Zionisme, Nasionalisme Sekuler Mengkhianati Yudaisme
12:08
Sebelas November
Zionisme, sebuah Nasionalisme Sekuler yang mengkhianati Yudaisme.
Zionisme dibawa ke dalam agenda dunia di akhir-akhir abad ke sembilan
belas oleh Theodor Herzl (1860-1904), seorang wartawan Yahudi asal
Austria. Baik Herzl maupun rekan-rekannya adalah orang-orang yang
memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, jika tidak ada sama sekali.
Mereka melihat "Keyahudian" sebagai sebuah nama ras, bukan sebuah
masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi
sebuah ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk
hidup bersama, dan bahwa penting artinya bagi mereka untuk membangun
tanah air mereka sendiri.
Mereka
tidak mengandalkan pemikiran keagamaan ketika memutuskan tanah air
manakah itu seharusnya. Theodor Herzl, sang pendiri Zionisme, suatu
kali memikirkan Uganda, dan ini lalu dikenal sebagai "Uganda Plan."
Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina. Alasannya adalah Palestina
dianggap sebagai "tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi",
dibandingkan segala kepentingan keagamaan apa pun yang dimilikinya
untuk mereka.
Sang Zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini. Organisasi Zionis Dunia yang baru melakukan upaya propaganda besar di hampir semua negara yang berpenduduk Yahudi, dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan bangsa-bangsa lainnya dan bahwa mereka adalah "ras" yang terpisah. Oleh karena itu, mereka harus bergerak dan menduduki Palestina. Sebagian besar orang Yahudi mengabaikan himbauan ini.
Menurut negarawan Israel Amnon Rubinstein: "Zionisme (dulu) adalah sebuah pengkhianatan atas tanah air mereka (Yahudi) dan sinagog para Rabbi".15 Oleh karena itu banyak orang-orang Yahudi yang mengkritik ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah satu pemimpin keagamaan terkemuka saat itu berkata, "Zionisme ingin menamai orang-orang Yahudi sebagai sebuah lembaga nasional…. yang merupakan sebuah penyimpangan."16
Sang Zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini. Organisasi Zionis Dunia yang baru melakukan upaya propaganda besar di hampir semua negara yang berpenduduk Yahudi, dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan bangsa-bangsa lainnya dan bahwa mereka adalah "ras" yang terpisah. Oleh karena itu, mereka harus bergerak dan menduduki Palestina. Sebagian besar orang Yahudi mengabaikan himbauan ini.
Menurut negarawan Israel Amnon Rubinstein: "Zionisme (dulu) adalah sebuah pengkhianatan atas tanah air mereka (Yahudi) dan sinagog para Rabbi".15 Oleh karena itu banyak orang-orang Yahudi yang mengkritik ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah satu pemimpin keagamaan terkemuka saat itu berkata, "Zionisme ingin menamai orang-orang Yahudi sebagai sebuah lembaga nasional…. yang merupakan sebuah penyimpangan."16
Petani
dan Tembok Ratapan di depannya, yang menggambarkan pemimpin Zionis
Max Nordau, Theodor Herzl, dan Prof. Mandelstamm, melukiskan "Impian
Zionis."
Pemikir Islam Prancis yang terkenal Roger Garaudy melukiskan hal ini dalam sebuah pembahasan:
Musuh
terburuk keyakinan Yahudi yang jauh ke depan adalah logika para
nasionalis, rasis, dan kolonialis dari Zionisme kebangsaan, yang
dilahirkan dari nasionalisme, rasisme, dan kolonialisme abad ke-19 di
Eropa. Logika ini, yang menginspirasi semua penjajahan Barat dan semua
perang antara satu nasionalisme dengan nasionalisme lainnya, adalah
sebuah logika yang membunuh diri sendiri. Tidak ada masa depan atau
keamanan bagi Israel dan tidak ada keamanan di Timur Tengah kecuali jika
Israel meninggalkan paham Zionismenya dan kembali ke agama Ibrahim,
yang adalah warisan bersama, bersifat keagamaan, dan persaudaraan dari
tiga agama wahyu: Yudaisme, Nasrani, dan Islam.17
Dengan
cara ini, Zionisme memasuki politik dunia sebagai sebuah ideologi
rasis yang menganut paham bahwa Yahudi seharusnya tidak hidup bersama
dengan bangsa-bangsa lain. Pertama-tama, ini adalah gagasan yang keliru
yang menciptakan masalah parah bagi dan tekanan atas orang-orang
Yahudi yang hidup dalam belenggu ini. Kemudian, bagi orang-orang Islam
di Timur Tengah, paham ini membawa kebijakan Israel tentang pendudukan
dan perebutan wilayah bersama-sama dengan kemiskinan, teror,
pertumpahan darah, dan kematian.
Pendeknya,
Zionisme sebenarnya adalah sebuah bentuk nasionalisme sekuler yang
berasal dari filsafat sekuler, bukan dari agama. Akan tetapi, seperti
dalam bentuk nasionalisme lainnya, Zionisme juga berusaha menggunakan
agama untuk tujuannya sendiri.
Kesalahan Penafsiran Taurat oleh Para Zionis
Taurat
adalah sebuah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Musa. Allah
berkata dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)…"
(Al-Qur'an, 5:44). Al-Qur'an juga berkata bahwa Taurat kemudian akan
dikotori oleh perkataan manusia di dalamnya. Inilah kenapa apa yang kita
miliki saat ini adalah "Taurat yang menyimpang."
Akan
tetapi, sebuah penelitian lebih dekat mengungkap adanya kebanyakan
kebenaran agama yang terkandung dalam Kitab yang pernah diwahyukan ini,
seperti keimanan kepada Allah, penghambaan diri kepada-Nya, bersyukur
kepada-Nya, takut kepada Allah, cinta kepada Allah, keadilan, kasih
sayang, cinta kasih, melawan kekejaman dan ketidakadilan, yang semuanya
ditemukan di seluruh Taurat dan kitab lainnya dari Perjanjian Lama.
Terlepas
dari ini, perang yang terjadi dalam sejarah dan pembunuhan yang
terjadi karenanya juga disebutkan di dalam Taurat. Jika manusia ingin
menemukan sebuah dasar, meskipun dengan memutarbalikkan kenyataan,
untuk kekejaman, pembantaian, dan pembunuhan, mereka bisa menjadikan
bab-bab dalam Taurat tersebut sebagai acuan. Zionisme memilih cara
mutlak yang mengesahkan terorismenya, yang sebenarnya adalah sebuah
terorisme fasis. Dan, ini sangat berhasil. Misalnya, Zionisme
menggunakan bab-bab (dari Taurat) yang terkait dengan perang dan
pembantaian untuk mengesahkan pembantaian orang-orang Palestina yang
tak berdosa. Padahal, ini adalah sebuah penafsiran menyimpang yang
disengaja. Zionisme menggunakan agama untuk mengesahkan fasismenya dan
ideologi rasisnya.
Para
Zionis juga mendasarkan pernyataan mereka pada penafsiran mereka
tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan "orang pilihan" yang pernah
dikaruniakan Allah kepada orang Yahudi suatu kali. Beberapa ayat
Al-Qur'an berhubungan dengan persoalan ini:
Hai
Bani Israil, ingatlah akan ni'mat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas
segala umat45. (Qur'an, 2:47)
Dan
sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat),
kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki
yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya).
(Qur'an, 45:16)
Al-Qur'an
menerangkan bagaimana pada suatu kali Allah memberkati orang-orang
Yahudi, dan bagaimana pada kali lainnya Dia menjadikan mereka berkuasa
atas bangsa-bangsa lain. Namun ayat-ayat ini tidaklah menyiratkan
"orang pilihan" seperti apa yang dipahami orang-orang Yahudi radikal.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan kenyataan bahwa banyak nabi-nabi yang
datang dari keturunan ini, dan bahwa orang-orang Yahudi memerintah di
daerah yang luas pada saat itu. Ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa
dengan berkat kedudukan kekuasaan mereka, mereka "lebih diutamakan di
atas semua manusia lain." Ketika mereka menolak Isa, ciri ini pun
berakhir.
Al-Qur'an
menyatakan bahwa orang yang terpilih tersebut adalah para nabi dan
orang-orang beriman yang Allah tunjuki kepada kebenaran. Ayat-ayat ini
menyebutkan bahwa para nabi itu telah dipilih, ditunjuki jalan yang
benar, dan diberkati. Berikut ini adalah beberapa ayat yang terkait
dengan persoalan ini:
Dan
tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang
memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya90 di
dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang
yang saleh. (Qur'an, 2: 130)
Dan
Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka,
keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka
(untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke
jalan yang lurus. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah
Kami berikan kitab, hikmat dan kenabian Jika orang-orang (Quraisy)
itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada
kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. (Qur'an, 6:87-89)
Mereka
itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat
bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari
orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka
mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (Qur'an, 19:58)
Namun
orang-orang Yahudi radikal, yang mempercayai keterangan menyimpang,
melihat "orang yang terpilih" sebagai ciri kebangsaan sehingga mereka
menganggap setiap orang Yahudi terlahir unggul dan bahwa Bani Israil
selamanya dianggap unggul dari semua manusia lainnya.
Penyimpangan
kedua yang terbesar dari sudut pandang ini menampilkan anggapan
keunggulan ini sebagai "suatu perintah untuk melakukan kekejaman atas
bangsa lain." Untuk tujuan ini, para Zionis membenarkan perilaku mereka
melalui kebencian-kebencian turun-temurun yang bisa ditemukan dalam
beberapa hal pada Yudaisme Talmud. Menurut pandangan ini, hal yang
lumrah bagi orang-orang Yahudi untuk menipu orang-orang non-Yahudi,
untuk merampas hak milik dan bangunan mereka, dan, ketika diperlukan
bahkan membunuh mereka, termasuk wanita dan anak-anak.18 Kenyataan
menunjukkan, semua ini adalah kejahatan yang melecehkan agama sejati,
karena Allah memerintahkan kita untuk melestarikan keadilan, kejujuran,
dan hak orang-orang tertindas, dan hidup dalam kedamaian dan cinta.
Lebih
jauh lagi, pernyataan anti-non-Yahudi ini bertentangan dengan Taurat
itu sendiri, seperti ayat-ayat yang mengutuk penindasan dan kekejaman.
Akan tetapi, ideologi rasis Zionisme mengabaikan ayat-ayat seperti
itu untuk menciptakan sistem kepercayaan berdasarkan amarah dan
kebencian. Tanpa mempedulikan pengaruh ideologi Zionis, beberapa orang
Yahudi yang benar-benar percaya pada Allah akan mengetahui bahwa
agama mereka mengajarkan mereka untuk tunduk pada ayat-ayat lainnya
ini yang memuji perdamaian, cinta, kasih, dan perilaku etis, seperti:
Janganlah
kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang
kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh
orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan
kebenaran. Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di
antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu
manusia; Akulah Tuhan. Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam
hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegur orang sesamamu dan
janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia.
(Perjanjian Lama, Imamat, 19:15-17)
Hai
manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang
dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan,
dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?'' (Perjanjian Lama,
Mikha, 6:8)
Jangan
membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi
dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu … (Perjanjian
Lama, Keluaran, 20:13-17)
Menurut
Al-Qur'an pun, perang hanyalah khusus sebagai sarana mempertahankan
diri. Bahkan jika perang akan diumumkan dalam suatu masyarakat,
kehidupan orang-orang tak berdosa dan aturan hukum harus dilindungi.
Suatu perintah untuk membunuh wanita, anak-anak, dan orang-orang tua
tidak dapat disampaikan oleh agama manapun, kecuali hanya oleh
tipu-daya yang berkedok agama. Dalam Al-Qur'an, Allah tidak hanya
mengutuk jenis kebencian seperti ini namun juga menyatakan bahwa semua
manusia sama dalam pandangan-Nya dan bahwa kelebihan seseorang itu
tidaklah didasarkan pada ras, keturunan, atau segala kelebihan
keduniaan lainnya, melainkan pada ketakwaan - cinta bagi dan kedekatan
kepada Allah.
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Qur'an, 49:13)
Terlepas
dari kedok agamanya yang palsu, alasan sesungguhnya dari
ketidakmanusiawian dan kekejaman Zionisme adalah hubungannya dengan
mentalitas penjajahan Eropa di abad kesembilan belas. Penjajahan bukan
semata sebuah sistem politik atau ekonomi; penjajahan juga sekaligus
sebuah ideologi. Zionisme, yang percaya bahwa negara-negara industri
Barat mempunyai hak untuk menjajah dan menduduki bangsa-bangsa
terkebelakang di wilayah ini, melihat ini sebagai akibat alami dari
sebuah proses "seleksi alam" internasional. Dengan kata lain, Zionisme
adalah sebuah produk Darwinisme Sosial. Dalam kerangka ideologi ini,
Inggris menjajah India, Afrika Selatan, dan Mesir. Prancis menjajah
Indocina, Afrika Utara, dan Guyana. Karena terinspirasi oleh
contoh-contoh ini, para Zionis memutuskan untuk menjajah Palestina bagi
orang-orang Yahudi.
Kolonialisme
Zionis menjadi jauh lebih buruk dibanding "rekan-rekannya" Inggris
dan Prancis, karena paling tidak mereka (Inggris dan Prancis)
mengizinkan daerah pendudukan mereka untuk hidup (setelah menyerah)
dan bahkan memberi sumbangan kepada negara pendudukan dengan
pendidikan, pemerintahan yang adil, dan prasarana. Namun, seperti yang
akan kita lihat nanti, para Zionis tidak mengakui hak-hak orang
Palestina untuk hidup; mereka melakukan pembersihan etnis, dan tidak
memberi apa pun kepada orang-orang yang mereka jajah. Anda mungkin
bahkan berkata mereka tidak memberi satu batu bata pun bagi
orang-orang Palestina.
Pertentangan Zionisme dengan Yahudi
Sifat
lainnya dari Zionisme adalah kepercayaannya kepada tema-tema
propaganda palsu, mungkin yang paling penting adalah semboyan "sebuah
tanah tanpa manusia untuk seorang manusia tanpa tanah." Dengan kata
lain, Palestina, "tanah tanpa manusia" harus diberikan kepada
orang-orang Yahudi, "manusia tanpa tanah." Dalam 20 tahun pertama abad
kedua puluh, Organisasi Zionis Dunia menggunakan semboyan ini dengan
sepenuh hati untuk meyakinkan pemerintahan Eropa, khususnya Inggris dan
rakyatnya bahwa Palestina harus diserahkan kepada orang-orang Yahudi.
Pada tahun 1917, akibat kampanye persuasifnya, Inggris mengumumkan
Deklarasi Balfour bahwa "Pemerintahan Yang Mulia memandang pentingnya
pendirian di Palestina sebuah tanah air nasional bagi orang-orang
Yahudi… di Palestina."
Kenyataan
menunjukkan, semboyan "tanah tanpa manusia untuk manusia tanpa tanah"
ini tidaklah benar. Ketika gerakan Zionis dimulai, orang-orang Yahudi
tidaklah "tanpa tanah" dan Palestina pun bukannya tanpa manusia…
Orang-orang
Yahudi tidaklah tanpa tanah karena sebagian besar mereka hidup di
berbagai negara dengan damai dan aman. Khususnya di negara-negara
industri Barat, persekutuan ibadat Yahudi tidak punya keluhan apa pun
tentang kehidupan mereka. Bagi sebagian besar mereka, gagasan
meninggalkan negara mereka untuk pindah ke Palestina tidak pernah
terlintas dalam benak mereka. Kenyataan ini akan muncul belakangan
ketika ajakan Zionis untuk “Pindah ke Palestina” secara luas diabaikan.
Dalam tahun-tahun berikutnya, orang-orang Yahudi anti-Zionis yang
kita bicarakan ini secara aktif menolak gerakan Zionis melalui
ikatan-ikatan yang mereka dirikan sendiri.
Menerima
dukungan resmi dengan Deklarasi Balfour, para Zionis merasakan
dirinya berada dalam keadaan yang sulit ketika banyak saudara-saudara
Yahudinya menolak pindah. Dalam hal ini, pernyataan Chaim Weizman
sangat menohok:
Deklarasi
Balfour pada 1917 diputuskan di awang-awang… setiap hari dan setiap
jam dalam 10 tahun terakhir ini, ketika membuka surat kabar, saya
berpikir: kapan hembusan angin surga lainnya datang? Saya terguncang
karena takut Pemerintah Inggris akan memanggil saya dan bertanya:
“Beritahu kami, apakah Organisasi Zionis ini? Di manakah mereka, para
Zionismu?”... Orang-orang Yahudi, mereka tahu, menentang kami; kami
berdiri sendiri di sebuah pulau kecil, sebuah kelompok Yahudi yang amat
kecil dengan masa lalu yang asing.19
Surat
yang dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris Sir Arthur Balfour pada
Lord Rothschild yang dikenal sebagai “Deklarasi Balfour.” Kanan:
gambar surat aslinya; Kiri: Sir Balfour.
Oleh
karena itu para Zionis mulai terlibat dalam “kegiatan-kegiatan
khusus” untuk “mendorong” pindahnya orang Yahudi ke Palestina, bahkan
memaksa jika diperlukan, seperti mengganggu orang-orang Yahudi di
negara-negara asalnya dan bekerja sama dengan para anti-Semit untuk
meyakinkan bahwa pemerintah akan mengusir orang-orang Yahudi. (Lihat
Harun Yahya, Soykirim Vahseti (The Holocaust Violence,), Vural
Yayincilik, Istambul, 2002). Dengan demikian, Zionisme
mengembangkannya sebagai gerakan yang mengganggu dan menteror
rakyatnya sendiri.
Sekitar
100.000 orang Yahudi pindah ke Palestina antara tahun 1920-1929.20
Jika kita merenungkan bahwa ada 750.000 orang Palestina pada saat itu,
maka 100.000 pasti bukanlah jumlah yang kecil. Organisasi Zionis
memegang kendali penuh atas perpindahan ini. Orang-orang Yahudi yang
menginjakkan kaki di Palestina ditemui oleh kelompok Zionis, yang
menentukan di mana mereka akan tinggal dan pekerjaan apa yang akan
mereka lakukan. Perpindahan ini didorong oleh pemimpin-pemimpin Zionis
dengan berbagai imbalan. Akibat upaya yang giat di seluruh Palestina,
Eropa, dan Rusia, penduduk Yahudi di Palestina mencatat pertumbuhan
yang pesat dalam hal jumlah dan tempat tinggalnya. Bersamaan dengan
adanya peningkatan kekuasaan Partai Nazi, orang-orang Yahudi di Jerman
menghadapi tekanan yang semakin meningkat, suatu perkembangan yang
semakin mendorong perpindahan mereka ke Palestina. Kenyataan Zionis
mendukung penindasan Yahudi ini adalah sebuah fakta, dan masih menjadi
salah satu rahasia sejarah yang paling terpendam. (Lihat Harun Yahya,
Soykirim Vahseti (The Holocaust Violence), Vural Yayincilik, Istanbul,
2002)
Pertentangan Zionisme dengan Masyarakat Arab
Para
Zionis tidak diragukan lagi telah melakukan kekejaman terburuk kepada
orang-orang yang memiliki “sebuah tanah tanpa manusia”: orang-orang
Palestina. Semenjak hari ketika Zionisme memasuki Palestina, para
pengikutnya telah berusaha untuk menghancurkan orang-orang Palestina.
Untuk memberi ruang bagi para imigran Yahudi, baik dipengaruhi oleh
gagasan Zionis maupun takut pada anti-Semitisme, orang-orang Palestina
terus ditekan, diasingkan, dan diusir dari rumah-rumah dan tanah
mereka. Gerakan untuk menduduki dan mengasingkan ini, yang didorong
oleh didirikannya Israel pada tahun 1948, menghancurkan kehidupan
ratusan ribu orang-orang Palestina. Hingga hari ini, sekitar 3,5 juta
orang Palestina masih berjuang untuk kehidupannya sebagai pengungsi
dalam keadaan yang paling sulit.
Semenjak
1920an, perpindahan orang Yahudi yang diorganisir oleh Zionis telah
dengan mantap mengubah keadaan demografi Palestina dan telah menjadi
sebab terpenting berkepanjangannya pertentangan. Statistik yang terkait
dengan peningkatan penduduk Yahudi ini secara langsung membuktikan
kenyataan ini. Angka-angka ini adalah petunjuk penting tentang
bagaimana sebuah kekuatan penjajahan dari luar negeri, kekuatan tanpa
hak hukum atas tanah tersebut datang untuk merampok hak-hak penduduk
asli.
Menurut
catatan-catatan resmi, jumlah imigran Yahudi ke Palestina meningkat
dari 100.000 pada tahun 1920an menjadi 232.000 pada tahun 1930an.21
Hingga 1939, penduduk Palestina yang jumlahnya 1,5 juta jiwa telah
termasuk 445.000 orang Yahudi. Jumlah mereka, yang hanya 10% saja dari
jumlah penduduk 20 tahun sebelumnya, sekarang menjadi 30% dari seluruh
penduduk. Pemukiman Yahudi juga berkembang pesat, dan per 1939
orang-orang Yahudi memiliki dua kali dari jumlah tanah yang mereka
miliki pada tahun 1920an.
Pengumuman
resmi Deklarasi Balfour menandai awal perpindahan Yahudi
besar-besaran dan cepat ke Palestina. Tabel di kiri memperlihatkan
jumlah orang Yahudi yang pindah ke Palestina antara 1920 dan 1929.
Selama masa ini, sekitar 100.000 orang Yahudi memasuki Palestina.
British Government, The Political History of Palestine under the
British Administration, Palestine Royal Commision Report, Cmd. 5479,
1937, hlm. 279
Per
1947, ada 630.000 orang Yahudi di Palestina dan 1,3 juta orang
Palestina. Antara 29 November 1947, ketika Palestina diberi dinding
pembatas oleh PBB, dengan 15 Mei 1948, organisasi teroris Zionis
mencaplok tiga perempat Palestina. Selama masa itu, jumlah orang-orang
Palestina yang tinggal di 500 kota besar, kota kecil, dan desa turun
drastis dari 950.000 menjadi 138.000 akibat serangan dan pembantaian.
Beberapa di antaranya terbunuh, beberapa terusir.22
Dalam
menjelaskan kebijakan pendudukan yang diterapkan Isrel pada tahun
1948, revisionis Israel yang terkenal, Ilan Pappe membuka sebuah
rahasia, rencana tak tertulis untuk mengusir orang-orang Arab dari
Palestina. Menurut rencana ini, setiap desa atau pemukiman Arab yang
tidak menyerah kepada kekuatan Yahudi, yang tidak akan mengibarkan
bendera putih, akan dibumihanguskan, dihancurkan, dan orang-orangnya
diusir. Setelah keputusan ini dilaksanakan, hanya empat desa yang
mengibarkan bendera putih; kota-kota dan desa-desa lainnya pasti akan
menjadi sasaran pengusiran.23
Dengan
cara ini, 400 desa Palestina terhapus dari peta selama 1949-1949. Hak
milik yang ditinggalkan orang-orang Palestina dikuasai oleh
orang-orang Yahudi, atas dasar Hukum Hak Milik Tak Ditempati. Hingga
tahun 1947, kepemilikan tanah orang-orang Yahudi di Palestina adalah
sekitar 6%. Pada saat negara Israel resmi didirikan, kepemilikan itu
telah mencapai 90% dari seluruh tanah.24
Setiap
kedatangan orang Yahudi yang baru berarti kekejaman, tekanan, dan
kekerasan baru terhadap orang-orang Palestina. Untuk memberi tempat
tinggal bagi pendatang baru, organisasi Zionis menggunakan tekanan dan
kekuatan untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanahnya, yang telah
mereka tempati selama berabad-abad, dan pindah ke padang pasir.
Joseph Weitz, kepala komite transfer pemerintah Israel pada tahun 1948
menuliskan dalam buku hariannya pada 20 Desember 1940:
Pasti
telah jelas bahwa tidak ada ruang untuk dua rakyat dalam negara ini.
Tidak ada perkembangan yang akan membawa kita semakin dekat dengan
tujuan kita, untuk menjadi rakyat merdeka dalam negara kecil ini.
Setelah orang-orang Arab dipindahkan, negara ini akan terbuka luas bagi
kita; dengan masih adanya orang Arab yang tinggal, negara ini akan
tetap sempit dan terbatas. Satu-satunya jalan adalah memindahkan
orang-orang Arab dari sini ke negara-negara tetangga. Semua mereka.
Tidak ada satu desa pun, atau satu suku pun yang harus tertinggal.25
Gelombang
perpindahan orang-orang Yahudi tetap tak surut selama Palestina
ditangani Inggris. Akibat upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Zionis,
sebanyak 232.000 orang Yahudi bermukim di Palestina antara 1930-1939.
British Government, The Political History of Palestine under the
British Administration, Palestine Royal Commision Report, Cmd. 5479,
1937, hlm. 279
Heilburn,
ketua komite pemilihan kembali Jenderal Shlomo Lahat, walikota Tel
Aviv, menyatakan pandangan Zionis tentang orang-orang Palestina dalam
kata-kata berikut: "Kita harus membunuh semua orang-orang Palestina
kecuali mereka tunduk tinggal di sini sebagai budak."26 Banjir
kedatangan imigran yang disebabkan oleh pecahnya Perang Dunia II membuat
orang-orang Palestina sadar akan apa yang terjadi, sehingga mulai
menolak tindakan-tindakan yang tidak adil. Namun, setiap gerakan
penolakan dihentikan dengan paksa oleh kekuatan Inggris. Orang-orang
Palestina merasakan dirinya berada di bawah tekanan organisasi teroris
Zionis di satu sisi, dan tentara-tentara Inggris di sisi lain. Dengan
kata lain, mereka menjadi sasaran kepungan dua musuh.
1) Negara tempat perpindahan di mulai
2) Jumlah Imigran Yahudi
3) Akhir perpindahan
Program
perpindahan yang diorganisir oleh para pemimpin Zionis diejawantahkan
dengan kecepatan mengejutkan, dimulai pada awal 1900an. Orang-orang
Yahudi yang pindah dari Afrika Utara, Uni Soviet, dan berbagai negara
Timur Tengah menggeser perbandingan penduduk di Palestina untuk
keuntungan orang-orang Yahudi.
Selama
kekuasaan Inggris, lebih dari 1500 orang Palestina yang berjuang
untuk kemerdekaannya terbunuh dalam pertempuran yang dilakukan oleh
tentara-tentara Inggris. Di samping itu, ada pula beberapa orang
Palestina yang ditahan oleh Inggris karena menentang pendudukan Yahudi.
Tekanan pemerintah Inggris menyebabkan kekerasan serius terhadap
mereka. Namun, terorisme Zionis tak terbandingkan kekejamannya.
Kekejaman Zionis, yang pecah begitu berakhirnya Kekuasaan Inggris,
meliputi pembakaran desa-desa, penembakan wanita, anak-anak, dan orang
tua seolah sebuah hukuman mati; penyiksaan korban-korban tak berdosa,;
dan pemerkosaan wanita-wanita dewasa dan remaja.
Sekitar
850.000 orang Palestina yang tidak tahan akan kekejaman dan
penindasan ini meninggalkan tanah dan rumah mereka dan tinggal di Tepi
Barat, Jalur Gaza, serta di sepanjang perbatasan Libanon dan
Yordania. Sekitar satu juta orang Palestina masih tinggal di kamp-kamp
pengungsian ini, sementara 3,5 juta lainnya tinggal sebagai
pengungsi-pengungsi jauh dari tanah air mereka.
1) Wilayah Inggris
2) Wilayah Arab
3) Wilayah Yahudi
4) Wilayah Internasional
Ketika
Palestina berada di bawah kendali Inggris setelah Perang Dunia I,
gelombang besar perpindahan Yahudi ke daerah ini dimulai. Perpindahan
ini lambat laun mulai meningkat pesat. Selama masa ini, beberapa badan
didirikan untuk menentukan bagaimana orang Yahudi dan Palestina berbagi
tanah. Badan yang terkenal adalah the Peel Commission, yang dikepalai
oleh bekas Menteri Luar Negeri Inggris untuk India Lord Earl Peel,
dan Komisi Morrison-Grady, yang dibentuk melalui kemitraan
Amerika-Inggris.
The Peel Commission mengusulkan agar pengawasan
Inggris ditingkatkan dan daerah ini dibagi antar kedua kelompok, hanya
Yerusalem dan Haifa yang tetap di bawah kendali Inggris dan akan
terbuka untuk pengamat internasional. Morrison-Grady Plan mengusulkan
agar Palestina dibagi atas empat daerah kantong terpisah. Namun,
anggota badan ini tidak memperhitungkan bahwa tanah yang sedang mereka
bagi ini dimiliki oleh orang-orang Palestina selama berabad-abad, dan
tak seorang pun punya hak untuk memaksa mereka membaginya
bertentangan dengan kehendak mereka.
Orang-orang
Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian hari ini menghadapi
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar sekalipun. Mereka
hanya bisa menggunakan air dan listrik jika orang Israel
mengizinkannya, dan berjalan bermil-mil untuk bekerja demi upah yang
amat rendah. Bagi mereka yang pergi bekerja atau mengunjungi kerabat
yang tinggal di dekat kamp pengungsian, perjalanan itu seharusnya
tidak lebih dari 15 menit saja. Akan tetapi, kejadiannya sering
berubah menjadi mimpi buruk karena pemeriksaan identitas di
tempat-tempat pemeriksaan yang sering dilakukan, di mana para tentara
yang bertugas melakukan kepada mereka pelecehan, penghinaan, dan
perendahan. Mereka tidak dapat berpindah dari tempat A ke tempat B
tanpa passport. Dan karena tentara-tentara Israel sering menutup jalan
untuk alasan “keamanan,” orang-orang Palestina sering tidak dapat
pergi bekerja, pergi ke tempat yang ingin mereka tuju, atau bahkan
untuk menuju rumah sakit ketika mereka jatuh sakit. Bahkan,
orang-orang yang hidup di kamp-kamp pengungsian tiap hari hidup dalam
rasa takut akan dibom, dibunuh, dilukai, dan ditahan, karena pemukiman
orang-orang Yahudi fanatik di sekitar kamp menjadi ancaman
sesungguhnya mengingat pelecehan dan serangan yang dilancarkan oleh
penduduk Yahudi fanatiknya.
Tentu,
diusir dari rumah dan dipaksa meninggalkan tanah asal seseorang
mengakibatkan banyak kesulitan. Namun, inilah takdir Allah. Sepanjang
sejarah, masyarakat Muslim telah terusir dari rumah mereka dan
menghadapi berbagai jenis tekanan, penyiksaan, dan ancaman oleh
orang-orang yang tak beriman. Para pemimpin yang kejam atau orang-orang
yang menggunakan kekuasaan sering mengusir orang-orang yang tak
berdosa dari tanah mereka hanya karena keturunan atau keyakinan mereka.
Apa yang diderita oleh orang-orang Islam di banyak negara, juga
orang-orang Palestina, telah diwahyukan di dalam Al-Qur'an. Namun Allah
membantu semua orang yang tetap sabar, menunjukkan akhlak terpuji, dan
menolak menakut-nakuti orang laii meskipun mengalami kekerasan.
Seperti yang Allah nyatakan dalam Al-Qur'an:
Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain259. Maka orang-orang yang
berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam
surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (Qur'an, 3:195)
Dengan
demikian, akan datang suatu hari ketika semua orang-orang Palestina
akan hidup dalam kedamaian, keamanan, dan persaudaraan. Tapi ini hanya
dimungkinkan dengan menyebarluaskan akhlak Al-Qur'an antar manusia,
karena akhlak seperti itu bersifat memaafkan dan toleran;
mempertahankan kedamaian; menekankan pada cinta kasih; rasa hormat, dan
kasih sayang; dan pengikutnya saling berlomba untuk beramal saleh.
Ketika akhlak yang baik mengemuka, penindasan dan gangguan tidak dapat
hidup. Dan lebih jauh lagi, ketika akhlak ini ditunjukkan dengan
sepenuh hati, persaudaraan Muslim akan meningkat dan mereka akan
mendapatkan kekuatan untuk melakukan sebuah perjuangan intelektual
melawan kekejaman. Oleh karena itu, menerapkan sistem tata prilaku
Qurani akan membawa kita menuju akhir dari kekejaman tidak hanya di
Palestina, melainkan juga di seluruh dunia. Kewajiban umat Islam adalah
menyebarluaskan tata prilaku tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar