Ahad, 24 Sya'ban 1435 H / 22 Juni 2014 11:03 wib
38.394 views
Purnawirawan Kopassus Bikin Perhitungan atas Ucapan Wiranto
JAKARTA (voa-islam.com) - Pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto yang menuding Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai inisiator penculikan aktivis medio 1997-1998 silam ternyata berbuntut panjang.Hal ini terungkap dari pernyataan perwakilan mantan prajurit Kopassus yang sangat menyesalkan sikap Wiranto beberapa waktu lalu. Puluhan mantan pasukan elite TNI AD tersebut menilai Wiranto tidak pantas mengucapkan penculikan aktivis dibebankan kepada Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus. Bagi mereka, tuduhan Wiranto salah besar.
“Tak pantas sebagai mantan seorang pimpinan berbicara seperti itu. Itu namanya memecah belah dan mengadu domba. Ucapan itu karena Wiranto telah disuap uang asing,” ujar Kolonel TNI (Purn) Ruby usai pernyataan sikap dan orasi mantan Kopassus mendukung Prabowo Presiden RI 2014-2019 di Jakarta, Sabtu (21/6/2014).
Menurut Ruby, apapun yang terjadi di TNI yang bertanggung jawab adalah pimpinan, dalam hal ini Kepala Staf TNI AD dan Panglima TNI saat itu. Oleh karena itu, Ruby menilai ucapan Wiranto tersebut sangat melukai mereka karena Wiranto tidak menunjukkan jiwa korsa satuan.
“Sebetulnya kejadian seperti itu yang bertanggung jawab pimpinan. KSAD yang bertanggung jawab. Seharusnya dengan tegas Pak Wiranto menjawab ‘Yang perintahkan Prabowo itu saya.’ Tapi karena dia cemen, ingin menutupi kesalahannya. Maka Prabowo disalah-salahkan,” tegas Ruby.
Saking marahnya para purnawirawan, mereka meminta Wiranto melepaskan wing komando Kopassus. Lagi pula, kata dia, Wiranto sebagai panglima TNI saat itu mendapatkan wing Kopassus hanya dengan disematkan.
Mantan Dantim 1 Kompi 13 Grup I Kopassus Serang ini mengultimatum Wiranto, jika masih saja meneruskan pernyataan hal yang sama terkait Prabowo ke publik, para purnawirawan jebolan Kopassus tidak takut mengangkat senjata dan mencari keberadaan Wiranto.
para purnawirawan jebolan Kopassus tidak takut mengangkat senjata dan mencari keberadaan Wiranto“Ketika beliau dinas, katanya jiwa korsa. Bohong semua. Saya sangat prihatin, sangat menyesal. Saya melihat seperti itu tidak pantas. Saya dididik beliau-beliau. Pertama jiwa korsa, jiwa persatuan harus selalu bersatu. Namun beberapa jenderal sudah terbaca akan memecah belah bangsa ini. Beliau-beliau harus bertanggung jawab,” sahut lainnya.
Sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com masih menunggu konfirmasi dari Wiranto, yang juga Ketua Umum DPP Partai Hanura.
Kopassus : Ada yang Ingin Memecah Belah TNI
Para purnawirawan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) marah kepada mantan Menhankam/Panglima ABRI (Purn) Jenderal Wiranto, terkait pernyataan Wiranto soal surat rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira. Karena, kata-kata yang disampaikan Wiranto dianggap bikin panas dan seolah mengadu domba prajurit di tataran bawah.
“Kami datang bukan masalah orasi dan dukungan. Kami para purnawirawan ini tersinggung oleh Wiranto, oknum para jenderal, karena tidak bicara dengan tegas dan hanya adu domba serta memecah belah. Kami di akar rumput mulai panas. Ingin seolah-olah kami berperang lagi,” ujar Juru Bicara Purnawirawan Kopassus Kolonel (Purn) TNI Ruby di Djoko Santoso Center, Jakarta, Sabtu (21/6).
Mestinya, tambah Rubi, Wiranto menjadi teladan bagi prajurit di bawahnya, justru hal itu tidak ia lakukan. “Kapan saja, kami siap mencari Wiranto di mana pun, baik di rumah maupun di kantornya,” kata Ruby, yang mantan Dantim I Kompi 13.
Menurut Ruby lagi, mereka akan terus melakukan tindakan tegas agar Wiranto tidak lagi memecah-belah mental para prajurit. Ruby juga mengatakan, mereka tidak akan tinggal diam jika Wiranto terus mengumbar pernyataan yang tidak bertanggung jawab. “Kalau dia terus memberikan pernyataan, kami akan cari dia, di mana dia ada kami akan cari. Kalau dia diam, kami akan diam,” ucapnya.
Mereka juga berjanji akan mengejar siapa saja yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa, termasuk Wiranto. “Hari ini kami akan bergerilya. Kami akan mencari orang-orang yang berbicaranya tidak bertanggung jawab. Orang yang menjadi pengkhianat bangsa akan kami cari mulai saat ini,” katanya.
Menurut Ruby, mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto merupakan pihak yang paling bertanggung jawab pada peristiwa Mei 1998. “Beliau memerintahkan untuk membumihanguskan Jakarta dan Timor Timur. Kami adalah saksi hidup,” ungkap dia.
Dalam kesempatan itu, para punawirawan pasukan khusus Indonesia tersebut juga mendeklarasikan dukungan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ruby mengungkapkan, deklarasi tersebut mewakili dukungan mantan Kopassus se-Indonesia terhadap Prabowo-Hatta. “Mantan Baret Merah seluruh Indonesia pilih Prabowo-Hatta adalah harga mati,” kara Ruby.
Wiranto sendiri sebelumnya pernah bicara terkait tudingan dirinya terlibat dalam kasus kerusuhan Mei 1998. Ia mengaku beberapa waktu terakhir ini seolah disudutkan dengan tudingan dalam kasus penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa. Menurut Wiranto, saat kejadian itu, dia selaku Panglima ABRI telah melakukan pencegahan dan menginstruksikan untuk mengusut siapa pun, baik dari sipil maupun militer, yang terlibat kerusuhan Mei 1998. “Sebagai Panglima ABRI saat itu, secara otomatis saya terlibat. Bukan sebagai dalang, namun sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran,” kata Wiranto di Jakarta, 19 Juni lalu.
Wiranto mengatakan, bila dia terlibat sebagai dalam kerusuhan, sudah dipastikan negara hancur. Karena, sebagai Panglima ABRI saat itu, dia memiliki kekuatan untuk menggerakkan pasukan. “Kerusuhan pasti akan berlarut larut, seperti di Thailand, Mesir, dan Suriah,” ujarnya.
Untuk mengendalikan situasi, kata Wiranto lagi, ia sebagai Panglima ABRI antara lain menarik pasukan Kostrad dan Marinir dari Jawa Timur untuk mengamankan situasi. “Dalam waktu tiga hari situasi berjalan kondusif,” tuturnya.
Dalam masa pemilihan presiden 2014 ini terasa sekali hawa panas-nya dan tampaknya memang sedang ada yang mau mengadu domba Tentara Nasional Indonesia, penjaga garis depan negara ini. Karena itu, sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak tersulut emosinya. Karena, kalau TNI pecah, siapa yang akan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengingat banyak sekali pihak yang ingin mengangkangi negara kepulauan terbesar di dunia ini? [tn/a1/dbs/voa-islam.com]
Purnawirawan Kopassus Bikin Perhitungan atas Ucapan Wiranto
JAKARTA (voa-islam.com) – http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/22/31095/purnawirawan-kopassus-bikin-perhitungan-atas-ucapan-wiranto/#sthash.SprmOYvs.dpbs
Pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto yang menuding Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai inisiator penculikan aktivis medio 1997-1998 silam ternyata berbuntut panjang.
Hal ini terungkap dari pernyataan perwakilan
mantan prajurit Kopassus yang sangat menyesalkan sikap Wiranto beberapa waktu
lalu. Puluhan mantan pasukan elite TNI AD tersebut menilai Wiranto tidak pantas
mengucapkan penculikan aktivis dibebankan kepada Prabowo yang saat itu menjabat
sebagai Komandan Jenderal Kopassus. Bagi mereka, tuduhan Wiranto salah besar.
“Tak pantas sebagai mantan seorang pimpinan
berbicara seperti itu. Itu namanya memecah belah dan mengadu domba. Ucapan itu
karena Wiranto telah disuap uang asing,” ujar Kolonel TNI (Purn) Ruby usai
pernyataan sikap dan orasi mantan Kopassus mendukung Prabowo Presiden RI
2014-2019 di Jakarta, Sabtu (21/6/2014).
Menurut Ruby, apapun yang terjadi di TNI yang
bertanggung jawab adalah pimpinan, dalam hal ini Kepala Staf TNI AD dan
Panglima TNI saat itu. Oleh karena itu, Ruby menilai ucapan Wiranto tersebut
sangat melukai mereka karena Wiranto tidak menunjukkan jiwa korsa satuan.
“Sebetulnya kejadian seperti itu yang bertanggung
jawab pimpinan. KSAD yang bertanggung jawab. Seharusnya dengan tegas Pak
Wiranto menjawab ‘Yang perintahkan Prabowo itu saya.’ Tapi karena dia cemen,
ingin menutupi kesalahannya. Maka Prabowo disalah-salahkan,” tegas Ruby.
Saking marahnya para purnawirawan, mereka meminta
Wiranto melepaskan wing komando Kopassus. Lagi pula, kata dia, Wiranto sebagai
panglima TNI saat itu mendapatkan wing Kopassus hanya dengan disematkan.
Mantan Dantim 1 Kompi 13 Grup I Kopassus Serang
ini mengultimatum Wiranto, jika masih saja meneruskan pernyataan hal yang sama
terkait Prabowo ke publik, para purnawirawan jebolan Kopassus tidak takut
mengangkat senjata dan mencari keberadaan Wiranto.
para purnawirawan jebolan Kopassus tidak takut
mengangkat senjata dan mencari keberadaan Wiranto
“Ketika beliau dinas, katanya jiwa korsa. Bohong
semua. Saya sangat prihatin, sangat menyesal. Saya melihat seperti itu tidak
pantas. Saya dididik beliau-beliau. Pertama jiwa korsa, jiwa persatuan harus
selalu bersatu. Namun beberapa jenderal sudah terbaca akan memecah belah bangsa
ini. Beliau-beliau harus bertanggung jawab,” sahut lainnya.
Sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com masih
menunggu konfirmasi dari Wiranto, yang juga Ketua Umum DPP Partai Hanura.
Kopassus : Ada yang Ingin Memecah Belah TNI
Para purnawirawan prajurit Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) marah kepada mantan Menhankam/Panglima ABRI (Purn) Jenderal Wiranto,
terkait pernyataan Wiranto soal surat rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira.
Karena, kata-kata yang disampaikan Wiranto dianggap bikin panas dan seolah
mengadu domba prajurit di tataran bawah.
“Kami datang bukan masalah orasi dan dukungan.
Kami para purnawirawan ini tersinggung oleh Wiranto, oknum para jenderal,
karena tidak bicara dengan tegas dan hanya adu domba serta memecah belah. Kami
di akar rumput mulai panas. Ingin seolah-olah kami berperang lagi,” ujar Juru
Bicara Purnawirawan Kopassus Kolonel (Purn) TNI Ruby di Djoko Santoso Center,
Jakarta, Sabtu (21/6).
Mestinya, tambah Rubi, Wiranto menjadi teladan
bagi prajurit di bawahnya, justru hal itu tidak ia lakukan. “Kapan saja,
kami siap mencari Wiranto di mana pun, baik di rumah maupun di kantornya,” kata
Ruby, yang mantan Dantim I Kompi 13.
Menurut Ruby lagi, mereka akan terus melakukan
tindakan tegas agar Wiranto tidak lagi memecah-belah mental para prajurit. Ruby
juga mengatakan, mereka tidak akan tinggal diam jika Wiranto terus mengumbar
pernyataan yang tidak bertanggung jawab. “Kalau dia terus memberikan
pernyataan, kami akan cari dia, di mana dia ada kami akan cari. Kalau dia diam,
kami akan diam,” ucapnya.
Mereka juga berjanji akan mengejar siapa saja
yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa, termasuk Wiranto. “Hari ini kami akan
bergerilya. Kami akan mencari orang-orang yang berbicaranya tidak bertanggung
jawab. Orang yang menjadi pengkhianat bangsa akan kami cari mulai saat ini,”
katanya.
Menurut Ruby, mantan Panglima ABRI Jenderal
(Purn) Wiranto merupakan pihak yang paling bertanggung jawab pada peristiwa Mei
1998. “Beliau memerintahkan untuk membumihanguskan Jakarta dan Timor Timur.
Kami adalah saksi hidup,” ungkap dia.
Dalam kesempatan itu, para punawirawan pasukan
khusus Indonesia tersebut juga mendeklarasikan dukungan terhadap calon presiden
dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ruby mengungkapkan,
deklarasi tersebut mewakili dukungan mantan Kopassus se-Indonesia terhadap
Prabowo-Hatta. “Mantan Baret Merah seluruh Indonesia pilih Prabowo-Hatta adalah
harga mati,” kara Ruby.
Wiranto sendiri sebelumnya pernah bicara terkait
tudingan dirinya terlibat dalam kasus kerusuhan Mei 1998. Ia mengaku beberapa
waktu terakhir ini seolah disudutkan dengan tudingan dalam kasus penculikan
aktivis dan penembakan mahasiswa. Menurut Wiranto, saat kejadian itu, dia
selaku Panglima ABRI telah melakukan pencegahan dan menginstruksikan untuk
mengusut siapa pun, baik dari sipil maupun militer, yang terlibat kerusuhan Mei
1998. “Sebagai Panglima ABRI saat itu, secara otomatis saya terlibat. Bukan
sebagai dalang, namun sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran,” kata
Wiranto di Jakarta, 19 Juni lalu.
Wiranto mengatakan, bila dia terlibat sebagai
dalam kerusuhan, sudah dipastikan negara hancur. Karena, sebagai Panglima ABRI
saat itu, dia memiliki kekuatan untuk menggerakkan pasukan. “Kerusuhan pasti
akan berlarut larut, seperti di Thailand, Mesir, dan Suriah,” ujarnya.
Untuk mengendalikan situasi, kata Wiranto lagi,
ia sebagai Panglima ABRI antara lain menarik pasukan Kostrad dan Marinir dari
Jawa Timur untuk mengamankan situasi. “Dalam waktu tiga hari situasi berjalan
kondusif,” tuturnya.
Dalam masa pemilihan presiden 2014 ini terasa
sekali hawa panas-nya dan tampaknya memang sedang ada yang mau mengadu domba
Tentara Nasional Indonesia, penjaga garis depan negara ini. Karena itu,
sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak tersulut emosinya. Karena, kalau
TNI pecah, siapa yang akan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mengingat banyak sekali pihak yang ingin mengangkangi negara kepulauan terbesar
di dunia ini? [tn/a1/dbs/voa-islam.com]
Wiranto Perintahkan 13 Aktifis 98 Dibumihanguskan
Posted by KabarNet pada 24/06/2014
http://kabarnet.in/2014/06/24/wiranto-perintahkan-13-aktifis-98-dibumihanguskan/
Jakarta – KabarNet:
Situasi nasional pasca turunnya Presiden Suharto belumlah menjamin
stabilitas nasional. Hal ini dikatakan Jenderal Wiranto terkait desakan
pemerintah Amerika Serikat dan Australia serta sejumlah LSM HAM
internasional dan LSM lokal yang menuntut diselidikinya secara tuntas
pelanggaran HAM terhadap kerusuhan Mei dan penangkapan sejumlah aktifis.
Dimana
13 aktifis yang masih dalam kontrol Pangkoops Jaya. Karena itu perlu
diambil langkah strategis untuk melakukan suatu upaya meredam atas
langkah mantan Danjen Kopassus yang sudah diluar subordinasi, melepaskan
9 aktifis tanpa adanya perintah dari Pangab sehingga menyebabkan makin
membesarnya tuntutan reformasi dari mahasiswa.
Demikian butir kedua dari notulensi rapat
terbatas yang dilakukan mantan Panglima ABRI Jenderal Purn Wiranto pada
17 Juli 1998 silam. Notulensi rapat ini dijadikan bukti yang diserahkan
Koordinator Umum Jaringan Mahasiswa Indonesia untuk Keadilan (Jamaika)
Eko Wardaya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin 23
Juni 2014).
Butir pertama dari notulensi rapat
terbatas, dinyatakan bahwa rapat dibuka pada pukul 17.00 WIB. Dipimpin
Jenderal Wiranto dan dihadiri Letjen Agum Gumelar, Jenderal Subagio
Hadisiswoyo, Jenderal Fachrul Rozi dan Letnan Jenderal Yusuf
Kartanegara. Rapat digelar di rumah Pangab Wiranto.
Pada butir ketiga, Letjen Agum Gumelar
berpendapat mengenai perlunya dilakukan kanalisasi agar diciptakan aktor
yang dijadikan tokoh utama segala dalang kerusuhan Mei dan penangkapan
aktifis kiri dan Islam.
Keempat, Jenderal Subagio Hadisiswoyo
menyarankan agar kepergian sejumlah perwira TNI ke Malang tanggal 12 Mei
1998 bisa dijadikan alibi untuk mengarahkan pada mantan Danjen Kopassus
(Prabowo) sebagai aktor utama dibalik kerusuhan di Jakarta dan
penangkapan aktifis.
Kelima, Letjen Fachrul Rozi mengusulkan
agar segera dibentuk Dewan Kehormatan Perwira tanpa melalui Mahkamah
Militer untuk memberhentikan mantan Danjen Kopassus agar tercipta opini
publik bahwa mantan Danjen Kopassus tersebutlah tokoh kerusuhan di
Jakarta dan penangkapan aktifis serta rencana kudeta pada Presiden
Habibie.
Butir terakhir, para peserta rapat
menanyakan kepada Jenderal Wiranto tentang 13 aktifis yang masih dalam
pengendalian Pangkoops Jaya, lalu Jenderal Wiranto memerintahkan agar
disukabumikan saja dan seluruh peserta rapat menyetujui dan segera Kasad
akan memanggil Pangkoops Jaya.
Dalam notulensi rapat yang dicatat oleh
Sekpri Pangab tersebut, seluruh peserta rapat membubuhkan tandatangannya
masing-masing. Notulen yang bersifat rahasia dan terbatas ini dalam bab
perihal dinyatakan sebagai ‘Operasi Kuningan’.
Source: aktual.co
Inilah Dalang Kerusuhan Mei 1998
Posted by KabarNet pada 18/05/2014
http://kabarnet.in/2014/05/18/inilah-dalang-kerusuhan-mei-1998/
Robert Strong
Obsesi
saya selama 16 tahun terakhir adalah menemukan pihak yang menjadi
dalang kerusuhan Mei 1998 sebab siapapun pihak yang berada di belakang
serangkaian peristiwa di bulan-bulan terakhir Orde Baru yang berujung
pada kerusuhan Mei 1998 itu sungguh sangat keji dan tidak
berprikemanusiaan, membunuh ribuan manusia tidak berdosa hanya sekedar
untuk menjatuhkan seorang presiden yang satu-satu kesalahan paling besar
adalah berkuasa terlalu lama.
Sebagaimana
kebanyakan rakyat Indonesia maka saya juga menghubungkan Kerusuhan Mei
1998 dengan persaingan antara dua jenderal yaitu Wiranto dan Prabowo.
Semua bukti yang dipaparkan media massa selama ini memang mengerucut
pada dua nama tersebut, masing-masing melakukan berbagai tindakan yang
dapat diartikan sebagai usaha untuk mendukung Kerusuhan Mei 1998,
seperti kepergian Wiranto ke Malang pada hari kerusuhan dengan membawa
seluruh panglima angkatan perang; atau bercandaan Prabowo kepada Lee
Kuan Yew menjelang Pemilu 1997 bahwa dia mungkin akan memberontak.
Namun demikian, hasil penelitian saya
selama 16 tahun justru menemukan fakta yang berbeda, bahwa dalang
sesungguhnya dari Kerusuhan Mei 1998 bukan Wiranto maupun Prabowo,
melainkan para barisan sakit hati orde baru, dan berikut ini adalah
hasil penelusuran saya tersebut.
Yang harus kita telusuri pertama kali
adalah motivasi Kerusuhan Mei 1998, dan berdasarkan temuan Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 ditemukan fakta bahwa pelaku utama
kerusuhan adalah bukan rakyat setempat, melainkan orang-orang berbadan
tegap berambut cepak yang secara terkoordinir memprovokasi rakyat dan
menyiram gedung-gedung dengan bensin yang sudah mereka bawa kemudian
membakar. Setelah rakyat terprovokasi orang-orang ini kemudian
menghilang.
Semua petunjuk menunjukan bahwa
provokator di lapangan adalah militer, namun pertanyaannya militer di
bawah komando siapa? Ini adalah pertanyaan yang mungkin tidak akan
pernah terungkap, akan tetapi dari keahlian para provokator itu dapat
dipastikan mereka adalah intelijen dan bukan orang lapangan.
Akhirnya selama bertahun-tahun saya hanya
bisa menduga-duga pelakunya antara Prabowo atau Wiranto, sampai suatu
saat saya menemukan dua buku otobiografi yang melengkapi semua puzzle
yang ada, yaitu buku Salim Said, dan Bill Tarrant, mantan kontributor
asing the Jakarta Post, keduanya saya beli di Indonesia, yang pertama di
Gramedia, yang kedua di Kinokuniya Plaza Senayan.
Banyak informasi penting dalam buku Salim
Said, tapi yang paling penting adalah Benny Moerdani pernah mengatakan
kepada dia dan angkatan 66 lain bahwa cara menjatuhkan Pak Harto adalah
melalui berbagai kerusuhan untuk mendestabilisasi keadaan yang akan
membuat kursi Pak Harto goyah dan saat itu Pak Harto akan mudah
didongkel. Itu dia, ini jawabannya, dan semua masuk akal, siapa lagi
yang bisa mengeksekusi pekerjaan intelijen serapi Kerusuhan Mei 1998
bila bukan raja intelijen, Benny Moerdani?
Jalinan cerita dari Salim Said tersebut
kemudian menyambung dengan cerita Bill Tarrant bahwa The Jakarta Post
yang tadinya diciptakan pendiri CSIS Jusuf Wanandi dan Ali Moertopo
sebagai mesin propaganda Orde Baru ke dunia luar sejak tahun 1990
tiba-tiba ikut menyerang Orde Baru dengan isu HAM, demokrasi, bertepatan
dengan tersingkirnya CSIS dari Orde Baru. Selain itu The Jakarta Post
juga adalah kekuatan di belakang layar yang membangkitkan para LSM yang
sudah menjelang mati suri untuk melawan Orde Baru, dan yang lebih
penting lagi, The Jakarta Post adalah donatur utama dari gerakan
mahasiswa 1997-1998, dan bahkan markas besar mahasiswa saat itu adalah
kantor The Jakarta Post!!
Siapa menyangka bahwa provokator
Kerusuhan Mei 1998 adalah kantor redaksi salah satu koran yang paling
dihormati di Indonesia?? Tapi semua masuk akal sebab Benny Moerdani
adalah bagian dari CSIS dan mewarisi jaringan opsus yang sudah dibangun
oleh Ali Moertopo beserta strategi penggunaannya. Sedangkan CSIS maupun
Benny Moerdani, sebagaimana ditulis Jusuf Wanandi dalam The Shades of
Grey/Membuka Tabir Orde Baru sangat dendam sebab Soeharto menyingkirkan
mereka dan melupakan jasa Ali Moertopo maupun Hoemardani, patron CSIS.
Semua bertambah masuk akal bila kita
mengingat strategi favorit Ali Moertopo dalam menjatuhkan lawan adalah
mendestabilisasi keadaan. Dengan menggunakan cara ini dia berhasil
memaksa Soekarno memberikan supersemar kepada Soeharto; dan dengan
menempatkan kuda troya bernama Hariman Siregar, Ali Moertopo berhasil
memancing mahasiswa Universitas Indonesia untuk terlibat dalam kerusuhan
Malari yang pada akhirnya menjatuhkan saingan Ali Moertopo, Jenderal
Soemitro. Adapun keterangan bahwa Hariman Siregar adalah anak buah Ali
Moertopo dan mendapat posisi di senat Universitas Indonesia adalah
keterangan Jenderal Soemitro di pembelaan dirinya mengenai Malari.
Semua bertambah masuk akal bila kita juga
mengingat bahwa Benny Moerdani ada di belakang Megawati ketika
kerusuhan 27 Juli 1996 pecah; dan menjelaskan mengapa jenderal-jenderal
seperti Agum Gumelar; SBY; Sutiyoso; Hendropriyono berani bersekongkol
dengan Megawati mencetuskan Kerusuhan 27 Juli 1996, sebab mereka
mendapat dukungan dari Benny Moerdani.
Soeharto sendiri tampaknya sudah tahu
bahwa Benny Moerdani ada di belakang kejatuhan dirinya, sebab sesaat
setelah dia lengser keprabon, Soeharto segera merajut hubungan kembali
dengan Benny, termasuk pertemuan bertiga antara dirinya, Gus Dur dan
Benny di luar kota Jakarta.
Berdasarkan semua uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa CSIS dan Benny Moerdani adalah aktor utama Kerusuhan
Mei 1998 dan bukan Wiranto maupun Prabowo.
═════► Source / Sumber: KOMPASiana
Firdaus Geovani said
Saya setuju banget dengan tulisan saudara Robert Strong……setuju
1000%, sebetulnya Gerakan pendongkelan Soeharto sudah dimulai sejak
tahun-2 awal 90an, dimulai dengan perebutan massa partai
Golkar……
Pengaruh Benyisasi di tubuh militer sudah lama terjadi yaitu
ketika Beny Murdani menjadi Panglima ABRI, sehingga di dalam tubuh ABRI
sendiri sudah terbelah menjadi 2 kubu blok ABRI, dimana yang kena
pengaruh Benyisasi orang mengenalnya dengan sebutan ABRI Merah-Putih dan
yang masih loyal dengan kubu Pak Harto orang memanggilnya ABRI IJO
ROYO-ROYO (Konon ABRI ini di arahkan untuk merapat ke ISLAM). Memang
benar mereka dari kubu Benyisasi sudah memulai gerakannya dengan membuat
Destabilisasi Pak Harto dan yang paling fenomenal dari Gerakan ini
adalah mempermalukan Pemerintah Indonesia di kancah Internasional dengan
Peristiwa SANTA CRUZ di Dilli,Timor Leste…..sehingga Indonesia di kecam
negara-2 USA, Australia, UNI Eropa, beberapa negara Asia dan Amerika
Latin….dampaknya mereka mengenakan Embargo baik Ekonomi maupun Militer
sehingga Indonesia menjadi goyah dan puncaknya Presiden Soeharto Jatuh
dan dampak yang paling nyata….Timor Leste, P.Sipadan dan Ligitan lepas
dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Dengan demikian memang benar bahwa
pendongkelan Pak Harto adalah Konspirasi Internasional yang
berkolaborasi dengan Pengkhianat bangsa di bawah komando Beny Murdani
(masanya adalah kaum Nasrani di Indonesia), sehingga ketika kejadian ini
meledak kaum Nasrani di Indonesia mengambil kesempatan dengan
memberontak pemerintah yang syah ( Ingat peristiwa Ambon-Maluku dan
Poso-Sulawesi, Pembantaian Madura oleh Dayak di Sampit Kalimantan).
Karena itu sebetulnya Prabowo hanyalah tumbal dari kepentingan
pendongkelan Pak Harto. Karena itu pencapresan JOKOWI sebetulnya masih
ada korelasinya dengan peristiwa tersebut dimana dalam hal ini Kaum
Nasrani i Indonesia ingin mengambil alih kekuasaan di Indonesia yang
memang di backup oleh negara-2 asing (yang mereka inginkan Indonesia ini
pecah berkeping-keping imana Provinsi-2 yang mayoritas Nasrani ingin
melepaskan diri dari NKRI ( Ingat peristiwa Ambin -Maluku, namun mereka
salah perhitungan ternyata kaum Muslimin di Maluku dapat menetralisir
keinginan memisahkan diri dari kaum Nasrani, Allahu Akbar…kaum Muslimin
Maluku…anda adalah perekat NKRI….!!!).
Oleh karena itu, mudah-2an
masyarakat Indonesia tidak lupa dengan kejadian-2 masa lalu dan saya
percaya dan memang benar adanya bahwasannya JOKOWI adalah reinkarnasi
kaum Nasrani Indonesia yang ingin menguasai Indonesia dan memang di
backup habis oleh Konspirasi Anti Islam Internasional……..
Mudah-2an
Masyarakat Muslim Indonesia menyadari akan hal ini, betapa mereka sedang
berpesta pora laksana siap melahap kaum muslimin Indonesia, karena
itulah….Hanya kepada Allah lah kita memohon perlindungan dan
pertolongan, sebaik-baik mereka punya niat jahat terhadap kaum muslimin
Indonesia…..dan sebaik itulah Allah akan membalas semua rencana
mereka……!!
Epoy Gozi said
Betul sekali, karena:
Semenjak BJ Habibie menjadi orang kepercayaan Soeharto, Jendral2 non
Muslim dan yang bermental makelar yang biasa mencari untung dari
pembelian alutsista bersatu menjadi lawan karena sakit hati. Apalagi
setelah ICMI terbentuk, CSIS merasa tersingkir, maka tambah lagi
kekuatan kontra Soeharto. Kekahawtiran mereka memuncak setelah Habibie
menjadi Wapres dan Prabowo menjadi Pangkostrad, mereka memberi sinyal
jaringan mereka di luar dan dalam, ‘this is the time, fire in the hole!’
itulah yang terjadi tahun 1998.
Ambisi Benny menjadi Wapres kandas setelah secara mendadak dicopot
dari Pangab, dan Soedarmono lah akhirnya yang jadi Wapres, dan group
Benny pun masih dendam dengan Prabowo, yang pada tahun 1983 ketika masih
Kapten menjabat Wadan detasemen Gultor 81 mau menangkap Benny, karena
Prabowo merasa ada gelagat Benny akan melakukan Kudeta.
Banyak sekali intrik2 politik kekuasaan, yang dilakukan antara aktor2 militer dan sipil (masyrakat.mahasiswa,intelektual dan bahkan pemuka agama) yang tidak mudah di baca oleh masyarakat umum maupun pengamat, bahkan para pelaku sebagian tak sadar terlibat; karena operasi intelijen yang dilakukan melalui propaganda media,pembentukan opini, bahkan melalui brainwash di kalangan akademisi dan pemuka agama, seolah-olah terjadi sendirinya. Kerja intelijen mereka cukup dibilang bagus, namun tetap saja namanya manusia ada kelemahan dan tinggal waktu yang menentukan kebenaran terungkap.
Banyak sekali sejarah kelam setelah Republik ini terbentuk belum semua terungkap secara jujur dan netral sebagai pembelajaran bagi bangsa ke depan. sebut saja diantaranya pembunuhan Otto Iskandar Dinata, Letkol Sutarto, Tan Malaka sampai Munir. Belum lagi peristiwa mulai tragedi PKI Muso, Permesta/PRRI, NII/DITII, G30SPKI, Malari, peristiwa Talangsari, Tenku Bantaqiyah, bom BCA, Cicendo, Tanjung Priok,bom Tanah tinggi sampai pada penculikan dan kerusuhan Mei 1998, semua tak pernah dikupas tuntas secara jujur dan netral sebagai bahan pembelajaran untuk bangsa ke depan sebelum Rekonsiliasi Nasional, menutup luka2 lama dan membuka lembaran baru bersama-sama membangun bangsa.
Sayang sekali, hingga saat ini masih banyak sebagian dari kita, maaf kalau saya katakan bermental ‘anjing’, karena anjing bila dipelihara penjahat, pasti dia akan membela tuan nya yang jahat itu akan ditangkap polisi, jadi selama masih banyak manusia seperti itu di negri ini. menurut saya sulit kebenara akan terungkap; maka logikanya kita harus bisa menjinakan anjing-anjing peliharaan itu agar mereka tak membela tuan nya yang jahat tadi, dan muali menagkap tuan2nya untuk mulai membuka kebenaran. Tahun ini bisa jadi penentuan kritis dari harapan kita akan mulai terbukanya tragedi2 yang telah menjadi sejarah dan tabir kelam negri ini sedikit demi sedikit, apabila terpilih pemimpin nasional yang berani mengungkap dan bisa membawa kearah rekonsiliasi nasional, namun apabila salah memilih maka akan terus terpelihara bibit2 baru untuk peristiwa intrik2 yang akan terjadi dan bukan tidak mungkin terjadi tragedi besar yang tidak sama sekali kita inginkan.
Bagi yang masih menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, maju, beradab menjadi mercusuar dunia pasti akan berusaha dengan menggunakan akal yang sehat, hati yang bersih dan yang paling penting mohon pentunjuk Yang Maha Tahu untuk menentukan pilihan pemimpin, mengawal jalannya proses pemilihan dan berserah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Akal Bulus JK, Surya Paloh dan Muhamad Reza di Balik Tabloid
Obor
Berita Terkait
- Terkuak, Akun Twitter TrioMacan2000 di Bredel Karena Pesanan Jokowi Cs
- Purnawirawan Kopassus Bikin Perhitungan atas Ucapan Wiranto
- Trends Social Media: Prabowo Didukung Kaum Pria, Jokowi Kaum Wanita
- Dituding Wiranto Penjahat HAM, Prabowo: Tuhan Tidak Tidur!
Rabu, 24 Sya'ban 1435 H / 18 Juni 2014 18:13 wib
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/18/31030/akal-bulus-jk-surya-paloh-dan-muhamad-reza-di-balik-tabloid-obor/#sthash.wjocY1wS.dpbs
Akal Bulus JK, Surya Paloh dan Muhamad Reza di Balik Tabloid Obor
JAKARTA (voa-islam.com) -
Sungguh permainan politik yang sangat kotor dan penuh dengan akal bulus. Di
mana tiba-tiba saja kasus tabloid Obor Rakyat menjadi perhatian khusus dalam
proses Pemilihan Presiden 2014.
Pasalnya, hasil cetakan media tersebut, yang
belakangan di klaim milik Asisten Staf Khusus Presiden RI Setyardi, ditengarai
telah menyebarkan fitnah dan menista Calon Presiden Joko Widodo yang diusung
koalisi PDI Perjuangan.
Dan tidak hanya itu, tabloid yang diedarkan di
kalangan tertentu itu ditengarai jadi penyebab merosotnya popularitas Jokowi,
mantan Walikota Solo dan Gubernur nonaktif DKI Jakarta.
Mari kita ulas, siapa saja di balik tabloid Obor
tersebut. Nama Setyardi, di kalangan aktivis mahasiswa ’98 cukup familiar.
Pernah menjadi wartawan majalah Tempo dan aktif dalam mendukung pergerakan
mahasiswa dalam menghadapi Orde Baru di ujung kekuasaan. Namun, benarkah
motivasi tabloid Obor untuk menghancurkan popularitas Jokowi? Jawabnya, tidak!
Peredaran tabloid Obor yang berisikan pembahasan
di sosial media dan di angkat ke media cetak untuk lantas disebarkan ke
pesantren-pesantren di Jawa Barata, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan tampilan
yang vulgar dan kampungan namun dikemas dalam layout yang menarik sebetulnya
dipakai sebagai alat propaganda pasangan Jokowi-JK.
Sebab, semua personal pemain yang berada di
belakang penerbitan tabloid tersebut memiliki koneksi dengan Jusuf Kalla dan
donatur pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 2 tersebut.
Awal karier Setyardi di majalah Tempo
menghasilkan pertemanan antara lain dengan Muchlis Hasyim. Muchlis sempat
berkarier bersama di majalah Tempo bersama Setyardi.
Dimana keduanya juga sempat mengenyam pendidikan
di Bandung. Setyardi di STT Telkom dan Muchlis di Universitas Islam Bandung
(Unisba). Keduanya juga sama-sama tidak lulus dari perguruan tinggi tersebut.
Muchlis lantas terbang ke Washington, AS dan
menyelesaikan sarjananya di sana. Dan baru kembali ketika dipanggil Surya
Paloh, pemilik harian Media Indonesia.
Sekembalinya dari Amerika, Muchlis ditempatkan
sebagai redaktur internasional di Media Indonesia dan menjadi orang kepercayaan
Surya Paloh. Hingga akhirnya, dia menempati posisi redaktur eksekutif.
Di kalangan wartawan, Muchlis dikenal memiliki
lobi-lobi cukup bagus dengan pemilik modal dan penguasa. Dan karena
kepiawaiannya itulah lantas berhasil mendirikan media online inilah.com. Sebuah
portal berita yang dukungan dananya banyak di cover Muhammad Reza, orang yang
dikenal sebagai mafia minyak. Hubungan Muh dan Muchlis sangat dekat seperti
kakak dan adik.
Pada Pilpres 2004, Muchlis aktif di Mega Center
untuk membantu K.H. Hasyim Muzadi yang pada saat itu menjadi cawapres Megawati.
Namun, ketika pasangan Mega-Hasyim kalah, dia meloncat ke Jusuf Kalla.
Kehadiran Muchlis di Istana Wapres atas prakarsa
Alwi Hamu, pemilik harian Fajar di Makassar. Dan Muchlis masih terbilang
sebagai keponakan dari Alwi Hamu yang merupakan karib keluarga Jusuf Kalla.
Saat JK menjabat Wapres, Muchlis didapuk sebagai Press Officer Wakil Presiden.
Saat ini, selain memiliki portal berita
inilah.com, Muchlis juga mendirikan Inilah Koran di Bandung dan Bogor. Dia menggandeng
wartawan senior Rakyat Merdeka dan pendiri tabloid Indonesia Monitor, Syahrial
Nasution.
Syahrial di kalangan wartawan dikenal dekat
dengan Presiden SBY. Dan pada Pilpres 2004 menjadi Ketua Media Center SBY-JK.
Konon, dana untuk mendirikan Inilah Koran juga berasal dari Muhamad Reza.
Muchlis sengaja merekrut Syahrial karena dikenal kritis terhadap isu mafia
migas.
Belakangan diketahui hubungan keduanya,
merenggang. Muchlis juga melebarkan sayapnya dengan mendirikan Inilah Koran di
Bogor dengan merekrut mantan wartawan senior Jawa Pos, Alfian. Dan terakhir
mendirikan sebuah percetakan di Bandung.
Nama lain di belakangang tabloid Obor adalah
Darmawan Sepriossa, alumnus Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Dia dikenal
cukup dekat dengan para petinggi TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN). Wartawan
yang biasa ngepos di Mabes TNI dan Polhukam ini berteman baik dengan Setyardi.
Darmawan juga punya hubungan cukup baik dengan petinggi partai di PDIP.
Lantas, apa cerita yang dapat diambil dari
penggalan kisah orang-orang yang namanya dikait-kaitkan dengan tabloid Obor?
Sebetulnya tidak lepas dari permainan transaksi politik dalam rangka
membesarkan nama Joko Widodo yang seolah-olah difitnah dan dikerdilkan.
Para dalang di balik tabloid Obor, semuanya
berada di pihak Jokowi-JK. Dan motivasi kontra intelijen seperti ini biasa
terjadi menjelang pergantian kekuasaan. Setyardi cs hanyalah boneka yang
diperalat dan ‘dibeli’ untuk menjalankan misi. Dalang utamanya adalah Surya
Paloh, Jusuf Kalla dan Muhammad Reza.
Inilah yang menjadi jawaban atas kegundahan
Hasjim Djoyohadikusumo, adik kandung Capres Prabowo. Cawapres Hatta Rajasa yang
selama ini dikait-kaitkan dibiayai mafia minyak Muhammad Reza ternyata, cuma
isapan jempol. Hingga kini, logistik yang dijanjikan Muhammad Reza untuk
menyokong duet Prabowo-Hatta tak kunjung turun.
Rupanya, dana sudah mengalir ke Jokowi yang
selalui merajai survey. Sehingga, dengan membesar-besarkan kasus tabloid Obor,
popularitas Jokowi yang terus menurun dapat didongkrak kembali dengan strategi
memfitnah diri sendiri. [mahardika che/kmpsn]
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/18/31030/akal-bulus-jk-surya-paloh-dan-muhamad-reza-di-balik-tabloid-obor/#sthash.wjocY1wS.dpuf
Katanya Obor Rakyat Memfitnah, Kok Ga Dilaporkan ke Polri?
Kehebohan berbagai media massa menanggapi peredaran Tabloid OBOR RAKYAT
di beberapa kota dan bupaten di Jawa Timur dalam seminggu terakhir cukup
menarik dicermati. Sebagian media seperti Kompas, Tempo dan media
pendukung pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi - JK) langsung
menghakimi Tabloid Obor Rakyat sebagai modus dan model kampanye hitam
terhadap Jokowi - JK. Pasalnya, tabloid itu menampilkan judul sampul
sangat menohok capres dan cawapres itu.
Tabloid Obor Rakyat edisi kedua yang beredar sejak 10 Juni 2014 lalu
misalnya, menurunkan Laporan Utama “1001 Topeng Pencitraan Jokowi”, yang
juga digunakan sebagai judul halaman depan tabloid setebal 16 halaman
itu. Sebelumnya, pada edisi perdana, Obor Rakyat memuat judul halaman
depan “Capres Boneka” dengan memasang foto Jokowi sedang mencium tangan
mantan Presiden Megawati, yang juga Ketua Umum PDIP.
Dua edisi Tabloid Obor Rakyat sontak membuat kubu dan pendukung Jokowi
blingsatan, marah dan menghujat peredaran tabloid yang dituduh mereka
telah menyerang Jokowi itu.
“Pokoknya tidak ada yang bagus pemberitaannya. Ada berita yang
menyangkutpautkan Jokowi dengan korupsi pengadaan bus transjakarta,
kemudian tentang sikap Jokowi pro terhadap pelacuran dan masih banyak
yang lain,” ujar Ghulam, salah seorang pembaca yang dikutip penilaiannya
terhadap Tabloid Obor. Rakyat oleh sebuah media pendukung Jokowi (12
Juni 2014).
Tanpa terlebih dahulu menguji kebenaran berita yang dimuat Tabloid Obor
Rakyat, media-media pendukung capres Jokowi langsung menuduh dan
memastikan berita tabloid itu sebagai kampanye hitam (black campaign).
Tidak cukup hanya itu, media - media pendukung Jokowi (Kompas, Tempo,
JPNN, Beritasatu, dll) ramai - ramai memuat komentar dan caci maki tim
sukses, tokoh - tokoh pro Jokowi di media mereka, diantaranya meminta
penerbit dan penulis tabloid diusut, ditangkap dan diadili.
Tanpa mereka sadari, para penuduh dan penghujat penerbit dan penulis
artikel di Tabloid Obor Rakyat, telah melanggar kepatutan serta
mengabaikan kebebasan pers yang dijamin konstitusi dan undang - undang.
Langkah tepat yang seharusnya ditempuh oleh Seknas, Timses Jokowi dan
kubu pendukung Jokowi, yakni melaporkan pengelola tabloid Obor. Rakyat
ke pihak berwajib malah belum dilakukan hingga hari ini (Sabtu, 14 Juni
2014).
Kenapa sampai sekarang, sudah lebih satu minggu, pihak Jokowi tidak juga
melaporkan pengelola tabloid itu ke pihak berwajib ? Kenapa hanya
luapkan emosi dan tumpahkan kemarahan melalui media ? Apa yang ditunggu
oleh kubu Jokowi ? Ragu - ragukah ? Takutkah ?
Sikap ragu - ragu, maju mundur dan hanya sebatas akan melaporkan ke
pihak berwajib atas penerbitan dan peredaran tabloid OBOR RAKYAT, yang
ditunjukan Jokowi beserta seluruh pendukungnya, menimbulkan pertanyaan
besar dan keheranan dari masyarakat luas. Ada apa ? Rakyat jadi curiga
melihat keengganan Jokowi dan supporternya itu.
Jokowi, timses dan media pendukungnya berani menghujat presiden SBY berada dibalik penerbitan dan peredaran tabloid Obor Rakyat.
Jokowi, timses dan media pendukungnya berani menuduh istana menjadi otak penyebaran kampanye hitam sesuai penilaian mereka.
Jokowi, timses dan media pendukungnya berani teriak “Tangkap !” ditujukan kepada pengelola Obor Rakyat.
Jokowi dan timsesnya bahkan segera menerbitkan tabloid tandingan untuk mengimbangi peredaran luas tabloid Obor Rakyat.
Namun, kenapa Jokowi dan seluruhnya pendukungnya “TIDAK BERANI”
melaporkan segera, dari kemarin - kemarin terkait dugaan pelanggaran
hukum dan kampanye hitam oleh Tabloid Obor Rakyat, sebagaimana banyak
dituduhkan mereka ?
Kenapa Jokowi dan pendukungnya ragu - ragu dan lamban bertindak sesuai
koridor hukum : membuat laporan pengaduan resmi kepada Dewan Pers dan
atau Kepolisian ?
Bukankah Jokowi dan seluruh pendukungnya sudah sangat yakin bahwa sumber
berita yang dimuat oleh Tabloid Obor Rakyat sebagian besar dari socmed
twitter dan facebook, yang dianggap mereka tidak benar dan hanya fitnah
belaka ?
Kenapa jika Jokowi dan pendukungnya yakin Tabloid Obor Rakyat hanya
memfitnah dan kampanye hitam terhadap Jokowi - JK, namun terkesan sangat
takut melaporkannya ke polisi ?
Apa sebenarnya yang menjadi KETAKUTAN dan KEKHAWATIRAN Jokowi dan seluruh pendukungnya ?
Apakah Jokowi - JK dan seluruh pendukungnya khawatir laporan pengaduan
pihak mereka ke Polri malah menjadi bumerang senjata makan tuan, karena
berita - berita buruk dan negatif tentang Jokowi yang dimuat tabloid
OBOR RAKYAT itu ternyata benar adanya ? Ternyata sesuai dengan fakta -
fakta hukum dan realitas politik.
Apa konsekwensinya bilamana Jokowi dan pendukungnya membuat laporan
pengaduan kepada pihak kepolisian, ternyata pengelola Tabloid Obor
Rakyat mampu membuktikan bahwa informasi dan berita pada tabloid itu
adalah benar dan faktual ?
Bagaimana akibatnya jika pengelola tabloid Obor Rakyat malah melporkan
balik dan mampu membuktikan, bahwa tuduhan, hujatan dan caci maki Jokowi
beserta seluruh pendukungnya adalah salah dan hanya merupakan pembelaan
diri Jokowi, namun telah memenuhi unsur pidana ?
Bagaimana jika malah Jokowi dan pendukungnya yang terbukti sudah
melakukan fitnah terhadap pengelola Obor Rakyat dan pihak - pihak lain
yang sempet dihujat oleh mereka, termasuk hujatan mereka terhadap
Presiden Republik Indonesia : Susilo Bambang Yudhoyono ?
Makin serukan ? Makin berabe ?
Makin cilakalah Jokowi dan pendukung butanya itu !
Hehehe
(Raden Nuh, pengamat hukum, sosial politik dan kemasyarakatan)
Menuju RI-1 dan RI-2
Tim Hukum Jokowi-JK: Tidak Mungkin "Obor Rakyat" Dikerjakan Dua Orang
JAKARTA, (PRLM).- http://www.pikiran-rakyat.com/node/285575
Tim hukum Tim Kampanye
Nasional Pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla memperkirakan orang yang
mengerjakan tabloid "Obor Rakyat" bisa lebih dari dua orang. Hal ini
dikemukakan salah satu Tim Hukum Jokowi-JK, Taufik Basari dalam
konferensi pers di Media Center Jokowi-JK, Jalan Cemara, Jakarta, Senin
(16/6/2014).
"Isi Obor Rakyat ini memenuhi unsur-unsur delik pidana. Tidak
tertutup kemungkinan akan ada orang yang terlibat dalam kasus ini.
Karena pola perbuatan tidak mungkin hanya dilakukan oleh dua orang,"
kata Taufik.
Dia melihat proses penyebaran tabloid sangat masif dengan sasaran
tertentu. Sehingg dimungkinkan pelibatan beberapa orang dalam
penyusunan, penyebaran tabloid, dan penyandang dananya. Taufik
mengatakan tujuan pelaporan, selain demi penegakan hukum mereka juga
ingin mencegah praktik politik kotor seperti ini.
"Kami harap masyarakat waspada jika menerima tabloid atau pamflet
seperti ini. Jangan menyebarkan karena isinya melanggar hukum. Ini bukan
hanya kepentingan Jokwi-JK tetapi kepentinan semua agar Indonesia utuh,
damai, toleran, dsb. Pemerintah juga jangan absen dalam hal ini,"
katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya tim hukum Jokowi-JK resmi melaporkan
Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa ke Mabes Polri. Mereka
dilaporkan atas perbuatan membuat dan menyebarluaskan tabloid "Obor
Rakyat". Sangkaannya tindak pidana memfitnah, menghina, menyebabkan
kebencian terhadap golongan, ras dan etnis, serta melanggar larangan
dalam kampanye.
Di tempat terpisah, Jokowi yang merasa difitnah melalui
tulisan-tulisan di tabloid "Obor Rakyat" meminta kepolisian menuntaskan
kasus itu. "Sudah jelas, orangnya jelas, pasal pidananya jelas. Saya
minta dituntaskan, kasus seperti ini harus tuntas biar ke depan tidak
ada lagi cara-cara fitnah, intimidasi, dan cara yang terutama yang
berkaitan dengan suku ras dan agama," kata Jokowi saat ditemui usai
menghubungi para penyumbang melalui sambungan telepon di Call Center
Jokowi-JK di Gedung East Lingkar Mega Kuningan, Jakarta, Senin
(16/6/2014).
Cara seperti itu, kata Jokowi, membenturkan rakyat dengan rakyat,
kelompok dengan kelompok, serta etnis dengan etnis. Menurutnya, hal
seperti itu tidak bisa dibiarkan sehingga polisi harus tegas.
(Arie C.
Meliala/A-108)***
Melawan Lupa (8): ABRI Merah,
Goenawan Mohamad & Wiranto Kunci Kerusuhan 1998
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/23/31059/melawan-lupa-8-abri-merah-goenawan-mohamad-wiranto-kunci-kerusuhan-1998/#sthash.BygBmRzt.dpbs
Berita Terkait
- Dihacked, Ini Bantahan Antara yang Tak Beritakan 'Rakyat Palestina Doakan Jokowi'
- Jadi 'Herder' Jokowi, Jokowi: Pasti Ruhut Ada Sesuatunya Karena Dulu Nyerang
- Terkuak, Akun Twitter TrioMacan2000 di Bredel Karena Pesanan Jokowi Cs
- Aneh, Elza Syarief Pendiri Hanura Malah Ungkap 5 Kejanggalan DKP Wiranto
Senin, 25 Sya'ban 1435 H / 23 Juni
2014 16:10 wib
Melawan
Lupa (8): ABRI Merah, Goenawan Mohamad & Wiranto Kunci Kerusuhan 1998
Assalamualaikum
Sahabat VOA ISLAM,
Artikel
Melawan Lupa edisi (8) ini masih terkait dengan seri-seri sebelumnya yang
mengangkat sepak terjang Kejahatan HAM sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, hingga
reformasi di tahun 1998 yang lebih dikenal dengan kerusuhan 1998 yang
melengserkan Presiden Suharto setelah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia.
Ada
hal yang tak boleh luput dari perhatian soal kasus HAM 'Penculikan 1998' yang
melambungkan dua tokoh TNI, yaitu PANGAB Jenderal (Purn) Wiranto dan Letnan
Jenderal (Purn) Prabowo Subianto. Perseteruan ini ternyata bukan sekedar antara
pimpinan dan bawahannya, tetapi juga soal fakta dan membongkar perseteruan
antara ABRI Merah yang didukung CSIS, katholik dengan ABRI Hijau yang terus
menjadi korban konspirasi di Indonesia.
Satu
petunjuk Dipegang Goenawan Mohamad menurut kompasianer AM Panjaitan, yang kedua
ia mengungkap bahwa dalam debat capres pertama Prabowo meminta JK untuk
bertanya pada atasannya bila mau tahu perihal kasus penangkapan terduga teroris
oleh Tim Mawar atau yang dikenal sebagai “penculikan aktivis” tahun 1998,
mengindikasikan bahwa yang terjadi adalah operasi resmi negara. Sementara itu
Wiranto; Fachrul Razi; Agum Gumelar, ketiganya jenderal yang bertanggung jawab
memecat Prabowo menyatakan bahwa Prabowo penanggung jawab pertama dan utama,
karena “penculikan aktivis” adalah inisiatif pribadi.
Siapa
pihak yang benar? Bila sejarah mengajarkan kita sesuatu maka kita harus percaya
pada perkataan Prabowo sebab dia lebih jujur dan tidak suka menutup-nutupi.
Namun masalahnya apakah ada bukti?
“Kebetulan”,
lebih dari 16 tahun lalu website SiaR dan Xpos pernah mengulas sedikit mengenai
putusan DKP dan mereka mengatakan bahwa alasan Prabowo tidak dibawa ke Mahkamah
Militer adalah karena sebenarnya operasi penangkapan teroris tersebut adalah
operasi resmi negara dan bukan itu saja, Prabowo malah memiliki surat perintah
dari Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung yang mana pada saat bersamaan
Wiranto adalah KSADnya.
Petikan dari SiaR dan XPos itu adalah sebagai berikut ini:
“Tapi, teknik ABRI menyelesaikan intern soal penculikan ini,
agaknya memang sengaja ditempuh untuk menghindari terbongkarnya orang-orang di
belakang Prabowo. Sebuah sumber di Mabes ABRI mengatakan, sebetulnya Prabowo
punya surat perintah penculikan itu, yang diteken oleh Jenderal Feisal Tanjung,
Pangab sebelumnya. Surat itu, konon, akan dibeberkan kalau Prabowo diseret ke
Mahmilub. Akibatnya, Wiranto berkompromi dengan menjatuhkan hukuman yang ringan
untuk Prabowo.”
http://www.minihub.org/siarlist/msg00741.html
Bila SiaR benar maka artinya terang dan jelas bahwa Prabowo memang tidak bersalah sebab dia hanya seorang prajurit yang menjalankan tugas dari Panglima ABRI dan sampai derajat tertentu KSAD. Bila SiaR benar maka kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa Wiranto, Fachrul Razi, Agum Gumelar telah melakukan suatu kebohongan publik ketika mereka mengatakan Prabowo dipecat karena melakukan perbuatan tercela dan alasan hukumannya ringan adalah mempertimbangkan marwah mantan Presiden Soeharto, sebab hukuman ringan justru untuk mencegah Prabowo menyeret Panglima ABRI termasuk Feisal Tandjung dan penggantinya, Wiranto.
Masalahnya
tentu saja apakah SiaR bisa dipercaya? Bukankah SiaR hanya website anonymous?
Perlu saya katakan bahwa pendiri SiaR adalah Goenawan Mohamad yang juga adalah
pendiri Tempo, dan oleh karena itu kita bisa bertanya kepada yang bersangkutan
untuk menjelaskan tentang “sebuah sumber SiaR di ABRI yang mengungkap bahwa
Prabowo memegang Surat Perintah dari Panglima ABRI Feisal Tandjung.” Dalam hal
SiaR tidak ada isu perlindungan terhadap sumber pers sebab SiaR bukan pers
karena tidak memiliki badan hukum pers.
Dengan demikian Goenawan Mohamad yang mendukung Jokowi
tersebut memegang kunci penting untuk membuka kasus “penculikan aktivis” yang
terjadi tahun 1998, yaitu apakah kasus tersebut operasi resmi negara atau
inisiatif pribadi Prabowo?
Dan dari media buatan Goenawan Mohamad ternyata terungkap
bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah operasi resmi negara untuk mengamankan
terduga teroris. Bila demikian maka semua petinggi teras ABRI saat itu termasuk
Wiranto; Soebagyo HS; Agum Gumelar; Fachrul Razi terlibat!!
Bila
kita hubungkan pernyataan SiaR milik Goenawan Mohamad dengan pernyataannya
kepada Wijaya Herlambang bahwa Prabowo tidak bersalah merekayasa Kerusuhan
13-14 Mei 1998, maka Goenawan Mohamad juga memegang kunci Prabowo sebagai orang
tidak bersalah yang menjadi kambing hitam orang-orang jahat di negara ini.
Kata-kata
Goenawan Mohamad itu adalah sebagai berikut ini:
“Kerusuhan Mei, dikatakan Prabowo di belakangnya, saya tidak percaya. Karena itu kita harus melawan yang menulis tentang itu karena bohong dan tidak mengerti..”
Lalu
apa yang harus dilakukan sekarang? Sebagai pemegang kunci membuka semua kasus
ini tentu Goenawan Mohamad harus membuka informan SiaR di dalam ABRI yang
menyatakan ada Surat Perintah Panglima ABRI Feisal Tandjung untuk memulai
Operasi Mantap Jaya.
Semua
fakta ini sekaligus membuka alasan Munir membela Prabowo dan menyatakan Prabowo
sebagai orang tidak bersalah yang dikorbankan “mereka”.
Siapa
mereka sebagaimana dimaksud Munir? Hanya beliau yang tahu, tapi yang jelas
sebelum ke Belanda, Munir pernah menyatakan bahwa dia akan mengungkap dalang
“penculikan” aktivis dan tentu saja kita tahu bahwa Munir kemudian dibunuh
Hendropriyono; Ass’at dan Muchdi Pr, ketiganya juga pendukung Jokowi.
Jadi
Pak GM, apalagi yang anda tunggu? Mohon ungkap narasumber SiaR demi membuat
kasus ini menjadi terang.
Goenawan Mohamad : Prabowo Terlibat
Seperti
dilansir dari Merdeka.com, budayawan Goenawan Mohamad (GM) memberi
klarifikasi soal beredarnya dokumen rekaman suaranya yang berisi pernyataan
bahwa dia tidak percaya Prabowo Subianto berada di balik kerusuhan Mei
1998.
Padahal,
sebelumnya GM menyatakan mundur dari Partai Amanat Nasional ( PAN )
karena partai yang ikut didirikannya pada 1998 itu telah mendukung Prabowo,
yang dia sebut sebagai bagian dari kekuatan Orde Baru yang ingin
"memadamkan gerakan pro-demokrasi, antara lain dengan kekerasan."
Lewat
pernyataan terbuka di akun Facebook-nya, GM tetap mengakui ucapannya
dalam rekaman itu. Namun, dia ingin semua pihak membedakan antara peristiwa
kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa penculikan yang terjadi beberapa bulan
sebelumnya.
"Saya
pernah mengatakan, dan tetap mengatakan sampai hari ini, bahwa Prabowo
Subianto tidak terbukti terlibat dalam kerusuhan yang melanda Jakarta,
Bandung, dan Surakarta -- mengingat belum ada penyelidikan yang mengenai
keterlibatan itu," kata GM, Jumat (16/5).
Tetapi,
kata GM, dengan berpegang kepada hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira, dan
sebagaimana dikatakan Mantan Komandan Puspon ABRI, "Saya mengatakan bahwa
Prabowo terlibat dalam tindakan beberapa bulan sebelum Mei 1998."
Berikut
klarifikasi lengkap Goenawan Mohamad yang dikutip merdeka.com di
laman Facebook-nya:
DUA
PERISTIWA YANG BERBEDA: PENCULIKAN AKTIVIS DAN PERISTIWA MEI 1998
Ada
dua peristiwa laku kekerasan yang berbeda -- tapi yang sekarang tidak diingat
dengan jelas.
Penculikan aktivis terjadi
SEBELUM Peristiwa Mei 1998. Ini data dari KONTRAS:
1. Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari 1998.
1. Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari 1998.
2. Haryanto Taslam...
3. Pius Lustrilanang, diculik di
depan RSCM, 2 Februari 1998.
4. Faisol Reza, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
5. Rahardjo Walujo Djati, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998.
6. Nezar Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998.
7. Aan Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998.
8. Mugianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998.
9. Andi Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998.
Di antara ke-13 aktivis yang masih hilang:
1. Petrus Bima Anugrah (mahasiswa Unair dan STF Driyakara, aktivis SMID. Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998.
2. Herman Hendrawan (mahasiswa Unair, hilang setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998) [15]
3. Suyat (aktivis SMID. Dia hilang di Solo pada 12 Februari 1998)
4. Wiji Thukul (penyair, aktivis JAKER. Dia hilang di Jakarta pada 10 Januari 1998.
5. Yani Afri (sopir, pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26 april 1997)
6. Sonny (sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI Megawati. Hilang di Jakarta pada 26 April 1997)
7. Dedi Hamdun (pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
8. Noval Al Katiri (pengusaha, teman Deddy Hamdun, aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997).
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP): penculikan itu dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer.
Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Adapun yang disebut "Peristiwa Mei 1998", dilihat dari sebutannya, terjadi setelah semua itu.
Saya pernah mengatakan, dan tetap mengatakan sampai hari ini, bahwa Prabowo Subianto tidak terbukti terlibat dalam kerusuhan yang melanda Jakarta, Bandung, dan Surakarta -- mengingat belum ada penyelidikan yang mengenai keterlibatan itu.
Tetapi dengan berpegang kepada hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira, dan sebagaimana dikatakan Mantan Komandan Puspon ABRI, saya mengatakan bahwa Prabowo terlibat dalam tindakan beberapa bulan sebelum Mei 1998.
4. Faisol Reza, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
5. Rahardjo Walujo Djati, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998.
6. Nezar Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998.
7. Aan Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998.
8. Mugianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998.
9. Andi Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998.
Di antara ke-13 aktivis yang masih hilang:
1. Petrus Bima Anugrah (mahasiswa Unair dan STF Driyakara, aktivis SMID. Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998.
2. Herman Hendrawan (mahasiswa Unair, hilang setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998) [15]
3. Suyat (aktivis SMID. Dia hilang di Solo pada 12 Februari 1998)
4. Wiji Thukul (penyair, aktivis JAKER. Dia hilang di Jakarta pada 10 Januari 1998.
5. Yani Afri (sopir, pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26 april 1997)
6. Sonny (sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI Megawati. Hilang di Jakarta pada 26 April 1997)
7. Dedi Hamdun (pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
8. Noval Al Katiri (pengusaha, teman Deddy Hamdun, aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997).
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP): penculikan itu dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer.
Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Adapun yang disebut "Peristiwa Mei 1998", dilihat dari sebutannya, terjadi setelah semua itu.
Saya pernah mengatakan, dan tetap mengatakan sampai hari ini, bahwa Prabowo Subianto tidak terbukti terlibat dalam kerusuhan yang melanda Jakarta, Bandung, dan Surakarta -- mengingat belum ada penyelidikan yang mengenai keterlibatan itu.
Tetapi dengan berpegang kepada hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira, dan sebagaimana dikatakan Mantan Komandan Puspon ABRI, saya mengatakan bahwa Prabowo terlibat dalam tindakan beberapa bulan sebelum Mei 1998.
Goenawan
Mohamad & Wiranto Berbohong?
Berdasarkan
penelusuran tim VOA ISLAM, pengakuan Letjen TNI Suryo Prabowo Anggota
tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ini meminta kepada publik untuk
tidak mempercayai pengakuan Wiranto soal surat Dewan Kehormatan Perwira
(DKP) soal pemecatan Prabowo Subianto dari TNI.
“Jangan
percaya Wiranto karena dia oportunitis dan kutu loncat. Habis numpang hidup di
zaman Soeharto, dia loncat ke Habibie. Ketika Gus Dur jadi Presiden, dia
dipecat karena Gus Dur paham, Wiranto adalah pelanggar HAM sebenarnya,” ujar
Suryo dalam keterangan persnya, Kamis (19/6/2014).
Ketika
Gus Dur jadi Presiden, dia dipecat karena Gus Dur paham, Wiranto adalah
pelanggar HAM sebenarnya,” ujar Suryo
Menurut
Suryo, DKP sendiri sebenarnya bukan dibentuk oleh pemerintah, sebab DKP itu
adalah inisiatif dari Wiranto yang merupakan Panglima ABRI saat itu.
“DKP
itu produk politik Wiranto pribadi untuk membunuh karakter Prabowo. Dia
menunggangi DKP untuk mematikan karir Prabowo yang saat itu lebih dicintai oleh
prajurit,” tegasnya.
Suryo
menjelaskan, pembentukan DKP sendiri cacat secara hukum. Hal ini didasari
karena DKP bertentangan dengan Surat Keputusan (SK) Panglima ABRI No
838/III/1995 tertanggal 27 November 1995 tentang Petunjuk Administrasi Dewan
Kehormatan Militer.
Suryo
menjelaskan, pembentukan DKP sendiri cacat secara hukum. Hal ini didasari karena
DKP bertentangan dengan Surat Keputusan (SK) Panglima ABRI No 838/III/1995
tertanggal 27 November 1995 tentang Petunjuk Administrasi Dewan Kehormatan
Militer.
Dalam
ketentuan Nomor 7 (a-3) dan 7 (c-2) disebutkan, pembentukan DKP untuk memeriksa
perwira yang bersangkutan hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hukum
yang dijatuhkan peradilan militer.
“Pertanyaannya,
kapan dan dimana Prabowo diadili melalui Peradilan Militer?,” tanya Suryo.
Dia
mengatakan, kasus Prabowo sengaja tidak diajukan ke Mahkamah Militer untuk
menutupi keterlibatan petinggi ABRI yang menjadi atasan Prabowo saat itu.
Padahal
saat itu desakan untuk menggelar Mahmil sangat kuat. Namun keputusan tetap ada
di tangan Wiranto sebagai Panglima ABRI saat itu.
“Kalau
dia mengulur-ulur, ini menandakan ada permainan politik untuk tujuan tertentu,”
imbuhnya.
Suryo
menilai, pernyataan Wiranto bertolak belakang dengan pengakuan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan salah satu anggota DKP. Sebab SBY
menyatakan Prabowo diberhentikan secara hormat oleh DKP.
Suryo
menduga, Wiranto memiliki maksud tertentu menyampaikan soal DKP kepada publik.
Apalagi pernyataan tersebut jauh berbeda dari fakta yang terjadi saat itu.
“Ini
semacam investasi politik Wiranto pada Megawati. Semua Jenderal di sekitar Mega
sudah tampil, nah sekarang giliran Wiranto. Sehingga lengkap sudah, Luhut
Panjaitan, Agum Gumelar, Hendropriyono, Fahrul Rozi, Samsul Jalal dan Wiranto
berkonspirasi untuk menunjukan kesetiaannya kepada Megawati dengan cara
memfitnah dan menzolimi Prabowo,” tandasnya.
Siapa
yang berdusta? Surat DKP menjadi kunci, sedangkan Panglima TNI Jenderal TNI
Moeldoko menampik ada dokumen DKP di Mabes TNI AD. Nah lho siapa yang
menyembunyikan?
Ali
Mochtar Ngabalin mengutip perkataan Prabowo Subianto di Jakarta, Jumat.
Prabowo juga menyerahkan seluruhnya kepada Allah SWT atas banyaknya tudingan dan kampanye hitam terhadap dirinya terutama kasus pelanggaran HAM.
Prabowo juga menyerahkan seluruhnya kepada Allah SWT atas banyaknya tudingan dan kampanye hitam terhadap dirinya terutama kasus pelanggaran HAM.
Mochtar
menambahkan Prabowo Subianto meyakini Tuhan tidak tidur. "God never lie,
god never sleeps," katanya.
Tuhan
tidak tidur. "God never lie, god never sleeps," katanya.
Tim
Sukses Capres-Cawapres Prabowo Subianto- Hatta Rajasa, menyatakan pemecatan
Prabowo Subianto dari TNI atas kasus penculikan adalah tidak benar.
"Berdasarkan
Surat Keputusan Presiden RI Nomor 62/ABRI/1998 yang ditetapkan pada 20 November
1998 dinyatakan bahwa Prabowo Subianto diberhentikan dengan hormat dari ABRI
dan Prabowo Subianto mendapatkan hak pensiun," kata anggota Tim Pemenangan
Prabowo-Hatta, Marwah Daud Ibrahim dalam konferensi persnya di Polonia Media
Center, Jakarta Timur, Jumat.
Marwah
menambahkan berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Sekretaris Negara kepada
Komnas HAM pada 13 September 1998 Nomor B-597/M.Sesneg/09/1999 perihal tindak
lanjut penanganan akibat kerusuhan Mei 1998, tidak cukup bukti.
Mari
simak Foto ini, Wiranto menjelaskan bahwa Prabowo tidak terlibat pada majalah
milik Goenawan Mohamad Tempo.
Dikatakan, dari dokumen negara itu dapat dilihat Prabowo Subianto tidak
bersalah atas tuduhan yang selama ini dituduhkan," katanya.
Pendiri
Hanura: Tuduhan Wiranto Tidak Berdasarkan Kebenaran
Salah
satu pendiri Partai Hanura, Elza Syarief menyatakan pernyataan Wiranto tentang
Prabowo Subianto terkait kasus penculikan aktivis 1998 tidak berdasarkan pada
kebenaran. Sekretaris tim kampanye nasional Prabowo-Hatta, Fadli Zon pun
mengapresiasi sikap Elza dan bahkan menyebut DKP adalah alat politik Wiranto
untuk menyingkirkan Prabowo.
"Saya kira benar yah. Seperti yang juga saya sampaikan selama ini. Bahwa DKP itu hanya suatu proses internal. Malah ini ada informasi lebih lanjut lagi bahwa proses pembentukan DKP itu juga tanpa sepengetahuan Presiden dan juga tanpa melalui prosedur yang sebenarnya," kata Fadli di Rumah Polonia, Jl Cipinang Cempedak, Jaktim, Senin (23/6/2014).
"Menurut sebuah sumber data, juga dari kalangan TNI, bahwa DKP hanya bisa mengadili pamen perwira menengah, bukan perwira tinggi dan harus yang mempunyai pangkat lebih tinggi di atasnya. Sehingga bisa saja disebut DKP itu ilegal," Fadli menambahkan.
Terlepas dari semua pendapat, menurut Fadli itu tidak penting karena prosesnya sudah selesai. Bagi tim pemenangan Prabowo-Hatta yang paling penting adalah ujung dari proses itu, yakni KEPPRES No. 62/ABRI/1998.
"Saya kira benar yah. Seperti yang juga saya sampaikan selama ini. Bahwa DKP itu hanya suatu proses internal. Malah ini ada informasi lebih lanjut lagi bahwa proses pembentukan DKP itu juga tanpa sepengetahuan Presiden dan juga tanpa melalui prosedur yang sebenarnya," kata Fadli di Rumah Polonia, Jl Cipinang Cempedak, Jaktim, Senin (23/6/2014).
"Menurut sebuah sumber data, juga dari kalangan TNI, bahwa DKP hanya bisa mengadili pamen perwira menengah, bukan perwira tinggi dan harus yang mempunyai pangkat lebih tinggi di atasnya. Sehingga bisa saja disebut DKP itu ilegal," Fadli menambahkan.
Terlepas dari semua pendapat, menurut Fadli itu tidak penting karena prosesnya sudah selesai. Bagi tim pemenangan Prabowo-Hatta yang paling penting adalah ujung dari proses itu, yakni KEPPRES No. 62/ABRI/1998.
Menurut
Fadli itu karena DKP merupakan alat politik Wiranto untuk menyingkirkan
Prabowo.
Elza
juga mempertanyakan DKP yang menyatakan Prabowo bersalah namun tidak
rekomendasikan Prabowo ke pengadilan. Menurut Fadli itu karena DKP merupakan
alat politik Wiranto untuk menyingkirkan Prabowo.
Elza
: 5 Kejanggalan Tuduhan Wiranto
Salah
satu pendiri sekaligus Ketua DPP Partai Hanura, Elza Syarief, menyesalkan
pernyataan sang Ketua Umumnya, Wiranto, soal Prabowo Subianto terkait kasus
penculikan aktivis pada 1998. Menurut Elza pernyataan tersebut tidak benar.
Menurut
dia, apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Hanura itu jelas sangat
bertentangan dengan kebenaran dan perkataan serta usulannya sendiri yang selalu
mengembangkan teori hati nurani.
"Saya
sebagai salah satu pendiri Hanura menyesali keterangan Pak Wiranto di mana
beliau orang yang sangat saya hormati dan banggakan. Pak wiranto adalah seorang
intelektual yang selalu mengedepankan hati nurani untuk kebaikan Bangsa dan
Negara RI. Tetapi keterangan yang disampaikan tentang Prabowo Subianto
bertentangan dengan kebenaran dan perkataannya sendiri," kata Elza.
Elza
mengatakan, ada 5 hal dasar hukum yang dapat ditunjukkan bahwa pernyataan
Wiranto tidak benar. Dalam konferensi pers di rumah pemenangan Prabowo-Hatta,
Rumah Polonia, Jl. Cipinang Cempedak, Jaktim, Senin (21/6/2014).
Ada
5 Kejanggalan Menurut Elza Syarif
1)
Pertama, dari berita pada tahun
1999, yang menurutnya dapat dilihat di Youtube, Wiranto pernah menyatakan
Prabowo tidak terlibat dalam kasus penculikan aktivis.
2)
Sesuai Keppres Nomor 62/ABRU/1998
yang ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie mengenai pemberhentian dengan
hormat Prabowo didasarkan usulan menhankam/pangab yang saat itu dijabat oleh
Wiranto.
3)
Dalam surat Sekretariat Negara
Republik Indonesia pada September 1999 kepada Komnas HAM yang isinya menyatakan
Prabowo tidak terbukti terlibat dalam kerusuhan 1998.
4)
Putusan Pidana Nomor
PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/19 yang dibacakan oleh Majelis Hakim Kolonel (CHK)
Susanto sebagai ketua serta Kolonel (CHK) Zainuddin dan Kolonel CHK (K) Yamini
yang salah satu amarnya menyatakan beberapa orang terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merampas kemerdekaan aktivis
politik sesuai Pasal 334 KUHP.
Elza menyatakan dasar yang terakhir adalah sesuai dengan SKEP Panglima ABRI No. 838 tahun 1995.
Elza menyatakan dasar yang terakhir adalah sesuai dengan SKEP Panglima ABRI No. 838 tahun 1995.
5)
SKEP Panglima ABRI Nomor 838 Tahun
1995 menyangkut dasar pembentukan DKP hanya untuk pamen. Jika sudah pati, maka
harus memenuhi syarat diisi oleh tiga perwira tinggi dengan pangkat di atas
terperiksa," jelasnya.
Oleh karena itu, sambung Elza, apa yang disampaikan oleh
Wiranto jika Prabowo melakukan penculikan aktivis atas inisiatif sendiri adalah
tidak benar dan menyesatkan serta bertentangan dengan keterangan dia sendiri.
Elza mengatakan bahwa Prabowo tidak terlibat atas Tindak Pidana penculikan apalagi sampai dinyatakan terbukti melakukan atas inisiatif sendiri. Ia pun meminta agar Capres Gerindra Prabowo Subianto tidak dizalimi kembali.
"Janganlah kita menyandera Prabowo Seumur hidup dengan isu-isu demikian. Marilah kita bertanding secara fair dan jujur, janganlah kita menyandera seseorang, itu dzalim namanya dan tidam sesuai dengan 'hati nurani rakyat'," tambah Elza.
Konferensi Pers ini juga dihadiri oleh Fuad Bawazier. Mantan Komandan Tim Mawar, Bambang Kristiono yang rencananya akan mengikuti konferensi pers tidak tampak datang.
Yang
pasti DKP adalah produk bikinan Wiranto untuk membunuh lawannya. Wallahu'alam.
[adivammar/berbagaisumber/voa-islam.com]
Sebarkan
informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/23/31059/melawan-lupa-8-abri-merah-goenawan-mohamad-wiranto-kunci-kerusuhan-1998/#sthash.BygBmRzt.dpuf
Bisnis.com, JAKARTA - http://bandung.bisnis.com/read/20140619/34239/511180/ini-penjelasan-lengkap-wiranto-soal-pemecatan-prabowo-hubungannya-dengan-kasus-penculikan
Mantan Menteri Hankam sekaligus Panglima ABRI Wiranto menyiratkan mantan Panglima Konstrad Prabowo Subianto diberhentikan secara tidak hormat dari instansi militer pada 1998 karena terkait kasus penculikan aktivis.
Hal itu diutarakannya dalam konferensi pers soal pemberhentian Prabowo dari Pangkostrad berdasarkan surat Dewan Kehormatan Panglima (DKP) tahun 1998, di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (KPK) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2014).
Dalam konferensi pers itu Wiranto mengaku tidak ingin terjebak untuk membahas istilah-istilah pemberhentian hormat atau tidak dengan hormat. Namun, kata dia, secara normatif seorang prajurit diberhentikan dari dinas keprajuritan pasti ada sebab dan alasannya.
Maka sebab itu, ujar Wiranto, muncul pemahaman pemberhentian dengan hormat, yakni apabila yang bersangkutan habis masa dinasnya, meninggal dunia, sakit parah sehingga tidak melaksanakan tugas, cacat akibar operasi tempur atau kecelakaan atau permintaan sendiri.
Sedangkan diberhentikan tidak dengan hormat, menurut dia, karena perbuatannya melanggar Saptamarga dan Sumpah Prajurit atau melanggar hukum, sehingga tidak pantas lagi sebagai prajurit TNI yang mengedepankan serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan.
"Dalam kasus tersebut pemberhentian Pak Prabowo sebagai Pangkostrad disebabkan adanya keterlibatan kasus penculikan pada saat menjabat Danjen Kopassus. Perbuatan tersebut telah dianggap melanggar Saptamarga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan serta beberapa pasal KUHP. Dengan fakta itu tidak perlu diperdebatkan lagi status pemberhentiannya, masyarakat sudah dapat menilai," tutur Wiranto.
Dia mengatakan pertimbangannya sebagai Panglima ABRI kala itu membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) lantaran ada prosedur dalam tubuh TNI bahwa apabila ada Perwira Menengah atau Tinggi terlibat satu kasus cukup berat, maka Panglima tidak bisa serta merta mengambil keputusan yang potensial dipengaruhi kepentingan pribadi, maka dibentuk DKP.
"Pada kasus penculikan aktivis 1998 saya sebagai Panglima ABRI membentuk DKP untuk memastikan seberapa jauh keterlibatan Pangkostrad dalam kasus tersebut," ujar Wiranto.
Dia lalu mengatakan pada kenyataannya DKP melalui sidang yang jujur telah memastikan keterlibatan Pangkostrad (Prabowo) yang saat kasus penculikan berlangsung menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Selanjutnya DKP merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari dinas keprajuritan, sedangkan Tim Mawar sebagai pelaku operasional lapangan dilanjutkan pada proses Pengadilan Mahkamah Militer.
Wiranto juga angkat bicara terkait bocornya surat DKP di media sosial belum lama ini. Bocornya surat DKP itu disebut-sebut dilakukan seorang mantan jenderal.
Menurut Wiranto dirinya tidak pernah menyimpan dokumen surat-menyurat yang jumlahnya bisa ribuan. Dan tidak ada staf khusus yang menyadur serta menyimpan surat-surat Panglima ABRI.
"Pertanyaan ini sudah tidak lagi relevan. Karena semua produk administratif Institusi ABRI diarsipkan di Sekretariat Umum Mabes ABRI. Lagipula dokumen DKP itu terkait kasus penculikan aktivis yang dalam hal ini adalah publik, maka seharusnya dokumen itu bukanlah rahasia absolut TNI, karena menyangkut publik," ujar dia.
Ini Penjelasan Lengkap Wiranto Soal Pemecatan Prabowo & Hubungannya Dengan Kasus Penculikan
- 19 Juni 2014, 15:48 WIBMantan Menteri Hankam sekaligus Panglima ABRI Wiranto menyiratkan mantan Panglima Konstrad Prabowo Subianto diberhentikan secara tidak hormat dari instansi militer pada 1998 karena terkait kasus penculikan aktivis.
Hal itu diutarakannya dalam konferensi pers soal pemberhentian Prabowo dari Pangkostrad berdasarkan surat Dewan Kehormatan Panglima (DKP) tahun 1998, di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (KPK) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2014).
Dalam konferensi pers itu Wiranto mengaku tidak ingin terjebak untuk membahas istilah-istilah pemberhentian hormat atau tidak dengan hormat. Namun, kata dia, secara normatif seorang prajurit diberhentikan dari dinas keprajuritan pasti ada sebab dan alasannya.
Maka sebab itu, ujar Wiranto, muncul pemahaman pemberhentian dengan hormat, yakni apabila yang bersangkutan habis masa dinasnya, meninggal dunia, sakit parah sehingga tidak melaksanakan tugas, cacat akibar operasi tempur atau kecelakaan atau permintaan sendiri.
Sedangkan diberhentikan tidak dengan hormat, menurut dia, karena perbuatannya melanggar Saptamarga dan Sumpah Prajurit atau melanggar hukum, sehingga tidak pantas lagi sebagai prajurit TNI yang mengedepankan serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan.
"Dalam kasus tersebut pemberhentian Pak Prabowo sebagai Pangkostrad disebabkan adanya keterlibatan kasus penculikan pada saat menjabat Danjen Kopassus. Perbuatan tersebut telah dianggap melanggar Saptamarga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan serta beberapa pasal KUHP. Dengan fakta itu tidak perlu diperdebatkan lagi status pemberhentiannya, masyarakat sudah dapat menilai," tutur Wiranto.
Dia mengatakan pertimbangannya sebagai Panglima ABRI kala itu membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) lantaran ada prosedur dalam tubuh TNI bahwa apabila ada Perwira Menengah atau Tinggi terlibat satu kasus cukup berat, maka Panglima tidak bisa serta merta mengambil keputusan yang potensial dipengaruhi kepentingan pribadi, maka dibentuk DKP.
"Pada kasus penculikan aktivis 1998 saya sebagai Panglima ABRI membentuk DKP untuk memastikan seberapa jauh keterlibatan Pangkostrad dalam kasus tersebut," ujar Wiranto.
Dia lalu mengatakan pada kenyataannya DKP melalui sidang yang jujur telah memastikan keterlibatan Pangkostrad (Prabowo) yang saat kasus penculikan berlangsung menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Selanjutnya DKP merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari dinas keprajuritan, sedangkan Tim Mawar sebagai pelaku operasional lapangan dilanjutkan pada proses Pengadilan Mahkamah Militer.
Wiranto juga angkat bicara terkait bocornya surat DKP di media sosial belum lama ini. Bocornya surat DKP itu disebut-sebut dilakukan seorang mantan jenderal.
Menurut Wiranto dirinya tidak pernah menyimpan dokumen surat-menyurat yang jumlahnya bisa ribuan. Dan tidak ada staf khusus yang menyadur serta menyimpan surat-surat Panglima ABRI.
"Pertanyaan ini sudah tidak lagi relevan. Karena semua produk administratif Institusi ABRI diarsipkan di Sekretariat Umum Mabes ABRI. Lagipula dokumen DKP itu terkait kasus penculikan aktivis yang dalam hal ini adalah publik, maka seharusnya dokumen itu bukanlah rahasia absolut TNI, karena menyangkut publik," ujar dia.
Inilah Bukti Transkrip Pembicaraan
Antara Mega Dengan Jaksa Agung Basrief Arief
06/18/31024/inilah-bukti-transkrip-pembicaraan-antara-mega-dengan-jaksa-agung-basrief-arief/#sthash.q79NoT3W.dpbs
Berita
Terkait
- Dihacked, Ini Bantahan Antara yang Tak Beritakan 'Rakyat Palestina Doakan Jokowi'
- Jadi 'Herder' Jokowi, Jokowi: Pasti Ruhut Ada Sesuatunya Karena Dulu Nyerang
- Terkuak, Akun Twitter TrioMacan2000 di Bredel Karena Pesanan Jokowi Cs
- Aneh, Elza Syarief Pendiri Hanura Malah Ungkap 5 Kejanggalan DKP Wiranto
Rabu, 25 Sya'ban 1435 H / 18 Juni
2014 17:13 wib
Inilah Bukti Transkrip Pembicaraan
Antara Mega Dengan Jaksa Agung Basrief Arief
JAKARTA
(voa-islam.com) - Terkuak pembicaraan antara
Megawati dengan Jaksa Agung, Basrief Arief, tentang permintaan penaangguhan
pemeriksaan terhadap Jokowi, terkait dengan kasus Tranjakarta.
Ini
sebuah intervensi yang sangat merugikan, khususnya bagi aparat penegak hukum
yang ingin menegakan hukum di Indonesia.
Menurut
Ketua Progres 98, Faizal Assegaf, di mana di a mengaku mendapatkan transkrip
rekaman yang diduga antara Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Jaksa Agung
Basyrief Arief.
Aib
demi aib terkuak tentang Jokowi. Bagaimana tangan-tangan 'kuat' berusaha
menyelamatkan Jokowi, dari badai korupsi.
Mega
dalam 'Rekaman' meminta penangguhan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo. Penangguhan pemeriksaan itu diminta oleh Ketua Umum PDIP
Megawati Soekarnoputri.
Ketua
Progres '98 Faizal Assegaf mengaku menerima sebuah transkrip rekaman dari
seseorang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Bambang Widjojanto. Diduga Jokowi tersangkut kasus korupsi Transjakarta Rp. 1,5
Triliun!
Diduga
Jokowi tersangkut kasus korupsi Transjakarta Rp. 1,5 Triliun!
Faizal
mengatakan, transkrip itu membicarakan permintaan Megawati agar kasus korupsi
TransJakarta, tidak menyeret Jokowi. Dalam kasus ini, mantan Kepala Dishub DKI
Udar Pristono, sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut
dia, pembicaraan antara Megawati dengan Basrief berlangsung tanggal 3 Mei 2014
pukul 23.09 WIB, dan durasinya selama 3 menit 12 detik.
Lalu, seperti apa isi transkrip itu? Berikut yang diperoleh dari Faizal, saat memberikan keterangan pers di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/6/2014):
Lalu, seperti apa isi transkrip itu? Berikut yang diperoleh dari Faizal, saat memberikan keterangan pers di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/6/2014):
Basrief
Arief: ... Terima kasih bu, arahannya sudah saya terima, langsung saya rapatkan
dengan teman-teman..."
Megawati:
"... Itu anu, sampean jangan khawatir, soal media saya serahkan ke Pak
Surya, nanti beliau yang berusaha meredam..."
Basrief Arief: "... Makasih bu, eskalasi pemberitaan beberapa hari agak naik, tapi alhamdulillah trendnya mulai menurun. Tim kami sudah menghadap Pak Jokowi meminta yang bersangkutan agar tidak terlalu reaktif ke media massa..."
Basrief Arief: "... Makasih bu, eskalasi pemberitaan beberapa hari agak naik, tapi alhamdulillah trendnya mulai menurun. Tim kami sudah menghadap Pak Jokowi meminta yang bersangkutan agar tidak terlalu reaktif ke media massa..."
Megawati:
"... Syukurlah kalau begitu, intinya jangan sampai masalah ini (kasus
TransJakarta) melemahkan kita, bisa blunder hadapi Pilpres, tolong diberi
kepastian, soal teknis bicarakan langsung dengan Pak Trimedia dan mas Todung,
aku percaya sama sampaean..."
Basrief
Arief: "... Tadi sore kami sudah berkoordinasi, insyallah semuanya
berjalan lancar, mohon dukungan dan doanya Bu, saya akan berusaha maksimal, Pak
Trimedia juga sudah menjamin data-datanya..."
Megawati: "... Amien, semua ini ujian, semoga tidak berlarut-larut, apa sih yang ga dipolitisir, apalagi situasi kini makin dinamis, tapi saya percaya sampean dan kawan-kawan bisa meyakinkan ke media, saya percaya bisa diatasi, jangan kasus ini Pak Jokowi jadi terseret dan membuat agenda kita semua berantakan..."
Megawati: "... Amien, semua ini ujian, semoga tidak berlarut-larut, apa sih yang ga dipolitisir, apalagi situasi kini makin dinamis, tapi saya percaya sampean dan kawan-kawan bisa meyakinkan ke media, saya percaya bisa diatasi, jangan kasus ini Pak Jokowi jadi terseret dan membuat agenda kita semua berantakan..."
Basyrief
Arief: "... Insya Allah saya usahakan, sekali lagi terima kasih
kepercayaan ibu kepada saya dan teman-teman, kita komit kok Bu, untuk urusan
ini (kasus TransJakarta) saya pasang badan..."
Bagaimana selama ini Jokowi diidentikan sebagi tokoh yang jujur, sederhana, merakyat. Ternyata sangat tidak jujur, dan tidak mau bertanggungjawab atas kasus korupsi Transjakarta, yang tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab Jokowi. (jj/rioC/adivammar/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/18/31024/inilah-bukti-transkrip-pembicaraan-antara-mega-dengan-jaksa-agung-basrief-arief/#sthash.q79NoT3W.dpuf
Lawan Wiranto, Pendiri Hanura Elza Syarief Bela Prabowo Soal Penculikan
Halaman 1 dari 2
Jakarta - http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/23/124926/2616256/1562/lawan-wiranto-pendiri-hanura-elza-syarief-bela-prabowo-soal-penculikan
Salah satu pendiri sekaligus Ketua DPP Partai Hanura, Elza Syarief,
menyesalkan pernyataan sang Ketua Umumnya, Wiranto, soal Prabowo
Subianto terkait kasus penculikan aktivis pada 1998. Menurut Elza
pernyataan tersebut tidak benar.
"Saya sebagai salah satu pendiri Hanura menyesali keterangan Pak Wiranto di mana beliau orang yang sangat saya hormati dan banggakan. Pak wiranto adalah seorang intelektual yang selalu mengedepankan hati nurani untuk kebaikan Bangsa dan Negara RI. Tetapi keterangan yang disampaikan tentang Prabowo Subianto bertentangan dengan kebenaran dan perkataannya sendiri," kata Elza dalam konferensi pers di rumah pemenangan Prabowo-Hatta, Rumah Polonia, Jl. Cipinang Cempedak, Jaktim, Senin (21/6/2014).
Elza mengatakan ada 5 hal dasar hukum yang dapat ditunjukkan bahwa pernyataan Wiranto tidak benar.
"Saya sebagai salah satu pendiri Hanura menyesali keterangan Pak Wiranto di mana beliau orang yang sangat saya hormati dan banggakan. Pak wiranto adalah seorang intelektual yang selalu mengedepankan hati nurani untuk kebaikan Bangsa dan Negara RI. Tetapi keterangan yang disampaikan tentang Prabowo Subianto bertentangan dengan kebenaran dan perkataannya sendiri," kata Elza dalam konferensi pers di rumah pemenangan Prabowo-Hatta, Rumah Polonia, Jl. Cipinang Cempedak, Jaktim, Senin (21/6/2014).
Elza mengatakan ada 5 hal dasar hukum yang dapat ditunjukkan bahwa pernyataan Wiranto tidak benar.
Pertama dari berita pada tahun 1999, yang
menurutnya dapat dilihat di Youtube, Wiranto pernah menyatakan Prabowo
tidak terlibat dalam kasus penculikan aktivis.
"Kedua sesuai KEPPRES No. 62/ABRI/1998 yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie mengenai pemberhentian dengan hormat kepada Prabowo didasarkan kepada usulan Menhankam/Pangab yang saat itu dijabat oleh Bapak Wiranto," tegas Elza.
Dasar hukum ketiga menurut pengacara kondang ini adalah Surat Sekretariat Negara RI pada September 1999 kepada Komnas HAM yang isinya menyatakan bahwa Prabowo tidak terbukti terlibat dalam kerusuhan 1998.
"Kedua sesuai KEPPRES No. 62/ABRI/1998 yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie mengenai pemberhentian dengan hormat kepada Prabowo didasarkan kepada usulan Menhankam/Pangab yang saat itu dijabat oleh Bapak Wiranto," tegas Elza.
Dasar hukum ketiga menurut pengacara kondang ini adalah Surat Sekretariat Negara RI pada September 1999 kepada Komnas HAM yang isinya menyatakan bahwa Prabowo tidak terbukti terlibat dalam kerusuhan 1998.
Kemudian yang keempat adalah Putusan Pidana No. PUT,
25-16/K-AD/MMT-II/IV/19 yang dibacakan oleh Majelis Hakim Kolonel (CHK)
Susanto sebagai ketua dan kolonel (CHK) Zainuddin dan kolonel CKH (K)
Yamini yang salah satu amarnya menyatakan beberapa orang terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merampas
kemerdekaan aktivis politik sesuai dengan pasal 334 KUHP.
"Pembentukan DKP untuk Pamen (Perwira menengah). Jika terperiksa PATI (Perwira Tinggi, maka timnya harus ada 3 PATI dengan pangkat di atas terperiksa," jelas Elza
Elza menyatakan dasar yang terakhir adalah sesuai dengan SKEP Panglima ABRI No. 838 tahun 1995.
"Pembentukan DKP untuk Pamen (Perwira menengah). Jika terperiksa PATI (Perwira Tinggi, maka timnya harus ada 3 PATI dengan pangkat di atas terperiksa," jelas Elza
WIRANTO VS PRABOWO:
Elza Syarief Kecewa Atas Tudingan Wiranto Soal Penculikan
- Senin, 23 Juni 2014, 13:23 WIBPengacara terkenal Elza Syarief menyesalkan pernyataan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto terkait peredaran surat rekomendasi pemberhentian capres Prabowo Subianto beberapa hari yang lalu.
Menurut pengacara yang juga ikut mendirikan Partai Hanura ini, keterangan yang disampaikan Wiranto kemarin bertentangan dengan pernyataan Wiranto pada tahun 1999 yang menyatakan Prabowo tidak terlibat kasus penculikan aktivis di tahun 1998.
"Saya tunjukkan dasar hukum antara lain berita di tahun 1999 di mana Pak Wiranto menyebutkan Prabowo tidak terlibat dan Keputusan Presiden No.62/ABRI/1998 yang ditandatangani Presiden Habibie mengenai pemberhentian dengan hormat Prabowo didasarkan kepada usulan Menhankam/Pangab yang saat itu dijabat Bapak Wiranto," ucap Elza dalam konferensi pers di Rumah Polonia, Senin (23/6/2014).
Kemudian, Elza juga menyebutkan ada dasar hukum lain yang menyatakan Prabowo tidak bersalah yaitu Surat Sekretariat Negara Republik Indonesia pada September 1999 kepada Komnas HAM, Putusan Pidana No. PUT 25-16/K-AD/MMT-II/IV/19, serta SKEP Panglima ABRI No. 838 tahun 1995.
Mengenai beredarnya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP), kalaupun benar, lanjut Elza surat tersebut tidak dapat dijadikan referensi.
"Karena DKP bukanlah pengadilan, DKP hanya sebatas memberikan rekomendasi, di mana rekomendasi tersebut gugur dengan adanya Putusan Pengadilan No. PUT, 25-16/K-AD/MMT-II/IV/19 dan Keppres No.62/ABRI/1998 yang ditandatangani oleh Presiden," tambah Elza.
Elza menjelaskan dirinya berbicara mengenai kekecewaanya terhadap pernyataan Wiranto bukan karena dirinya akan pindah partai, melainkan ingin agar Partai Hanura tetap mempertahankan prinsip-prinsip partai.
"Saya juga ikut mendirikan Partai Hanura dan dekat dengan Pak Wiranto. Saya ingin anggota partai selalu berpegang pada prinsip kemurnian hati rakyat, di mana hal-hal baik yang keluar dari perkataan dan perilaku kader Hanura," pungkasnya.
Editor : Saeno0' alt='' /></a>
Prabowo Subianto
Bisnis.com, JAKARTA -- http://bandung.bisnis.com/read/20140623/34239/511401/elza-syarief-kita-telah-menzalimi-prabowo
Pengacara ternama
Elza Syarief mengatakan selama ini masyarakat telah menzalimi calon
presiden Prabowo Subianto dengan isu-isu yang tidak benar.
Dalam
konferensi pers yang diadakan di rumah pemenangan Polonia, Elza
memaparkan beberapa fakta yang dinilainya menyatakan Prabowo tidak
bersalah dan terlibat dalam penculikan aktivis 1998.
"Pengakuan
dari para terdakwa yaitu Komandan Tim Mawar Bambang Kristiono beserta
anak buahnya dalam persidangan mengakui mereka telah melampaui batas
kewenangannya," ucap Elza di rumah pemenangan Prabowo-Hatta Polonia,
Senin (23/6/2014).
Tindakan Tim Mawar, lanjut Elza, digerakkan oleh hati nurani dalam bertugas untuk mengamankan Sidang Umum MPR yang sudah dekat.
Mereka
merasa risau melihat aksi para aktivis yang dianggap telah menganggu
stabilitas nasional sehingga merasa harus melakukan sesuatu untuk
melindungi masyarakat.
"Kegiatan Tim Mawar ini tidak diketahui
dan tidak melibatkan atasan di Kopassus. Tim Mawar juga telah
bertanggung jawab dengan berkata jujur dan mengambil risiko dihukum dan
dipecat dari ABRI," tambahnya.
Selain pengakuan Tim Mawar, Elza juga menjelaskan jabatan Prabowo saat itu adalah Pangkostrad, bukan Danjen Kopassus.
"Danjen
Kopassus saat itu adalah Mayjen TNI Muchdi PR, sehingga tidak ada
hubungan hierarkhi langsung antara Prabowo dan Tim Mawar tersebut," kata
Elza.
Oleh karena adanya fakta-fakta tersebut, salah satu
pendiri Partai Hanura ini menilai capres bernomor urut satu itu tidak
melakukan apa yang sering dituduhkan orang selama ini.
"Kita telah menzalimi Prabowo di mana Prabowo telah disandera seumur hidupnya oleh isu-isu yang tidak benar," pungkas Elza.
Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Berita Terkait
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/08/30813/melawan-lupa-1-kasus-talangsari-jamaah-islamiyah-dan-komnas-ham/#sthash.HD4CwvWl.dpbs
- Pernyataan Sesat PDIP : Mau Masuk Surga Pilih Jokowi, Kalau Tidak Masuk Neraka
- Melawan Lupa (9): PKI, Jokowi & Hendropriono Telah Menyandera Megawati
- Dihacked, Ini Bantahan Antara yang Tak Beritakan 'Rakyat Palestina Doakan Jokowi'
- Jadi 'Herder' Jokowi, Jokowi: Pasti Ruhut Ada Sesuatunya Karena Dulu Nyerang
Ahad, 26 Sya'ban 1435 H / 8 Juni 2014 09:42 wib
Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Kasus Talangsari, Jama’ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus Warsidi)
Mungkin sebagian orang masih belum bisa
meyakini bahwa radikalisme yang disandingkan dengan doktrin agama
benar-benar faktual dan menjadi salah satu cara sekelompok orang di
dalam mencapai cita-citanya. Misalnya, tentang keberadaan Al-Jama’ah
Al-Islamiyah atau biasa disingkat JI. Terhadap keberadaan JI ini, tidak
hanya orang awam yang menyangsikan eksistensinya, tetapi juga orang
terhormat yang duduk di lembaga legislatif. Bahkan, Menkopolkam saat itu
(2002) menyangkal keberadaan JI di Indonesia. Menurut Menkopolkam,
organisasi JI keberadaannya hanya di Malaysia dan di Singapura; namun
demikian tidak tertutup kemungkinan ada beberapa orang Indonesia yang
terlibat di dalam JI.
[Demikian redaksional pembukaan
penuh fitnah dari Blog Riyanto, selanjutnya akan kami kritisi
satu-persatu untuk membuka tabir sebenarnya] Seolah-olah Komnas
HAM dan juga Kontras memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan
citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Baca Berita selengkapnya: AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
AM
Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung - See
more at:
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.dpuf
Fakta keberadaan JI sebenarnya sudah
mulai terkuak sejak sebelum 2002, setidaknya melalui tulisan Djohan
Effendi pada harian Kompas edisi 7 November 2002. Melalui tulisannya
berjudul Jamaah Islamiyah dan Abdullah Sungkar, Djohan Efendi
mengatakan bahwa Abdullah Sungkar dengan tegas pernah menyatakan
keberadaan Jamaah Islamiyah, melalui sebuah wawancara dengan majalah Nidaul Islam edisi 17 yang terbit sektar Februari-Maret 1997.
Pada kesempatan itu, Abdullah Sungkar
menceritakan tentang keberadaan gerakan Jamaah Islamiyah sebagai
organisasi yang bercita-cita membangun Daulah Islamiyah (Pemerintahan
Islam), dan JI memiliki perbedaan yang jelas dibandingkan dengan
organisasi-organisasi Islam lainnya. Menurut Abdullah Sungkar, bila
parpol dan ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif
dengan pemerintah, maka JI bersikap nonkooperatif.
Kami kritisi, ini tentu tudingan sepihak dan fitnah dari Riyanto.
Menurut Abdullah Sungkar, bila parpol dan ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah, maka JI bersikap nonkooperatif. Tentu ini sebagai fitnah dari Riyanto
Menurut Abdullah Sungkar, JI bukanlah
gerakan yang sama sekali baru, karena embrio JI adalah gerakan DI/TII
yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7
Agustus 1949. NII diproklamasikan selain untuk menentang pemerintahan
kafir Belanda juga untuk menentang rezim sekuler Republik Indonesia.
Menurut klaim Abdullah Sungkar, JI merupakan gerakan yang berusaha
mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah
melalui jalan jihad, sebagai kelanjutkan gerakan DI/TII. Upaya itu
ditempuh dengan membangun tiga kekuatan, yaitu kekuatan aqidah, kekuatan
persaudaraan dan kekuatan milisi. JI juga menerapkan strategi yang sama
dengan DI/TII dalam mencapai cita-citanya, yaitu Iman, Hijrah dan Jihad.
Kian hari, fakta keberadaan JI kian
terkuak lebih meyakinkan, antara lain melalui pengakuan mantan anggota
JI sendiri. Pada bulan Juli 2005, munafikin Nasir Abas meluncurkan buku berjudul Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI
yang diterbitkan oleh Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta. Nasir
Abas adalah mantan petinggi JI dengan jabatan terakhir sebagai Amir
Mantiqi III (meliputi Sabah, Serawak, Brunei, Kalimantan, Sulawesi, dan
Filipina Selatan).
Melalui pengakuan Nasir Abas, fakta
tentang keberadaan JI seharusnya tak lagi bisa dibantah. Tidak hanya
itu, pengakuan itu menunjukkan fakta lain kepada masyarakat luas bahwa
radikalisme yang disandingkan dengan doktrin agama bukanlah tuduhan
tanpa bukti. Dan fakta lain yang juga turut terungkap melalui pengakuan
Nasir Abas, adalah bahwa cita-cita mendirikan negara Islam sebagaimana
dipromotori oleh Kartosoewirjo tetap hidup di dalam benak sebagian
orang.
Yang juga turut terungkap melalui
pengakuan Nasir Abas adalah kekeliruan memahami dan memaknai jihad
khususnya sebagaimana dipaparkan oleh Imam Samudera yang sebelumnya
telah lebih dulu meluncurkan sebuah buku berjudul Aku Melawan Teroris yang diterbitkan oleh Jazeera, Solo, Jawa Tengah, pada September 2004.
Padahal sejatinya Nasir Abas terkena racun deradikalisasi alias terbuai materi.
Melalui bukunya, Nasir Abas antara lain
menceritakan bahwa ia di tahun 1985 awal, berkenalan dengan sejumlah
orang Indonesia, antara lain ustdaz Abdul Halim dan ustadz Abdus Somad.
Barulah setelah tiga belas tahun berselang, yaitu di tahun 1998, Nasir
Abas mengetahui nama sesungguhnya kedua ustadz tadi. Ustadz Abdul Halim
tak lain adalah nama alias dari Abdullah Sungkar. Sedangkan ustadz Abdus
Somad adalah nama alias dari Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya merupakan
tokoh Darul Islam (DI) atau NII yang hengkang ke Malaysia pada tahun
1985.
Di tahun 1993, menurut pengakuan Nasir
Abas, Abdullah Sungkar memisahkan diri dari NII faksi Ajengan Masduki.
Maka sejak saat itulah (Januari 1993) Abdullah Sungkar menjadi imam
Al-Jamaah Al-Islamiyah. Di tahun 1999, Abdullah Sungkar meninggal dunia
di Bogor. Maka, pimpinan JI berada di tangan Abu Bakar Ba’asyir yang
selama ini menjadi orang kedua. Salah satu kewenangan amir JI adalah
melantik Ketua Mantiqi sebagaimana diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum
Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah). Nasir Abas dilantik oleh Abu Bakar
Ba’asyir pada April 2001 sebagai Ketua Mantiqi III menggantikan Mustapha
alias Abu Tolut alias Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda. Dari sini,
sudah bisa disimpulkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir saat itu sudah menduduki
kursi imam JI pasca meninggalnya Abdullah Sungkar.
Abu Bakar Ba’asyir sendiri pada awalnya
tidak menutup-nutupi keterlibatannya di dalam JI. Terbukti, pada majalah
Sabili No. 6 Th. VIII bertanggal 6 September 2000, yang sudah beredar
menjelang atau bersamaan waktunya dengan pelaksanaan Kongres Mujahidin
pertama. Secara khusus di halaman 45 tertera Biodata Abu Bakar Ba’asyir,
yang pada kolom organisasi tertulis beberapa hal seperti:
- Salah seorang pendiri Pondok Pesantren Ngruki (Solo)
- PII (1959-1963)
- GPII anak cabang Mojoagung (1960)
- LDMI (1965)
- Jama’ah Islamiyah
Ketika itu Abu Bakar Ba’sayir memang
belum resmi menjadi Amir Mujahidin (MMI). Sampai akhirnya hasil Kongres
Mujahidin pertama mengukuhkannya sebagai Amir Mujahidin.
Barulah ketika Amerika Serikat mencanangkan war againts terorism
pasca tragedi WTC 11 September 2001, dan nama Abu Bakar Ba’asyir
disebut-sebut sebagai imam spiritual JI, dan JI diduga kuat mendalangi
serangkaian kasus bom di Indonesia, maka Ba’asyir pun mulai menyangkal
keterlibatannya di dalam JI.
Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah imam JI.
Artinya Di pengadilan semua sudah batal di sisi hukum dan fitnah tidak lagi bisa dikenakan pada Ustadz Abu Bakar Baasyir.
Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah imam JI.
Bukan hanya Nasir Abas yang menguak
keberadaan JI tetapi juga Farihin, yang mengaku sebagai mantan aktivis
JI dan pernah merakit bom di Cilacap, Jawa Tengah, namun belum sempat
digunakan. Kemunculan Farihin sebagai mantan aktivis JI dapat dilihat
melalui TVONE edisi 21 Juli 2009 pada acara Apakabar Indonesia yang tayang sekitar jam 21.00 wib.
Sebelumnya, salah satu petinggi JI asal
Kudus yaitu Abu Rusydan ini juga sudah mulai membuka diri. Antara lain
bisa dilihat pada majalah Risalah Mujahidin edisi 24 (Dzulhijjah
1429H/Nov-Des 2008). Dalam buku Nasir Abas Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI sosok Abu Rusydan mempunyai berbagai nama alias seperti Hamzah dan Ustadz Thoriqudin.
Jauh sebelum itu, menurut pemberitaan
Kompas edisi Selasa 13 Januari 2004, Thoriquddin alias Abu Rusydan
alias Hamzah mengakui bahwa di dalam pertemuan Megamendung (Puncak, Jawa
Barat) yang dilaksanakan sekitar April-Mei 2002 disepakati bahwa ia
menjadi pelaksana harian tugas Amir JI, menggantikan Abu Bakar Ba’asyir
yang kala itu sibuk bergiat di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Pasca kasus peledakan di Hotel JW
Mariott dan Hotel Ritz Carlton 17 Juli 2009 lalu, Abu Rusydan jadi lebih
sering tampil di depan publik, antara lain di TVONE dan di detikcom
edisi Kamis 30 Juli 2009. Di detikcom ia ditanya soal pengkaderan yang
dilakukan Noordin M. Top. Detikcom menyebut Abu Rusydan sebagai mantan
petinggi Jamaah Islamiyah (JI).
Di majalah Sabili No. 2 Th. XVII yang
sudah beredar di Jakarta sejak 31 Juli 2009, khususnya di halaman 16-21
Abu Rusydan ditampilkan dalam sebuah wawancara khusus. Dengan jelas
Sabili menuliskan identitas Abu Rusydan sebagai Tokoh Jamaah Islamiyah.
Salah satu materi pertanyaan Sabili kepada Abu Rusydan adalah “Jadi apa
jabatan Anda sekarang?” Pertanyaan itu dijawab dengan untaian kalimat
yang menegaskan bahwa JI itu faktual dan Abu Rusydan masih tokoh JI:
“Yang penting bagi saya, konsumsi media beda dengan konsumsi kepolisian.
Kalau Polisi sudah tahu. Tapi, yang jelas saya bukan mantan. Karena JI
itu bukan sesuatu yang buruk sehingga harus saya tinggalkan.”
Sabili juga menanyakan keada Abu Rusydan
hubungan JI dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar
Baasyir yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Amir Majelis Mujahidin.
Menurut Abu Rusydan, pemikiran dasar JI dan JAT tidak ada perbedaan,
sama-sama mengambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. “Adapun ekspresi dan
aksi itu adalah ruang-ruang pilihan. Itu berdasarkan pengalaman. Kalau
sudah masuk gerakan itu soal kepercayaan.” Demikian penjelasan Abu
Rusydan kepada Sabili.
Berdasarkan data-data di atas, jelaslah
bahwa keberadaan JI adalah nyata, bukan sebuah wacana belaka. Sebagai
organisasi bawah tanah atau tandzim sirri, tentunya JI tidak
punya alamat lengkap dengan nomor RT dan RW segala. Hanya orang bodoh
yang meminta pembuktian keberadaan JI melalui kelengkapan domisili
sebagaimana layaknya sebuah organisasi berbadan hukum.
Hubungan Talangsari dengan JI
Lalu, apa hubungan antara kasus
Talangsari (Lampung) dengan JI (Jamaah Islamiyah)? Keduanya punya titik
persinggungan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.
Sebagaimana disebutkan di atas, Abdullah
Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian
di tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah
Islamiyah (JI).
Kasus Talangsari terjadi pada Februari
1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat
diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun
komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari
sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, saat
masih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan
keagamaan yang dinamakan Usroh.
Sejumlah pelaku kasus Talangsari
merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya,
Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada
tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar,
Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu
anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal
gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu
Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai
salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
MUSHONIF
Nama-nama lain yang juga terkait kasus
Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah
Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex
alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh
Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu.
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara
dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu.
Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang
diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara,
Kabupaten Lampung Tengah.
Kala itu ia bersama Abadi Abdullah
ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way
Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti
pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman
dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang
Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat
aksi kekerasan.
WAHIDIN AR, Ia Hilang Ditelan Bumi
Nama lain yang ikut membidani kasus
Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis
gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir
bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika
Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah.
Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika
kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama
sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan
sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin AR Singaraja alias Zainal
kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu,
Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang
disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta.
Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus
1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama
dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin
kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari
keburu meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan
kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.
Nama lain yang layak dikutip di sini
adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian
gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah
menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang
gerakan makar di Talangsari.
Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang.
Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran).
Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan)
Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah).
Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
Belakangan, Haris mengundurkan diri,
sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah
kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin
Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI
Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan
mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah
satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan
Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
Berdasarkan kenyataan di atas,
sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung,
menghasilkan gerakan Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung
Priok (kasus Tanjung Priok 1984).
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
menafikan keberadaan gerakan perlawanan disandingkan dengan doktrin
agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah
NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya
tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan
terencana yang berdarah-darah sekalipun.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi
Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu
akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih
dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan
bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit
(perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme
itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh
diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton
pada 17 Juli 2009. Benarkah?
Counter Issue! Komnas HAM Menstigma Islam?
Sejak kasus pengajian Talangsari Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu dasawarsa kemudian tidak pernah muncul ke permukaan.
Artinya, penumpasan gerakan radikal
Talangsari yang dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau mereka
yang pernah menjadi anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar– ternyata
cukup efektif mengamankan wilayah Indonesia dari aksi serupa setidaknya
untuk masa sekitar satu dasawarsa ke depan.
Faktanya, Komnas HAM & Kontras Terus Melestarikan Citra Buruk Kepada Islam
Menjaga keutuhan NKRI lebih penting
dibandingkan dengan segalanya, termasuk adanya kemungkinan kesalahan
teknis di dalam penanganan gerakan radikal dalam bentuk apapun juga. Hal
inilah yang seharusnya dipahami oleh para pegiat HAM. Jangan hanya
mencari-cari kesalahan teknis dari upaya konstruktif mengamankan wilayah
Indonesia dari ancaman perbuatan radikal, dengan alasan HAM.
Kami para pelaku kasus Talangsari
sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus terang mengakui, bahwa
peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah peperangan yang
direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara kesatuan RI yang sah
yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu itu kami
yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai
lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan
menyakitkan.
Para pelaku Talangsari sudah sepenuhnya
menyadari bahwa kasus Talangsari tak perlu diungkit meski dengan alasan
HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan
orang-orang yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan juga
Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikapi hal ini. Tidak ada seorang
pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh
kegetiran.
Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikapi hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga
Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk
tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga
Kontras– selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme
yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini.
Bila Komnas HAM –dan juga Kontras–
bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam
yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan
heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM
–dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia,
karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya
dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara
keseluruhan.
Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu
Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa
yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami
hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak
(ratusan juta orang).
Namun karena ulah yang segelintir ini
umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini
yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?
Namun, Komnas HAM Membela Pelaku Makar?
Letnan Jenderal TNI (purnawirawan)
Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya dan mantan Wakil Ketua DPR RI yang
juga menjabat sebagai Koordinator Forum Komunikasi Punawirawan
TNI/Polri pernah mengatakan, kepentingan politis di balik upaya
pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM lebih kental
dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat Merdeka, 6
Maret 2008).
Tidak hanya Saiful Sulun, salah seorang
pelaku kasus Talangsari, Fadillah, yang juga pernah menjadi bagian dari
gerakan Usroh Abdullah Sungkar pernah mengatakan, “…kami merasa
direndahkan, jika kasus Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM.”
Pernyataan itu disampaikan Fadillah saat diwawancarai harian Rakyat
Merdeka 16 Juli 2007.
Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini
pejuang. Kasus Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi perang antara
aparat pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan
hukum Islam dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami
berkeyakinan, mati adalah syahid, kalau ditawan adalah ujian. Tidak ada
kata-kata pelanggaran. Mana ada aktivis DI yang teriak-teriak minta
pengusutan pelanggaran HAM termasuk minta kompensasi, tidak ada karena
memang itulah prinsip utamanya kita berjuang.”
Upaya Komnas HAM membentuk tim ad hoc
untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, menurut Fadillah itu
merupakan kebijakan yang tidak perlu. Karena, menurut Fadillah, “…saya
dan teman-teman sudah tentram, nggak mau diributkan. Komnas HAM nggak
perlu repot-repot memulihkan nama baik saya, karena saya sendiri bisa
menyelesaikannya. Saya juga heran, bukankah Komnas HAM sudah menutup
kasus ini karena tidak ditemukan ada pelanggaran HAM.
Kenapa sekarang dibuka lagi? Kita nggak mau kasus Talangsari dijadikan komoditas politik. Kalau ini yang terjadi, saya khawatir, Komnas HAM yang merupakan lembaga terhormat akan menjadi kurang berbobot.”
Penilaian Fadillah terhadap Komnas HAM
nampaknya memang beralasan, karena dalam prakteknya Komnas HAM telah
menjadikan korban dan saksi gadungan sebagai narasumber penyelidikannya.
Sebagaimana dikatakan Sudarsono, mantan pelaku kasus Talangsari,
saksi-saksi yang dimintai keterangan Komnas HAM itu ngawur dan
direkayasa. Sebab, orang-orang yang dimintai keterangan banyak yang
tidak pernah terlibat dan (tidak) mengetahui kejadian sebenarnya.
Mereka, menurut Sudarsono, adalah anak-anak mantan pejuang Talangsari
dan anak-anak petani yang tidak mengerti sejarah perjuangan NII sama
sekali.
Upaya Komnas HAM kala itu (2007) untuk
mengungkap kembali kasus Talangsari dinilai Fadilah dan Sudarsono
sebagai langkah yang mengherankan, mengingat di tahun 2000, BN Marbun SH
yang kala itu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi
Pemantauan Komnas HAM pernah melayangkan sepucuk surat kepada Fauzi
Isman. Surat bertanggal 26 April 2000 itu justru meminta agar Fauzi
kembali berkoordinasi dengan teman-temannya yang pernah sama-sama
menempuh jalur islah untuk kasus Talangsari.
Surat BN Marbun kepada Fauzi Isman selaku aktivis Koramil
(Korban Kekerasan Militer) yang saat itu beralamat di jalan Cipinang
Cempedak IV No. 5 Jakarta, merupakan balasan atas pengaduan Fauzi Isman
pada 20 Maret 2000 tentang kasus Talangsari. Pengaduan Fauzi Isman itu
kemudian mendapat perlawanan dari Sudarsono yang bersama-sama Fauzi
pernah mencanangkan Gerakan Islah Nasional.
Ketika sebagian pelaku kasus Talangsari
masih mendekam di Nusakambangan, Fauzi Isman telah lebih dulu
menggulirkan dan menggerakkan konsep islah. Bahkan dari ishlah yang
digulirkannya itu, Fauzi banyak memperoleh keuntungan materi. Setelah
cukup banyak menggerogoti Hendropriyono, dorongan sifat tamaknya mulai
menonjol. Maka, ia berbalik arah melawan konsep islah yang pernah ia
gulirkan sendiri bersama Sudarsono dan Nur Hidayat.
Koramil berdiri tahun 1998, dengan Nur
Hidayat sebagai koordinatornya, sebelum akhirnya Koramil dikomandoi
Fauzi. Salah satu kegiatan Koramil adalah menemui Komnas HAM untuk
mengungkap kasus Talangsari.
Mereka inilah yang mendorong-dorong
Komnas HAM mengusut kasus Talangsari. Padahal sebelumnya mereka juga
yang menggulirkan konsep ishlah ketika pelaku kasus Talangsari masih
mendekam di Nusakambangan. Bila Komnas HAM dan juga Kontras mau mengusut
kasus Talangsari berdasarkan pengaduan para petualang politik yang
mengatasnamakan agama, betapa tidak profesionalnya Komnas HAM, betapa
tidak profesionalnya Kontras. Betapa tidak berbobotnya Komnas HAM,
betapa tidak berbobotnya Kontras.
Sebab, Komnas HAM dan Kontras
didorong-dorong mengungkap kasus Talangsari, yang dimotori oleh oknum
tadi sebagai penyebabnya. Kemudian ketika aparat menghabisi gerakan
radikal Talangsari, oknum tadi tidak ikut berdarah-darah di Talangsari,
tetapi tetap berada d Jakarta. Ketika pelaku Talangsari masih mendekam
di Nusakambangan, oknum tadi justru merangkai gerakan islah. Ketika
sifat tamaknya tidak dapat tersalurkan dengan baik, maka mereka pun
kembali meminta kasus Talangsari diungkap. Betapa bodohnya Komnas HAM
dan Kontras mau mengikuti oknum berjiwa labil yang hanya menuruti hawa
nafsunya sendiri, namun mengatasnamakan agama tertentu.
Kasus Talangsari adalah serpihan gerakan
Darul Islam (DI/TII). Kalau kasus Talangsari (1989) yang tergolong
makar dapat diungkap kembali atas nama HAM, maka pemberantasan gerakan
DI/TII di masa lampau (1960-an) pun dapat diungkap kembali atas nama
HAM. Begitu juga dengan kasus makar lainnya, dapat diungkap lagi atas
nama HAM. Apakah ini yang diinginkan Komnas HAM? Padahal, makar adalah
gerakan melawan negara.
Sebagai lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara, Komnas HAM seharusnya
berpihak kepada kepentingan negara, bukan kepada sekelompok orang yang
jelas-jelas menurut pengakuannya sendiri telah bermaksud melawan negara.
Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah Talangsari
Berita Terkait
- Pernyataan Sesat PDIP : Mau Masuk Surga Pilih Jokowi, Kalau Tidak Masuk Neraka
- Melawan Lupa (9): PKI, Jokowi & Hendropriono Telah Menyandera Megawati
- Dihacked, Ini Bantahan Antara yang Tak Beritakan 'Rakyat Palestina Doakan Jokowi'
- Jadi 'Herder' Jokowi, Jokowi: Pasti Ruhut Ada Sesuatunya Karena Dulu Nyerang
Ahad, 26 Sya'ban 1435 H / 8 Juni 2014 09:00 wib
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/08/30814/melawan-lupa-2-beberapa-nama-saksi-palsu-dan-islah-talangsari/
Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah Talangsari
Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah
Warsidi, dari sejumlah nama yang terlibat kasus Talangsari atau
setidaknya ada keterkaitan dengan kasus Talangsari, beberapa di
antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang bingung. Mereka
antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi
Isman. Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso dan Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-04/)
Azwar Kaili
Keterkaitan Azwar Kaili dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari
dua hal. Pertama, ia merupakan simpatisan anggota jama’ah pengajian yang
diselengggarakan oleh Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Abdullah
alias Dulah merupakan anak buah Warsidi, dan mantan aktivis Gerakan
Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak hanya Azwar Kaili yang aktif
mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan Abdullah, juga
Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga anak kandungnya masing-masing
bernama Iwan, Haris, dan Ujang.
Kedua, melalui sosok Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7
Februari 1989). Azwar mengeksploitasi almarhum Warsito untuk ‘memeras’ Hendropriyono.
Almarhum Warsito diposisikan sebagai korban. Padahal, meski usianya
masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid.
Akibat binaan Abdullah, Warsito dan beberapa teman sebayanya menjadi
sosok yang militan. Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon
Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota jama’ah sekurangnya sejak
tahun 1988.
Keberangkatan Warsito ke Cihideung bukan sekedar mau nyantri, tetapi
memang untuk mati syahid, dalam sebuah peperangan yang sudah
direncanakan oleh komunitas Warsidi dan sejumlah muhajirin dari Jawa.
Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama Zulkarnaen
dan Zulfikar (anak Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak Zamzuri),
pamitan kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.
Menurut ingatan Zulfikar, sebelum berangkat ke Talangsari untuk
berjihad, Warsito menyampaikan sebuah pesan kepada adiknya agar merawat
ayam-ayam peliharaan miliknya. Pesan itu –yang kemudian menjadi pesan
terakhir Warsito, berbunyi: “… seandainya saya mati dik, tolong dirawat
ayam-ayam ini…” Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang sudah siap mati
syahid, karena kepergiannya ke Talangsari semata-mata untuk berperang
dalam rangka jihad.
Namun, oleh Azwar Kaili, kematian Warsito dimanfaatkan untuk menarik keuntungan materiel. Pada program Buser Petang di SCTV
yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-File yang tayang 22
September 2003, Azwar Kaili mengaku-ngaku sebagai korban kasus
Talangsari. Padahal ia bukan korban. Azwar Kaili memang pernah ditangkap
dan ditahan, tapi bukan karena terlibat kasus Talangsari. Melainkan,
untuk kasus semacam praktek ilegal sebagai mantri.
Kasus Azwar itu bersamaan dengan kasus penangkapan jama’ah Warsidi.
Ketika itu, hampir seluruh anggota pengajian yang diselenggarakan
Abdullah dan Pak Sediono ditangkap dan ditahan, namun dilepaskan kembali
setelah dipastikan tidak ada keterkaitan dengan kasus Talangsari.
Kepada Abdul Syukur (penulis buku Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa
Lampung 1989), Azwar mengaku ia ditahan selama tiga bulan pada tahun
1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan pendidikan
kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri.
Berkenaan dengan Warsito, Azwar Kaili mengatakan bahwa kepergian
Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang seribu
rupiah dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak
Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati
syahid).
Azwar Kali juga mengatakan, rumah dan sejumlah harta bendanya yang
dikumpulkannya sejak masih bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar
oleh aparat. Peristiwa pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi
panggilan Danramil. Pernyataan tersebut, setahu kami tidak benar.
Karena, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri Azwar Kaili,
namun tidak ada pembakaran dan perampokan terhadap harta bendanya.
Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV
Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV kala itu, karena ia merasa dikecewakan oleh Hendropriyono.
Sekitar September 2002, Azwar Kaili menyampaikan maksudnya kepada
Sukardi (salah seorang pelaku kasus Talangsari) untuk bertemu dengan Hendropriyono, dengan maksud untuk mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan dengan kasus Talangsari.
Permintaan itu tidak dapat terwujud, karena saat itu Hendropriyono
sedang bertugas ke luar negeri. Maka, Azwar Kaili pun memberi ultimatum
kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu bulan tidak bisa
dipertemukan dengan Hendropriyono maka ia akan mengajukan tuntutan. Lalu muncullah testimoni dustanya di SCTV.
Dua anak Azwar Kaili yang dulu ikut pengajian Abdullah, Haris dan
Ujang, belakangan hari tersandung tindak kriminal. Keduanya ditangkap
aparat kepolisian karena menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung.
Meski cuma menempuh pendidikan sampai kelas tiga SMP,
Azwar Kaili pada masa itu dikenal sebagai tenaga kesehatan (mantri
swasta) yang merangkap sebagai penjual obat. Keterampilan sebagai mantri
kesehatan termasuk suntik-menyuntik dan pengobatan, diperolehnya
melalui seorang mantri kesehatan yang di desa Sidorejo.
Nasib baik rupanya berpihak kepada Azwar Kaili, sehingga kiprahnya
sebagai mantri kesehatan kian berkembang. Apalagi Azwar beristrikan
seorag bidan, sehingga mendongkrak tingkat kepercayaan masyarakat
sekitar terhadap kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan. Lebih jauh,
Azwar dan istrinya mendirikan klinik kesehatan dan bersalin. Kiprah
Azwar sebagai mantri kesehatan semakin diterima masyarakat karena ia
tidak pasang tarif resmi, tetapi disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Sebenarnya masyarakat sudah mulai tahu bahwa praktek Azwar Kaili
sebagai mantri kesehatan tergolong ilegal. Namun karena selama ini tidak
terjadi masalah, dan tidak ada patokan tarif, maka terjadilah proses
pembiaran yang berlangsung lama. Apalagi Azwar bertutur kata lembut dan
termasuk orang lama di Sidorejo.
Namun demikian, sejumlah mantri kesehatan di kawasan itu merasa
bertanggung jawab terhadap etika profesi dan keselamatan masyarakat
khususnya di bidang kesehatan, karena Azwar Kaili bukan mantri kesehatan
yang berlisensi. Akhirnya, didorong oleh rasa tanggung jawab itu
sejumlah tenaga kesehatan di sana melaporkan kiprah Azwar ke Kecamatan.
Akhirnya, Azwar Kaili diperiksa pihak Kecamatan, kemudian
dipersilakan pulang, setelah pemeriksaan dianggap cukup. Ketika Azwar
pulang, pecah kasus Sidorejo yang merupakan bagian dari kasus Talangsari
(7 Februari 1989). Menurut keterangan dari Zamzuri, ketika itu istri
Azwar ikut aktif menangani korban luka yang tergeletak di depan rumah
Zamzuri. Oleh para mantri kesehatan yang sebelumnya sudah tidak berkenan
dengan kiprah Azwar Kaili, maka peristiwa itu dijadikan alasan untuk
melaporkan keterlibatan Azwar di dalam kasus Sidorejo. Maka, Azwar pun
akhirnya ikut dibawa ke kantor Korem Garuda Hitam.
Setiba di kantor Korem Azwar Kaili mendapati sejumlah orang yang
selama ini dikenalnya, seperti Sugeng Yulianto (salah seorang jama’ah
Warsidi) sedang diperiksa pihak aparat. Selain Sugeng, Azwar Kalili juga
mendapati Zamzuri sedang diperiksa aparat. Berdasarkan keterangan dari
Zamzuri bahwa Azwar tidak tahu menahu dan tidak terlibat kasus Sidorejo
dan Talangsari, maka pihak aparat Korem pun membebaskannya.
Menurut Zamzuri kala itu, Azwar Kaili sama sekali tidak terlibat
peristiwa Sidorejo dan Talangsari. Ketika peristiwa itu terjadi, Azwar
Kaili sedang menjalani pemeriksaan di kantor kecamatan sehubungan dengan
pengaduan Dahlan (mantri kesehatan setempat), yang melaporkan praktek
ilegal yang dilakukan Azwar Kaili. Rumah Azwar Kaili juga tidak terbakar
atau dibakar, tetapi dijarah dan dirusak massa yang marah pasca
terbunuhnya Lurah Arifin Santoso dan Kapospol Serma Sudargo di rumah
Zamzuri yang berdekatan dengan rumah Azwar Kaili.
Di era reformasi, ketika kebebasan berekepsresi terbuka lebar, maka
sejumlah LSM seperti Kontras dan Komite Smalam, memanfaatkan kondisi ini
untuk mencari-cari celah berkiprah dengan cara mengungkap kasus masa
lalu seperti kasus Talangsari. Media massa ikut meramaikan kiprah
Kontras dan Smalam. Azwar berada dalam putaran arus kebebasan
berekspresi ini. Maka, Azwar Kaili pun mendatangi Kontras dan SMALAM
seraya membawa pernyataan bahwa dia adalah salah satu korban kasus
Talangsari.
Gayung pun bersambut. Kontras dan Komite Smalam menjadikan Azwar
sebagai dasar berpijak mengajukan tuntutan. Azwar ditampilkan
seolah-olah merupakan korban kasus Talangsari yang telah mengalami
penyiksaan luar biasa. Kontras dan Komite Smalam telah menjadikan korban
palsu sebagai dasar berpijak. Dasar berpijak yang rapuh, yang hanya
membuat Kontras dan Komite Smalam terperosok ke kubangan penuh dusta dan
sandiwara.
Padahal, sebagaimana keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum
Arifin Santoso (Lurah Sidorejo) yang gugur dalam kasus Sidorejo, Azwar
Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi korban peristiwa Sidorejo. Ketika
kasus Sidorejo terjadi, Azwar Kaili tidak ada di rumah maupun di lokasi
kejadian. Meski demikian Azwar beberapa kali menerima uang ‘duka’ dari Hendropriyono karena seorang anak angkatnya, Warsito, konon tewas di Talangsari.
Jayus alias Dayat bin Karmo
Dalam kasus Talangsari, Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan
diposisikan sebagai orang kedua setelah Warsidi. Berkat kedermawanan
Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki lahan seluas satu setengah
hektare. Tanah itu dihibahkan Jayus kepada Warsidi dengan tujuan jelas,
membangun komunitas Islami di Cihideung.
Semula, dukuh Cihideung hanya dihuni oleh keluarga Warsidi dan
keluarga Jayus, serta beberapa kerabat dekat mereka. Cihideung yang
semula sepi kemudian berubah menjadi pedukuhan yang ramai, setelah
dihuni para muhajirin dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) yang sengaja hijrah ke cihideung dengan membawa anggota keluarga masing-masing.
Ketika itu, jilbab masih terlihat aneh di mata orang kebanyakan.
Sedangkan muslimah yang datang dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) itu
termasuk yang aktif mengenakan busana muslimah dengan gamis lebar dan
kerudung lebar. Masyarakat sekitar tidak hanya memandangnya dengan rasa
aneh, tetapi juga memendam kecurigaan. Sejumput kecurigaan yang ada di
dalam benak masyarakat kian membesar ketika Warsidi sebagai pimpinan
komunitas sama sekali tidak melaporkan kedatangan para muhajirin dan
keluarganya itu kepada aparat desa terdekat. Akhirnya, dilandasi
kecurigaan yang kian membuncah, masyarakat sekitar pun melaporkan
keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat desa.
Kian hari masyarakat sekitar kian curiga. Bahkan beredar isu negatif
tentang sepak-terjang komunitas Warsidi. Dalam rangka merespon isu
negatif itu, maka Jayus bersama sejumlah jama’ah Warsidi lainnya
mendatangi rumah Sukidi Haryono (Kepala Dusun Talangsari III). Jayus dan
kawan-kawan mendatangi Sukidi dengan berbekal senjata berupa parang,
seraya mengancam Sukidi agar tidak bertindak yang dapat merugikan
jama’ah Warsidi, misalnya melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada
pihak aparat keamanan.
Menurut kesaksian Sukidi, beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari
meletus (awal Februari 1989) silam, sejumlah anggota jama’ah Warsidi
menebar ancaman akan membunuh dirinya yang dianggap telah membocorkan
semua kegiatan jama’ah Warsidi kepada pemerintah. Mereka, antara lain
Jayus, Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang kala itu baru
berusia 16 tahun).
Setelah peristiwa itu, menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri
warganya, bahwa ia akan dibunuh oleh Jama’ah Warsidi. Isu itu
sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi dan keluarganya
mengungsi ke rumah Kades Amir Puspamega. Situasi kian memanas, karena
jama’ah Warsidi melarang warga melakukan rodan dan menyalakan senter.
Warga pun resah. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak
dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan dan Kopda Abdurahman melakukan
ronda malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal tanggal 5 Februari
1989 malam).
Saat ronda, mereka memergoki lima orang tak dikenal sedang
berjaga-jaga di pos masing-masing sambil membawa senjata berupa pedang
dan panah. Mengetahui itu mereka lalu meringkus kelima orang tersebut,
yang ternyata anggota Jama’ah Warsidi. Kelimanya kemudian dibawa ke
Koramil Way Jepara.
Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan
berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan pedukuhan
Cihideung sebagai basis perjuangan. Dihibahkannya tanah seluas satu
setengah hektare merupakan bukti kongkrit keseriusan Jayus dalam hal
ini.
Pada tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras
dan Komite Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus
bersama enam orang yang diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap
LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Padahal,
sebelumnya, pada tahun 2000, pada forum ishlah nasional yang berlangsung
di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban
serta warga dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan Islah
Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan dan alasan
yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun
Talangsari untuk menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus
Talangsari; disamping untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di
antara para pelaku dan aparat beserta keluarganya masing-masing.
Jayus sejak saat itu nampaknya sudah banyak berubah menjadi petualang
politik yang punya motif komersial. Mungkin karena terdesak oleh
kebutuhan ekonominya yang meningkat. Dulu, Hendropriyono
pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah
miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir
Puspa Mega. Permintaan itu dipenuhi, dan Jayus sama sekali tidak
mengeluarkan uang sepeser pun.
Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang
mendapat putusan paling ringan, ia hanya menjalani masa penahanan
selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah almarhum
Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca:
berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu
sedang berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni.
Berkat informasi dari Jayus, banyak jama’ah Warsidi yang berhasil
ditangkap aparat. Karena telah berjasa, maka aparat Korem memperlakukan
Jayus sebagai tahanan sangat istimewa dibandingkan dengan perlakuan
aparat terhadap jama’ah Warsidi lainnya.
Karena menjalani hukuman paling ringan, maka Jayus sudah menghirup
udara bebas ketika sebagian besar jama’ah Warsidi yang tertangkap masih
meringkuk di dalam tahanan. Para napol kasus Talangsari
serendah-rendahnya divonis 10 tahun, sebagian lainnya bahkan divonis
seumur hidup.
Karena bebas lebih dulu, Jayus mempunyai peluang untuk
mengeksploitasi narapidana kasus Talangsari yang masih mendekam di
tahanan. Jayus menjual nama-nama korban dan narapidana kasus Talangsari
ke berbagai organisasi atau kepada perseorangan yang menaruh simpati.
Dengan dalih mengumpulkan dana untuk membantu para jama’ah Warsidi yang
masih berada di dalam penjara. Jayus meraih keuntungan dari kasus
Talangsari.
Begitu juga ketika sebagian narapidana kasus Talangsari masih berada di tahanan, Jayus termasuk yang merintis islah
dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah itu.
Bahkan Jayus sempat diberi kepercayaan untuk mengkoordinir gerakan islah
bagi para jama’ah Warsidi di Talangsari Lampung. Padahal, jama’ah yang
dimaksud itu sebenarnya anggota keluarga dan kerabat Jayus sendiri yang
belum tentu terlibat dalam kasus Talangsari. Ketika menghadap LBH,
yang dibawa Jayus juga anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, yang
diakui sebagai korban kasus Talangsari. Sebagai mantan pelaku kriminal,
naluri kriminal Jayus rupanya tetap hidup, meski ia bertahun-tahun
menjadi jama’ah Warsidi.
Terbukti, di kemudian hari ia berbalik arah melawan konsep islah yang
ia rintis. Jayus nampak seperti orang bingung. Faktanya, hanya Jayus
seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga
korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka
yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku
kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian
menolak kembali karena punya motif komersial.
Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh
keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini menyesali
sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut
dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya
yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih
ishlah sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga
korban dan anggota keluarganya sendiri.
Meski Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya.
Namun ia mampu membujuk sejumlah orang untuk mengaku sebagai mantan
anggota Jamaah, untuk dibawa menghadap LBH Lampung. Padahal, orang-orang
yang dibawanya itu, tak lain merupakan anggota keluarga Jayus sendiri,
yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena masih
berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus
Talangsari terjadi.
Mengapa Jayus mencla-mencle? Motifnya jelas urusan fulus. Ketika
proses islah berada dalam proses awal, Jayus telah mengajukan permintaan
sejumlah uang kepada Hendropriyono,
untuk dibagi-bagikan kepada (katanya) korban Talangsari. Dana yang
diminta Jayus sebesar sepuluh juta rupiah per orang, dengan alasan dana
itu akan digunakan sebagai modal usaha para korban dan keluarga korban
Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar
belakng Jayus, menolak permohon dana sebesar itu, karena beraroma
pemerasan.
Rupanya Jayus kecewa karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun
mengkhianati kesepakatan islah yang sudah disepakati sebelumnya. Di
luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta selalu menghalanginya bertemu
dengan Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan oleh Kontras dan Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan mengungkap kembali kasus Talangsari.
Untuk meyakinkan Kontras, Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk bergabung bersamanya mengajukan tuntutan ke Kantor Komnas HAM.
Agar warga Talangsari tertarik, Jayus mengumbar janji akan memberikan
sejumlah uang kepada mereka yang bersedia ikut ke Jakarta. Tipu-muslihat
Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari sudah enggan dan tak sudi
mengenang masa lalu yang getir. Akibatnya, Jayus hanya berhasil membawa
lima warga asli Talangsari untuk dibawa menuju Jakarta.
Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar
masyarakat Talangsari untuk ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan
disuruh mengaku sebagai korban Talangsari. Tipu-daya licik Jayus itu
ternyata membuat marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun
melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah Nasional).
Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa warga bukan asli Talangsari
untuk menghadap Komnas HAM di Jakarta.
Jayus tidak sekedar membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa
Suroso yang domisilinya berdekatan dengan tempat kejadian. Kelebihan
Suroso, ia pandai bicara dan lebih cerdas dibanding para korban
Talangsari palsu lainnya. Bila Suroso bisa diperalat Jayus, Sukidi tidak
demikian. Melalui Joko, Jayus berusaha membujuk Sukidi (mantan Kadus
Talangsari III) menjadi fasilitator pertemuan antara Jayus dan
Hendropriyono, namun tidak berhasil.
Sayang, Pak Sukidi tidak sudi karena menilai Jayus hanya memperalat
dirinya dan kasus Talangsari bagi kepentingan Jayus pribadi. (Keterangan
langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus Talangsari).
Pada tahun 2002, sekitar bulan September, salah seorang pelaku kasus
Talangsari, Sukardi, berkunjung ke Lampung, antara lain bersilarturahmi
ke kediaman Azwar Kaili di Sidorejo. Tak berapa lama, datang pula Jayus
dan Suroso. Karena menganggap Sukardi orangnya pak Hendro, Jayus
langsung menebar ancaman, bahwa pak Azwar akan diajaknya ke kantor
Komite Smalam dan kantor LBH Lampung untuk melaporkan penemuan barunya
berkaitan dengan kasus Talangsari. Ternyata, itu hanya sebuah gertak
sambal. Sebab intinya, Jayus dan Azwar Kaili minta dipertemukan dengan Hendropriyono.
Apabila pertemuan itu bisa terjadi, maka mereka akan menghentikan
segala tuntutan terhadap kasus Lampung, mencabut pula tuntutan Kontras
dan Komite Smalam. Sebaliknya, bila dalam waktu satu bulan tidak ada
konfirmasi positif, maka mereka akan terus melakukan tuntutan terhadap
kasus Lampung bersama Kontras dan Komite Smalam. Rupanya, bukan hanya
Purwoko dan Suroso yang berhasil diperalat Jayus, juga Kontras dan
Komite Smalam.
Pada kesempatan itu, Sukardi juga berusaha bertemu dengan sejumlah
orang yang ditenteng-tenteng Jayus menghadap LBH, dan diakui sebagai
korban kasus Talangsari. Mereka adalah Gono, Sutris, Cipto, Paimun, Budi
Santoso, Mardi, Surip dan Kasman. Ternyata, tidak satu pun dari mereka
yang dikenal Sukardi. Mereka memang bersedia dilibatkan dalam “proyek”
yang direkayasa Jayus, untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan janji
yang pernah diumbar Jayus.
Begitulah kenyataannya. Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal,
dulu ia bercita-cita mendirikan negara Islam, mendirikan Islamic Village
di Cihideung.
Sugeng Yulianto
Sugeng Yulianto merupakan salah satu anggota pasukan khusus yang
terlibat di dalam episode pembajakan bus “Wasis” dalam rangkaian kasus
Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana seumur hidup. Lulusan
STM ini, dalam drama pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai sopir, dan
merupakan salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah Warsidi
yang ditugaskan oleh imamnya untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung,
sebagai upaya mengalihkan perhatian petugas.
Pria kelahiran Solo tahun 1959 ini, merupakan anggota Jama’ah Warsidi
khususnya di cabang Sidorejo pimpinan Pak Sediono. Ia menjadi bagian
dari Jama’ah Warsidi didorong oleh kesadarannya sendiri.
Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang
No. 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989, dijatuhi pidana
penjara selama seumur hidup. Namun berkat dorongan kawan-kawan dan
perjuangan Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH, maka Presiden Habibie memberikan grasi kepada napol kasus Talangsari melalui Kepres Nomor: 101/0 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1999.
Perjuangan Hendropriyono
membebaskan napol kasus Talangsari bisa dilihat melalui surat no.
R-028/Mentras/08/1998 tanggal 21 Agustus 1998. Isinya, Menteri
Transmigrasi dan PPH memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban
Peristiwa Lampung kepada Presiden Republik Indonesia.
Selain melalui surat, Hendropriyono juga melobi langsung Jaksa Agung
RI, yang waktu itu jabat oleh Mayjen AM. Ghalib, Menteri Kehakiman
Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua MA, Sarwata. Hasilnya,
Jaksa Agung RI melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23
September 1998 turut menyarankan kepada Presiden untuk menyetujui
permohonan Menteri Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol peristiwa
Lampung atas nama Fauzi dkk.
Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung,
melalui suratnya No: R-311/ M. Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober 1998
berkirim surat kepada Menko Polkam, Menteri Kehakiman, Menteri
Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang petunjuk
Presiden agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol peristiwa
lampung atas nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.
Ketika kasus Talangsari terjadi (Februari 1989), usia Sugeng Yulianto
sudah memasuki angka 30. Ia bukan anak-anak lagi. Sehingga,
keterlibatannya menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi merupakan keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkannya.
Alasan yang mendasari Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di
Sidorejo, karena tertarik oleh bujukan Soleh, kawannya, yang mengatakan
bahwa di Lampung selain mudah mencari nafkah, juga dapat menjalankan
ajaran Islam dengan lebih baik. Namun di dalam persidangan, Sugeng
Yulianto pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan orang-orang
yang melakukan huru-hara di Tanjungkarang karena dipaksa oleh kelompok
Warsidi. Bila tidak mau, dirinya akan dibunuh.
Tardi Nurdiansyah
Meski usianya masih belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989),
namun Tardi merupakan salah satu jama’ah Warsidi yang tergolong militan.
Ia juga ikut ke dalam rombongan yang melakukan ancaman dan teror kepada
Sukidi Haryono (Kadus Talangsari III). Tardi Nurdiansyah yang lahir di
Karanganyar (Jawa Tengah) dan pernah menempuh pendidikan di Pondok
Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini, merupakan salah satu dari
sebelas orang yang ditugaskan Warsidi membebaskan kawan-kawan mereka
yang ditangkap aparat Koramil.
Sejak masih di Jakarta, Tardi sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh
pelaku kasus Talangsari. Bahkan sosok Warsidi sudah dikenalnya dengan
baik sebelum pecah kasus Talangsari. Keakrabannya dengan Warsidi membuat
Tardi memutuskan untuk hijrah ke Lampung. Apalagi, di Cihideng ada
kakaknya yang sudah lebih dulu berdiam di sana. Di Cihideng Tardi
merasakan suasana yang sama dengan Ponpes Ngruki tempat ia menempuh
pendidikan. Berbekal pendidikan di ponpes Ngruki, Tardi pun mengamalkan
ilmunya, mengajar mengaji bagi orang-orang di sekitar itu.
Dalam pandangan Tardi, kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi,
adalah gerakan untuk membangun masyarakat dengan suasana Islam, dan
tidak ada maksud untuk melakukan pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas
Warsidi dan pengajiannya adalah untuk menapat ridho Allah
(mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam, meski
pengetahuan agama Warsidi belum sehebat ulama di Solo yang pernah
dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya yang eksklusif mengakibatkan
aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap
pemerintah.
Tardi juga berpendapat, kasus Talangsari bukan sesuatu yang
direncanakan, tetapi hanya insiden atau musibah saja, sebagai akibat
dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi dengan aparat desa
(pemerintah) dan warga sekitar. Menurut pengakuan Tardi, pada saat
kejadian, dia sedang berada di Rajabasalama dan dalam perjalanan pulang
ke Cihideung untuk menemui kakaknya. Namun ketika sampai di daerah
Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Padahal sebenarnya, ia
anggota pasukan khusus yang mengemban tugas membebaskan lima Jama’ah
Warsidi yang ditahan aparat. Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas
dipecah tiga. Tardi satu kelompok dengan Fadilah, berada di kelompok
kedua.
Sebagaimana Sugeng Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang
Nomor 1027 Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana
penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara bebas di masa
Presiden Habibie, bersama sejumlah napol kasus Talangsari lainnya.
Pengakuan Tardi yang cenderung apologis itu ada kalanya dijadikan
dasar bertindak bagi LSM tertentu untuk memposisikan kasus Talangsari
sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Sikap Tardi bisa dimaklumi,
karena ketika kasus Talangsari terjadi, ia masih berusia belasan, namun
harus menerima vonis 17 tahun, di Nusakambangan pula.
Yang tidak bisa dimengerti adalah sikap Jayus alias Dayat bin Karmo,
yang menjadi orang kedua setelah Warsidi di komunitas Cihideung. Ia
menerima vonis yang ringan, meski pernah terlibat mengancam aparat
dusun. Bahkan ketika sebagian besar jama’ah Warsidi dalam gundah gulana
di dalam pelarian, Jayus justru sudah menjadi bagian dari aparat yang
ketika itu gencar menangkapi jama’ah Warsidi. Tentu aneh jika di
masa-masa tenang, dan mereka yang terlibat kasus Talangsari berusaha
kuat melupakan masa lalunya yang getir, Jayus justru berusaha mengungkit
kasus itu kembali, hanya semata-mata untuk mendapatkan keutungan
materiel.
Bahkan, lebih jauh, Jayus memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk
memenuhi hajat kriminalnya. Ia memperalat Suroso, tetangganya, dan
Purwoko, kemenakannya.
Suroso dan Purwoko
Suroso sebenarnya sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun
Sidorejo. Ketika kasus Talangsari terjadi, usia Suroso baru sebelas
tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu menahu soal kasus Talangsari.
Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Kebetulan, kediaman orangtua
Suroso tidak jauh dari tempat kejadian. Meski berdekatan dengan lokasi
kejadian, Suroso dan orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah Warsidi, dan
tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas Jama’ah Warsidi. Namun
demikian, orangtua Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan Warsidi
yang menjadi tetangganya.
Karena bertetangga dengan Warsidi, maka pada saat terjadinya kasus
Talangsari, rumah orangtua Suroso dirusak dan dijarah oleh penduduk
sekitar, akibat salah sangka. Warga sekitar menduga, keluarga orangtua
Suroso merupakan salah satu provokator terjadinya kasus Talangsari.
Terjadinya perusakan sekaligus penjarahan terhadap rumah orangtua
Suroso, karena sepengetahuan warga, keluarga Suroso dikenal sebagai
mantan anggota parpol terlarang (PKI). Warga juga menilai, kedekatan
keluarga orangtua Suroso dengan Warsidi membuat mereka memposisikan
keluarga orangtua Suroso sebagai musuh bersama. Apalagi, ketika itu,
emosi warga belum sepenuhnya terlampiaskan, sehingga pelampiasan
disalurkan kepada keluarga orangtua Suroso.
Nama dan sosok Suroso yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan
kasus Talangsari, tiba-tiba menyeruak begitu saja berkat peran Jayus
yang melibatkannya dalam sebuah aksi bersama Komite Smalam dan Kontras
untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Dalam momen ini, Suroso yang
pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru bicara oleh Jayus. Suroso
mau diperalat Jayus karena diiming-imingi imbalan (materi).
Selain Suroso, yang juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya
sendiri. Ayah Purwoko bernama Supardi, merupakan salah satu korban
tewas pada kasus Talangsari (Februari 1989). Kepada Radar Solo beberapa
tahun lalu, ia pernah mengakui bahwa dirinya masih berusia 11 tahun
ketika kasus itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan salah seorang
yang memposisikan dirinya sebagai korban (dan keluarga korban) yang
menyepakati proses islah yang digagas Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia
ikut islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya. Belakangan, Jayus
pula yang menenteng-nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin
persekongkolan dengan Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali
kasus Talangsari.
Pada tanggal 6 Februari 1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah
Marsudi, Purwoko sedang berada di lokasi Cihideung. Namun pasca
tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa orangtuanya ngungsi ke rumah
Jayus, pamannya. Rumah Jayus berdekatan dengan pondok. Sementara itu,
ayah Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan yang sudah
direncanakan.
Ketika aparat Korem Garuda Hitam menyerbu Cihideng (7 Februari 1989),
Purwoko sedang bersiap-siap untuk shalat Subuh. Ketika itu, Purwoko
mendengar bunyi rentetan tembakan senapan tentara berkumandang dari arah
selatan Dusun Talangsari. Warga berhamburan ke luar rumah untuk melihat
apa yang terjadi. Keinhinan serupa juga ada di dalam hati Purwoko,
namun sang ibu (Saudah), menyuruh Purwoko dan kedua adiknya untuk
bersembunyi di kolong tempat tidur.
Saat itu, di rumah Jayus, ada sekitar 13 wanita dan anak-anak
(termasuk Purwoko) yang bersembunyi. Tak berapa lama, Purwoko mendengar
suara Muhamad Ali alias Alex yang berteriak memanggil mereka yang
sembunyi agar keluar, karena rumah akan dibakar tentara. Dalam hitungan
menit, Purwoko dan keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah itu,
Purwoko dan keluarga digiring ke halaman sebuah rumah yang berjarak 100
meter arah timur pondok. Di tempat itu, telah berkumpul puluhan wanita,
anak-anak, serta orang tua.
Karena Jayus merupakan orang penting, maka ia dicari-cari tentara.
Ketika itu, tentara menduga Jayus sudah mati tertembak. Padahal, Jayus
bersembunyi di suatu tempat. Karena Purwoko dianggap dapat mengenali
sosok Jayus, tentara pun membawa Purwoko untuk mengenali sejumlah jasad
korban. Namun jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko justru menemukan jasad
Supardi, ayah kandungnya.
Tak berapa lama kemudian, karena (jasad) Jayus tidak ditemukan,
Purwoko dan keluarga dibawa ke Markas Komando Resor Militer (Korem) 043
Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia bertemu Jayus, pamannya, yang
ternyata masih hidup. Selang sehari kemudian, Purwoko, adik-adiknya, dan
ibunya dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim Piatu Lempasing
Padang Cermai. Di tempat itu, ia kembali bertemu dengan teman-teman dan
tetangganya yang sebelumnya ikut digiring ke Makorem Garuda Hitam.
Pada awal 1990, ibunya membawa mereka kembali ke Solo. Di sana,
Purwoko dipercaya merawat rumah kos milik seorang temannya di bilangan
Sriwedari, Solo. Sejak 1997, Purwoko ke Jakarta untuk menyelesaikan
sekolah. Informasi terakhir, Purwoko sempat bekerja di toko besi di
daerah Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kalau Jayus benar-benar mati tertembak peluru tentara pada peristiwa
Talangsari waktu itu, sudah pasti Purwoko tidak akan memainkan peran
yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus Talangsari dan tampil di
media massa untuk mengajukan tuntutan. Padahal, dulu, Jayus pula yang
membawa-bawanya untuk ikut proses islah.
Fauzi Isman dan Islah
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah
Warsidi, ISLAH sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya,
Riyanto tidak paham mengapa islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan
ditentang oleh orang Islam sendiri. Belakangan, barulah ia tahu,
kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu
sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.
Sebagaimana diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan
jama’ah Warsidi (mantan napol kasus Talangsari) dengan aparat keamanan
(termasuk Hendropriyono), ada peranan Drs. AMF dan Drs. AYW yang sama
sekali tidak terkait kasus Talangsari. Kedua tokoh ini di mata umat
Islam, terutama kalangan pergerakan Islam, dianggap bermasalah.
Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius sekaligus diduga
lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya. Apalagi, dari pihak pelaku
kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara
Fauzi Isman. Sosok ini terbukti juga bermasalah.
Pada mulanya, gagasan islah sama sekali belum muncul. Hendropriyono
dalam kapasitasnya sebagai tokoh nasional yang kebetulan menjabat
sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH ketika itu, berinisiatif menjalin
tali silaturahmi dengan para napol kasus Talangsari, korban, dan
keluarganya. Drs. AMF diminta bantuannya sebagai mediator. Belakangan,
Drs. AMF mengajak serta Drs. AYW yang sebelum pecah kongsi merupakan
teman baik.
Undangan silaturahmi dari Hendropriyono yang dibawa oleh Drs. AMF
kemudian disampaikan kepada Fauzi Isman. Maka, terjadilah pertemuan
(silaturahmi), antara Hendropriyono dengan sejumlah pelaku kasus
Talangsari seperti Fauzi Isman, Sudarsono, Sukardi, Maulana Abd Latif,
dan sebagainya. Pertemuan (silaturahmi) yang berlangsung sekitar awal
Mei 1998 itu, berlangsung di kantor Departemen Transmigrasi dan PPH.
Pada kesempatan ini, Drs. AMF sebagai mediator turut hadir.
Ketika itu, Fauzi Isman memposisikan diri sebagai jurubicara. Salah
satu usulannya adalah meminta bantuan Hendropriyono untuk mengusahakan
agar napol kasus Talangsari dibebaskan. Ketika itu, usulan Fauzi Isman
disambut baik oleh Hendropriyono. Namun demi memenuhi rasa keadilan,
maka Hendropriyono kala itu juga berinisiatif untuk mempertemukan antara
pelaku kasus Talangsari, korban kasus Talangsari dan keluarganya di
satu pihak dengan para keluarga korban dari pihak aparat. Dari sinilah
muncul gagasan islah yang dicetuskan oleh Fauzi Isman.
Bahkan ketika itu, Drs. AMF selaku mediator juga mengusulkan agar
pada pertemuan berikutnya diundang juga KH Gani Maskur dari Bima (NTB).
Usul tersebut disetujui, dan Drs. AMF dipercaya mengatur kedatangan KH
Gani Maskur dan lain-lainnya. Maka, pada bulan Juni 1998, terjadilah
pertemuan antara pelaku Talangsari, korban dan keluarganya baik dari
pihak aparat maupun dari pihak sipil.
Sukardi, yang sudah ikut silaturahmi sejak Mei 1998, belakangan
berseberangan, dan bahkan bergabung dengan Kontras untuk mengungkap
kembali kasus Talangsari. Hal itu bisa terjadi, karena antara Sukardi
dengan Fauzi Isman terjadi perbedaan pendapat. Barulah pada tahun 2002,
Sukardi menyadari kekeliruannya, dan kembali berislah secara pribadi
dengan Hendropriyono, seraya meninggalkan Kontras.
Hendropriyono sebenarnya menaruh kepercayaan yang begitu tinggi
terhadap Fauzi Isman, untuk mengurusi aspek kesejahteraan para jamaah
Warsidi. Sayangnya kepercayaan itu disalahgunakan oleh Fauzi. Ia
menfaatkan itu untuk kepentingan pribadinya. Antara lain, Fauzi
merekayasa sebuah proposal yang ditujukannya kepada Hendropriyono, untuk
mendapat kucuran dana mendirikan sebuah perusahaan yang
direncanakannya. Proposal itu dipenuhi Hendropriyono. Dana tiga ratus
juta rupiah pun mengalir ke kantong Fauzi Isman. Dana sebanyak itu bisa
mengucur, berkat jaminan sertifikat rumah Hendropriyono.
Namun, setelah dana mengucur dan perusahaan telah berdiri, ternyata
Fauzi sama sekali tidak memperhatikan nasib para jama’ah Warsidi.
Beberapa orang jama’ah yang bekerja di perairan laut Banten pada sebuah
perahu pencari ikan tidak menerima gaji sebagaimana kesepakatan
sebelumnya.
Arifin bin Karyam, yang bekerja di perahu ikan, tidak digaji selama
tiga bulan oleh Fauzi, sementara itu Fauzi Isman sulit sekali ditemui.
Akhirnya Arifin bin Karyam meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke
Brebes, Jawa Tengah meski tidak membawa gaji yang menjadi haknya.
Bisnis Fauzi Isman di perairan laut Banten yang mempekerjakan
beberapa orang jama’ah Warsidi (termasuk Arifin bin Karyam), mengalami
kerugian karena manajemen buruk dan Fauzi ingkar janji. Fauzi juga
dinilai tidak memiliki itikad baik untuk meningkatkan kesejahteraan
jama’ah Warsidi seperti diamanahkan Hendropriyono. Karena tidak mendapat
keuntungan dari perusahaan yang didirikannya itu, Fauzi Isman pun
berkelit. Bahkan ia lari dari tanggung-jawab. Lebih jauh dari itu, Fauzi
mengkhianati gerakan islah yang dicetuskannya sendiri. Fauzi kemudian
meminta dukungan Kontras dalam melakukan serangan terhadap
Hendropriyono, dengan alasan mengungkap kasus Talangsari yang
dikatakannya sebagai pelanggaran HAM.
Sebelumnya, Fauzi bersama Nur Hidayat mendirikan Koramil (Korban
Kekerasan Militer). Lembaga ini dibentuk lewat sebuah jumpa pers di
Kantor LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) di Jakarta.
[hudzaifah/wikipedia/dbs/voa-islam.com]
Melawan Lupa (3): 'License To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989
Berita Terkait
- Pernyataan Sesat PDIP : Mau Masuk Surga Pilih Jokowi, Kalau Tidak Masuk Neraka
- Melawan Lupa (9): PKI, Jokowi & Hendropriono Telah Menyandera Megawati
- Dihacked, Ini Bantahan Antara yang Tak Beritakan 'Rakyat Palestina Doakan Jokowi'
- Jadi 'Herder' Jokowi, Jokowi: Pasti Ruhut Ada Sesuatunya Karena Dulu Nyerang
Senin, 26 Sya'ban 1435 H / 9 Juni 2014 04:11 wib
23.405 views
Melawan Lupa (3): 'License To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/09/30828/melawan-lupa-3-license-to-kill-muslim-talangsari-lampung-1989/#sthash.znfM4BXw.dpbs
Saat itu, tepatnya tahun 1989 diluar negeri sana tengah rilis
film terbaru agen intelijen asal Inggris, James Bond. Film James Bond
dengan judul "License To Kill" tengah hangat diperbincangkan.
Entah suatu kebetulan atau tidak pada tema dengan kejadian yang menimpa
umat Islam di Indonesia pada tahun yang sama.
Nampaknya tidak, karena film James Bond 'License To Kill" dirilis
pada saat musim panas 'summer' di pertengahan tahun di negeri-negeri
barat sedangkan musibah kemanusiaan dan tragedi berdarah Talangsari
terjadi di awal tahun 1989 justru lebih dulu terjadi, yaitu tepatnya
pada bulan Februari 1989.
Lalu apa hubungannya?
Peristiwa Talangsari mengingatkan kita pada salah satu pelanggaran berat atas Hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Kekerasan militer yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah
merupakan bentuk tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari
kebijakan-kebijakan pemerintahan Suharto. Hal ini bisa dilihat pada
proses penanganan yang dilakukan pemerintah yang cenderung membenarkan
berbagai cara yang digunakan dari mulai penangkapan, penyiksaan,
penahanan, pengadilan, dan puncaknya adalah adanya serangan militer
yang dilakukan pada perkampungan tersebut.
Peristiwa yang terjadi di Lampung Tengah tersebut terjadi akibat
kecurigaan pemerintah orba Rezim Soeharto dan LB Moerdani terhadap
pengajian Islam. Kemudian pemerintah mengambil jalan kekerasan sebagai
alternatif penyelesaian atas permasalahan tersebut.
Berikut Kronologis Talangsari, 1989 :
~Januari Minggu kedua tahun 1989~
Saat itu terjadi perpindahan sejumlah warga dari kota Solo, Boyolali, Sukoharjo, Jakarta dan beberapa tempat di Jawa Barat ke Dusun Cihideung, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah.
~Rabu, 12 Januari 1989~
Lewat surat bernomor 25/LP/EBL/I/1989, Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega, setelah mendapat informasi dari Kepala Dusun (Kadus) Talangsari, Sukidi dan kaum melaporkan kegiatan jama’ah Talangsari yang disebutnya sebagai pengajian yang dipimpin Jayus dan Warsidi tanpa ada laporan ke pamong setempat ke Camat Way Jepara, Drs. Zulkifli Maliki. Surat ditembuskan ke Danramil dan Kapolsek Way Jepara.
Hari itu juga Camat Way Jepara membalas surat Kades Rajabasa Lama lewat surat bernomor 451.48/078/09/331.1/1989 yang memerintahkan 3 hal, yaitu
1. Kades agar menghadap Camat hari ini juga dengan membawa 4 orang yang namanya tercantum dibawah ini.
2. Orang-orang tersebut adalah: Jayus, Warsidi, Mansur (warga setempat) dan Sukidi (Kadus Talangsari III).
3. Kades harus menghentikan dan melarang adanya kegiatan pengajian tersebut. Apalagi mendatangkan orang-orang dari luar daerah yang tidak diketahui/sepengetahuan pemerintah.
4.Surat yang akhirnya diantar oleh Sukidi tersebut juga ditembuskan kepada Danramil dan Kapolres Way Jepara.
~Jum'at, 20 Januari 1989~
Warsidi mengirim surat balasan yang isinya menjelaskan 3 hal:
1. Tidak bisa hadir dengan alasan kesibukan memberi materi pengajian di beberapa tempat.
2. Memegang hadits yang berbunyi “Sebaik-baiknya umaro ialah yang mendatangi ulama dan seburuk-suruknya ulama yang mendatangi umaro.”
3. Mempersilahkan camat untuk datang mengecek langsung ke Cihideung agar lebih jelas.
~Sabtu, 21 Januari 1989~
Warsidi menjelaskan orang-orang yang datang ke Talang Sari kepada Camat, Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari beserta staf pamong praja seluruhnya sekitar 7 orang yang pada saat itu datang meninjau lokasi transmigrasi di Talang Sari.
Pertemuan yang berakhir dengan baik dan memenuhi keinginan yang dimaksud oleh kedua belah pihak, membicarakan konfirmasi camat soal surat balasan Warsidi dan ditutup dengan undangan camat kepada warsidi.
~Minggu, 22 Januari 1989~
Tengah malam, Sukidi, Serma Dahlan AR dan beberapa orang aparat keamanan mendatangi perkampungan, Sukidi dan Serka Dahlan yang bersenjata api masuk ke Musholla al Muhajirin tanpa membuka sepatu laras dan Serma Dahlan AR mencaci maki, mengumpat dengan perkataan “ajaran jama’ah itu bathil, menentang pemerintah, perkampungannya akan dihancurkan” bahkan mengacungkan senjata api dan menantang para jama’ah.
Sekitar 10-an orang jama’ah yang antara lain terdiri dari Arifin, Sono, Marno, Diono, Usman berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Setengah jam kemudian melihat tidak ada respon dari jama’ah, kedua aparat tersebut pergi meninggalkan musholla.
~Kamis, 26 Januari 1989~
Kepala Desa Labuhan Ratu I melayangkan surat bernomor 700.41/LI/I/89 Camat Zulkifli soal Usman, anggota jama’ah Warsidi yang dianggap meresahkan pondok pesantren Al-Islam.
~Jum’at, 27 Januari 1989~
Camat Zulkifli mengirim surat bernomor 220/165/12/1989 kepada Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Sutiman untuk meneliti Usman, Jayus dan Anwar yang dalam surat tersebut menurut mereka ketiga orang tersebut mengadakan kegiatan mengatasnamakan agama tanpa sepengetahuan pemerintah.
Dalam surat yang ditembuskan ke Kapolsek dan Kepala KUA Way Jepara, Kades Labuhan Ratu I dan Rajabasa Lama
~Sabtu, 28 Januari 1989~
Kapten Sutiman memerintahkan Kades Labuhan Ratu I, Kades Lanuhan Ratu Induk dan Kades Rajabasa Lama lewat surat bernomor B/313/I/1989 agar menghadapkan ketiga orang jama’ah tersebut pada hari Senen, 30 Januari 1989 atau selambat-lambatnya 1 Februari 1989.
Surat yang ditembuskan kepada Dandim 0411 Metro, oloto pimpinan kecamatan Way Jepara dan Kepala KUA Way Jepara meminta Sukidi untuk menyerahkan daftar nama-nama jema’ah yang pernah dicatatnya bersama Bagian Tata Usaha Koramil 41121 Way Jepara.
~Minggu, 29 Januari 1989~
Jama’ah memperoleh informasi mengenai keputusan Muspika untuk menyerbu perkampungan jama’ah di Cihideung dari Imam Bakri, Roja’I suami ibu lurah Sakeh, salah seorang lurah yang mengikuti pertemuan tersebut. Informasi itu juga diterima jama’ah lainnya yaitu: Joko dan Dayat lewat salah seorang anggota Koramil 41121 Way Jepara yang mengingatkan bahwa dalam minggu-minggu ini perkampungan akan diserbu.
Tak lama kemudian Jayus, salah seorang jama’ah menyaksikan Kepala desa Cihideung dan masyarakat yang berada disekitar perkampungan mengungsi karena tidak merasa melanggar peraturan, jama’ah tetap tinggal di Cihideung untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan, jama’ah melaksanakan ronda malam.
~Rabu, 1 Februari 1989~
Kades Rajabasa Lama mengirim surat dengan nomor 40/LP/RBL/1989 kepada Danramil 41121 Way Jepara, Kapt. Sutiman yang meminta untuk membubarkan pondok pesantren jama’ah dengan alasan pengajian gelap dan para anggota jama’ah telah menanti kedatangan aparat untuk memeriksa mereka dengan mempersiapkan bom Molotov. Surat tersebut ditembuskan kepada Kapolsek dan Camat Way Jepara.
Mendapat surat tersebut Kapt. Sutiman langsung menyurati Dandim 0411 Metro dengan nomor surat B/317/II/1989 yang isinya antara lain melaporkan informasi-informasi yang diterima, meminta petunjuk untuk mengambil tindakan dalam waktu dekat dan menyarankan agar menangkapi ke semua jema’ah pada waktu malam hari.
Surat tersebut ditembuskan kepada Muspika Way Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang, Kakansospol TK II Lampung Tengah dan Kakandepag TK II Lampung Tengah.
~Kamis, 2 Februari 1989~
Camat Zulkifli menyampaikan informasi lewat surat bernomor 220/207/12/1989 kepada Bupati KDH TK II dan Kakansospol Lampung Tengah yang melaporkan seluruh perkembangan yang mereka dapatkan dan aksi kordinasi dengan Muspika Way Jepara untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.
Pada saat yang sama di pondok Cihideung sekitar Pk 12.00 siang, anak lelaki tak dikenal dengan dengan ciri fisik sangat kekar singgah di pondok. Orang tersebut mengaku habis melihat ladangnya di sekitar Gunung Balak lengkap dengan golok dan pakaian petani yang biasa dikenakan anak lelaki.
Selama di perkampungan orang tersebut sempat makan dirumah Jayus, sholat dzuhur berjama’ah, mendengarkan ceramah di mushola Mujahidin dan bolak-balik ke rumah Jayus-Mushola. Jama’ah menyambut baik tanpa rasa curiga.
~Minggu, 5 Februari 1989~
Sekitar pukul 23.45 – petugas yang terdiri dari Serma Dahlan AR (Ba Tuud Koramil 41121 Way Jepara), Kopda Abdurrahman, Ahmad Baherman (Pamong Desa), Sukidi (Kadus Talangsari III), Poniran (Ketua RW Talangsari III), Supar (Ketua RT Talangsari III) dibantu masyarakat yaitu, Kempul, Sogi dan 2 orang lainnya menyergap salah satu pos ronda jama’ah.
7 orang jama’ah yaitu: Sardan bin Sakip (15 th), Saroko bin Basir (16 th), Parman bin Bejo (19 th), Mujiono bin Sodik (16 th), Sidik bin Jafar (16 tahun), Joko dan Usman ditangkap, Joko terluka parah dihantam popor senjata. Tapi kemudian Joko dan Usman berhasil meloloskan diri.
Malam itu juga, Warsidi dan sekitar 20-an jama’ah berkumpul dan mengirim 11 orang jama’ah: Fadilah, Heriyanto, Tardi, Riyanto, Munjeni, Sugeng, Muchlis, Beni, Sodikin, Muadi dan Abadi Abdullah untuk membebaskan kelima orang jama’ah yang ditangkap.
~Senin, 6 Februari 1989~
Pukul 08.30 – Serma Dahlan AR menyerahkan ke lima orang tersebut ke Kodim 0411 Metro. Kemudian Kasdim Mayor Oloan Sinaga mengirim berita ke Muspika dan melapor ke Danrem 043 Gatam tentang rencana penyergapan lanjutan ke Cihideung.
Pukul 09.30 – Kasdim bersama 9 anggotanya antara lain Sertu Yatin, Sertu Maskhaironi, Koptu Muslim, Koptu Sumarsono, Koptu Taslim Basir, Koptu Subiyanto dan Pratu Kastanto (pengemudi jeep), Pratu Idrus dan Pratu Gede Sri Anta, tiba di Rajabasa Lama.
Muspika menyampaikan situasi dan keadaan di lokasi Talangsari III, Kasdim oloto petunjuk dan pengarahan kepada rombongan sebelum berangkat ke lokasi.
Sekitar Pukul 11.00 – Rombongan bersama Muspika, Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari III dengan menggunakan 2 buah kendaraan jenis jip dan 5 buah sepeda motor Danramil Way jepara Kapten Sutiman, beserta 2 regu pasukannya, menyerbu Cihideung.
Tanpa didahului dialog dan memberikan peringatan terlebih dahulu, mereka menembaki perkampungan pada saat jama’ah baru tiba dari sawah dan oloto. Penyerbuan diawali dengan tembakan 1 kali dari rombongan aparat. Kemudian disambut pekik takbir oleh jama’ah.
Pekik takbir itu dibalas dengan tembakan beruntun oleh aparat. Melihat serbuan molotov, masyarakat yang masih berpakaian dan memegang alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, golok dan lain-lain berusaha mempertahankan diri.
Dalam penyerbuan yang berlangsung sekitar setengah jam. Kapten Sutiman tewas, sertu Yatin cedera, Mayor Sinaga dan pasukannya kabur, Jip dan 4 sepeda motor ditinggal dilokasi.
Dipihak jama’ah, dua orang cedera berat. Ja’far tertembak dan jama’ah dari Jawa Barat cedera dibacok Sutiman yang membawa senjata api dan senjata tajam sekaligus.
Pukul 12.30 – Rombongan Sinaga sampai di Puskesmas untuk menyerahkan Sertu Yatin lalu melaporkan kejadian tersebut ke Korem 043 Gatam dan Polres Lampung Tengah.
Pukul 14.00 – Fadilah mewakili kelompok 11 melaporkan kegagalan upaya pembebasan 5 orang yang disergap karena kesiangan.
Fadilah kemudian diperintahkan Warsidi ke Zamzuri di Sidorejo untuk mengabarkan:
berita serbuan Danramil dan terbunuhnya Kapt. Sutiman;
Instruksi untuk membuat aksi yang dapat mengalihkan perhatian aparat agar mereka dapat mengungsi dan menyelamatkan diri dari kemungkinan adanya rencana penyerbuah lanjutan.
Pukul 15.00 – Wakapolres Lampung Tengah bersama anggotanya tiba di Rajabasa Lama.
Pukul 17.00 – Kasrem 043 Gatam, Letkol Purbani bersama anggotanya tiba di Rajabasa Lama dan memimpin pengintaian. Pada saat yang sama, Fadila tiba di Sidorejo.
Pukul 18.00 – Bupati Lampung Tengah Pudjono Pranyoto bersama rombongan tiba di Rajabasa Lama.
Pukul 18.30 – Danrem 043 Gatam, Kolonel Hendropriyono beserta pasukan tiba di Rajabasa Lama.
Pukul 20.30 – 11 orang jama’ah mencarter Bus Wasis untuk digunakan sebagai transportasi ke Metro. Didalam bus tersebut jama’ah menemukan Pratu budi Waluyo. Setelah terjadi dialog, Pratu Budi mengaku berasal dari Way Jepara. Karena dianggap termasuk orang yang menculik 5 orang jama’ah anggota TNI itu dibunuh.
Mayatnya dibuang didaerah Wergen antara Panjang dan Sidorejo. Jema’ah juga mencederai supir dan kenek bus tersebut.
Pukul 24.00 – Riyanto melemparkan bom molotov ke kantor redaksi Lampung Pos yang memberitakan kasus secara tidak berimbang dan cenderung mendeskreditkan korban. Aksi tersebut juga memang di niatkan untuk mengalihkan perhatian aparat.
~Selasa, 7 Februari 1989~
Pukul 24.00 -- Terdengar 2 kali suara tembakan dari arah Timur. Sugeng (jama’ah Jakarta) membalas sekali tembakan dengan pistol yang ditinggal tewas Kapt. Soetiman.
Pukul 03.00 -- Salim seorang jama’ah yang melakukan ronda di pos sebelah selatan memergoki 2 orang tentara yang ingin mendekat ke lokasi jama’ah. Karena dipergoki kedua orang tentara tersebut melarikan diri.
Pukul 05.30 -- Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung dengan posisi tapal kuda. Dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) & timur (Kebon Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat yang ditumbuhi pohon singkong dan jagung dibiarkan terbuka.
Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat.Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jama'ah untuk meyelamatkan diri, jama'ah hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya. Tanpa ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai.
Pukul 07.00 -- Karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan yang dipimpin mantan menteri Transmigrasi Hendropriono ini berhasil menguasai perkampungan jama'ah dan memburu jama'ah.
Dalam perburuan itu, aparat memaksa Ahmad (10 th) anak angkat Imam Bakri sebagai penunjuk tempat-tempat persembunyian dan orang yang disuruh masuk kedalam rumah-rumah yang dihuni oleh ratusan jema’ah yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak.
Setelah menggunakan Ahmad, aparat berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.
Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.Setelah dikumpulkan ke-20-an ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki aparat “Ini istri-istri PKI”. Didepan jama’ah seorang tentara mengatakan “perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.
Pukul 07.30 -- Tentara mulai membakar pondok-pondok yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung, dengan memaksa Ahmad menyiramkan bensin dan membakarnya.
Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya yang masih hamil, remaja dan orang tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.
Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya yang masih hamil, mayat Pak Warsidi dan Imam Bakri ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10 th) dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri diantara mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.
Pukul 09.30 -- Setelah ditemukan, kedua mayat tersebut kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah dengan posisi kepala melewati tempat mayat tersebut diterlentangkan (mendengak-leher terbuka-). Tak berapa lama, seorang tentara kemudian menggorok leher kedua mayat tersebut.
Pukul 13.00 -- Kedua puluhan ibu dan anak-anak tadi kemudian berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa ke Kodim 0411 Metro .
Pukul 16.00 -- Hendropriyono mengintrogasi ibu-ibu tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan: Ikut pengajian apa? Apa yang diajarkan? Gurunya siapa? Dan menerangkan bahwa jama’ah Warsidi batil karena menentang Pancasila dan mengamalkan ajaran PKI.
Pukul 17.00 -- Jama’ah kemudian dimasukan ke dalam penjara.
Sementara di Sidorejo pada pagi harinya atas informasi, Sabrawi, supir bis Wasis, aparat bersama warga mengepung rumah Zamjuri. Bersama Zamzuri ada 8 orang jema’ah yaitu: Munjeni, Salman Suripto, Soni, Diono, Roni, Fahrudin, Isnan dan Mursalin Karena dituduh perampok oleh aparat, terjadilah bentrok dengan Polsek Sidorejo. Serma Sudargo (Polsek Sidorejo), Arifin Santoso (Kepala Desa Sidorejo) tewas.
Dipihak jama'ah, Diono, Soni dan Mursalin tewas, sedangkan Roni terluka tembak.
~Kamis, 9 Februari 1989~
Pukul 08.40 -- Jama'ah yang marah mendengar kebiadaban dan penahanan jama’ah di Kodim 0411 Metro tersebut menyerbu Kodim dan Yonif 143.
Dalam penyerbuan itu, 6 orang jama'ah tewas. Sedangkan dipihak aparat pratu Supardi, Kopda Waryono, Kopda Bambang Irawan luka-luka terkena sabetan golok. Satu sepeda motor terbakar dan kaca depan mobil kijang pick up pecah.
Dua minggu kemudian Tahanan ibu-ibu di Kodim dipindahkan ke Korem 043 Gatam. Di Korem, Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil berkata “tarik saja, itu hanya kedok”.
Di Korem, Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil berkata “tarik saja, itu hanya kedok”.Penangkapan sisa-sisa anggota jama'ah oleh aparat dibantu masyarakat oleh operasi yang disebut oleh Try Sutrisno Penumpasan hingga ke akar-akarnya.
Penangkapan para aktivis islam di Jakarta, Bandung, solo, Boyolali, Mataram, Bima & Dompu melalui operasi intelejen yang sistematis, sehingga banyak diantaranya sama sekali tidak mengetahui kejadian tersebut.
Berdasarkan data Korban hasil verifikasi investigasi Kontras 2005, yakni :
1. Korban Penculikan : 5 orang
2. Korban Pembunuhan di luar proses hukum : 27 orang
3. Korban Penghilangan Paksa : 78 orang
4. Korban Penangkapan Sewenang-wenang : 23 orang
5. Korban Peradilan yang Tidak Jujur : 25 orang
6. Korban Pengusiran (Ibu dan Anak) : 24 orang.
Biadab, pengajian dan dakwah Islam diberangus oleh tindakan pembunuhan massal.
Tindakan keji pada sekelompok warga sipil tak bersenjata diberangus dengan tindakan ala perang militer yang sadis.
Tindakan ini bukan semata-mata pengajian yang difitnah ada unsur JI sebagaimana tudingan Riyanto disini Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01. Tulisan ini menjadi fakta untuk membantah tulisan Riyanto bahwa ada kekerasan dalam doktrin agama.
Rakyat sipil, ibu-ibu, anak-anak dan warga tak berdosa dilumat ketamakan dan kekejaman aktor intelektualnya. Dengan dalih apapun, kekerasan pada anak-anak dan kaum lemah tak berdosa tak bisa dibenarkan.
Faktanya ada 'license to kill' dan menghantarkan komandannya ke tampuk kekuasaan pada saat mendatang.Sudah lebih dari 25 tahun kasus Talangsari berlalu. Bahkan tahun 2008 silam satu per satu pihak yang terkait kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam Sudomo diperiksa Komnas HAM.
Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.
Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989.
Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung. "Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini.
Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang menjadi kesulitan.
Sudomo menjelaskan, peristiwa Talangsari saat itu tidak ada kaitannya dengan politik. Jika akan dibawa ke pengadilan, yang bertanggung jawab dan yang terlibat akan diketahui.
"Peristiwa itu diketahui setelah ada kejadian dan ada laporan, tapi saya waktu itu minta agar Menhankam/Panglima ABRI seharusnya dipisah. Tetapi saat itu dijabat 1 orang untuk menyelesaikan persoalan itu," jelasnya.
"Mengenai perintah tembak di tempat bagaimana Pak?" tanya wartawan. "Saya tidak tahu karena yang bertanggung jawab di lapangan itu Danrem yakni Pak Hendro. Pak Hendro seharusnya datang hari ini untuk memberikan keterangan. Tetapi saya tidak tahu," tandasnya.
Peristiwa Talangsari Lampung terjadi pada 6-7 Februari pada 1989. Saat itu terjadi serangan yang dilakukan Korem Garuda Hitam 043 Lampung terhadap sebuah kelompok pengajian di Way Jepara, Talangsari Lampung.
Kelompok tersebut dituduh sebagai kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan sebaliknya dianggap anti Pancasila. Bahkan distigma dengan Islam sesat. Akibat dari serangan tersebut banyak korban berjatuhan. Padahal hanya permainan sang aktor kristen anti Islam LB Moerdani melalui anak muridnya Hendropriono.
Sang Aktor Kebencian LB Moerdani, Hingga Hendropriono. Barisan Anti Islam meski pada sebuah sajadah
Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997
mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif
terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di
antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.
Perilaku sadis tak hanya ditampakkan anak didiknya Hendropriono,
benci yang teramat dalam juga ditunjukkan seniornya LB Moerdani. Banyak
buku sejarah yang sudah membahas hal ini, dan salah satunya cerita dari
Kopassus di masa kepanglimaan Benny.
Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira bawahan dia melihat
sajadah di kursi dan bertanya "Apa ini?", jawab sang perwira, "Sajadah
untuk shalat, Komandan." Benny membentak "TNI tidak mengenal ini." Benny
juga sering mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat,
sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat.
Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira
yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat
pada masa libur atau sering menghadiri pengajian diperlakukan
diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang
perwira dianggap fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya
suram.
Silakan perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan
menduduki pos penting pada masa Benny Moerdani menjadi Pangad atau
Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; Rudolf
Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo
Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang;
Albert Inkiriwang; Herman Mantiri; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan
lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan bahwa
perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam
atau Islam abangan (yang tidak dianggap "fanatik" atau berada dalam
golongan "islam santri" menurut versi Benny).
Sudah
belasan tahun kasus Talangsari berlalu. Kini satu per satu pihak yang
terkait kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan
Menkopolkam Sudomo diperiksa Komnas HAM.
Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.
Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini.
Menurut Sudomo, kasus Talangsari dibuka kembali mungkin karena ada tuntutan dari korban atau untuk mencari data. Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang menjadi kesulitan. - See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.yvIEbSht.dpuf
Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.
"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.
Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).
Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun 1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini.
Menurut Sudomo, kasus Talangsari dibuka kembali mungkin karena ada tuntutan dari korban atau untuk mencari data. Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang menjadi kesulitan. - See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.yvIEbSht.dpuf
Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna
membongkar berbagai kerusuhan yang tidak terungkap seperti Peristiwa 27
Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang akan kita bongkar di bawah
ini menjadi rajutan ke kekerasan Tanjung Priok 1984 & Talangsari
1989 dengan aktor intelektual yang sama.
Kedekatan CSIS dan Sofjan Wanandi sudah terbangun puluhan tahun, ia
yang mengumpulkan massa menyerbu kantor PDI dan selama ini dianggap
perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda bawahan Benny Moerdani,
dan tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid
Benny Moerdani berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani
sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS dalam Memoirnya, A Shades
of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.
Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di sisi Jokowi maka sudah
jelas bahwa CSIS; PDIP; Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono;
Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros JK mendukung
Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.
Tidak heran kelompok status quo dari kalangan perwira Benny Moerdani
membenci Prabowo karena yang menghancurkan cita-cita mendeislamisasi
Indonesia itu dengan membentuk ICMI.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya
ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis
kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia
hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".
Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan
Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di
Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili
ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus
Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"
Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem
ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?
Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK,
ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny
untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).
Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard
Megawati yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo
Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27
Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny
Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih
banyak lagi yang lain.
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim
Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani
beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu
Benny memberi pesan sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita
di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau
akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)
1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali
Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana
malari meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo
(lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam
buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74
terbitan Sinar Harapan).
2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah
orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam memprovokasi warga
menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih sebagai
intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe
komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang
memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi
taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang
dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo
terbitan Tempo-Gramedia).
Siapa dia? Ada dengan LB Moerdani, Try Sutrisno, Wiranto hingga AM Hendropriono? Bersambung ke Melawan Lupa (4) : disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar