HTI: MUI Seharusnya Keluarkan Fatwa Haram Liberalisasi Migas
Kamis, 30/06/2011 11:40 WIB | Versi Cetak
Rencana Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram bagi kalangan mampu yang menggunakan premium bersubsidi mendapat respon kritis oleh Jubir HTI, Muhammad Ismail Yusanto. Ia menilai bahwa dalam prinsip ekonomi Islam, BBM adalah hak rakyat dan bagian dari kepemilikan umum.
“BBM, minyak dan gas itu sesungguhnya adalah milik rakyat. Dalam konsepsi ekonomi islam, salah satu hal yang penting adalah prinsip al milkiyah atau kepemilikan. Kepemilikan itu ada tiga, yakni individu, umum, dan negara. Nah energi itu adalah bentuk kepemilikan umum.” Paparnya panjang lebar dalam sesi tanya jawab dengan wartawan di acara Konferensi Rajab, kemarin.
Ismail berpendapat hal itu sudah tertuang dalam hadis Rasulullah, “Dalam hadis disebutkan Rasulullah saw bersabda: ‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api’. Para ulama mengatakan bahwa naar (api) disini adalah energi yang itu menjadi milik rakyat, baik kaya maupun miskin. Dan negara dalam pandangan Islam wajib mengelolanya atas nama rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat.”
Dengan melihat akar masalahnya, Ismail Yusanto memberikan alternatif bagi MUI dengan fatwa yang lebih tepat, yakni fatwa haram Liberalisasi Migas.
“Oleh karena itu, kami menolak fatwa tersebut karena bertentangan dengan akar sesungguhnya yakni liberalisasi migas No 22 tahun 2001. Maka MUI mestinya mengeluarkan fatwa haramnya liberalisasi migas itu lebih tepat,” kata alumni UGM ini lebih jauh.
Ismail juga mengkritisi penggunaan kata subsidi oleh pemerintah yang sebenarnya tidak tepat. Menurutnya, sebuah pemerintahan wajib mengurusi hak rakyatnya.
“Subsidi ini adalah istilah yang keliru karena pemerintah memiliki kewajiban untuk mengurus rakyatnya, termasuk juga milik masyakat atas anamah rakyat. Coba anda pikirkan, pernahkan anda memakai kata-kata subsidi untuk biaya sekolah anak anda? Tidak, karena itu kewajiban orang tua,” jelas Ismail.
Dengan memakai logika itu, maka Ismail melihat pada realitas kebijakan subsidi yang masih setengah-setengah dijalankan oleh pemerintah dan cenderung tidak konsisten.
“Kalau betul orang kaya itu tidak boleh menikmati subsidi, mestinya orang kaya juga tidak berhak mengikuti SD Negeri. Kita tahu bahwa SD Negeri itu gratis karena dibiayai Negara. Begitu juga dengan puskesmas.” Pungkasnya. (pz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar