Kejaksaan Agung Minta Maaf atas Penyitaan 9 Judul Buku Islam
Saif Al Battar
Jum'at, 11 November 2011 13:46:57
Jum'at, 11 November 2011 13:46:57
JAKARTA (Arrahmah.com) - Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI) Cabang Jakarta, Senin (7/11) Siang, menggelar diskusi seputar
pelarangan 9 buku Islam oleh Kejaksaan Agung RI. Sebelumnya IKAPI
Jakarta sempat melayangkan surat permohonan penjelasan kepada Jaksa
Agung Republik Indonesia pada tanggal 21 September 2011.
Seperti diberitakan sebelumnya, pihak Kejagung mengeluarkan rilis pelarangan 9 buku Islam di berbagai toko buku diantaranya: Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 karangan Sayyid Quthb, Loyalitas dan Anti Loyalitas dalam Islamkarangan Muhammad bin Sa’id Al Qathani, Ikrar Perjuangan Islam karangan DR Najih Ibrahim, Khilafah Islamiyah-Suatu Realita bukan Khayalan karangan Prof DR Syeikh Yusuf Al Qaradawi, Kado Istimewa untuk Sang Mujahid karangan Syakh Dr Abdullah Azzam.
Buku lainnya adalah, Catatan dari Penjara – Untuk Mengamalkan dan Menegakan Dinul Islam karangan Abu Bakar Ba’asyir, Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah karangan Syabab Hizbut Tahrir Inggris, Syariat Islam-Solusi Universal karangan Prof Wahbah Az Zuhali dan Visi Politik Gerakan Jihad karangan Hazim Al Madanidan Abu Mus’ab As Suri.
Tujuan IKAPI Jakarta yang diketuai Efi Afrizal Sinaro tidak lain
untuk meminta klarifikasi terkait pelarangan buku. Acara yang dihadiri
berbagai penerbit, diantaranya Gema Insani Press, Pustaka Al Kautsar,
Qisthi Press dan lain sebagainya.
Surat Permohonan tersebut kemudian dibalas oleh Kejaksaan Agung pada
tanggal 26 Oktober yang menjelaskan bahwa Kejagung tidak lagi memiliki
wewenang untuk melarang sebuah buku. Wilayah Kejagung hanya pada
pengawasan.
Selain itu, dalam surat bernomor B-1056/D.2/Dsp.2/10/2011 dalam poin 3
juga dikatakan bahwa Kejaksaan Agung cq. Jaksa Agung Muda Intelijen
tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan Pelarangan Buku.
Menurut Abdul Hakim selaku pengurus IKAPI Jakarta Bidang Hukum dan
Advokasi, Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak memiliki wewenang
untuk melakukan pelarangan. Ia mengutip putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 6-13-20/PUU-VIII/2010 Tanggal 13 Oktober 2010.
“Disitu sudah jelas bahwa MK memutuskan Kejaksaan Agung tidak lagi
memiliki wewenang mengeluarkan Surat Keputusan Pelarangan Buku,”
ujarnya.
Tapi mengapa Kejagung masih melakukan pelarangan buku di berbagai daerah?
“Berdasarkan pengakuan dari Direktur II, yang dalam hal ini asisten
Pak Hindiyana (Jaksa Utama Madya, red), atas kejadian itu beliau
menyampaikan permohonan maaf. Aktifitas itu (penyitaan buku, red.)
adalah tindakan yang berlebihan dari timnya. Karena sebenarnya policy kejaksaan tidak seperti itu,” imbuhnya. (voi/era/arrahmah.com)
Mantan Kyai NU: Mereka sewenang – wenang menyita buku-buku Islam
Halo Googler! Jika menurut Anda artikel ini menarik, jangan lupa untuk Berlangganan Gratis (via email/RSS). Terima kasih atas kunjungannya!
