Wahyu Daniel - detikFinance
http://finance.detik.com/read/2012/05/21/111856/1920610/1034/catatan-dahlan-iskan-ribut-ribut-soal-petral?f9911023
Foto: dok.detikFinance
Jakarta -
Kadang timbul. Kadang tenggelam. Kadang timbul-tenggelam. Begitulah isu korupsi di Pertamina. Siklus timbul-tenggelam seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun. Belum ada yang mengamati: tiap musim apa mulai timbul dan mengapa (ada apa) tiba-tiba tenggelam begitu saja.
Sejak sekitar tiga bulan lalu isu ini timbul lagi. Belum tahu kapan akan tenggelam dan ke mana tenggelamnya. Sebenarnya menarik kalau bisa dirunut, mengapa (ada apa) isu ini kembali muncul, tiga bulan lalu. Ada kejadian apa dan siapa yang pertama kali memunculkannya. Dari sini sebenarnya akan bisa diduga kapan isu ini akan tenggelam dan bagaimana cara tenggelamnya.
Kadang isu yang muncul di sekitar sewa tanker. Kadang di sekitar ekspansi Pertamina di luar negeri. Kadang pula, seperti sekarang ini, soal anak perusahaan Pertamina yang bernama Petral.
Petral adalah anak perusahaan yang 100% dimiliki Pertamina. Tugasnya melakukan trading. Jual-beli minyak. Lebih tepatnya membeli minyak dari mana saja untuk dijual ke Pertamina. Semua aktivitas itu dilakukan di Singapura. Petral memang didesain untuk didirikan di Singapura. Sebagai perusahaan Singapura Petral tunduk pada hukum Singapura.
Isu pertama: mengapa dibentuk anak perusahaan?
Kedua: mengapa di Singapura?
Dulu, segala macam pembelian itu dilakukan oleh induk perusahaan Pertamina di Jakarta. Apakah ketika itu tidak ada isu korupsi? Sama saja. Isunya juga luar biasa.
Tapi mengapa dipindah ke Singapura? Dan dilakukan anak perusahaan? Alasan pembenarnya adalah: supaya segala macam pembelian dilakukan oleh sebuah perusahaan trading. Direksi Pertamina jangan diganggu oleh pekerjaan trading. Alasan tidak formalnya: kalau transaksi itu dilakukan di Singapura dan tunduk pada hukum Singapura, intervensi dari mana-mana bisa berkurang.
Bagi orang korporasi seperti saya, sangat gampang menerima logika mengapa dibentuk anak perusahaan dan mengapa di Singapura. Tapi bagi publik bisa saja dianggap mencurigakan.
Bagi publik, munculnya pertanyaan (mengapa dibentuk anak perusahaan dan mengapa di Singapura) itu saja sudah sekaligus mengandung kecurigaan. Pertamina memang bisa membuktikan praktik di Petral sudah sangat clean dengan tender internasional yang fair. Tim-tim pemeriksa yang dikirim ke sana tidak menemukan praktik yang menyimpang.
Kalau begitu apa yang masih diperlukan? Di sini kelihatannya bukan hanya clean yang perlu dipertunjukkan. Tapi juga clear. Perusahaan BUMN memang tidak cukup dengan clean: tapi juga harus C & C. Harus clean and clear. Clean berurusan dengan GCG, hukum, dan penjara. Clear berhubungan dengan public trust, alias kepercayaan publik.
Perusahaan yang tidak clear, tidaklah melanggar hukum. Semua bisa dipertanggungjawabkan. Tapi perusahaan yang tidak clear tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Karena BUMN adalah perusahaan milik publik, maka praktik C & C menjadi sangat penting.Di manakah letak belum clear-nya praktik trading Petral di Singapura?
Begini: Pertamina adalah perusahaan yang sangat besar. Bahkan terbesar di Indonesia. Sebagai perusahaan yang terbesar, posisi tawar Pertamina tidak akan ada bandingannya. Boleh dikata, dalam bisnis, Pertamina memiliki hak mendikte: mendikte apa saja, termasuk mendikte pemasok dan bahkan mendikte pembayaran.
Inilah yang belum clear: sebagai perusahaan terbesar mengapa Pertamina belum bisa mendikte. Mengapa masih berhubungan dengan begitu banyak trader. Mengapa tidak sepenuhnya melakukan pembelian langsung dari pemilik asal barang: membeli BBM langsung dari perusahaan kilang dan membeli crude (minyak mentah) langsung dari perusahaan penambang minyak.
Dalam satu bulan terakhir tiga kali Presiden SBY mengajak mendiskusikan soal ini dengan beberapa menteri. Termasuk saya. Arahan Presiden SBY jelas dan tegas bagi saya: benahi Pertamina. Kalau ada yang mengaku-ngaku dapat backing dari Presiden, atau dari Cikeas, atau dari Istana abaikan saja.
Bisa saja ada yang mengaku-ngaku mendapat backing dari Presiden SBY. Tapi sebenarnya tidak demikian. Jangankan Presiden SBY, saya pun, di bidang lain, juga mendengar ada orang yang mengatakan mendapat backing dari Menteri BUMN!
Presiden SBY juga menegaskan itu sekali lagi minggu lalu. Dalam pertemuan menjelang tengah malam itu diundang juga Dirut Pertamina Karen Agustiawan. Karen melaporkan sudah siap melakukan pembelian langsung, tanpa perantara lagi. Tentu diperlukan persiapan-persiapan yang matang. Tidak bisa, misalnya seperti yang diinginkan beberapa pihak, besok pagi Petral langsung dibubarkan. Pasokan BBM bisa terganggu. Dan bisa kacau-balau.
Memang kelihatannya banyak motif yang berada di belakang isu Petral ini. Setidaknya ada tiga motif:
1) Ada yang dengan sungguh-sungguh dan ikhlas menginginkan Pertamina benar-benar C&C dan bisa menjadi kebanggaan nasional.
2) Dengan adanya Petral mereka tidak bisa lagi ‘ngobyek’ dengan cara menekan-nekan Pertamina seperti terjadi di masa sebelum Petral.
3). Ada yang berharap kalau Petral dibubarkan jual-beli minyak kembali dilakukan di Jakarta dan mungkin bisa menjadi obyekan baru.
Tentu, seperti juga bensin oplos, ada juga campuran lain: politik! Ada politik anti pemerintah Presiden SBY. Tapi yang keempat ini baiknya diabaikan karena politik adalah satu keniscayaan.
Misalnya ketika ada yang menyeru: bubarkan Petral sekarang juga! Saya pikir yang dimaksud sekarang itu ya pasti ada tahapannya. Ternyata tidak. Ternyata benar-benar ada yang menginginkan Petral bubar saat ini juga. Mereka tidak berpikir panjang kalau Petral bubar sekarang, siapa yang akan menggantikan fungsi Petral. Siapa yang akan mendatangkan bensin untuk keperluan bulan depan dan beberapa bulan berikutnya.
Mungkin memang ada maksud terselubung: bubarkan Petral sekarang juga, biar terjadi kelangkaan BBM dan terjadilah gejolak sosial. Ini mirip-mirip dengan logika: jangan naikkan harga BBM dan pemakaiannya juga jangan melebihi 40 juta kiloliter setahun! Logika Joko Sembung yang tidak nyambung.
Tentu saya tidak akan terpancing pemikiran pendek seperti itu. Yang harus dilakukan Pertamina adalah langkah yang lebih mendasar: sebagai perusahaan raksasa, Pertamina, seperti ditegaskan Presiden SBY setegas-tegasnya, tidak boleh lagi membeli minyak dari perantara. Langkah seperti itu sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Pertamina. Tapi belum semua. Jadinya tenggelam oleh pembelian yang masih dilakukan lewat Petral.
Apakah kelak setelah Pertamina tidak lagi membeli minyak dari perantara otomatis tidak akan ada yang dipersoalkan? Tidak dijamin. Akan terus ada yang mempersoalkan. Misalnya:
1) Mengapa membeli langsung kalau pedagang bisa memberikan harga lebih murah? (Dalam dunia bisnis, tidak dijamin pemilik barang menjual lebih murah dari pedagang. Bisa saja pedagang kuat membeli barang dalam jumlah besar dengan diskon yang tinggi. Lalu menjual kepada konsumen dengan harga lebih murah).
2) Pertamina (atau siapa pun) dapat komisi dari pemilik barang.
3) Mengapa membeli langsung kepada pemilik barang? Mengapa tidak pakai tender terbuka saja?
Dan banyak lagi yang masih akan dipersoalkan karena pada dasarnya memang banyak orang yang hobinya mempersoalkan apa saja.
Tapi ribut-ribut seperti itu tidak akan lama. Syaratnya manajemen Pertamina terus secara konsisten menjaga integritas. Tidak mudah memang. Dan memerlukan waktu yang panjang untuk membuktikan konsistensi itu.
Tapi dalam menjaga integritas itu Pertamina tidak akan sendirian. Perkebunan sawit BUMN juga harus melakukan hal yang sama. Misalnya dalam pembelian pupuk. Sebagai perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia, tentu aneh kalau PTPN masih membeli pupuk dari perantara. Perkebunan gula idem ditto.
PLN juga harus membeli batubara langsung dari pemilik tambang. Dan ini sudah dilakukan sejak dua tahun lalu: semua pemasok adalah pemilik tambang . Tidak ada lagi perantara batubara di PLN dalam dua tahun terakhir. Awalnya memang ribut-ribut terus, tapi sekarang sudah kempes.
Inilah prinsip yang harus dipegang:
- Dengan clean kita memang tidak akan masuk penjara secara fisik.
- Tapi dengan clear kita tidak akan masuk penjara secara rohani.
- Hukum cukup menghendaki clean. Publik menghendaki clean and clear.
Oleh Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN. (sumber: situs kementerian BUMN). (dnl/hen)
The title above being the critical notes in our weekly discussion that has been conducted in 13 April 2012. This time, CwtsPspd UGM invited Mr. Ahmad Rizky Mardhatillah Umar as the speaker whom presenting his paper titledThe Increasing of Oil Price: An Overview of Economy Politics. The discussion was related to the government of Indonesia plan which intent to increase the gas price per 1st April. This is one of the “tense” issues in recent Indonesia domestic news.
Rizky Umar started his explanation with designated the government reason behind the increasing of gas price, in which the inefficient subsidy needs to be relocate into the more productive / prospective sector. At this point, oil subsidy considered as a cause of the swelling of national budget of Indonesia. Meanwhile, there is also the increasing of global oil price beyond the 2012 national budget prediction. Rizky Umar also explain the rejection arguments that come from any lines of society, including; the huge social effect, inefficient “tight-budget” policy, the distinction of infrastructure tackling policy to the social effect and the ‘fait accompli’ towards the national energy endurance.
In the beginning of his presentation, Rizky Umar also presumed that the rise of oil price plan becoming the commodity between political parties in the legislative forum. This is reflect within the compromise of Section 7 Article 6A which cite that the government could adjust the oil price if the average price of Indonesia crude oil (Indonesia Crude Price/ ICP) increase/ decrease surpassing 15% within 6 month and depend on international market ICP. Whereas, according to Rizky Umar, speaking of international market, the relation among international actors were influences with the global oil price. Thus, it also relevant related to the neoliberal prescription in 10 point of Washington Consensus, amongst is the reconstruction of nation role into the “rule of law” aiming to market liberalization, budget-cut, structural adjustment, institution arrangement (privatization, deregulation) and strengthening the guarantee of economic freedom from political cooptation.
Rizky Umar took the case studies from 4 Africa country (Ghana, Kenya, Mali and Uganda), thus, as neoliberal claim, those prescriptions could strengthen national energy security, promote regional equality within oil and gas management, protecting consumer from malpractice/ monopolistic oil and gas and increasing efficiency. Yet, Rizky Umar also state that this is would reap critics from Neo-Marx perspective. Neo Marxism underlined the capital exploiting by the power of developed country becomes very strong and create the unequal advantages from international trade.
Liberalization of Upstream and Downstream Sector of Oil and Gas in Indonesia
In Indonesia context, the rise of oil price- which never apart from the constellation of international trade- could be read through the hypothesis that the increasing of oil price were affected by the liberalization of upstream and downstream sector. Also liberalization legitimated the absorbing of resources from Third World Country through the unequal exchange process from international oil trade.
In upstream sector, liberalization reflects within four model of oil and gas management, starting from concession, Product Contract (1963-1966), Product Sharing Contract (1966-present) yet Cooperation Contract. As a legal form, it is consist on UU No.11/1967 and UU No.22/2001 about Oil and Natural Gas. In UU No. 22/2001, Rizky Umar underlined any of them, in which the BP MIGAS (the authority committee to manage the activity of Oil and Gas sector) could refer the trader of petroleum and/or gas which can produce the maximal benefit for the country. It implies to three ways, first of all, in upstream sector, PERTAMINA only being “actor” just like the others MNC’s in 12,2 % operational area from 275 working area in Indonesia. Second, the trading of oil must through the brokers that referred from BP MIGAS. Third, exploration and exploitation are unrestrained without the intervention from the government.
While in downstream sector, including processing, transporting, storing and commerce of oil and gas, liberalization seen from the existence of 40 foreign companies which hold the permit of building the gas station and the opportunities to businessmen for competing in downstream sector without the necessity to invest in upstream sector. Besides, when Oil and Gas subsidy are withdrawn, it will cause the racing of oil price in the domestic market and global market.
Politic of Global Oil Market
After Indonesia leaving the membership of OPEC in 2009, it is becoming an indirect remark that Indonesia becoming an oil importer. As a result, the price of domestic oil and gas depending on global oil price which is also controlled by OPEC Reference Basket, New York Mercantile Exchange, Intercontinental Exchange, the oil producer’s country(Dubai, Oman, etc) and ICP. Thus, as Rizky Umar analysis, market will relent on the cartel of OPEC members, which also control the international oil price and trade.
At the end of discussion, Rizky Umar also believed that the signing of Letter of Intent (LOI) between IMF and Indonesia in Januari, 20, 2000, was the part of international interest representation and the entry point of liberalization towards Indonesia’s oil and gas sector. The LOI also mentioned that the government must change the rule within oil and gas management, restructure and reforming PERTAMINA, enactive that the rule and regulation are supporting the interest of international market, domestic oil price are reflects the global oil price and create the efficient public policy in line with sustainable development principle.
As a respon for the situation mention above, Rizky Umar sated the urge to “steal-back” the Oil and Gas sovereignty and reform the national policy by reconsider UU No. 22/2001, reforming and strengthen PERTAMINA, renegotiate oil and gas cooperation contract and reinforce the energy diplomacy.
Rewrite by: Dewa Mahendra S, Dimas Wijanarko
Translated by: Neily Cholida
Translated by: Neily Cholida
*) Note: CwtsPspd UGM is conduct public weekly discussion every Friday. Every one whom interest on international trade issue shall be our guest speaker. Please contact Neily Cholida for further information. The arguments of speaker in the discussion remain as each individual opinion and not entirely represent CwtsPspd UGM opinion.
Fundamentals of Crude Oil Valuation & Pricing
http://www.euromoneytraining.com/Course/4616/energy-training/CourseInfo.html
Fundamentals of Crude Oil Valuation & Pricing
http://www.euromoneytraining.com/Course/4616/energy-training/CourseInfo.html
- Overview of crude oil demand and supply
- Who are the key players in the crude oil market
- Analysis of typical crude oil qualities by region
- Overview of the main crude oil trade flows
- Introduction to refining processes
- The relationship between crude oil and oil product prices
- Crude oil chemistry and oil specifications
- Reading a crude oil assay
- Calculation of crude oil yields and netbacks
- Calculating of Gross Product Worth and refining margins
- How refiners value base load and opportunity crudes
- Overview of the spot market and the term contract market
- The use of pricing benchmarks: past, present and future
- How the pricing agencies operate
- Contractual arrangements in trading of physical oil
- How crude oil is transported
- The crude oil derivatives markets
- Relationship between physical and derivatives markets
- Hedging and basis risk
- Sources of price data
- Regulatory Issues and Taxation
Ketik REG FIN kirim ke 3845 (khusus pelanggan Indosat Rp.1300/hari)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar