Arie Sudjito:
Jika Masih Panas Pasca Muktamar, PPP Melemah
Nurvita Indarini - detikNews
"Dulu kan PPP itu merupakan partai fusi sejumlah partai berhaluasn Islam. Nah kalau semakin banyak perpecahan yang ujungnya membuat partai baru, maka yang terjadi adalah kontrafusi. Ini akan memperlemah PPP sendiri. Jadi panasnya sudah di muktamar saja," kata pengamat politik Arie Sudjito.
Berikut ini wawancara detikcom dengan akademisi UGM yang juga Ketua Pergerakan Indonesia ini, Selasa (5/7/2011):
Apa yang harus digarisbawahi PPP dalam muktamar kali ini?
Peristiwa rutin tiap lima tahun bagi organisasi politik ini sangat penting, selain sebagai momentum rotasi kepengurusan juga menentukan masa depan ke arah mana memproyeksi diri yang tercermin dalam agenda-agenda strategisnya.
PPP merupakan partai generasi lama, yang lahir dan berproses sampai mengalami kristalisasi pada era orde baru. Menasbihkan dirinya sebagai parpol berhaluan Islam, PPP tidak lain adalah hasil fusi beberapa parpol identik aspirasi komunitas muslim. Parpol ini pernah merasakan begitu lama menjadi 'ornamen simbolik' representasi Islam, bersama PDI sebagai kelompok nasional membayangi
Golkar sebagai partai pemerintah Orde Baru.
Pada era reformasi yang ditandai liberalisasi politik, pertumbuhan parpol yang konon berlabel Islam begitu subur. Keadaan ini praktis menjadi kompetitor PPP. Misalnya PKS, PBB, PKNU. Bahkan begitu terasa adalah adanya parpol berlabel 'nasional' berbasis golongan santri, seperti PKB (NU) dan PAN (Muhammadiyah), dan parpol lainnya dengan pola sejenis.
Dinamika politik sejak pemilu 1999, 2004, dan sampai 2009, PPP tidak mengalami perkembangan signifikan. Justru dapat dikatakan kian merosot. Bahkan mengalami perpecahan, sebagaimana munculnya PBR (Partai Bintang Reformasi), yang menyebabkan perolehan kursi PPP terus menurun.
Apa yang menjadi beban atau tantangan PPP ke depan?
Saat ini jumlah anggota DPR fraksi PPP sebanyak 57 orang.
Secara demografis, jumlah pemilih Islam (formal) sangat dominan. Akan tetapi fragmentasi aspirasi golongan santri ini, baik itu modern maupun tradisional, mengindikasikan tidak ada korelasi positif komposisi komunitas Islam ini tersedot ke parpol Islam. Justru yang menguasai kursi
parlemen adalah parpol berlabel nasionalis. Kita bisa sebut misalnya tiga besar pemenang pemilu, Partai Demokrat, PDIP, dan Golkar.
Perlu dicatat, bahwa kemenangan parpol besar ini pun sesungguhnya tidak merepresentasikan golongan nasionalis tulen, karena toh parpol nasionalis saat kampanye secara simbolik juga tidak luput dari upaya mengkomodifikasi golongan Islam. Kemunculan tema atau isu kampanye tergantung target yang disasar. Artinya, saat ini sulit membedakan secara jelas karakter parpol satu sama lain,
baik Islam maupun golongan nasionalis. Itulah yang disebut fragmented but not difference, beragam parpol tetapi sulit dibedakan satu dengan lainnya.
Secara umum, beban berat kontestasi politik dalam pemilu memang tidak hanya dialami PPP sebagai parpol Islam. Pergeseran parpol terjadi besar-besaran, sebagai akibat lingkungan politik yang kian menebalkan pragmatisme. Politisi saat ini rata-rata terbebani 'politik berbiaya tinggi', sementara watak secara organisasi parpol juga oligarkhis. Pemilih juga tertular penyakit 'suap suara' oleh rekayasa politisi yang menggunakan uang untuk mendapat dukungan.
Termasuk masih maraknya gaya transaksional dalam pemilihan legislatif?
Itu yang paling tragis, gaya-gaya transaksional di lingkungan wakil rakyat terpilih di lembaga parlemen. Situasi ini menyebabkan kemungkinan kualitas demokrasi terus merosot. Pertanyaannya, mampukah PPP akan meniti jalan baru membenahi keadaan melalui momentum Mukatamar ini?
Andai tetap menjadi parpol yang menumpukan dirinya sebagai orpo Islam, perlu diingat bahwa lingkungan politik makin tidak kondusif dimana gelombang distrust terus meluap. Cita rasa parpol dihadapan pemilih makin pudar, baik itu parpol Islam maupun berlabel nasionalis.
Pendapat Anda tentang maraknya isu black campaign dan money politics dalam pemilihan Ketum PPP?
Terlalu sederhana, terlalu sayang kalau muktamar hanya bicara ketum. Nanti citranya tambah buruk kalau terlibat dalam persaingan yang begini. Oke, memang akan ada pengurus baru. Tapi seharusnya yang diciptakan adalah persaingan ide untuk pembaruan. Kalau tidak ya rugi.
Menurut saya, geng-geng kuat terasa dalam muktamar kali ini. Geng ini, seharusnya, jangan hanya sekadar untuk membedakan dengan lainnya. Namun lebih dari itu, harus ada sesuatu yang baru dari PPP. Misalnya saja, perlu pembicaraan soal resolusi agar tidak terjebak dalam korupsi politik.
Menurut Anda apakah kondisi panas ini akan membuat faksionalisme meruncing pasca muktamar?
PPP harus belajar mengkonsilidasikan semua. Hamzah Haz sudah mengingatkan, memang terjadi persaingan tapi jangan sampai suara yang sudah kecil menjadi pecah lagi.
Dulu kan PPP itu merupakan partai fusi sejumlah partai berhaluasn Islam. Nah kalau semakin banyak perpecahan yang ujungnya membuat partai baru, maka yang terjadi adalah kontrafusi. Ini akan memperlemah PPP sendiri. Jadi panasnya sudah di muktamar saja. Saat sudah selesai, harus lebih mampu memperkuat partai.
Bagaimana memperkuat PPP ke depan?
Selain konsolidasi, PPP juga harus bisa membuat perbedaan dari partai lainnya. Karena sekarang ini meski ada banyak partai tapi sulit untuk mencari perbedaannya.Secara definitif dan administratif, partai politik itu masih eksis. Namun secara sosiologis semakin hilang. Ini karena muncul dan menguatnya distrust ke parpol. Inilah tantangan pagi parpol, tak terkecuali PPP, apakah mau membenahi atau tidak.(vit/her)
HUT ke-13, detikcom bagi-bagi 13 iPad 2, juga puluhan ribu tiket bus dan kereta. Daftar di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar