Peran Dakwah Damai Habaib Di Nusantara
keluarga berbagai kerajaan lokal itu lewat perkawinan. Kenyataannya, tak sedikit tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada di jalur keturunan tokoh-tokoh ini. Termasuk di dalamnya Kesultanan Pontianak.
Tidak hanya itu. Yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya ajaran Islam ini menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara yang damai. Berkat dakwah yang damai ini pula akhirnya Islam sebagai agama baru, dibandingkan Hindu dan Buddha dengan mudah dapat menggugah kesadaran terdalam masyarakat di wilayah ini.dan segera menjadi agama mayoritas di wilayah ini. Sebagai ilustrasi, manusia Jawa yang semula begitu menghayati ajaran-ajaran Hindu, segera mampu menyerap dan menghayati aspek-aspek kebatinan (spiritualitas atau tasawuf) Islam hingga ajaran Hindu, yang tadinya sedemikian mengakar itu pun dapat dengan mudah digantikan dengan Islam. Meski masih diliputi kontroversi, ada teori kuat bahwa sedikitnya delapan dari sembilan Walisongo yang merupakan pendakwah-utama Islam di Indonesia, pun adalah berasal dari kalangan Kaum ‘Alawiyin ini. Dapat dikatakan bahwa di masa kini Nahdhatul Ulama (NU), yang merupakan kelompok Islam terbesar di Indonesia sampai saat ini, to a great extent, merupakan warisan kaum ‘Alawiyin ini.
Sejumlah besar peneliti sepakat bahwa bobot sufistik dalam ajaran-ajaran Islam yang sampai ke kawasan ini menyumbang sangat besar bagi keberhasilan dakwah yang tumbuh pesat dengan cara damai, tanpa melibatkan penaklukan dan ekspedisi militeristik ini. Sayangnya tradisi pengajaran islam sufistik ini sekarang justru mendapatkan tantangan dari kaum eksoteris, bahkan dianggap sebagai menyimpang dari arus utama pemikiran Islam. Sayangnya, penentangan ini terkait erat dengan metoda dakwah yang merupakan antitesis metode dakwah ‘Alawiyin : yakni fundamentalistik dan ekstrimistik
KAUM ’ALAWIYIN, MANHAJ, DAN METODE-DAKWAHNYA
Al-Faqih Al-Muqaddam dilahirkan pada tahun 574 H/1176 M di Tarim, Hadhramaut Yaman Selatan, Beliau wafat pada tahun 653 H pada usia 79 tahun, pada malam Jum’at Zulhijjah 653 H, atau malam minggu di akhir bulan Zulhijjah tahun 653 H /1255M, dan dikebumikan di “Zanbal”, penanggalan wafat beliau diikhtisarkan dengan hitungan abjad Hijaiyah pada kalimat “Abu Tarim”.
Dalam kehidupannya, tokoh yang pernah mendapatkan kiriman khirqah (pakaian kesufian) dari Syaikh Abu Madyan – salah seorang guru Ibn ‘Arabi – ini pernah secara demonstratif melakukan “upacara” simbolik pematahan pedang. Al-Faqih al-Muqaddam mematahkan pedangnya sebagai simbol politik dan sosial-religius. Ahli sejarah ‘Alawiyin, Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Syathiry mengupasnya, dalam kitab Adwar a-Tarikh al-Hadhramy sebagai berikut : “Di masa al- Faqih al-Muqaddam dan sebelumya para penguasa di Hadramaut menyoroti gerak-gerak ‘Alawiyin karena mereka selalu mendapatkan tempat di hati rakyat (mengingat klaim kuat keimaman sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadis dan
Kerajaan Majapahit Ternyata Kerajaan Islam Sejak Awalnya ?
Strategi Dakwah Wali Songo Dalam Islamisasi Di Jawa
di Jawa Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam.
Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.
Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yangberasal dari Indonesia Timur.
Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.
Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Wali Sanga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode dakwah Wali Sanga, di antaranya:
Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya, dengan menjalin hubungan geneologis. Beliau menekankan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.
Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.
Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.
Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begun juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun perumahan.
Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Wali Sanga, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan don keistimewaan dakwah para Wali. Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan vang dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historic kemanusiaan. (ISNA)
Sumber : pcnucilacap
Teori Masuknya Islam ke Nusantara
Islamnusantara.com, JAKARTA – Banyak teori dan pendapat tentang sejarah masuknya Islam ke bumi nusantara. Masing-masing teori dan pendapat tersebut memiliki dasarnya masing-masing. Yang jelas, Islam di nusantara disebarkan dengan cara damai tanpa kekerasan.Tiga teori
Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Yakni, teori Gujarat (India), teori Persia, dan Makkah. Menurut teori pertama (Gujarat), Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang Gujarat (India) yang beragama Islam pada sekitar abad ke-13 M.Teori kedua (Persia) berkeyakinan, masuknya Islam ke Indonesia melalui peran pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah di Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Teori ketiga (Makkah) menyebutkan, Islam tiba di Indonesia dibawa langsung oleh para pedagang Muslim yang berasal dari Timur Tengah sekitar abad ke-7 M.
Waktu
Manuskrip Cina
Ada juga pendapat yang mengatakan, justru Islam pertama kali masuk ke nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat. Kesimpulan itu didasarkan pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama. Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia
Jalur emas
Dari manuskrip Cina itu pula, terdapat informasi mengenai jalur penyebaran Islam di Indonesia. Disebutkan, masuknya Islam bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan langsung dari Arab yang dibawa oleh para pedagang Arab.Alasan beragama Islam
Ada beberapa alasan yang menyebabkan mayoritas penduduk nusantara memeluk Islam, antara lain:
1.Pernikahan antara para pedagang dan bangsawan. Contohnya Raja Brawijaya menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Patah.
2.Pendidikan pesantren
3.Pedagang Islam
4.Seni dan kebudayaan. Contohnya wayang, disebarkan oleh Sunan Kalijaga.
5.Dakwah
Cepat berkembang
Ada beberapa faktor penyebab agama Islam dapat cepat berkembang di nusantara, antara lain:
1. Syarat masuk agama Islam tidak berat, yaitu dengan mengucapkan kalimat syahadat.
2. Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana.
3. Islam tidak mengenal sistem kasta.
4. Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat.
5. Dalam penyebarannya dilakukan dengan jalan damai.
6. Runtuhnya Kerajaan Majapahit memperlancar penyebaran agama Islam. (ISNA)
Imam Masjidil Haram: Keragaman Mazhab adalah Sunnatullah yang Tidak Bisa Dirubah
Salafynews.com – Imam dan Khatib Masjidil Haram, Sheikh Saleh bin Abdullah bin Humaid, dalam khutbahnya, Jumat (1/5) mengatakan, Keragaman firqoh, mazhab dan suku di kalangan manusia adalah salah satu sunnatullah. Dan sunnatullah tidak bisa diubah dan diganti.Khatib Masjidil Haram itu menegaskan, di saat-saat fitnah (baca: kekacauan), yang terpenting bagi setiap orang adalah mengidentifikasi musuh.
“Perselisihan sebenarnya adalah perselisihan politik, ekspansi dan ambisi serta hubungan yang buruk dengan tetangga berikut hak serta tata cara bertetangga, hak Islam dan adab Islam,” tegas Sheikh di sela-sela khutbahnya.
Bin Humaid mengatakan, “Kebanyakan firqoh dan mazhab telah ada sejak abad-abad permulaan Islam, dengan terpeliharanya semangat dakwah dan penyampaian kebenaran melalui hikmah dan nasihat yang baik, serta adu argumentasi dengan cara terbaik.”
Terkait dengan perang dan konflik di tengah-tengah muslimin akhir-akhir ini, Sheikh Saleh menuturkan, penyebabnya adalah saling melontarkan hujatan sektarian dan melanggar hak-hak Negara dan warganya serta menyebarkan fanatisme melalui sejumlah media dengan berbagai ragamnya. Dan pula mendorong berbagai kelompok serta mempersenjatainya agar terjadi saling bunuh antar sesama warga dan umat.
Khatib Masjidil haram ini menegaskan, Ahlul bait r.a dan para pengikut dan pencintanya tidak mungkin menerima muslimin terhina dan persatuan mereka tercerai-berai. Dan kita tidak termasuk orang-orang yang menjadikan agama, mazhab atau keturunan sebagai sarana untuk membangkitkan fanatisme dan menghidupkan rasisme.
Islam sebagai agama kita menyerukan pesan kepada manusia, “Wahai manusia, Kami menciptakan kalian dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa…” ujarnya mengutip sebuah ayat suci al-Quran. (ss)
Sumber: Shabir TV
Ali bin Abi Thalib as Gerbang Imaterial Ilmu Rasul Saww
Pemandu Jalan
Catatat Kaki
Fathimah sa Menurut Al-Quran
وَ جَعَلْنا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنا لَمَّا صَبَرُوا
Menjadi Manusia Seutuhnya
Yang dimaksud hati yang akan dilihat Allah dari diri kita dalam hadis ini, adalah kondisi atau kualitas jiwa kita. Dalam hadis yang lain dikatakan juga,
Ini karena, orang yang tidak dapat menasehati dirinya, nasihat apapun tidak akan bermanfaat lagi baginya. Maka dari itulah jiwa yang dapat menasihati dirinya menjadi kebaikan yang luar biasa yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang hamba. Dan satu jiwa yang dapat membebaskan dirinya dari kurungannya, akan mampu untuk membebaskan jiwa-jiwa yang lain. Akan tetapi, satu-satunya orang yang dapat mempersiapkan diri kita untuk masa depan adalah diri kita sendiri. Dan semua itu dimulai dari sebuah pilihan, untuk menjadi budak dari kurungan kita, atau ,menjadi tuan atas diri kita sendiri.
Untuk apakah kita diciptakan? Dalam sebuah ayat, Allah mengatakan,
Allah mengatakan dalam Al-Quran bahwa ketika manusia mengalami kesusahan, apabila ia bertakwa, maka Allah akan menyeleseikan masalahnya. Ini karena tidak ada di-Mata Tuhan selain ketakwaan. Maka, usaha dari hamba-Nya yang diterima adalah yang mengandung takwa, kesabaran yang diterima adalah kesabaran yang mengandung ketakwaan. Memang, bagi sebagian orang, kebahagiaan itu berarti harus sukses dalam perekonomian, juga, keluarga dan rumah tangganya harus selalu akur, berpendidikan dan berkedudukan tinggi. Memang secara lahiriah, kehidupan seperti itu tampak sangat ideal dan pasti diidam-idamkan. Namun apakah orang-orang seperti itu yang pasti akan dicintai oleh Tuhan? Apakah kehidupan yang seperti itu yang diminta dan diinginkan oleh Tuhan dari kita?
Kebahagiaan bagi orang beriman adalah dapat dicintai dan mencintai Tuhannya, walaupun mungkin ia sedang dalam kondisi ekonomi yang sulit, atau pendidikan duniawinya pas-pasan dan serba terbatas, dan lain sebagainya. Karena, pendidikan duniawi yang tinggi, sukses dan sejahtera dalam perekomian, dan tujuan-tujuan duniawi lainnya, bisa jadi kita bukan diciptakan untuk semua itu. Ibarat sebuah mobil apabila selalu kita gunakan untuk mundur, walaupun memang ia bisa melakukan itu, namun ia bisa menjadi rusak. Karena, ia bukan diciptakan untuk mundur. Seperti itulah juga kita. Kita diciptakan untuk menjadi orang-orang yang bertakwa. Jika kita memaksakan diri untuk melawan arus penciptaan kita ini, maka, sebagaimana kita merasa berat ketika menaiki tangga karena melawan gravitasi, kita juga akan merasa hidup ini berat tanpa ketakwaan kepada Allah.
Selain itu, bahanya jiwa manusia adalah, selalu mengalami pertumbuhan, namun kita tidak dapat melihat perubahannya. Dan kita bisa melihat wujud asli jiwa kita itu ketika sudah meninggal. Tapi setelah meninggal, dan jika ternyata hasilnya tidak memuaskan, bahkan tidak seperti yang kita inginkan, maka kita sudah tidak bisa lagi kembali ke alam dunia lagi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa intensitas diri atau jiwa kita mau tidak mau akan terus bertambah seiring berjalannya usia kita. Namun tak banyak dari kita yang juga dapat mengetahui apakah pertumbuhan tersebut ke arah baik, atau sebaliknya. Sebagaimana yang dianalogikan oleh Ayatullah Mishbah Yazdi, bahwa kereta akan terus berjalan maju, tidak pernah mundur. Akan tetapi orang-orang di dalamnya ada yang berjalan ke depan atau pun ke belakang. Dan mereka semua tetap akan sama-sama sampai di stasiun. Namun, ketika sampai, ada yang menempati gerbong depan, dan ada pula yang berada di gerbong belakang. Bagitu juga dengan kehidupan kita. Kita semua pun akan sama-sama sampai pada Tuhan. Akan tetapi, apabila kita sampai pada Tuhan dalam keadaan yang baik, maka Tuhan akan menyambut kita. Dan apabila kita sampai dengan keadaan yang buruk (naudzubillahi min dzalik) Tuhan akan berkata:
Manusia adalah sebaik-baiknya makhluk dan yang diberi potensi paling luar biasa dari makhluk-makhluk lainnya. Bahkan kita memiliki potensi yang sama dengan potensi yang dimiliki oleh manusia teragung, Nabi besar kita, Muhammad saw. Jangan sampai kita menyia-nyiakan potensi tersebut terlalu banyak. Ibarat kita diberi uang satu milyar sebulan, dan kita hanya menggunakan darinya seribu rupiah dalam sebulan. Ini sangat ironis.
Dalam kitabnya, Allah menyebutkan bahwa diri-Nya adalah harta karun yang tersembunyi dan menciptakan hamba-hambaNya supaya mengenaliNya. Jelas bahwa orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui tidaklah sama. Sebagaimana manager marketing gajinya tidak sama dengan agen pemasaran, padahal intinya mereka sama-sama berusaha menjual barang yang sama.
Sekarang dari manakah kita akan mengenali Tuhan kita? Allah telah mengatakan dalam firman-Nya yang agung,
Satu kebenaran yang pasti, akan melahirkan banyak kebenaran-kebenaran pasti yang lainnya. Seperti kepastian bahwa sebuah sekolah akan diliburkan, maka akan lahir kepastian-kepastian lain. Seperti, murid-murid tidak datang kesekolah untuk belajar. Guru-guru tidak datang untuk mengajar. Dan sebagainya. Di dalam Al-Quran, kita mendapati 6000 lebih kalimat-kalimat yang sudah pasti benar. Maka berapa banyak kebenaran-kebenaran lainnya yang bisa kita dapatkan darinya? Itu berarti, Al-Quran adalah fasilitas luar biasa yang diberikan Tuhan kita supaya kita dapat mengenali-Nya.
Kemudian, yang perlu kita persiapkan sekarang adalah alat-alat untuk mempelajari Al-Quran, yang salah satunya adalah bahasa Al-Quran yang menggunakan bahasa arab. Dan pastinya, ini bukanlah kebetulan kenapa Allah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran.
Surat At Thaha ayat 113
Istilah Al-Quran ‘arabiyyan, meskipun berarti ‘dalam bahasa arab’ namun disini ia merupakan petunjuk kepada kefasihan dan retorika Al-Quran dan juga kejelasan konsep-konsepnya. Bukti bagi arti ini adalah bahwa, sebagaimana dikatakan oleh beberapa orang ahli bahasa dunia, bahasa Arab mengandung kata-kata yang paling ekspresif dan kesusastraannya merupakan kesusastraan yang terkuat.
Surat Yusuf ayat 2:
“Sesungguhnya Kami Menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Tak peduli dalam bahasa apapun Al-Quran diwahyukan, bangsa lain akan harus mengenalnya. Akan tetapi diwahyukannya Al-Quran dalam bahasa Arab memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut:
· Bahasa Arab memiliki kemampuan besar untuk membentuk kata-kata dan memiliki aturan tata bahasa yang demikian pasti, yang tidak bisa ditemukan dengan mudah dalam bahasa lain yang manapun.
· Menurut beberapa riwayat, bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan di surga.
· Daerah dimana Al-Quran diwahyukan adalah daerah yang penduduknya menggunakan bahasa Arab dan tampaknya adalah mustahil bagi kitab suci ini untuk diwahyukan dalam bahasa lain.
Bagaimanapun, tujuan Al-Quran bukanlah untuk sekedar dibaca, disenandungkan, ditelusuri ataupun dibaca demi mendapatkan berkah. Tujuan utamanya adalah untuk dipahami dengan pemahaman yang kompherensif dan menjangkau maknanya yang dalam, serta mendorong manusia agar mempraktekkan apa yang dibacanya.
Petunjuk yang terdapat dalam sepuluh surat, terhadap fakta bahwa Al-Quran telah diwahyukan dalam bahasa Arab, adalah jawaban terhadap tuduhan bahwa Nabi suci saw telah mempelajarinya dari seorang yang bukan berbangsa Arab dan bahwa isinya adalah cara berpikir yang didatangkan dari luar dan bukan wahyu yang berasal dari Allah.
Sementara itu, semua muslim harus berusaha belajar bahasa Arab sebagai bahasa kedua, sebab ia merupakan bahasa wahyu Ilahi dan kunci bagi pemahaman Al-Quran suci dan ilmu-ilmu keislaman.
Surat Ar-Ra’d ayat 37:
Dalam kitab tafsir Majma’ al Bayân disebutkan bahwa alasan mengapa ia diturunkan dalam bahasa Arab adalah karena pengembannya seorang nabi berbangsa Arab. Dengan perkataan lain, penerapan kata ‘arabiyyan’ dalam ayat ini merupakan rujukan pada kenyataan bahwa bahasa yang dipakai Rasulullah saw adalah bahasa Arab, dan karena alasan ini maka cara perlakuan Allah adalah bahwa setiap Nabi harus menyampaikan kitabNya dalam bahasa kaumnya sendiri. Allah menyatakan dalam surah Ibrahim ayat ke 4: “Kami tidak mengirimkan seorang nabi pun kecuali orang-orang yang berkomunikasi dalam bahasa kaumnya sendiri.”
Surat An-Nahl ayat 103:
Tampaknya ada seorang asing, bukan orang Arab, yang tinggal di Mekkah pada masa Nabi, dan orang-orang kafir menuduh Nabi saw menerima pengajaran Al-Quran darinya yang kemudian menisbatkan pengajaran tersebut kepada Allah. Padahal kita dapat mempertanyakan, bagaimana mungkin dua orang yang tidak memahami bahasa masing-masing, terlibat dalam proses belajar mengajar? Dan, bagaimana mungkin itu dibenarkan bila waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan bahwa orang asing tersebut adalah guru Nabi? Juga, bagaimana bisa kata-kata yang diwahyukan selama 23 tahun dalam berbagai situasi dan kondisi, tidak saling bertentangan satu sama lain? Mengapa orang yang dikatakan sebagai guru itu tidak mengklaim dirinya sendiri sebagai nabi? Bagaimana mungkin itu terjadi, sementara tak seorang pun yang mampu menjawab tantangan Al-Quran yang mengatakan bahwa jika ada seorang saja yang mampu membuat satu surah saja yang sebanding dengan surah Al-Quran, maka Al-Quran akan menarik klaim kebenaran yang dikemukakannya? Bagaimana mungkin pula itu terjadi, sementara kata-kata yang diucapkan selama ‘zaman jahiliyah’ itu mengandung bagian-bagian yang belum dapat dipahami dan rahasia-rahasia yang dikandungnya belum terungkap oleh para ilmuwan bahkan di masa sekarang ini? Dan bagaimana mungkin pula sebuah kitab, yang satu surahnya saja belum mampu disusun oleh orang-orang Arab kafir tersebut, dimunculkan dan diajarkan oleh seorang non-Arab?
Bagaimana pun, ayat mulia di atas secara tak langsung dan dengan cara yang benar, merujuk pada dalih-dalih yang mendasari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan lawan-lawan nabi Islam saw, yang mengatakan bahwa mereka mengklaim seorang laki-laki telah mengajarkan ayat-ayat Al-Quran kepadanya. Al-Quran suci menepis semua tuduhan tak berdasar ini dan menyatakan dengan tegas bahwa Allah mengetahui bahwa mereka mengklaim seorang laki-laki telah mengajarkan ayat-ayat al Quran kepadanya. Al-Quran suci menepis semua tuduhan tak berdasar ini dan menyatakan dengan tegas bahwa mereka mengabaikan kenyataan bahwa bahasa yang digunakan orang yang mereka tuduh sebagai pengasal Al-Quran itu bukanlah bahasa Arab; sementara Al-Quran diwahyukan dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih.
Dari ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mukjizat yang diunjukkan Al-Quran tidaklah terbatas pada isinya semata. Kata-kata yang digunakan Al-Quran juga mencapai derajat mukjizat, sementara daya tarik, kemanisan, dan keserasian khusus sapat ditemukan dalam kata-kata dan struktur kalimatnya yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Selain sebagai bahasa Al-Quran, bahasa Arab juga menjadi bahasa banyak dari kitab-kitab agama yang akan sangat terbatas untuk dipelajari apabila kita tidak bisa berbahasa Arab. Juga, bahasa Arab adalah bahasa yang menjadi persyaratan wajib bagi para marja fikih. Karena tanpa pemahaman bahasa Arab yang luas, dan benar, mereka tak akan bisa menyimpulkan sebuah hukum dari sumber-sumber hukum yang berbahasa Arab dengan tepat. Keistimewaan bahasa Arab yang lainya, yaitu ia adalah bahasa dari semua amalan ibadah fikih kita. Adapula beberapa amalan yang tidak sah apabila tidak berbahasa Arab. Seperti shalat, akad nikah, dan masih banyak lagi.
Adapun belajar ilmu dunia, apabila kemudian kita dapat memanfaatkannya di jalan Tuhan, itu hanya akan menjadi amal sholeh kita saja. Adapun ilmunya, tidak akan berlaku atau kita pakai lagi di akhirat. Betapa anehnya apabila kita tahu bahwa hidup kita akan kekal di akhirat tapi hanya menyiapkan bekal yang hanya berlaku di dunia.
Juga akan berbeda perlakuannya apabila misalnya kita memberikan sebuah piala emas kepada seorang anak kecil, dengan apabila kita memberikanya kepada orang yang sudah dewasa. Anak kecil mungkin akan memperlakukan piala emas tersebut dengan biasa-biasa saja. Bahkan mungkin ia akan melempar-lemparkannya, mengisinya dengan pasir, dan sebagainya. Namun apabila orang dewasa yang menerimanya, mungkin bahkan ia tak akan membiarkan sembarang orang untuk menyentuh piala tersebut.
Dan sekarang, kita telah mengetahui sebagian dari betapa besarnya kebutuhan kita akan bahasa Arab. Jangan sampai kita menyia-nyiakan Al-Quran kita seperti anak kecil dalam percontohan tadi.
Mungkin memang sudah banyak dari kita yang bisa berbahasa Arab, selain itu juga bisa memahami Al-Quran, dan merasakan benih-benih ketakwaan. Namun kita tidak boleh berhenti sampa disitu saja, dan merasa sudah menunaikan tugas kita dalam hal ini. Karena, sebagaimana seseorang yang mempunyai sebuah mobil maka ia akan membutuhkan bengkel untuk perawatannya, begitu juga orang yang semakin kaya dan mempunyai seratus mobil, ia justru akan semakin membutuhkan bengkel. Sebanyak apapun yang kita miliki, kita tetaplah fakir. Sebab, selamanya kita akan menjadi yang membutuhkan Tuhan. Dan Tuhan selamanya akan menjadi Yang kita butuhkan.
Seorang ulama besar, Sayyid Baqir as Shadr yang telah mempelajari filsafat, bahkan sampai pada tingkat ‘irfan. Pada sebuah kesempatan, ia menyampaikan bahwa ia dengan segala apa yang telah dipelajarinya, sempat merasa pengetahuan-pengetahuannya telah membuatnya cukup untuk menjadi orang yang layak diperhitungkan pemikiran-pemikirannya. Namun, ketika ia telah merasa di penghujung umur, dan kemudian menggunakan saat-saat terakhirnya untuk mempelajari Al-Quran, ia masih merasa menyesal atas usianya, dan menganggap dirinya telah menyia-nyiakan umurnya karena tak ia pergunakan secara maksimal dalam mempelajari Al-Quran. Lalu bagaimanakah dengan kita?
Tafsir Surah Al-Insyirah ( فاذا فرغت فانصب )
Kata وزر (wizrun) berarti beban dan kata kerja أنقض berasal dari kata kerja dengan tiga huruf نقض yang artinya mematahkan. Allah SWT telah meletakkan (menghilangkan) beban berat yang hampir-hampir mematahkan punggung Nabi Saw. Beban berat yang dimaksud ialah beban ilahi dan kesungguh-sungguhan dalam berdak’wah menyampaikan risalah, dan berbagai resiko serta rintangan yang beliau hadapi. Allah menghilangkannya dan memberikan kelapangan dada dan taufiq (kemudahan) sehingga semua itu menjadi terasa ringan untuk beliau pikul.
Allah SWT mengangkat sebutan Nabi di atas sebutan manusia lain. Diantaranya dengan menggandengkan nama beliau dengan nama Allah SWT dalam syahadatain yang merupakan asas agama Allah. Setiap orang muslim akan selalu menyebut nama beliau bersama nama Tuhannya pada setiap sholat yang ia tegakkan setiap hari lima kali. Di samping itu nama beliau akan selalu disebut-sebut bersama nama Allah dalam azan, iqamat dan khutbah-khutbah di atas mimbar.
Disamping pengangkatan sebutan Nabi Saw. Di dunia ini, Allah juga mengangkat dan meninggikan sebutan beliau di langit pada alam non materi, sehingga para malaikat di sana sangat merindukan untuk berjumpa dan berkhidmat untuk Nabi Saw. Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa disamping kesusahan pasti ada kemudahan. Allah SWT berfirman;
Ayat ini menyebutkan alasan bagi diletakkannya beban berat dan mengangkat sebutan Nabi. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan alasan dihilangkannya beban berat dari Nabi Saw. bahwa hal itu merupakan sunnah ilahiyah, tidak ada keadaan yang akan langgeng dan abadi, semuanya akan mengalami perubahan.
kata فانصب (huruf shadnya dapat dibaca fatha atau kasrah) pada ayat ini berasal dari kata نصب (dengan dibaca fathah hurus shodnya) yang berartikan capek. Di dalam ayat tersebut tidak disebutkan kaitan dua kata kerja فارغب-فانصب selesai dan bersungguh-sungguh. Dan tidak disebutkan kaitan, muta’allaq kata kerja itu dapat berfungsi memberi makna keumuman.
Hadis Keutamaan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib KW
https://sipencariilmu.wordpress.com/2013/05/19/hadis-keutamaan-sayyidina-ali-bin-abi-thalib-kw/
Berikut ini beberapa hadis keutamaan Sayyidina Ali bin abi Thalib yang terucap dari yang Mulia Rasulullah SAW:
1). Sayyidina Ali adalah Pintu gerbang Ilmu Nabi SAW.
Hadis Pertama:Hadis kedua:
Hadis ini shahih diriwayatkan oleh para perawi tsiqah. Khaitsamah bin Sulaiman adalah seorang Imam tsiqat Al Muhaddis dari Syam seperti yang dikatakan oleh Adz Dzahabi [As Siyar 15/412 no 230].
2). Sayyidina Ali adalah Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW.
Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187.
3). Sayyidina Ali adalah Orang yang pertama Kali Masuk Islam.
Berikut ini adalah riwayat Shahih bahwa yang masuk islam pertama kali adalah Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 4/368:Hadis riwayat Zaid bin Arqam ini disebutkan dalam Syarh Musnad Ahmad Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 19177 bahwa sanadnya shahih. Imam Ahmad juga menyebutkan hadis Zaid dalam Fadhail As Shahabah 2/637 no 1000 dimana pentahqiq kitab tersebut Syaikh Wasiullah bin Muhammad Abbas berkata “sanadnya shahih”. Diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain 3/136 no 4663 dan Beliau mengatakan bahwa sanadnya shahih. Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam Talkhis Al Mustadrak. An Nasa’i menyebutkan hadis Zaid dalam Al Khasa’is hal 26 hadis no 3 dan berkata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini dalam Tahdzib Al Khasa’is no 3 bahwa sanadnya shahih. Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini dalam Sunan Tirmidzi 5/642 no 3735 dan berkata Abu Isa At Tirmidzi “hadis hasan shahih”. Syaikh Al Albani juga menyatakan shahih hadis ini dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3735.
4). Sayyidina Ali adalah as-Shiddiq.
Sayyidina Ali pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dan mengakui kalau dirinya adalah Ash Shiddiq disebabkan Beliau adalah orang yang pertama kali membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masuk islam dan beribadah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Riwayat Mu’adzah Al Adawiyah:
Hadis ini juga disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam Al Ahad Wal Matsani 1/151 no 187, Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa 2/131 no 616, Ibnu Ady dalam Al Kamil 3/274 dan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 1835 semuanya dengan jalan sanad dari Nuh bin Qais dari Sulaiman bin Abdullah Abu Fathimah dari Mu’adzah Al ‘Adawiyah dari Ali radiallahu ‘anhu. Riwayat Ad Duulabiy di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Sulaiman bin Abdullah Abu Fathimah.
5). Sayyidina Ali Adalah Saudara Nabi, Pewaris Nabi dan Wazir Nabi SAW.
Telah diriwayatkan dalam hadis shahih kalau imam Ali telah mewarisi Nabi SAW. Hal ini diakui oleh Qutsam bin Abbas RA. Beliau adalah putra dari paman Nabi SAW. Al Ijli menyebutkan kalau Qutsam bin Abbas RA termasuk sahabat Nabi SAW [Ma’rifat Ats Tsiqah no 1514].Hadis ini adalah hadis shahih. Al-Hakim at-Tirmidzi dan Adz Dzahabi telah bersepakat menshahihkanny
Bukti Imam Ali Adalah Pintu Kota Ilmu
عبد الرزاق عن معمر عن وهب بن عبد الله عن أبي الطفيل قال شهدت عليا وهو يخطب وهو يقول سلوني فوالله لا تسألوني عن شئ يكون إلى يوم القيامة إلا حدثتكم به وسلوني عن كتاب الله فوالله ما من آية إلا وأنا أعلم بليل نزلت أم بنهار أم في سهل أم في جبل
- Abdurrazaq bin Hamam As Shan’ani adalah penulis kitab Tafsir dan Al Mushannaf. Ibnu Hajar dalam Taqrib At Tahdzib 1/599 menyebutnya sebagai seorang hafiz yang tsiqat.
- Ma’mar bin Rasyd Al Azdi Abu Urwah adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Dia adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Ibnu Hibban, An Nasa’i, dan Yaqub bin Syaibah. Dalam At Taqrib 2/202 Ibnu Hajar menyatakan bahwa ia tsiqat tsabit.
- Wahab bin Abdullah Al Kufi disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 280 kalau telah meriwayatkan darinya Ma’mar bin Rasyd dan ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/292 menyatakan kalau ia tsiqat.
- Abu Thufail Amr bin Watsilah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/464 kalau ia seorang sahabat Nabi SAW.
حدثني أحمد بن فتح قال حدثنا حمزة بن محمد قال حدثنا اسحاق بن ابراهيم قال حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال حدثنا محمد بن ثور عن معمر عن وهب بن عبد الله عن أبي الطفيل
إسناده صحيح ورجاله ثقات
Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau Atsar ini shahih dan Imam Ali memang berkata demikian. Perkataan Imam Ali menunjukkan keluasan ilmu yang beliau miliki dan tentu semua itu terjadi atas izin Allah SWT. Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan ilmu kepada hambaNya yang disucikan. Patut juga untuk dikatakan disini bahwa perkataan Imam Ali itu tidak pernah diucapkan oleh satupun sahabat yang lainnya termasuk ketiga khalifah.
حدثنا عبد الله نا عثمان بن أبي شيبة نا سفيان عن يحيى بن سعيد قال أراه عن سعيد قال لم يكن أحد من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يقول سلوني الا علي بن أبي طالب
Syaikh Washiullah bin Muhammad Abbas pentahqiq kitab Fadha’il Shahabah berkata tentang atsar ini bahwa “Sanadnya Shahih”. Hal ini membuktikan bahwa di antara semua sahabat Nabi yang lain hanya Imam Ali yang memiliki tingkat keilmuan luas seperti yang Beliau AS katakan sendiri.
Fatimah Az-Zahra’ : Keutamaan beliau didalam Hadis
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Fathimah adalah sebahagian daripadaku; barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan membohonginya adalah membohongiku”
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Fatimah, tidakkah anda puas menjadi sayyidah dari wanita sedunia (atau) menjadi wanita tertinggi dari semua wanita dari ummat ini atau wanita mukmin”.
Rasulullah SAW bersabda: ” Wanita penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim istri Firaun.”
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Fathimah adalah bahagian dariku, barangsiapa yang membuatnya marah, membuatku marah!”
Bahwa ada malaikat yang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “sesungguhnya Fathimah adalah penghulu seluruh wanita di dalam surga”.
Rasululah SAW bersabda kepada Fathimah: “Tidakkah Engkau senang jika Engkau menjadi penghulu bagi wanita seluruh alam”.
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis Kepemimpinan Imam Ali)
Beliau kemudian melanjutkan
Jika seandainya Imamah termasuk rukun iman maka seharusnya ada dalil-dalil yang jelas dan tegas dari Al-Qur’an maupun hadis nabi Muhammad SAW tentang hal ini.Maka jawab saya di sisi Syiah masalah ini jelas memiliki landasan yang kuat dari Al Quran(ini masalah penafsiran) walaupun tidak bersifat tegas(karena memerlukan hadis) tetapi masalah ini memiliki nash yang tegas dalam hadis-hadis Imam Ahlul Bait as di sisi Syiah. Kemudian saudara Ja’far menulis
Setahu saya tidak ada dalil (dari Qur’an maupun hadis) yang mengatakan secara jelas dan tegas bahwa Ali bin Abi Thalib r.a berikut keturunan-keturunannya adalah pengganti rasulullah SAW.Jawab saya, saya setuju kalau dalam Al Quran tidak ada penunjukkan jelas masalah ini tetapi bagi Syiah banyak sekali hadis-hadis Imam Ahlul Bait as yang bersifat jelas tentang ini.
Sepertinya yang beliau maksud hadis itu hanyalah hadis-hadis dari golongan Sunni saja sedangkan di sisi Syiah maka itu tidak disebut hadis. Pandangan seperti ini adalah tidak benar dan berat sebelah, Syiah mempunyai dasar yang kuat untuk berpegang pada hadis-hadis Imam Ahlul Bait as. Mari kita perjelas
• Syiah berpegang pada hadis-hadis Imam Ahlul Bait as adalah sesuai dengan landasan mereka yaitu Hadis Tsaqalain yang tidak hanya shahih dan mutawatir di sisi Syiah tetapi juga shahih di sisi Sunni.Baiklah mari kita ikuti kehendak penulis(beliau) dengan berlandaskan hadis-hadis di sisi Sunni saja. Beliau berkata
• Sunni sering mendakwa Syiah membuat-buat hadis dengan mengatasnamakan Ahlul Bait as. Pernyataan ini adalah pernyataan sepihak dan maaf sangat subjektif. Ulama Sunni seringkali menuduh perawi-perawi hadis Syiah sebagai pemalsu hadis. Hal ini tidak bisa diterima karena Syiah memiliki bukti yang jelas dari kitab Rijal mereka tentang perawi-perawi hadis Syiah. Dengan kata lain mengapa Ulama Syiah harus menghukum perawi-perawi hadis mereka dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh Ulama Sunni. Bukankah Ulama Sunni sendiri menetapkan ukuran perawi-perawi hadis mereka(sunni) dengan sumber mereka sendiri tidak dari sumber Syiah.
Adapun dalil-dalil yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a adalah khalifah / imam setelah Rasulullah SAW adalah hadis maudhu’ (palsu) dan dha’if (lemah).Sekali lagi yang dimaksud hadis di sini maksudnya hadis di sisi Sunni. Mari kita lihat hadis yang beliau maksud,
. “Barangsiapa yang ingin hidup seperti hidupku, ingin meninggal seperti aku meninggal, dan bertempat di surga yang telah dijanjikan Allah SWT kepadaku dan pohon-pohon ditanam oleh kedua tangan-Nya maka dia harus menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin, sebab dia tidak akan mengeluarkan kamu dari kebenaran dan tidak akan memasukkan kamu ke dalam kesesatan” (Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Ath-Thabrani(bukan At Thabari seperti yang dikutip penulis) dalam Al-Mu’jamal Kabir, Ibnu Syahin dalam Syarah as-Sunnah).
Albani berkata : Hadis ini maudhu’ (lihat kitabnya Silsilah al-Ahadits al-dah’ifah wa Mawdhu’ah karya Nashiruddin Albani).
Penulis(beliau) menyatakan hadis ini maudhu’ berdasarkan pernyataan Syaikh Al Albani di atas. Hadis ini dan hadis no 2 serta no 3 memiliki matan yang sama(dengan sedikit tambahan tentang keturunan Ali bin Abi Thalib), hadis ini dijadikan hujjah oleh Ulama Syiah Syaikh Syarafuddin Al Musawi dalam Al Muraja’at dan beliau menyatakan bahwa hadis tersebut shahih. Pernyataan ini ditolak oleh Syaikh Al Albani yang justru menyatakan hadis tersebut maudhu’. Yang perlu diperhatikan adalah hadis ini diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak jilid 3 hal 128 dan beliau menyatakan shahih. Paling tidak ini bisa dijadikan alasan dari pihak Syiah bahwa ada ulama sunni yang menshahihkan hadis ini. Walaupun begitu saya sendiri lebih cenderung untuk menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena dalam perawinya ada Yahya binYa’la Al Aslami yang dikenal dhaif. Oleh karena itu Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak menolak pernyataan shahihnya hadis ini oleh Al Hakim.
Kemudian saudara Ja’far melanjutkan dengan mengutip hadis “Sesungguhnya Ali bagian diriku dan aku bagian darinya. Dan dia adalah pemimpin setiap orang mukmin yang sesudahku” (Musnad Imam Ahmad, Sunan Tirmidzi, dari Ja’far bin Sulaiman). Anehnya beliau mencantumkan hadis ini dalam contoh hadis dhaif atau maudhu’ karena kredibilitas Ja’far bin Sulaiman Al Dhab’i.
Dalam Mizan Al Itidal Adz Dzahabi jilid 1 hal 408 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 2 hal 95 terdapat keterangan tentang Ja’far bin Sulaiman.
• Yahya bin Main menyatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman tsiqatBerdasarkan ini maka Ja’far bin Sulaiman adalah tsiqat. Keraguan yang disampaikan penulis perihal Ja’far bin Sulaiman seperti dalam kata-kata Sedangkan dalam kitabnya, Ad-Dhu’afa’,bukhari berkata,”Dia diperselisihkan dalam sebagian hadisnya”. Ibnu Syahiin dan Ibnu Ammar mengatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman dhaif. Keraguan seperti ini tidak tepat dan tidak bisa dijadikan hujjah karena
• Ahmad bin Hanbal menilai Ja’far tidak tercela
• Ibnu Saad menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat tetapi tasyayyu
• Hammad bin Zaid berkata perihal Ja’far ”Tidak terlarang menerima riwayatnya meskipun dia Syiah dan banyak menceritakan tentang Ali dan orang Basrah berlebih-lebihan dalam memuji Ali”
• Ahmad bin Adiy menegaskan ”Ja’far itu orang Syiah tetapi itu bukan masalah. Dia juga meriwayatkan hadis-hadis yang menerangkan keutamaan Abu Bakar dan Umar dan hadis-hadisnya tidak ditolak. Menurut pendapatku dia termasuk orang yang pantas diterima riwayatnya”.
• Ibnu Hibban berkata ”Ja’far seorang tsiqat dalam meriwayatkanhadis”.
• Jika keadaan suatu perawi telah jelas ketsiqatannya maka setiap jarh yang dikemukakan harus disertai alasan yang kuat. Jadi tidak hanya sekedar jarh(celaan).Ja’far bin Sulaiman adalah perawi hadis Shahih Muslim dan Kitab Sunan serta beliau telah dikenal tsiqat. Oleh karena itu berdasarkan hal ini maka hadis yang dikemukakan saudara penulis itu adalah hadis yang shahih.. Hadis yang dipermasalahkan penulis itu adalah hadis Sunan Tirmidzi no 3712 yang dinyatakan hasan gharib oleh Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadis dengan matan seperti ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad jilid I hal 330 hadis no 3062 & 3063 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 134 dan beliau menyatakan hadis tersebut shahih. Pernyataan Al Hakim ini dibenarkan oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Jadi kesimpulannya hadis tersebut adalah shahih dan dalam hal ini saya menunjukkan keheranan saya terhadap pernyataan penulis yang memasukkan hadis ini dalam contoh hadis dhaif dan maudhu’.
• Penulis(beliau) tidak menyampaikan apa alasan jarh terhadap Ja’far bin Sulaiman. Dari kitab Al Mizan memang beredar isu kalau Ja’far bin Sulaiman memaki Abu Bakar dan Umar(kemungkinan besar hal ini yang menyebabkan keraguan terhadap Ja’far bin Sulaiman). Saya tidak menemukan alasan yang lain tentang celaan terhadap Ja’far bin Sulaiman selain hal ini. Tetapi isu ini telah dibantah oleh Ulama hadis seperti Ibnu Adiy bahkan Al Dzahabi berkata ketika membenarkan pernyataan Ibnu Adiy ”terbukti bahwa Ja’far bin Sulaiman juga meriwayatkan hadis keutamaan Abu Bakar dan Umar. Jadi Ja’far itu jujur dan polos”.
Kemudian beliau penulis itu melanjutkan
Seandainya masalah imamah adalah masalah yang termasuk sangat-sangat penting (termasuk rukun iman / syarat kesempurnaan iman) maka harusnya Rasulullah SAW menyatakan keimamahan Ali dan keturunannya dengan tegas dan sering,Pernyataan seperti ini sedikit kurang jelas menurut saya. Bagi Syiah keimamahan Ali dan keturunannya bersifat tegas, dan dalil-dalil tentang ini dapat ditemukan dalam kitab Sunni. Bukankah jika Rasulullah SAW menetapkan hal ini berapapun banyaknya mau sedikit atau sering maka itu sudah menjadi hujjah yang nyata.
Kemudian pernyataan beliau yang menyamakan rukun iman dan syarat kesempurnaan iman itu juga layak dikritisi maksudnya. Rukun iman adalah berkaitan dengan apa yang kita yakini. Apa salahnya jika Syiah meyakini setiap apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang Imamah(menurut mereka). Lalu apa hubungannya dengan syarat kesempurnaan iman, apakah penulis ingin menyatakan bahwa jika tidak meyakini Imamah maka imannya tidak sempurna. Disini perlu diperjelas keyakinan terhadap Imamah adalah keyakinan yang bersumber dari Rasulullah SAW(menurut Syiah). Tentu saja bagi mereka yang menganggap dalil syiah itu samar atau tidak benar jelas tidak akan mengimaninya. Jadi perbedaannya ada pada persepsi masing-masing.
Saudara Ja’far melanjutkan
sehingga dengan demikian akan dijumpai banyak hadis-hadis yang shahih yang diriwayatkan dari banyak jalur serta tidak ada/sangat sedikit perselihan dalam masalah sanadnya mengenai hal tsb.Dalil disisi Syiah jelas sangat banyak oleh karena itu mereka mengimaninya. Sedangkan dalil di sisi Sunni maka Syiah lagi-lagi berkata juga banyak, contohnya adalah hadis Al Ghadir yang mutawatir di sisi Sunni. Hadis Al Ghadir ini dari sisi sanad tidak bisa ditolak tetapi Sunni memang mengartikan lain hadis ini. Yang perlu diingat kesalahan atau penolakan memang selalu saja bisa dicari-cari.
Seprti yang dikatakan saudara Ja’far
Akan tetapi kenyataan yang ada adalah sebaliknya; hadis-hadis tentang keimamahan Ali dan keturunannya adalah hadis yang maudhu’ atau dha’if atau jika tidak maudhu’/dhaif maka akan dijumpai banyak perselisihan dalam hal sanadnya atau sedikit jalur periwayatannya.Jawab saya: cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar. Mari selanjutnya kita bahas ayat-ayat Al Quran yang dibicarakan oleh penulis tersebut.
4 Tanggapan
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis 12 Khalifah)
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-hadis-12-khalifah/
Saudara Ja’far juga membahas hadis 12 khalifah dalam tulisannya
dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).
Dalam berbicara masalah khalifah atau pemimpin maka Rasulullah SAw jelas menggunakan kata ‘khalifah’ atau ‘Amri’ sebagaimana yang bisa dilihat pada hadis diatas, bukan kata ‘Maulah’. Hadis ini bisa dijadikan tambahan argumentasi bahwa hadis ‘Man kuntu maulah fa’aliyyun maulah’ bukanlah berbicara tentang pemimpin / khalifah. Maulah dalam hadis tsb tidak diartikan sebagai imam atau khalifah.
Dalam hadis tersebut tidak ada tercantum khalifah dari Ahlul Bayt, yang ada adalah khalifah dari Quraisy.
Rasulullah SAW tidak menyebutkan nama-nama siapakah yang menjadi khalifah tersebut.
sebagai Hadis ini menunjukkan masa kejayaan islam ketika dipimpin dua belas khalifah tersebut. Lantas siapakah dua belas orang tersebut? Kita hanyalah bisa menebak-nebak. Kita bisa menebaknya sebagian dengan melihat sejarah Islam pada khalifah mana islam berjaya. Misalnya: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain dengan syarat ketika mereka menjadi khalifah islam berjaya. Khalifah ini juga tidak terbatas pada masa kekhalifahan islam yang ada dulu, tetapi berlaku juga ketika khilafah islamiyah akan tegak kembali. Siapapun yang menjadi khalifah baik dulu maupun yang akan datang sampai hitungannya ada dua belas dimana Islam berjaya pada masa mereka menjadi khalifah maka merekalah dua belas orang yang disebut oleh Nabi SAW tsb. Intinya, dua belas orang tsb adalah dua belas khalifah terhebat (yang berasal dari suku Quraisy yang menjayakan islam) dari semua khalifah islam yang pernah ada dan yang akan datang.
Berbeda dengan syi’ah, dimana bagi mereka nama-nama imam tsb telah disebutkan oleh Rasulullah SAW. Tetapi manakah hadis yang mengatakan nama-nama khalifah tsb? Hadis yang menunjukkan nama-nama tsb hanyalah hadis dari syi’ah. Hadis itupun bahkan hadis yang palsu/dibuat-buat.
Buktinya syi’ah dalam sejarahnya terpecah belah menjadi beberapa firqah karena mereka berselisih siapakah yang akan menjadi imam selanjutnya setelah satu imam meninggal. (Lihat Al-Milal wa Al-Nihal).
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis Al Ghadir)
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-hadis-al-ghadir/
Sebelumnya saya telah mengatakan bahwa hadis al Ghadir adalah mutawatir, pernyataan ini adalah benar dan diakui oleh ulama Sunni yang telah membuat kitab khusus tentang riwayat-riwayat hadis Al Ghadir diantaranya
• Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Al GhadirWalaupun begitu perlu diperhatikan mutawatir disini adalah mutawatir ma’nawi Artinya hadis-hadis tersebut memiliki matan yang bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi
• Ibnu Uqdah dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Hadits Al Ghadir
• Abu Bakar Al Ja’abi dalam kitabnya Man Rawa Hadits Ghadir Kum
• Abu Sa’id As Sijistani dalam kitabnya Ad Dirayah Fi Hadits Al Wilayah
• Matan yang Mutawatir, Artinya matan ini ada dalam setiap hadis Al Ghadir apapun sanadnya, matan itu adalah perkataan Rasulullah SAW di Ghadir Kum “barang siapa menganggap Aku Maulanya maka Ali adalah Maulanya”. Oleh karenanya perkataan ini bisa dikatakan bersifat pasti kebenarannya karena sanadnya mutawatir.Mari kita lihat kembali pernyataan penulis(Ja’far) seputar hadis Al Ghadir, beliau mengutip pernyataan Al Alusi
• Matan yang shahih, artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis-hadis Al Ghadir tetapi tidak semua hadis Al Ghadir meriwayatkan matan ini. Adapun hadis yang mengandung matan ini sanadnya shahih. Yaitu antara lain matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW bahwa Sebentar lagi Rasulullah SAW akan dipanggil ke hadirat Allah SWT. Atau matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk berpegang kepada dua hal Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, matan yang mengandung peristiwa kesaksian di Rahbah oleh beberapa sahabat terhadap Imam Ali, matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW ”bukankah Kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku lebih berhak atas orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri?” dan Matan yang mengandung ucapan selamat Umar kepada Ali(matan selamat ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4 hal 281 dalam sanadnya terdapat Zaid bin Hasan Al Anmathi, tentang beliau Abu Hatim berkata hadisnya mungkar tapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat, Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadis dalam Sunan Tirmidzi no3 786 dan dalam sanadnya ada Zaid bin Hasan, oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa hadis dalam Musnad Ahmad itu shahih.)
• Matan yang diperselisihkan sanadnya atau dhaif(menurut Ulama Sunni), artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis Al Ghadir dimana sanad hadisnya adalah dhaif di sisi Ulama Sunni. Yaitu matan hadis Al Ghadir yang mengandung Ayat Tabligh Al Maidah 67 dan Al Maidah ayat 3.
Adapun pada saat khutbah Rasulullah sepulang dari haji wada’ tersebut tidak didapati hadis yang shahih mengenai pengangkatan Ali sebagai khalifah / pemimpin / menjadikannya maula. Al-Alusi berkata, “Riwayat-riwayat tentang Ghadir Khum – yang di dalamnya terdapat perintah kepada Nabi SAW untuk mengangkat Ali sebagai khalifah – tidak shahih dan sama sekali tidak diterima oleh AhluSunnah” (Tafsir Al-Alusi).Jika yang dimaksudkan adalah hadis dengan perkataan maula itu, maka dalam hal ini Al Alusi keliru karena pengangkatan Ali sebagai maula di Ghadir Kum telah dishahihkan banyak ulama Ahlus Sunnah seperti At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, Al Hakim dalam Al Mustadrak dan Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Tentu Ulama syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin, sedangkan ulama sunni menafsirkan maula sebagai sahabat atau yang dicintai.
Tetapi jika yang dimaksudkan adalah hadis dengan turunnya Al Maidah ayat 67 dan Al Maidah ayat 3 maka saya sependapat. Karena hadis tentang itu terdapat keraguan pada sanadnya dan saya setuju dengan pernyataan penulis bahwa Al Maidah ayat 3 berdasarkan dalil shahih disisi Sunni turun di arafah.
Penulis(Ja’far) mengkritik hadis Al Ghadir yang mengandung matan maula dengan berkata
Masih ada beberapa hadis lain yang serupa dua hadis diatas dalam Musnad Imam Ahmad. Kata-kata ‘Man kuntu MAULAH fa’aliyyun maulah’ (Siapa yang aku sebagai PEMIMPINNYA maka Ali sebagai PEMIMPINNYA) tidak dapat dijadikan dalil bahwa Ali adalah khalifah setelah rasulullah SAW wafat.Mari kita telaah masing-masing alasannya
Alasan pertama Imam Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadis tsb adalah AhluSunnah. Jika Imam Ahmad menafsirkan hadis tsb sebagai dalil yang menjadikan Ali sebagai khalifah/imam setelah rasulullah wafat maka dia seharusnya menjadi ulama syi’ah. Akan tetapi, Imam Ahmad adalah seorang ahlusunnah, dengan begitu Imam Ahmad tidak menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali sebagai pengganti Rasullah SAW.Alasan ini rancu sekali dan bagi saya orang yang memakai alasan seperti ini tidak perlu jauh-jauh menggunakan dalil dan pembahasan dalam mengkritik Syiah, dia cukup berkata seandainya Syiah itu benar maka Ulama-ulama sunni akan menjadi Syiah tetapi kenyataannya tidak maka Syiah tidak benar. Nah selesai urusannya. Kalau ingin melakukan pembahasan maka harus melihat dalil itu sendiri dan menilai penafsiran mana yang benar antara Ulama Sunni dan Syiah. Dalam hal ini Penulis telah melakukan Fallacy Argumentum Ad Verecundiam.
Alasan kedua Pengartian kata ‘maulah’ dalam konteks hadis tsb sebagai ‘pemimpin’ tidak tepat. Maulah dalam hadis tsb berarti loyalitas atau kecintaan, sesuai dengan akar katanya yaitu ‘Wali’.Mari kita telaah, si penulis berargumen bahwa berdasarkan konteksnya maula itu bukan berarti pemimpin. Anehnya beliau malah mengartikan maula berdasar akar kata. Ulama Syiah berkata Maula adalah lafal Musytakarah(punya banyak arti) dan untuk mengetahui arti yang tepat adalah dengan melihat konteksnya pada hadis Al Ghadir.
Mari kita lihat apa kata Ulama Syiah tentang makna maula. Dalam Hadis Al Ghadir terdapat kata-kata Rasulullah SAW bahwa beliau sebentar lagi akan dipanggil ke hadirat Allah ” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh.
Bukankah kata-kata ini berarti Rasulullah SAW telah mewasiatkan sebelum beliau meninggal untuk mengikuti Al Quran dan Ahlul Bait, adalah wajar kalau hal ini diartikan Ulama Syiah sebagai Rasulullah SAW menyerahkan kepemimpinan Agama kepada Ahlul Bait.
Kemudian kata-kata “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Hingga akhirnya Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya. Ulama Syiah menafsirkan kata lebih berhak menunjukkan bahwa maula yang dimaksud berkaitan dengan kekuasaan dan tidak tepat jika diartikan sahabat atau dicintai. Selain itu kata-kata terakhir Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya. Menunjukkan bahwa pada saat itu Imam Ali dianugerahkan tanggung jawab yang memungkinkan beliau dicintai atau dimusuhi orang, tanggung jawab ini lebih tepat diartikan kekuasaan ketimbang yang dicintai.
Oleh karena itu Ulama Syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin ditambah lagi ucapan selamat Umar kepada Ali yang menurut Syiah janggal diberikan hanya karena Ali dinobatkan sebagai yang dicintai, Ulama syiah berkata apakah sebelumnya Imam Ali adalah musuh sehingga ketika dinobatkan sebagai yang dicintai maka beliau diberi selamat.
Sedangkan kata-kata penulis
Seandainya maulah diartikan sebagai imam / khalifah maka seharusnya para sahabat tidak menjadikan Abu Bakar r.a sebagai khalifah setelah Rasulullah SAW. Mana mungkin mayoritas sahabat mengkhianati Rasulullah SAW. Para sahabat tidak pernah menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali. Kalau kita menganggap hadis tsb sbg dalil penunjukkan Ali maka otomatis para sahabat adalah orang yang tidak melaksanakan amanat Rasulullah SAWmaka saya katakan itulah tepatnya kenapa Ulama Sunni berkeras bahwa kata maula itu bukan pemimpin. Disini penulis sudah memahami dengan prakonsepsinya terlebih dahulu tentang shahabat baru menilai nash hadis Al Ghadir bedanya dengan Syiah mereka memahami nash hadis Al Ghadir terlebih dahulu baru menilai shahabat.
Mengenai hadis tentang murtadnya shahabat Nabi kecuali beberapa orang di sisi Syiah, maka saya memilih untuk berdiam diri karena saya tidak mengetahui shahih tidaknya hadis tersebut di sisi Syiah dan apa arti murtad yang dimaksud. Karena yang saya tahu ada cukup banyak Sahabat Nabi yang diakui oleh Syiah bukan hanya beberapa orang, Silakan dirujuk pada Ikhtilaf Sunnah Syiah karya Syaikh Al Musawi hal 205-214. Saya juga ingin mengingatkan penulis bahwa di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadis yang jika diartikan secara literal mengindikasikan cukup banyak shahabat Nabi yang masuk neraka karena berpaling setelah Nabi SAW wafat.
Contohnya hadis Shahih Bukhari juz 8 hal 150 diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Akan datang di hadapanKu kelak sekelompok shahabatKu tapi kemudian mereka dihalau. Aku bertanya ”wahai TuhanKu mereka adalah shahabat-shahabatKu”. Lalu dikatakan ”Engkau Tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka murtad dan berpaling.”. Tentu Ulama Sunni memiliki pemahaman sendiri terhadap hadis ini dengan berkata bahwa memang ada yang murtad dan yang murtad itu tidak lagi disebut sebagai shahabat. Yang ingin saya tekankan kalau Ulama Sunni bisa melakukan penafsiran terhadap teks mereka. Kenapa kita tidak bisa mendengar apa kata Ulama Syiah tentang hadis mereka.
Alasan yang ketiga Hadis-hadis tsb lebih tepatnya menceritakan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib bukan dalil tentang penunjukkannya.Saya setuju kalau hadis itu menunjukkan keutamaan tapi keutamaan sebagai apa, nah disinilah terjadi beda penafsiran. Syiah justru berkata itulah keutamaan Imam Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah SAW.
10 Tanggapan
-
Saya sependapat dengan Mirza, saya rasa anda perlu mencari lagi sanad-sanad hadis tentang ayat tabligh
coba cari di sumber yang saya sebutkan
-
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
-
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
segera kunjungi
-
Indonesia gempar …
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
segera kunjungi
-
Indonesia gempar …
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
segera kunjungi
isi web :
* Imam Ali dan Imam Hasan Membai’at Karena Terintimidasi dan Mencegah Pertumpahan Darah Internal
* Bukti Imamah Ali Yang Meruntuhkan Aswaja Sunni !!!! 3 WASIAT SAAT NABI SAKIT
* Kenapa Syi’ah Hanya Mengakui Keshahihan Sebagian Hadis Aswaja Sunni ??? Hadis Palsu Dalam Kitab Bukhari Muslim Terungkap ! HADiS YANG MERUGiKAN AHLUL BAiT ADALAH PALSU
* Mayoritas Peserta Ghadir Kum Akui Imamah Ali, Tapi Tidak Mau Membai’at Ali
* Nabi SAW bilang tidak semua sahabat adil.. Kok Ulama Aswaja membantahnya !!!
* SALAFi WAHABi MEMAKAi HADiS DHA’iF SYi’AH SEBAGAI BLACK CAMPAiGN
* Kesalahan Terfatal Aswaja Sunni Karena Membela Mu’awiyah Yang Kekejaman nya Melebihi Fira’un… 12 khulafaur rasyidin Syi’ah Dizalimi Rezim Umayyah – Abbasiyah
-
Indonesia gempar …Indonesia guncang
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
Ribuan Salafi wahabi Masuk Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah Setelah baca Blog syiahindonesia1.wordpress.com
segera kunjungi
isi web :
* Imam Ali dan Imam Hasan Membai’at Karena Terintimidasi dan Mencegah Pertumpahan Darah Internal
* Bukti Imamah Ali Yang Meruntuhkan Aswaja Sunni !!!! 3 WASIAT SAAT NABI SAKIT
* Kenapa Syi’ah Hanya Mengakui Keshahihan Sebagian Hadis Aswaja Sunni ??? Hadis Palsu Dalam Kitab Bukhari Muslim Terungkap ! HADiS YANG MERUGiKAN AHLUL BAiT ADALAH PALSU
* Mayoritas Peserta Ghadir Kum Akui Imamah Ali, Tapi Tidak Mau Membai’at Ali
* Nabi SAW bilang tidak semua sahabat adil.. Kok Ulama Aswaja membantahnya !!!
* SALAFi WAHABi MEMAKAi HADiS DHA’iF SYi’AH SEBAGAI BLACK CAMPAiGN
* Kesalahan Terfatal Aswaja Sunni Karena Membela Mu’awiyah Yang Kekejaman nya Melebihi Fira’un… 12 khulafaur rasyidin Syi’ah Dizalimi Rezim Umayyah – Abbasiyah
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Tabligh)
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-ayat-tabligh/
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari manusia . Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S.Al-Ma’idah : 67)
Berkenaan dengan ayat ini penulis berkata
Ayat ini dinamakan Syi’ah sebagai ayat tabligh, karena menurut Syi’ah dengan ayat ini Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan hal yang sangat penting bagi umat islam yaitu penunjukkan dan pengangkatan Ali r.a sebagai pengganti beliau. Peristiwa pengangkatan ini menurut syi’ah terjadi di Ghadir Kum sepulang dari haji Wada’ tanggal 18 Dzulhijjah.Pernyataan ini memang cukup banyak ditemukan dalam literatur hadis Syiah dari para Imam Ahlul Bait as.
Kemudian mengenai literatur dalam sumber Sunni, Ulama Syiah cenderung menyatakan bahwa pendapat ini juga pendapat kebanyakan ahli tafsir Sunni. Hal ini yang dibantah oleh Penulis tersebut dalam menanggapi Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin an-Antaki, seorang bekas Qadhi Besar Mazhab Syafi’i di Halab, Syria, seorang yang masuk syi’ah dalam karyanya Limadza Akhtartu Mahzab Ahlul Bayt (Mengapa aku memilih mahzab Ahlul Bait) . Dalam buku itu Syaikh Mar’i Al Amin berkata “Semua ahli Tafsir Sunnah dan Syi’ah bersepakat bahwa ayat ini diturunkan di Ghadir Khum mengenai ‘Ali AS bagi melaksanakan urusan Imamah.” lalu tulisnya lagi “…Aku berpendapat sebenarnya para ulama Islam telah bersepakat bahwa ayat al-Tabligh (Surah al-Maidah(5):67) telah diturunkan kepada ‘Ali AS secara khusus bagi mengukuhkan khalifah untuknya. Di hari tersebut riwayat hadith al-Ghadir adalah Mutawatir. Ianya telah diriwayatkan oleh semua ahli sejarah dan ahli Hadith dari berbagai golongan dan ianya telah diperakukan oleh ahli Hadith dari golongan Sunnah dan Syi’ah”.
Sang penulis benar-benar tidak setuju dengan pernyataan ini sehingga dia berkata
Benarkah bahwa hadis Al-Ghadir adalah mutawatir? Semua ahli tafsir Sunnah sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali r.a di Ghadir Kum? Sungguh kebohongan yang amat besar !.Jawaban saya Hadis Al Ghadir benar mutawatir, dan memang semua ahli tafsir sunnah tidak sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali ra di Ghadir Kum. Yang benar adalah memang ada riwayat tentang turunnya ayat ini untuk Imam Ali di dalam literatur Sunni yaitu dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim dalam tafsir Al Maidah ayat 67, Al Wahidi dalam Asbabun Nuzul Al Maidah ayat 67 dan Tarikh Ibnu Asakir dalam bab biografi Ali bin Abi Thalib.Yang kesemuanya berpangkal dari sanad Ali bin Abas dari Amasy dari Athiyah dari Abu Said Al Khudri dia berkata: Diturunkan ayat ini: “Wahai Rasul Allah! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” [al-Maidah 5:67] ke atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Hari Ghadir Khum berkenaan ‘Ali bin Abi Thalib.
Sanad hadis ini diperselisihkan oleh ulama sunni dan syiah. Kebanyakan ahli hadis Sunni menyatakan riwayat ini dhaif karena pada sanadnya terdapat Athiyah bin Sa’ad al Junadah Al Aufi. Dalam Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79 didapat keterangan tentang Athiyah
• Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaifOleh karena itu tidak berlebihan kalau ahli hadis sunni menyatakan hadis tersebut dhaif. Tetapi ulama syiah menolak hal ini dengan menyatakan bahwa Athiyyah adalah perawi yang dipercaya di sisi Syiah bahkan ada ulama Sunni yang menta’dilkan beliau.
• Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis
• An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif
• Abu Zara’ah juga memandangnya lemah.
• Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.
• Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain.
• Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah.
• Abu Ahmad bin Adiy berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis.
• Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 7 hal 220 Al-Hafidz Ibnu Hajar telah berkata tentang biografi Athiyyah, “Ad-Dawri telah berkata dari Ibnu Mu’in bahwa ‘Athiyyah adalah seorang yang saleh.” Selain itu dalam Mizan Al ‘Itidal ketika Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.Sebenarnya juga tidak berlebihan kalau Ulama Syiah memandang Athiyyah sebagai perawi yang tsiqat apalagi dalam literatur mereka Athiyyah memang perawi syiah yang tsiqat. Oleh karena itu ulama syiah menolak pernyataan dhaif kepada Athiyyah, mereka berkata itu hanyalah kecenderungan Sunni untuk mendhaifkan perawi yang bermahzab syiah. Mengapa Athiyyah dinyatakan dhaif oleh sebagian kalangan?dan mengapa riwayatnya tidak diterima oleh sebagian Ulama Sunni, Jawabannya karena
• Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 2 hal 226 dan Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79, Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat, dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik, sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah.
• Sibt Ibnul Jauzi(cucu Ibnu Jauzi) dalam kitabnya Tadzkhiratul Khawass memandangnya sebagai perawi yang bisa dipercaya.
• Athiyyah bin Sa’ad adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, perawi dalam Sunan Nasa’i, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
• Athiyyah adalah perawi yang bermahzab syiah dan mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Dan biasanya riwayat seorang perawi Syiah tentang mahzabnya ditolak oleh Ulama SunniSayangnya kedua alasan ini tidak diterima oleh Ulama Syiah, tentang alasan pertama mereka berkata itu sangat subjektif bukankah tidak ada salahnya kalau perawi tersebut meyakini apa yang ia riwayatkan. Singkatnya seperti ini Ulama Sunni jelas dari awal menganggap Syiah itu ahlul bid’ah oleh karenanya riwayat yang mendukung mahzab syiah mesti ditolak, menurut Ulama Sunni perawi syiah jelas sekali akan membuat riwayat yang mendukung mahzab mereka. Sedangkan ulama Syiah jelas tidak terima dinyatakan seperti itu makanya mereka bilang ulama sunni subjektif. Bukankah juga mungkin karena meyakini riwayat(yang katanya mendukung mahzab syiah) maka perawi itu lantas berpegang pada mahzab Syiah.
• Athiyyah dipandang dhaif karena sifat tadlis. Dalam Tahdzib at Tahzib dan Mizan Al ‘Itidal, ketika membicarakan Athiyyah dan riwayatnya dari Abu Said, Ahmad menyatakan bahwa hadis Athiyyah itu dhaif, beliau berkata “Sampai kepadaku berita bahwa Athiyyah belajar tafsir kepada Al Kalbi dan memberikan julukan Abu said kepadanya ,Agar dianggap Abu said Al Khudri.”. Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Ibnu Hibban “Athiyyah mendengar beberapa hadis dari Abu said Al Khudri. Setelah Al Khudri ra meninggal ,ia belajar hadis dari Al Kalbi. Dan ketika Al Kalbi berkata Rasulullah SAW bersabda ‘demikian demikian’maka Athiyyah menghafalkan dan meriwayatkan hadis itu dengan menyebut Al Kalbi sebagai Abu Said. Oleh sebab itu jika Athiyyah ditanya siapakah yang menyampaikan hadis kepadamu?maka Athiyyah menjawab Abu Said. Mendengar jawaban ini orang banyak mengira yang dimaksudkannya adalah Abu Said Al Khudri ra, padahal sebenarnya Al Kalbi”.
Alasan yang kedua juga tidak mematikan hujjah ulama Syiah karena mereka dapat berkata apa buktinya pernyataan Ahmad dan Ibnu Hibban itu benar, bukankah bisa saja itu hanya sekedar kabar-kabar yang disebarkan untuk mendiskreditkan Athiyyah, Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 2 hal 226 Ibnu Hajar Al’Asqalani telah berkata,
Ibnu Sa’ad telah berkata, “Athiyyah pergi bersama Ibnu al- Asy’ats, lalu Hajjaj menulis surat kepada Muhammad bin Qasim untuk memerintahkan ‘Athiyyah agar mencaci maki Ali, dan jika dia tidak melakukannya maka cambuklah dia sebanyak empat ratus kali dan cukurlah janggutnya. Muhammad bin Qasim pun memanggilnya, namun ‘Athiyyah tidak mau mencaci maki Ali, maka dijatuhkanlah ketetapan Hajaj kepadanya. Kemudian ‘Athiyyah pergi ke Khurasan, dan dia terus tinggal di sana hingga Umar bin Hubairah memerintah Irak. ‘Athiyyah tetap terus tinggal di Khurasan hingga meninggal pada tahun seratus sepuluh hijrah. Insya Allah, dia seorang yang dapat dipercaya, dan dia mempunyai hadis-hadis yang layak.”
Ada sebuah kemungkinan bahwa Athiyyah adalah orang yang dikenal tsiqat pada saat itu tetapi mungkin karena sikap terang-terangannya dalam memuliakan Imam Ali di atas sahabat yang lain sampai-sampai mengundang kecurigaan dari bani Umayyah. Oleh karenanya mungkin untuk menjatuhkan beliau disebarkanlah kabar-kabar yang mendiskreditkan beliau. Sayangnya ini adalah sebuah kemungkinan dan belum bisa dibuktikan. Baik Ulama Sunni dan Ulama Syiah dipengaruhi kecenderungan masing-masing dalam melihat pribadi Athiyyah.
Lantas mengapa Ulama Syiah berkeras bahwa riwayat turunnya ayat Al Maidah 67 dan Al Maidah 3 berkenaan peristiwa Al Ghadir adalah mutawatir di sisi Sunni? Jawabannya adalah mereka Ulama Syiah ketika menyebut riwayat turunnya Al Maidah 67 dan Al Maidah 3 sering merujuk ke kitab-kitab yang seringkali sulit dirujuk oleh Ulama Sunni seperti kitab Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir Ath Thabari. Kitab ini dibuat Ath Thabari pada akhir-akhir hidupnya dan sayangnya sekarang sudah tidak bisa ditemukan lagi. Yang ada hanyalah kitab-kitab yang memuat kutipan dari kitab Ath Thabari tersebut. Memang kitab-kitab yang mengutip kitab Ath Thabari itu kebanyakan adalah kitab-kitab Ulama Syiah. Hal ini bisa dimaklumi karena Ulama Syiah punya kecenderungan kuat untuk memelihara riwayat-riwayat Al Ghadir sebagai hujjah mereka terhadap Sunni.
Sayangnya kitab Ath Thabari ini sudah tidak ada lagi disisi Sunni, entahlah apa sebabnya kitab ini bisa tidak terpelihara di sisi Sunni. Oleh karenanya ketika Ulama Syiah berhujjah dengan riwayat dalam kitab ini maka Ulama Sunni sekarang mentah-mentah menolaknya. Lucunya mereka Ulama Sunni berkata bahwa itu hanyalah buatan-buatan Syiah saja, atau ada yang menuduh Ath Thabari itu Syiah dan yang berlebihan menuduh kitab Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir itu dibuat oleh Syiah dan mengatasnamakan Ath Thabari. Padahal terdapat bukti yang jelas bahwa kitab Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir adalah benar-benar eksis dulunya dan merupakan hasil karya Ibnu Jarir Ath Thabari yang Sunni.
Penolakan terhadap kitab Ath Thabari ini juga didasari bahwa dalam Tafsir Ath Thabari tentang Al Maidah ayat 67 dan Al Maidah ayat 3, beliau Ath Thabari tidak menyebut sedikitpun tentang peristiwa Al Ghadir. Sayangnya hal ini bukanlah dasar yang kuat untuk menolak kitab Al Wilayah Ath Thabari. Karena seperti yang sudah saya sebutkan kitab Al Wilayah ini dibuat pada akhir-akhir kehidupan Ath Thabari artinya jauh selepas beliau mengarang Tafsir Ath Thabari. Jadi ada kemungkinan beliau merubah pandangannya atau bisa jadi lingkungan kemahzaban yang kental di masa Ath Thabari tidak memungkinkannya untuk memasukkan riwayat Al Ghadir dalam Tafsir Beliau. Tapi sayangnya ini hanyalah sebuah kemungkinan dan memerlukan pembuktian.
Bagi saya pribadi hujjah tidak bisa berdasarkan kemungkinan oleh karenanya saya lebih berdiam diri dalam masalah ini dan mungkin lebih baik untuk tidak menerima riwayat tentang ayat tabligh ini karena masih ada keraguan dalam sanadnya. Jadi memang pernyataan Syaikh Mar’i Al Amin itu keliru, ahli tafsir Sunni tidak bersepakat tentang turunnya ayat tabligh untuk Imam Ali.
Walaupun begitu rupanya si penulis melihat kekeliruan Syaikh Mar’i Al Amin ini sebagai kebohongan besar. Entahlah, bagi saya ini adalah kecenderungan kemahzaban saja, sama halnya dengan yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah yang membuat banyak kekeliruan karena berlebih-lebihan dalam membantah Ulama Syiah Ibnul Muthhahhar(Allamah Al Hilli). Keinginan Ibnu Taimiyyah untuk terus membantah itu membuatnya banyak menolak hadis-hadis shahih seperti hadis Tsaqalain, dengan mengatakan banyak yang menolak hadis tsaqalain padahal kenyataannya tidak demikian.
Mari kita lanjutkan, kemudian penulis juga menjadi berlebih-lebihan ketika berkata
Mana mungkin tulisan tsb berasal dari seorang yang banyak mempelajari agama (seorang Qadhi Besar) kecuali tulisan tsb berasal dari ulama syi’ah sendiri. Benarkah buku tsb berasal dari seorang yang keluar dari Mahzab Syafi’i lalu masuk Syi’ah? Jangan-jangan buku tsb dibuat oleh orang syi’ah sendiri dan mengatasnamakannya dari seorang AhluSunnah.Sayangnya bukti kuat dalam masalah ini adalah buku itu sendiri. Dalam Limadza Akhtartu Mahzab Ahlul Bayt (Mengapa aku memilih mahzab Ahlul Bait), pengarang syaikh Mar’i Al Amin sendiri mengatakan bahwa beliau awalnya Qadhi Halab bermahzab syafii yang kemudian masuk Syiah. Tentu saja kesaksian ini lebih patut dipercaya ketimbang dugaan-dugaan tanpa bukti. Anehnya sepertinya penulis itu adem ayem saja menerima kabar bahwa Ayatullah Uzma Al Burqu’i adalah ulama Syiah yang keluar dari mahzab syiah yang ia kutip dari Gen Syiah Ustad Mamduh Al Buhairi.
Kemudian sang penulis menganalogikan dugaannya dengan dugaan lain yang sama tak berdasarnya
Seperti halnya buku Al-Muraja’at, dialog Sunni-Syi’ah antara Syaikh Al-Azhar Salim Al-Bisyri dengan seorang syi’ah yaitu Syarafuddin Al-Musawi. Kitab Al-Muraja’at diterbitkan 20 tahun setelah Syekh Salim Al-Bisyri meninggal. DR.Ali Ahmad As-Salus, ulama AhluSunnah dari Qatar pakar aliran Syi’ah bertemu dengan putra Syekh Salim Al-Bisyri dan putranya tersebut berkata, “Saya telah membaca (mempelajari) hadis dari ayahku selama 30 tahun dan beliau tidak sedikitpun menyebutkan tentang Syi’ah kepadaku. Beliau juga tidak pernah menyembunyikan sesuatu kepadaku.”Ada kepincangan dalam cara berpikir penulis, Beliau meragukan kitab Al Muraja’at sebagai buat-buatan saja oleh Syaikh Al Musawi singkatnya dialog dalam buku itu fiktif Padahal buku itu sendiri menjelaskan tentang terjadinya dialog tersebut. Tidak masalah dengan diterbitkannya buku itu 20 tahun kemudian. Hal ini juga diakui terang-terangan oleh Syaikh Al Musawi dalam buku itu dimana beliau menjelaskan karena sesuatu hal maka buku ini baru bisa diterbitkan. Pincangnya adalah penulis itu dengan mudahnya mempercayai apa yang dikatakan Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah yang berhujjah dengan perkataan anaknya Syaikh Salim Al Bisyri yang tidak jelas siapa namanya, kapan ia mengatakan itu, dimana, dan siapa saksinya. Bukankah kalau memang benar begitu si anak tersebut lebih berhak untuk membersihkan nama ayahnya dari tuduhan, sayangnya sampai saat ini saya belum menemukan karya yang membantah Al Muraja’at oleh anak tersebut. Lagipula apakah pernyataan anak tersebut adalah hujjah mati bahwa dialog dalam buku itu fiktif. Bukankah bisa saja sang Ayah merahasiakan dialog tersebut dari anaknya. Dugaan-dugaan tidak bisa dijadikan dasar dalam berhujjah karena hanya melahirkan suatu kemungkinan tetapi tidak mengabaikan kemungkinan yang lain.
Saya tunjukkan sedikit kekeliruan Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah, beliau Ali As Salus telah membuat dugaan bahwa kitab Al Wilayat Fi Thuruq Al Ghadir yang dikarang oleh Ibnu Jarir Ath Thabari adalah bukan dikarang oleh Ath Thabari yang sunni melainkan oleh Ath Thabari yang syiah. Dugaan ini jelas tidak berdasar sama sekali. Pernyataannya ini jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wa An Nihayah yang menjelaskan bahwa kitab itu memang dikarang oleh Ibnu Jarir Ath Thabari yang sunni. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Adz Dzahabi dalam Tadzkirat Al Huffaz, Adz Dzahabi menulis bahwa ” ketika Al Thabari mendengar bahwa Ibnu Abi Dawud menolak keotentikan hadis Al Ghadir, beliau menulis buku mengenai keotentikannya dan keutamaan Ahlul Bait” kemudian Adz Dzahabi menambahkan bahwa dia sendiri melihat satu jilid karya Ath Thabari tentang Thuruq Hadis Al Ghadir dan dibuat kagum oleh besarnya jumlah periwayatnya. Yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa setiap dugaan memerlukan bukti agar bisa dipercaya. Tapi sayangnya ada banyak orang yang lebih mudah mempercayai dugaan karena dipengaruhi kecenderungannya.
2 Tanggapan
-
Bukannya ahli tafsir sunni sepakat kalau alMaidah ayat 67 turun di ghadir kum
banyak kitab tafsir Sunni yang meriwayatkannya
Almaidah ayat 3 itu juga turun di ghadir kum, anda bisa lihat riwayat ini dalam Ma Nazal Quran Ali oleh AlIsfahani,kalau tidak salah
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Al Wilayah)
https://secondprince.wordpress.com/2007/10/11/jawaban-untuk-saudara-ja%E2%80%99far-tentang-imamah-ayat-al-wilayah/
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’ (kepada Allah)” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 55)
Ayat ini dikatakan oleh Ulama Syiah sebagai ayat yang turun kepada Imam Ali, mereka berkata “Orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya ruku” berkenaan kepada Ali yang ketika itu memberikan cincinnya kepada peminta-minta ketika beliau dalam posisi ruku’ dalam sholat.
Dan sepertinya sang penulis(saudara Ja’far) menunjukkan keraguannya tentang hal ini. Beliau berkata
Hadis-hadis tentang asbabun nuzul ayat ini adalah hadis-hadis yang periwayatnya diperselihkan atau bahkan mungkin hadis dhaif/maudhu’.Pernyataan ini adalah tidak benar, hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat ini memiliki banyak sanad yang diriwayatkan dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah, sebagian hadisnya memang diperselisihkan perawinya dan dhaif tetapi sebagian lagi ada yang shahih. Oleh karena itu hadis-hadis tersebut satu sama lainnya saling menguatkan.
Dalam kitab Lubab Al Nuqul fi Asbabun Nuzul Jalaludin As Suyuthi hal. 93 beliau menjabarkan jalur-jalur dari hadis asbabun nuzul ayat ini, kemudian ia berkata ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling mendukung”. Atau dapat dilihat dalam Edisi terjemahannya dari Kitab As Suyuthi oleh A Mudjab Mahali dalam Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Quran hal 326 menguatkan asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali. Beliau membawakan hadis At Thabrani dalam Al Awsath dan mengkritiknya karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya tetapi kemudian beliau melanjutkan keterangannya ”Sekalipun hadis ini ada rawi yang majhul(tidak dikenal) tetapi mempunyai beberapa hadis penguat di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Abdil Wahab bin Mujahid dari Ayahnya dari Ibnu Abbas. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid dan Ibnu Abi Hatim dari Salamah bin Kuhail. Hadis ini satu sama lainnya saling kuat menguatkan”.
Pernyataan Ulama Syiah bahwa mayoritas ahli hadis dan ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali, sebenarnya juga dinyatakan oleh Ulama Sunni At Taftazani Asy Syafii dalam Syarh Al Maqashid, Al Jurjani dalam Syarh Al Mawaqif dan Al Qausyaji dalam Syarh Tajrid. Bahkan Al Alusi dalam Ruh Al Ma’ani jilid 6 hal 167 mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut untuk Imam Ali ra adalah pendapat kebanyakan Ahli hadis.
Saya ingin sekali meminta kepada penulis tersebut siapa yang menyatakan hadis asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali adalah dhaif atau maudhu’ setelah menganalisis semua jalur sanadnya. Sekedar pernyataan dari Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah atau Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah jelas tidak kuat. Alasannya karena mereka yang saya sebutkan itu tidak menganalisis semua jalur sanad hadis asbabun nuzul ayat Al Wilayah. Mereka hanya mencacat sebagian hadisnya, seperti Ali As Salus yang hanya membahas hadis ini dalam Tafsir Ath Thabari kemudian langsung memutuskan bahwa riwayat tersebut dhaif tanpa melihat banyak sanad lainnya dari kitab lain. Apalagi Ibnu Taimiyyah yang melakukan banyak kekeliruan dalam Minhaj As Sunnah antara lain beliau mengatakan bahwa hadis asbabun nuzul ayat ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Al Baghawi padahal kenyataannya kedua kitab tafsir itu memuat hadis yang kita bicarakan ini.
Kemudian sang penulis(Ja’far) juga menyatakan keraguan bahwa Ayat Al Wilayah ini turun untuk Imam Ali, beliau berkata
Dalam ayat tsb sangat jelas bahwa “orang-orang yang beriman…” adalah jamak, maka bagaimana mungkin ayat itu menunjuk kepada satu orang yaitu Ali bin Abi Thalib r.a.Disini letak kekeliruan sang penulis dimana beliau telah menempatkan subjektivitasnya dalam menilai suatu nash. Ulama Syiah Syaikh Al Musawi dalam Al Muraja’at telah menyatakan bahwa memang ada ayat Al Quran yang kata-katanya jamak tetapi ditujukan untuk orang tertentu. Saya tidak akan menukil pernyataan Syaikh Al Musawi cukuplah kiranya saya menukil pernyataan penulis sendiri dalam pembahasan Ayat Al Mubahalah
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S.Ali Imran : 61).Tentang ayat ini penulis(saudara Ja’far) berkata
Kebanyakan ahli Tafsir menyatakan Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW yang bermuhabalah dengan ahlul kitab nasrani. Kemudian Rasulullah mengajak Hasan, Husen, Fatimah dan Ali dalam bermuhabalah dengan orang Nasrani tsb. ‘Anak-anak kami’ mengacu kepada Hasan dan Husein, ‘Isteri-isteri kami’ mengacu kepada Fatimah Az-Zahra, dan ‘diri kami’ mengacu kepada Ali bin Abi Thalib.Pernyataan An Nisaana yang diterjemahkan istri-istri kami atau perempuan perempuan kami adalah bersifat jamak, lalu mengapa hanya mengacu pada Sayyidah Fatimah Az Zahra saja.(perlu diingatkan bahwa dalam Shahih Muslim jelas bahwa hanya Sayyidah Fatimah Az Zahra as satu-satunya wanita yang diseru Nabi SAW untuk menyertai Beliau SAW bermubahalah). Jadi kalau pernyataan tentang ayat mubahalah ini diterima lantas mengapa mempermasalahkan Ayat Al Wilayah.
Selanjutnya saudara Ja’far menuliskan Syi’ah mengatakan bahwa penggunaan kata
“orang-orang yang beriman..dst” padahal ayat tersebut berkenaan dengan Ali dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam.Pernyataan seperti dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam, sebenarnya juga dikemukakan oleh Ulama Sunni Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasyaf ketika membahas ayat Al Wilayah. Yang ingin penulis(saudara Ja’far) sampaikan adalah bagaimana mungkin bisa dibolehkan dalam shalat padahal shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Sebelum menjawab penulis maka marilah kita perhatikan hadis-hadis ini. “Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)
Jawabanku; Bagaimana mungkin Allah menjadikan perbuatan memberikan zakat/sedekah ketika sholat sebagai teladan yang ‘terukir’ dalam Qur’an padahal Sholat membutuhkan konsentrasi yang penuh?.
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata, ‘Telah mengutus-ku Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui sedang shalat di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau, kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalatnya beliau bersabda, ‘Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan shalat’.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar, dari Shuhaib , ia berkata: “Aku telah melewati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, maka aku beri salam kepadanya, beliau pun membalasnya dengan isyarat.” Berkata Ibnu Umar: “Aku tidak tahu terkecuali ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka, hadits shahih)
“Dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata, ‘Aku melihat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengimami shalat sedangkan Umamah binti Abi Al-‘Ash, yaitu anak Zainab putri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam berada di pundak beliau. Apabila beliau ruku’, beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau.” (HR. Muslim)
“Dari Aisyah radhialaahu anha, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang shalat di dalam rumah, sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat shalatnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu itu menghadap kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits hasan)
“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Seandainya kita memakai logika yang dipakai oleh saudara penulis itu maka kita akan mengatakan maka Bagaimana mungkin membunuh ular atau kalajengking, menghadang orang yang lewat, memberi isyarat kepada orang yang berbicara atau memberi salam, menggendong anak, membukakan pintu dan menarik tubuh orang ketika shalat menjadi teladan karena bukankah shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Lantas apakah hadis-hadis itu mesti ditolak?.
Mari kita lanjutkan tulisan Beliau
Memang sangat bagus untuk tidak menunda-nunda membantu orang miskin yang butuh kepada kita tetapi sholat tidaklah memakan waktu yang lama, bukankah lebih baik jika orang miskin tsb meminta setelah sholat usai? atau jika dilihat dari sudut pandang orang miskin tsb, maka Al-Qur’an membolehkan/tidak menegur orang miskin meminta sedekah kepada orang yang lagi sholat padahal menurut saya (dan semua orang) perbuatan orang miskin tsb kurang beradab.Apakah benar perbuatan orang miskin tersebut kurang beradab? Saya heran apakah penulis membaca sendiri hadis tentang ayat Al Wilayah ini. Bukankah pada hadis itu dijelaskan bahwa awalnya pengemis itu meminta-minta di masjid kepada beberapa orang di masjid(yang sedang tidak shalat) tetapi tidak ada satupun yang memberi. Ketika itu Imam Ali sedang shalat kemudian Beliau memberi isyarat kepada pengemis dengan jarinya yang bercincin dan pengemis itu mendekat kemudian pengemis itu mengambil cincin tersebut.
Tentu saja tidak ada yang mengatakan kalau pengemis itu langsung meminta kepada orang yang shalat. Pengemis itu mendekat ketika Imam Ali sendiri berisyarat. Bukankah memberi isyarat dalam shalat adalah hal yang dibolehkan. Seandainya juga pengemis itu langsung meminta kepada Imam Ali yang ketika itu sedang shalat apakah lantas dikatakan tidak beradab lalu bagaimana dengan Jabir bin Abdullah yang berbicara dua kali kepada Nabi SAW yang ketika itu sedang shalat atau Ibnu Umar yang memberi salam kepada Nabi SAW ketika Beliau SAW sedang shalat. Apakah Nabi SAW selanjutnya melarang mereka Jabir bin Abdullah dan Ibnu Umar? Tidak kok(lihat saja hadis yang saya kutip di atas). Yang perlu ditambahkan adalah Ayat Al Wilayah ini juga dimasukkan oleh ahli tafsir Sunni Abu Bakar Al Jashshash dalam kitabnya Tafsir Ahkam Al Quran sebagai dasar bahwa sedikit gerakan dalam shalat tidak membatalkan shalat dan sedekah sunah dapat dinamai zakat.
Kata-kata beliau
Syi’ah juga menyebutkan bahwa bersedekah ketika ruku’ dalam sholat itu tidak mengurangi posisi Amirul Mukminin (Ali), bahkan tindakan itu diikuti para imam sesudahnya.Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata-kata ini tetapi penulis menanggapi dengan
Di sini timbul pertanyaan, “Jika tindakan ini merupakan cermin keutamaan penghulu para Imam (Ali r.a) yang diikuti oleh para imam, lalu mengapa tindakan ini tidak dilakukan oleh manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW? Juga tidak dilakukan oleh para sahabat yang lain?Jawab saya: apakah setiap keutamaan seseorang itu harus diikuti oleh orang lain, bukankah setiap orang memiliki keutamaan masing-masing. Apakah seandainya suatu keutamaan tidak diikuti oleh beberapa orang maka gugurlah keutamaan itu?. Bukankah banyak keutamaan Imam Ali yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain.
Mengenai tafsir Al Maidah ayat 55 yang beliau jelaskan adalah penafsiran yang menyesuaikan dengan urutan ayat. Tafsir yang beliau kemukakan itu sama dengan tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir. Pendapat saya tentang tafsir ini boleh-boleh saja. Tidak ada masalah, justru yang jadi masalah jika kita mengabaikan banyak hadis yang menjelaskan asbabun nuzul ayat ini.
Ayat Al Wilayah Al Maidah 55 Turun Untuk Imam Ali
Sesungguhnya Waliy kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka Ruku’ (kepada Allah).
Sesungguhnya Penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka Tunduk (kepada Allah).
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid 5 hal 266 Al Maidah ayat 55 diriwayatkan dari Ibnu Mardawaih dari Sufyan Ats Tsauri dari Abi Sinan dari Dhahhak bin Mazahim dari Ibnu Abbas yang berkata
“ketika Ali memberikan cincinnya kepada peminta-minta selagi Ia Ruku’ maka turunlah ayat “Sesungguhnya Waliy kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka Ruku’.”(Al Maidah 55).
Menurut kami pernyataan Ibnu Katsir tersebut keliru, Ad Dhahhak mendengar dari Ibnu Abbas. Berikut adalah sedikit analisis mengenai sanad Ad Dhahhhak dari Ibnu Abbas.
Dalam kitab As Saghir Al Bukhari dan Tarikh Al Kabir jilid 4 hal 332 Bukhari menyatakan bahwa Ad Dhahhak meninggal tahun 102 H, ada yang mengatakan tahun 105 H dan usianya telah mencapai 80 tahun. Sedangkan Ibnu Abbas meninggal tahun 68 H atau 70 H sebagaimana yang dikatakan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir jilid 5 hal 3. Hal ini menunjukkan bahwa Ad Dhahhak lahir tahun 22 H atau 25 H sehingga beliau satu masa dengan Ibnu Abbas dan ketika Ibnu Abbas meninggal usia Ad Dhahhak mencapai lebih kurang 45 tahun. Adanya kemungkinan bertemu dan satu masa ini sudah cukup untuk menyatakan bahwa sanad Ad Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah bersambung(muttasil) dan tidak terputus(munqathi). Persyaratan ketersambungan sanad dengan dasar perawi-perawi tsiqah tersebut dalam satu masa adalah kriteria yang ditetapkan Imam Muslim dalam kitab hadisnya Shahih Muslim. Maka berdasarkan Syarat Imam Muslim, Adh Dhahhak yang tsiqah satu masa dengan Ibnu Abbas maka sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah bersambung atau muttasil.
Lantas Mengapa ada ulama seperti Ibnu Katsir menyatakan bahwa sanad Ad Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah terputus atau munqathi?. Hal ini dikarenakan adanya riwayat dalam Kitab Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim jilid 4 no 2024 dari Abdul Malik bin Abi Maysarah yang berkata Ia pernah bertanya kepada Adh Dhahhak “Apakah kamu mendengar sesuatu dari Ibnu Abbas?”. Adh Dhahhak menjawabnya tidak. Abdul Malik kemudian bertanya “Jadi dari mana kamu ambil cerita yang kamu katakan dari Ibnu Abbas?”. Adh Dhahhak menjawab dari fulan dan dari fulan
Alasan tersebut tetap saja tidak menafikan bersambungnya sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas dengan pertimbangan.
- Hal ini karena terdapat riwayat yang lain, justru menyatakan bahwa Adh Dhahhak mendengar dari Ibnu Abbas. Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 4 hal 398 meriwayatkan dari Abu Janab Al Kalbi yang mendengar Ad Dhahhak berkata “Aku menyertai Ibnu Abbas selama 7 tahun”. Riwayat ini sudah jelas menyatakan bahwa Adh Dhahhak memang bertemu Ibnu Abbas apalagi dikuatkan oleh bahwa beliau memang satu masa dengan Ibnu Abbas.
- Adh Dhahhak bin Muzahim Adalah seorang tabiin yang terkenal tsiqah dan amanah sedangkan riwayat Ibnu Abi Hatim berkesan beliau meriwayatkan hal yang ia dengar dari orang lain kemudian menisbatkannya kepada Ibnu Abbas tanpa mendengar sendiri dari Ibnu Abbas.
- Riwayat Ibnu Abi Hatim tertolak(dengan pertimbangan-pertimbangan di atas) atau dapat saja diterima dengan pengertian bahwa apa yang dikatakan Adh Dhahhak itu berkaitan dengan beberapa hadis yang dinisbatkan kepada beliau dari Ibnu Abbas. Padahal beliau sendiri tidak mendengar riwayat itu langsung dari Ibnu Abbas.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad bin Hanbal telah menolak pernyataan Inqitha’(keterputusan) Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas. Beliau menyatakan bahwa hal itu keliru dan beliau telah menshahihkan hadis dengan sanad Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas. Salah satunya tertera dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 Syarh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir catatan kaki hadis no 2262, dimana beliau berkata
“…Adh Dhahhak bin Muzahim AlHilali Abu Al Qasim adalah seorang tabiin, dia meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya, dia orang yang tsiqah lagi amanah sebagaimana yang dinyatakan Ahmad. Sebagian mereka mengingkari mendengarnya Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas atau sahabat lainnya, demikian yang diisyaratkan Al Bukhari pada biografinya dengan ungkapan Humaid ‘mursal’. Mengenai hal ini banyak sekali catatan, bahkan hal itu keliru karena ia meninggal pada tahun 102 ada juga yang mengatakan tahun 105 dan usianya telah mencapai 80 tahun atau lebih…”.
Kedustaan Penulis Kitab Lillahi Tsumma Lil-Tarikh “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah” [Sayyid Husain Al Musawi]
- Husain Al Musawi benar akan kesaksiannya mengenai dirinya sendiri tetapi Syiah berusaha menyangkalnya
- Husain Al Musawi berdusta akan kesaksiannya mengenai dirinya oleh karena itu Syiah tidak mengenalnya
- Husain Al Musawi itu tidak pernah ada, tokoh ini adalah tokoh fiktif dan orang yang menulis kitab tersebut menggunakan nama palsu Husain Al Musawi
وفي ختام مبحث الخمس لا يفوتني أن أذكر قول صديقي المفضال الشاعر البارع المجيد أحمد الصافي النجفي رحمه الله، والذي تعرفت عليه بعد حصولي على درجة الاجتهاد فصرنا صديقين حميمين رغم فارق السن بيني وبينه، إذ كان يكبرني بنحو ثلاثين سنة أو أكثر عندما قال لي: ولدي حسين لا تدنس نفسك بالخمس فإنه سحت، وناقشني في موضوع الخمس حتى أقنعني بحرمته
في زيارتي للهند التقيت السيد دلدار علي فأهداني نسخة من كتابه (أساس الأصول) جاء في (ص51) (إن الأحاديث المأثورة عن الأئمة مختلفة جداً لا يكاد يوجد حديث إلا وفي مقابله ما ينافيه، ولا يتفق خبر إلا وبإزائه ما يضاده) وهذا الذي دفع الجم الغفير إلى ترك مذهب الشيعة
Ayat Tathhir Khusus Untuk Ahlul Kisa’
Ayat ke-32 berbunyi beginiHai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.Ayat ke-33 berbunyi beginiDan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.Ayat ke-34 berbunyi beginiDan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
- Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Tidak sesuai dengan hipotesis}
- Hadis Sunan Tirmidzi menyebutkan bahwa tepat ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW anehnya tidak memanggil Istri-istri Beliau. Bukankah ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah dan istri-istri Beliau jelas punya rumah sendiri maka jika memang ayat tersebut bunyinya seperti itu dan tertuju untuk istri-istri Beliau maka sudah pasti Beliau akan langsung memanggil Istri-istri Beliau yang lain. Hadis Sunan Tirmidzi malah menunjukkan hal yang berbeda yaitu justru Rasulullah SAW memanggil orang lain yang bukan istriNya yaitu Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. {Tidak sesuai dengan hipotesisnya}
- Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini adalah aneh dan sangat tidak sinkron karena Apalagi yang perlu ditanyakan, apakah kata-kata awal pada ayat ke-32 Hai Istri-istri Nabi masih kurang jelas sehingga Ummu Salamah perlu bertanya kepada Nabi. Jika memang ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi maka Ummu Salamah tidak akan bertanya apapun. Ya sudah jelas kan kalau beliau adalah istri Nabi. Apakah Ummu Salamah tidak memahami kata-kata yang mudah seperti itu?. Adanya pertanyaan tersebut telah menggugurkan postulat awal bahwa ayat tersebut diturunkan untuk Istri-istri Nabi SAW. {Tidak sesuai dengan hipotesis}
- Hadis Sunan Tirmidzi membuktikan bahwa bunyi ayat yang turun di rumah Ummu Salamah hanyalah ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Sesuai dengan hipotesisnya}
- Dalam hadis Sunan Tirmidzi ketika ayat ini turun Rasulullah SAW memanggil Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS kemudian menutupinya dengan kain. {Sesuai dengan hipotesisnya}
- Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun dan Rasul SAW menyelimuti Ahlul Kisa’ maka Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini dapat dimengerti karena pada bunyi ayat yang turun itu memang tidak disebutkan kata istri-istri Nabi sehingga Ummu Salamah bertanya apakah Ia bersama mereka sebagai yang dituju dalam ayat tersebut.{Sesuai dengan hipotesisnya bahwa ayat tersebut terpisah dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang berbicara tentang Istri-istri Nabi}.
Mereka yang menentang tersebut mengajukan syubhat bahwa adanya doa Rasulullah SAW justru membuktikan bahwa ayat tersebut tidak tertuju untuk mereka. Untuk apa lagi di doakan jika memang ayat tersebut untuk Ahlul Kisa’. Adanya doa menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tidak termasuk dalam ayat Tathhir sehingga Rasul SAW berdoa agar Ahlul Kisa’ bisa ikut masuk ke dalam ayat tersebut.
- Beliau langsung memanggil siapa itu orang-orang yang dimaksud Ahlul Bait
- Beliau mengkhususkannya dengan Perbuatan yaitu menyelimuti orang-orang tersebut dengan kain. Tindakan Rasulullah SAW menyelimuti dengan kain ini hanya bisa dipahami sebagai pengkhususan.
- Setelah diselimuti maka Beliau kembali menegaskan dengan kata-kata yang jelas yaitu Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Kata-kata ini adalah keputusan final siapa Ahlul Bait yang dimaksud dan Rasulullah SAW menggunakan lafal maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya untuk menunjukkan kepada siapapun yang mendengarnya bahwa inilah Ahlul Bait yang tertera dalam kata-kata Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
Para penentang itu mengajukan syubhat yang lain bahwa jawaban Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” adalah petunjuk bahwa Rasulullah SAW menyadari bahwa Ummu Salamah termasuk dalam ayat tersebut sehingga beliau berkata ”kamu dalam kebaikan”.
- Ummu Salamah bersama Mereka
- Ummu Salamah tidak bersama Mereka
- Bersama Mereka Ahlul Bait
- Tidak bersama Mereka Ahlul Bait
- Memanggil Istri-istriNya
- Menyelimuti Mereka Istri-istriNya dengan kain
- Mengatakan dengan kata-kata Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya.
Para penentang mengajukan alasan bahwa semua itu tidak perlu dilakukan karena sudah jelas ayat tersebut untuk Istri-istri Nabi sedangkan yang dilakukan Nabi terhadap Ahlul Kisa’ karena mereka tidak tercakup dalam ayat tersebut sehingga Rasulullah SAW repot-repot melakukan ketiga hal yang dimaksud.
Syubhat lain yang juga sering dijadikan dasar dalam menolak pengkhususan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ adalah tidak adanya kata-kata tegas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menolak Ummu Salamah sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut.
Contoh nyata akan sikap ini kami lihat pada salah satu penulis Hafiz Firdaus yang ketika membahas ayat ini beliau menyatakan bahwa Ummu Salamah saat itu bertanya kepada Nabi SAW karena pada saat itu Nabi SAW belum memberitahukan ayat tersebut kepadanya sehingga ia bertanya dalam kondisi tidak tahu.
- Abu Ja’far Ath Thahawi penulis kitab Musykil Al Atsar adalah seorang Fakih dan Hafiz bermahzab Hanafi, kredibilitasnya jelas sudah tidak diragukan lagi. Dalam kitab ini Ath Thahawi membuat Bab khusus yang menerangkan tentang Ayat Tathhir. Beliau membawakan beberapa riwayat yang berkaitan dengan ini dan kesimpulan dalam pembahasan beliau tersebut adalah Ayat Tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ saja.
- Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam juz 20 hal 416 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir juz 48 hal 459 no 5635.
- Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 7 biografi no 299, Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
- Jarir bin Abdul Hamid, dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 2 biografi no 116 beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
- Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 4 biografi no 386, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
- Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Ta’jil Al Manfaah juz 1 hal 387 bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Imam Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174 seraya mengutip kalau dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 6 no 7050 bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy.
- Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 biografi no 787 bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
- Percaya atau tidak, kami sebenarnya malas menulis. Dan kami kembali menulis ini karena kami kembali membicarakan ini. Jika ada yang ingin kami membuat banyak tulisan tentang ini(lagi) maka tolong sering-sering ajak bicaralah Mas SP itu. :mrgreen:
- Jika anda menangkap elemen kekasaran pada tulisan ini maka lemparkan saja itu ke dunia lain, jangan biarkan dunia anda berubah menjadi dunia lain pula :mrgre
Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير
- Hadis Sunan Tirmidzi di atas menyebutkan bahwa ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW langsung memanggil Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain bukannya memanggil istri-istri Beliau. Ini bukti kalau ayat tersebut ditujukan untuk Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain dan bukan untuk istri-istri Nabi SAW.
- Ummu Salamah tidak merasa kalau dirinya adalah Ahlul Bait yang dimaksud, padahal jika memang seperti yang diklaim para nashibi kalau Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 turun untuk istri-istri Nabi SAW maka Ummu Salamah pasti tahu kalau dirinyalah Ahlul Bait yang dimaksud dan Beliau tidak perlu mengajukan pertanyaan kepada Nabi [“Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”] bahkan dalam riwayat lain Ummu Salamah bertanya [“Apakah Aku termasuk Ahlul Bait?”].
- Pada awalnya nashibi mengatakan kalau ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW dan Nabi SAW berkehendak agar Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain juga masuk dalam Ahlul Bait. Kalau memang benar kejadiannya seperti itu maka ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW pertama-tama akan memberitahu Ummu Salamah karena sudah jelas beliau adalah istri Nabi SAW [apalagi ayat tersebut turun di rumahnya sehingga Nabi SAW bisa langsung memberitahu] kemudian Rasulullah SAW juga akan memanggil istri-istri Beliau yang lain untuk menyampaikan ayat tersebut. Setelah ayat tersebut disampaikan kepada orang-orang yang dituju maka barulah Rasulullah SAW melakukan keinginan atau kehendaknya agar Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain ikut masuk sebagai Ahlul Bait. Tetapi fakta yang ada dalam hadis shahih justru menyebutkan kalau Rasulullah SAW malah langsung memanggil Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain bukan istri-istrinya bahkan Rasulullah SAW tidak menyampaikan ayat tersebut kepada Ummu Salamah yang dari awal berada disana. Sungguh mustahil mengatakan kalau Nabi SAW lebih mendahulukan kehendak atau keinginannya dan menunda untuk menyampaikan firman Allah kepada orang yang dituju.
- Kalau memang seperti yang dikatakan nashibi Ummu Salamah bertanya dalam kondisi tidak tahu atau Nabi SAW belum memberitahu kalau ayat tersebut turun untuknya selaku istri Nabi maka setelah itu sudah pasti Ummu Salamah akan diberitahu oleh Nabi SAW. Tentunya ketika Ummu Salamah meriwayatkan hadis ini kepada para tabiin maka saat itu Ummu Salamah pasti sudah mengetahui kalau pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya kepada Nabi adalah kesalahpahamannya [karena pada dasarnya ia tidak perlu bertanya, toh ayat itu untuknya]. Jadi Ummu Salamah pasti akan menjelaskan kesalahpahamannya itu kepada para tabiin tetapi faktanya dalam riwayat-riwayat Ummu Salamah pertanyaan itu tetap ada dan tidak ada penjelasan Ummu Salamah kalau sebenarnya ia sudah salah paham. Ini justru membuktikan kalau arguman nashibi itu tidak bernilai dan hanya basa basi semata.
عن حكيم بن سعد قال ذكرنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه عند أم سلمة قالت فيه نزلت (إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا) قالت أم سلمة جاء النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيتي, فقال: “لا تأذني لأحد”, فجاءت فاطمة, فلم أستطع أن أحجبها عن أبيها, ثم جاء الحسن, فلم أستطع أن أمنعه أن يدخل على جده وأمه, وجاء الحسين, فلم أستطع أن أحجبه, فاجتمعوا حول النبي صلى الله عليه وسلم على بساط, فجللهم نبي الله بكساء كان عليه, ثم قال: “وهؤلاء أهل بيتي, فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا, فنزلت هذه الآية حين اجتمعوا على البساط; قالت: فقلت: يا رسول الله: وأنا, قالت: فوالله ما أنعم وقال: “إنك إلى خير”
حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
- Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635]
- Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 299]
- Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116]
- Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]
- Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387]. Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip kalau dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. [Ats Tsiqat juz 6 no 7050]
- Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787]
حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم
- Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani dia seorang yang shaduq seperti yang disebutkan Adz Dzahabi [Al Kasyf no 1008]. Ibnu Hajar menyatakan ia la ba’sa bihi [tidak ada masalah] kecuali hadisnya dari Musaddad [At Taqrib 1/199]
- Abu Rabi’ Az Zahrani yaitu Sulaiman bin Daud seorang Al Hafizh [Al Kasyf no 2088] dan Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/385]
- Umar bin Muhammad Ats Tsawri seorang yang tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Ali bin Hujr, Abu Ma’mar Al Qathi’I, Ibnu Saad dan Ibnu Syahin. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4832].
- Sufyan Ats Tsawri seorang Imam Al Hafizh yang dikenal tsiqah. Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Imam [Al Kasyf no 1996] dan Ibnu Hajar menyatakan ia Al hafizh tsiqah faqih ahli ibadah dan hujjah [At Taqrib 1/371]
- Daud bin Abi Auf Abu Jahhaf, ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. [At Tahdzib juz 3 no 375] dan Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347].
عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق
حدثنا الحسين بن الحكم الحبري الكوفي ، حدثنا مخول بن مخول بن راشد الحناط ، حدثنا عبد الجبار بن عباس الشبامي ، عن عمار الدهني ، عن عمرة بنت أفعى ، عن أم سلمة قالت : نزلت هذه الآية في بيتي : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ، يعني في سبعة جبريل ، وميكائيل ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن ، والحسين عليهم السلام وأنا على باب البيت فقلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال إنك من أزواج النبي عليه السلام وما قال : إنك من أهل البيت
Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat
- Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi adalah seorang yang tsiqat [Su’alat Al Hakim no 90] telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat dan hafiz seperti Ali bin Abdurrahman bin Isa, Abu Ja’far Ath Thahawi dan Khaitsamah bin Sulaiman.
- Mukhawwal adalah Mukhawwal bin Ibrahim bin Mukhawwal bin Rasyd disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 19021]. Abu Hatim termasuk yang meriwayatkan darinya dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 8/399 no 1831].
- Abdul Jabbar bin Abbas disebutkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud dan Al Ajli bahwa tidak ada masalah padanya. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 209]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/552]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [Al Kasyf no 3085]
- Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi justru pernyataan ini keliru dan telah dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar Ad Duhni seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833]
- Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880]. Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenal dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].
عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين
ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً
قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي
- Abu Walid adalah Hisyam bin Abdul Malik seorang Hafizh Imam Hujjah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [2/267]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5970]
- Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yaskuri. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 6049].
- Hushain bin Abdurrahman adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqah [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124]
- Abu Jamilah adalah Maisarah bin Yaqub seorang tabiin yang melihat Ali dan meriwayatkan dari Ali dan Hasan bin Ali. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 693]. Ibnu Hajar menyatakan ia maqbul [At Taqrib 2/233]. Pernyataan Ibnu Hajar keliru karena Abu Jamilah adalah seorang tabiin dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah bahkan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat maka dia adalah seorang yang shaduq hasanul hadis seperti yang dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 7039].
Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Ahlul Bait (Ahlul Bait Dalam Ayat Tathir Bukan istri-istri Nabi SAW)
- Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “ Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah. Dari hadis tersebut diketahui ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa penyelimutan Ahlul Bait SAW yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
- Hadis riwayat An Nasai dalam Khashaish Al Imam Ali hadis 51 dan dishahihkan oleh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari. Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash Dan ketika ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.(QS Al Ahdzab 33)” turun Beliau SAW memanggil Ali,Fathimah,Hasan dan Husain lalu bersabda Ya Allah mereka adalah keluargaku”.
- Pertanyaan Ummu Salamah, jika Ayat yang dimaksud memang turun untuk istri-istri Nabi SAW maka seyogyanya Ummu Salamah tidak perlu bertanya Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW?. Bukankah jika ayat tersebut turun mengikuti ayat sebelum maupun sesudahnya maka adalah jelas bagi Ummu Salamah bahwa Beliau ra juga dituju dalam ayat tersebut dan Beliau ra tidak akan bertanya kepada Rasulullah SAW. Adanya pertanyaan dari Ummu Salamah ra menyiratkan bahwa ayat ini benar-benar terpisah dari ayat yang khusus untuk Istri-istri Nabi SAW.
- Penolakan Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah, Beliau SAW bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. Hal ini menunjukkan Ummu Salamah selaku salah satu Istri Nabi SAW tidaklah bersama mereka Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini. Beliau Ummu Salamah ra mempunyai kedudukan tersendiri.
Maka tertawa lebarlah Rasulullah SAW dan bersabda “Mereka ini yang ada disekelilingku meminta nafkah kepadaku”. Maka berdirilah Abu Bakar menghampiri Aisyah untuk memukulnya dan demikian juga Umar menghampiri Hafsah sambil keduanya berkata “Engkau meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah SAW”. Maka Allah menurunkan ayat “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28) sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW agar istr-istrinya menentukan sikap.
“Lihatlah bahwasanya ayat-ayat sebelum (Q.S.Al-Ahzab 28-32) dan sesudah (Q.S.Al-Ahzab 34) dari ayat 33 bercerita tentang istri Nabi SAW, maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAw. Juga salah jika dikatakan ayat 33 tsb hanya berlaku untuk istri nabi SAW padahal Ali, Fatimah, Hasan dan Husein juga termasuk didalamnya sebagaimana hadis shahih Muslim yang disebut diatas”.
Jelas sekali pangkal ayat 33 tsb mengacu pada para istri Nabi SAW. Atau kata-katanya maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAW.
Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul As Suyuthi berkenaan dengan Al Maidah ayat 3 membawakan riwayat Ibnu Mandah dalam Kitabus Shahabah dari Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar dari bapaknya yang bersumber dari datuknya yaitu.
- Abu Ja’far Ath Thahawi (yang terkenal dengan karyanya Aqidah Ath Thahawiyah) juga menyatakan hal yang serupa dalam karyanya Musykil Al Atsar jilid I hal 332-339 dalam pembahasannya tentang hadis-hadis Ayat Tathir dimana dia berkata ”Karena maksud sebenarnya dari ayat suci ini hanyalah Rasulullah SAW sendiri, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan tidak ada lagi orang selain mereka”.
- Sayyid Alwi bin Thahir dalam kitab Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 292-293 mengutip pernyataan Sayyid Ali As Samhudi yang menyatakan bahwa Ayat Tathir khusus untuk Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi SAW.
Tuduhan Dusta Terhadap Ulama Syiah Oleh Husain Al Musawi dalam Kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh
كنا أحد الأيام في الحوزة فوردت الأخبار بأن سماحة السيد عبدالحسين شرف الدين الموسوي قد وصل بغداد، وسيصل إلى الحوزة ليلتقي سماحة الإمام آل كاشف الغطاء. وكان السيد شرف الدين قد سطع نجمه عند عوام الشيعة وخواصهم، خاصة بعد أن صدر بعض مؤلفاته كالمراجعات، والنص والاجتهاد
ولما وصل النجف زار الحوزة فكان الاحتفاء به عظيماً من قبل الكادر الحوزي علماء وطلاباً وفي جلسة له في مكتب السيد آل كاشف الغطاء ضمت عدداً من السادة وبعض طلاب الحوزة، وكنت أحد الحاضرين، وفي أثناء هذه الجلسة دخل شاب في عنفوان شبابه فسلم فرد الحاضرون السلام، فقال للسيد آل كاشف الغطاء:سيد عندي سؤال، فقال له السيد: وجه سؤالك إلى السيد شرف الدين
قال السائل: سيد أنا أدرس في لندن للحصول على الدكتوراه، وأنا ما زلت أعزب غير متزوج، وأريد امرأة تعينني هناك -لم يفصح عن قصده أول الأمر- فقال له السيد شرف الدين:تزوج ثم خذ زوجتك معك.فقال الرجل: صعب علي أن تسكن امرأة من بلادي معي هناك.فعرف السيد شرف الدين قصده فقال له: تريد أن تتزوج امرأة بريطانية إذن؟
قال الرجل: نعم، فقال له شرف الدين: هذا لا يجوز، فالزواج باليهودية أو النصرانية حرام
فقال الرجل: كيف أصنع إذن؟
فقال له السيد شرف الدين: ابحث عن مسلمة مقيمة هناك عربية أو هندية أو أي جنسية أخرى بشرط أن تكون مسلمة
فقال الرجل: بحثت كثيراً فلم أجد مسلمات مقيمات هناك تصلح إحداهن زوجة لي، وحتى أردت أن أتمتع فلم أجد، وليس أمامي خيار إما الزنا وإما الزواج وكلاهما متعذر علي.أما الزنا فإني مبتعد عنه لأنه حرام، وأما الزواج فمتعذر علي كما ترى وأنا أبقى هناك سنة كاملة أو أكثر ثم أعود إجازة لمدة شهر، وهذا كما تعلم سفر طويل فماذا أفعل؟
سكت السيد شرف الدين قليلاً ثم قال: إن وضعك هذا محرج فعلاً .. على أية حال أذكر أني قرأت رواية للإمام جعفر الصادق، إذ جاءه رجل يسافر كثيراً ويتعذر عليه اصطحاب امرأته أو التمتع في البلد الذي يسافر إليه بحيث أنه يعاني مثلما تعاني أنت، فقال له أبو عبد الله:(إذا طال بك السفر فعليك بنكح الذكر) هذا جواب سؤالك
وفي ختام مبحث الخمس لا يفوتني أن أذكر قول صديقي المفضال الشاعر البارع المجيد أحمد الصافي النجفي رحمه الله، والذي تعرفت عليه بعد حصولي على درجة الاجتهاد فصرنا صديقين حميمين رغم فارق السن بيني وبينه، إذ كان يكبرني بنحو ثلاثين سنة أو أكثر عندما قال لي: ولدي حسين لا تدنس نفسك بالخمس فإنه سحت، وناقشني في موضوع الخمس حتى أقنعني بحرمته
Disebutkan bahwa Ahmad bin Ali Ash Shaafiiy An Najafiiy lahir tahun 1314 H dan wafat pada tahun 1397 H [Mu’jam Rijal Al Fikr Wal Adab Fil Najaf 2/793 Syaikh Muhammad Hadi Al Amini]. Dengan berdasarkan data ini maka dapat diperkirakan kalau si penulis “Husain Al Musawi” yang lebih muda tiga puluh tahun atau lebih dari Ahmad Ash Shaafiiy lahir pada tahun 1314+30=1344 H atau lebih.
ولدت في كربلاء، ونشأت في بيئة شيعية في ظل والدي المتدين درست في مدارس المدينة حتى صرت شاباً يافعاً، فبعث بي والدي إلى الحوزة العلمية النجفية أم الحوزات في العالم لأنـهل من علم فحول العلماء ومشاهيرهم في هذا العصر أمثال سماحة الإمام السيد محمّد آل الحسين كاشف الغطاء
Mengungkap Kebodohan dan Kedustaan Syaikh Al Albani dan Pengikutnya Abul Jauzaa : Tuduhan Dusta Terhadap Syaikh Al Musawi
أخرجه الامام أحمد بن حنبل من حديث أبي سعيد في مسنده، ورواه الحاكم في مستدركه، أبو يعلى في المسند
مسند أبي سعيد } قال كنا جلوسا في المسجد فخرج رسول الله صلى الله عليه و سلم فجلس إلينا ولكأن على رؤسنا الطير لا يتكلم منا أحد فقال : إن منكم رجلا يقاتل الناس على تأويل القرآن كما قوتلتم على تنزيله فقام أبو بكر فقال : أنا هو يا رسول الله ؟ قال : لا فقام عمر فقال : أنا هو يا رسول الله ؟ قال : لا ولكنه خاصف النعل في الحجرة فخرج علينا علي ومعه نعل رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلح منها
- Ibnu Abi Ghaniyyah adalah Yahya bin Abdul Malik bin Humaid bin Abi Ghaniyyah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 406 bahwa ia adalah perawi Bukhari Muslim dan dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Al Ajli, Ibnu Hibban, Abu Dawud dan Daruquthni. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib no 7598 kalau ia seorang yang tsiqat.
- Ayah Ibnu Abi Ghaniyyah adalah Abdul Malik bin Humaid bin Abi Ghaniyyah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 6 no 743, ia juga adalah perawi Bukhari dan Muslim dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/615 menyatakan ia tsiqat.
- Ismail bin Rajaa’ Az Zubaidi adalah perawi Muslim, Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib 1 no 548 kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/94 menyatakan ia tsiqat.
- Rajaa’ bin Rabi’ah Az Zubaidi Abu Ismail Al Kufi adalah Ayah Ismail seorang perawi Muslim, Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 3 no 501 menyatakan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/298 menyatakan ia shaduq.
- Judul tulisan sepertinya hanya disesuaikan dengan tulisan yang dibantah :mrgreen:
- Jika ada yang berkeberatan terhadap judul tersebut silakan diberi tanggapan dan masukan. Insya Allah jika kami keliru akan diperbaiki :)
Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW”
Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW”
ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Kedudukan Hadis
Analisis Perawi Hadis
Muhammad bin Al Mutsanna
قال عبد الله بن أحمد عن بن معين ثقة وقال أبو سعد الهروي سألت الذهلي عنه فقال حجة وقال صالح بن محمد صدوق اللهجة
وقال أبو حاتم صالح الحديث صدوق
.
Yahya bin Hamad
قال بن سعد كان ثقة كثير الحديث وقال أبو حاتم ثقة وذكره بن حبان في الثقات
Abu Awanah
وضاح أبو عوانة بصرى ثقة مولى يزيد بن عطاء الواسطي
قال يحيى بن معين أبو عوانة ثقة واسمه الوضاح
.
Yahya bin Sulaim Abi Balj
وقال بن معين وابن سعد والنسائي والدارقطني ثقة وقال البخاري فيه نظر وقال أبو حاتم صالح الحديث لا بأس به
قال يعقوب بن سفيان أبي بلج كوفي لا بأس به
يحيى بن أبي سليم قال إسحاق نا سويد بن عبد العزيز وهو كوفي ويقال واسطي أبو بلج الفزاري روى عنه الثوري وهشيم ويقال يحيى بن أبي الأسود وقال سهل بن حماد نا شعبة قال نا أبو بلج يحيى بن أبي سليم
.
Amr bin Maimun
عمرو بن ميمون الأودي كوفي تابعي ثقة
.
Kesimpulan
- Semoga Hadis ini bisa didiskusikan dengan sebijak mungkin tanpa hujatan dan tuduhan :)
- Kepada seseorang, silakan dibaca hadiah saya yang tertunda :mrgreen:
Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW
Posted on Juli 16, 2009 by secondprincehttps://secondprince.wordpress.com/2009/07/16/analisis-tafsir-salafy-terhadap-hadis-ali-khalifah-setelah-nabi-saw/Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAWAl Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sebagai berikutثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.Salafy berkata
Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).Aneh sekali, seolah-olah setiap hadis yang membicarakan kekhalifahan harus dipandang dari sudut yang mana tafsir Sunni dan yang mana tafsir Syiah. Seolah-olah sebuah tafsir harus dipahami dalam kerangka mana anda berdiri. Apakah anda orang sunni? maka tafsirnya harus begini. Kalau anda menafsirkan begitu maka itu adalah tafsir Syiah. Pahamilah sebuah hadis bagaimana hadisnya sendiri berbicara karena kebenaran tidak terikat dengan apakah anda Sunni ataukah Syiah.Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.
Yang keliru berkata keliru. Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada sisi pendalilan atas klaim Syiah. Padahal salafy sendiri juga mengklaim. Orang lain juga dengan mudah berkata sebaliknya “Sungguh dugaan salafy keliru, tidak ada sisi pendalilan atas klaim salafy terhadap hadis tersebut”.Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif.
Mari kita memahami dengan pemahaman yang komprehensif dan mari kita lihat bersama siapa yang mendudukkan dalil dengan semestinya dengan berpegang pada hadisnya dan mana yang menundukkan hadis pada keyakinan yang dianut.Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihainعن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي
Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].Hadis Shahihain ini diucapkan Nabi SAW pada perang Tabuk, tetapi Salafy mengklaim bahwa keutamaan yang dimiliki Imam Ali kedudukan Beliau di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya. Jelas sekali klaim mereka ini memerlukan bukti. Mana bukti dari hadis diatas yang menunjukkan bahwa keutamaan kedudukan Harun di sisi Musa hanya berlaku saat perang Tabuk saja. Hadis di atas hanya menunjukkan bahwa keutamaan tersebut berlaku saat Perang Tabuk tetapi tidak menafikan kalau keutamaan tersebut berlaku untuk seterusnya. Sebuah hadis dengan lafaz yang umum akan berlaku sesuai keumumannya kecuali terdapat pernyataan tegas soal kekhususannya. Dan maaf kita tidak menemukan adanya kekhususan bahwa hadis di atas hanya berlaku saat perang tabuk saja. Kekhususan sebab tidak menafikan keumuman lafal.Salafy berkata
Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikianKonteks hadis menyatakan bahwa Imam Ali adalah khalifah pengganti Rasulullah SAW saat Perang Tabuk. Dan hal ini adalah bagian dari keumuman lafal kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Selain itu lafal “Tidak sepantasnya Aku pergi Kecuali Engkau sebagai Khalifahku” memiliki arti jika Rasulullah SAW pergi atau tidak ada maka Imam Ali adalah pengganti Beliau. Hal ini selaras dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Kedudukan tersebut mencakup jika Nabi Musa AS tidak ada atau pergi dan Nabi Harun AS masih hidup maka Nabi Harun AS yang akan menjadi penggantinya. Perhatikanlah kita menerima keduanya baik konteks hadis dan teks hadis yang umum.Salafy berkata
Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.Sungguh persangkaan mudah sekali keliru. Bagaimana Syiah menafsirkan hadis itu maka itu urusan mereka. Sekarang yang kita bahas adalah apa makna sebenarnya hadis ini. Jika salafy mengqiyaskan dengan illat hadis yang diklaim seenaknya maka begitulah jadinya. Jika salafy hanya berpegang pada asumsi mereka dan menafikan lafal hadisnya maka nampaklah kekeliruan mereka. Kekeliruan salafy adalah mereka bermaksud bahwa keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa itu hanya sebatas perang Tabuk saja dan ini terkait dengan kepemimpinan Imam Ali saat di Madinah saja dan itu pun saat Perang Tabuk saja. Kalau memang Salafy mengakui bahwa banyak sahabat yang mendapat kepemimpinan seperti itu maka jika kita mengqiyaskan dengan illat yang dimaksud salafy niscaya keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa tidak hanya milik Imam Ali tetapi juga milik sahabat lain yang mendapat tugas dari Nabi SAW. Adakah salafy berkeyakinan seperti itu?.Salafy berkata
Jika ada yang bertanya :
Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?.Dijawab :
Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq.Saya tidak menafikan bahwa bisa saja untuk dikatakan bahwa perkataan itu untuk menghibur. Tetapi walau bagaimanapun perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah kebenaran. Rasulullah SAW memberikan hiburan bahwa keutamaan Imam Ali di sisi Beliau adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hal ini mencakup berbagai kedudukan yang dimiliki Harun di sisi Musa kecuali yang telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian. Jika memang salafy berkeyakinan bahwa kata-kata tersebut hanya sekedar perumpamaan artinya kepemimpinan Ali saat perang Tabuk serupa dengan kepemimpinan Harun saat Musa pergi ke Thursina dan hanya terbatas untuk itu saja. Maka tidak ada faedahnya kata-kata “namun engkau bukanlah seorang nabi”. Adanya kata-kata mengkhususkan seperti itu menunjukkan bahwa kedudukan tersebut tidaklah khusus tetapi bersifat umum yaitu Mencakup semua kecuali apa yang telah dikhususkan oleh Nabi SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian.Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut.Tentu saja benar dan sebuah keutamaan yang disematkan kepada Imam Ali tidaklah akan sirna atau hilang jika kaum munafik sudah tidak mencela. Apakah salafy ingin mengatakan bahwa tujuan keutamaan tersebut hanya untuk menangkal cercaan kaum munafik saja tetapi tidak menjelaskan kedudukan yang sebenarnya?. Keutamaan tersebut menjelaskan kedudukan sebenarnya Imam Ali di sisi Nabi SAW dan kedudukan tersebut akan terus ada dan melekat pada Imam Ali.Adz-Dzahabiy berkata :
“……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].Perhatikanlah hadis di atas. Mari kita berikan analogi yang sama buat salafy. Jika kita memahami hadis riwayat Adz Dzahabi maka disitu disebutkan bahwa Rasulullah SAW menugaskan Imam Ali untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Hal ini terlihat dari kata-kata Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW mengucapkan ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Dengan cara berpikir salafy maka kita dapat mengatakan bahwa illat hadis Manzilah adalah tugas untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Lantas mengapa mereka sebelumnya mengatakan Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Apakah semua orang di Madinah saat itu hanya keluarga Nabi dan keluarga Imam Ali saja?. Yah begitulah kontradiksi salafy dalam memahami hadis.Salafy berkata
Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?
Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.Anehnya silakan anda perhatikan baik-baik. Penjelasan sebelumnya jauh berbeda dengan penjelasan salafy setelah ini. Sebelumnya ia mengatakan bahwa makna khalifah tersebut Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk.Salafy berkata
Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat;Ternyata sisi pendalilan itu ada, kata-kata tersebut sangat jelas. Anehnya salafy sebelumnya berkata Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.Salafy berkata
sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.Lihatlah baik-baik adakah salafy mengatakan sebelumnya bahwa khalifah itu bagi seluruh orang mukmin. Bukankah kita lihat bahwa sebelumnya salafy berkata Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Jika memang kemungkinan kedua ini yang terkuat maka kepemimpinan tersebut juga bagi ayah atau suami mereka yang ikut berjihad saat perang Tabuk, karena bukankah mereka juga termasuk orang mukmin. Anehnya kalau memang begitu maka kepemimpinan tersebut tidak terbatas pada di Madinah saja (seperti klaim Salafy) tetapi juga mencakup orang mukmin lain yang tidak berada di Madinah. Sekali lagi kita melihat hal-hal yang kontradiksi.Sejauh ini salafy tidak memiliki dasar untuk mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud hanya terkhusus saat perang Tabuk saja. Mereka hanya mengklaim begitu saja bahwa itu dikhususkan tanpa menunjukkan bukti yang mengkhususkannya. Siapa yang mengkhususkan?. Ketika Rasul SAW berkata untuk setiap orang mukmin maka ada yang berkata khusus untuk anak-anak dan wanita di Madinah saja. Ketika Rasul SAW berkata “setelahku” maka ada yang berkata khusus untuk perang Tabuk saja. Siapa yang mengkhususkan kalau bukan klaim mereka sendiri. Padahal lafal hadis yang diucapkan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Imam Ali adalah pengganti beliau secara mutlak bagi setiap mukmin setelah beliau wafat.Salafy berkata
Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah.Tidak ada dasar bahwa lafal tersebut muqayyad karena illat hadis yang dimaksud hanyalah klaim salafy semata. Pertama-tama mari kita kembalikan pada riwayat Adz Dzahabi bukankah disana dengan cara berpikir salafy maka ‘illat hadis adalah Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan keluarga Nabi dan keluarga Ali. Bukankah ‘illat dari riwayat Al Bukhari dan ‘illat riwayat yang dikutip Adz Dzahabi berbeda, bagaimana bisa salafy luput melihat hal ini. Bagi saya pribadi kepemimpinan Imam Ali di perang Tabuk baik terhadap keluarga Nabi dan keluarga Ali ataupun terhadap wanita dan anak-anak Madinah adalah bagian dari keumuman Kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Dan ini mencakup kedudukan Harun yang akan menjadi pengganti bagi Musa jika Musa pergi atau tidak ada, dengan syarat saat itu Nabi Harun AS masih hidup. Dengan kata lain bagian dari kedudukan tersebut adalah Seseorang akan menjadi pengganti bagi orang yang dimaksud jika seseorang tersebut masih hidup. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata selanjutnya bahwa Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Kata-kata ini dengan jelas mendudukkan Imam Ali sebagai khalifah bagi setiap Mukmin selepas Nabi SAW karena selepas Nabi SAW Imam Ali masih hidup.Salafy berkata
Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.Satu hal yang perlu diingat hadis riwayat Ibnu Abi Ashim yang memuat kata-kata ini tidak menunjukkan bukti yang pasti bahwa kata-kata ini diucapkan pada perang Tabuk. Ada saja kemungkinan bahwa hadis ini diucapkan Nabi di saat yang lain sehingga perkataan tidak sepantasnya aku pergi dijelaskan oleh kata-kata setelahKu sehingga yang dimaksud kepergian itu adalah kepergian saat Nabi SAW wafat. Salafy tidak bisa menafikan kemungkinan ini hanya dengan klaimnya semata. Seandainya pula hadis ini diucapkan saat Perang Tabuk maka perkataan tersebut diartikan bahwa saat Perang Tabuk Nabi juga telah mengatakan bahwa khalifah sepeninggal Beliau SAW adalah Imam Ali.Salafy berkata
Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau.Sungguh sangat aneh (jika tidak dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan arab bahwa perkataan khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di berarti khalifah bagi wanita dan anak-anak saat perang Tabuk. Secara bahasa arab itu berarti Khalifah bagi setiap orang mukmin sepeninggal Nabi SAW. Dan tentu lafaz ba’di memiliki arti sepeninggal (wafat). Aneh sekali jika orang yang paham lisan arab dengan mudah menafikan makna ba’di sebagai sepeninggal (wafat).Salafy berkata
Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa ‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaamJustru salafy mengetahui tetapi tidak memahami. Penyerupaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyerupaan Kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain. Artinya kedudukan Imam Ali di sisi Rasul SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Mengapa Nabi Musa AS menunjuk Nabi Harun AS sebagai penggantinya karena Nabi Harun AS adalah wazir Musa, keluarga dan sekutu dalam urusannya. Sama halnya dengan mengatakan bahwa kedudukan Harun saat itu di sisi Musa adalah kedudukan yang paling layak dan tepat sebagai pengganti Musa jika Musa akan pergi atau jika Musa tidak ada. Kedudukan ini sudah jelas dimiliki Harun semasa hidupnya artinya jika Nabi Harun AS masih hidup maka dialah yang akan ditunjuk sebagai pengganti Nabi Musa AS. Begitu pula dengan kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, jika Imam Ali masih hidup maka dialah yang akan menggantikan Nabi SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu. Karena sepeninggal Nabi SAW Imam Ali masih hidupSalafy mengutip Nawawi yang sebenarnya tidak sedang menjelaskan hadis riwayat Ibnu Abi AshimBerkata An-Nawawi rahimahullah :وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص“Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah”Perkataan ini tidak jauh berbeda dengan kata-kata salafy sebelumnya. Tetapi coba lihat kata-kataوليس فيه دلالة لاستخلافه بعده
Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksiSalafy berkataHarun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي“Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].
Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.Berdasarkan ayat Al Qur’an yang dikutip salafy maka Nabi Harun AS tidak hanya seorang wazir Musa tetapi juga keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan merupakan sekutu Musa dalam urusannya. Kedudukan Harun di sisi Musa ini dimiliki oleh Imam Ali di sisi Rasul SAW. Tidak hanya itu, Nabi Harun AS juga ditunjuk sebagai Imam atau khalifah bagi kaumnya ketika Musa AS akan pergiوَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين
“Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun “Gantikan Aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al-A’raf: 142)Hal ini menunjukkan salah satu kedudukan Harun di sisi Musa adalah Beliau menjadi khalifah semasa hidupnya (selagi hidup) jika Nabi Musa AS akan pergi. Maka begitu pula kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, Beliau semasa hidupnya (selagi hidup) menjadi khalifah jika Nabi Muhammad SAW pergi.Salafy berkata
Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinanCara berpikir seperti ini jelas-jelas terbalik. Kita tidak mengingkari bahwa lafal hadis Manzilah riwayat Ibnu Abi Ashim memuat lafal Khalifah sepeninggal Nabi SAW dan sudah jelas lafal khalifah berimplikasi kepada kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW. Hal ini menunjukkan hadis Manzilah memiliki makna umum (termasuk dalam hadis shahihain) dan merupakan keutamaan Imam Ali RA yang sangat besar di sisi Nabi SAW.Salafy berkata
Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.Jika yang dimaksud akal sehat adalah setiap yang mendukung keyakinan salafy maka akal tersebut sudah menjadi tidak sehat. Karena sebuah keyakinan harus diukur dengan standar kebenaran bukan standar kebenaran yang harus ditundukkan pada keyakinan. Sudah jelas kedudukan Harun di sisi Musa adalah Harun akan selalu menjadi pengganti Musa jika Musa tidak ada dan saat itu Harun masih hidup. Siapapun yang berakal sehat tidak akan menafikan hal ini.Salafy berkataPertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakan kedudukan ‘Ali radliyallaahu ‘anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa ?Sudah jelas Rasulullah SAW tahu, oleh karena itulah untuk menghapus syubhat dari para pengingkar maka Rasulullah SAW memberikan penjelasan khusus yaitu Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui bahwa Imam Ali masih hidup sepeninggal Beliau SAW, dan tentu sebagaimana layaknya Harun akan menjadi pengganti Musa jika Harun masih hidup maka Imam Ali akan menjadi pengganti Rasul SAW jika Imam Ali masih hidup.Salafy berkata
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.
Kita sudah jelaskan bahwa kedudukan Harun di sisi Musa itu tidak hanya soal pengganti Musa ketika Musa pergi ke bukit Thursina saja. Kita telah jelaskan bahwa Harun adalah wazir Musa, keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan sekutu Musa dalam urusannya. Oleh karena itu tidak ada satupun yang layak menggantikan Musa selain Harun jika Nabi Harun AS masih hidup. Inilah kedudukan Harun di sisi Musa yang tidak dipahami oleh salafy. Beginilah cara mereka mengurangi keutamaan Imam Ali dengan menafikan keumuman dan mengkhususkan dengan situasi tertentu saja.Salafy berkata
Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada ‘Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.
Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan Imam Ali di sisi Beliau dengan kata-kata kedudukanMu di sisi Ku seperti Kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu. Pengecualian yang ditetapkan oleh Rasul SAW adalah untuk membatasi keumuman kedudukan Harun yang memang banyak di sisi Musa. Jika seperti yang salafy katakan bahwa hal itu hanya pengqiyasan untuk situasi yang khusus maka tidak ada faedahnya disebutkan pengecualian. Jika memang sudah dikhususkan mengapa harus dikecualikan.Salafy berkata
Namun karena Syi’ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.Hadis Safinah : Imam Ali Bagi Umat Seperti Bahtera Nuh dan Pintu Pengampunan Bani Israil
Posted on April 29, 2010 by secondprincehttps://secondprince.wordpress.com/2010/04/29/hadis-safinah-imam-ali-bagi-umat-seperti-bahtera-nuh-dan-pintu-pengampunan-bani-israil/Hadis Safinah : Imam Ali Bagi Umat Seperti Bahtera Nuh dan Pintu Pengampunan Bani Israil
Hadis Safinah atau Bahtera Nuh menjelaskan kalau Ahlul Bait adalah pintu keselamatan bagi umat islam. Ahlul Bait layaknya bahtera Nuh bagi umat barang siapa yang menaikinya maka ia akan selamat.حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى بْنِ مَنْصُورٍ ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ ، عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ ، مَنْ رَكِبَهَا سَلِمَ وَمَنْ تَرَكَهَا غَرِقَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu’alla bin Manshur yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah dari Abul Aswad dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda “Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan celaka [Kasyf Al Astar Zawaid Musnad Al Bazzar 3/222 no 2613]Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Abdullah bin Lahii’ah dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar. Abdullah bin Lahii’ah dinyatakan dhaif dari segi dhabit atau hafalannya.- Yahya bin Mu’alla bin Manshur adalah perawi Ibnu Majah yang tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat”. [At Tahdzib juz 11 no 461]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/316]. Dalam Tahrir At Taqrib ia dinyatakan tsiqat [Tahrir At Taqrib no 7650]
- Ibnu Abi Maryam adalah Sa’id bin Hakam bin Muhammad perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Ma’in berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 4 no 23]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/350]
- Abdullah bin Lahii’ah adalah perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Shalih menyatakan ia tsiqat. Mereka memperbincangkan hafalannya dimana dikatakan ia mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar. Abu Hatim dan Abu Zur’ah menyatakan bahwa hadisnya ditulis dan dapat dijadikan i’tibar [At Tahdzib juz 5 no 648]. Ibnu Hajar berkata “shaduq dan mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar” [At Taqrib 1/526]
- Abul Aswad adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Nawfal perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 508]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/105]
- Amir bin Abdullah bin Zubair adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 5 no 117]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/462]
حدثنا علي بن عبد العزيز حدثنا مسلم بن إبراهيم ثنا الحسن بن أبي جعفر عن أبي الصهباء عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركب فيها نجا ومن تخلف عنها غرق
- Ali bin Abdul ‘Aziz adalah Syaikh Thabrani yang tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [Su’alat Hamzah no 389]. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/196 no 1076]
- Muslim bin Ibrahim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “shalih” [At Tahdzib juz 10 no 220]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ma’mun” [At Taqrib 2/177]
- Hasan bin Abi Ja’far adalah perawi Ibnu Majah dan Tirmidzi yang dhaif tetapi ia bukanlah seorang pendusta melainkan seorang yang jujur dan hadisnya dapat dijadikan i’tibar. Ia dinyatakan dhaif karena sering meriwayatkan hadis mungkar. Amru bin Ali berkata “shaduq munkar al hadits, yahya tidak meriwayatkan darinya”. Nasa’i menyatakan dhaif. Bukhari berkata “munkar al hadits”. Abu Hatim berkata “tidak kuat, dia seorang syaikh shalih hanya saja sebagian hadis-hadisnya terdapat hal yang diingkari”. Abu Zur’ah berkata “tidak kuat”. Ibnu Hibban mengatakan kalau ia seorang yang baik, rajin beribadah, doanya selalu diijabahkan hanya saja ia melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis dari hafalannya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah dan ia memiliki keutamaan. Muslim bin Ibrahim yang meriwayatkan darinya berkata “ia termasuk orang yang paling baik”. Abu Bakar bin Abil Aswad berkata “Ibnu Mahdi awalnya meninggalkan hadisnya tetapi kemudian Ibnu Mahdi meriwayatkan darinya “[periwayatan Ibnu Mahdi berarti Hasan tsiqah menurutnya]. Ibnu Ady menyatakan bahwa Hasan bin Abi Ja’far memiliki hadis-hadis shalih [baik], hadis-hadisnya lurus dan shalih, di sisiku ia bukanlah seorang pendusta ia seorang yang shaduq. Cacat yang ada pada Hasan bin Abi Ja’far karena di dalam hadisnya terdapat hal-hal yang diingkari dan ini dikarenakan waham atau hafalan yang tidak dhabit sedangkan dirinya sendiri adalah seorang yang shaduq. [At Tahdzib juz 2 no 482]
- Abu Shahba’ Al Kufi adalah orang kufah shaduq hasanul hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. [At Tahdzib juz 12 no 644]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [At Taqrib 2/420] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 8180]
- Sa’id bin Jubair adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat seraya berkata “fakih ahli ibadah yang memiliki keutamaan” [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit fakih” [At Taqrib 1/349]
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَمَّارٌ عَنِ الأَعْمَشِ عَنِ الْمِنْهَالِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ إنَّمَا مَثَلُنَا فِي هَذِهِ الأُمَّةِ كَسَفِينَةِ نُوحٍ وَكِتَابِ حِطَّةٍ فِي بَنِي إسْرَائِيلَ
- Mu’awiyah bin Hisyaam adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Abu Dawud dan Al Ijli menyatakan “tsiqat”. Abu Hatim dam Ibnu Sa’ad berkata “shaduq”. As Saji berkata “shaduq yahiim”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengutip Utsman bin Abi Syaibah yang berkata “shaduq tidak bisa dijadikan hujjah” [At Tahdzib juz 10 no 403]. Ibnu Hajar memberikan predikat “shaduq lahu awham” [At Taqrib 2/197] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Muawiyah bin Hisyaam seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 6771]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 5535]
- Ammar adalah Ammar bin Ruzaiq perawi Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin dan Ali bin Madini menyatakan “tsiqat”. Abu Hatim, Nasa’i dan Al Bazzar berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 7 no 648]. Ibnu Hajar menyatakan “tidak ada masalah” [At Taqrib 1/706] dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar bin Ruzaiq seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 4821]
- Al A’masy adalah Sulaiman bin Mihran Al A’masyi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]
- Minhal bin Amru adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Al Ijli berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan “shaduq pernah melakukan kesalahan” [At Taqrib 2/216] tetapi pernyataan ini tidaklah benar sehingga dalam Tahrir At Taqrib dikoreksi kalau Minhal bin Amru seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2918]
- Abdullah bin Al Harits Al Anshari adalah tabiin yang tsiqat perawi kutubus sittah. Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Sulaiman bin Harb berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya” [At Tahdzib juz 5 no 331]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/485]
Jumat, 01 Mei 2015 16:23
Pidato Presiden Iran Hassan Rouhani di depan Ulama, Tokoh, Cendekiawan dan Akademisi Indonesia di Jakarta
Saya beserta rombongan yang menyertai merasa sangat gembira karena mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan bertatap muka dengan para ulama, tokoh, dan kalangan cendekiawan di negeri Indonesia yang merupakan sahabat dan saudara kami.
Indonesia memiliki kedudukan istimewa di dunia Islam dan merupakan negeri yang berpenduduk Muslim terbesar. Indonesia menjadi contoh dari manifestasi akhlak dan sikap persaudaraan serta hidup berdampingan secara damai dengan pelbagai pemeluk agama dan individu-individu yang heterogen yang hidup di negeri ini.
Hari ini sangat mendesak bagi negara-negara Islam dan bagi kalian para ulama, tokoh masyarakat, kalangan akademisi serta para pakar, untuk masing-masing kita memikirkan secara serius mana yang terpenting dan yang penting bagi dunia Islam.
Membuat skala prioritas bagi masalah-masalah penting dunia Islam merupakan tugas pertama kita. Sebagaimana Nabi saw bersabda bahwa kita harus senantiasa memikirkan persoalan-persoalan umat Islam.
Kita harus melihat masyarakat Islam, dunia Islam, dan seluruh Muslimin seperti benih dari satu batang tubuh. Kita harus menganalisa dalam masalah-masalah budaya dan religi; manakah yang paling penting dan mana yang penting. Islam adalah hal yang paling penting dan prinsip/dasar bagi kita, sedangkan mazhab Syiah, Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, semuanya adalah cabang atau cagak. Dan semua mazhab tersebut adalah aliran yang berasal dari satu sumber yang bernama Islam. Bila sumber air itu terancam, maka aliran-aliran pun akan kering. Sebelum kita berpikir tentang aliran air mazhab ini atau mazhab itu, kita harus memikirkan sumber Islam: wahyu, tauhid, Alquran, kenabian dan dasar agama.
Hari ini, dunia Islam—karena ulah musuh-musuh Islam dan orang-orang yang bodoh serta oknum-oknum yang lalai dan melupakan prinsip-prinsip—telah mengalami perpecahan. Saya mengingatkan kembali perkataan Imam Khomeini yang menyatakan: “Siapa saja dari Syiah yang menyerang Sunni, dan sebaliknya siapa saja dari Sunni yang menyerang Syiah, ia bukan Syiah dan juga bukan Sunni.” Sekarang adalah momentum persatuan dunia Islam.
Hari ini, masalah pertama yang penting bagi kita Muslimin adalah: jiwa manusia dan bukan hanya jiwa orang Islam, melainkan jiwa seluruh manusia. Kita tidak boleh membiarkan pembunuhan orang-orang yang tidak berdosa. Satu orang saja yang tidak berdosa terbunuh adalah sama dengan membunuh seluruh manusia. Dan membunuh satu wanita yang tidak berdosa berarti membunuh seluruh manusia. Di mana Anda temukan ajaran dan kitab suci yang memiliki ungkapan yang indah seperti ini?[1]
Nabi mengatakan bahwa seruan dan teriakan orang-orang yang teraniaya itu penting bagi kita. Dan siapa pun yang meminta tolong kepada kita, kita harus segera menolongnya, baik dia Muslim maupun non-Muslim.
Bila seseorang, apa pun agama dan mazhabnya; Syiah, Sunni, Yahudi, Kristen atau Budha, dibunuh secara teraniaya dan tanpa dosa, maka dilihat dari sisi hak-hak manusia, mereka sama dan sederajat.
Kita tidak hanya sedih dan prihatin atas terbunuhnya seorang Muslim, bahkan kita juga prihatin atas terbunuhnya setiap manusia yang tak berdosa, apa pun mazhab, ras dan kewargaannya, baik dia orang Arab maupun Persia, baik orang Indonesia maupun bukan, baik berasal dari Timur maupun Barat dunia Islam, baik dari Afrika maupun Asia, dan bahkan dari belahan dunia manapun. Alhasil, kehidupan manusia bagi kita merupakan hal yang paling penting. Keamanan manusia bagi kita merupakan hal yang penting. Ini merupakan tugas negara dan juga ulama serta para pemikir.
Sebagai seorang Muslim, kita harus menjadi pelopor dalam menjaga kehidupan dan keamanan manusia. Bagaimana mungkin kita diam dan menahan diri saat menyaksikan orang-orang yang tidak berdosa terbunuh di Yaman, Irak, Suriah, Libya, dan di mana pun dari kawasan dunia Islam, bahkan bila ada seorang yang tidak berdosa di jantung Eropa atau di Amerika terbunuh maka kita mesti peduli. Terbunuhnya setiap orang yang tidak berdosa, bagi kita mengundang kesedihan dan keprihatinan yang mendalam.
Mungkin Anda pernah mendengar kisah seorang perempuan Nasrani yang dilecehkan dan perhiasan serta harta bendanya dirampas. Imam Ali mengatakan, “Bila seseorang meninggal dunia karena empati dan merasa prihatin atas intimidasi yang dialami oleh seorang yang tak berdosa, maka ia tidak boleh dicela.”
Sahabat besar Nabi Saw, Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa seseorang yang bersedih dan berempati karena melihat orang yang tak berdosa diintimidasi, lalu karena itu ia meninggal dunia maka ia tidak boleh dipersoalkan kenapa ia mati hanya gara-gara menahan kesedihan dan keprihatinan terhadap orang lain.
Hari ini, prioritas pertama kita di dunia adalah menjaga kehidupan dan keamanan manusia di seluruh dunia. Tentu tugas ini bukan hanya terbatas bagi dunia Islam. Namun sebagai seorang Muslim dan sesuai dengan tugas keagamaan, kita menilai bahwa hak hidup bagi seluruh manusia adalah sama dan sederajat secara yuridis. Dan kita mengecam setiap bentuk pembunuhan terhadap orang yang tak berdosa, apa pun warga negara dan mazhabnya.
Masalah kedua yang dewasa ini begitu penting bagi kita adalah kemuliaan kita; kemuliaan dunia Islam dan kemuliaan Muslimin. Seluruh umat Islam dan semua orang-orang yang mengikuti dan meneladani perjalanan Nabi Muhammad saw harus merasakan kejayaan dan kemuliaan.
Sangat disayangkan, sebagian oknum di dunia Islam justru menginjak-injak kemuliaan umat Islam. Ironis sekali, dengan nama jihad dan agama, mereka mengangkat senjata dan pedang atas nama Nabi Muhammad saw dan Islam. Dan mereka merusak kemuliaan dan citra kita Muslimin di dunia. Akibat ulah oknum-uknum tersebut, banyak sekali anak-anak muda dan masyarakat dunia mulai meragukan kebesaran Islam. Oknum-oknum itu menyebabkan munculnya Islam phobia pada masyarakat dunia. Tentu kita harus merasa bertanggung jawab atas realita yang menyedihkan ini.
Hari ini, berpangku tangan dan diam di hadapan serangan terhadap identitas, realitas, dan hakikat Islam merupakan dosa besar. Hari ini, kita semua harus merasakan tanggung jawab dalam masalah ini. Negara-negara Islam, masyarakat Muslim, ulama-ulama Islam, kaum cendekiawan, kalangan akademisi, dan para pakar memikul tanggung jawab yang berat di pundak mereka.
Kita harus memaksimalkan seluruh potensi kita dan tekad kita untuk menghadapi masalah ini. Kita sesama Muslim berabad-abad hidup secara damai. Buktinya, Anda lihat di Irak terdapat tempat-tempat ibadah dari pelbagai mazhab Islam atau dari pelbagai agama yang terkait dengan permulaan sejarah Islam, dan bahkan sebelum datangnya Islam, sampai sekarang pun masih ada situs-situs historis itu. Tetapi, oknum-oknum yang biadab yang mengatasnamakan jihad, mereka merusak bangunan-bangunan dan tempat-tempat ibadah, dan sayangnya mereka berbuat kerusakan atas nama agama dan Islam.
Mari kita perhatikan ayat pertama yang berbicara tentang jihad dalam Alquran! Ayat pertama jihad yang turun menyatakan bahwa jihad Islam itu untuk “pertahanan”. Dan ayat sebelumnya mengatakan “Karena kaum Muslimin tertindas dan teraniaya, maka mereka diizinkan untuk berjihad.” Jadi, jihad Islam adalah untuk membela orang yang teraniaya. Jihad Islam untuk membela tempat-tempat ibadah, gereja-gereja dan sinagoge. Islam adalah agama yang membela semua kalangan. Jihad Islam adalah membela semua kelompok.
Saya katakan dan saya tanya kepada mereka yang menyebut dirinya sebagai orientalis atau pakar Islam yang secara bohong dan dusta menyatakan bahwa Islam adalah agama pedang, “Apakah Islam masuk ke Indonesia dengan pedang?” Saya bertanya kepada mereka, “Apakah Islam masuk ke Timur Asia juga dengan pedang?”
Islam bukan agama pedang, Islam agama dakwah dan logika. Islam sama sekali tidak pernah memaksakan agama kepada orang lain. Tidak ada paksaan dalam agama.[2] Konsep agama tidak sesuai dengan pedang. Yakni, agama berarti keyakinan, dan keyakinan tidak mungkin diwujudkan dengan pedang.
Adalah kebohongan besar penyataan yang mengatakan bahwa tapal batas negeri-negeri Islam adalah tapal batas darah. Tapal batas Islam adalah tapal batas rasio, logika, dan kasih sayang. Nabi Junjungan kita adalah Nabi pembawa dan penebar rahmat. Saya bertanya kepada kalian ulama, cendekiawan, dan kaum intelektual, “Apakah sikap dan perilaku Nabi saw terhadap kaum Yahudi, Nasrani, dan pelbagai pemikiran dan akidah yang berbeda ketika memasuki Madinah dan mulai membentuk pemerintahan Islam dan waktu itu kekuasaanya belum begitu kuat berbeda atau berubah saat beliau telah mencapai puncak kekuasaannya di tahun-tahun terakhir dari hidupnya? Bukankah di Madinah terdapat para pengikut pelbagai ajaran/agama? “
Nabi saw tidak pernah mengusir kaum Yahudi dan Nasrani dari Madinah. Dan bahkan beliau bersabar dan menahan diri terhadap orang-orang munafik yang dikenalinya. Nabi Islam membawa agama bagi kita, yaitu agama toleransi dan hidup berdampingan secara damai dengan orang lain; agama kasih sayang dan rahmat.
Ada sebagian orang yang secara dusta menulis di pelbagai buku bahwa Islam adalah agama kekerasan. Dan kelompok-kelompok teroris yang muncul saat ini adalah hasil didikan Islam. Kemudian mereka mengeksploitasi tindakan teroris untuk berbohong kepada masyarakat dunia dan mengatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan.
Islam bukanlah agama kekerasan. Kita tidak boleh bersikap diam di hadapan kelompok-kelompok yang hari ini telah melayangkan pukulan dan serangan terbesar terhadap eksistensi Islam dan Alquran serta Nabi Saw. Kita harus memiliki satu suara dan harus bangkit untuk menghadapi kekerasan, radikalisme dan terorisme.
Islam adalah agama moderat, logika, dan rasio. Kita harus menjelaskan Islam yang sesungguhnya kepada penduduk dunia. Hari ini, tugas yang besar ini berada di pundak kita. Islam adalah agama toleransi dan kemudahan. Saat Rasulullah Saw mengutus Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz Ibn Jabal ke Yaman, yang hari ini dibombardir dan dibumihanguskan serta berlumuran darah, kepada dua orang utusan tersebut, beliau bersabda, “Saat kalian berada di Yaman, hendaklah agama dan penjelasan kalian adalah penjelasan yang mengandung kabar gembira. Hendaklah perilaku kalian dengan masyarakat membuat mereka tidak mengambil jarak dengan Islam. Permudahlah urusan rakyat dan jangan kalian persulit. Islam adalah agama mudah; agama toleransi.” Kita harus menjelaskan agama seperti ini kepada seluruh penduduk dunia. Persatuan dunia Islam saat ini merupakan tugas dan tanggung jawab terbesar bagi kita.
Masalah ketiga yang sangat penting bagi dunia Islam adalah ekspansi dan kemajuan. Islam adalah agama peradaban, ilmu pengetahuan, dan agama kesucian zahir dan batin. Nabi saw berulang kali mewasiatkan supaya masyarakat memperhatikan kesucian zahir dan batin. Dan setelah berlangsung berabad-abad dari wasiat Nabi saw tersebut, Raja Louis XIV dari Perancis justru berbangga karena sepanjang hidupnya tidak pernah pergi ke kamar mandi. Demikianlah kondisi Eropa setelah berabad-abad dari masa Islam. Islam adalah agama yang mengajarkan kesucian dan kebersihan zahir dan batin kepada masyarakat. Islam memotivasi masyarakat untuk mempelajari ilmu, mengembangkan ilmu serta bersikap toleransi terhadap sesama. Bahkan Nabi saw mengatakan bahwa “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Agama kita adalah agama akhlak; agama kelakuan yang baik, dan agama perdamaian. Agama ini menginginkan kemajuan peradaban ilmu dan pengetahuan bagi kita. Kita kaum Muslim, selama belum memiliki pertumbuhan ilmiah dan ekonomi, kita tidak akan mampu berlepas diri dari konspirasi-konspirasi musuh-musuh Islam, dan mereka yang berbuat aniaya terhadap dunia Islam.
Kita harus bekerja sama di bidang kemajuan ilmu dan pengetahuan. Iran telah banyak berkorban dan membayar cukup mahal untuk mencapai kemajuan dan perkembangan ilmu. Kami diembargo karena mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Barat mengembargo kami karena kemajuan ilmu pengetahuan. Dan embargo yang diterapkan Barat terhadap kami semata-mata karena mereka menginginkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu hanya dimonopoli oleh mereka. Mereka tidak suka bila monopoli ini (teknologi dan pengetahuan) dicabut dari mereka. Mereka berpikir bahwa hegemoni mereka terhadap dunia adalah hegemoni militer, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.
Kita harus meruntuhkan hegemoni-hegemoni ini. Ilmu dan pengetahuan adalah milik semua bangsa. Saat universitas-uiversitas dan ilmu pengetahuan ada di genggaman umat Islam, kita menganggap bahwa mengajarkan ilmu kepada orang lain merupakan zakat ilmu, dan kita mengharuskan dan mewajibkan diri kita untuk mengajarkan ilmu kepada orang-orang lain. Dan masyarakat Barat dan Eropa juga belajar ilmu dari dunia Islam. Dan tanpa pamrih, kita berikan ilmu kepada mereka. Ironisnya, mereka justru sekarang ingin mencegah kita dari mendapatkan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kita menganggap bahwa pertumbuhan, ekspansi, dan perkembangan ilmu dan teknologi merupakan hak semua manusia, dan termasuk hak Muslimin. Oleh karena itu, di bidang ini kita harus bekerja sama. Para pakar, kalangan akademisi, dan cendekiawan–baik di bidang riil maupun dunia maya–harus saling bersinergi.
Bila kita memperhatikan dan mempertimbangkan prioritas-prioritas dunia Islam, kita akan memiliki dunia yang lain. Kita memiliki tanggung jawab dan tugas besar di hadapan anak-anak dan generasi kita di masa yang akan datang.
Kita tidak boleh membiarkan anak-anak muda kita mengalami keraguan terkait dengan Islam dan warisan besar Nabi Saw. Dan kita tidak boleh membiarkan oknum-oknum yang dengan melancarkan perang perpecahan dan membangkitkan isu-isu perbedaan, mereka menyebarkan kekerasan dan radikalisme atas nama agama. Agama berlepas diri dari mereka semua. Agama kita adalah agama kasih sayang dan cinta, agama persaudaraan. Oleh karena itu, hendaklah dalam pernyataan dan perilaku kita, kita memperhatikan pandangan yang proporsional dan moderat.
Perkataan dan pernyataan kita harus kuat dan kokoh, yakni memiliki kekokohan rasional dan logis. Ini adalah tanggung jawab kita dan misi kita. Para ilmuwan dan para pakar Indonesia dan Iran, begitu juga negara-negara Islam lainnya harus bersatu dalam satu barisan untuk menghadapi serangan-serangan yang dilakukan terhadap Islam.
Islam Indonesia dan Iran adalah Islam moderat dan kasih sayang. Kita di Iran melihat bahwa Syiah dan Sunni hidup berdampingan secara damai. Bila Anda bepergian ke Teheran, ibu kota Iran, Anda akan melihat banyak dari tempat-tempat ibadah yang terkait dengan abad-abad yang lampau, dan sampai hari ini tempat-tempat ibadah itu masih ada. Di DPR dan Parlemen kita (Majelis Syura Islami), baik Syiah maupun Sunni, baik Yahudi maupun Masihi, dan juga Zoroaster, mereka semua berdampingan dan berada dalam satu barisan. Ini adalah logika Islam dan Nabi saw serta kitab Alquran.
Kami—karena nikmat Islam, Alquran dan Sunah Nabi saw–belajar persaudaraan dan persatuan dari Islam. Menurut hemat kami, menjaga keamanan umat Islam di seluruh dunia Islam adalah tanggung jawab negara Islam.
Sebagaimana kami membela orang-orang Syiah Libanon, kami juga membela orang-orang Sunni di Gaza. Bagi kami, Ahlu Sunnah di Gaza atau Syiah di Lebanon, Sunni di Irak atau Syiah di Irak, masyarakat Kristen di Irak dan Lebanon, bila mereka memang teraniaya, maka kami akan membela mereka.
Hari ini adalah hari yang mengharuskan kita untuk gotong royong dan bangkit guna membela agama Allah dan Islam. “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( QS. Muhammad: 7 )
Wassalamu ’alaikum. (IRIB Indonesia)
Kemudian Berijtihadlah, selanjutnya yuk….. berlomba-lomba membuat kebaikan??? buat bekal diakhirat sana.
Gitu aja kok repot???
” Jawab saya: cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar. ”
Mari kita telaah…..
Menurut Ali r.a. sendiri sebagai seseorang yang diakukan oleh syiah sebagai pemegang amanah keimamahan menyatakan bahwa beliau tidaklah merasa sebagai imam pengganti beliau saw.
Hadits 2
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq : telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Syu’aib bin Abi Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Azhariy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Ka’b bin Maalik Al-Anshaariy – dan Ka’b bin Maalik adalah salah satu dari tiga orang yang diberikan ampunan (oleh Allah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk) : Bahwasannya Abdullah bin ‘Abbaas telah menceritakan kepadanya : ‘Aliy bin Abi Thaalib keluar dari menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau, orang-orang bertanya : “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab; “Alhamdulillah, beliau sudah sembuh”. Ibnu Abbas berkata : “’Abbaas bin Abdul Muththalib memegang tangannya dan berkata : ‘Demi Allah, tidakkah kamu lihat bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi, dan engkau akan diperintahkan dengannya ?. Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani ‘Abdul-Muththallib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan) ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa mewasiatkannya pada kita.” Lalu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata; “Demi Allah, bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4447].
Hadits 3
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Haarits : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimuun, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Asy-Sya’biy, dari Syaqiiq, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aliy : “Tidakkah engkau mengangkat pengganti (khalifah) ?”. Ia menjawab : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat pengganti hingga aku harus mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/164 no. 2486]. http://musuhsyiah.blogspot.com/2013/04/takhrij-riwayat-tidak-adanya-khalifah.html
Dari paparan di atas kita ketahui bahwa syiah mengklaim bahwa Ali ra adalah khalifah pengganti Rosululloh saw setelah wafat beliau, ini merupakan takwil yang salah, karena menurut hadits 1 di saat terakhir Rosululloh saw akan wafatpun Ali ra dan Abbas ra tidak merasa ditunjuk menjadi pengganti beliau. Dipertegas lagi hadits 2 di saat terakhirnya-pun Ali ra, beliau meneladani Rosululloh saw untuk tidak menunjuk pengganti.
Mana yang benar…. syiah atau Ali ra.
Trus kalau gitu kenapa Abu Bakar MENUNJUK Umar sebagai pengganti. Naah menurut ente gimana tuuuuh. Rosululloh saw sendiri menurut ente mencontohkan untuk gak menunjuk pengganti jadi menurut ente tindakan Abu Bakar menunjuk Umar itu harus dihukumi mencontoh siapa
Saya sangat heran cara berpikir anda. Apakah masih sehat. Anda menegaskan sesuai hadits diatas bahwa sampai akhir hidup Rasulullah SAW tidak menunjuk pengganti. Jadi menurut anda setelah Rasulullah berjuang begitu lama menjalankan perintah Allah kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang melanjutkan untuk memberi petunjuk. Aneh. Sedangkan dalam Alqur’an begitu banyak Firman Allah yang menyatakan bahwa disetiap masa. setiap kaum akan ada orang2 yang akan Allah beri pentunjuk untuk memberi petunjuk pada kaumnya. Jadi kalau menurut anda Allah tidak memberi petunjuk pada Rasulullah untuk menunjuk orang/ penerus sesudah Rasulullah SAW. Wasalam