Rezim Yang Bobrok
Senin, 04/07/2011 11:36 WIB | Versi Cetak
Betapa rezim ini telah begitu bobrok. Kebobrokannya sudah sistemik alias menyeluruh. Ini fakta. Bukan lagi isapan jempol. Kasus demi kasus yang melibatkan berbagai elemen dan unsur negara membuktikan bahwa rezim ini bobrok. Kondisi rezim yang ada ini, hanya menyisakan pesimisme terhadap masa depan Indonesia. Indonesia bisa berpotensi menjadi negara gagal.
Pertama, yang menjadi indikator rezim ini bobrok, kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin Bendaraha Umumn Partai Demokrat, itu semua muaranya ke elit dan Partai Demokrat. Terakhir, Nazaruddin berani menyebutkan dana-dana itu mengalir ke Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan sejumlah elit lainnya. Jumlahnya tidak sedikit. Laporan itu datanya ditambah oleh temuan PPATK. Bahkan, laporan sebuah media cetak di Jakarta, aliran dana Nazaruddin, juga ke mantan Kabareskrim Mabes Polri, Irjen Ito Sumardi. Sekalipun, semua yang disebut oleh Nazaruddin itu membantah.
Menghadapi kasus Nazaruddin, itu elite dan Partai Demokrat terkesan bersikap ambivalen (mendua). Tidak tegas. Ada kesan membela dan melindungi Nazaruddin. Membiarkannya tetap berada di Singapura, sekalipun KPK sudah menetapkan Nazaruddin menjadi tersangka. Tetapi, tidak ada itikad Partai Demokrat memaksa pulang Nazaruddin, dan menghadirkannya ke KPK. Mengklarifikasi semua kasus yang mempunyai kaitan dengannya. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, OC Kaligis sebagai kuasa hukum Nazarudin mengkritik habis KPK di dalam sebuah acara telivisi bersama dengan fungsionaris Demkrat Ruhut Sitompul.
Presiden SBY telah menginstruksikan penangkapan Nazaruddin. Tetapi, itu hanya "lip service" (basa-basi), dan hanya pencintraan semata, karena tidak langkah-langkah yang konkrit yang mendukung perintahnya itu.
Asumsinya, jika Nazaruddin dipaksa pulang atau dipulangkan, dan membuka semua borok-borok partainya, pasti rezim ini akan gulung tikar. Bangkrut. Nazaruddin sudah mengungkapkan tokoh-tokoh demokrat yang menerima aliran dana. Jumlahnya tidak sedikit. Tokoh-tokoh yang menerima aliran dana itu, para tokoh kunci di dalam partainya. Maka bila Nazaruddin pulang ke Jakarta bisa menyebabkan terjadinya "disaster" (bencana) politik, yang dampaknya akan meruntuhkan rezim yang dipimpin Presiden SBY.
Partai Demokrat yang dipimpin Ketua Umumnya, Anas Urbaningrum dan Ketua Dewan Pembinanya Presiden SBY, mirip seperti Golkar Ketua Dewan Pembina Soeharto, sebagai "the ruling party" (partai berkuasa), sulit berkelit akibat belitan kasus Nazaruddin. Pengakuan-pengakuan Nazaruddin menjadi fakta yang konkrit, bahwa rezim ini telah gagal menciptakan pembaharuan dan penegakkan hukum di Indonesia. Justru rezim yang salah satu pilar utamanya Partai Demokrat telah terlibat dalam KKN, dan melibatkan begitu luas elemen elite dalam partai serta para pejabat penegak hukum.
Kedua, terungkap kasus pemalsuan keputusan MK tentang aggota DPR, dan melibatkan anggota KPU, yang sekarang menjadi juru bicara Partai Demokrat Andi Nurpati. Ini mendelegitimasi hasil pemilu 2009. Tetapi, pemilu 2009 itu, mempunyai kaitannya yang lebih luas, khususnya terjadinya kecurangan dan sistem DPT (Daftar Pemilih Tetap), yang kacau balau. Sampai hasil pemilu 2009 ini, harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, bila produk pemilu 2009 ini, yang dihasilkan dari cara-cara yang tidak "jurdil" (jujur dan adil), banyaknya penyimpangan, pemalsuan, dan sejumlah cara-cara kotor lainnya, maka dampaknya bisa kepada anggota legislatif 2009, kehilangan legitimasi secara hukum dan politik.
Artinya, anggota legislatif sekarang, yang merupakan produk pemilu 2009, dan terjadi banyaknya penyimpangan, pemalsuan, dan tidak jurdil, maka dampak ikutan anggota legistalatif sekarang tidak sah, dan kehilangan dasar legitimasinya.
Tentu, tidak hanya berhenti sampai disitu, pasti ikutannya, pertanyaan perolehan suara masing-masing partai yang ada sekarang ini. Benarkah perolehan suara mereka. Benarkah Partai Demokrat sebagai entitas politik yang baru dibentu, dan bersandar pada popularitas Presiden SBY, dan didukukung infrastruktur partai yang memadai, termasuk adanya kader-kader di ditingkat bawah dapat memenangkan pemilu?
Indonesia berkecenderungan berpotensi menjadi negara gagal itu tidak basa-basi. Semua indikator sudah menunjukkan ke arah itu. Kekuatan-kekuatan utama partai politik, yang menjadi pendukung pemerintahan yang sekarang ini telah mengalami proses pembusukan. Secara merata. Partai yang mengklaim bersih, elite partainya terlibat dalam "makelar", yang tidak tanggung-tanggung.
Ketiga, tidak adanya komitmen penegakkan hukum. Rezim oligarki partai ini saling jalin-berlindan oleh kepetingan-kepentingan politik-ekonomi, dan terjadi kolaborasi yang luas, dan satu sama lainnya melakukan toleransi dan kompromi. Karena itu, negara menjadi lumpuh, dan pusat kekuasaan harus menerima kompromi dengan elite partai. Pemberantasan KKN menjadi "majal" tak akan pernah jalan, karena semua unsur-unsur dalam partai ikut terlibat dalam KKN.
Partai-partai elitnya semua terlibat jaringan KKN yang bersifat sistemik, yang melibatkan pengusaha, birokrat, dan penguasa. Tidak ada satupun partai politik yang kalis, dan tidak terkontaminasi dalam KKN. Karena dengan melakukan KKN itu, menjadi sarana mendapatkan "fulus" yang bersifat instant sebagai dana politik. Tanpa capek-capek bekerja, dan mendapatkan "fee", yang luar biasa. Semuanya berkaitan dengan perebutan mendapatkan kekuasaan. Tragis.
Karena itu tidak mungkin ada tindakan tegas terhadap pelaku KKN. Kalau ada itu hanyalah sekadar "basa-basi", bahwa di Republik ini masih ada hukum. Tetapi, hakikatnya hukum sudah tidak menjadi panglima. Hukum hanya sekadar menjadi benda yang dipajang di "etalese", agar demokrasi di Repulbik ini kelihatan indah. Negara telah dikpling-kapling oleh para elite partai politik. Sesuai dengan konsensus mereka.
Tentu, yang paling getir, bukan hanya mereka terlibat dalam KKN, tetapi para elite partai itu, sampai menggerus karakter dan ideologi, dan menjadi super pragmatis demi sebuah kekuasaan.
Bagaimana sebuah kekuasaan Presiden SBY yang didukung partai-partai melalui koalisi dan kemudian terlibat dalam KKN yang bersifat jamaah? Tidak ada negara manapun di muka bumi ini, yang negaranya menjadi maju, makmur, sejahtera, dan aman karena KKN. Semuanya hancur.
Memang kalau dillihat di kota-kota besar ada perubahan. Mobil dan kenderaan pribadi setiap hari bertambah. Mall-mall bertambah. Orang-orang berbelanja bertambah. Orang pakansi ke luar negeri semakin banyak. Orang pergi haji harus menunggu sampai lima atau enam tahun. Sangat luar biasa. APBN terus meningkat lebih dari Rp 1.000 triliun.
Tetapi, orang miskin semakin banyak. Pengangguran semakin banyak. Utang berjibun. Utang Indonesia sudah mencapai $ 176 miliar dollar. Anggaran defisit lebih dari 156 triliun. Kekerasan muncul di mana-mana yang akan mendorong terjadinya disintegrasi nasional. Karena rakyat tidak lagi percaya terhadap penegak hukum. Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar