalamnya," ujar Kerry.
Pemerintah Suriah telah berupaya untuk meredam konflik yang berlangsung selama tiga tahun. Pemilihan Presiden secara demokratis dinilai sebagai solusi atas kriris yang menyebabkan peperangan berdarah di Suriah.
Hingga saat ini, kelompok oposisi yang masih menguasai sebagian wilayah terutama bagian timur dan utara Suriah belum menunjukan tanda untuk menyerah. Mereka terlihat akan terus berupaya untuk menggulingkan Assad dari jabatannya sebagai Presiden. Pemilihan presiden juga disambut dengan cemooh dan kecaman dari oposisi.
Assad Terpilih Kembali Jadi Presiden Suriah
Warga Suriah memilih muqawama dan Bashar al-Assad menang dalam pemilu presiden Suriah dengan memperoleh 88.7 persen suara.
Reporter Tasnim News dari Damaskus (6/6) melaporkan, Bashar al-Assad dengan mengantongi mayoritas suara dalam pemilu presiden Suriah dan untuk ketiga kalinya terpilih sebagai presiden negara ini.
Jahad Elham, Ketua Parlemen Suriah mengkonfirmasikan berita ini dan mengatakan bahwa Assad meraih 10.319.723 suara, atau 88.7 persen dari total suara dalam pemilu presiden Suriah.
Hassan Abdullah al-Nuri memperoleh 500.279 suara atau 4.2 persen suara sementara Maher Abdul Hafez Hajjar mengantongi 390.301 suara atau 3.1 persen suara.
Pengadilan Tinggi Suriah sebelumnya mengumumkan bahwa tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu mencapai 73.42 persen. Jumlah total warga yang memiliki hak suara mencapai 15.840.575 dan jumlah yang berpartisipasi mencapai 11.634.412 orang.
Dari jumlah suara yang terkumpul 442.108 di antaranya invalid.(IRIB Indonesia/MZ)
Al-Moallem: Partisipasi Luas Rakyat Suriah dalam Pilpres Buktikan Tekad Mereka
Menteri Luar Negeri Suriah, Walid al-Moallem menyatakan, bangsa Suriah dengan partisipasi luas dalam pilpres telah menunjukkan tekad mereka.
IRNA melaporkan, Walid al-Moallem, Selasa (3/6) dalam wawancaranya dengan televisi al-Mayadeen mengatakan, meski berbagai ancaman dan tekanan, warga Suriah berpartisipasi dalam pemilu, mereka adalah Suriah sejati dan hakiki."
Menlu Suriah menegaskan, "Banyak warga Suriah yang tinggal di wilayah tidak aman dan bergolak, pergi ke wilayah-wilayah aman untuk memilih."
Tentang peran Liga Arab dalam pemilu, al-Moallem mengatakan, Liga ini sejak awal krisis di Suriah selalu melakukan makar anti-Suriah dan kami tidak dapat mempercayai para pengamat dari Liga itu.
Dikatakannya pula, "Bagaimana kami dapat mempercayai para pengamat dari negara-negara yang melarang warga Suriah yang berdomisili di negara mereka untuk memilih dalam pemilu."
Al-Moallem selanjutnya mengatakan, kami telah meminta sebuah kelompok yang terdiri dari delegasi parlemen dan insan media untuk menjadi pengamat pemilu di Suriah.
Al-Moallem lebih lanjut menjelaskan, kami hingga kini tidak menyaksikan upaya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau lembaga-lembaga afiliasinya dalam pemberantasan terorisme di negara kami.
Pemilu presiden persaingan pertama di Suriah digelar pada Selasa pagi dan diperpanjang hingga lima jam menyusul sambutan luas masyarakat.
Pemilu presiden Suriah digelar di saat banyak pengamat regional dan media internasional menilai Bashar al-Assad akan unggul mengantongi suara lebih banyak dari dua rivalnya. (IRIB Indonesia/MZ)
Drama Politik Pilpres Mesir
Komisi
Tinggi Pemilu presiden Mesir secara resmi menyatakan bahwa Abdul Fatah
el-Sisi sebagai pemenang pilpres. Komisi tinggi pemilu presiden Mesir
Selasa malam (3/6) menyatakan bahwa jenderal Mesir itu meraih 23.780.104
suara dalam pesta demokrasi di negara Afrika Utara itu. Dilaporkan,
El-Sisi meraih lebih dari 96 persen suara.
Pasca pengumuman resmi komisi pemilu presiden Mesir, Sekjen PBB, Ban
Ki-moon menyampaikan harapannya bahwa pemenang pemilu bisa mengembalikan
stabilitas politik dan menciptakan demokrasi di Mesir. Ban Ki-moon
menyerukan pemimpin baru Mesir untuk menggelar dialog dengan berbagai
kubu politik dan institusi demokrasi di negara itu.
Statemen Sekjen PBB mengenai transformasi terbaru Mesir menunjukkan
bahwa realitas yang terjadi di negeri 1000 menara itu tampaknya tidak
sesuai dengan harapan Ban-Ki-moon. El-sisi dalam kampanye politiknya
menyatakan tidak akan menerima kritik dan serangan politik terhadap
pemerintahan baru Mesir, sebab menurutnya negara sedang menghadapi
masalah yang lebih penting.
Pemilu
presiden Mesir berlangsung pasca pemerintah transisi mengumumkan
Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi ilegal. Sementara itu, para
pendukung presiden terguling Mesir, Mohammad Mursi menilai El-Sisi
sebagai pemimpin kudeta. Loyalis Mursi memandang jenderal berpengaruh di
Mesir itu mengabaikan hasil pemilu presiden tahun 2012 yang berlangsung
secara bebas dan demokratis.
Para
aktivis politik Mesir meyakini militer sebagai pengendali pucuk
kekuasaan menjadikan pemilu presiden kali ini sebagai cara untuk
menjustifikasi legitimasi kudeta terhadap Mursi. Di sisi lain,
penumpasan aktivis politik oleh petugas keamanan Mesir hingga kini terus
berlanjut. Vonis hukuman berat terhadap oposisi pemerintah Kairo
menunjukkan sepak terjang brutal para penguasa Mesir terhadap pemrotes
yang menuntut hak-haknya. Pengadilan Kairo baru-baru ini menjatuhkan
vonis hukuman penjara seumur hidup terhadap 28 ribu pendukung Mursi.
Dalam kondisi demikian, Front Pemuda 6 April menyatakan akan memulai
protes jalanan pasca pelantikan El-Sisi sebagai presiden baru Mesir.
Muhammad Abdullah, salah seorang anggota inti Front Pemuda 6 April
menegaskan bahwa aktivitas gerakan ini dilakukan secara terorganisir dan
tersembunyi demi meminimalisasi penangkapan anggotanya oleh polisi
Mesir.
Front Pemuda 6 April
menyatakan bahwa mereka akan melancarkan berbagai aktivitas, termasuk
membentukrantai manusia dan melanjutkan protes jalanan. Gerakan ini
mengecam keras aksi pemerintah Mesir yang melakukan penangkapan masif
terhadap aktivis politik dan memenjarakan mereka secara sewenang-wenang.
Front 6 April memainkan peran penting dalam revolusi rakyat Mesir pada
25 Januari silam yang berhasil menggulingkan rezim Mubarak. Organisasi
ini mengecam keras kinerja pemerintah transisi dan kehadiran El-Sisi di
arena politik Mesir. Gerakan 6 April memboikot pemilu Mesir dan
menilainya sebagai drama yang dimainkan militer. Selain Front Pemuda 6
April berbagai kubu lainnya juga memboikot pemilu presiden Mesir,
sehingga tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu presiden kali ini
kurang dari 50 persen warga yang memiliki hak pilih.(IRIB Indonesia/PH)
Sabtu, 7 Sya'ban 1435 H / 24 Mei 2014 00:20 wib
- Skenario Kudeta Abdul Fattah al-Sisi, Berlangsung di Libya
Sabtu, 7 Sya'ban 1435 H / 24 Mei 2014 00:20 wib
http://www.voa-islam.com/read/world-analysis/2014/05/24/30549/skenario-kudeta-abdul-fattah-alsisi-berlangsung-di-libya/#sthash.Zj41UZXe.mtmvzKpG.dpbs
Skenario Kudeta Abdul Fattah al-Sisi, Berlangsung di Libya
BENGAZHI
(voa-islam.com) - Pada tanggal
12 Februari, Menteri Pertahanan Libya
mengungkapkan bahwa pasukan keamanan melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil
yang baru, dipimpin oleh seorang tokoh, yaitu Perdana Menteri Ahmed Matiq.
Dua hari
kemudian, Jenderal Khalifa Haftar, yang dikenal mempunyai hubungan sangat dekat
dengan CIA sejak 1980-an, muncul di saluran TV Al Arabiya yang didanai (Saudi),
dan menyatakan terjadinya kudeta, dan menguasai negara, tegasnya.
Haftar orang ketiga yang bertanggung jawab selama pemberontakan terhadap pemerintahan Muammar Gaddafi pada tahun 2011. Jenderal Khalifa Haftar meminta pembubaran parlemen (Kongres), dan membuat pemilu baru, yang tujuannya mengganti anggota parlemen yang sebagian besar dikuasai oleh kalangan Islamis.
Haftar orang ketiga yang bertanggung jawab selama pemberontakan terhadap pemerintahan Muammar Gaddafi pada tahun 2011. Jenderal Khalifa Haftar meminta pembubaran parlemen (Kongres), dan membuat pemilu baru, yang tujuannya mengganti anggota parlemen yang sebagian besar dikuasai oleh kalangan Islamis.
Haftar dianggap membelot dari Gaddafi saat situasi
kritis, dan jabatan nya sebagai panglima angkatan bersenjata Libya
diserahkan kepadea Yunus. Tetapi, tak lama Yunus tewas, dan Haftar adalah
antara daftar tersangka di balik kematiannya.
Setelah Haftar
mengungkapkan rencana perubahan politik di Libya, jumlah protes terhadap
Kongres meningkat, memberi stempel Ikhwanul Muslimin sebuah organisasi
'teroris', serta memobilisasi demonstrasi mendukung gerakan menggulingkan
pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Ikhwan. Skenario itu persis yang
dilakukan oleh Marsekal Abdul Fattah al-Sisi menggulingkan Presiden Mursi.
Haftar dikenal
sebagai pengikut Nasseris yang berideologi sekuler, dan Haftar bekerja selama
bertahun-tahun sebagai ajudan setia Gaddafi. Namun, pada tahun 1980 selama
upaya Gaddafi menggulingkan rezim Chad
sekutu Barat, Haftar bersama dengan 700 pasukan di bawah
komandonya, kalah dan menjadi tahanan pasukan Chad. Ketika Gaddafi membantah
bahwa ia telah mengirim pasukan untuk menghadapi Chad dan gagal melindungi Haftar,
CIA mendekati Haftar dan meyakinkan dia untuk bekerja sama dengan mereka .
Haftar menjadi pemimpin Tentara Pembebasan Nasional, yang merupakan sayap bersenjata dengan Front Nasional, yang dipimpin Muhammad Magarif, yang anggotanya mantan Perdana Menteri Ali Zeidan.
Haftar menjadi pemimpin Tentara Pembebasan Nasional, yang merupakan sayap bersenjata dengan Front Nasional, yang dipimpin Muhammad Magarif, yang anggotanya mantan Perdana Menteri Ali Zeidan.
Namun, setelah
penggulingan pemimpin Chad
pro-Amerika, Habre oleh pemimpin pro-Perancis, Idris berlangsung melalui
kudeta, dan AS mulai kehilangan minat di Chad. Dengan izin Perancis, Idris
kemudian mencoba membentuk hubungan dengan Gaddafi, tapi Haftar dan anak
buahnya berdiri melawan ini.
Setelah CIA gagal
menemukan dasar untuk Haftar di Zaire
dan Kenya, ia dibawa ke Amerika Serikat sebagai pengungsi. Sampai pemberontakan melawan
Gaddafi dimulai pada tahun 2011, Haftar tetap di Virginia dekat markas CIA.
Tepat sebelum
pemberontakan dimulai pada tahun 2011, Haftar kembali ke Libya dan
dianggap sebagai pemimpin bagi pasukan pemberontak. Pada akhirnya, Haftar
ditempatkan ketiga di hirarki. Setelah jatuhnya Gaddafi, ia benar-benar
passified dan dinetralkan.
Meskipun ide
belaka seseorang yang telah dinetralkan kembali ke permukaan melalui operasi
media, ketika seseorang melihat gambar Libya
secara keseluruhan, mudah untuk menyadari bahwa situasi di sana sangat unik.
Hal ini sangat
jelas bahwa telah ada upaya untuk kotor gambar dari Ikhwanul Muslimin di Libya
pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama proses datang tentang di Mesir.
Selain itu, jelas bahwa mantan Perdana Menteri dan sekutu Barat Zeidan, yang
bersama dengan pemimpin National Alliance Angkatan Mahmud Jibril dikatakan
telah meyakinkan Barat untuk campur tangan di Libya, telah mengalihkan
tanggung jawab pelatihan tentara Libya yang baru dibentuk ke Barat - terutama
Amerika Serikat dan Inggris pada saat yang sama, Zeidan diterima
oleh analis Barat telah memainkan peran dalam penangkapan Al - Libi.
Sebagai Kongres
berusaha untuk memperkuat cengkeramannya pada bangsa, Jibril dan
sekutu-sekutunya telah memanggil orang-orang ke jalan untuk memprotes
kekuasaannya. Haftar mengatakan bahwa ia tidak mengakui Kongres pada saluran
Al Arabiya yang didanai oleh Saudi, yang telah menaikkan hadir pada anti -
Congres protes.
Untuk segmen
tertentu dari masyarakat, Haftar, yang juga telah menempatkan Gerakan
Ikhwanul Muslimin di bawah sorotan, telah menjadi pahlawan
[afgh/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/world-analysis/2014/05/24/30549/skenario-kudeta-abdul-fattah-alsisi-berlangsung-di-libya/#sthash.Zj41UZXe.mtmvzKpG.dpuf
Beternak Alpaca di Amerika Serikat - VOA
???
Semakin banyak perternak di AS ikut mengembang-biakkan hewan Alpaca
karena mudah dipelihara dan sangat menguntungkan. Alpaca, jenis hewan
satu famili dengan unta dan llama, yang biasanya hanya ditemukan di
pegunungan Andes, Amerika Selatan.
PBB Dukung Pemerintahan Baru Palestina
ANTARA/Widodo S. Jusuf http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/14/06/04/n6m5h9-pbb-dukung-pemerintahan-baru-palestina
Dujarric memberikan pernyataan tertulis itu setelah utusan khusus PBB Robert Serry melakukan perundingan dengan Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah."PBB telah sejak lama menekankan pentingnya kesatuan Palestina," kata dia.
PBB juga siap memberikan dukungan penuh terhadap pemerintah yang baru terbentuk dalam upayanya menyatukan Tepi Barat dan Gaza dalam satu otoritas sah Palestina.
Di sisi lain, juru bicara tersebut juga mengatakan bahwa pertemuan antara Serry dan Hamdallah akan membahas tantangan politik, keamanan, kemanusiaan dan ekonomi di Gaza. Mereka juga akan membahas pelaksanaan pemilu yang terus tertunda sejak lama.
Sementara itu, Washington juga siap untuk bekerja sama dengan pemerintah baru Palestina, Sikap Amerika Serikat tersebut kemudian memicu reaksi keras dari Israel--yang mendesak masyarakat internasional untuk tidak terburu-buru mengakui entitas baru tersebut.
Israel mengkritik pemerintah baru Palestina karena terbentuk dari gabungan organisasi Fatah dan Hamas--yang bagi Israel merupakan organisasi teroris.
"Hamas adalah organisasi teroris yang bertanggung jawab atas kematian warga sipil tak bersalah. Mereka juga adalah organisasi yang menyatakan bahwa negara Israel harus dihancurkan," kata Mark Regev, juru bicara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, pada Selasa.
AS Dukung Pemerintah Baru Palestina, Ini Reaksi Israel
AP
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Barack Obama
mendukung pemerintahan baru Palestina yang telah bersatu dengan Hamas.
Bentuk dukungan pemerintah Amerika Serikat ini berupa pendanaan yang
akan tetap diberikan kepada Palestina serta bentuk kerja sama lainnya.
Keputusan AS ini pun segera ditanggapi oleh Israel dengan nada kecewa setelah zionis menyerukan dunia internasional untuk tidak mengakui pemerintahan baru Palestina.
Amerika Serikat sebelumnya menilai Hamas sebagai kelompok teroris dan Kongres AS telah membatasi bantuan pendanaan kepada otoritas Palestina yang biasanya sebesar 500 juta dolar per tahun.
Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri AS usai peresmian pemerintahan baru Palestina, disebutkan bahwa kabinet baru Palestina terdiri dari menteri-menteri teknokrat.
“Saat ini, terlihat bahwa Presiden Abbas telah membentuk pemerintahan teknokrat sementara yang tidak menunjuk menteri yang berhubungan dengan Hamas,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Jen Psaki.
“Berdasarkan apa yang kami ketahui, kami akan bekerja sama dengan pemerintahan ini tetapi kami akan mengawasi mereka untuk memastikan bahwa mereka melaksanakan prinsip-prinsip yang Presiden Abbas tegaskan hari ini,” katanya, merujuk pada komitmen Abbas untuk melaksanakan kesepakatan perdamaian yang terakhir kalinya.
Meskipun begitu, pejabat legislatif AS mengatakan Washington sebaiknya menangguhkan bantuan hingga memastikan bahwa kelompok Islam di Palestina itu menjalankan komitmennya untuk mencapai perdamaian dengan Israel.
“Pemberian dana bantuan kepada Palestina tidak dibicarakan hingga dipastikan pemerintahan baru Palestina berkomitmen melakukan perdamaian dan keamanan,” kata Kay Granger, Ketua Komite Pengawas Bantuan Luar Negeri DPR AS.
Psaki pun mengatakan AS akan tetap memberikan dana bantuannya kepada Palestina. Namun, pihaknya akan tetap mengevaluasi kebijakan-kebijakan dari pemerintahan baru Palestina dan menyesuaikannya.
Sementara itu, di Yerusalem, seorang pejabat Israel, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Amerika Serikat tersebut. “Kami sangat kecewa terhadap Kementerian Luar Negeri AS yang memutuskan akan bekerja sama dengan pemerintahan baru Palestina,” katanya.
Keputusan AS ini pun segera ditanggapi oleh Israel dengan nada kecewa setelah zionis menyerukan dunia internasional untuk tidak mengakui pemerintahan baru Palestina.
Amerika Serikat sebelumnya menilai Hamas sebagai kelompok teroris dan Kongres AS telah membatasi bantuan pendanaan kepada otoritas Palestina yang biasanya sebesar 500 juta dolar per tahun.
Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri AS usai peresmian pemerintahan baru Palestina, disebutkan bahwa kabinet baru Palestina terdiri dari menteri-menteri teknokrat.
“Saat ini, terlihat bahwa Presiden Abbas telah membentuk pemerintahan teknokrat sementara yang tidak menunjuk menteri yang berhubungan dengan Hamas,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Jen Psaki.
“Berdasarkan apa yang kami ketahui, kami akan bekerja sama dengan pemerintahan ini tetapi kami akan mengawasi mereka untuk memastikan bahwa mereka melaksanakan prinsip-prinsip yang Presiden Abbas tegaskan hari ini,” katanya, merujuk pada komitmen Abbas untuk melaksanakan kesepakatan perdamaian yang terakhir kalinya.
Meskipun begitu, pejabat legislatif AS mengatakan Washington sebaiknya menangguhkan bantuan hingga memastikan bahwa kelompok Islam di Palestina itu menjalankan komitmennya untuk mencapai perdamaian dengan Israel.
“Pemberian dana bantuan kepada Palestina tidak dibicarakan hingga dipastikan pemerintahan baru Palestina berkomitmen melakukan perdamaian dan keamanan,” kata Kay Granger, Ketua Komite Pengawas Bantuan Luar Negeri DPR AS.
Psaki pun mengatakan AS akan tetap memberikan dana bantuannya kepada Palestina. Namun, pihaknya akan tetap mengevaluasi kebijakan-kebijakan dari pemerintahan baru Palestina dan menyesuaikannya.
Sementara itu, di Yerusalem, seorang pejabat Israel, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Amerika Serikat tersebut. “Kami sangat kecewa terhadap Kementerian Luar Negeri AS yang memutuskan akan bekerja sama dengan pemerintahan baru Palestina,” katanya.
Israel Kecam Dukungan AS untuk Palestina
nationalturk.com
http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/14/06/04/n6mugv-israel-kecam-dukungan-as-untuk-palestina
REPUBLIKA.CO.ID, YERUSSALEM– Perdana Menteri Israel menyatakan
rasa keberatannya atas dukungan pemerintah Amerika Serikat kepada
pemerintahan baru Palestina. Keputusan AS ini pun membuat Israel semakin
geram.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan sangat terganggu dengan keputusan Amerika Serikat untuk menjaga hubungannya dengan Palestina. Tak hanya itu, Israel bahkan mendesak Washington untuk mengatakan kepada Presiden Palestina bahwa kerjasamanya dengan Hamas tidak dapat diterima.
Pernyataan Netanyahu ini dilontarkan pada Selasa lalu dan mewakili rasa kekecewaan pemerintah Israel. Dilansir dari Aljazeera, Israel pun merasa frustasi karena pemerintahan baru Palestina telah diterima dan mendapatkan dukungan dari dunia internasional.
Sebelumnya, Israel telah mendesak agar dunia internasional tidak terburu-buru memberikan dukungan kepada pemerintahan baru Palestina yang bersatu dengan Hamas. “Saya benar-benar terganggu dengan pengumuman dari Amerika Serikat yang menyatakan siap bekerja sama dengan pemerintahan Palestina yang didukung oleh Hamas,” kata Netanyahu.
“Semua yang ingin mencari perdamaian harus menolak persatuan Presiden Abbas dan Hamas, dan menurut saya AS harus menjelaskan kepada Presiden Palestina bahwa kesepakatannya dengan Hamas yang merupakan kelompok teroris benar-benar tidak dapat diterima,” jelasnya.
Netanyahu mendesak dunia internasional untuk mengecam pemerintahan Palestina karena didukung oleh Hamas karena Hamas dinilai memiliki tujuan akan menghancurkan Israel. Sedangkan, menteri intelijen Israel menyatakan pernyataan yang menyebutkan bahwa pemerintahan baru Palestina terdiri dari para tehnokrat dari pada politisi hanyalah suatu alasan untuk mempermudah kesepakatan diplomatis Barat.
Sementara itu, PBB menyambut baik pemerintahan baru Palestina dan menyatakan siap untuk memberikan dukungan sepenuhnya guna mempersatukan Tepi Barat dan Jalur Gaza. “PBB telah menekankan perlunya persatuan Palestina,” kata juru bicara Ban Ki-moon, Stephane Dujarric dalam pernyataannya, Selasa kemarin.
AS dan UE mengatakan akan tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Palestina dan melanjutkan memberikan dana bantuan dengan syarat Palestina menolak kekerasan serta mengakui Israel. Abbas sebelumnya juga mengatakan kabinet barunya berkomitmen terhadap prinsip-prinsip tersebut.
“Kami menyambut baik deklarasi Presiden Abbas bahwa pemerintahan barunya berkomitmen untuk menjaga prinsip-prinsip two state solution berdasarkan perbatasan 1967 atas pengakuan keberadaan Israel,” kata UE dalam pernyataannya. “Kesepakatan Uni Eropa dengan pemerintahan baru Palestina ini berdasarkan kepatuhan komitmen dan kebijakan ini,” lanjutnya.d
Acara pelantikan anggota Kabinet pemerintahan nasional bersatu Palestina digelar di Ramallah, Tepi Barat, Palestina.
Menyusul kesepakatan yang dicapai Hamas dan Fatah untuk mengesampingkan perbedaan dan membentuk pemerintahan nasional bersatu, anggota-anggota Kabinet pemerintahan baru Palestina hari ini, Senin (2/6) mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Mahmoud Abbas, Pemimpin Otorita Ramallah, Palestina.
Kabinet pemerintahan nasional bersatu Palestina di bawah pimpinan Rami Hamdallah segera memulai aktivitasnya setelah acara pelantikan ini. Bergabungnya Hamas dalam pemerintahan baru ini memaksa rezim Zionis Israel meminta dunia internasional untuk tidak mengakui pemerintahan nasional bersatu Palestina.
Israel juga tidak mengijinkan Menteri-menteri dari Gaza untuk hadir dalam acara pelantikan tersebut.
Rami Hamdallah akan menjadi Perdana Menteri pemerintahan nasional bersatu Palestina dan Mohammed Mustafa sebagai wakilnya.
Dr. Ziad Abu Amr diangkat menjadi Deputi politik PM Palestina dan Menteri Kebudayaan dan Riyadh Al Maliki sebagai Menteri Luar Negeri.
Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Hamas dan Fatah pada tanggal 23 April 2014 menandatangani kesepakatan rekonsiliasi nasional untuk membentuk pemerintahan nasional bersatu dan menggelar pemilu parlemen, pemimpin Otorita Ramallah dan Majelis Nasional (dewan penentu kebijakan PLO). (IRIB Indonesia/HS)
Akram Ataullah, jurnalis Palestina di Jalur Gaza menyatakan, "Pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina semakin membuat rezim Zionis terkucil di dunia."
Ataullah, Senin (2/6), dalam wawancara dengan IRIB menyinggung pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina dan mengatakan, "Tantangan terpenting yang dihadapi pemerintah baru adalah tekanan dari Israel terhadapnya."
Ataullah juga menyinggung penghalangan kunjungan tiga menteri Palestina dari Jalur Gaza ke Ramallah dan masalah ini mengindikasikan pemberlakuan berbagai pembatasan oleh Tel Aviv di masa mendatang.
Ditambahkannya, "Akan tetapi di hadapan langkah-langkah ini, Israel sedang terkucil, karena masyarakat dunia mendukung pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina."
Jurnalis Palestina di Gaza ini menegaskan, Gerakan Muqawama Islam Palestina (Hamas) pada akhirnya mampu mempertahankan kementerian urusan tahanan di pemerintahan persatuan nasional.
Menyusul kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional, para anggota kabinet pemerintah, diambil sumpah pada Senin (2/6) di hadapan Pemimpin Otorita Ramallah Mahmoud Abbas, di Ramallah, Tepi Barat.
Hamas dan Fatah pada 23 April menandatangani kesepakatan rekonsiliasi nasional untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional serta pelaksanaan pemilu parlemen dan pemimpin Palestina.(IRIB Indonesia/MZ)
Perwakilan dari Iran dan enam kekuatan dunia memulia kembali putaran baru peurndingan tingkat ahli atas program energi nuklir Tehran.
Hamid Baeidinejad, direktur jenderal untuk urusan politik dan internasional di Kementerian Luar Negeri Iran, mewakili Republik Islam, sementara Stephen Clement, seorang wakil kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, mewakili Kelompok 5+1 dalam pertemuan Rabu (4/6).
Kedua belah pihak membahas masalah teknis seputar program nuklir Iran selama peurndingan dua hari di Wina, ibukota Austria.
Perundingan sedang digelar di sela-sela pertemuan triwulanan Badan Energi Atom Internasional Dewan Gubernur (IAEA).
Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB - Amerika Serikat, Cina, Rusia, Perancis dan Inggris - ditambah Jerman telah membahas cara-cara untuk menghapus perbedaan dan mulai menyusun kesepakatan final yang akan mengakhiri perselisihan Barat dengan Iran atas program energi nuklir negara itu.
Iran dan mitra negosiasi mengakhiri putaran terbaru perundingan nuklir mereka di tingkat tinggi di Wina pada 16 Mei. Putaran mendatang perundingan nuklir antara kedua belah pihak dijadwalkan akan diselenggarakan di ibukota Austria mulai 16-20 Juni.(IRIB Indonesia/MZ)
Dina Y. Sulaeman*
Pada akhirnya, selalu terbukti bahwa politik yang membawa kemaslahatan umat adalah politik yang dijalankan oleh orang-orang visioner, mampu melihat jauh ke depan, dan mampu membedakan mana musuh, mana kawan. Misalnya, betapa dulu Rasulullah dicerca sebagian sahabatnya karena mau menandatangani perjanjian Hudaibiyah yang sekilas terlihat merugikan kaum muslimin. Namun waktu memberi bukti bahwa langkah Rasulullah itu sangat tepat dan membuktikan betapa beliau adalah politisi yang sangat visioner.
Sayangnya, hingga kini sangat banyak politisi yang mengusung perjuangan Islam yang terjebak pada kepentingan sesaat dan tidak mampu mendeteksi siapa sesungguhnya teman sejati.
Inilah yang tengah terjadi pada kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Perjuangan panjang mereka ‘mewarnai' Mesir dengan nilai-nilai Islam dan ‘menguasai' berbagai lini kehidupan sosial melalui berbagai aktivitas sosial yang simpatik, akhirnya buyar dalam hitungan bulan setelah mereka berhasil meraih tampuk kekuasaan. IM bahkan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sebelumnya pun, menurut kesaksian rekan saya, pejabat yang pernah tinggal di Mesir, tidak sengaja sholat di masjid yang dicap sebagai masjid IM-pun sudah bisa membuat seorang stafnya dijebloskan ke penjara. Hanya memasang foto pejuang Palestina di kamar kos juga telah membuat seorang mahasiswa Indonesia dipenjara. Bisa dibayangkan betapa mencekamnya kehidupan orang-orang IM di Mesir saat ini ketika ormas ini resmi dinyatakan terlarang.
Ada kisah menarik yang saya dapat dari pejabat Iran yang pernah berkunjung ke Indonesia, disampaikan secara informal, namun saya mempercayai akurasinya. Menurutnya, sejak awal Mursi naik ke tampuk kekuasaan, telah terjalin lobi-lobi diplomatik antara Iran dan Mesir (sebelumnya, pada era Mubarak, kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik akibat perbedaan tajam keduanya atas isu Israel; Mubarak sangat berpihak pada Israel).
Di antara pesan penting yang disampaikan misi diplomatik Iran adalah: berdasarkan pengalaman revolusi Islam Iran, ada 3 langkah yang harus dilakukan agar pemerintahan Islam di Mesir tetap tegak, yaitu selalu bersama rakyat, jauhi eksklusivitas dan takfirisme, dan hati-hati dengan jebakan Barat.
Namun, Mursi mengabaikan pesan ini. Alih-alih kedubes Israel, justru Kedubes Suriah di Kairo yang ditutupnya. Bukannya memutus hubungan dengan lembaga renten Barat, malah minta bantuan IMF. Bukannya menjalin ukhuwah di antara sesama anak bangsa, malah bersikap eksklusif. Para aktivis dan politisi IM sangat mudah melempar vonis sesat pada lawan politik mereka. Pengiriman pasukan jihad ke Suriah dan menjadi tuan rumah pertemuan para ulama takfiri sedunia dalam membahas isu Suriah, adalah pesan kuat betapa Mursi dan IM mendukung takfirisme. Sikap Mursi saat berkunjung ke Iran juga secara diplomatik sangat menodai hubungan baik kedua negara (bisa dibaca tulisan saya "Dua Suara Miring dari KTT GNB Tehran"). http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/09/03/dua-suara-miring-dari-ktt-gnb-tehran/
Secara diplomatik, Iran bersabar dan terus menyatakan dukungan kepada rezim IM. Ketika akhirnya Mursi digulingkan oleh militer, Iran menyuarakan pembelaan. Sungguh jauh berbeda dengan Arab Saudi yang menjadi negara pertama yang memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir. Menurut pejabat Iran yang saya kutip dalam tulisan ini (dan saya juga pernah menulis analisis serupa dalam artikel saya "Pemetaan Konflik Mesir"),http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/07/28/pemetaan-konflik-mesir/sikap Iran ini didasarkan pada kepentingan Dunia Islam secara lebih global.
Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer, harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Dan benar saja, kini kekhawatiran Iran terbukti. Gerakan (harakah) Islam di berbagai negara Arab semakin diberangus. Selain menyatakan IM sebagai organisasi terlarang, militer di negara-negara monarkhi Arab pun semakin merasa punya alasan untuk menindas aktivitas politik Islam.
Pada akhirnya, ketika para aktivis IM dikejar-kejar dan menjadi buron, kemanakah tempat mengadu dan mencari bantuan dana? Saya yakin, para aktivis IM di Indonesia yang membaca tulisan ini akan menyebut saya bohong besar. Terserah saja. Tapi, informasi yang saya dapatkan dari pejabat Iran tadi, delegasi IM telah melakukan kontak dengan Iran untuk meminta bantuan. Dan ini sebenarnya bukan fakta yang mengherankan. Bukankah para pemimpin Hamas (pejuang Palestina berhaluan IM) juga berkali-kali datang ke Iran untuk meminta bantuan dalam perjuangan melawan Israel?
Dalam kasus Suriah, Hamas pernah mengambil keputusan blunder: memilih melawan rezim Assad dan Iran yang selama ini membantu mereka hanya semata-mata demi solidaritas kepada para ‘mujahidin' yang berhaluan IM. Ketika situasi semakin sulit (‘mujahidin' IM di Suriah tak berhasil menggulingkan Assad, justru Mursi yang dikudeta militer -dengan dukungan sebagian rakyat Mesir) Hamas akhirnya kembali kepada Iran. Arab Saudi sudah ‘menalak' IM, Qatar ternyata masih sama seperti dulu, tak pernah serius membantu. Jadi, negara muslim mana yang mau menggelontorkan 15 Juta Poundsterling per bulan untuk Hamas, selain Iran?
Hubungan antara Hamas dan Iran telah kembali," kata Mahmud al-Zahar tokoh Hamas, dalam konferensi pers di Gaza, Desember 2013.
Al Zahar mengakui bahwa hubungan antara Iran dan Hamas terganggu akibat konflik Suriah. "Hamas telah mundur dari Suriah sehingga Hamas tidak bisa lagi diidentifikasikan sebagai kelompok ini, atau kelompok itu. Kami mengkonfirmasi bahwa kami tidak ikut campur atas kasus Suriah atau negara Arab manapun," kata Al Zahar (Al Arabiya, 10/12/13).
Lalu, bagaimana dengan rakyat Mesir sendiri, yang setelah 30 tahun sengsara di bawah rezim fasis militer Mubarak, akhirnya berbalik demo menggulingkan Mursi dan mendukung lagi militer? Ah, tak perlu heran. Bukankah orang Indonesia juga bersikap serupa? Keterpurukan ekonomi kita hari ini jelas hasil ‘karya' rezim Soeharto, dimulai dengan menjual murah kekayaan alam bangsa dalam konferensi bisnis di Jenewa tahun 1967. Lalu, mengapa slogan "Piye Kabare Le, Enak Jamanku To" masih menyebar luas? Bahkan Titiek Suharto dalam spanduk kampanye pileg-nya memasang slogan itu, dan melenggang ke Senayan. Manusia pada umumnya memang malas belajar dari sejarah dan opini publik sangat mudah dibelokkan.
Dan Mesir, pada akhirnya, seharusnya menjadi wahana belajar, terutama bagi ormas Islam di Indonesia. Sikap takfirisme, oportunisme, ekslusivitas, dan antikritik, hanya berujung pada kegagalan perjuangan Muslim secara global.[] (IRIB Indonesia)
*Mahasiswi Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, penulis buku Prahara Suriah
Usai sudah Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok (KTT GNB) ke-16
di Tehran. Meskipun selama 30 tahun terakhir AS telah mengucurkan
sangat banyak energi dan dana untuk menjadikan Iran sebagai pariah dalam
pergaulan internasional, kehadiran top official dari 120 negara di
Tehran membuktikan kegagalan upaya itu. Menjelang KTT, berbagai upaya
propaganda dilancarkan untuk mencegah kehadiran tokoh-tokoh dunia ke
Tehran. PM Israel, Netanyahu menyebut KTT GNB sebagai ‘memalukan dan
noda bagi kemanusiaan” dan AS terang-terangan menyatakan ketidaksetujuan
kedatangan Sekjen Ban Ki Moon ke Tehran.
Upaya AS ini seolah pengulangan sejarah Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Saat itu, seperti dicatat oleh mantan Sekjen Deplu Ruslan Abdulgani dalam bukunya ‘Bandung Connection’, media AS mempropagandakan bahwa Indonesia tidak akan mampu menyelenggarakan konperensi akbar itu. Bahkan, salah satu media AS mengutip kalimat kasar mengejek Indonesia, “Para pengemis itu tidak akan bisa belajar.” Cak Ruslan mengatakan dirinya dan PM Ali Sastroamijojo merasa sedih membaca berita itu tapi hal itu justru mendorong mereka bekerja lebih giat lagi untuk menyukseskan KAA.
Benar saja, hingga kini, suara KAA masih terus menggema. KAA-lah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Non Blok pada tahun 1960. Dalam KAA Bandung, ide-ide independensi dan perjuangan melawan neokolonialisme didiseminasi. Pidato Bung Karno yang histroris itu, masih terasa relevan hingga kini. Beliau mengatakan, “Saya harap Anda tidak memikirkan kolonialisme dalam bentuk klasik sebagaimana yang diketahui baik oleh kami bangsa Indonesia, maupun oleh saudara-saudara kami dari berbagai bagian Asia dan Afrika. Kolonialisme juga memiliki penampilan yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan juga kontrol fisik yang dilakukan sekelompok kecil orang asing dalam sebuah bangsa. Kolonialisme adalah musuh yang sangat pintar dan ambisius, dan dia muncul dalam berbagai kedok. Kolonialisme tidak menyerahkan (bangsa) jarahannya dengan begitu saja. Kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun kolonialisme itu menampilkan dirinya, dia tetaplah sesuatu yang jahat, dan dia harus dimusnahkan dari muka bumi ini.”
Di Teheran, nama Bung Karno kembali dikenang. Dalam pidatonya di depan peserta KTT, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei, menyebut-nyebut nama Bung Karno. Ayatullah Khamenei mengatakan, “Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Sukarno, salah satu pendiri gerakan Non Blok, dalam konferensi legendaris di Bandung tahun 1955, landasan berdirinya gerakan non blok bukanlah penyatuan geografi atau ras atau agama, melainkan persatuan kebutuhan. Pada waktu itu, negara-negara yang bergabung dalam GNB membutuhkan kerjasama yang bisa membebaskan mereka dari kekuatan arogan dunia, dan kebutuhan tersebut masih dirasakan hingga hari ini seiring dengan semakin meluasnya cengkeraman kekuatan imperialisme.”
Ya, tak perlu banyak dibahas, kita semua sudah merasakan bahwa imperialisme model baru, atau neokolonialisme, masih mencengkeram bangsa-bangsa di dunia. Sebagaimana diungkapkan John Pilger dalam film dokumenternya ‘New Ruler of The World’, saat ini ada sekelompok kecil orang yang sedemikian berkuasa di muka bumi, sehingga kekayaan mereka bahkan lebih banyak dari kekayaan seluruh manusia di benua Afrika. Mereka hanya memiliki 200 perusahaan, namun menguasai ¼ perekonomian dunia. Bahkan sebagian perusahaan itu lebih kaya dari satu negara. Misalnya, General Motors lebih kaya daripada Denmark, Ford lebih kaya dibanding Afrika Selatan.
Bagaimana cara mereka mendapatkan uang sebanyak itu? Tak lain, melalui perbudakan era modern. Mereka membangun pabrik-pabrik di negara berkembang (antara lain Indonesia) dengan upah yang sangat rendah, nyaris seperti budak, lalu menjual produknya dengan harga sangat tinggi. Contohnya, kata Pilger, sepotong celana merek GAP dijual Rp.112.000 di London, sementara buruh di Indonesia yang membuat celana itu hanya mendapat upah Rp500 per-potong. Tak heran bila si produsen meraup untung 38 M dollar, dan CEO-nya mendapat gaji 5,5 juta dollar per tahun.
Seperti kata Bung Karno, para kolonial itu tidak akan mau melepas begitu saja negara-negara jajahan mereka. Setelah era kolonialisme usai, mereka membuat sistem penjajahan baru melalui sistem liberalisasi pasar dan hutang kepada IMF atau Bank Dunia. Pada tahun 1970, di Havana Kuba, idealisme GNB dirumuskan dengan lebih tajam, yaitu, “untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik.”
Pidato Mursi ini jelas bertentangan dengan etika diplomasi dan melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Syria, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Syria. Tak heran bila delegasi Syria dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout. Mursi secara sepihak memosisikan diri sebagai hakim dalam konflik internal negara lain dan memutuskan siapa yang salah dan benar di antara dua kubu: pro Asad atau pro-Barat.
Katakanlah benar, bahwa Mursi seorang pemimpin negara muslim yang sedang ingin membela perjuangan rakyat tertindas. Lalu, mengapa dia tidak bersuara membela penindasan atas rakyat Bahrain yang juga ingin mencapai kebebasan dan kesetaraan? Ah, mungkin, Mursi sungkan mengkritik rezim monarkhi Bahrain, yang jelas-jelas didukung Arab Saudi. Arab Saudi-lah yang mengirim tentara bantuan ke Bahrain, untuk membantu membasmi gerakan perlawanan rakyat Bahrain terhadap rezim monarkhi.
Apapun juga alasannya, yang jelas, Mursi sudah bersuara miring di KTT GNB dan telah menjadi corong Barat untuk menekan Syria. Mursi lebih memilih terus memanaskan isu konflik sektarian dan menari dengan tabuhan genderang Barat; alih-alih bergandengan bersama negara-negara GNB untuk membebaskan Dunia Ketiga dari penjajahan neo-kolonial.
Suara miring kedua, sayang sekali, datang dari orang yang semula dipuji-puji karena berani melawan tekanan Barat: Ban Ki Moon (Sekjen PBB). Meskipun ditekan AS dan Israel, Ban tetap hadir di Teheran, seolah berusaha membuktikan bahwa PBB adalah lembaga independen. Tapi rupanya, Ban punya agenda tersendiri dalam kehadirannya di Teheran, yaitu menyampaikan pesan Israel. Dalam pidatonya, Ban mengkritik pihak yang ‘menyerukan pembubaran Israel’ dan ‘mengingkari Holocaust’. Meskipun tidak terang-terangan menyebut Iran, tapi semua bisa menangkap, bahwa yang dimaksud Ban jelas Iran.
Baiklah, bila Ban sebagai Sekjen PBB merasa perlu bersikap netral dengan membela Israel. Tetapi, mengapa dia tidak memberikan pembelaan kepada bangsa Palestina yang selama 63 tahun terakhir dijajah oleh Israel? Melalui Resolusi 181 tahun 1947, PBB memerintahkan agar tanah Palestina dibagi dua dengan Israel. Orang-orang Yahudi didatangkan dari benua AS, Eropa, dan Afrika untuk menjadi penduduk negara jadi-jadian itu. Selain bertentangan dengan konsep berdirinya sebuah negara, bukti-bukti sudah sedemikian nyata bahwa telah terjadi kejahatan melawan kemanusiaan di Palestina. Kota dan desa milik bangsa Palestina dibubarkan, penduduknya diusir, hanya dengan alasan wilayah itu sudah dihadiahkan PBB kepada Israel. Mana suara Ban Ki Moon untuk Palestina?
Ban juga tak lupa menyebut Syria dan terang-terangan pro-oposisi. Dia menyebut konflik di Syria ‘gara-gara’ aksi damai yang dihadapi dengan kekerasan oleh pemerintah. Tapi, dia ‘lupa’ menyebut-nyebut Bahrain? Bukankah rakyat Bahrain juga mengalami hal yang sama seperti dituduhkan Ban atas Syria: aksi damai yang dihadapi dengan kekerasan? Anehnya, Ban seperti buta, tak melihat buki-bukti bahwa AS, Eropa, dan Turki, dan negara-negara Teluk sudah terang-terangan melanggar hukum internasional dengan mendanai dan mempersenjatai kelompok oposisi Syria.
Bahkan, tingkat penjualan senjata AS tahun 2011 sudah meningkat tiga kali lipat dibanding setahun sebelumnya, dan separohnya dijual ke negara-negara monarkhi di Teluk yang terang-terangan menyuplai senjata kepada pihak oposisi Syria. Lalu, mana suara Ban?
Ah, sudahlah. Topeng sudah terbuka. Ban memang bersedia hadir di KTT GNB, yang jelas-jelas dibentuk dengan spirit melawan neokolonialisme dan neoimperialisme. Namun dia dengan tebal muka menampilkan dirinya sebagai juru bicara dari kekuatan neokolonial itu.
Meskipun dua suara miring itu sempat menodai KTT GNB Tehran, suara murni spirit GNB tetap lebih menggema. Hal ini terbukti dari Deklarasi KTT GNB ke-16 yang konsisten dengan spirit GNB, antara lain: menyerukan perlucutan sejata nuklir di dunia, mendukung perjuangan rakyat Palestina, mengecam Barat terkait terorisme, rasialisme, dan diskriminasi, menolak intervensi militer asing di Syria, dan mendukung pemberdayaan energi nuklir untuk tujuan damai. Yang terpenting tentu saja: menyuarakan reformasi Dewan Keamanan PBB, lembaga yang selama ini memberikan stempel pengesahan perang terhadap negara-negara yang tak disukai AS dan sebaliknya, bersikap abai terhadap kejahatan yang dilakukan Barat dan Israel.
Dina Y. Sulaeman*
http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/07/28/pemetaan-konflik-mesir/
Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.
(1) Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.
Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer. Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.
Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi. Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius dari semua pihak diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi dan radio.
Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka lakukan. Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28 Mei 2013 kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang meneriakkan caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir. Tudingan ini dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al Azhar dalam berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh pihak pro-Mursi terhadap para penentangnya. Puncaknya adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara maulid Nabi di kawasan Zawiyat Abu Musallem.
Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan kepentingan nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis transnasional IM. Dalam konflik Suriah misalnya, di mana IM Suriah berperan aktif, Mursi memilih berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi bahkan menjadi tuan rumah bagi muktamar para ulama di Kairo pada Juni 2012 yang merekomendasikan jihad, bantuan dana, dan suplai senjata untuk pemberontak Suriah. Ratusan jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas di Suriah. Istilah gampangnya: negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang di negara lain?
Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.Tidak seperti yang banyak diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era Mursi-lah terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya pada Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan kebutuhan mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi. Mereka dulu bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi kemiskinan akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak, yang bekerja sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan ekonomi Mursi justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal seperti yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan hubungan dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF. Dan untuk melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya bulan Oktober 2012, Mursi menyatakan, “Ini bukanlah riba.”
Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis keras, tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan Israel), membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya, komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.
(Catatan: Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya penulis yang dimuat di Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang penulis ungkapkan di atas adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber bacaan, namun terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia –dalam wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika, 18/7/13; dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.)
(2) Militer Mesir
Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era Mubarak.
Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunya Islam and the Arab Awakening, adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS bersama Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujud political leveraging AS, bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, “Teman terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis.”
Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer’ dan tetap akan mengirimkan F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.
Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat adalah “suara Tuhan” yang harus dipatuhi semua rakyat.
(Catatan: Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia, Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangat genting. Demonstrasi rakyat Mesir yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa’ mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi. Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim, Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka).
(3) Respon Iran
Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran terang-terangan menyatakan dukungannya. Pada 25/12/12, Ahmadinejad mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, “Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan.” Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin.
Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan IM selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT Gerakan Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan’ rakyat Suriah. Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim opresif’ dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.
Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar muka Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung pemerintah Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan leluasa memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah membuat Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang. Selain itu, sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout saat mendengar pidato Mursi.
Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer. Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang komentator di website Tariq Ramadan, “Saya ikut demo karena memang tidak menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa.”
Bila menggunakan kategorisasi Jean-Paul Sartre, ada tiga jenis gerakan rakyat melawan penguasa, yaitu pemberontakan, kebangkitan, dan revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan rakyat Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan, sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata. Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka. Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah (padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.
Penutup
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada Ikhwanul Muslimin. Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.
Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan pelajaran, bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak mendukung) presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita. Pernyataan mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara talkshow tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk digarisbawahi. Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan Indonesia adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Di Mesir, konflik menjadi sangat tajam dan mengarah kepada perang saudara karena semua pihak berkeras kepala dengan kebenaran yang dipegang masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali berpegang teguh kepada Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan memiliki harapan yang sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di luar negeri adalah untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan dijadikan bahan untuk memecah belah bangsa sendiri. []
*mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti tamu pada Global Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah’
artikel ini dimuat di The Global Review dan IRIB Indonesia
Mursyid 'Aam Jamaah Ikhwanul
Muslimin Mohamad Badie Dihukum Mati
Diantara pemimpin tertinggi Jamaah Ikhwanul Muslimin yang dijatuhi hukuman mati, antara lain, Mursyid ‘Aam, Mohamed Badie, Safwat Hegazi dan Mohamed El-Beltagi, serta 11 tokoh lainnya, semuanya dijatuhi hukuman mati.
Sekalipun, secara formal hukuman akan dilakukan sesudah mendapatkan persetujuan dari Mufti Mesir, yang memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak hukuman mati.
Ahram Online melaporkan bahwa tuduhan dalam kasus ini termasuk pembunuhan dan menghasut dalam kaitannya dengan bentrokan yang terjadi pada bulan Agustus, tak lama setelah Presiden Mesir Mohamed Morsi, digulingkan dari kursi kepresidenan dalam kudeta militer tahun lalu.
Benar-benar biadab justru militer dan polisi Mesir yang melakukan pembantaian massal terhadap rakyat sipil, yang melakukan aksi damai, kemudian dituduh melakukan pembunuhan. Sejatinya, pengadilan Mesir itu, hanyalah alat para penguasa militer yang sangat zalim.
Dibagian lain, Raja Arab Saudi yang ‘bahlul’ yang ‘dajjal’ itu, mengunjungi Mesir, dan memberikan ucapan selamat kepada al-Sisi. Abdullah dan Sisi melakukan pembicaraan mengenai kerjasama kedua negara, khususnya dalam menghadapi ancaman ‘terorisme’. Bahkan, Raja Abdullah telah menggelontorkan dana miliaran dollar kepada al-Sisi, hanya untuk membunuhi para Islamiyyun.
‘Boss’ dari al-Sissi dan Abdullah, yaitu Presidden AS, Barack Obama, memberikan ucapan selamat kepada Sisi, dan memberikan bantuan militer kepada pembunuh yang kejam dan biadab. (jj/wb/voa-islam.com)
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/international-jihad/2014/06/20/31063/mursyid-aam-jamaah-ikhwanul-muslimin-mohamad-badie-dihukum-mati/#sthash.LXsmbJ7B.dpuf
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan sangat terganggu dengan keputusan Amerika Serikat untuk menjaga hubungannya dengan Palestina. Tak hanya itu, Israel bahkan mendesak Washington untuk mengatakan kepada Presiden Palestina bahwa kerjasamanya dengan Hamas tidak dapat diterima.
Pernyataan Netanyahu ini dilontarkan pada Selasa lalu dan mewakili rasa kekecewaan pemerintah Israel. Dilansir dari Aljazeera, Israel pun merasa frustasi karena pemerintahan baru Palestina telah diterima dan mendapatkan dukungan dari dunia internasional.
Sebelumnya, Israel telah mendesak agar dunia internasional tidak terburu-buru memberikan dukungan kepada pemerintahan baru Palestina yang bersatu dengan Hamas. “Saya benar-benar terganggu dengan pengumuman dari Amerika Serikat yang menyatakan siap bekerja sama dengan pemerintahan Palestina yang didukung oleh Hamas,” kata Netanyahu.
“Semua yang ingin mencari perdamaian harus menolak persatuan Presiden Abbas dan Hamas, dan menurut saya AS harus menjelaskan kepada Presiden Palestina bahwa kesepakatannya dengan Hamas yang merupakan kelompok teroris benar-benar tidak dapat diterima,” jelasnya.
Netanyahu mendesak dunia internasional untuk mengecam pemerintahan Palestina karena didukung oleh Hamas karena Hamas dinilai memiliki tujuan akan menghancurkan Israel. Sedangkan, menteri intelijen Israel menyatakan pernyataan yang menyebutkan bahwa pemerintahan baru Palestina terdiri dari para tehnokrat dari pada politisi hanyalah suatu alasan untuk mempermudah kesepakatan diplomatis Barat.
Sementara itu, PBB menyambut baik pemerintahan baru Palestina dan menyatakan siap untuk memberikan dukungan sepenuhnya guna mempersatukan Tepi Barat dan Jalur Gaza. “PBB telah menekankan perlunya persatuan Palestina,” kata juru bicara Ban Ki-moon, Stephane Dujarric dalam pernyataannya, Selasa kemarin.
AS dan UE mengatakan akan tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Palestina dan melanjutkan memberikan dana bantuan dengan syarat Palestina menolak kekerasan serta mengakui Israel. Abbas sebelumnya juga mengatakan kabinet barunya berkomitmen terhadap prinsip-prinsip tersebut.
“Kami menyambut baik deklarasi Presiden Abbas bahwa pemerintahan barunya berkomitmen untuk menjaga prinsip-prinsip two state solution berdasarkan perbatasan 1967 atas pengakuan keberadaan Israel,” kata UE dalam pernyataannya. “Kesepakatan Uni Eropa dengan pemerintahan baru Palestina ini berdasarkan kepatuhan komitmen dan kebijakan ini,” lanjutnya.d
Kabinet Pemerintahan Nasional Bersatu Palestina Dilantik
Acara pelantikan anggota Kabinet pemerintahan nasional bersatu Palestina digelar di Ramallah, Tepi Barat, Palestina.
Menyusul kesepakatan yang dicapai Hamas dan Fatah untuk mengesampingkan perbedaan dan membentuk pemerintahan nasional bersatu, anggota-anggota Kabinet pemerintahan baru Palestina hari ini, Senin (2/6) mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Mahmoud Abbas, Pemimpin Otorita Ramallah, Palestina.
Kabinet pemerintahan nasional bersatu Palestina di bawah pimpinan Rami Hamdallah segera memulai aktivitasnya setelah acara pelantikan ini. Bergabungnya Hamas dalam pemerintahan baru ini memaksa rezim Zionis Israel meminta dunia internasional untuk tidak mengakui pemerintahan nasional bersatu Palestina.
Israel juga tidak mengijinkan Menteri-menteri dari Gaza untuk hadir dalam acara pelantikan tersebut.
Rami Hamdallah akan menjadi Perdana Menteri pemerintahan nasional bersatu Palestina dan Mohammed Mustafa sebagai wakilnya.
Dr. Ziad Abu Amr diangkat menjadi Deputi politik PM Palestina dan Menteri Kebudayaan dan Riyadh Al Maliki sebagai Menteri Luar Negeri.
Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Hamas dan Fatah pada tanggal 23 April 2014 menandatangani kesepakatan rekonsiliasi nasional untuk membentuk pemerintahan nasional bersatu dan menggelar pemilu parlemen, pemimpin Otorita Ramallah dan Majelis Nasional (dewan penentu kebijakan PLO). (IRIB Indonesia/HS)
Pemerintah Baru Palestina Membuat Israel Makin Terkucil
Akram Ataullah, jurnalis Palestina di Jalur Gaza menyatakan, "Pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina semakin membuat rezim Zionis terkucil di dunia."
Ataullah, Senin (2/6), dalam wawancara dengan IRIB menyinggung pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina dan mengatakan, "Tantangan terpenting yang dihadapi pemerintah baru adalah tekanan dari Israel terhadapnya."
Ataullah juga menyinggung penghalangan kunjungan tiga menteri Palestina dari Jalur Gaza ke Ramallah dan masalah ini mengindikasikan pemberlakuan berbagai pembatasan oleh Tel Aviv di masa mendatang.
Ditambahkannya, "Akan tetapi di hadapan langkah-langkah ini, Israel sedang terkucil, karena masyarakat dunia mendukung pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina."
Jurnalis Palestina di Gaza ini menegaskan, Gerakan Muqawama Islam Palestina (Hamas) pada akhirnya mampu mempertahankan kementerian urusan tahanan di pemerintahan persatuan nasional.
Menyusul kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional, para anggota kabinet pemerintah, diambil sumpah pada Senin (2/6) di hadapan Pemimpin Otorita Ramallah Mahmoud Abbas, di Ramallah, Tepi Barat.
Hamas dan Fatah pada 23 April menandatangani kesepakatan rekonsiliasi nasional untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional serta pelaksanaan pemilu parlemen dan pemimpin Palestina.(IRIB Indonesia/MZ)
Pemerintah Baru Palestina Dilantik
AP
REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemerintah baru Palestina telah
ditetapkan dan akan mengakhiri adanya faksi-faksi di Tepi Barat dan
Gaza. Presiden Palestina Mahmud Abbas mengatakan dengan pemerintahan
baru ini, Palestina akan membuka lembaran baru dalam sejarahnya.
BBC melaporkan, AS pun memutuskan akan mendukung pemerintahan baru Palestina. "Washington percaya Presiden Abbas telah membentuk sebuah pemerintahan tehnokrat sementara yang tidak terdiri dari anggota yang berhubungan dengan Hamas," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jen Psaki.
"Berdasarkan apa yang kita ketahui, kami akan bekerja sama dengan pemerintahan ini," tambahnya. Langkah ini pun membuat Israel kecewa setelah menyerukan dunia internasional untuk tidak mengakui Palestina.
Israel tetep bersikukuh tidak bekerja sama dengan pemerintahan Palestina yang didukung oleh Hamas. Pasalnya, Israel menilai Hamas akan menghancurkan bangsa Israel.
"Kami sangat kecewa dengan keputusan kementerian luar negeri AS yang bekerja sama dengan pemerintahan Israel," kata pejabat Israel.
Menyusul ditetapkannya pemerintahan baru Palestina, kabinet keamanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahi mengatakan akan meminta pertanggung jawaban dari Abbas dan pemerintahan baru Palestina atas serangan roket yang ditembakan dari Gaza.
Israel pun sebelumnya telah menghentikan upaya pembicaraan perdamaian dengan Palestina yang diinisiasi oleh AS. Langkah ini diambil setelah Palestina mengumumkan telah melakukan rekonsiliasi dengan Hamas.
Pemerintahan baru Palestina terdiri dari 17 menteri yang terbebas dari politik manapun. Mereka akan merencanakan penyelenggaraan pemilu yang akan digelar dalam waktu enam bulan dan dipimpin oleh Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah.
Ramallah:
From the leader of the country to the average 'fan in the street' men,
women and children were united in celebration of Palestine's historic
AFC Challenge Cup victory...a victory that will also see the Palestinian
national team take part in the AFC Asian Cup finals for the first time.
Ashraf Al Fawaghra's sublime free-kick and the fifth successive clean sheet from keeper and captain Ramzi Saleh highlighted a hard-fought 1-0 victory over the Philippines in Friday's final in the Maldives as the curtain came down on the AFC Challenge Cup for the last time.
In a statement issued by official Palestinian news agency WAFA, Palestine President Mahmoud Abbas congratulated Jamal Mahmoud's history-making heroes and praised "the excellent performance of our national team and the spirit of the challenge and determination to raise the name and place of Palestine in the sphere of Asian football."
Abbas also received a message of congratulations from Maldives President Abdulla Yameen Abdul Gayoom, who attended the final and joined AFC Vice President Ghanesh Thapa in presenting the AFC Challenge Cup trophy to Palestine skipper Saleh.
By no means the AFC Challenge Cup underdogs, the way the Palestinians overcame their well-documented logistical challenges to put in some superb performances throughout their campaign earned them the 'second-favourite team' in the hearts of the majority of the Maldives fans during the 11-day tournament.
Meanwhile back in Palestine there was unprecedented coverage of the AFC Challenge Cup final with the game broadcast live on giant screens set up in town squares and other public areas, which became the scene of jubilant celebrations amongst thousands of fans as the loud shrill of referee Valentin Kovalenko's whistle at the National Stadium in Male heralded that the Palestinians had made history.
Photo: AFP
REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Masyarakat Palestina mencetak satu capai
penting di bidang olahraga. Mereka berhasil menjadi juara The Asia
Challenge Cup belum lama ini. Di laga final, Palestina sukses
mengalahkan Filipina.
Kemenangan itu segera mendapat sambutan hangat Presiden Palestina, Mahmoud Abbas di Ramallah. "Sudah saatnya bagi rakyat ita untuk merayakan kemenangan besar ini. Anda membuat kami bangga, saya berharap Anda semua selalu berada dalam keberhasilan dan kemajuan," kata dia seperti dilansir kantor berita Wafa, Senin (2/6).
Sejak berdiri tahun 1926, Federasi Sepakboka Palestina urung menuai prestasi di cabang olahraga sepabola. Itu sebabnya, meraih The Asia Challange Cup, merupakan capaian yang luar biasa. "Selamat kepada masyarakat Palestina. Ini prestasi bersejarah," ungkap Ketua Asosiasi Sepakbola Palestina, Jibril Al Rajoub, seperti dilansir Reuters.
Di Gaza City, ribuan orang menyaksikan pertandingan di layar besar. Suasana begitu ramai. Kembang api berulang kali menghiasi langi. Keramaian itu mencapai puncaknya ketika Ashraf Al Fawaghra mencetak gol bagi kemenangan Palestina. "Pertandingan ini bukan Piala Dunia, tapi kebahagiaan kami seperti merayakan Piala Dunia," kata Adel Walee, salah seorang warga Gaza.
Perwakilan dari Iran dan enam kekuatan dunia memulia kembali putaran baru peurndingan tingkat ahli atas program energi nuklir Tehran.
Hamid Baeidinejad, direktur jenderal untuk urusan politik dan internasional di Kementerian Luar Negeri Iran, mewakili Republik Islam, sementara Stephen Clement, seorang wakil kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, mewakili Kelompok 5+1 dalam pertemuan Rabu (4/6).
Kedua belah pihak membahas masalah teknis seputar program nuklir Iran selama peurndingan dua hari di Wina, ibukota Austria.
Perundingan sedang digelar di sela-sela pertemuan triwulanan Badan Energi Atom Internasional Dewan Gubernur (IAEA).
Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB - Amerika Serikat, Cina, Rusia, Perancis dan Inggris - ditambah Jerman telah membahas cara-cara untuk menghapus perbedaan dan mulai menyusun kesepakatan final yang akan mengakhiri perselisihan Barat dengan Iran atas program energi nuklir negara itu.
Iran dan mitra negosiasi mengakhiri putaran terbaru perundingan nuklir mereka di tingkat tinggi di Wina pada 16 Mei. Putaran mendatang perundingan nuklir antara kedua belah pihak dijadwalkan akan diselenggarakan di ibukota Austria mulai 16-20 Juni.(IRIB Indonesia/MZ)
BBC melaporkan, AS pun memutuskan akan mendukung pemerintahan baru Palestina. "Washington percaya Presiden Abbas telah membentuk sebuah pemerintahan tehnokrat sementara yang tidak terdiri dari anggota yang berhubungan dengan Hamas," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jen Psaki.
"Berdasarkan apa yang kita ketahui, kami akan bekerja sama dengan pemerintahan ini," tambahnya. Langkah ini pun membuat Israel kecewa setelah menyerukan dunia internasional untuk tidak mengakui Palestina.
Israel tetep bersikukuh tidak bekerja sama dengan pemerintahan Palestina yang didukung oleh Hamas. Pasalnya, Israel menilai Hamas akan menghancurkan bangsa Israel.
"Kami sangat kecewa dengan keputusan kementerian luar negeri AS yang bekerja sama dengan pemerintahan Israel," kata pejabat Israel.
Menyusul ditetapkannya pemerintahan baru Palestina, kabinet keamanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahi mengatakan akan meminta pertanggung jawaban dari Abbas dan pemerintahan baru Palestina atas serangan roket yang ditembakan dari Gaza.
Israel pun sebelumnya telah menghentikan upaya pembicaraan perdamaian dengan Palestina yang diinisiasi oleh AS. Langkah ini diambil setelah Palestina mengumumkan telah melakukan rekonsiliasi dengan Hamas.
Pemerintahan baru Palestina terdiri dari 17 menteri yang terbebas dari politik manapun. Mereka akan merencanakan penyelenggaraan pemilu yang akan digelar dalam waktu enam bulan dan dipimpin oleh Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah.
Hebat, Palestina Juara The Asia Challenge Cup
Senin, 02 Juni 2014, 17:56 WIB .... .republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/14/06/02/n6jfqr-hebat-palestina-juara-the-asia-challenge-cup
AP
AP
- Published: 31 May 2014
- http://www.the-afc.com/en/afc-challenge-2014-cup-all-news/28717-party-time-in-palestine.html
Ashraf Al Fawaghra's sublime free-kick and the fifth successive clean sheet from keeper and captain Ramzi Saleh highlighted a hard-fought 1-0 victory over the Philippines in Friday's final in the Maldives as the curtain came down on the AFC Challenge Cup for the last time.
In a statement issued by official Palestinian news agency WAFA, Palestine President Mahmoud Abbas congratulated Jamal Mahmoud's history-making heroes and praised "the excellent performance of our national team and the spirit of the challenge and determination to raise the name and place of Palestine in the sphere of Asian football."
Abbas also received a message of congratulations from Maldives President Abdulla Yameen Abdul Gayoom, who attended the final and joined AFC Vice President Ghanesh Thapa in presenting the AFC Challenge Cup trophy to Palestine skipper Saleh.
By no means the AFC Challenge Cup underdogs, the way the Palestinians overcame their well-documented logistical challenges to put in some superb performances throughout their campaign earned them the 'second-favourite team' in the hearts of the majority of the Maldives fans during the 11-day tournament.
Meanwhile back in Palestine there was unprecedented coverage of the AFC Challenge Cup final with the game broadcast live on giant screens set up in town squares and other public areas, which became the scene of jubilant celebrations amongst thousands of fans as the loud shrill of referee Valentin Kovalenko's whistle at the National Stadium in Male heralded that the Palestinians had made history.
Photo: AFP
Kemenangan itu segera mendapat sambutan hangat Presiden Palestina, Mahmoud Abbas di Ramallah. "Sudah saatnya bagi rakyat ita untuk merayakan kemenangan besar ini. Anda membuat kami bangga, saya berharap Anda semua selalu berada dalam keberhasilan dan kemajuan," kata dia seperti dilansir kantor berita Wafa, Senin (2/6).
Sejak berdiri tahun 1926, Federasi Sepakboka Palestina urung menuai prestasi di cabang olahraga sepabola. Itu sebabnya, meraih The Asia Challange Cup, merupakan capaian yang luar biasa. "Selamat kepada masyarakat Palestina. Ini prestasi bersejarah," ungkap Ketua Asosiasi Sepakbola Palestina, Jibril Al Rajoub, seperti dilansir Reuters.
Di Gaza City, ribuan orang menyaksikan pertandingan di layar besar. Suasana begitu ramai. Kembang api berulang kali menghiasi langi. Keramaian itu mencapai puncaknya ketika Ashraf Al Fawaghra mencetak gol bagi kemenangan Palestina. "Pertandingan ini bukan Piala Dunia, tapi kebahagiaan kami seperti merayakan Piala Dunia," kata Adel Walee, salah seorang warga Gaza.
GNB Dukung Penuh Hak Nuklir Iran
Dalam
pernyataan yang dibacakan selama sidang Dewan Gubernur Badan Energi
Atom Internasional (IAEA), Gerakan Non-Blok (GNB) menyatakan dukungan
penuh terhadap program energi nuklir Iran.
Duta Besar Iran untuk IAEA Reza Najafi membacakan pernyataan yang
dirilis oleh gerakan beranggotakan 120 negara dalam pertemuan di ibukota
Austria, Wina, Rabu (4/6).
Pernyataan itu
menggaris-bawahi hak dasar dan tidak dapat diganggu-gugat semua negara
untuk mengembangkan, melakukan penelitian dan memanfaatkan energi nuklir
demi tujuan damai, serta mengutuk segala perilaku diskriminatif dalam
hal ini.
"Tidak ada masalah yang harus
ditafsirkan dengan cara yang mengarah pada penolakan atau pembatasan
hak-hak negara untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan sipil,"
demikian disebutkan dalam pernyataan itu.
Statemen GNB juga mencatat, "Pilihan dan keputusan dari semua negara,
termasuk Republik Islam Iran, mengenai aplikasi damai energi nuklir dan
kebijakan daur bahan bakar nuklir harus dihormati."
GNB juga menyambut kerjasama erat Iran dengan IAEA sebagaimana yang ditegaskan dalam laporan terbaru kepala badan nuklir itu.
Ditujukan pada sidang triwulan Dewan Gubernur IAEA, Senin, Direktur
Jenderal IAEA Yukiya Amano memuji keterlibatan "substantif" Iran dengan
badan nuklir PBB untuk mengklarifikasi isu-isu nuklir.
GNB juga memuji pertemuan teknis 20 Mei yang digelar dalam kerangka
kerjasama yang disepakati antara Iran dan IAEA November lalu, yang
menguraikan peta jalan kerjasama dalam isu-isu nuklir tertentu.
Negara-negara anggota GNB juga menyerukan diplomasi, dialog dan
perundingan substantif tanpa syarat untuk mencapai solusi komprehensif
dan menjanjikan bagi masalah nuklir Iran.(IRIB Indonesia/MZ)
Iran dan Kelompok 5+1
Memulai Perundingan Nuklir Tingkat Ahli
Perwakilan dari Iran dan enam kekuatan dunia memulia kembali putaran baru peurndingan tingkat ahli atas program energi nuklir Tehran.
Hamid Baeidinejad, direktur jenderal untuk urusan politik dan internasional di Kementerian Luar Negeri Iran, mewakili Republik Islam, sementara Stephen Clement, seorang wakil kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, mewakili Kelompok 5+1 dalam pertemuan Rabu (4/6).
Kedua belah pihak membahas masalah teknis seputar program nuklir Iran selama peurndingan dua hari di Wina, ibukota Austria.
Perundingan sedang digelar di sela-sela pertemuan triwulanan Badan Energi Atom Internasional Dewan Gubernur (IAEA).
Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB - Amerika Serikat, Cina, Rusia, Perancis dan Inggris - ditambah Jerman telah membahas cara-cara untuk menghapus perbedaan dan mulai menyusun kesepakatan final yang akan mengakhiri perselisihan Barat dengan Iran atas program energi nuklir negara itu.
Iran dan mitra negosiasi mengakhiri putaran terbaru perundingan nuklir mereka di tingkat tinggi di Wina pada 16 Mei. Putaran mendatang perundingan nuklir antara kedua belah pihak dijadwalkan akan diselenggarakan di ibukota Austria mulai 16-20 Juni.(IRIB Indonesia/MZ)
GNB Dukung Penuh Hak Nuklir Iran
Dalam
pernyataan yang dibacakan selama sidang Dewan Gubernur Badan Energi
Atom Internasional (IAEA), Gerakan Non-Blok (GNB) menyatakan dukungan
penuh terhadap program energi nuklir Iran.
Duta Besar Iran untuk IAEA Reza Najafi membacakan pernyataan yang
dirilis oleh gerakan beranggotakan 120 negara dalam pertemuan di ibukota
Austria, Wina, Rabu (4/6).
Pernyataan itu
menggaris-bawahi hak dasar dan tidak dapat diganggu-gugat semua negara
untuk mengembangkan, melakukan penelitian dan memanfaatkan energi nuklir
demi tujuan damai, serta mengutuk segala perilaku diskriminatif dalam
hal ini.
"Tidak ada masalah yang harus
ditafsirkan dengan cara yang mengarah pada penolakan atau pembatasan
hak-hak negara untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan sipil,"
demikian disebutkan dalam pernyataan itu.
Statemen GNB juga mencatat, "Pilihan dan keputusan dari semua negara,
termasuk Republik Islam Iran, mengenai aplikasi damai energi nuklir dan
kebijakan daur bahan bakar nuklir harus dihormati."
GNB juga menyambut kerjasama erat Iran dengan IAEA sebagaimana yang ditegaskan dalam laporan terbaru kepala badan nuklir itu.
Ditujukan pada sidang triwulan Dewan Gubernur IAEA, Senin, Direktur
Jenderal IAEA Yukiya Amano memuji keterlibatan "substantif" Iran dengan
badan nuklir PBB untuk mengklarifikasi isu-isu nuklir.
GNB juga memuji pertemuan teknis 20 Mei yang digelar dalam kerangka
kerjasama yang disepakati antara Iran dan IAEA November lalu, yang
menguraikan peta jalan kerjasama dalam isu-isu nuklir tertentu.
Negara-negara anggota GNB juga menyerukan diplomasi, dialog dan
perundingan substantif tanpa syarat untuk mencapai solusi komprehensif
dan menjanjikan bagi masalah nuklir Iran.(IRIB Indonesia/MZ)
Iran dan Kelompok 5+1
Memulai Perundingan Nuklir Tingkat Ahli
Perwakilan dari Iran dan enam kekuatan dunia memulia kembali putaran baru peurndingan tingkat ahli atas program energi nuklir Tehran.
Hamid Baeidinejad, direktur jenderal untuk urusan politik dan internasional di Kementerian Luar Negeri Iran, mewakili Republik Islam, sementara Stephen Clement, seorang wakil kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, mewakili Kelompok 5+1 dalam pertemuan Rabu (4/6).
Kedua belah pihak membahas masalah teknis seputar program nuklir Iran selama peurndingan dua hari di Wina, ibukota Austria.
Perundingan sedang digelar di sela-sela pertemuan triwulanan Badan Energi Atom Internasional Dewan Gubernur (IAEA).
Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB - Amerika Serikat, Cina, Rusia, Perancis dan Inggris - ditambah Jerman telah membahas cara-cara untuk menghapus perbedaan dan mulai menyusun kesepakatan final yang akan mengakhiri perselisihan Barat dengan Iran atas program energi nuklir negara itu.
Iran dan mitra negosiasi mengakhiri putaran terbaru perundingan nuklir mereka di tingkat tinggi di Wina pada 16 Mei. Putaran mendatang perundingan nuklir antara kedua belah pihak dijadwalkan akan diselenggarakan di ibukota Austria mulai 16-20 Juni.(IRIB Indonesia/MZ)
Mesir, Pada Akhirnya
Dina Y. Sulaeman*
Pada akhirnya, selalu terbukti bahwa politik yang membawa kemaslahatan umat adalah politik yang dijalankan oleh orang-orang visioner, mampu melihat jauh ke depan, dan mampu membedakan mana musuh, mana kawan. Misalnya, betapa dulu Rasulullah dicerca sebagian sahabatnya karena mau menandatangani perjanjian Hudaibiyah yang sekilas terlihat merugikan kaum muslimin. Namun waktu memberi bukti bahwa langkah Rasulullah itu sangat tepat dan membuktikan betapa beliau adalah politisi yang sangat visioner.
Sayangnya, hingga kini sangat banyak politisi yang mengusung perjuangan Islam yang terjebak pada kepentingan sesaat dan tidak mampu mendeteksi siapa sesungguhnya teman sejati.
Inilah yang tengah terjadi pada kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Perjuangan panjang mereka ‘mewarnai' Mesir dengan nilai-nilai Islam dan ‘menguasai' berbagai lini kehidupan sosial melalui berbagai aktivitas sosial yang simpatik, akhirnya buyar dalam hitungan bulan setelah mereka berhasil meraih tampuk kekuasaan. IM bahkan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sebelumnya pun, menurut kesaksian rekan saya, pejabat yang pernah tinggal di Mesir, tidak sengaja sholat di masjid yang dicap sebagai masjid IM-pun sudah bisa membuat seorang stafnya dijebloskan ke penjara. Hanya memasang foto pejuang Palestina di kamar kos juga telah membuat seorang mahasiswa Indonesia dipenjara. Bisa dibayangkan betapa mencekamnya kehidupan orang-orang IM di Mesir saat ini ketika ormas ini resmi dinyatakan terlarang.
Ada kisah menarik yang saya dapat dari pejabat Iran yang pernah berkunjung ke Indonesia, disampaikan secara informal, namun saya mempercayai akurasinya. Menurutnya, sejak awal Mursi naik ke tampuk kekuasaan, telah terjalin lobi-lobi diplomatik antara Iran dan Mesir (sebelumnya, pada era Mubarak, kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik akibat perbedaan tajam keduanya atas isu Israel; Mubarak sangat berpihak pada Israel).
Di antara pesan penting yang disampaikan misi diplomatik Iran adalah: berdasarkan pengalaman revolusi Islam Iran, ada 3 langkah yang harus dilakukan agar pemerintahan Islam di Mesir tetap tegak, yaitu selalu bersama rakyat, jauhi eksklusivitas dan takfirisme, dan hati-hati dengan jebakan Barat.
Namun, Mursi mengabaikan pesan ini. Alih-alih kedubes Israel, justru Kedubes Suriah di Kairo yang ditutupnya. Bukannya memutus hubungan dengan lembaga renten Barat, malah minta bantuan IMF. Bukannya menjalin ukhuwah di antara sesama anak bangsa, malah bersikap eksklusif. Para aktivis dan politisi IM sangat mudah melempar vonis sesat pada lawan politik mereka. Pengiriman pasukan jihad ke Suriah dan menjadi tuan rumah pertemuan para ulama takfiri sedunia dalam membahas isu Suriah, adalah pesan kuat betapa Mursi dan IM mendukung takfirisme. Sikap Mursi saat berkunjung ke Iran juga secara diplomatik sangat menodai hubungan baik kedua negara (bisa dibaca tulisan saya "Dua Suara Miring dari KTT GNB Tehran"). http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/09/03/dua-suara-miring-dari-ktt-gnb-tehran/
Secara diplomatik, Iran bersabar dan terus menyatakan dukungan kepada rezim IM. Ketika akhirnya Mursi digulingkan oleh militer, Iran menyuarakan pembelaan. Sungguh jauh berbeda dengan Arab Saudi yang menjadi negara pertama yang memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir. Menurut pejabat Iran yang saya kutip dalam tulisan ini (dan saya juga pernah menulis analisis serupa dalam artikel saya "Pemetaan Konflik Mesir"),http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/07/28/pemetaan-konflik-mesir/sikap Iran ini didasarkan pada kepentingan Dunia Islam secara lebih global.
Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer, harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Dan benar saja, kini kekhawatiran Iran terbukti. Gerakan (harakah) Islam di berbagai negara Arab semakin diberangus. Selain menyatakan IM sebagai organisasi terlarang, militer di negara-negara monarkhi Arab pun semakin merasa punya alasan untuk menindas aktivitas politik Islam.
Pada akhirnya, ketika para aktivis IM dikejar-kejar dan menjadi buron, kemanakah tempat mengadu dan mencari bantuan dana? Saya yakin, para aktivis IM di Indonesia yang membaca tulisan ini akan menyebut saya bohong besar. Terserah saja. Tapi, informasi yang saya dapatkan dari pejabat Iran tadi, delegasi IM telah melakukan kontak dengan Iran untuk meminta bantuan. Dan ini sebenarnya bukan fakta yang mengherankan. Bukankah para pemimpin Hamas (pejuang Palestina berhaluan IM) juga berkali-kali datang ke Iran untuk meminta bantuan dalam perjuangan melawan Israel?
Dalam kasus Suriah, Hamas pernah mengambil keputusan blunder: memilih melawan rezim Assad dan Iran yang selama ini membantu mereka hanya semata-mata demi solidaritas kepada para ‘mujahidin' yang berhaluan IM. Ketika situasi semakin sulit (‘mujahidin' IM di Suriah tak berhasil menggulingkan Assad, justru Mursi yang dikudeta militer -dengan dukungan sebagian rakyat Mesir) Hamas akhirnya kembali kepada Iran. Arab Saudi sudah ‘menalak' IM, Qatar ternyata masih sama seperti dulu, tak pernah serius membantu. Jadi, negara muslim mana yang mau menggelontorkan 15 Juta Poundsterling per bulan untuk Hamas, selain Iran?
Hubungan antara Hamas dan Iran telah kembali," kata Mahmud al-Zahar tokoh Hamas, dalam konferensi pers di Gaza, Desember 2013.
Al Zahar mengakui bahwa hubungan antara Iran dan Hamas terganggu akibat konflik Suriah. "Hamas telah mundur dari Suriah sehingga Hamas tidak bisa lagi diidentifikasikan sebagai kelompok ini, atau kelompok itu. Kami mengkonfirmasi bahwa kami tidak ikut campur atas kasus Suriah atau negara Arab manapun," kata Al Zahar (Al Arabiya, 10/12/13).
Lalu, bagaimana dengan rakyat Mesir sendiri, yang setelah 30 tahun sengsara di bawah rezim fasis militer Mubarak, akhirnya berbalik demo menggulingkan Mursi dan mendukung lagi militer? Ah, tak perlu heran. Bukankah orang Indonesia juga bersikap serupa? Keterpurukan ekonomi kita hari ini jelas hasil ‘karya' rezim Soeharto, dimulai dengan menjual murah kekayaan alam bangsa dalam konferensi bisnis di Jenewa tahun 1967. Lalu, mengapa slogan "Piye Kabare Le, Enak Jamanku To" masih menyebar luas? Bahkan Titiek Suharto dalam spanduk kampanye pileg-nya memasang slogan itu, dan melenggang ke Senayan. Manusia pada umumnya memang malas belajar dari sejarah dan opini publik sangat mudah dibelokkan.
Dan Mesir, pada akhirnya, seharusnya menjadi wahana belajar, terutama bagi ormas Islam di Indonesia. Sikap takfirisme, oportunisme, ekslusivitas, dan antikritik, hanya berujung pada kegagalan perjuangan Muslim secara global.[] (IRIB Indonesia)
*Mahasiswi Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, penulis buku Prahara Suriah
Dua Suara Miring dari KTT GNB Tehran
Oleh: Dina Y. Sulaeman*
http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/09/03/dua-suara-miring-dari-ktt-gnb-tehran/
Upaya AS ini seolah pengulangan sejarah Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Saat itu, seperti dicatat oleh mantan Sekjen Deplu Ruslan Abdulgani dalam bukunya ‘Bandung Connection’, media AS mempropagandakan bahwa Indonesia tidak akan mampu menyelenggarakan konperensi akbar itu. Bahkan, salah satu media AS mengutip kalimat kasar mengejek Indonesia, “Para pengemis itu tidak akan bisa belajar.” Cak Ruslan mengatakan dirinya dan PM Ali Sastroamijojo merasa sedih membaca berita itu tapi hal itu justru mendorong mereka bekerja lebih giat lagi untuk menyukseskan KAA.
Benar saja, hingga kini, suara KAA masih terus menggema. KAA-lah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Non Blok pada tahun 1960. Dalam KAA Bandung, ide-ide independensi dan perjuangan melawan neokolonialisme didiseminasi. Pidato Bung Karno yang histroris itu, masih terasa relevan hingga kini. Beliau mengatakan, “Saya harap Anda tidak memikirkan kolonialisme dalam bentuk klasik sebagaimana yang diketahui baik oleh kami bangsa Indonesia, maupun oleh saudara-saudara kami dari berbagai bagian Asia dan Afrika. Kolonialisme juga memiliki penampilan yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan juga kontrol fisik yang dilakukan sekelompok kecil orang asing dalam sebuah bangsa. Kolonialisme adalah musuh yang sangat pintar dan ambisius, dan dia muncul dalam berbagai kedok. Kolonialisme tidak menyerahkan (bangsa) jarahannya dengan begitu saja. Kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun kolonialisme itu menampilkan dirinya, dia tetaplah sesuatu yang jahat, dan dia harus dimusnahkan dari muka bumi ini.”
Di Teheran, nama Bung Karno kembali dikenang. Dalam pidatonya di depan peserta KTT, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei, menyebut-nyebut nama Bung Karno. Ayatullah Khamenei mengatakan, “Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Sukarno, salah satu pendiri gerakan Non Blok, dalam konferensi legendaris di Bandung tahun 1955, landasan berdirinya gerakan non blok bukanlah penyatuan geografi atau ras atau agama, melainkan persatuan kebutuhan. Pada waktu itu, negara-negara yang bergabung dalam GNB membutuhkan kerjasama yang bisa membebaskan mereka dari kekuatan arogan dunia, dan kebutuhan tersebut masih dirasakan hingga hari ini seiring dengan semakin meluasnya cengkeraman kekuatan imperialisme.”
Ya, tak perlu banyak dibahas, kita semua sudah merasakan bahwa imperialisme model baru, atau neokolonialisme, masih mencengkeram bangsa-bangsa di dunia. Sebagaimana diungkapkan John Pilger dalam film dokumenternya ‘New Ruler of The World’, saat ini ada sekelompok kecil orang yang sedemikian berkuasa di muka bumi, sehingga kekayaan mereka bahkan lebih banyak dari kekayaan seluruh manusia di benua Afrika. Mereka hanya memiliki 200 perusahaan, namun menguasai ¼ perekonomian dunia. Bahkan sebagian perusahaan itu lebih kaya dari satu negara. Misalnya, General Motors lebih kaya daripada Denmark, Ford lebih kaya dibanding Afrika Selatan.
Bagaimana cara mereka mendapatkan uang sebanyak itu? Tak lain, melalui perbudakan era modern. Mereka membangun pabrik-pabrik di negara berkembang (antara lain Indonesia) dengan upah yang sangat rendah, nyaris seperti budak, lalu menjual produknya dengan harga sangat tinggi. Contohnya, kata Pilger, sepotong celana merek GAP dijual Rp.112.000 di London, sementara buruh di Indonesia yang membuat celana itu hanya mendapat upah Rp500 per-potong. Tak heran bila si produsen meraup untung 38 M dollar, dan CEO-nya mendapat gaji 5,5 juta dollar per tahun.
Seperti kata Bung Karno, para kolonial itu tidak akan mau melepas begitu saja negara-negara jajahan mereka. Setelah era kolonialisme usai, mereka membuat sistem penjajahan baru melalui sistem liberalisasi pasar dan hutang kepada IMF atau Bank Dunia. Pada tahun 1970, di Havana Kuba, idealisme GNB dirumuskan dengan lebih tajam, yaitu, “untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik.”
Namun sayang, ada dua peristiwa memalukan yang terjadi dalam KTT GNB Tehran, yang justru semakin membuktikan kebenaran tesis Bung Karno: penjajahan itu masih ada, tapi dalam bentuk baru.
Pertama adalah pidato dari Presiden Mesir, Muhammad Mursi. Awalnya, kehadirannya seolah menunjukkan independensi di hadapan Barat. Tapi, ternyata Mursi masih tetap berdiri dalam barisan yang sama dengan Barat: mendukung penggulingan rezim di Syria. Mursi menyerukan para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan’ rakyat Syria. Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Syria sebagai ‘rezim opresif’ dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Syria untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.
Pidato Mursi ini jelas bertentangan dengan etika diplomasi dan melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Syria, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Syria. Tak heran bila delegasi Syria dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout. Mursi secara sepihak memosisikan diri sebagai hakim dalam konflik internal negara lain dan memutuskan siapa yang salah dan benar di antara dua kubu: pro Asad atau pro-Barat.
Katakanlah benar, bahwa Mursi seorang pemimpin negara muslim yang sedang ingin membela perjuangan rakyat tertindas. Lalu, mengapa dia tidak bersuara membela penindasan atas rakyat Bahrain yang juga ingin mencapai kebebasan dan kesetaraan? Ah, mungkin, Mursi sungkan mengkritik rezim monarkhi Bahrain, yang jelas-jelas didukung Arab Saudi. Arab Saudi-lah yang mengirim tentara bantuan ke Bahrain, untuk membantu membasmi gerakan perlawanan rakyat Bahrain terhadap rezim monarkhi.
Apapun juga alasannya, yang jelas, Mursi sudah bersuara miring di KTT GNB dan telah menjadi corong Barat untuk menekan Syria. Mursi lebih memilih terus memanaskan isu konflik sektarian dan menari dengan tabuhan genderang Barat; alih-alih bergandengan bersama negara-negara GNB untuk membebaskan Dunia Ketiga dari penjajahan neo-kolonial.
Suara miring kedua, sayang sekali, datang dari orang yang semula dipuji-puji karena berani melawan tekanan Barat: Ban Ki Moon (Sekjen PBB). Meskipun ditekan AS dan Israel, Ban tetap hadir di Teheran, seolah berusaha membuktikan bahwa PBB adalah lembaga independen. Tapi rupanya, Ban punya agenda tersendiri dalam kehadirannya di Teheran, yaitu menyampaikan pesan Israel. Dalam pidatonya, Ban mengkritik pihak yang ‘menyerukan pembubaran Israel’ dan ‘mengingkari Holocaust’. Meskipun tidak terang-terangan menyebut Iran, tapi semua bisa menangkap, bahwa yang dimaksud Ban jelas Iran.
Baiklah, bila Ban sebagai Sekjen PBB merasa perlu bersikap netral dengan membela Israel. Tetapi, mengapa dia tidak memberikan pembelaan kepada bangsa Palestina yang selama 63 tahun terakhir dijajah oleh Israel? Melalui Resolusi 181 tahun 1947, PBB memerintahkan agar tanah Palestina dibagi dua dengan Israel. Orang-orang Yahudi didatangkan dari benua AS, Eropa, dan Afrika untuk menjadi penduduk negara jadi-jadian itu. Selain bertentangan dengan konsep berdirinya sebuah negara, bukti-bukti sudah sedemikian nyata bahwa telah terjadi kejahatan melawan kemanusiaan di Palestina. Kota dan desa milik bangsa Palestina dibubarkan, penduduknya diusir, hanya dengan alasan wilayah itu sudah dihadiahkan PBB kepada Israel. Mana suara Ban Ki Moon untuk Palestina?
Ban juga tak lupa menyebut Syria dan terang-terangan pro-oposisi. Dia menyebut konflik di Syria ‘gara-gara’ aksi damai yang dihadapi dengan kekerasan oleh pemerintah. Tapi, dia ‘lupa’ menyebut-nyebut Bahrain? Bukankah rakyat Bahrain juga mengalami hal yang sama seperti dituduhkan Ban atas Syria: aksi damai yang dihadapi dengan kekerasan? Anehnya, Ban seperti buta, tak melihat buki-bukti bahwa AS, Eropa, dan Turki, dan negara-negara Teluk sudah terang-terangan melanggar hukum internasional dengan mendanai dan mempersenjatai kelompok oposisi Syria.
Bahkan, tingkat penjualan senjata AS tahun 2011 sudah meningkat tiga kali lipat dibanding setahun sebelumnya, dan separohnya dijual ke negara-negara monarkhi di Teluk yang terang-terangan menyuplai senjata kepada pihak oposisi Syria. Lalu, mana suara Ban?
Ah, sudahlah. Topeng sudah terbuka. Ban memang bersedia hadir di KTT GNB, yang jelas-jelas dibentuk dengan spirit melawan neokolonialisme dan neoimperialisme. Namun dia dengan tebal muka menampilkan dirinya sebagai juru bicara dari kekuatan neokolonial itu.
Meskipun dua suara miring itu sempat menodai KTT GNB Tehran, suara murni spirit GNB tetap lebih menggema. Hal ini terbukti dari Deklarasi KTT GNB ke-16 yang konsisten dengan spirit GNB, antara lain: menyerukan perlucutan sejata nuklir di dunia, mendukung perjuangan rakyat Palestina, mengecam Barat terkait terorisme, rasialisme, dan diskriminasi, menolak intervensi militer asing di Syria, dan mendukung pemberdayaan energi nuklir untuk tujuan damai. Yang terpenting tentu saja: menyuarakan reformasi Dewan Keamanan PBB, lembaga yang selama ini memberikan stempel pengesahan perang terhadap negara-negara yang tak disukai AS dan sebaliknya, bersikap abai terhadap kejahatan yang dilakukan Barat dan Israel.
Pemetaan Konflik Mesir
http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/07/28/pemetaan-konflik-mesir/
Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.
(1) Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.
Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer. Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.
Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi. Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius dari semua pihak diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi dan radio.
Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka lakukan. Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28 Mei 2013 kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang meneriakkan caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir. Tudingan ini dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al Azhar dalam berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh pihak pro-Mursi terhadap para penentangnya. Puncaknya adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara maulid Nabi di kawasan Zawiyat Abu Musallem.
Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan kepentingan nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis transnasional IM. Dalam konflik Suriah misalnya, di mana IM Suriah berperan aktif, Mursi memilih berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi bahkan menjadi tuan rumah bagi muktamar para ulama di Kairo pada Juni 2012 yang merekomendasikan jihad, bantuan dana, dan suplai senjata untuk pemberontak Suriah. Ratusan jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas di Suriah. Istilah gampangnya: negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang di negara lain?
Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.Tidak seperti yang banyak diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era Mursi-lah terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya pada Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan kebutuhan mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi. Mereka dulu bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi kemiskinan akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak, yang bekerja sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan ekonomi Mursi justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal seperti yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan hubungan dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF. Dan untuk melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya bulan Oktober 2012, Mursi menyatakan, “Ini bukanlah riba.”
Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis keras, tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan Israel), membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya, komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.
(Catatan: Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya penulis yang dimuat di Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang penulis ungkapkan di atas adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber bacaan, namun terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia –dalam wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika, 18/7/13; dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.)
(2) Militer Mesir
Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era Mubarak.
Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunya Islam and the Arab Awakening, adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS bersama Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujud political leveraging AS, bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, “Teman terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis.”
Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer’ dan tetap akan mengirimkan F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.
Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat adalah “suara Tuhan” yang harus dipatuhi semua rakyat.
(Catatan: Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia, Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangat genting. Demonstrasi rakyat Mesir yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa’ mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi. Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim, Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka).
(3) Respon Iran
Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran terang-terangan menyatakan dukungannya. Pada 25/12/12, Ahmadinejad mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, “Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan.” Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin.
Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan IM selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT Gerakan Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan’ rakyat Suriah. Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim opresif’ dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.
Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar muka Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung pemerintah Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan leluasa memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah membuat Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang. Selain itu, sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout saat mendengar pidato Mursi.
Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer. Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang komentator di website Tariq Ramadan, “Saya ikut demo karena memang tidak menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa.”
Bila menggunakan kategorisasi Jean-Paul Sartre, ada tiga jenis gerakan rakyat melawan penguasa, yaitu pemberontakan, kebangkitan, dan revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan rakyat Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan, sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata. Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka. Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah (padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.
Penutup
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada Ikhwanul Muslimin. Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.
Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan pelajaran, bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak mendukung) presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita. Pernyataan mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara talkshow tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk digarisbawahi. Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan Indonesia adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Di Mesir, konflik menjadi sangat tajam dan mengarah kepada perang saudara karena semua pihak berkeras kepala dengan kebenaran yang dipegang masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali berpegang teguh kepada Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan memiliki harapan yang sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di luar negeri adalah untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan dijadikan bahan untuk memecah belah bangsa sendiri. []
*mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti tamu pada Global Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah’
artikel ini dimuat di The Global Review dan IRIB Indonesia
Home | International Jihad | Mursyid 'Aam
Jamaah Ikhwanul Muslimin Mohamad Badie Dihukum Mati
Jum'at, 21 Sya'ban 1435 H / 20 Juni
2014 09:00 wib
CAIRO
(voa-islam.com) - http://www.voa-islam.com/read/international-jihad/2014/06/20/31063/mursyid-aam-jamaah-ikhwanul-muslimin-mohamad-badie-dihukum-mati/#sthash.LXsmbJ7B.dpbs
Pengadilan pidana Mesir telah dijatuhi hukuman tiga pemimpin
senior Ikhwanul Muslimin dengan mati. Ini bagian langkah menghancurkan yang
dilakukan oleh rezim junta militer Mesir, yang dipimpin oleh Marsekal Abdul
Fattah al-Sisi, yang sekarang menjadi presiden.
Diantara pemimpin tertinggi Jamaah Ikhwanul Muslimin
yang dijatuhi hukuman mati, antara lain, Mursyid ‘Aam, Mohamed Badie,
Safwat Hegazi dan Mohamed El-Beltagi, serta 11 tokoh lainnya, semuanya dijatuhi
hukuman mati.
Sekalipun,
secara formal hukuman akan dilakukan sesudah mendapatkan persetujuan dari
Mufti Mesir, yang memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak
hukuman mati.
Ahram
Online melaporkan bahwa tuduhan dalam kasus ini termasuk pembunuhan dan
menghasut dalam kaitannya dengan bentrokan yang terjadi pada bulan Agustus, tak
lama setelah Presiden Mesir Mohamed Morsi, digulingkan dari kursi kepresidenan
dalam kudeta militer tahun lalu.
Benar-benar biadab justru militer dan polisi Mesir yang
melakukan pembantaian massal terhadap rakyat sipil, yang melakukan aksi damai,
kemudian dituduh melakukan pembunuhan. Sejatinya, pengadilan Mesir itu,
hanyalah alat para penguasa militer yang sangat zalim.
Dibagian lain, Raja Arab Saudi yang ‘bahlul’ yang
‘dajjal’ itu, mengunjungi Mesir, dan memberikan ucapan selamat kepada
al-Sisi. Abdullah dan Sisi melakukan pembicaraan mengenai kerjasama kedua
negara, khususnya dalam menghadapi ancaman ‘terorisme’. Bahkan, Raja Abdullah
telah menggelontorkan dana miliaran dollar kepada al-Sisi, hanya untuk
membunuhi para Islamiyyun.
‘Boss’ dari al-Sissi dan Abdullah, yaitu Presidden
AS, Barack Obama, memberikan ucapan selamat kepada Sisi, dan memberikan bantuan
militer kepada pembunuh yang kejam dan biadab. (jj/wb/voa-islam.com)
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/international-jihad/2014/06/20/31063/mursyid-aam-jamaah-ikhwanul-muslimin-mohamad-badie-dihukum-mati/#sthash.LXsmbJ7B.dpuf
Jum'at, 21 Sya'ban 1435 H / 20 Juni 2014 09:00 wib
1.397 views
Mursyid 'Aam Jamaah Ikhwanul Muslimin Mohamad Badie Dihukum Mati
CAIRO (voa-islam.com) - Pengadilan pidana Mesir telah dijatuhi hukuman tiga pemimpin senior Ikhwanul Muslimin dengan mati. Ini bagian langkah menghancurkan yang dilakukan oleh rezim junta militer Mesir, yang dipimpin oleh Marsekal Abdul Fattah al-Sisi, yang sekarang menjadi presiden.Diantara pemimpin tertinggi Jamaah Ikhwanul Muslimin yang dijatuhi hukuman mati, antara lain, Mursyid ‘Aam, Mohamed Badie, Safwat Hegazi dan Mohamed El-Beltagi, serta 11 tokoh lainnya, semuanya dijatuhi hukuman mati.
Sekalipun, secara formal hukuman akan dilakukan sesudah mendapatkan persetujuan dari Mufti Mesir, yang memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak hukuman mati.
Ahram Online melaporkan bahwa tuduhan dalam kasus ini termasuk pembunuhan dan menghasut dalam kaitannya dengan bentrokan yang terjadi pada bulan Agustus, tak lama setelah Presiden Mesir Mohamed Morsi, digulingkan dari kursi kepresidenan dalam kudeta militer tahun lalu.
Benar-benar biadab justru militer dan polisi Mesir yang melakukan pembantaian massal terhadap rakyat sipil, yang melakukan aksi damai, kemudian dituduh melakukan pembunuhan. Sejatinya, pengadilan Mesir itu, hanyalah alat para penguasa militer yang sangat zalim.
Dibagian lain, Raja Arab Saudi yang ‘bahlul’ yang ‘dajjal’ itu, mengunjungi Mesir, dan memberikan ucapan selamat kepada al-Sisi. Abdullah dan Sisi melakukan pembicaraan mengenai kerjasama kedua negara, khususnya dalam menghadapi ancaman ‘terorisme’. Bahkan, Raja Abdullah telah menggelontorkan dana miliaran dollar kepada al-Sisi, hanya untuk membunuhi para Islamiyyun.
‘Boss’ dari al-Sissi dan Abdullah, yaitu Presidden AS, Barack Obama, memberikan ucapan selamat kepada Sisi, dan memberikan bantuan militer kepada pembunuh yang kejam dan biadab. (jj/wb/voa-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar