WEDNESDAY, APRIL 20, 2011
Kisah Nabi Khidir AS
Salah satu kisah Al-Qur’an yang
sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba
yang Allah SWT memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah
tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan
cerita Nabi Musa, yaitu:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan
berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan
bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup
lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma’ al-Bahrain (pertemuan
dua buah lautan). Di sana
terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau
sampai di majma‘ al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa
tempat itu sangat misterius dan samar. Para
musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui
hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa
tempat itu adalah laut Persia
dan Romawi. Ada
yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga
bahwa itu berada di Thanjah. Ada
yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada
lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat
menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus
disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim
sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur’an tidak menyebutkan
kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama
orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang
kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang
tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan
sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena
biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan
suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang
sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan
dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui.
Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat
mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja
menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut
dalam firman-Nya:
“Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur’an al-Karim tidak
menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari
oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak
bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari
para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya
dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara.
Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang
harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah
belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah
seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam
hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang
menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa
kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu
Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau
ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa
yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan
simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan
kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan
oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian
tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti
apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya
menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar
biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku
hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan
syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan
hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal
yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang
menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya
mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat
keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi
dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka.
Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Nabi Musa as berbicara di
tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan
menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat
komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah
seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih
alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.”
Allah SWT tidak setuju dengan
jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai
Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?” Musa
mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali
berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada
di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi
Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam
dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia
dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan
membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di
tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari
ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu
membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang
alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan
masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu
akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang
alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang
lama.
Musa berkata kepada pembantunya:
“Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan
itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau
hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di
suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan
pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu
bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai
tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya
dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya.
Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah
melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang
terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa
terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah
merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami
makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari
perjalanan ini.”
Pembantunya mulai ingat tentang
apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia
segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa
karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun
yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan
bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira
melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita
inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat
itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan
pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang
di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah:
bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana
ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir
itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya,
Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu
di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju
laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui
namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak
mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan
oleh Al-Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “
Inilah aspek yang penting dalam
kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan
tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu,
maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke
laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya:
‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan
hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan
itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan
ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa
berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” (QS. al-Kahfi:
61-65)
Bukhari mengatakan bahwa Musa dan
pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan.
Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata:
“Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.”
Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi
dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab:
“Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku
siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan
penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat
mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.” Khidir
berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah
mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau
tidak akan mampu bersabar bersamaku.”
Kita ingin memperhatikan sejenak
perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan
jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus
diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada
Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk
menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau
kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku.
Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau
pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu
bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan
yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya
menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia
akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit
pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa,
seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan
ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang
namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa
jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya
tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak
bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau
hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan
kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah
kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka
berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka
berbicara dengan orang-orang yang ada di sana
agar mau mengangkut mereka. Para pemilik
perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta
upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir.
Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh
para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari
perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa
ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat
tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa
yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani
laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan
Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini
telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku
justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa
adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk
kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan
ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun
yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya
tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar
pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan
bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu
lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap
kepadanya agar tidak menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati
suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika
anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar
di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat
terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa
dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja
dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT
itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya.
Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan
bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu.
Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat
bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan
mengapa tinggal dan bermalam di sana .
Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk
desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore.
Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa
dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris
roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan
membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi
Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan
yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat
upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah
SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan
diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang
seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang
ketiga adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu
menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi
Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah
hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi
jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang
tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang
secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat
dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek
batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki
ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu
Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba
Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang
terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
“Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu
Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang
akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat
sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah
berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’
Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah
keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir
membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan
karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang
mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau
memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan
dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan
dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu
maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia
ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami
menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih
baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada
ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian
itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua
hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat
terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di
bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan
menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi
mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan
yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja
akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan
membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki
keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan.
Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa
terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa
rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai
ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka
pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman
dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang
membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat.
Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa
menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia
menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari
tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui
pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan
keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia
tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak
mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu
terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih
sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi
Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia
bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan
lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat
kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna
dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau
yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT
wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas
ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau
seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari
wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu ladunikepadanya
tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini
adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut
menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan
kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
“Lalu mereka bertemu dengan
searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami.”
Kedua, perkataan Musa
kepadanya:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah
kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu
dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah
kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya
kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan
bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya
dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban
yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga
Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan
keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan
perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan
bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh
membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya
dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum
karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh
anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir
kepada Musa:
“Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan
bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al-Kahfi:
82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan
dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu
dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi
sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah
seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Kliidir
yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh,
Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar
kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan
Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku
nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat
kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud
berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran
pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama
bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap
diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli
hakikat itu adalah Khidir.
Kami sendiri cenderung untuk
menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang
jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang
menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang
dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang
diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar
pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah
tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di
batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau
kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi
karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk
beberapa waktu.
POSTED BY IVAN AT 6:37 AM
LABELS: ISLAMI, KISAH
NABI KHIDIR AS
1 COMMENTS:
ZA said...
ilmu Allah Maha luas.... dan tak
terukur oleh keterbatasan manusia...atau apapun...
Karena itu kalau kita mencari
Kebenaran ...maka Kebenaran itu adalah Allah.. dan FirmanNya dalam kitab
Sucinya... adalah Kebenaran... dan ilmu kauniahNya dalam alam semesta nan
luas... Apabila kita meragukan Kebenaran Firman Allah dalam Al Qur'an maka kita
hanya percaya kepada keterbatasan kita.. siapapun kita.. maka kita mungkin tak
akan sampai akan hakiki Kebenaran itu..
Untuk mencapai kejayaan maka kita
harusnya thaat dengan taslim.. ikhlas dan mengikutinya seutuhnya...
Tegakan Syariah Allah melalui ajaran Al Qur'an secara kaffah, utuh menyeluruh. Insya Allah kita bangsa
Seyogianya para ulama segera
menyatukan hati dan jiwa raga dan mempersatukan muslim dan seluruh umatnya..
dalam membangun negeri ini dengan ikhlas.. agar masyarakat bangsa Indonesia
berada dijalan lurus..
Walaupun sesungguhnya para
founding father telah menyampaikannya dalam Mukaddimah UUD 1945..[22.6.1945]..
"dengan kewajiban melaksanakan syariah Islam bagi pemeluknya".. dan
fatwa2 wali2 agar menjauhkan perbuatan MOLIMO... dan aturan2 menjauhkan
perbuatan gharar-riba-maisir...dan lain2..bagi masyarakat ... adalah bagian
dari ajaran Kebenaran... itu..
Hikmah Hidlir danMusa AS yang diungkap dalam Al Qur'an..
menggambarkan bahwa Allah Maha 'Alim.. dengan segalanya.. Dan ajarannya sangat
tak terselami.. bagi awam.., dan nampaknya bisa jadi tak terpahamkan secara
awam.. namun selalu dijalankan dengan taslim,.. karena itu Taqwa.. adalah kata
singkat dari kethaatan secara utuh... kepada Allah SWT..
Semoga peristiwa kisah2 dalam al Qur'an... itu menjadi hikmah dan memambahkan keyakinan kita bahwa Kebenaran adalah milik Allah semata..
Hikmah Hidlir dan
Semoga peristiwa kisah2 dalam al Qur'an... itu menjadi hikmah dan memambahkan keyakinan kita bahwa Kebenaran adalah milik Allah semata..
Semoga hidayah inayah maunah dan
ma'rifah tercurah melimpah kepada kita dari rahmat dan barkah Allah Maha
Pemurah..Aaamiin.. yra