Cover buku asli (bukan terjemahan) al-Wala’ wal Bara’ terbitan Daru Thibah Makkah al-Mukarramah dengan kata pengantar Syaikh Abdul Razzaq Afifi, ulama besar di Saudi Arabia/ twhed.com
Menanggapi berita Baru Saja Penyebar Kesesatan Ditugasi, Langsung 9 Buku Islam Dilarang, sebuah blog yang dipandegani dening Mantan Kyai NU menulis sebagai berikut:
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Penyitaan buku yang di lakukan oleh Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan
Negeri Tanjungbalai Karimun, Hanjaya Candra SH beserta beberapa orang
anggotanya itu jelas sewenang – wenang , mestinya melalui proses
pradilan dulu sebagaimana keputusan <MK sbb :
Jakarta (ANTARA News) – Kejaksaan Agung menyatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan kewenangan pelarangan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4/PNPS/1963 bertentangan dengan UUD dan pelarangan buku yang mengganggu ketertiban hukum harus melalui pengadilan.“Ya kita harus menghormati putusan itu,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen, Edwin P Situmorang, di Jakarta, Rabu.Kendati demikian, ia enggan berkomentar banyak atas putusan itu karena belum membaca secara jelas isi dari putusan MK tersebut.“Tetapi yang pasti bisa saya katakan bahwa putusan MK itu punya kekuatan hukum tetap,” katanya.
Dalam putusan itu, menyebutkan penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambialihan hak pribadi secara sewenang-wenang yang dilarang pasal 28H ayat 4 UUD 1945.Uji materi UU No 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum diajukan oleh Muhidin M Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku, M Chozin Amirullah selaku Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam.Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan sebagian dari permohonan pemohon.MK menyebut UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum juncto UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Sementara tentang pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditolak.(*)(R021/r009)
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Jadi menurut undang – undang negara kita sendiri , penyitaan itu melanggar UU , apalagi menurut al quran .Mengapa hanya buku Islam yang mengobarkan jihad Islami itu yang di larang , sementara pengobar kemaksiatan dan kemungkaran, kebid`ahan dan kesyirikan di biarkan saja . Bahkan di terbit kan beberapa kali . Banyak buku – buku yang menghujat Islam di biarkan saja, banyak radio amatir yang menghujat Islam di biarkan . Banyak surat kabar yang menginjak – injak ajaran Allah di biarkan Buku – buku itu di Saudi arabia di biarkan terbit dan menyebar tapi tidak ada yang menjadi teroris karena baca buku itu. Ber arti alasan mereka yang menyita buku – buku itu di ada – adakan belaka.Ikuti saja ayat Allah sbb :
)وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ(54)
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.[1]
وَقَدْ مَكَرُوا مَكْرَهُمْ وَعِنْدَ اللَّهِ مَكْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ(46)
Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.[2][1] Ali imran 54
[2] Ibrahim 46
Read more: http://mantankyainu.blogspot.com/2011/10/mereka-sewenang-wenang-menyita-buku.html#ixzz1bQCRH84f
Buku Kyai Kok Bergelimang Kemusyrikan
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillahi Rabbil
‘allamien. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, tabi’in,
tabi’it tabi’in, dan pengikut-pengikutnya yang setia dengan baik sampai
akhir zaman.
Pembaca yang budiman, masih ingat kan, ramainya pendukung kesesatan Ahmadiyah hingga muncul AKKBB dan kemudian terjadi insiden dengan FPI di Monas, Juni 2008? Di nahimunkar.com ini pernah ditampilkan judul Ngawurnya A Mustafa Bisri, yakni dalam membela kekafiran Ahmadiyah, yang
judul itu ternyata disalurkan pula oleh para ikhwah di media mereka
hingga jadi ramai, polemic. Juga tentang betapa gigihnya Ahmad Syafii
Maarif dalam membela dan menjajakan kemusyrikan baru berupa pluralisme
agama, dan membela kekafiran yang diusung Ahmadiyah. Semua itu kini
dikumpulkan, dirangkum dalam satu buku yang telah dicetak, berjudul Kyai Kok Bergelimang Kemusyrikan
diterbitkan oleh Pustaka Nahi Munkar Jakarta, Agustus 2008, 436
halaman, 24 x 16 cm. ISBN: 978-979-18335-0-9. Harga buku ini RP 72.500,-
Jejak-jejak pembela kemusyrikan baru yakni pluralisme agama diblejeti di buku ini, hingga ada pembahasan yang berjudul Syafii Maarif Mengais Sampah Nurcholish Madjid. Sedangkan Nurcholish Madjid dipasangkan dengan Harun Nasution dalam judul Harun Nasution dan Nurcholish Madjid dalam Kasus Penyelewengan Tauhid Berkedok Ayat tentang Ahli Kitab.
Bagi teman-teman yang
suka berburu buku ke Senen Jakarta, insya Allah sudah ada, demikian pula
di toko-toko buku lainnya, seperti di Margonda Depok. Bahkan di
Surabaya sudah seminggu yang lalu beredarnya buku ini.
Gambaran kongkret buku ini:
Buku Kyai Kok Bergelimang Kemusyrikan ini
mengandung makna, ada orang di barisan depan Ummat Islam tetapi
bergelimang kemusyrikan. Padahal kemusyrikan adalah puncak kemunkaran,
dosa terbesar yang tak diampuni Alloh Subhanahu wa Ta’ala bila sampai ajal tiba pelakunya belum bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat yaitu taubatan nashuha.
Berbagai
fenomena puncak-puncak kemunkaran, namun dilakoni bahkan dibela
mati-matian oleh pemuka-pemuka agama di antaranya kyai, cendekiawan,
tokoh dan sebagainya, ditampilkan di buku ini.
Pembahasannya menukik pada sesatnya Ahmadiyah, Syi’ah, Pluralisme Agama, Syirik, Bid’ah, Kristenisasi, dan Kemunkaran. Juga
buruknya pembelaan dari orang-orang yang sesat terhadap pelaku dan
pengidap kesesatan. Jadi ada pengidap kesesatan, ada pula
pembela-pembela kesesatan yang sekaligus juga pelaku kesesatan.
Buku ini cukup tajam dan mengena dalam menyoroti fenomena akhir-akhir ini di Indonesia, dimana terjadi
peristiwa yang meresahkan Ummat Islam, yaitu bertemunya para pengidap
kesesatan dengan para pendukung kesesatan yang justru dengan ramai-ramai
berani menantang kebenaran, walau kebenarannya sudah sangat jelas, dan
kesesatannya pun nyata, seperti tentang sesatnya Ahmadiyah yang
didirikan oleh Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908M) di India. Sehingga buku ini merupakan kumpulan dari puncak-puncak masalah yang meresahkan Ummat Islam.
Kasus-kasus itu dituangkan dalam tulisan yang dilandasi dalil-dalil dari ayat-ayat Al-Qur’an, As-Sunnah, dan dikemukakan pula qaul (pendapat/ perkataan) Ulama.
Pembaca
yang budiman, bagi yang ingin pesan buku tersebut, dapat menghubungi
Toko Buku Fitrah di Bekasi Barat, sdr Hadi, sms 085649344766, fax 021
8655824, telepon 021 8655824/ 021 71490693. Pembayaran via transfer: BCA
739.0339.601 atas nama MOHAMMAD HADI – BCA KCP Bekasi.
Terimakasih atas perhatiannya.
والسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Redaksi nahimunkar.com
Kyai Belum Tentu Ulama
http://nahimunkar.com/22/kyai-belum-tentu-ulama/
Di kalangan masyarakat Jawa, ada dikenal sebutan atau gelar
kehormatan yang ditujukan kepada ulama, yaitu Kyai. Namun demikian,
gelar Kyai bukan satu-satunya sebutan penghormatan yang diberikan
masyarakat Jawa kepada kaum ulama. Masih ada beberapa sebutan lain
misalnya Wali, Sunan (Susuhunan) dan Panembahan.
Seiring berjalannya waktu, terutama ketika terjadi nasionalisasi
istilah-istilah jawa di masa Orde Baru, sebutan Kyai juga ditempelkan
kepada ulama non Jawa, padahal di setiap daerah, sebelumnya sudah eksis
sebutan khas untuk para ulama seperti Ajengan untuk masyarakat Jawa
Barat, Buya untuk masyarakat Sumatera Barat, Tengku untuk masyarakat
Aceh.
Sedangkan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan gelar kehormatan yang diberikan kepada kaum ulamanya adalah Tofanrita. Untuk masyarakat Madura dikenal sebutan Nun atau Bendara (biasa disingkat Ra). Di kalangan masyarakat Nusatenggara seperti Lombok dikenal sebutan Tuan Guru. Hampir mirip dengan di Lombok, masyarakat Betawi biasa menyebut ulamanya dengan sebutan Guru, tapi sebutan ini pada akhirnya kalah pamor dibandingkan dengan sebutan Kyai dan Habaib.
Sedangkan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan gelar kehormatan yang diberikan kepada kaum ulamanya adalah Tofanrita. Untuk masyarakat Madura dikenal sebutan Nun atau Bendara (biasa disingkat Ra). Di kalangan masyarakat Nusatenggara seperti Lombok dikenal sebutan Tuan Guru. Hampir mirip dengan di Lombok, masyarakat Betawi biasa menyebut ulamanya dengan sebutan Guru, tapi sebutan ini pada akhirnya kalah pamor dibandingkan dengan sebutan Kyai dan Habaib.
Faktanya, sebutan Kyai tidak selalu menunjuk kepada seseorang (atau
sekelompok orang) yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan
segala cabangnya; atau menunjuk kepada Guru Agama Islam yang luas
pandangannya. Ada sebutan Kyai yang ditujukan kepada kalangan pendidik
tingkat nasional (sekuler) –biasanya disingkat menjadi Ki– misalnya Ki
Hajar Dewantara. Ada juga sebutan Kyai atau Ki yang ditujukan kepada
sekelompok orang yang mahir mendalang, seperti Ki Dalang. Bahkan makna
Kyai atau Ki juga menunjuk kepada sekelompok orang yang menjalankan
profesi perdukunan yang tergolong musyrik. Jadi, makna Kyai memang tidak
selalu tertuju kepada ulama agama Islam yang luas ilmu pengetahuannya.
Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya), sebutan Kyai pada masa sebelum perang kemerdekaan menunjuk kepada seseorang yang menduduki jabatan setingkat Wedana (District-hoofd). Dalam istilah sekarang Wedana setara dengan Walikota. Sedangkan di Padang, juga pada masa sebelum perang kemerdekaan, sebutan Kyai berarti Cino Tuo, yaitu orang Cina yang telah berusia lanjut.
Kyai Kerbau
Sebutan Kyai juga tidak selalu ditempelkan kepada seseorang atau
sekelompok orang, tetapi juga kepada benda-benda yang bermakna khusus.
Misalnya di Jogjakarta, ada sebutan Kyai Sekati dan Nyi Sekati untuk
sepasang gamelan yang dimainkan saat merayakan sekatenan. Masih di
Jogja, ada sebutan Kyai Tunggul Wulung untuk sebuah bendera keramat yang
dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam kota Jogja.
Di Keraton Solo (Jawa Tengah) ada seekor kerbau yang dianggap keramat
dan diberi sebutan Kiyai Slamet. Kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet itu
dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram (tanggal 1 Syuro).
Tidak ada yang berani mengusik sang kerbau, bahkan bila sang kerbau
memakan dagangan sayuran dan sebagainya, ia tidak diapa-apakan, karena
menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), manakala
kerbau itu memakan dagangan tersebut justru dianggap akan memberi rizki
atau menebarkan keberkahan. Jadi sebutan Kyai yang ditempelkan kepada
kerbau yang diangap keramat itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan
ulama, bahkan justru berkaitan dengan penyimpangan yang kental nuansa
kemusyrikannya.
Kini, fakta baru terus bermunculan, yaitu sebutan Kyai lebih sering
melekat kepada sekelompok orang yang beratribut bagaikan ulama, namun
perilakunya lebih menegaskan posisinya sebagai ulama suu’ (ulama yang
jahat), yaitu ulama-ulama yang suka masuk keluar Istana atau pintu
penguasa. Bahkan ulama seperti itu ada yang menyebutnya sebagai maling (lisshun – لص ).
Di masa orde baru ada segerombolan Kyai yang gemar mendekati penguasa. Bahkan segerombolan Kyai ini –jumlahnya puluhan dan dipimpin Nur Iskandar SQ– mendatangi penguasa orde baru seraya menghadiahi emas beberapa kilogram. Mereka berdalih, sumbangan itu sebagai bentuk nyata partisipasi para Kyai di dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Tak berapa lama setelah kunjungan para Kiyai itu, Presiden Soeharto justru lengser setelah didemo oleh puluhan ribu mahasiswa, dan krisis ekonomi-moneter berlanjut hingga kini, bahkan lebih parah lagi, yang terjadi justru krisis multi-dimensi termasuk krisis moral.
Sebelum itu, ada sejumlah Kyai yang mempelopori disahkannya asas tunggal pancasila. Gerombolan ini dipimpin oleh Kyai Haji Ahmad Siddiq. (Semasa hidupnya, mendiang menggemari musik rock barat, padahal kitab-kitab yang dikaji para ulama jelas mengharamkan musik). Bahkan mereka sempat berbangga diri karena telah menjadi pelopor di dalam mensukseskan asas tunggal pancasila. Padahal, asas tunggal bagi kalangan Islam non NU dan Golkar merupakan salah satu instrumen penekan yang merugikan umat Islam. Memasuki orde reformasi, asas tunggal dicabut karena dianggap sebagai produk politik yang anti kebhinekaan. Bagaimana sikap sang Kyai pelopor asas tunggal itu kini?
Di masa orde baru ada segerombolan Kyai yang gemar mendekati penguasa. Bahkan segerombolan Kyai ini –jumlahnya puluhan dan dipimpin Nur Iskandar SQ– mendatangi penguasa orde baru seraya menghadiahi emas beberapa kilogram. Mereka berdalih, sumbangan itu sebagai bentuk nyata partisipasi para Kyai di dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Tak berapa lama setelah kunjungan para Kiyai itu, Presiden Soeharto justru lengser setelah didemo oleh puluhan ribu mahasiswa, dan krisis ekonomi-moneter berlanjut hingga kini, bahkan lebih parah lagi, yang terjadi justru krisis multi-dimensi termasuk krisis moral.
Sebelum itu, ada sejumlah Kyai yang mempelopori disahkannya asas tunggal pancasila. Gerombolan ini dipimpin oleh Kyai Haji Ahmad Siddiq. (Semasa hidupnya, mendiang menggemari musik rock barat, padahal kitab-kitab yang dikaji para ulama jelas mengharamkan musik). Bahkan mereka sempat berbangga diri karena telah menjadi pelopor di dalam mensukseskan asas tunggal pancasila. Padahal, asas tunggal bagi kalangan Islam non NU dan Golkar merupakan salah satu instrumen penekan yang merugikan umat Islam. Memasuki orde reformasi, asas tunggal dicabut karena dianggap sebagai produk politik yang anti kebhinekaan. Bagaimana sikap sang Kyai pelopor asas tunggal itu kini?
Kyai Tak Jelas
Sesungguhnya sebutan Kyai tidak dikenal di dalam terminologi Islam.
Bahkan siapa yang berwenang memberikan gelar Kyai kepada seseorang pun
tidak jelas aturan mainnya. Saking tidak jelasnya, kini tumbuh fenomena:
keturunan Kyai yang kemudian mengimami masjid atau memimpin pesantren,
kepada yang bersangkutan secara otomatis disebut Kyai pula. Padahal,
ketika bapaknya masih hidup, sang anak Kyai ini tidak pernah disebut
Kyai muda. Tetapi begitu bapaknya meninggal, maka dia langsung dipanggil
atau suka dipanggil dengan sebutan Kyai, walaupun dari segi keilmuan
maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Keadaan di atas sangat kontras bila disandingkan dengan fakta lain tentang orang-orang yang istiqomah dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kyai. Antara lain, HAMKA, Prof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, padahal mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam, secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
Keadaan di atas sangat kontras bila disandingkan dengan fakta lain tentang orang-orang yang istiqomah dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kyai. Antara lain, HAMKA, Prof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, padahal mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam, secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
Nampaknya, perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar